• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Job Insecurity Terhadap Work-Family Conflict Pada Karyawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Job Insecurity Terhadap Work-Family Conflict Pada Karyawan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Work-Family Conflict

1. Definisi Work-Family Conflict

Secara umum, work-family conflict didefinisikan sebagai suatu bentuk

inter-role conflict dimana tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga saling

bertentangan dalam beberapa hal (Greenhaus & Beutell, 1985; Nart & Batur,

2013). Frone, Rusell & Cooper (1992) mendefinisikan work-family conflict

sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia harus

melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga

secara utuh. Menurut Netemeyer, Boles &, McMurrian (1996), work-family

conlict merupakan bentuk konflik antar-peran di mana tuntutan, waktu, dan

ketegangan yang diciptakan oleh pekerjaan berpengaruh dalam melakukan

tanggung jawab keluarga.

Work-family conflict terjadi ketika ekspektasi yang berhubungan

dengan peran tertentu tidak sesuai dengan kebutuhan dari peran lain, sehingga

performa dari peran tersebut kurang efisien (Greenhaus, Tammy, & Spector,

2006). Banyak karyawan mengalami work-family conflict ketika mereka

mencoba untuk menyeimbangkan antara tanggung jawab pekerjaan dan

keluarga (Day & Chamberlain, 2006). Selanjutnya, Howard (2008)

(2)

dengan peran lainnya (inter-role conflict) dimana terdapat tekanan yang

berbeda antara peran di keluarga dan di pekerjaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work-family

conflict merupakan suatu bentuk konflik antar-peran (inter-role conflict) yang

terjadi ketika individu mencoba untuk memenuhi atau menyeimbangkan

tuntutan dari dua peran yang berbeda (pekerjaan dan keluarga).

2. Dimensi Work-Family Conflict

Menurut Greenhaus & Beutell (1985), work-family conflict dibagi menjadi

3 dimensi, yaitu:

a. Time-based conflict

Time-based conflict merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang

digunakan untuk menjalankan salah satu peran di pekerjaan (keluarga)

tidak dapat digunakan untuk menjalankan peran di keluarga

(pekerjaan). Ini berarti bahwa pada saat yang bersamaan, seorang yang

mengalami work-family conflict tidak akan bisa melakukan dua atau

lebih peran sekaligus. Misalnya, kerjaan yang lembur sering

menyebabkan waktu bersama keluarga menjadi terbatas. Jadi dapat

dikatakan bahwa konflik akan muncul apabila tuntutan peran tidak

dapat terpenuhi karena keterbatasan waktu (Crowley,1998).

b. Strain-based conflict

Strain-based conflict merupakan konflik yang terjadi karena

(3)

membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain.

Ketegangan peran bisa termasuk stres, tekanan darah meningkat,

kecemasan, dan sakit kepala. Misalnya, gejolak dalam perkawinan

kadang-kadang berhubungan dengan menurunnya produktivitas di

tempat kerja (Forthofer, Markman, Cox, Stanley, & Kessler, 1996).

Dan sebaliknya, ketegangan di tempat kerja dapat mengganggu

kehidupan keluarga.

c. Behavior-based conflict

Behavior-based conflict merupakan konflik yang muncul ketika

perilaku tertentu yang diwajibkan oleh salah satu peran bertentangan

dengan norma-norma perilaku peran lain. Misalnya, seorang ayah atau

ibu yang berprofesi sebagai manager diharapkan untuk menunjukkan

perilaku agresif dan logis di tempat kerja, tetapi saat bersama keluarga

diharapkan untuk menunjukkan kasih sayang (Carlson, Derr, &

Wadsworth, 2003).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work-Family Conflict

Bellavia & Frone (2005) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi

work-family conflict menjadi tiga faktor, yaitu:

a. Dalam Diri Individu (General Intra-Individual Predictors)

(4)

Sejumlah studi telah memasukkan ciri demografis sebagai

prediktor work-family conflict. Seperti: jenis kelamin, status

keluarga, usia anak terkecil dan jenis pekerjaan.

ii. Personality characteristics

Karakteristik kepribadian dapat menjadi faktor risiko terjadinya

work-family conflict atau faktor protektif terhadap work-family

conflict. Contoh karakteristik kepribadian yang dapat menjadi

faktor risiko terjadinya work-family conflict adalah trait negative

affectivity dan gaya kelekatan pre-occupied. Sedangkan contoh

karakteristik kepribadian yang dapat menjadi faktor protektif

terhadap work-family conflict adalah hardiness dan

conscientiousness.

b. Peran Keluarga (Family Role Environment Predictors)

i. Time involvement

Menghabiskan lebih banyak waktu pada pekerjaan keluarga

seperti mengasuh anak dan tugas rumah tangga telah dihubungkan

dengan tingkat work-family conflict yang lebih tinggi.

