• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Behaviour Skill Training untuk Meningkatkan Asertivitas pada Korban Bullying

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Behaviour Skill Training untuk Meningkatkan Asertivitas pada Korban Bullying"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Asertivitas

1. Pengertian Asertivitas

Menurut Sharp & Cowie (1994) asertivitas adalah kemampuan seseorang untuk dapat berespon dengan tegas dalam mempertahankan hak pribadinya tanpa melanggar hak-hak orang lain. Seseorang yang asertif akan merespon perilaku

(2)

kelemahan diri. Asertif yaitu percaya bahwa pendapat, pemikiran, kepercayaan, dan perasaan yang dimiliki sama pentingnya dengan yang orang lain miliki. Menjadi asertif berarti bahwa seseorang bertanggung jawab atas kehidupan dan pilihan-pilihan yang ia ambil, yaitu harus mengambil keputusan sendiri, bukan mengikuti pilihan orang lain. Dengan demikian, tidak akan menyalahkan orang lain atau situasi atas apa yang terjadi pada dirinya. Jika bertanggung jawab atas kehidupan yang dimiliki, maka akan dapat mengubah bagian yang tidak diinginkan. Akan tetapi jika menyalahkan situasi, maka akan tidak berdaya untuk mengubahnya (Rees & Graham, 1991).

Berdasarkan uraian di atas, asertivitas adalah kemampuan seseorang berespon dengan tegas dalam mempertahankan hak pribadinya tanpa melanggar hak-hak orang lain denga cara berkomunikasi yang jelas, spesifik, dan tidak ambigu, dimana pada waktu yang bersamaan menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan perlakuan orang lain dalam situasi tertekan.

2. Indikator-indikator Asertivitas

Menurut Alberti dan Emmons (1995 dalam Stewart, 2002) asertivitas seseorang dapat diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut:

1. Mampu menjadikan lawan bicara pada kedudukan yang sama dengan dirinya, sehingga kedua belah pihak memiliki kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dan tidak ada yang merasa kalah.

(3)

3. Inisiatif dalam berinteraksi, termasuk menghindari kemungkinan terjadinya kekerasan.

4. Mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pendapat orang lain.

5. Mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cara yang tepat tanpa ada perasaan cemas yang berlebihan.

6. Merespon secara tepat perilaku yang melanggar hak dirinya sendiri ataupun orang lain.

3. Asertivitas pada Korban Bullying

Respon seseorang terhadap perilaku bullying dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu asertif, agresif, pasif konstruktif, dan pasif tidak konsruktif (Sharp & Cowie, 1994). Saat merespon secara asertif, korban akan menyatakan niat, harapan, atau perasaan mereka secara jelas dan langsung. Mereka akan tetap bertahan terhadap menipulasi atau taktik agresif. Dengan demikian, mereka tetap dapat membela hak-haknya tanpa melanggar hak orang lain.

(4)

Respon asertif tidak hanya berupa pesan verbal, tetapi juga melibatkan kontak mata dan bahasa tubuh. Para ahli setuju bahwa teknik-teknik asertivitas, dengan cara interaksi yang berbeda dari respon pasif dan agresif, merupakan serangkaian strategi yang efektif, dimana korban diajarkan untuk memberdayakan dirinya sendiri (Sharp & Cowie, 1994).

Berbeda dengan respon asertif, respon agresif meliputi setiap respon yang bertujuan untuk menyakiti, merusak, atau menguasai orang yang membully, misalnya membalas nama panggilan yang buruk, bersekongkol dengan orang lain untuk membalas, atau menyerang secara fisik. Respon tersebut malah akan memperburuk situasi atau membuat pelaku semakin ingin melanjutkan perlakuan mereka terhadap korban. Dalam agresi tidak ada ruang untuk berkompromi, bahkan merupakan interaksi satu arah, yaitu bagaimana seorang yang agresif mengekspresikan keinginannya secara terus-menerus dan berusaha memaksa orang lain agar menyetujuinya.

(5)

Selain melalui respon asertif, agresif, atau pasif tidak konstruktif, ada juga korban yang merespon dengan pasif konstruktif sesuai, misalnya keluar dengan cepat dari situasi bullying, memberi tahu guru, atau mencari dukungan dari teman. Melalui respon pasif konstruktif, korban tidak melakukan tindakan langsung untuk menghadapi perilaku bullying, tetapi mereka melakukan tindakan yang dapat mencegah bullying kembali terjadi. Walau demikian, menghindari pelaku dapat mengakibatkan bolos sekolah atau membuat korban menjadi semakin tidak memiliki kekuatan. Korban bullying merasa diri mereka tidak berdaya untuk menyelesaikan suatu situasi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat enam indikator asertivitas, yaitu mampu menjadikan lawan bicara pada kedudukan yang sama dengan dirinya, mampu membuat dan percaya pada keputusan sendiri dalam karir, hubungan, gaya hidup, dan jadwal kegiatan,inisiatif dalam berinteraksi, mampu menolak dan menyatakan ketidaksesuaian, mampu menyatakan perasaan, dan merespon dengan tepat perilaku yang melanggar hak dirinya atau orang lain. Respon seseorang terhadap perilaku bullying dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu asertif, agresif, pasif konstruktif, dan pasif tidak konstruktif.

