• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA II.1. Paradigma Penelitian

Lincoln dan Guba mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan. Bagi penganutnya, sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011: 4).

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivisme, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial, yaitu positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macamparadigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan Hermawan, 2011:9) Paradigma menuntun kepercayaan seorang peneliti mengenai dunia (West dan Turner, 2009:55).

Secara filosofis Creswell menggambarkan, peneliti membuat pernyataan tentang apa itu pengetahuan (ontologi), bagaimana kita mengetahui itu (epistemologi), dan nilai apa yang terkandung didalamnya (aksiologi), bagaimana kita menuliskan tentang itu (retorik) dan proses mempelajarinya (metodologi). Paradigma memberikan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia, sementara teori memberikan penjelasan yang lebih spesifik terhadap aspek tertentu dari perilaku komunikasi (West dan Turner, 2009:55).

(2)

yaitu kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstuktivis yang akan melandasi pelaksanaan penelitian.

Paradigma konstruktivisme atau sering disebut konstruktivis berpandangan bahwa pengetahuan bukanlah potret langsung dari realitas, namun ada konstruksi didalamnya. paradigma ini berkeyakinan bahwa semesta adalah suatu konstruksi, yang berarti semesta tidak dipahami sebagai semesta yang otonom, namun dikonstruksi secara sosial (Ardianto dan Q-Anees, 2007:152).

Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek dalam penelitian. Penafsiran tersebut akan menjadi pintu bagi peneliti untuk menyelami teks dan menyingkap makna dibaliknya. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar belakang hingga perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Adapun gagasan dalam paradigma konstruktivis (Ardianto dan Q-Aness, 2007:155) adalah :

1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia nyata belaka, tapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Suatu struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kualitatif konstruktif. Hal ini dikarenakan, dalam penelitian ini, peneliti diarahkan untuk dapat menganalisis tanda, menafsirkan teks maupun pembacaan tanda yang dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Melalui paradigm ini, penelitian akan membahas bagaimana citra perempuan digambarkan melalui foto iklan fashion dalam Majalah Gogirl! edisi Januari-Desember 2012.

(3)

(foto) akan menjadi pintu bagi peneliti untuk menyelami teks dan menyingkap makna dibaliknya.

II.2 Uraian Teoritis II.2.1 Semiotika

Alex Sobur dalam bukunya, ‘’Semiotika Komunikasi’’ menggambarkan semiotika sebagai suatu bidang studi yang ‘’hangat’’ dan memikat. Semiotika telah menjadi kegemaran di kalangan progresif. Ia membetot perhatian sejumlah besar sarjana. Dari pengamatan sepintas terhadap pokok bahasan ini pada katalog perpustakaan, akan cukup membuktikan popularitasnya. Hal ini diperkuat dengan berdirinya pusat-pusat studi semiotika/semiologi yang menjamur di pelbagai belahan bumi (Sobur, 2004 : 5).

Secara etimologis, semiotika berasal dari kata yunani, ‘’semeion’’ yang berarti tanda dan secara terminologis, semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. Eco (dalam Sobur, 2004) mendefenisikan tanda sebagai sesuatu yang terbangun atas dasar konvensi sosial, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Sobur, 2004:95). Alex Sobur mengemukakan pendapatnya mengenai semiotika yang dalam pandangannya adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004: 15).

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini. Di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiologi, dalam istilah Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak

dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001:53).

(4)

1. Tanda itu sendiri. Dimana terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara bagaimana tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah merupakan konstruksi manusia, maka hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakanannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini meliputi bagaimana berbagai kode dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mengirimkannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Bergantung bagaimana kode-kode dan tanda-tanda itu digunakan untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Sementara itu, menurut Littlejohn (2009:55-56) semiotika selalui dibagi ke dalam tiga wilayah kajian, yaitu : semantik, pragmatik, sintaktik. Adapun paparannya sebagai berikut :

1. Semantik, berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda.

2. Pragmatik, memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial.

3. Sintaktik, disebut juga dengan kajian hubungan antara tanda-tanda. Tanda-tanda sebetulnya tidak pernah berdiri dengan sendirinya. Hampir semua selalu menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang diatur dalam cara tertentu. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya.

(5)

bermula dari Ferdinand de Saussure dan semiotika pada tradisi Amerika yang bermula pada Charles Sanders Peirce (Sobur, 2004:12).

