• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Hubungan Diplomatik Antara Indonesia Dan Filipina Dalam Pembebasan Wni Oleh Kelompok Teroris Abu Sayyaf Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Hubungan Diplomatik Antara Indonesia Dan Filipina Dalam Pembebasan Wni Oleh Kelompok Teroris Abu Sayyaf Tahun 2016"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

23 BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN DIPLOMATIK

A. Sejarah Hubungan Diplomatik

Dewasa ini, perkembangan teknologi semakin pesat yang memacu semakin intensifnya interaksi antarnegara dan antarbangsa di dunia. Meningkatnya interaksi tersebut telah mempengaruhi perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya dengan negara lain. Interaksi dengan negara lain disebut dengan hubungan Internasional.

Meningkatnya kerja sama antar negara dalam menggalang perdamaian dunia demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan diplomatik khususnya perkembangan kodifikasi hukum diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum didirikannya badan Perwakilan Bangsa-Bangsa.39

Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan hubungan diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada Kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut dalam konferensi sepakat untuk mengodifikasi hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai dan mereka hanya menghasilkan satu naskah saja yaitu hirarki diplomat yang kemudian dilengkapi dengan protokol Aix-La-Chapelle pada tanggal 21 November 1818. Kongres Wina dari segi substansi praktis tidak menambah

39

(2)

apa terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya selain menjadikannya sebagai hukum tertulis.40

Kemudian pada tahun 1927 dalam kerangka Liga bangsa-bangsa (LBB) diupayakanlah kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai komisi ahli ditolak oleh dewan LBB tersebut. Alasannya yaitu belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan global mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks. karena itu, memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk kodifikasi hukum internasional.41

Disamping itu, di Havana pada tahun 1928 konferensi ke-6 organisasi negara-negara amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama Convention of Diplomatik Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara Amerika, kecuali Amerika Serikat yang mendatangani saja dan tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suaka politik. Mengingat sifatnya yang regional implementasi konvensi ini tidak menyeluruh.42

Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut:

Majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan (recoomendations) dengan tujuan: memajukan kerjasama internasional di bidang politik, dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional secara progresif dan pengodifikasiannya, memajukan kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan

40

(3)

kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama.43

Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik pembahasan yang didalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik, terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas.44 Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada tahun 1953 menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.

Pada tahun 1954, Komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum berakhir 1959 Majelis Umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional guna membahas maslah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik.45

Konferensi tersebut dinamakan “The United Nations Conference on

Diplomatik Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2 Maret 1961–14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi ini dihadiri oleh delegasi dari 81 negara, 75 diantaranya adalah anggota-anggota PBB dan enam lagi adalah delegasi dari

43

Ibid.

44

Ibid.

45

(4)

badan-badan yang berhubungan dengan Mahkamah Internasional. Konferensi menghasilkan instrumen-instrumen, yaitu:46

1. Vienna Convention on Diplomatik Relations.

2. Optional Protocol Concerning Aqcuisition of Nationality,

3. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.

Di antara ketiga instrumen tersebut Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik (Convention on Diplomatik Relations), 18 april 1961 merupakan yang terpenting.47

Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 april 1961, wakil dari 75 negara menandatangani Konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun kemudian, pada 24 april 1964, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku. Kini hampir seluruh negara didunia telah meratifikasi konvensi tersebut,termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1982 pada 25 Januari 1982. Pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina tersebut digarisbawahi oleh Mahkamah Internassional dalam kasus United States Diplomatik and Consular Staff in Teheran melalui ordonansinya tertanggal 15 Desember 1979, dan pendapat hukumnya (Advisory Opinion) tertanggal 24 Mei 1980. Konvensi wina ini merupakan kode diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi ini tetap berlaku sepertii tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan: “…that the

46

Edy Suryono. Op.Cit, hlm. 37

47

(5)

rules of customary international law should continue to govern question not

expressly regulated by the provisions of the present Convention.”48

B. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Hubungan Diplomatik

Secara tradisional, fungsi pejabat missi diplomatik, baik duta besar maupun pejabat diplomatiknya adalah untuk mewakili negaranya dan mereka itu bertindak sebagai suara dari pemerintahnya disamping sebagai penghubung antara pemerintah negara penerima dan negara pengirim. Mereka juga bertugas untuk melaporkann mengenai keadaan dan perkembangan di negara dimana mereka di akreditasikan termasuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan negaranya dan warga negaranya di negara penerima.49

Fungsi pejabat missi diplomatik pada dasarnya hanya berhubungan dengan persoalan politik, tetapi pada saat ini sulit bagi kita untuk memisahkakn antara politik dengan aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itulah fungsi pejabat missi diplomatik lama kelamaan juga berubah, bukan hanya menyelenggarakan hubungan politik saja, tetapi sudah jauh masuk ke bidang perdagangan, keuangan, perindustrian dan lain sebagainya, yang sbenarnya merupakan wewenang konsuler.

