• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya

manusia dan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu melakukan upaya

peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi

dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan

sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan

terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Meskipun narkotika

sangat bermanfaat untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila

disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika

disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang

sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda. Bahkan

dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai-nilai

budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.1 Sejarah penanggulangan bahaya narkotika dan kelembagaannya di Indonesia

dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia

(Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional

(BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol,

1

(2)

yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba,

penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan

subversi, pengawasan orang asing.

Pada masa itu, permasalahan narkotika di Indonesia masih merupakan

permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan

bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa

Indonesia adalah bangsa yang agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah

dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkotika, sehingga

pada saat permasalahan narkotika meledak dengan dibarengi krisis mata uang

regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak

siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang

sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkotika.

Pelaku peredaran dan pengguna narkotika sendiri terdiri dari berbagai lapisan

kalangan masyarakat, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, orang yang tidak

berpendidikan sampai orang yang berpendididkan, public figure, artis, anggota

dewan, aparat penegak hukum saat ini sudah mulai menyalahgunakan narkotika,

bahkan seorang residivis pun berulang kali melakukan peredaran narkotika setelah

keluar dari penjara, dan yang sangat disayangkan lagi saat ini peredaran narkotika

sudah banyak yang di kendalikan dari dalam penjara.

Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah yang

perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara

(3)

terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui

Single Convention On Narcotic Drugs pada tahun 1961.2 Masalah ini menjadi begitu penting mengingat bahwa narkotika itu adalah suatu zat yang dapat merusak fisik dan

mental yang bersangkutan, apabila penggunanya tanpa resep dokter.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan obat-obatan atau

narkotika merupakan kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah

semata-mata pelaksanaan undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis

normatif dan sistematik, dogmatik. Selain dengan pendekatan yuridis normatif,

kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat

berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan

komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral dengan

kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.3

Kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak bisa

lepas dari tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan untuk memajukan

kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.4 Sebagai warga negara berkewajiban untuk memberikan perhatian pelayanan

pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan, selain itu sisi lain yang

menjadi perhatian pemerintah adalah mengenai keamanan dan ketertiban masyarakat

2

Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 30

3

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 22

4

(4)

khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana

narkotika.

Reformulasi kebijakan sanksi khususnya bagi pengguna narkotika kedepan

yaitu dengan menerapkan sanksi tindakan perlu mempertimbangkan jenis atau bentuk

dari sanksi tindakan yang tepat dan bermanfaat dalam rangka menyelamatkan

penyalaguna narkotika bagi pecandu. Untuk menentukan jenis sanksi tindakan

tersebut perlu memperhatikan beberapa hal seperti konvensi negara-negara didunia

mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana. (restorative

justice) yang merupakan alternatif yang sering digunakan diberbagai belahan dunia

untuk penanganan pelaku tindak pidana yang bermasalah dengan hukum karena

menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.5

Masalah kebijakan hukum pidana merupakan salah satu bidang yang

seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi

yang bertujuan mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya

kejahatan-kejahatan dan penjahat. Kajian mengenai kebijakan hukum pidana (penal

policy) yang termasuk salah satu bagian dari ilmu hukum pidana, erat kaitannya

dengan pembahasan hukum pidana nasional.

Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah sosial adalah

lewat kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial pada dasarnya adalah

kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, jadi

5

(5)

identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi

berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Sebaliknya apabila cara

pengendalian lain (social control), yaitu dengan cara menggunakan “kebijakan

sosial” (social policy) tidak mampu mengatasi tindak pidana, maka jalan yang dipakai

melalui kebijakan penal (kebijakan hukum pidana). Dua masalah sentral dalam

kebijakan tindak pidana dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah

masalah perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang

sebaiknya diberikan kepada si pelanggar.6

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia yang mana pemerintah

selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan

kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam program

pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah ini tergabung dalam kebijakan sosial

(social policy). Salah satu bagian dari kebijakan sosial ini adalah kebijakan

penegakan hukum (law enforcement policy), termasuk di dalamnya kebijakan

legislatif (legislative policy). Sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan

(criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law

enforcement policy).7

Pengkajian mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara

penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau

6

Mardjono Reksodiputra, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Dan Pengendalian Hukum, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1995), hlm. 23-24