Saussure mendefinisikan semiologi dengan ‘’sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat’’, dimana terkait dengan tujuan untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya (Sobur, 2004:12). Istilah Semiotika yang dimunculkan oleh Charles Sanders Peirce memuat bahwa yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda-tanda: tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri –sejauh terkait dengan pikiran manusia- seluruhnya terdiri dari tanda-tanda (Sobur, 2004:13).

Teori yang dikemukakan Peirce menjadi teori utama dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penanda. Peirce berkeinginan untuk mengidentifikasi partikel dasar tanda dan menggabungkan kembali semua komponen tersebut dalam satu struktur tunggal. Peirce ingin membongkar bahasa secara keseluruhan (Sobur, 2004:97). Peirce berkeyakinan bahwa tanda tidak pernah merupakan suatu entitas yang sendirian, namun memiliki tiga aspek didalamnya. Peirce membuat contoh adanya kepertamaan, yaitu tanda itu sendiri. Kekeduaan adalah objeknya, dan penafsirnya –unsur pengantara- adalah contoh keketigaan. Keketigaan dalam konteks pembentukan tanda ini membangkitkan semiotika yang tidak berbatas. Agar dapat berdiri sebagai suatu tanda, maka tanda harus ditafsirkan artinya harus ada penafsir (Sobur, 2004:41).

Gambar II.1

Unsur Makna Menurut Peirce Ikon

(6)

Panah dua arah dalam gambar unsur makna Peirce diatas digunakan untuk menekankan setiap istilah hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan unsur yang lain. hasil interaksi ketiganya dalam pikiran seseoranglah yang memunculkan makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda. Menurut Peirce, sesuatu yang harus digunakan agar tanda berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda akan selalu berada dalam hubungan triadik yaitu antara ground, object, interpretant. Tanda yang berkaitan dengan ground dibagi menjadi qualisign, kualitas yang ada pada tanda. Sinsign, kenyataan yang ada pada tanda. Legisign, norma yang terkandung dalam

tanda (Sobur, 2004:41).

Kode merupakan system pengorganisasian tanda. Kode mempunyai sejumlah unit (atau kadang satu unit tanda). Dalam semiotic, kode dipakai untuk merujuk pada struktur perilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai kumpulan kode-kode. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode. Pertama paradigmatic yang merupakan sekumpulan tanda dan dari dalamnya dipilih satu untuk digunakan. Dalam semiotic, paradigmatic digunakan untuk mencari symbol-simbol yang ditemukan dalam teks yang bisa membantu member makna. Kedua, sintagmatik yang merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih. Dalam bahasa misalnya, kosakata adalah paradigm dan bahasa adalah sintagma (Kriyantono, 2008).

(7)

Ahli semiotika lain, Saussure memberikan sumbangan yang berarti juga pada perjalanan semiotika sebagai suatu studi tentang tanda. Setidaknya ada lima pandangan yang disumbangkan oleh Saussure dalam kaitan dengan strukturalisme, antara lain pandangan tentang :

1. Penanda (signifier) dan petanda (signified) 2. Bentuk (form) dan isi (content)

3. Bahasa (Langue) dan tuturan (parole)

4. Sinkronik (synchronic) dan diakronik (diachronic)

5. Sintagmatik (syntagmatic) dan paradigmatik (associative)

Saussure mendudukkan tanda dalam konteks komunikasi manusia, dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut penanda (signifier) dan petanda (signified). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna,

meliputi aspek material. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Bila dianalogikan keduanya merupakan dua sisi dari sekeping mata uang (Sobur, 2004:125). Penanda mewakili bentuk isi, sedangkan penanda mewakili konsep atau makna. Berikut ini gambar elemen-elemen makna Saussure :

Gambar II.3

Elemen-Elemen Makna Saussure Sign

Composed of

Signification

Signifier Signified external reality of meaning

(phsycal (mental existence concept)

(8)

Sumber : John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm. 44 dalam Sobur,

2004:125

Pada dasarnya, apa yang disebut sebagai signifier dan signified adalah merupakan produk kultural yang mana hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer atau berada dalam dua hal yang sama dan hanya berdasarkan pada konvensi, kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Signifikasi merupakan hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental. Dapat dikatakan signifikasi adalah upaya untuk memberikan makna terhadap dunia (Sobur, 2004:125).