B.Behaviour Skill Training

1. Pengertian Behaviour Skill Training

Behaviour skill training adalah cara lain dalam mengajarkan suatu keahlian/keterampilan, dimana didalamnya terdapat empat prosedur yaitu

(6)

bersama-sama dalam sesi pelatihan untuk membantu seseorang mendapatkan keahlian/keterampilan yang bermanfaat seperti, keterampilan sosialisasi atau keahlian job-related. Prosedur behaviour skill training secara khusus digunakan untuk mengajarkan keahlian/keterampilan dengan konteks bermain peran (Miltenberger, 2012).

2. Teknik Behaviour Skill Training

Pada dasarnya suatu proses pelatihan sama dengan proses belajar, dimana pelatihan merupakan suatu cara untuk belajar, membiasakan diri, atau mengajarkan seseorang supaya menjadi tahu, terbiasa, atau terampil mengenai sesuatu yang dipelajarinya, baik dalam cakupan kognitif, afektif, maupun psikomotor(Kohls, 1995). Behaviour skill training termasuk salah satu metode/teknik dari terapi perilaku, yang merupakan salah satu bentuk dari pelatihan keterampilan sosial (Corey, 1996). Wolpe dan Lazarus merupakan terapis perilaku yang dengan jelas membedakan asertif dengan agresif, serta menggunakan berbagai prosedur roleplay sebagai bagian dari pelatihan asertif (Sert, 2003). Fokus dari behaviour skill training ini adalah untuk mempelajari teknik, bukan untuk menjelaskan bagaimana atau mengapa seseorang berperilaku dengan cara tertentu (Rees & Graham, 1991).

Behaviour skill training sangat bermanfaat untuk 5 karakter individu sebagai berikut: (Rees & Graham, 1991)

(7)

b. Individu yang mengalami kesulitan dalam berkata tidak.

c. Individu yang sangat sopan dan mengijinkan orang lain untuk memanfaatkan dirinya.

d. Individu yang mengalami kesulitan untuk mengekspresikan afeksi dan respon positif lainnya.

e. Individu yang merasa tidak memiliki hak untuk mengekspresikan pemikiran, kepercayaan, dan perasaannya.

Secara keseluruhan behaviour skill training biasanya direkomendasikan untuk individu yang mengalami kesulitan dalam membela hak-hak pribadinya, serta mereka yang merespon situasi sulit secara pasif atau agresif. Penelitian mengenai perilaku dan karakteristik korban bullying mengindikasikan bahwa kelompok ini membutuhkan suatu program pelatihan untuk mempelajari kemampuan asertif.

Asumsi dasar yang melandasi behaviour skill training adalah bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan diri atau bahkan mengatakan tidak pada hal yang mereka anggap tidak sesuai dengan mereka namun dengan cara yang tepat. Salah satu tujuan dari behaviour skill training adalah untuk meningkatkan kemampuan individu untuk membuat pilihan dalam berperilaku asertif maupun tidak pada situasi tertentu. Tujuan lain adalah untuk mengajarkan seseorang dalam mengekspresikan diri mereka melalui cara-cara yang merefleksikan sensitivitas terhadap perasaan dan hak orang lain (Corey, 1996).

(8)

tersebut secara spesifik sesuai dengan perlakuan bullying yang telah diterima. Teknik tersebut akan memberikan perasaan aman serta membuat individu merasa lebih memiliki kontrol dan kekuatan untuk mengatasi situasi tersebut. Pelatihan ini bagi korban bullying dapat membantu untuk:

a. Memperluas strategi coping dalam menghadapi situasi bullying,

b. Menyediakan kesempatan untuk melatih penerapan strategi asertif ketika dihadapkan pada situasi bullying, dan

c. Membantu individu merasa lebih percaya diri dan meningkatkan self-esteem.