Pejabat missi diplomatik ada yang bersifat tetap (permanent), dan ada pejabat missi diplomatik yang bersifat sementara (ad hoc). Lingkup fungsi pejabat missi diplomatik sementara (ad hoc) sangat terbatas, begitu pula rentang waktu

48

Syahmin AK, Op.Cit, hlm.16-17

49

(6)

dan urusannya misalnya dalam menghadiri konferensi antarnegara, menandatangani perjanjian, melakukan negoisasi khusus.50

Fungsi pejabat missi diplomatik tetap (permanent) adalah melaksanakan seluruh tugas yang dibebankan oleh negara pengirim dinegara penerima sesuai dengan kesepakatan kedua negara sepanjang tidak bertentangan dengan Konvensi Wina tahun 1961 dan konvensi lain yang berkaitan dengan hubungan diplomatik.51 Berikut ini beberapa fungsi pejabat missi diplomatik seperti yang tercantum dalam Konvensi Wina 1961

Article 3

1. The function of a diplomatik mission consist, inter alia, in: (a) Representing the sending state in the receiving state;

(b) Protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its national, within the limits permitted by international law;

(c) Negotiating with the government of the receiving state;

(d) Ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving state, and reposting thereon to the government of the sending state;

(e) Promoting friendly relations between the sending state and the receiving state, and developing their economic cultural and scientific relations.

Fungsi pejabat missi diplomatik adalah sebagai berikut: 1. Mewakili negaranya dinegara penerima

Perwakilan diplomatik yang dibuka oleh suatu negara ke negara lain merupakan suatu perwakilan yang permanen (permanent mission) dan mempunyai tugas dan fungsi yang cukup beragam (ius representationis omnimodo) yaitu hak keterwakilan sesuatu negara secara keseluruhan. Tugas utama seorang duta besaar adalah untuk mewakili negara pengirim di negara

50

Widodo, Hukum Kekebalan Diplomatik, Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2009, hlm. 50.

51

(7)

penerima dan untuk bertindak sebagai saluran hubungan yang resmi antara pemerintah dari kedua negara. Disamping itu tujuan pokok dari pembukaan hubungan diplomatik adalah untuk memudahkan hubungan resmi antara negara dan para diplomatnya, dapat melakukan negosiasi dan menyampaikan pandangan dari pemerintahnya mengenai berbagai maslah kepada negara dimana dia diakreditasi.

Dengan demikian apa yang dilakukan oleh para diplomat dalam suatu perwakilan diplomatik di negara penerima pada hakekatnya harus mencerminkan kepentingan dari negara pengirim dan pemerintahnya. Mereka harus menjaga harkat dan martabat serta kehormatan negaranya sebagai negara yang berdaulat.52

2. Perlindungan terhadap kepentingan negara pengirim dan warga negaranya Tugas kedua yang juga penting dari pejabat missi diplomatik adalah untuk melindungi kepentingan dari negara pengirim dan kepentingan dari warga negarnya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional. Perlindungan itu harus pula diberikan oleh negara penerima kepada para pejabat diplomatik dinegaranya. Bahkan negara ketiga pun harus memberikan fasilitas dan perlindungan diplomatik kepada para pejabat diplomatik yang sedang in transit di negara ketiga yang bersangkutan (Pasal 46 Konvensi Wina 1961). Walaupun memiliki fungsi proteksi, bukan berarti Duta Besar boleh langsung campur tangan dalam persoalan rumah tangga negara penerima.53

52

Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit, hlm. 70.

53

(8)

Hanya saja jika warga negaranya meminta pertolongan, ia wajib memberikannya dalam batas-batas kekuasaannya sejauh diperkenankan hukum internasional. Sebagai contoh, warga negaranya dirugikan oleh suatu badan atau lembaga dari negara penerima maka sang duta boleh memberikan perlindungan diplomatik kepada mereka berupa tuntutan ganti rugi melalu saluran diplomatik atau jika ada warga negaranya terlantar, duta dapat memberikan pertolongan keuangan seandainya memang tersedia anggaran untuk itu atau mengajak warga negaranya yang lain untuk mengulurkan tangan untuk memulangkan yang bersangkutan dengan biaya yang akan diperhitungkan kemudia secara gotong royong.

3. Melakukan perundingan dengan negara penerima.

(9)

pengirim terhadap sikap pemerintah negara penerima mengenai sesuatu masalah.54

4. Laporan perwakilan diplomatik kepada pemerintahnya.

Fungsi perwakilan diplomatik lainnya yang juga penting adalah menyangkut kewajiban untuk memberikan laporan kepada negaranya mengenai keadaan dan perkembangan negara penerima dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum mengenai berbagai aspek baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain . Dengan demikian perwakilan diplomatik memainkan peranan yang penting bukan saja dalam menyampaikan informasi dari pemerintah negara penerima kepada negaranya tetapi juga sebaliknya. pejabat missi diplomatik tersebut juga harus secara aktif mengambil prakarsa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dinegara penerima dan menganalisanya sebelum menyampaikannya kepada pemerintah negara pengirim. Didalam praktek hal itu bisa juga timbul masalah, karena beberapa negara menurut undang-undangnya melarang adanya azas kebebasan dalam informasi. Oleh karena itu bisa saja terjadi bahwa cara-cara untuk memperoleh informasi itu dianggap biasa dan sah di satu negara, tetapi oleh sesuatu negara lainnya bisa dilihat sebagai suatu tindak kriminal mata-mata.55

5. Meningkatkan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang.

Fungsi pejabat missi diplomatik juga mencakup hal yang penting seperti kewajiban untuk meningkatkan hubungan persahabatan dengan negara penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu

54

Ibid. hlm. 74

55

(10)

pengetahuan. pejabat missi diplomatik juga bertugas untuk meningkatkan hubungan ekonomi perdagangan atas dasar prinsip saling menguntungkan.