Roland Barthes, melakukan pengembangan terhadap konsep yang telah dikemukakan oleh Saussure sebelumnya. Barthes menggagas model sistematis untuk menganalisis makna dari tanda-tanda yang diberi nama signifikasi dua tahap. Barthes juga melampaui Saussure dengan membuat penelitian semiotika tidak berhenti pada teks, melainkan mengaitkannya pada struktur sosial yang melatarbelakanginya. Dengan temuan ini, konsep Barthes memberikan tempat bagi area kehidupan sosial dibalik makna. Seiring dengan itu, memungkinkan kajian semiotika menjangkau lebih luas, berkaitan dengan budaya populer dan media massa.

II.2.2 Semiotika dalam Komunikasi Periklanan

Dalam komunikasi periklanan, semiotika tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar, warna, dan bunyi. Iklan disampaikan melalui dua saluran media massa, yaitu (1) media cetak (surat kabar, majalah, brosur, papan iklan, atau billboard dan (2) media elektronika (radio, televisi, film). Pengirim pesan adalah, misalnya, penjual produk, sedangkan penerimanya adalah khalayak ramai yang menjadi sasaran.

(9)

warna yang serupa atau mirip dengan keadaan sebenarnya seperti gambar benda, orang atau binatang. Ikon disini digunakan sebagai lambang.

Kajian sistem tanda dalam iklan juga mencakup objek. Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya. Yang penting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam proses interpretan. Jadi, sebuah kata seksekutif meskipun dasarnya mengacu pada manajer menengah, tetapi selanjutnya manajer menengah ini ditafsirkan sebagai “suatu tingkat keadaan ekonomi tertentu” yang juga kemudian dapat ditafsirkan sebagai “gaya hidup tertentu” yang selanjutnya dapat ditafsirkan sebagai “kemewahan” dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap-tahap itu merupakan segi penting dalam iklan. Proses seperti itu disebut semiosis (Hoed, 2001:97).

Jika ingin menganalisis sebuah iklan pada sebuah majalah, maka kita dapat manganalisis tanda-tanda dan sistem tanda dalam iklan tersebut. Dalam hal ini, peneliti harus mempertimbangkan dengan sebagian atau bahkan dengan semua hal-hal berikut (Berger, 2000):

1. Apakah makna keseluruhan dari iklan itu? Perasaan apa yang di- timbulkannya? Bagaimana iklan itu melakukannya?

2. Bagaimana desain iklan itu? Apakah menggunakan keseimbangan aksial atau bentuk lain? Bagaimana komponen-komponen atau elemen-elemen dasar iklan itu disusun?

3. Apa hubungan yang muncul antara elemen gambar dan elemen tertulis serta mengatakan apa ia pada kita?

4. Bagaimana dengan ruang pada iklan itu? Adakah bidang ruang putih itu penuh dengan elemen-elemen grafis dan tertulis?

5. Tanda-tanda dan lambang-lambang apa yang kita temukan? Peran apa yang dimainkan oleh tanda-tanda dan symbol-simbol itu dalam iklan?

(10)

7. Apa yang dikatakan backgroundd (latar belakang foto) pada kita? Dimana kejadian iklan itu dan arti apa yang dimiliki oleh backgroundd itu?

8. Kegiatan apa yang terjadi dalam iklan itu dan apa artinya? (mungkin dimaksudkan untuk plot atau alur iklan itu).

9. Tema-tema apa yang ada dalam iklan itu? Iklan itu tentang apa? (Plot dalam iklan mungkin mencangkup pria dan wanita yang minum, tetapi temanya mungkin kecemburuan, ketidaksetiaan, ambisi, bujukan, dan sebagainya). 10.Bagaimana mengenai bahasa yang digunakan dalam iklan? Apakah terutama

memberikan informasi, atau menimbulkan semacam respon emosional, atau kedua-duanya? Teknik apa yang digunakan oleh perancang: humor, kebodohan, makna kehidupan, perbandingan, sindiran seksual (dan sebagainya)?

11.Model wajah apa yang digunakan dan kesan apa yang ditimbulkan oleh wajah itu?

12.Bagaimana dengan nilai estetika iklan itu? Bila iklan itu menampilkan foto, apa jenis bidikan kamera yang dipakainya? Makna apa yang terkandung dengan pengambilan jarak jauh, pendek, atau close up? Bagaimana dengan lighting (pencahayaan)? Apakah menggunakan foto berwarna? Bagaimana sisi

pengambilan foto tersebut?