Dalam penelitian ini, terdapat enam teknik yang akan diajarkan kepada korban bullying untuk meningkatkan kemampuan asertif dalam diri mereka (Sharp, Cowie, & Smith, 1994). Teknik-teknik tersebut adalah membuat pernyataan asertif, melawan manipulasi dan ancaman, merespon nama panggilan, meninggalkan situasi bullying, mencari dukungan dari orang sekitar, dan tetap tenang dalam situasi menekan ;

a. Membuat pernyataan asertif

Teknik ini bergantung pada kombinasi dari pesan verbal dan bahasa tubuh yang menunjukkan percaya diri. Membuat pernyataan asertif melibatkan kejelasan, kejujuran, dan disampaikan secara langsung. Hal ini berarti menyatakan secara spesifik dan dengan tenang apa yang diinginkan atau bagaimana perasaan mereka mengenai suatu kejadian atau situasi. Teknik ini dapat dilakukan dengan:

(9)

2) Pernyataan yang disampaikan berisi perasaan, pikiran, kepercayaan, atau nilai-nilai pribadi terhadap perilaku orang lain

Bahasa tubuh yang sebaiknya ditampilkan saat menyampaikan pernyataan tersebut yaitu berdiri tegak dan melihat mata lawan bicaranya, suara terdengar tenang dan tidak terbata-bata, ekspresi wajah netral, serta tersenyum pada waktu tertentu. Tangan dan lengan seharusnya rileks dan berada di sisi tubuh. Menyilangkan tangan, menutup mulut dengan tangan atau terlihat gelisah merupakan perilaku defensif. Tangan di pinggang atau menunjuk lawan bicara dapat dipersepsikan secara agresif. Korban bullying

perlu melatih cara bicara terhadap orang lain, tidak hanya konten bicaranya saja. Bagi korban bullying, pernyataan asertif dapat berguna ketika merespon nama panggilan, ejekan, atau provokasi fisik yang ringan. Mereka dapat belajar untuk mengatakan “Saya tidak suka jika kamu berbuat seperti itu. Saya ingin kamu berhenti”.

b. Melawan manipulasi dan ancaman

Ketika individu berada dalam tekanan, mereka dapat memilih di antara dua teknik asertif. Pertama adalah mengatakan ‘Tidak’ atau bahkan

‘Tidak, saya tidak mau’. Kedua, adalah menggunakan teknik broken

record, yaitu mengulangi pernyataan asertif.

Belajar untuk mengatakan ‘Tidak’ merupakan hal yang cukup sulit.

(10)

mengatakan ‘Tidak’, mereka harus belajar bahwa mereka memiliki hak

untuk berkata ‘Tidak’ dan juga tahu cara yang tepat untuk

menggunakannya. Jika mereka merasa nyaman untuk menuruti permintaan orang lain, maka mereka seharusnya mengatakan ‘Iya’. Mereka juga

sebaiknya mampu untuk berkompromi mengenai suatu solusi yang dapat menyenangkan semua pihak. Hanya saja, jika mereka merasa ‘Tidak, saya

benar-benar tidak ingin melakukannya’, maka mereka seharusnya mengatakan ‘Tidak’. Manipulasi, ancaman, dan bujukan seringkali

berdasarkan alasan moral atau emosional.

Ketika anak merasa sulit untuk menolak dan membela diri terhadap rentetan ancaman dan janji-janji, satu cara yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri adalah tetap mengulang pernyataan asertif yang sama sampai anak lain menyerah. Teknik ini disebut dengan “broken

record”, dilakukan dengan cara:

1) Mengetahui hal yang diinginkan atau tidak diinginkan 2) Menyatakan dengan singkat dan jelas

3) Jika memungkinkan, gunakan kata ‘Tidak’ untuk lebih menegaskan pernyataan yang dimaksud

(11)

percobaan. Walau demikian, mereka yang diajarkan teknik ini juga perlu menilai waktu yang tepat untuk pergi dari situasi.

c. Merespon nama panggilan

Teknik fogging dapat dilakukan ketika pernyataan asertif yang disampaikan belum bisa membuat orang lain berhenti memanggil dengan nama-nama tertentu. Pada saat fogging, korban merespon setiap sebutan dengan pernyataan netral yang bertujuan untuk tidak memperuncing suasana, misalnya dengan mengatakan “Kamu mungkin berpikir seperti itu”, “Mungkin saja”, “Mungkin kamu melihatnya seperti itu”, “Jadi

mengapa?”. Pelaku akan menjadi lelah jika korban tetap tenang dan tidak

peduli dalam menghadapi perlakuan mereka.

Pada saat-saat tertentu, ketika korban menghadapi situasi dimana terdapat lebih dari satu atau dua orang yang mengejeknya, fogging bukanlah teknik yang tepat. Misalnya yaitu ketika mereka berjalan di koridor sekolah atau keluar toilet dan terdapat sekelompok orang yang mengejek dan berkomentar. Dalam situasi ini, anak dapat diajarkan positive self-talk, yaitu menyatakan sesuatu yang positif terhadap diri sendiri. Dengan berkonsentrasi terhadap pesan positif seperti “Saya dapat tetap tenang”,

“Saya luar biasa”, dan lain sebagainya, akan sangat mungkin untuk menahan

pesan dari luar sampai pada tahap tertentu. d. Meninggalkan situasi bullying

(12)

serta melihat mata pelaku. Ketika menghadapi 2-3 orang pelaku, pilih jalan keluar di samping daripada dari belakang atau mendorong pelaku. Pada waktu-waktu tertentu (misalnya mulai terjadi kekerasan fisik), hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah lari secepat mungkin.