ii. Family stressor

Hasil penelitian telah menemukan bahwa stresor keluarga (Bernas

& Major, 2000; Frone et al., 1992; Frone, Yardley, et al., 1997;

Stoeva et al., 2002) seperti dikritik atau dibebani oleh anggota

keluarga (Grzywacz & Marks, 2000), mengalami konflik peran

(5)

peran keluarga (Carlson & Kacmar, 2000) dihubungkan dengan

tingkat work-family conflict yang lebih tinggi.

iii. Relationships with specific family members

Misalnya, ketegangan dalam pernikahan telah terbukti

menyebabkan work-family conflict.

iv. Having children

Faktor-faktor yang meningkatkan tanggung jawab orang tua,

seperti memiliki anak kecil, memiliki banyak anak, dan hidup

dengan anak-anak dapat meningkatkan work-family conflict

(Behson, 2002a; Fu & Shaffer, 2001; Madsen, 2003; Rotondo et

al. 2003; Stoeva et al, 2002). Selain itu, masalah-masalah tertentu

yang harus dilakukan dengan anak-anak, seperti tidak tersedianya

tempat penitipan anak (Fox & Dwyer, 1999) dan merasa terbebani

dengan tugas sebagai orang tua (Frone, Yardley, et al., 1997) juga

dihubungkan dengan tingkat work-family conflict yang lebih

tinggi.

c. Peran Pekerjaan (Work Role Environment Predictors)

i. Amount of time

Jumlah jam kerja yang melewati batas dapat memprediksi tingkat

work-family conflict yang lebih tinggi.

ii. Work stressors

Work stressors, seperti tuntutan pekerjaan, konflik-peran

(6)

bekerja dihubungkan dengan tingginya tingkat work-family

conflict.

iii. Job type

Karyawan di posisi manajerial dan profesional melaporkan

tingkat work-family conflict yang lebih tinggi dibandingkan

mereka yang bekerja di posisi manajerial dan

non-profesional.

iv. Job security

Tingkat job security yang rendah dihubungkan dengan tingkat

work-family conflict yang lebih tinggi.

B.Job Insecurity

1. Definisi Job Insecurity

Fenomena tentang job insecurity dimuat pertama kali dalam artikel yang

ditulis oleh Greenhalgh dan Rosenblatt pada tahun 1984. Mereka

mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan yang dirasakan untuk

mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam situasi pekerjaan

yang terancam. Joelson dan Wahlquist (1987) menganggap job insecurity

sebagai persepsi individu dari ancaman kemungkinan diskontinuitas pada

pekerjaan saat ini.

Ashford, Lee, & Bobko (1989) menjelaskan bahwa job insecurity

merupakan suatu tingkat dimana para karyawan merasa pekerjaannya

(7)

tersebut. Job insecurity yang dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman

terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan bagian pekerjaan. Hal

ini menyebabkan job insecurity sering diinterpretasikan sebagai stresor

pekerjaan dengan konsekuensi yang tidak diinginkan oleh karyawan

(Jacobson, 1991; Cheng, Chen, Chen & Chiang, 2005).

Heaney, Israel, & House (1994) mendefinisikan job insecurity sebagai

persepsi ancaman potensial terhadap kelangsungan pekerjaan saat ini.

Selanjutnya, job insecurity juga dapat diartikan sebagai antisipasi yang

dialami secara subjektif dari kejadian yang tidak diinginkan seperti

kehilangan pekerjaan (Sverke, Hellgren, & Näswall, 2002). Job insecurity

dapat terjadi ketika ada kesenjangan antara tingkat security yang dialami

seseorang dengan tingkat security yang diinginkannya (Hartley, Jacobson,

Klandermans, & Van Vuuren, 1991).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa job insecurity

merupakan persepsi atau penilaian subjektif karyawan terhadap suatu keadaan

dimana mereka merasa terancam dan tidak berdaya untuk mempertahankan

kesinambungan pekerjaan mereka saat ini.

2. Aspek-Aspek Job Insecurity

Konstruk job insecurity terdiri dari lima aspek, yaitu penerimaan

ancaman pada berbagai kejadian kerja, derajat kepentingan tiap kejadian

(8)

fitur kerja bagi individu, dan powerlessness (Greenhalgh dan Rosenblatt,

1984 ; Ashford, Lee & Bobko, 1989).

Selanjutnya Ashford, Lee & Bobko (1989) menggabungkan aspek

pertama dan kedua, lalu menggabungkan aspek ketiga dengan keempat

sehingga menjadi tiga aspek, yaitu:

a. Perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang

Yaitu kehilangan keseluruhan atau banyaknya pekerjaan yang dimiliki.