Duta besar sebagai kepala perwakilan diplomatik bertugas untuk meningkatkan pengertian antara dua negara karena itu melibatkan bukan saja yang berhubungan dengan pemerintah negara penerima tetapi juga dalam rangka menjelaskan kebijakan dan sikap pemerintahnya dan pandangan mereka terhadap rakyat dan negara melalui media dan dalam acara-acara yang layak serta memberikakn pengertian terhadap pemerintah dan rakyat mengenai maksud, harapan dan kehendak dari negaranya.56

Fungsi pejabat missi diplomatik ini menurut pasal 13 Konvensi Wina 1961 mulai berlaku apabila “kepala missi diplomatik dianggap telah memulai tugasnya di negara penerima, baik saat ia menyerahkan surat-surat kepercayaannya maupun ia memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan sebuah salinan asli surat kepercayannya kepada menteri luar negeri negara penerima, atau menteri lain yang ditunjuk untuk itu, sesuai denngan praktik yang berlaku di negara penerima

yang akan diperlakukan secara seragam”.

Urutan-urutan penyerahan surat-surat kepercayaan atau sebuah salinan asli akan ditentukan oleh hati, tanggal, dan saat kedatangan kepala misi yang bersangkutan.

Umumunya tugas seorang kepala missi diplomatik akan berakhir karena telah habis masa jabatannya yang diberikan kepadanya. Tugas itu dapat pula berakhir karena ia ditarik kembali recalled oleh pemerintah negaranya. Bisa juga berakhir karena sang diplomat yang bersangkutan tidak disukai lagi persona

56

(11)

garata. Jika antara negara pengirim dan negara penerima terjadi perang, tugas seorang diplomat juga kan terganggu (terhenti) dan ia biasanya dipanggil pulang. Kemudian, jika kepala pemerintahan (presiden/raja/ratu) wafat, turun tahta, atau terjadi suksesi kepemimpinan nasional, dapat pula menyebabkan berhentinya tugas missi diplomatik seorang pejabat diplomatik, (pada saat sekarang, kematian kepala negara atau kepala pemerintahan, tidak lagi dipergunakan sebagai alasan untuk menarik kembali kepala perwakilannya diluar negeri).57

Menurut J.G Starke, sebuah pejabat missi diplomatik dapat berakhir dengan cara yang berbeda-beda diantaranya:58

1. Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang memberitahukan penarikannya. Pemberitahuan oleh negar apengirim kepada negara penerima bahwa tugas perutusan itu telah berakhir (Pasal 43 Konvensi Wina). Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled). Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina), akan tetapi seperti dalam kasus permintaan Australia pada bulan Juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tetang tuduhan tindakakn yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu tertentu untuk keberangkatanyya (sepuluh hari seperti yang ditanyakan dalam

57

Syahmin AK, Op.Cit, hlm. 85

58

(12)

permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas). Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara etgas diisyaratkan oleh Konvensi Wina.

2. Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara pengirim dan negara penerima.

3. Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi (pasal 9 dan 43 Konvensi Wina). 4. Tujuan misi tersebut telah terpenuhi.

Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu terbatas.

Tujuan pejabat missi diplomatik, Menurut ketetapan Konggres Wina 1815 dan Konggres Aux La Chapella 1818 (konggres Achen), pelaksanaan peranan perwakilan diplomatik guna membina hubungan dengan negara lain dilakukan oleh perangkat-perangkat berikut:59

1. Duta Besar Berkuasa Penuh (ambassador), adalah tingkat tertinggi dalam perwakilan diplomatik yang mempunyai kekuasaan penuh dan luar biasa. Ambassador ditempatkan pada negara yang banyak menjalin hubungan timbale balik.

59

(13)

2. Duta (gerzant), adalah wakil diplomatik yang pangkatnya lebih rendah dari duta besar, Dalam menyelesaikn segala persoalan kedua negara dia harus berkonsultasi dengan pemerintah negaranya.

3. Menteri Residen, seorang menteri residen dianggap bukan wakil pribadi kepala negara. Dia hanya mengurus urusan negara dan pada dasarnya tidak berhak mengadakan pertemuan dengan kepala negara dimana dia berugas. 4. Kuasa Usaha (charge d’Affair). Dia tidak ditempatkan oleh kepala negara

kepada kepala negara tetapi ditempatkan oleh menteri luar negeri kepada menteri luar negeri.

5. Atase-atase, adalah pejabat pembantu dari duta besar berkuasa penuh. Atase terdiri atas dua bagian, yaitu:

a. Atase Pertahanan

Atase ini dijabat oleh seorang perwira militer yang diperbantukan departemen Luar negeri dan ditempatkan di kedutaan besar negara bersangkutan, serta diberi kedudukan sebagai seorang diplomat. Tugasnya adalah memberikan nasehat di bidang militer dan pertahanan keamanan kepada duta besar berkuasa penuh.

b. Atase Teknis.

(14)

departemennya sendiri. Misalnya Atase Perdagangan, Perindustrian, Pendidikan Kebudayaan.60

C. Peraturan-Peraturan yang Mengatur Hubungan Diplomatik

Berbicara tentang peraturan-peraturan yang mengatur hubungan diplomatik, maka tidak akan terlepas dari hukum internasional publik. Hukum Internasional Publik diibaratkan seperti pohon dan hukum diplomatik merupakan cabangnya. Untuk itu, sumber hukum diplomatik tidak dapat dipisahkan dari ketentuan pasal 38 (1) Statuta ICJ yang telah diakui oleh para ahli hukum internasional sebagai sumber hukum internasional yang berbunyi sebagai berikut:61

Bagi Mahkamah Internasional yang fungsinya memutuskan perkara-perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan hukum internasional, akan menetapkan:

1. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang umum maupun khusus yang secara tegas mengatur dan diakui oleh negara-negara pihak. 2. Kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktik umum yang

diterima sebagai hukum.