Jika terjadi saat ketika korban dikelilingi oleh banyak pelaku dan tidak ada jalan keluar, korban dapat diajarkan untuk menggunakan kombinasi dari berat badan dan strategi mendorong kerumunan tanpa menjadi kasar. Dengan menyilang tangan di depan tubuh sejajar dengan dada, korban dapat mendorong dan membungkuk di antara dua orang, kemudian buat celah demi celah. Setelah itu, mereka dapat meninggalkan situasi secepat mungkin dan segera memberi tahu orang lain.

e. Mencari dukungan dari orang sekitar

Dalam menghadapi situasi bullying, korban tidak harus menghadapi situasi secara mandiri. Individu dapat meminta bantuan terhadap teman atau guru untuk menghadapi pelaku. Mungkin terdapat banyak orang sekitar selama insiden bullying. Berteriak untuk menarik perhatian orang lain dapat mengakhiri insiden dengan segera. Korban yang secara terus menerus dibully dapat meminta teman lain untuk mendukung mereka jika hal tersebut kembali terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

1) Identifikasi orang-orang di lingkungan sekitar yang mungkin suportif

(13)

3) Meminta kesediaan untuk membantu ketika situasi bullying kembali terjadi

4) Menceritakan pengalaman bullying yang pernah dialami beserta orang-orang yang terlibat sebagai pelaku.

f. Tetap tenang dalam situasi menekan

Mengajarkan individu teknik untuk rileks akan membantu mereka tetap tenang dan percaya diri di dalam situasi bullying.

Program behavioral skill training (BST) ini merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku. Metode ini bertujuan untuk membantu subjek memperoleh kemampuan tertentu yang akan bermanfaat dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi (Miltenberger, 2012). Dalam behaviour skill training (BST), terdapat empat prosedur yang akan digunakan yaitu:

a. Instruksi

Instruksi merupakan penjelasan yang tepat mengenai perilaku terhadap subjek. Instruksi harus meliputi deskripsi perilaku yang diharapkan, serta situasi untuk memunculkan perilaku tersebut. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dari instruksi yaitu:

1) Disampaikan pada level yang mudah dipahami oleh subjek

2) Disampaikan oleh seseorang yang memiliki kredibilitas, misalnya orangtua, guru, atau psikolog

(14)

4) Instruksi harus disertai dengan modeling jika mengobservasi perilaku akan meningkatkan proses pembelajaran

5) Diberikan hanya jika subjek memiliki perhatian penuh

6) Subjek harus mengulangi instruksi untuk memastikan bahwa ia telah memahaminya dengan tepat

b. Modeling

Melalui modeling, subjek mengobservasi perilaku model dan kemudian menirunya. Seperti mencontohkan salah satu teknik perilaku asertif yang di peragakan oleh model kemudian diobservasi oleh subjek, kemudian subjek tiru kan. Bandura menyatakan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dari modeling, yaitu:

1) Model menampilkan perilaku yang tepat

2) Model mewakili subjek yang mengobservasi model tersebut atau memiliki status yang lebih tinggi (misalnya memiliki usia yang sama atau dilakukan oleh guru)

3) Perilaku yang ditampilkan sesuai dengan perkembangan atau tingkat kemampuan subjek

4) Adanya perhatian penuh dari subjek untuk mempelajari perilaku model 5) Dilakukan dalam konteks yang tepat (misalnya di situasi sebenarnya

atau dalam konteks roleplay)

6) Perilaku tersebut diulang sesering mungkin agar dapat ditiru dengan benar

(15)

8) Memberikan kesempatan kepada subjek untuk meniru perilaku tersebut segera setelah mereka mengobservasi model serta langsung memberikan penguatan ketika mereka menampilkan perilaku yang tepat.

c. Latihan

Latihan merupakan kesempatan subjek untuk melatih perilaku setelah menerima instruksi dan melihat demonstrasi dari model. Latihan merupakan bagian penting dari prosedur BST, yaitu sebagai cara untuk memastikan bahwa subjek telah mempelajari perilaku yang tepat, menyediakan kesempatan untuk menguatkan perilaku, dan menyediakan kesempatan untuk menilai dan mengoreksi kesalahan yang mungkin terjadi saat menampilkan perilaku tersebut. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dari latihan yaitu:

1) Perilaku harus dilatih dalam konteks yang sesuai, yaitu di situasi sebenarnya atau saat roleplay dalam situasi yang mirip dengan situasi sebenarnya

2) Perilaku yang dilatih sebaiknya dimulai dari level yang mudah untuk kemudian meningkat ke level yang sulit

3) Harus selalu diberi penguatan segera setelah menampilkan perilaku yang tepat 4) Harus selalu diberi feedback ketika menampilkan perilaku yang hampir tepat

atau salah

5) Harus selalu dilatih hingga menampilkan perilaku yang tepat dalam beberapa kali percobaan.