Kehilangan pekerjaan mungkin dapat terjadi secara permanen atau

seseorang mungkin dipecat atau dipaksa pensiun terlalu awal.

b. Perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features)

Yaitu kehilangan bagian-bagian dari pekerjaan. Misalnya: perubahan

organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan mengalami

kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji ataupun meningkatkan

pendapatan.

c. Powerlessness

Yaitu perasaan tidak berdaya yang mungkin berperan dalam perasaan

seseorang terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk

mengendalikan kejadian-kejadian di lingkungan kerjanya.

3. Dampak Job Insecurity

Sverke, Hellgren, & Näswall (2002) menjelaskan bahwa ada 2 dampak

(9)

1) Bagi Individu

Job insecurity diketahui memiliki dampak jangka pendek dan jangka

panjang pada individu. Dampak jangka pendek yang dirasakan oleh

individu yang mengalami job insecurity adalah menurunnya tingkat

keterlibatan saat bekerja (job involvement) dan berkurangnya

kepuasan kerja. Sedangkan dampak jangka panjang yang dirasakan

berkaitan dengan kondisi kesehatan individu tersebut. Dari studi

meta-analisa pada hubungan negatif job insecurity dan kesehatan mental,

ditemukan bahwa job insecurity telah dihubungkan dengan

kecemasan, keluhan psikosomatis, kelelahan fisik dan emosi, burnout,

dan depresi (Barling & Kelloway, 1996; De Witte, 1999; Hellgren et

al., 1999; Kuhnert et al., 1989; Mak & Mueller, 2000; Mohr, 2000;

Noer, 1993; Orpen, 1993; Roskies, Louis-Guerin, & Fournier, 1993;

Rothmann & Joubert, 2007; van Vuuren, Klandermans, Jacobson, &

Hartley, 1991).

2) Bagi Organisasi

Job insecurity juga diketahui memiliki dampak jangka pendek dan

jangka panjang terhadap organisasi. Dampak jangka pendek bagi

organisasi adalah adanya perubahan pada sikap terhadap organisasi.

Misalnya, komitmen terhadap organisasi (komitmen afektif) telah

ditemukan berhubungan secara negatif terhadap job insecurity

(Ashford, et al., 1989; Bernhard-Oettel et al., 2011; Berntson,

(10)

Rosenblatt et al., 1999). Sedangkan dampak jangka panjang bagi

organisasi berkaitan dengan perilaku terkait pekerjaan (work-related

behavior). Banyak penelitian telah membuktikan bahwa job insecurity

telah dihubungkan dengan tingginya tingkat turnover (Berntson et al.,

2010; Cheng & Chan, 2008; Sverke et al., 2002). Selain itu, karyawan

yang mengalami job insecurity menunjukkan perilaku withdrawal,

seperti keterlambatan dalam bekerja dan menghindari mengerjakan

tugas-tugas kerja (Probst, 2002).

C.Pengaruh Job Insecurity terhadap Work-Family Conflict Karyawan

Menurut Magnini (2009), dua aspek yang paling penting dari kehidupan

orang dewasa adalah keluarga dan pekerjaan, namun kedua aspek ini sering

berbenturan. Oleh karena itu, menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan

keluarga bisa menjadi sulit dan dapat menyebabkan konflik antara dua

domain tersebut yang biasa disebut work-family conflict (Day &

Chamberlain, 2006). Work-family conflict (WFC) merupakan jenis konflik

antar-peran di mana tuntutan peran yang berasal dari satu domain (pekerjaan

atau keluarga) bertentangan dengan tuntutan peran yang berasal dari domain

lain (keluarga atau pekerjaan), yang memiliki pengaruh negatif pada seorang

karyawan (Greenhaus & Beutell, 1985). Hal ini juga diketahui secara luas

bahwa konflik antara kedua domain memiliki dampak buruk terhadap

kesehatan dan kesejahteraan karyawan (Noor, 2003; Kinnunen, Feldt, Geurts,

(11)

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi work-family conflict. Penelitian

yang dilakukan oleh Stoner & Charles (1990) menemukan bahwa faktor yang

dapat mempengaruhi work-family conflict adalah waktu, jumlah anggota

keluarga, kepuasan kerja, kepuasan perkawinan, dan jumlah pekerja dalam

organisasi. Selanjutnya, penelitian Bellavia & Frone (2005) menemukan

faktor lain yang dapat mempengaruhi work-family conflict, yaitu faktor

individu, keluarga dan pekerjaan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ahmad

(2008) juga menemukan bahwa faktor individu, keluarga dan pekerjaan dapat

mempengaruhi work-family conflict.