3. Prinsip-prinsip Hukum Umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab

4. Sesuai ketentuan-ketenatuan pasal 59, keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum ternama dari berbagai bangsa, sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.

Selain hukum internasional publik, hukum diplomatik juga memiliki kekhususan tersendiri. Kekhususan hukum diplomatik terdiri dari:

1. The Final Act of the Congress of Vienna (1815) on diplomatic ranks

2. Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocols (1961), beserta:

60

Ibid,

61

(15)

a. Vienna Convention on Diplomatic Relations.

b. Optional Protocol Concerning Acquisition of nationality

c. Optional Protocol Concerning the Complusory Settlement of Disputes. 3. Vienna Convention on Consular Relations and optional protocol (1963),

beserta:

a. Vienna Convention on Consular Relations

b. Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality

c. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes. 4. Convention on Special Mission and Optional Protocol (1969) beserta:

a. Convention on Special Mission

b. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes. 5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against

Internasionally Protected Persons, Including Diplomatic Agents (1973).

6. Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organization of a Universal Character (1975).

Selain konvensi-konvensi diatas, terdapat juga resolusi-resolusi dan deklarasi yang dikeluarkan oleh organ-organ PBB. Namun masalahnya apakah resolusi dan deklarasi tersebut dapat dikatakan suatu hukum, hal ini dikarenakan resolusi maupun deklarasi tidak memiliki kekuatan mengikat dan berkekuatan hukum karena tidak menciptakan hukum (law making treaties). Di lain pihak,

(16)

sampai kepada konsensus yang menjadi dasar bagi negara-negara penerimaan beban kewajiban-kewajiban hukum.62

Resolusi dan deklarasi memang masih belum jelas batasannya dan daya pengikatnya. Resolusi yang dihasilkan juga tidak dapat menjadikan, merumuskan, dan mengubah resolusi itu menjadi hukum internasional. namun resolusi-resolusi ini dapat menjadi sumbangan yang ikut mengisi hukum internasional apabila resolusi ini mendapatkan dukungan secara universal, resolusi ini menciptakan hukum, dan resolusi ini tercermin dari kebiasaan umum yang diakui oleh negara-negara yang berdaulat. Salah satu contoh Resolusi Majelis Umum 3166 yang

memuat “konvensi mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap orang-orang yang secara internasional dilindungi,

termasuk para pejabat diplomatik” (Convention on the Prevention and Punishment

of Crimes against internationally protected persons, including diplomatic agents

1973).63 Dengan hal-hal diatas menjadikan sebuah langkah resolusi-resolusi tersebut menjadi suatu aturan baru, terutama apabila resolusi tersebut merupakan sumber dari kebiasan internasional yang dapat mendorong perkembangan kemajuan hukum internasional dalam usaha kodifikasi aturan-aturan kebiasaan internasional.

Prinsip-prinsip hukum umum dan keputusan pengadilan juga merupakan sumber hukum diplomatik. Khusus mengenai keputusan pengadilan ini pada

62

Alasan yang mendukung kecendrungan ini adalah dikemukakan oleh Richard A.Falk.

On Quacy Legislative Competence of the General Assembly”, dalam AJIL, 1966, hal 782, et seq; Kemudian bandingkan pula dengan pendapat Jorge Castaneda, dalam Legal Effects of United Nations Resolutions, New York, Columbia University Press, 1970, hlm. 791.

63

(17)

hakikatnya tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali pihak-pihak yang bersangkutan.sebagai contoh, enam keputusan Mahkamah Internasional pada 24 Mei 1980, dalam kasus yang menyangkut staf perwakilan diplomatik dan konsuler Amerika Serikat di Teheran, yang disetujui oleh 13 suara dan 2 suara menolak. Hal-hal diatas inilah yang menjadi sumber hukum diplomatik untuk mengatur berjalannya hubungan diplomatik yang berada di dunia.

D. Pembukaan Hubungan Diplomatik dan Ruang Lingkupnya

Setiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai right of legation. Hak legasi ini ada yang aktif, yaitu hak suatu negara untuk menempatkan accreditation wakilnya ke negara penerima, dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban

untuk menerima wakil-wakil negara asing. Hak legasi ini diterima dan dimuat dalam Pasal 1 Konvensi Havana 1928. Meskipun demikian, bila kita memperhatikan praktek yang berkembang, hak legasi ini secara berangsur-angsur sudah ditinggalkan, seperti dikatakan ahli hukum internasional Prancis, Fauchille:

“tidak suatu negara pun yang diharuskan menerima duta besar negara lain karena

hal itu merupakan persoalan hubungan baik dan bukan masalah hukum murni”. Oleh karena itu, hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga halnya tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik asing di suatu negara. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak untuk meminta negara lain untuk menerima wakil-wakilnya.64

64

(18)

Langkah-langkah utama dalam membangun misi diplomatik permanen adalah mengangkat kepala misi, memperoleh tempat untuk misi dan tempat tinggal untuk kepala, mengangkat staff dan menempatkan staff tersebut di tempat sarana praktis dari operasi, seperti komunikasi dan transportasi. Karena signifikansi representasional dan fungsional dari kepala misi, prosedur yang lebih rumit diperlukan untuk penunjukan daripada untuk diplomat lainnya.65

Dewasa ini, sebagai landasan yuridis untuk membuka hubungan diplomatik antarnegara, dapat kita pergunakan ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang menggariskan: “the establishment of diplomatic relations between states, and of permanent diplomatic missions, take place by mutual consent.”