(16)

Segera setelah subjek melatih perilaku, mereka harus diberi feedback, yang meliputi pujian atau penguatan untuk perilaku yang tepat. Feedback juga berisi koreksi terhadap kesalahan atau instruksi lanjutan untuk meningkatkan penampilan. Efektivitas dari feedback dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:

1) Diberikan segera setelah perilaku ditampilkan

2) Harus selalu berupa pujian atau penguatan lain untuk beberapa aspek perilaku. Jika perilaku yang ditampilkan belum tepat, subjek sebaiknya tetap dipuji karena kesediaannya untuk mencoba.

3) Pujian sebaiknya deskriptif, berisi perkataan atau perbuatan subjek yang sudah tepat

4) Saat mengoreksi perilaku, sebaiknya sampaikan instruksi mengenai perilaku yang lebih tepat dan cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilakunya.

5) Beri feedback yang korektif satu per satu atau tahap demi tahap, agar subjek tidak merasa kewalahan dalam menerimanya.

(17)

a. Lebih efisien karena modeling dan instruksi disampaikan kepada kelompok b. Setiap anggota kelompok belajar dengan melihat anggota lain melatih

kemampuan dan menerima feedback mengenai penampilannya

c. Setiap anggota kelompok belajar mengevaluasi penampilan anggota lain dan memberi feedback

d. Variasi dari setiap anggota kelompok akan mempermudah proses generalisasi e. Nilai penguatan terhadap perilaku yang tepat akan meningkat jika pujian juga

berasal dari anggota kelompok lain, tidak hanya dari fasilitator

Menurut Alberti dan Emmon, kelompok akan menyediakan suatu laboratorium bagi setiap anggotanya untuk bekerja pada masalah dan tujuan yang sama. Selain itu, oleh karena pelatihan ini fokus pada situasi sosial yang melibatkan kecemasan, kelompok akan memberikan kesempatan untuk menghadapi dan menantang kesulitan mereka dalam lingkungan yang aman dan terstruktur. Di saat mereka mempelajari keterampilan baru, mereka memiliki keuntungan berupa penguatan sosial (Corey, 1996).

(18)

menerima dan melihat demonstrasi dari model. Feedbak merupakan berisi pujian atau penguat untuk perilaku yang tepat dan koreksi terhadap kesalahan atau instruksi lanjutan untuk meningkatkan penampilan. Pada behavior skill training

terdapat enam teknik yang diajarkan, yaitu membuat pernyataan asertif, melawan manipulasi dan ancaman, merespon nama panggilan, meninggalkan situasi

bullying, mencari dukungan orang sekitar, dan tetap tenang dalam situasi menekan.

C. Bullying

1. Pengertian Bullying

Bullying merupakan suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok anak dengan niat menyakiti atau mengganggu anak lain yang tidak dapat membela dirinya sendiri. Menurut Olweus, terdapat tiga kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan suatu perilaku sebagai bullying, yaitu (a) terdapat perilaku negatif atau agresif yang dilakukan secara sengaja (b) perilaku tersebut dilakukan terus-menerus, berulang kali dan sepanjang waktu (c) serta terdapat kesenjangan kekuatan (power)antara pelaku dan korban, dimana korban tersebut mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri. Korban bullying

(19)

Menurut Coloroso (2007), bullying merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja, dan bertujuan untuk melukai korbannya baik secara fisik maupun emosionalnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bullying adalah bentuk perilaku mengganggu yang dengan sengaja dilakukan dan secara berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang dianggap lemah, sehingga korban mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri.

2. Karakteristik Perilaku Bullying

Seorang siswa menjadi korban bullying ketika siswa lain atau beberapa orang siswa memperlakukannya seperti hal-hal di bawah ini (Olweus, 2009), yaitu:

a. Mengatakan sesuatu yang kasar dan menyakitkan, atau menjadikannya sebagai suatu hal yang lucu, atau menyebutnya dengan sebutan yang kasar dan menyakitkan,

b. Sama sekali mengabaikan atau mengeluarkannya dari kelompok, atau meninggalkannya dengan tujuan tertentu,

c. Memukul, menendang, menekan, mendorong, atau menguncinya di dalam sebuah ruangan,

(20)

e. dan hal menyakitkan lainnya seperti yang telah disebutkan di atas.