13.Pandangan sosiologi, politik, ekonomi, ataukah budaya yang dipancarkan secara tidak langsung dalam iklan itu? (Iklan itu mungkin menggambarkan tentang sepasang blue-jeans tetapi mungkin secara tidak langsung ia merefleksikan masalah-masalah sexism, perbedaan-perbedaan, bentuk pemikiran yang tetap, penyesuaian, konflik generasi, kesendirian, elitisme, dan sebagainya).

(11)

foto iklan juga merupakan tanda yang dapat diinterpretasikan oleh pembacanya. Namun untuk membacanya, dalam buku Research Practice for Cultural Studies dikatakan bahwa untuk membacanya harus ‘’dibaca’’ dalam kerangka kultural dan konteks ideologinya (Gray, 2003:14).

Salah satu metode dalam penelitian semiotika untuk membaca makna tanda adalah signifikasi dua tahap yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Dimana konsep Barthes ini nantinya akan digunakan dalam penelitian. Roland Barthes digambarkan sebagai seorang tokoh strukturalis yang sangat giat mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean juga merupakan kritikus karya sastra Prancis yang ternama (Sobur, 2004:65).

Barthes membagi signifikasi kepada dua tahap yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah sistem signifikasi tingkat pertama dan konotasi adalah sistem signifikasi tingkat kedua. Denotasi merupakan makna paling nyata dari tanda yang dibangun oleh relasi antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap kenyataan eksternalnya. Konotasi ini ditujukan Barthes untuk menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca. Ringkasnya, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya (Sobur, 2004:128).

(12)

Gambar II.2

Peta Tanda Roland Barthes

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotative)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotics, NY : TotemBooks, hlm. 51 dalam

Sobur, 2004 : 69.

Dari gambar peta tanda Barthes di atas jelas terlihat bagaimana signifikasi dua tahap yang dimaksudkan oleh Barthes. Dimana tanda denotasi yang merupakan hubungan antara penanda dan petanda melandasi keberadaan tanda konotasi dibawahnya. Dapat dipahami bahwa tanda konotasi bukanlah sekedar makna tambahan, namun makna yang hadir seiring dengan keberadaan tanda denotasi. Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut oleh Barthes sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2004 : 71).

(13)

Dalam signifikasi tahap dua inilah mitos bekerja, tanda konotasi seringkali dikaitkan dengan operasi ideologi. Mitos dalam hal ini merupakan suatu produk kelas sosial yang telah memiliki suatu dominasi. Mitos disebut-sebut sebagai suatu wahana dimana suatu ideologi mewujud. Van Zoest mengatakan ideologi yang membangun suatu teks dapat ditemukan dengan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya (Sobur, 2004:129). Pada tataran denotasi, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian rupa sehingga menghasilkan tanda. Pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Tanda konotatif bukan sekedar makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian denotatif yang melandasi keberadaannya.

Roland Barthes melakukan pemilahan penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas yang runut disebutnya dengan nama leksia-leksia (lexias). Dimana leksia-leksia merupakan satuan-satuan pembacaan dengan panjang pendek bervariasi. Suatu dampak dan fungsi yang khas akan didapatkan bila sepotong teks dibandingkan dengan teks lain yang berada disekitarnya, hal ini disebut leksia. Sebuah leksia bisa berbentuk apa saja, berupa sepatah-dua patah kata, kelompok kata, beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf (Budiman, 2003:53).

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok yang didalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode tersebut (Sobur, 2004:65-66) adalah :

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan ‘’kebenaran’’ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode ini merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara permunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya dalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembcaan, embaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kitab menemukan suatu tema dalam cerita.

(14)

4. Kode proairetik atau kode tindakan/lakuan dianggpanya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, antara lain semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Namun pada praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita dapat mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Barthes berpendapat realisme tradisional didefenisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu.