Mengenai tata cara pembukaan hubungan diplomatik dan konsuler maupun pembukaan perwakilan diplomatik tetap atau konsuler seperti tertera dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961 jo. Pasal 2 Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler, ternyata telah ditegaskan pula dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun tentang Hubungan Luar Negeri.

Mencermati kata kunci Pasal 2 pada dua Konvensi Wina di atas adalah kesepakatan bersama mutual consent. Harus ada kesepakatan kedua belah pihak (negara pengirim dan negara penerima) untuk membuka hubungan diplomatik, selanjutnya kesepakatan untuk membuka hubungan perwakilan tetap.

Hubungan diplomatik antarnegara dapat diadakan dengan perhubungan persahabatan antarpemerintah mereka dalam bentuk apapun, tetapi hubungan diplomatik tetap dianggap ada, hanya dengan didirikannya misi diplomatik, atau

65

(19)

lebih baik dengan pertukaran misi diplomatik. Fungsi-fungsi atau tugas-tugas yang akan dilakukan oleh misi sudah diakui secara umum di abad-abad lampau, dan telah dirumuskan di dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang terdiri atas:66

1. Mewakili negara pengirim di dalam negeri penerima.

2. Melindungi kepentingan-kepentingan dan warga-warga negara pengirim di negara penerima di dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional.

3. Mengadakan negosiasi dengan pemerintah negara penerima.

4. Menentukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, keadaan, dan perkembangan di negara penerima dan member laporan tentang itu kepada pemerintah negara penerima.

5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan sosial mereka.

Ada kaitan yang erat antara pembukaan hubungan diplomatik dengan suatu negara dan pengakuan terhadap negara tersebut atau pemerintahnya. Karena hukum internasional tidak berisikan kewajiban hukum untuk mengakui suatu negara, makan negara tersebut tidak dapat dipaksa untuk menerima wakil-wakil dari negara yang tidak diakuinya. Penolakan suatu negara untuk membuka hubungan diplomatik dengan alasan apa pun terhadap negara lain merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam praktek.67

66

CST. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 94.

67

(20)

Pasal 9 Konvensi Wina 1961 mengakui adanya hak negara penerima untuk mengusir diplomat tanpa harus memberikan alasan ataupun penjelasan. Ketentuan ini berisikan klarifikasi bahwa seseorang dapat dinyatakan non grata atau tidak dapat diterima sebelum tiba di negara penerima. Konvensi ini memberikan kemungkinan pengangkatan seorang diplomat dapat ditolak, namun tanpa proses yang sistematis yang mirip dengan kesepakatan.68

Sebagai contoh, Cina dan Jepang selama berabad-abad tidak mempunyai hubungan dengan negara asing. Dewasa ini, Mesir dan Yordan, negara-negara Arab dan Islam lainnya tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Sampai dilaksanakannya Ostpolitik, Kanselir Willy Brandt dari Republik Federal Jerman menolak membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara yang mengakui Republik Jerman Timur. Republik Rakyat Cina memutuskan hubungan diplomatik dengan negara mana saja yang mengakui Taiwan. Pada tahun 1999, Cina memutuskan hubungannya dengan Macedonia yang mengakui Taiwan. Sebagai catatan, sampai sekaang Taiwan masih diakui oleh sekitar 20 negara. Juga Maroko pada tahun 1980-an memutuskan hubungan diplomatiknya dengan sejumlah negara yang mengakui Republik Arab Demokratik Sahrawi (Polisario) yang didirikan pada 27 Februari 1976.

Dalam hukum internasional publik sudah ada penerimaan umum bahwa kunci pembuka hubungan diplomatik itu berasal dari pengakuan sebagai suatu negara yang berdaulat dari negara-negara atau pemerintah yang telah merdeka dan berdaulat lainnya terlebih dahulu.69 Dalam prakteknya suatu negara member

68

Ibid, hlm.47

69

(21)

pengakuan terlebih dahaulu, kemudian membuka hubungan diplomatik. Dapat juga terjadi bahwa pengakuan sekaligus merupakan pembukaan hubungan diplomatik.

Pada September 1991, sebagai kelanjutan pengakuan Republik-Republik Baltik oleh Dewan Negara Ex Uni Soviet, Menteri-Menteri Luar Negeri Masyarakat Eropa menemui Menteri-Menteri Luar Negeri Estonia, Latvia, dan Lithuania untuk menyambut pemulihan kembali kedaulatan dan kemerdekaan negara-negara Baltik tersebut. Pertemuan ini pada hakikatnya merupakan pengakuan dari negara-negara Masyarakat Eropa yang sekaligus juga merupakan tanda dibukanya hubungan diplomatik antarsesama mereka.