3. Korban Bullying

Menurut Olweus (2009), korban bullying terbagi atas dua kelompok, yaitu: a. Korban submisif/pasif (victim only), yaitu seseorang yang pencemas, merasa tidak aman, pendiam, tertekan dengan pandangan diri yang negatif, terisolasi secara sosial, takut untuk melakukan konfrontasi, dan biasanya tidak agresif. Siswa tersebut menjadi tertindas atau korban dalam interaksi dan hubungan interpersonal, yang dikarakteristikkan dengan adanya ketidakseimbangan kekuatan. Mereka memiliki self-esteem

yang rendah dan jarang melaporkan kejadian bullying karena takut pembalasan (Harris & Petrie, 2003).Selain itu, mereka melihat diri sendiri sebagai seorang yang tidak menarik, bodoh, dan gagal. Mereka menjadi korban jika telah ditindas paling sedikit sebanyak 2-3 kali sebulan selama beberapa bulan terakhir.

(21)

sehingga mereka menjadi penindas siswa lain. Selain telah ditindas paling sedikit sebanyak 2-3 kali sebulan selama beberapa bulan terakhir, mereka juga menindas siswa lain sebanyak 2-3 kali sebulan atau bahkan lebih dari itu.

4. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Perilaku Bullying

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu:

1. Bullies (pelaku bullying) yaitu anak yang secara fisik atau emosional melukai anak lain secara berulang-ulang (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Pelaku bullying sering memperlihatkan fungsi psikososial yang lebih buruk daripada korban bullying dan anak yang sama sekali tidak terlibat dalam situasi bullying (Haynie, dkk, dalam Totura, 2003). Pelaku

bullying juga cenderung memperlihatkan simptom depresi yang lebih tinggi daripada anak yang tidak terlibat dalam perilaku bullying dan simptom depresi yang lebih rendah daripada victim atau korban. Olweus (dalam Moutappa, 2004) mengemukakan bahwa pelaku bullying

(22)

berkonsentrasi, kurang populer dan kurang merasa aman, (3) pada situasi tertentu pelaku bullying bisa menjadi korban bullying. Menurut Astuti (2008) pelaku bullying biasanya agresif baik secara verbal maupun fisikal, ingin populer, sering berbuat onar, mencari-cari kesalahan orang lain, pendendam, iri hati, hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial di sekolahnya.

2. Victim (korban bullying) yaitu murid yang sering menjadi target perilaku agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya menunjukkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa, dkk, 2004). Menurut Byrne dibandingkan teman sebayanya yang tidak menjadi korban, korban bullying cenderung menarik diri, depresi, cemas dan takut akan situasi baru (dalam Haynie, dkk, 2001). Murid yang menjadi korban

(23)

orientasi gender atau seksualnya dipandang inferior, anak yang cerdas, berbakat atau anak yang justru memiliki kelebihan. Ia dijadikan sasarna karena ia unggul. Anak yang gemuk atau kurus, anak yang pendek atau jangkung, anak yang memakai kawat gigi atau kacamata, anak yang berjerawat atau memiliki masalah kulit lainnya.

3. Bully-Victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga menjadi korban perilaku agresif (Andreou, dalam Moutappa, 2004). Craig (dalam Haynie dkk, 2001) mengemukakan bully-victim menunjukkan level agresivitas verbal dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan anak lain.

Bully-victim juga dilaporkan mengalami peningkatan simoptom depresi, merasa sepi dan cenderung merasa sedih dan moody daripada murid lain (Austin & Joseph; Nansel dkk, dalam Totura, 2003).

4. Neutral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau

bullying.

5. Bentuk-bentuk Bullying

Ada tiga bentuk bullying menurut Coloroso (2007) a. Verbal bullying

Kata–kata bisa digunakan sebagai alat yang dapat mematahkan

(24)

tidak menimbulkan rasa sakit pada pelaku namun, sangat menyakitkan bagi korban.

Verbal bullying dapat berupa name-calling (memberi nama julukan),

taunting (ejekan), belittling (meremehkan), cruel-criticsm (kritikan yang tajam), personal defamation (fitnah secara pribadi), racist slurs (menghina ras),

sexually suggestive (bersifat seksual), atau sexually abusive remark (ucapan kasar). Hal ini juga meliputi pemerasan uang atau benda yang dimiliki, panggilan telepon yang kasar, mengintimidasi, catatan tanpa nama yang berisi ancaman, tuduhan atau rumor yang tidak benar.

b. Physical bullying

Bentuk bullying yang paling dapat terlihat dan paling mudah diidentifikasi adalah bullying secara fisik. Bentuk ini seperti, menampar, memukul, mencekik, meninju, menendang, menggigit, menggores, meludahi, atau merusak barang miliki korban.

c. Relational bullying

(25)

menggambar siapa diri mereka dan mencoba menyesuaikan diri dengan teman sebaya.