Dari penelitian Bellavia & Frone (2005), dijelaskan bahwa job security

adalah salah satu faktor yang mempengaruhi work-family conflict. Ditemukan

bahwa tingkat job security yang rendah dihubungkan dengan tingkat

work-family conflict yang tinggi (Batt & Valcour, 2003). Dari penjelasan tersebut

dapat disimpulkan bahwa ketika individu memiliki tingkat job security yang

rendah atau mengalami job insecurity maka individu tersebut memiliki

tingkat work-family conflict yang tinggi.

Voydanoff (2004) mengemukakan bahwa job insecurity merupakan

prediktor work-family conflict karena dapat mengancam kesejahteraan

ekonomi dan stabilitas keluarga. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang

dilakukan Lam, Fan & Moen (2015) yang menemukan bahwa job insecurity

dapat menjadi prediktor work-family conflict dan berhubungan positif dengan

work-family conflict. Ketegangan terkait dengan job insecurity juga dapat

(12)

pada kegiatan keluarga dikarenakan sumber daya seperti energi dan waktu

berkurang, dan pada akhirnya akan terwujud sebagai work-family conflict

(Richter, Lindfors, Näswall, & Sverke, 2015).

Hasil studi yang dilakukan Richter, Näswall, & Sverke (2010)

menunjukkan bahwa job insecurity yang dirasakan karyawan dapat membawa

stres yang berhubungan dengan pekerjaan ke dalam peran keluarga dan

memiliki sedikit waktu untuk melakukan tanggung jawab keluarga. Selain itu,

perasaan tidak aman terhadap situasi kerja yang dimiliki individu juga dapat

memperburuk ketegangan dan stres finansial dalam keluarga (Gallie,

Dieckhoff, Russell, Steiber, & Tahlin, 2011). Penelitian sebelumnya juga

menemukan bahwa job insecurity yang dirasakan dapat mempengaruhi

pernikahan dan kehidupan keluarga karena karyawan yang mengalami

kecemasan dan depresi di tempat kerja cenderung memiliki kesulitan yang

besar dalam memenuhi peran mereka sebagai pasangan atau orang tua di

dalam keluarga (Larson, Wilson, & Beley, 1994).

Broman, Hamilton, & Hoffman (1990) melakukan studi pada keluarga

karyawan yang mengalami job insecurity dan menemukan bahwa para

karyawan ini mengalami peningkatan ketegangan, stres, dan konflik dalam

rumah tangga. Penelitian yang dilakukan Hughes & Galinsky (1994)

menunjukkan bahwa job insecurity dihubungkan dengan meningkatnya

ketegangan dalam pernikahan. Sejalan dengan penelitian Hughes & Galinsky,

berdasarkan hasil survey nasional yang dilakukan di Amerika Serikat,

(13)

keluarga (Butchell, Day, Hudson, Ladipo, Mankelow, Nolan, Reed, Wichert,

& Wilkinson, 1999). Selain itu, dijelaskan juga bahwa individu yang

mengalami job insecurity akan memperkecil waktunya di domain kehidupan

lain, yang mana dia hanya akan memiliki sedikit waktu untuk dihabiskan

bersama keluarga dan membuatnya lebih susah untuk memenuhi perannya di

dalam keluarga, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan work-family

conflict (Allen, Herst, Bruck, & Sutton, 2000).

D.Hipotesa Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti memiliki hipotesa bahwa

terdapat pengaruh positif antara job insecurity dengan work-family conflict

pada karyawan. Hipotesa di atas mengandung pengertian bahwa job

Referensi

Dokumen terkait

Pada percobaan ini dilakukan pencarian peta terbaik pada data yang menggunakan variabel bobot ataupun tanpa variabel bobot dengan kombinasi antara. penggunaan data

Penekanan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu pada faktor fisiologis terutama pada antropometrik atlet Scorpio club bandung terhadap kemampuan Shooting

Universitas Padjadjaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21 Jatinangor-Sumedang) Email: malik_ahh@yahoo.co.id 6 pelayanan kesehatan berikutnya, serta dapat digunakan

Biaya organisasi sebagai pelaksanaan statuta dalam peraturan ini, yang tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0192/O/1995 tentang Organisasi dan

(1) Unimal memiliki lambang dan bendera, yang terdiri atas lambang Unimal, bendera Unimal, dan bendera fakultas. elemen dasar kubah masjid melambangkan syariat/adat budaya

(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f pengelolaannya dilakukan oleh Direktur dengan persetujuan Senat dan sesuai dengan

 RPJPD Kabupaten Lingga 2005 – 2025. memiliki maksud dan tujuan

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang lebih luas dari yang hanya memfokuskan pada perumbuhan ekonomi.peningkatan pembangunan ekonomi merupakan peningkatan jumlah