7

(6)

criminal law enforcement yang mana bagiannya adalah kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy), dimana dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua

sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non

penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal). Penegakan

hukum mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat

terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni takut berbuat dosa, takut karena

kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif,

dan takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal

mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.8

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya

untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hokum,

disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang

kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat.9

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa di sebut dengan istilah

politik kriminal yang dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Maksudnya

dalam upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan penerapan hukum

pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without

8

Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 142

9

(7)

punishment), mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media masa (influencing views of society on crime and

punishment). Permasalahan sentral dalam kebijakan penal adalah penentuan

perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (yaitu melalui kebijakan

kriminalisasi), dan sanksi apa yang sebaiknya dijatuhkan kepada sipelanggar (yaitu

melalui kebijakan penalisasi).10

Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara

penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam

menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan

dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan

digunakan.11 Selanjutnya Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan

upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare), oleh karena itu,

tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah “perlindungan masyarakat

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.”12

Para pelaku tindak pidana narkotika sebagian besar berasal dari warga negara

asing yang berhasil di tangkap pihak kepolisian bekerjasama dengan Badan Narkotika

Nasional, dimana hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi surga bagi

para pelakunya. Kebijakan penal yang dilakukan oleh kepolisian meliputi

10

Ibid., hlm. 160

11

Ibid., hlm. 95

12

(8)

pengungkapan dan penyelesaian kasus (sampai di tahap penyidikan) baik yang

dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun terhadap pelaku yang berasal dari

warga negara asing. Pelaku tindak pidana narkotika ini memiliki jaringan yang tidak

saling mengenal, oleh sebab itu pengungkapan kasus tindak pidana narkotika ini

memerlukan strategi yang matang dari aparat penegak hukum.

Kelemahan kebijakan legislatif akan berdampak pada para penegak hukum,

yaitu kesulitan mengaplikasikan aturan-aturan tersebut dalam menangani kasus-kasus

tindak pidana narkotika. Perumusan kebijakan kriminalisasi dan kualifikasi tindak

pidana yang kurang jelas, dimana kebijakan kriminalisasi undang-undang tersebut

terfokus untuk kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan dan

pengangkutan narkotika (termasuk dalam lintas dan eksport). Kemudian dalam

kualifikasi tindak pidananya hanya mengatur ketentuan perubahan-perubahan sebagai

larangan termasuk ancaman sanksi pidana. Adanya kelemahan-kelemahan seperti

tersebut diatas, maka diadakan perubahan atas undang-undang yang lama, sebagai

penggantinya di keluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

Suatu negara dapat menerapkan hukum terhadap kejahatan yang terjadi di

wilayahnya berdasarkan asas teritorial yang dilihat dari tempat (locus delicti) sebagai

dasar pemberlakuan hukum. Setiap orang (warga negara maupun warga negara asing)

yang mengancam keamanan negara maupun warganya diluar batas-batas wilayah

negara berlaku ketentuan pidana berdasarkan asas personalitas (pasif). KUHP

(9)

pembentukan serta pemberlakuan hukum pidana atas suatu peristiwa pidana menurut

tempat yaitu asas teritorial, asas personalitas berdasarkan kewarganegaraan aktif, asas

personalitas berdasarkan kewarga negaraan pasif dan yang terakhir adalah asas

universal. Asas-asas ini merupakan dasar yang di atasnya dapat dilaksanakan

yurisdiksisuatu negara.13

Asas teritorial terdapat dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi “ketentuan

pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi setiap orang

yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan sesuatu tindak pidana.” Asas

teritorial ini melahirkan yuridiksi teritorial, yaitu kedaulatan atau kewenangan suatu

negara yang berdasarkan hukum Internasional untuk mengatur segala sesuatu yang

terjadi dalam batas-batas wilayah negaranya.

Salah satu wujud dari yurisdiksi teritorial suatu negara adalah membuat serta

memberlakukan hukum pidana Indonesia terhadap tindak pidana yang terjadi dalam

wilayah negara Indonesia. Ketentuan ini berlaku bagi warga negara Indonesia sendiri

maupun orang asing yang melakukan suatu tindak pidana.14 Hal ini merupakan dasar yang diunggulkan bagi pelaksanaan yuridiksi negara. Peristiwa yang terjadi dalam

batas-batas teritorial suatu negara dan orang-orang yang berada di wilayah tersebut

sekalipun untuk sementara, pada lazimnya tunduk pada penerapan hukum lokal.15

13

Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 3-5

14

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya, 2003), hlm. 12-13

15

(10)

Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana,

pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika digolongkan menjadi

empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan

dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni:16

a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan,

menguasai atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika.

b. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika.

c. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual,

menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika.

d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim,

mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur upaya

pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana pokok

yang terdiri dari pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara, kemudian

diberlakukan pula pidana tambahan seperti denda, serta pencabutan hak-hak tertentu.