Dimensinya tergantung pada kepekatan dari konotasi-konotasi yang bervarisi sesuai dengan momen-momen teks. Pada proses pembacaan, leksia-leksia itu nantinya dapat ditemukan baik pada tataran pertama diantara pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga didapatkan aneka fungsi pada tataran-tataran pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman, 2003:54). Selain lima kode utama diatas, ada beberapa konsep penting dalam analisis menggunakan peta tanda Barthes lainnya. Antara lain :

1. Penanda dan petanda, Hjemslev mendefenisikan tanda sebagai suatu keterhubungan antara wahana ekspresi dan wahana isi. Sedangkan menurut Peirce tanda adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi yang hadir dalam proses interpretasi yang mengalir (Sobur, 2004:16-17). Tanda dalam hal ini adalah kesatuan bentuk antara penanda dan petanda. Dimana penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna, sedangkan petanda adalah gamabran mental ataupun pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Hubungan antara keduanya disebut signifikasi oleh Peirce (Sobur, 2004:125). Umberto Uco, meyakini bahwa tanda dapat digunakan untuk menyatakan kebenaran, sekaligus juga kebohongan (Sobur, 2004:18).

(15)

atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu, bersifat objektif. Sedangkan konotasi adalah diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Devito menjelaskan denotasi sebuah kata adalah defenisi objektif kata tersebut, sedangkan konotasi adalah makna subjektif atau emosionalnya (Sobur, 2004:263). Objektif disini berarti bersifat umum, sedangkan subjektif dimaksudkan sebab ada pergeseran dari makna umum karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Konotasi memberikan peluang interpretasi yang luas sebab berkaitan dengan pengalaman pribadi atau latar belakang masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi yang emotif.

3. Sintagmatik dan paradigmatik, Barthes yang merupakan pengikut Saussurean, dalam konsepnya mengikuti jalur Saussure yang menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk di dalam hubungan dan perbedaan antara unsur-unsur bahasa berdasarkan kegiatan mental manusia. Sisi pertama, dalam suatu wacana, kata-kata bersatu demi suatu kesinambungan tertentu yang yang ditunjang oleh keluasan, hubungan inilah yang disebut dengan sintagma. Dalam suatu sintagma, suatu istilah seringkali kehilangan valensinya karena istilah tersebut dipertentangkan dengan istilah lain yang mendahului dan mengikutinya atau dengan keduanya. Di sisi lain, di luar wacana, kata-kata yang memiliki kesamaan bergabung dalam ingatan yang membentuk kelompok-kelompok tempat berbagai hubungan berkuasa, hubungan seperti inilah yang disebut dengan hubungan asosiatif (Kurniawan, 2001:62-63).

(16)

Hubungan paradigmatik atau asosiatif dalam contoh di atas menunjuk pada hubungan antara kata yang dapat saling dipertukarkan, misalnya Toni dengan Winda, kucing, sapu, ikan, dan juga unsur lain dalam bahasa yang dapat

menggantikannya.

4. Mitos dan ideologi, Barthes memahami mitos sebagai cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Mitos merupakan rangkaian konsep yang saling berkaitan. Mitos berada pada suatu sistem pemaknaan pada tataran kedua. Mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya (Sobur, 2004:71).

Mitos bukanlah sebuah objek, konsep ataupun gagasan. Namun lebih dari itu mitos adalah suatu cara signifikasi, suatu bentuk. Mitos tidak ditentukan oleh objek ataupun materi pesan yang disampaikan, namun lebih kepada bagaimana mitos disampaikan. Mitos merupakan produk kelas sosial yang telah memiliki dominasi. Contoh mitos saat ini misalnya, maskulinitas, feminisme dan lain-lain. Mitos bekerja merupakan bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Dalam sosiologi Durkheim dikatakan bahwa mitos adalah suatu jenis tuturan, sesuatu yang hampir mirip dengan ‘’representasi kolektif’’.

(17)

budaya, dan politisnya, dan mengekspos sifat dasar teks yang ideologis (Gray, 2003:13).

II.2.3 Representasi

Representasi menurut David Croteau dan William Hoynes merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Melalui pengertian ini kita dapat memahami bahwa dalam proses representasi, tanda yang akan digunakan telah mengalami seleksi sebelumnya. Dalam artian ada tanda yang dipakai dan yang lain diabaikan. Tanda yang dipakai merupakan sesuatu yang mendukung kepentingan dari orang yang merepresentasikan. Danesi mendefenisikan representasi ini sebagai suatu proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Lebih tepatnya diartikan sebagai penggunaan tanda-tanda (misalnya gambar, suara, tulisan dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik (Danesi, 2010:3).