Pada Februari 1992, Inggris mengakui sepuluh negara yang baru merdeka dari Ex Uni Soviet, dan mempersilakan masing-masing untuk membuka hubungan diplomatik penuh dengan Inggris. Demikian juga Inggris yang mengakui Rusia sebagai kelanjutan dari Uni Soviet. Amerika Serikat pada September 1991 membuat suatu Memorandum of Understanding (MoU) dengan Latvia yang sekaligus merupakan pengakuan dan pembukaan hubungan diplomatic dengan negara tersebut.70

Merupakan fakta-fakta nyata bahwa negara-negara dewasa ini tidak selalu mempunyai perwakilan diplomatik tetap satu sama lain. Dengan menjamurnya negara-negara baru setelah berakhirnya Perang Dingin sebagai akibat dekolonisasi, pemeliharaan hubungan diplomatik tetap merupakan masalah yang cukup berat. Karena kekurangan dana dan personel, negara-negara miskin atau

70

(22)

kecil tidak sanggup membuka banyak misi diplomatik tetap di negara-negara lain.71

Bila dua negara telah mencapai kesepakatan untuk membuka perwakilan diplomatik maka yang harus ditentukan selanjutnya ialah tingkat perwakilan yang dibuka di masing-masing negara. Sesuai praktek yang berlaku biasanya kepala perwakilan yang dipertukarkan adalah pada tingkat yang sama. Dewasa ini pertukaran kepala perwakilan pada tingkat duta besar merupakan praktek yang biasa berlaku. Sebelumnya, klasifikasi para pejabat diplomatik menurut Konferensi Wina tahun 1815 dibagi atas tiga kelas yaitu:72

1. Duta besar beserta perwakilan kursi suci (Papal Lagates and Nuncios) 2. Duta besar luar biasa dan berkuasa penuh (Ministers

3. Plenipotentiary and Envoys Extraordinary) Kuasa Usaha (Charges d’affaires).

Urutan kepangkatan pejabat diplomatik versi Protocol of Achen 1818 adalah sebagai berikut:73

1. Para duta besar dan duta paus (Ambassadors and legates, or Nuncios)

2. Para utusan menteri atau yang lain, dan yang diakreditasikan kepada kepala negara (envoys and Minister Plenipotentiary)

3. Minister Resident

4. Para kuasa usaha yang diakreditasikan kepada Menteri Luar Negeri (Charge d’affaires).

71

Syahmin, Op. Cit, hlm. 48

72

Ibid, hlm. 51.

73

(23)

Perlu ditambahkan mengenai penggolongan pangkat pejabat diplomatik dari perwakilan Takhta Suci Vatikan, dimana pada tingkat duta besar dinamakan Nuncios, sedangkan pada tingkat kedutaan (legation/legates) disebut internuncios,

yang sama dengan jabatan envoys and Minister Plenipotentiary.

Prakteknya, sampai Perang Dunia II, sebagian besar perwakilan diplomatik masih dipimpin oleh envoys extraordinary atau Ministers seperti yang terdapat dalam klasifikasi pejabat diplomatik Kongres Wina 1815, dan bukan oleh duta besar yang merupakan kategori pertama kepala perwakilan.

Selanjutnya, tanpa banyak perubahan, Pasal 14 Konvensi Wina 1961 secara tegas menetapkan tingkat-tingkat kepala perwakilan sebagai berikut:

1. Para duta besar atau nuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara, dan para kepala perwakilan lain yang sama pangkatnya.

2. Para utusan, duta dan internuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara. 3. Para kuasa usaha atau Charges d’affaires yang diakreditasikan kepada Menteri

Luar Negeri.

Kecuali mengenai urutan kedatangan dan etika, tidak aka nada pembedaan perlakuan di antara para kepala perwakilan berdasarkan kelas mereka.

Mengenai dua penggolongan kuasa usaha atau Charges d’affaires, dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:74

1. Kuasa Usaha Tetap (Charges d’affaires en pied), menyerahkan surat-surat kepercayaannya kepada Menteri Luar Negeri dan bukan kepada kepala negara. Pengangkatan kuasa usaha ini sering terjadi di masa-masa lampau pada negara

74

(24)

yang baru merdeka setelah memisahkan diri dari negara induk (penjajah), sebagai akibat terjadinya perang saudara atau revolusi. Biasanya setelah beberapa waktu tingkat kepala perwakilannya dinaikkan menjadi duta besar, setelah segala sesuatunya berjalan dengan baik.

2. Kuasa Usaha Sementara (Charges d’affaires ad interim), dalam hubungan dua negara dapat terjadi seorang duta besar dipanggil pulang untuk sementara waktu dan menyerahkan kepemimpinan perwakilan kepada seorang kuasa usaha. Pemanggilan pulang ini biasanya dilakukan untuk konsultasi, tetapi dapat pula disebabkan hubungan yang tidak serasi ataupun sebagai bentuk protes terhadap kebijakan negara setempat atas peristiwa-peristiwa tertentu. Di samping itu, banyak pula contoh bahwa duta besar dipanggil pulang karena memburuknya masalah-masalah terorisme, pelanggaran norma-norma diplomatik, campur tangan urusan dalam negeri, atau pelanggaran berat terhadap HAM. Dalam hal ini kedutaan besar tidak tutup dan hanya dipimpin oleh Kuasa Usaha Sementara (Charges d’affaires ad interim).