Selain pidana tersebut Pasal 146 undang-undang ini juga memberikan sanksi terhadap

warga negara asing yang telah melakukan tindak pidana narkotika ataupun telah

16

(11)

menjalani hukuman atas tindak pidana narkotika, dilakukan pengusiran wilayah

negara Republik Indonesia dan dilarang masuk kembali ke wilayah negara Republik

Indonesia.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mengatur

mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta

mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial, namun dalam kenyataannya tindak

pidana narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin

meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas,

terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.17

Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk

memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati

apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat atau

agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang

melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang

diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan

kejahatan narkotika tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah

terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar

belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila

pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan akan mengakibatkan

kecenderungan untuk memuaskan atau dapat saja tidak memuaskan, di mana secara

17

(12)

estetika terpidana harus menerima penderitaan seimbang dengan korbannya.

Sementara itu tujuan pemidanaan yang lain, adalah lebih menitikberatkan sebagai

prevensi dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.18 Perkara tindak pidana narkotika yang dianggap sebagai kejahatan yang paling

serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat

menghancurkan masa depan anak bangsa. Upaya penanggulangan dan pemberantasan

narkotika dan obat-obat terlarang di negara-negara maju sudah mulai dilakukan

dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye anti narkotika,

serta penyuluhan tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah

narkotika bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam

memerangi kejahatan narkotika tersebut.19

Pemidanaan berupa penjara, hukuman mati maupun denda terhadap warga

negara asing pelaku tindak pidana narkotika saat ini telah banyak dilaksanakan oleh

pengadilan. Salah satu pidana penjara telah diberikan hakim adalah kepada terdakwa

Orjan Robert Elovsson warga negara asing asal Swedia, Naravadee warga negara

asing asal Thailand dan Ataliat Joses Guambe warga negara asing asal Mozambique

oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diyakini terbukti tanpa hak

melakukan permufakatan jahat mengedarkan narkotika, dan ketiga warga negara

asing tersebut di vonis masing-masing seumur hidup. Terdapat juga warga negara

18

Djoko Prakoso, Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 145

19

(13)

asing yang di sidang dan di vonis hukuman penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya

karena kasus narkoba, adalah tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Lu Xue

Mei, warga negara asing asal China yang mendapat hukuman 13 tahun penjara karena

terbukti mengedarkan narkoba. Selain itu, penyelundup sabu antar negara tersebut

diwajibkan membayar denda sebanyak satu milliar, dan jika tidak dibayar, bisa

diganti dengan hukuman penjara selama enam bulan.20

Indonesia juga memberlakukan pidana mati bagi bandar narkoba baik yang

berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Kejaksaan Agung telah melakukan

eksekusi hukuman mati tahap pertama terhadap lima terpidana mati kasus narkoba

yang berwarga negara asing. Kelima terpidana mati warga negara asing itu terdiri dari

empat laki-laki dan satu perempuan. Mereka adalah Namaona Denis, Umur 48 Tahun

Warga Negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira, Umur 53 Tahun, Warga

Negara Brazil, Daniel Enemua, Umur 48 Tahun, Warga Negara Nigeria, Ang Kim

Soei, Umur 62 Tahun, Warga Negara Vietnam, Tran Thi Bich Hanh, Umur 37 Tahun,

Warga Negara Vietnam. Eksekusi terhadap lima terpidana mati itu dilakukan setelah

permohonan grasi mereka ditolak oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Desember

2014.21

Tahap kedua pelaksanaan eksekusi mati yang sudah dilaksanakan terhadap

sembilan terpidana mati warga negara asing yakni, Andrew Chan Warga Negara

20

Warga Negara Asing Asal China Pengedar Narkoba Dihukum 13 Tahun,

http://realita.co/index.php?news=WNA-China-Pengedar-Narkoba-Dihukum-13-Tahun~3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296251d23c44fab3e50e73a3e39cdd56d60c, (diakses tanggal 16 April 2015).