Representasi sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, sekelompok orang, gagasan ataupun pendapat tertentu ditampilkan dalam teks. Ada dua hal yang perlu ditandai dalam representasi. Pertama, apakah seseorang, sekelompok orang, gagasan ataupun pendapat tersebut telah ditampilkan sebagai mana mestinya. Apakah ditampilkan sesuai adanya atau malah diburukkan. Kedua, bagaimana representasi itu ditampilkan. Hal ini menyangkut akan dikemas seperti apakah suatu representasi. Kemasan disini adalah bisa diartikan sebagai unsur-unsur seperti apakah yang dipilih untuk menampilkan representasi, misal kalimat, gambar, foto seperti apa yang dipilih dalam menampilkan suatu representasi (Mondong, 2011:115-116)

(18)

sebagainya. Pemakaian kata, kalimat atau proposisi tertentu akan membawa makna tertentu pula ketika diterima khalayak. Level ketiga, bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial, kepercayaan dominan dan sebagainya yang ada dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:14).

II.2.4. Foto Sebagai Media Iklan

Defenisi fotografi secara luas adalah paduan seni dan teknik memindahkan gambar yang ada di alam ke atas benda yang peka atau sensitif terhadap cahaya yang disebut dengan film (sensor semikonduktor pada kamera digital) dengan mempergunakan alat bantu kamera. Istilah fotografi berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani, yaitu photos yang berarti cahaya dan graphein yang berarti menggambar. Sementara itu, kata kamera berasal dari bahasa Latin Camera Obscura yang berarti kamar gelap atau dark room (Mulyana, 2008:5).

Foto yang bagus harus memiliki beberapa kualitas. Pertama, foto harus fokus sehingga maknanya yang penting bisa terlihat dan dipahami pemirsanya. Kedua, foto harus memiliki exposure yang bagus. Kualitas foto yang bagus lainnya adalah foto bebas dari cacat (Rolnicki, 2008:322).

Salah satu teknik yang digunakan dalam fotografi adalah fotografi digital. Fotografi digital memudahkan kita memahami dunia fotografi. Fotografi digital,

sebagai lawan dariyang menggunakan media

(19)

Fotografi periklanan merupakan bagian dari aktivitas promosi pemasaran. Fotografi periklanan terkait dengan berbagai ranah atau aktivitas yang memerlukan promosi atau tujuan publikasi. Diantaranya adalah makanan, arsitektur, fashion, still life (benda mati yang seolah hidup), anak-anak, olahraga, dan lainnya. Fotografi

periklanan harus memiliki kekuatan atraktif yang mengandung komposisi warna yang menarik (expressive power of photography) dan semua unsur ini harus mampu berbicara atau bercerita untuk mewakili produk yang dipublikasikan.

(20)

II. 3 Model Teoritik

Gambar II.3

Bagan Model Teoritik Penelitian Representasi Citra Perempuan dalam Foto Iklan Fashion di Majalah Gogirl!

Desain Kaus Medan

Semiotika Roland Barthes Level Teks :

1. Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan

2. Denotasi dan Konotasi

Level Konteks : 1. Mitos

Objek Penelitian

Foto iklan pada rubrik “Fashion Spread” dalam Majalah Gogirl!

edisi Januari-Desember 2012

1. Makna dalam foto iklan fashion pada majalah Gogirl!

Gambar

Gambar II.1
Gambar II.2
Gambar II.3

Referensi

Dokumen terkait

Pilot plant ThO2 dari tailing pengolahan monasit kapasitas 100 kg/hari merupakan proses untuk mengambil thorium dalam bentuk oksida ThO2 yang terdiri dari 3 tahap

Dalam hal ini, Indonesia telah mempunyai pengalaman berpuluh tahun dengan Daftar Obat Esensial, yang kemudian dikembangkan menjadi Formularium Nasional sebagai instrumen

[r]

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 38 .Tahun 2015 tentang Pemberian Gaji/ Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam Tahun

Batasan Masalah pada Perancangan dan Implementasi Aplikasi Kamus Bahasa Biak pada android yaitu menerjemahkan bahasa Biak ke bahasa Indonesia maupun sebaliknya, kamus ini

The ability of the powered prosthesis and controller to provide level walking functionality was assessed by characterizing the knee and ankle joint biome- chanics (e.g., joint

lalu lintas ya, jadi saya berpikirnya karena memang tidak lewat jalur- jalur seperti itu, saya anggap gak jadi masalah kalo gak pake, jadi anak gakmau yaudah, pake yang

Kriptografi merupakan ilmu yang digunakan untuk mengamankan data. Tetapi kriptografi perlu di- update atau dimodifikasi untuk meningkatkan keamanan. Dalam penelitian