Mengenai praktek Indonesia, sesuai penjelasan Pasal 33 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang juga mengacu kepada Ketentuan Kongres Wina 1815, Kongres Achen 1818, Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik 1961, dan praktek internasional, jenjang kepangkatan dan gelar diplomatic yang berlaku di KBRI-KBRI di luar negeri adalah:

1. Duta Besar 2. Minister

(25)

4. Counsellor

5. Sekretaris Pertama 6. Sekretaris Kedua 7. Sekretaris Ketiga 8. Atase (attaché)

Jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik termasuk penggunaan gelar duta besar diatur dengan keputusan menteri. Sesuai Pasal 8 UU Nomor 37 Tahun 1999 ini, Menteri Luar Negeri dapat mengangkat pejabat dari departemen dan lembaga lain untuk melaksanakan tugas-tugas seperti atase-atase teknik tersebut di atas.75

Pengangkatan seorang duta besar biasanya dilakukan atas nama kepala negara. Calon-calon duta besar diajukan oleh Menteri Luar Negeri kepada kepala negara untuk mendapatkan persetujuannya. Cara pemilihan calon-calon tidak selalu sama bergantung pada system dan praktek yang berlaku di suatu negara. Dapat terjadi pemilihan calon ditentukan oleh kabinet atau hanya oleh Kementerian Luar Negeri saja setelah memperhatikan berbagai faktor. Di Amerika Serikat pengangkatan seorang Duta Besar harus mendapat persetujuan dari Senat.

Di Indonesia, menurut ketentuan Pasal 29 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara. Seperti juga praktek di negara-negara lain, seorang duta

75

(26)

besar mewakili negara dana bangsa serta menjadi wakil pribadi Presiden di suatu negara atau pada suatu organisasi internasional.

Dalam hubungannya dengan pengangkatan Duta Besar Indonesia, sesuai

dengan Pasal 13 ayat 2 Amandemen Pertama UUD 1945 disebutkan, “Dalam hal

mengangkat Duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan

Rakyat”. Bila pengangkatan seorang calon duta besar telah diputuskan, namanya

segera diajukan kepada pemerintah negara penerima melalui kedutaan besar Negara pengirim untuk mendapatkan agrément. Permintaan agrément kepada pemerintah negara penerima dilakukan secara konfidensial mengingat kemungkinan ditolaknya calon yang diajukan.

Negara penerima berhak menolak seorang calon, apakah didasarkan atas perilaku atau kebijakan profesionalnya di masa lalu. Dapat terjadi seorang calon duta besar mempunyai sikap dan pandangan yang bersahabat terhadap negara penerima dan dalam hal ini pencalonannya dapat ditolak. Demikian juga halnya bila calon tersebut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang anti negara penerima. Bila ditolak, negara penerima tidak harus member alasan mengenai penolakan tersebut. Lazimnya penolakan itu bukan dalam bentuk komunikasi resmi tetapi hanya dalam bentuk isyarat secara halus. Penolakan secara resmi dihindarkan untuk tidak menyinggung kehormatan negara pengirim.76

Sesuai dengan Pasal 7 Konvensi Wina 1961, negara pengirim dapat dengan bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan Pasal 7 ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum hukum internasional bahwa

76

(27)

pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Mengenai atase-atase militer, permintaan persetujuan kepala negara penerima tidak mutlak diperlukan. Namun dalam konvensi hanya

disebutkan “may require their names to be submitted beforehand for its

approval,” terserah kepada bagaimana biasanya dalam praktek negara penerima.

Namun, ada saja negara yang menolak praktek meminta persetujuan kepada negara penerima untuk atase militernya, yaitu negara Inggris, sedangkan Mesir, misalnya meminta dulu nama atase militer untuk mendapatkan persetujuannya.77

Setelah adanya kesepakatan bagi pembukaan misi diplomatik tetap, maka terserah bagi negara pengirim untuk menentukan besarnya perwakilan, yaitu jumlah pejabat dan staf yang harus ditempatkan di negara penerima atas dasar volume pekerjaan dan tingkat atau intensitas hubungan kedua negara. Kecenderungan yang terjadi sejak beberapa dekade terakhir adalah meningkatnya jumlah staf perwakilan yang disebabkan berbagai faktor sehingga sering menimbulkan kesulitan bagi negara penerima terutama negara-negara kecil. Oleh karena itu, apakah negara penerima dapat menolak keberadaan misi diplomatik asing dengan staf yang banyak hanya dengan dalih karena sesuai kebiasaan, besarnya perwakilan diserahkan pada kebijaksanaan masing-masing negara.

Pasal 11 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik menetapkan:

“Jika tidak persetujuan khusus mengenari besarnya perwakilan, negara penerima dapat minta agar besarnya staf suatu perwakilan selalu dalam batas-batas, yang dianggap pantas dan wajar dengan mempertimbangkan keadaan dan kondisi di

77

(28)

negara penerima dan kebutuhan dari suatu perwakilan. Selanjutnya negara penerima dalam batas-batas yang sama dan atas dasar mendiskriminasi dapat menolak untuk menerima pejabat-pejabat dari kategori tertentu.”