21

(14)

Australia, Mary Jane Fiesta Veloso Warga Negara Filiphina, Myuran Sukumaran

Warga Negara Australia, Serge Areski Atlaoui Warga Negara Prancis, Martin

Anderson Warga Negara Ghana, Raheem Salami Warga Negara Spanyol, Rodrigo

Gularte Warga Negara Brazil, Sylvester Obiekwe Warga Negara Nigeria, Okwudili

Ayatanze Warga Negara Nigeria.22

Kenyataan di lapangan pemberlakuan kebijakan hukum pidana bagi para

warga negara asing pelaku kejahatan khususnya narkotika memerlukan waktu yang

cukup lama. Hal ini berkaitan dengan perlindungan hak-hak para pelaku kejahatan

dan kurang tegasnya sistem perundang-undangan yang ada, selain itu pelaksanaan

kebiajakan pidana bagi warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika juga masih

mengalami pro dan kontra di masyarakat, akan tetapi berdasarkan hukum positif

Indonesia pelaksanaan kebijakan hukum pidana di Indonesia adalah dibenarkan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan tersebut maka penelitian ini diberi

judul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga Negara Asing

Pelaku Tindak Pidana Narkotika.”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang

akan diteliti dan jelas batas-batasnya. Pada penelitian ini adapun yang menjadi

permasalahan adalah sebagai berikut:

22

(15)

1. Bagaimana penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing

pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia?

2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing

pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia?

3. Bagaimana hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan hukum pidana

(khususnya pidana mati) terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana

narkotika di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai penerapan kebijakan hukum

pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pelaksanaan kebijakan hukum

pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai hambatan-hambatan yang terjadi

dalam pelaksanaan kebijakan hukum pidana (khususnya pidana mati) terhadap

warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoretis

kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun praktis kepada para

praktisi hukum.

1. Manfaat yang bersifat teoretis adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat

(16)

ilmu hukum khususnya dalam bidang pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana

mati narkotika.

2. Manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya

diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang

diteliti dan disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru

serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.23 Secara praktis diharapkan juga agar penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat, aparat

penegak hukum dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan dapat

meningkatkan kesadaran dan perannya dalam setiap pelaksanaan pidana

hukuman mati bagi terpidana narkotika, mengingat narkotika merupakan musuh

paling berbahaya bagi generasi penerus bangsa.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Warga

Negara Asing Pelaku Tindak Pidana Narkotika” adalah hasil pemikiran sendiri.

Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun

ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan

bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan

dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan fakultas hukum universitas

sumatera utara khususnya dilingkungan magister kenotariatan dan magister ilmu

23

(17)

hukum juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada beberapa penelitian tesis yang

memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain:

1. Nama : Anjan Pramuka Putra

Nim : 067005063

Tahun : 2008

Judul : Analisis yuridis Penerapan Sistem Pemidanaan Terhadap pelaku

Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

2. Nama : Elizabeth Siahaan

Nim : 077005036

Tahun : 2009

Judul : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkotika

Di Sumatera Utara

3. Nama : Jukiman Situmorang

Nim : 087005009

Tahun : 2010

Judul : Analisis Yuridis Tindak Pidana Narkotika Sebagai Predicate Crime

Dalam Money Laundering

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

(18)

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.24 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi

dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat

menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa

keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,

aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.25

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau

petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini

berusaha untuk memahami mengenai konsep pidana hukuman mati yang diterapkan

bagi terpidana narkotika, dimana konsep pidana hukuman mati diharapkan dapat efek

jera bagi pemakai, pengedar, dan pembuat narkotika.

Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori tujuan hukum dimana

tujuan hukum harus mewujudkan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan

hukum. Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian

yang tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha

menjelaskan arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik

dalam pengertian yang sempit maupun luas. Kepastian hukum secara normatif adalah

ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara

jelas dan logis, jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan

24

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80

25

(19)

logis dalam artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik antara norma satu dengan yang lainnya.

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk

kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat

dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif legal positivism karena lebih

melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum

harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan

multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga

menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak

diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.