6. Penyebab Seseorang menjadi Korban Bullying

Pada umumnya, korban bullying dipilih karena memiliki karakteristik eksternal tertentu, misalnya karena ukuran tubuh (lebih kecil atau lebih besar), usia, atau memiliki etnis, agama, dan latar belakang budaya yang berbeda. Selain itu, beberapa anak menjadi target bullying karena mereka memiliki kemampuan atau talenta khusus. Mereka mungkin dipilih karena menjadi siswa yang baik dan memiliki nilai-nilai yang bagus. Sedangkan untuk anak-anak lainnya, mereka mungkin dipilih karena tidak mampu dalam mengerjakan sesuatu, misalnya lemah di bidang olahraga atau gagal pada tugas membaca (Murphy, 2009).

Walaupun adanya karakteristik eksternal yang mereka miliki merupakan awal penyebab dipilih menjadi korban, para ahli setuju bahwa kebanyakan korban

bullying berbagi beberapa karakteristik internal yang sama sehingga pelaku tidak hanya memilih mereka pada satu waktu, tetapi juga terus-menerus menjadikan mereka target sepanjang waktu. Menurut Murphy (2009), karakteristik tersebut yaitu:

a. Kepribadian Pasif

(26)

dan submisif tidak mendekati orang lain atau mencoba untuk memulai percakapan. Ketika bermain dengan orang lain, mereka tidak membuat permintaan, tuntutan, atau saran apapun. Biasanya, anak tersebut terlihat bermain sendiri daripada dengan orang lain. Schwartz menemukan bahwa perilaku submisif mengakibatkan mereka terus-menerus menjadi korban di kemudian hari. Dengan kata lain, pelaku melihat mereka sebagai target yang mudah sehingga dapat memperoleh kekuatan dan mendominasi mereka. b. Isolasi Sosial

Pada dasarnya, korban bullying merupakan orang yang pencemas, gugup, dan merasa tidak aman. Mereka juga terlihat waspada, pemalu, dan pendiam. Berbagai peneliti juga menemukan bahwa korban bullying

seringkali memiliki self-esteem yang rendah. Oleh karena pemalu tersebut, mereka cenderung memiliki sedikit teman. Sayangnya, isolasi tersebut membuat mereka lebih sering dipilih oleh pelaku. Pelaku cenderung memilih anak yang tidak memiliki teman untuk membantu membela mereka.

Menjadi korban bullying juga dapat membentuk siklus kesendirian bagi korban. Ketika seseorang diketahui menjadi korban bullying, teman sebaya cenderung menjaga jarak. Pada waktu yang bersamaan, korban merasa malu terhadap perlakuan yang ia terima dari pelaku, dan self-esteem mereka menjadi semakin memburuk. Menurut Dan Olweus, korban

(27)

sekolah atau untuk berteman. Dengan menarik diri dari orang lain, siklus kesendirian dan bullying akan tetap berlanjut.

c. Respon Pasif Terhadap Bullying

Salah satu hal yang mendorong pelaku tetap mengganggu seseorang yaitu bergantung pada respon korban terhadap bullying tersebut. Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan dalam merespon suatu konflik, yaitu secara asertif, agresif, dan pasif. Kebanyakan korban bullying

merespon pelaku dengan respon yang pasif. Mereka sama sekali tidak membela diri atau tidak mencoba untuk melawan. Mereka mungkin menangis atau melakukan semua yang diminta oleh pelaku. Dengan respon yang pasif atau submisif, pelaku akan tetap memilih mereka sebagai korban.

d. Korban Provokatif

Beberapa korban bullying bukanlah seorang yang pemalu atau merasa tidak aman. Mereka berperilaku tertentu untuk memancing pelaku, misalnya bertindak impulsif atau berbicara tanpa berpikir mengenai konsekuensinya. Seringkali, korban provokatif tidak hanya memancing pelaku, tetapi juga mengganggu teman lain dan bahkan guru. Hasilnya, walaupun mereka terlihat ramah, mereka tetap terisolasi secara sosial. Sama seperti korban pasif, korban provokatif merupakan target yang mudah karena orang lain tidak akan membela mereka.