Prakteknya, pembatasan jumlah maksimum diberlakukan bila terbukti suatu perwakilan terlibat dalam kegiatan spionase atau terorisme. Sebagai contoh, pada 1971 Inggris mengenakan batas maksimum atas misi diplomatik tetap dan badan-badan perwakilan lain Uni Soviet sebagai tindak lanjut diusirnya seratus lima orang pejabat diplomatik dan staf lainnya karena melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak dapat diterima. Tindakan ini dibenarkan oleh Pasal 11 Konvensi atas dasar tidak termasuknya kegiatan-kegiatan yang bukan bersifat diplomatik.78

Mengenai besarnya staf perwakilan diplomatik di suatu negara, biasanya tergantung dari kesanggupan negara pengirim dan pentingnya negara penerima, serta tingkat hubungan antara kedua negara. Pada umumnya, negara-negara berkembang seperti Indonesia mempunyai staf diplomatik pada masing-masing perwakilannya di luar negeri kurang dari sepuluh orang. Kecuali di pos-pos penting seperti Washington, Perwakilan Tetap Republik Indonesia di New York, Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Jenewa, Tokyo, Berlin dan Kuala Lumpur jumlah staf perwakilan Indonesia berkisar antara 25 orang dan 30 orang.

Pasal 9 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menetapkan bahwa negara penerima setiap saat dan tanpa penjelasan dapat memberitahu negara pengirim bahwa kepala perwakilan ataupun salah seorang anggota staf diplomatiknya adalah

78

(29)

persona nongrata, karena itu negara pengirim harus memanggil pulang atau

mengakhiri fungsinya di perwakilan. Dapat juga seseorang dinyatakan sebagai orang yang tidak disenangi (non-grata) atau tidak dapat diterima sebelum tiba di wilayah negara penerima.

Prakteknya selama ini, pemerintah negara penerima dapat menyatakan seorang diplomat persona non-grata dan sebagai akibatnya diplomat tersebut harus meninggalkan negara penerima. Pernyataan persona non-grata dikeluarkan oleh negara penerima bila keberadaan seorang diplomat tidak dapat lagi ditoleransi sebagai akibat dari sikap atau perbuatannya yang tidak dapat diterima. Tindakan persona non-grata ini lazimnya dilakukan terhadap diplomat yang terbukti melakukan kegiatan spionase, melindungi agen-agen rahasia asing dan membiarkan mereka melakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan fasilitas diplomatik, melindungi orang-orang yang dikenakan hukuman, mencampuri urusan domestik negara penerima, melakukan penyelundupan, atau membuat pernyataan-pernyataan yang merugikan negara setempat.79

Penggolongan pelanggaran di bawah ini biasanya mengakibatkan suatu permintaan untuk penarikan dalam hal tidak adanya suatu penanggalan kekebalan, yaitu:80

1. Firearms offences (penyerangan senjata api)

2. Rape, incest, serious case of incident assault and other serious sexual offences (perkosaan, inses, kasus serius dari insiden penyerangan dan kejahatan seksual serius)

79

Boer Mauna, Op. Cit, hlm. 532

80

(30)

3. Second drink/driving offence (or first it aggravated by violence or injury to a third party) (pelanggaran terhadap minum-minuman/mengemudi (atau yang pertama diperparah dengan kekerasan atau cedera pada pihak ketiga)

4. Other traffic offences involving death or serious injury (pelanggaran lalu lintas lainnya yang menyebabkan cedera serius atau kematian)

5. Driving without third party insurance (mengemudi tanpa asuransi pihak ketiga)

6. Theft including large scale shoplifting (first case) (pencurian termasuk mengutil skala besar (kasus pertama))

7. Lesser scale shoplifting (second case) (mengutil skala kecil (kasus kedua)) 8. Any other offence normally carrying a prison sentence of more than 12

months (pelanggaran lain yang biasanya dijatuhi hukuman penjara lebih dari 12 bulan)

Deklarasi persona non-grata yang dikenakan kepada seorang duta besar, termasuk staf misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada di negara penerima, melibatkan pada tiga kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yaitu:81

1. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap mencampuri urusan dalam negeri negara penerima (bersifat politis/subversif), dan bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima.

81

(31)

2. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu sudah jelas melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya di negara penerima.

3. Kegiatan-kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap mengganggu, baik stabilitas maupun keamanan nasional negara penerima

Demikianlah, apa pun alasan yang dipakai untuk mem-persona non-grata-kan seorang diplomat asing apakah atas dasar spionase, konspirasi, ancaman keamanan, penyalahgunaan hak-hak istimewa, dan lain-lainnya, selalu dilaksanakan sesuai modalitas dan prosedur yang ditetapkan oleh negara penerima. Sebagaimana ditunjukkan pengalaman, dalam persoalan persona non-grata ini kedaulatan negara penerima dalam kasus apa pun selalu dihormati oleh

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Romney (2003, p2), system is a set of two or more interrelated components that interact to achieve a goal, yang berarti sistem adalah satu set dari dua atau lebih

ACUAN PENETAPAN REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH. SPESIFIK LOKASI

Evaluasi berfungsi ganda, pertama evaluasi dapat digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran (kompetensi dasar) dan kedua bisa mengevaluasi kegiatan

Dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Subagyo (2014) dan Sudarsono (2015), Kompas dalam memberitakan peristiwa-peristiwa terorisme dan kekerasan bernuansa

keuangan perusahaan yang dapat dinilai dengan cara menganalisis laporan keuangan perusahaan tersebut dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan,

Meningkatnya kesadaran akan perbedaan, toleransi dan kerjasama antar

Perancangan media promosi ini memiliki tujuan utama, yaitu untuk memperkenalkan pada target market tentang salah satu daya tarik Artotel yaitu Triwulan

Berdasarkan analisis uji anova dapat dilihat ρ > α (0,58 > 0,05), sehingga H o diterima, artinya tidak ada perbedaan yang signifikan akibat dari pemberian