Gustaf Radbruch pada konsep ajaran prirotas baku mengemukakan bahwa tiga

ide dasar hukum atau tiga tujuan utama hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak

berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik

adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan

dan kemakmuran masyarakat.26

Keadilan yang dimaksudkan ini adalah keadilan dalam arti yang sempit yakni

kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas

menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang mau

dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana

26

(20)

hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.27 Kepastian hukum itu berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan pada prinsip the binding for

precedent (stare decisis) dalam sistem common law dan the persuasive for precedent

(yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang mengandung kepastian hukum

adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan otoritas. Kepastian hukum akan

terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada putusan-putusan terdahulu.28 Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid) dalam

pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin

keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas

ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri

(eigenrichting). Dalam penerapan teori hukum tidak dapat hanya satu teori saja tetapi

harus gabungan dari berbagai teori. Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan

hukum yang utama adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian

hukum, ketertiban dan perdamaian.29 Fuller memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum. Fuller menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum,

dengan menyatakan bahwa kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:30 a. Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan

putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.

b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik. c. Peraturan tersebut tidak berlaku surut.

d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 22

30

(21)

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.

f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. g. Tidak boleh sering diubah-ubah.

h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Fungsi teori tujuan hukum disini adalah untuk menjamin setiap pelaksanaan

pidana hukuman mati bagi terpidana mati narkotika, mengingat pidana mati sebagai

efek pembuat jera bagi pemakai, pengedar, dan pembuat narkotika, yang jika di

edarkan di wilayah hukum Indonesia. Kepastian hukum juga mengisyaratkan bahwa

setiap pelaku tindak pidana narkotika yang dijatuhi hukuman mati oleh hakim, maka

pelaksanaan hukuman pidana mati sudah pasti diberikan kepada terpidana mati

narkotika.

Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori sistem hukum yang di

dalamnya terdapat asas-asas hukum yang terpadu yang membentuk tertib hukum

terhadap hukum pidana di Indonesia. Asas-asas hukum itu terdapat dalam hukum

pidana dan hukum acara pidana Indonesia. Salah satu asas hukum dalam hukum

pidana adalah asas legalitas, yaitu tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali

atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada

sebelum perbuatan itu dilakukan.31

Sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam peraturan

perundang-undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi

terdakwa.32 Selain asas legalitas terdapat asas tiada pidana tanpa kesalahan untuk

31

Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

32

(22)

menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus

dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.33

Pengertian mengenai hukum banyak dikemukakan oleh para ahli hukum. Satu

sama lain memiliki perbedaan dan sampai sekarang tidak ada satu pengertian hukum

yang disepakati oleh semua pihak, karena masing-masing mempunyai perspektif yang

berbeda. Secara garis besar pengertian hukum dapat dikelompokkan menjadi tiga

yaitu:

a. Hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu, maka metode yang dipergunakan bersifat idealis, metode ini selalu berusaha menguji hukum yang harus mewujudkan nilai-nilai tertentu.

b. Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka perhatian akan terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom yang bisa dibicarakan sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan tersebut. Cara pandang ini akan menggunakan metode normatif analitis.

c. Hukum dipahami sebagai alat untuk mengatur masyarakat, maka metode yang digunakan adalah sosiologis. Metode ini akan mengkaitkan hukum kepada usaha-usaha untuk mencapai tujuan dan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan kongkrit masyarakat. Pusat perhatiannya tertuju pada efektifitas dari hukum.34

Komponen yang terdapat pada bagian struktur yaitu kelembagaan yang

diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka

mendukung bekerjanya sistem hukum, komponen substansi adalah luaran dan sistem

hukum, termasuk di dalamnya norma-norma itu sendiri baik berupa

peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang semuanya digunakan untuk mengatur tingkah

laku manusia adapun budaya atau kultur hukum adalah nilai-nilai dan sikap-sikap

33

Fully Handayani, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 59-61

34

(23)

yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem itu di

tengah-tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.35

Lawrence M. Friedman mengemukakan teori bahwa beroperasinya suatu

sistem hukum dalam masyarakat atau efektivitas hukum sangat ditentukan oleh tiga

komponen dasar. Tentang hal itu, Friedman mengatakan, “a legal system in actual

operation is a complex organism in which structure, substance, and culture

interact.”36

Sistem hukum tersebut dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan

penunjang dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, sehingga

dapat dikatakan sistem bukum yang efektif adalah sistem hukum yang mendukung

terealisasinya tujuan yang dicapai dalam pembangunan.37

Fungsi teori sistem hukum pada penelitian ini adalah untuk melihat peranan

sistem hukum dari tiap-tiap sistem hukum negara yang berbeda baik dalam sistem

negara hukum civil law maupun common law dalam pelaksanaan pidana hukuman

mati bagi terpidana mati narkotika. Selain itu teori sistem hukum juga akan

menganalisis sejauh mana peranan kebijakan pemerintah dalam menegakkan sistem

aturan hukum pidana yang dianut masing-masing negara.