(28)

berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang dianggap lemah, sehingga korban mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri. Terdapat dua kelompok korban bullying yaitu korban submisif/pasif (victim only) dan korban provokatif (bully-victim). Pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku

bullying yaitu bullies (pelakubullying) merupakananak yang secara fisikatau emosional melukai anak lain secara berulang-ulang. Victim (korbanbullying) merupakan anak yang sering menjadi taget perilaku agresif dan hanya menunjukkan sedikit pertahanan melawan penyerang. Bully-victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif tetapi juga menjadi korban perilaku agresif dan yang terakhir yaitu netral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau bullying. Bullying dapat terja didalam tiga bentuk yaitu verbal bullying, seperti member nama julukan, ejekan dan meremehkan, physical bullying, seperti menampar, memukul, mencekik dan relational bullying. Beberapa karakteristik yang dapat menyebabkan seorang anak menjadi korban

bullying yaitu kepribadian pasif, isolasisosial, respon pasif terhadap bullying, dan korban prookatif.

D.Behaviour Skill Training untuk Meningkatkan Asertivitas pada Korban

Bullying

Studi awal yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa situasi bullying

(29)

beberapa bulan. Mereka mengaku merasa sedih sering mendapat perlakuan tersebut dari teman-temannya.

Pada umumnya siswa yang mengalami tindakan bullying adalah siswa yang memiliki tingkat asertivitas yang rendah (Soendjojo, 2009). individu yang memiliki sikap asertif yang rendah memiliki banyak ketakutan yang irasional yang meliputi sikap menampilkan perilaku cemas dan tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-hak peribadinya. Begitupun korban

bullying mereka kurang mampu menunjukkan perasaan untuk melawan bullying

yang siswa terima karena siswa korban bullying takut pelaku bullying makin mengintensikan tindakan bullying.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dayakisni (2013) dan teori yang dikemukakan oleh Sullivan & Clearly (2005) bahwa ciri-ciri korban bullying antara lain ketidakmampuan menolak saat diperlakukan negatif, tidak percaya diri, dan siswa yang belum mampu bersikap asertif (tegas mengutarakan sikap dan kemauannya) atau siswa yang belum mampu bersikap terbuka terhadap orang tua, teman-teman dan orang-orang yang ada disekitarnya.

Selain itu, kurangnya pengetahuan korban bullying mengenai respon-respon yang sebaiknya ditampilkan saat berhadapan dengan pelaku merupakan landasan penyusunan intervensi bagi korban bullying agar mereka memiliki kemampuan untuk membela dirinya sendiri ketika dihadapkan pada situasi

(30)

Teknik-teknik asertivitas dalam menghadapi pelaku bullying dapat diajarkan melalui behaviour skill training, yang merupakan salah satu teknik dari terapi perilaku (Miltenberger, 2012). Tujuannya adalah untuk meningkatkan daftar perilaku yang dimiliki oleh korban sehingga mereka dapat membuat pilihan untuk berperilaku asertif maupun tidak pada situasi tertentu. Melalui pelatihan tersebut, mereka akan diberikan teknik-teknik yang dapat digunakan sesuai kebutuhan. Setiap orang dapat melatih teknik tersebut secara spesifik sesuai dengan perlakuan bullying yang telah atau akan mereka terima. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Miltenberger (2012) yang mengatakan bahwa untuk meminimalisir perlakuan bullying di tempat kerja oleh atasan atau teman sekantor adalah dengan cara meningkatkan perilaku asertivitas yang bisa dipelajari melalui behaviour skill training.

(31)

Gambar 2.1. Dasar Teori Pemberian BST untuk Meningkatkan Asertivitas 4. meninggalkan situasi bullying. 5. mencari dukungan orang sekitar. 6. tetap tenang dalam situasi bully.

(32)

E. Hipotesa

Gambar

Gambar 2.1. Dasar Teori Pemberian BST untuk Meningkatkan Asertivitas

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian kinerja pegawai yang dikemukakan oleh Prawirosentono (2002:2), yang menyatakan bahwa Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau

Peningkatan Keaktifan Dan Prestasi Belajar Siswa Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match kelas IV.. SDN Kragilan

Pemeriksaan  kinerja  adalah  pemeriksaan  atas  pengelolaan  keuangan  negara  yang  terdiri   dari  aspek  ekonomi  dan  efisiensi  serta  pemeriksaan

Dari hasil kajian, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : (1) lahan tadah hujan sangat berpotensi untuk menjadi sentra produksi padi nasional selain lahan

Indikator Kinerja Daerah untuk Setiap Misi

[r]

Namun kenyataannya, berdasarkan studi pendahuluan berupa observasi didapatkan bahwa tidak ada ekspose mengenai profil program studi PJKR dari pihak program studi

Diketahui dari Tabel 5 dan 6 bahwa jumlah kalor yang terbuang tidak dapat sepenuhnya diserap oleh penukar kalor, untuk posisi katup (1) dimana kalor terbuang