Penelitian ini juga menggunakan teori efektivitas hukum menurut Soerjono

Soekanto, hal tersebut didasarkan atas pertimbangan babwa parameter efektivitas

hukum lebih sistematis, praktis serta lebih mudah diamati dalam penelitian, sehingga

35

Esmi Warasih, Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011), hlm. 134

36

Ibid.

37

(24)

secara garis besar lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Lon L.

Fuller mengkonsepsikan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu.

Untuk dapat mewujudkan tujuannya, hukum harus memenuhi

persyaratan-persyaratan tertentu atau disebut sebagai delapan prinsip legalitas, yaitu sebagai

berikut:38

1. Harus ada peraturannya lebih dahulu

2. Peraturan itu harus diumumkan secara layak 3. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut

4. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat

5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin 6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain 7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah

8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.

Dias mengajukan lima syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan

sistem hukum sebagai berikut:39

a. Mudah tidaknya makna aturan-aluran hukum itu untuk ditangkap dan dipahami b. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahul isi aturan-aturan

hukum yang bersangkutan

c. Effisien dan effekif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum

d. Adanya mekanisme penyelesaian sengkela yang tidak hanya harus mudah dihubungi dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat akan tetapi juga harus cukup effektif menyelesaikan sengketa-sengketa, dan

e. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang effektif.

Menurut Soerjono Soekanto, masalah mengefektifkan hukum apabila

dibubungkan dengan berlakunya hukum sebagai kaedah, maka hukum harus dapat

38

Esmi Warasih, Op. Cit., hlm. 126-127

39

(25)

berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.40 Hal itu disebabkan apabila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaedah tersebut merupakan

kaedah mati (dode regel), dan jika hukum hanya berlaku secara sosiologis, maka

kaedah tersebut menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel), dan apabila hukum

hanya berlaku secara filosofis, maka kemungkinan hukum tersebut hanya merupakan

hukum yang dicita-citakan.41

Selanjutnya Soerjono Soekanto mengemukakan teorinya agar hukum dapat

berfungsi dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh paling sedikitnya empat faktor

yakni hukum atau peraturan itu sendiri, petugas yang menegakkannya, fasilitas yang

diharapkan mendukung pelaksanaan hukum, dan warga masyarakat yang terkena

ruang lingkup peraturan tersebut.42

Menurut Selo Soemardjan, efektivitas hukum berkaitan erat dengan

faktor-faktor sebagai berikut:43

a. Jangka waktu penanaman hukum, yaltu panjang atau pendeknya jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil.

b. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum.

c. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistim nilai-nilai yang berlaku. Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum karena compliance, identification, internalization atau kepentingan-kepentingan mereka terjamin pemenuhannya.

40

(26)

Satjipto Rahardjo mengemukakan adanya beberapa komponen penting dalam

kaitannya agar masyarakat menjadi sadar akan manfaat dan produk hukum yang

diintroduksikan kepadanya yaitu peraturan hukumnya sendiri yang kemudian

dikomunikasikan dalam masyarakat, aktivitas dari para pelaksana, dan proses

pelembagaan (institutionalization) dan internalisasi hukumnya.44

Efektivitas hukum sangat mensyaratkan adanya komunikasi hukum agar

hukum dapat berlaku dan diterima oleh masyarakat, sebagaimana pendapat Lawrence

M. Friedman, “a legal act (rule, doctrine, practice), whatever functions it serves, is a

message”.45 Soerjono Soekanto menambahkan dua syarat selain satu syarat yang

telah disebutkan di atas, yaitu syarat bahwa subjek bukum harus dapat melakukan

atau tidak melakukan hal-hal yang diatur oleh hukum dan disposisi untuk berperilaku,

yaitu hal-hal apa yang menjadi pendorong manusia untuk berperilaku, perhitungan

untung rugi, agar hubungan dengan sesama atau dèngan penguasa tetap terpelihara,

hukum tersebut sesuai dengan hati nurani atau karena tekanan-tekanan tertentu.46 2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.47 Maka

44

Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial, (Banding: Alumni, 1981), hlm. 87

45

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 17

46

Ibid., hlm. 19

47

(27)

dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang

akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:

a. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar

rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.

Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor

swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika

hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku, misalnya suatu hukum

yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan, kebijakan hanya menjadi

pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.

Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan

keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif

seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan

dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis,

manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit.

b. Kebijakan hukum pidana merupakan salah satu bidang yang seyogyanya menjadi

pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai studi yang bertujuan

mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa timbulnya

kejahatan-kejahatan dan penjahat. Kebijakan hukum pidana (penal policy) yang termasuk

salah satu bagian dari ilmu hukum pidana, erat kaitannya dengan pembahasan

hukum pidana nasional. Kebijakan hukum pidana meliputi perbuatan apa yang

seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya diberikan

(28)

c. Pidana mati adalah hukuman atau sanksi yang diatur dalam Pasal 10 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana

pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa hukuman mati,

hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda. Sedangkan pidana

tambahan berupa pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang

yang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Dengan demikian, maka

pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana

pokok.

d. Pelaku tindak pidana adalah (dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang

melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur

tersebut dirumuskan didalam undang-undang menurut KUHP sebagaimana diatur

dialam Pasal 55 ayat (1) KUHP.

e. Warga negara asing adalah seseorang yang tinggal di suatu negara dengan status

kewarganegaraan asing.

f. Narkotika adalah adalah singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya.

Selain narkotika, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Semua istilah ini, baik narkotika ataupun

napza, mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko

kecanduan bagi penggunanya. Narkotika sebenarnya adalah senyawa-senyawa

(29)

atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini persepsi itu disalahartikan

akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya,

jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam

proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan

konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara

tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak

adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.48

Metode penelitian yang digunakan dalam penulian tesis ini adalah metode

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu metode atau cara

meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan

untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan

penelitian terhadap masalah hukum.49

Penelitian ini menggunakan data sekunder untuk menganalisis hubungan

hukum atau peraturan yang berkaitan dengan penerapan kebijakan hukum pidana

terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika. Adapun sifat penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menguraikan

48

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 42

49

(30)

permasalahan secara sistematis dan kompeherensif. Tujuan penelitian deskriptif

analitis adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau

kelompok tertentu.50 Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan normatif yang secara deduktif yang dimulai dari analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal

yang menjadi permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan ini digunakan dengan

mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan dalam hal hubungan antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya

dengan penerapannya dalam praktek.

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data

sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang

bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi

serta pemikiran konseptual, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya

ilmiah lainnya.51 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian dan penulisan tesis ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan

oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab

Undang Hukum Pidana, Kitab Undang Hukum Acara Pidana,

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22

50

Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1997), hlm. 42

51

(31)

Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang

relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya

tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang

diteliti.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep

dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk

memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi,

mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang

berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada

relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut

kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi

dokumen. Tujuan dari pelaksanaan teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari

konsepsi, teori, pendapat atau penemuan yang berhubungan dengan permasalahan

penelitian.52

52

(32)

4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat

dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian

konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam

kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.53 Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penerapan kebijakan hukum pidana terhadap warga negara asing pelaku tindak pidana narkotika.

b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut.

d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan

menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca,

menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang

terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang

dirumuskan.54

53

Soejono Soekonto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 225

54

Referensi

Dokumen terkait

Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2012, dengan kami ini minta kepada Saudara Direktur untuk hadir dalam melakukan Pembuktian Kualifikasi dengan membawa berkas asli data perusahaan pada

Tabel diatas menunjukkan hasil analisa yang diperoleh secara keseluruhan, maka standar kualitas air minum yang dimiliki oleh PT.Dong-Cha adalah baik ( terkendali ), kecuali uji

Pengaturan hukum udara internasional terkait kewajiban para pihak untuk mengatur keselamatan penerbangan sipil yang menlewati wilayah udaranya adalah bahwa sesuai dengan

Pada grafik gambar 4.10 menunjukan bahwa dengan adanya penambahan pasokan gas HHO kedalam ruang bakar dapat mengurangi kadar reaksi emisi karbon monoksida sebesar 51,97 %

Hal ini diungkapakan dalam tulisan bahwa “ International networking ” atau yang dapat di singkat dengan internet, merupakan dua komputer atau lebih yang saling

Faktanya, banyak negara Islam (atau yang mayoritas berpenduduk muslim) di berbagai belahan dunia menganut faham kemodernan ala Barat, yang mewarnai kebijakan-kebijakan perekonomian,

The most fruitful way of taking Nie tzsche seems to me to see him not as trying to propound his own varia nt theory of tru th, but as formulating a new question 'How and why

indah dan yang tampak buruk tak selalu buruk” mungkin kata-kata yang tertulis itu cocok untuk direnungi, pertemuan pertama bukanlah tolak ukur untuk