• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan (Studi pada Dinas Sosial Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses Implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan (Studi pada Dinas Sosial Kota Medan)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu permasalahan yang harus dihadapi dan tak dapat dihindari oleh

pemerintah atau negara indonesia adalah kemiskinan, pemerintah belum mampu

menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut, padahal setiap pemimpin

Negara Indonesia selalu mengiming-imingi pengentasan kemiskinan sebagai misi

utama mereka disamping misi-misi yang lain.

Secara umum, penanggulangan kemiskinan sampai saat ini sangat sulit

untuk diatasi oleh pemerintah. Misalnya, gelandangan dan pengemis merupakan

salah satu fakta sosial yang terjadi di dalam masyarakat, dan merupakan salah satu

masalah yang belum mampu untuk diatasi oleh pemerintah. Padahal jelas kita

ketahui bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang tercantum dalam Pasal

34 ayat 1 dikatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh

Negara”. Maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua orang miskin

dan semua anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh negara, tetapi pada

kenyataanya yang ada di lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak

terlantar dipelihara oleh negara.

Selain itu, dalam upaya menanggulangi gelandangan dan pengemis

pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 31 Tahun 1980 tentang

penanggulangan gelandang dan pengemis. Pengaturan lain terhadap gelandangan

(2)

penanganan gelandangan dan pengemis antara lain mengatur tentang cara

preventif dan penegakan hukum dalam menangani gelandang dan pengemis.

Demikian halnya yang tercantum dalam Undang-Undang Hukum Pidana Pasal

504 dan Pasal 505 bahwa negara melarang untuk gelandangan dan pengemis.

Pasal 504 KUHP

1. Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan

pengemisan dengan pidana kurungan paling lama 6 minggu.

2. Pengemisan yang dilakukan oleh 3 orang atau lebih, yang berumur di atas 16

tahun, diancam dengan pidana kurungan lama 3 bulan.

Pasal 505 KUHP

1. Barang siapa bergelandang tanpa pencarian, di ancam karena melakuukan

pengelandangan dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan.

Penggelandangan yang dilakukan 3 orang atau lebih yang berumur di ats

16 tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan. Selain itu, dalam

Peraturan Daerah kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 juga diatur mengenai

Larangan Gelandangan dan Pengemis dan Praktek Susila di Kota Medan. Maka

dengan berbagai peraturan tersebut, sudah tentu bahwa pemerintah wajib untuk

melindungi dan memberdayakan GEPENG (gelandangan dan pengemis) dan

anak-anak terlantar tersebut. Seseorang dapat dikatakan sebagai anak apabila ia

berusia di bawah 18 tahun dan belum terikat oleh suatu perkawinan, karena jika

belum berusia 18 tahun tetapi telah melakukan perkawinan maka ia dapat

dikatakan telah dewasa. Penanganan masalah anak merupakan masalah yang

(3)

tetapi juga setiap orang yang berada di dekat anak tersebut harus dapat membantu

pertumbuhan anak dengan baik. Mengenai anak terlantar banyak hal yang

sebenarnya dapat mengatasinya seperti adanya panti-panti yang khusus

menangani masalah anak terlantar, tetapi karena kurangnya perhatian dari

pemerintah untuk mendukung pelaksanaan tersebut maka kelihatannya panti-panti

tadi tidak berfungsi dengan baik.

Masalah gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah

sosial sebagai dampak dari proses pembangunan nasional itu sendiri. Dari tesis

Nurmayana dikatakan bahwa kotalah sebenarnya yang merupakan tempat asal

gejala gelandangan. Masalah ini perlu mendapat penanganan sedini mungkin

secara konsepsional dan pragmatik, agar tidak membawa dampak negatif yang

lebih rawan serta dapat mengganggu stabilitas di bidang politik, ekonomi, sosial,

budaya, keamanan, ketertiban masyarakat, dan juga menimbulkan citra negatif

terhadap keberhasilan pembangunan nasional dewasa ini.

Menurut Susenas tahun 2000 mencatat bahwa jumlah anak terlantar usia

6-18 tahun mencapai 3.156.365 anak atau 5,4 persen dari jumlah anak di indonesia,

yang terbagi di pedesaan 2.614.947 dan di Perkotaan sebanyak 541.415 anak.

sedangkan tahun 2004 anak terlantar meningkat menjadi 3.308.642 anak.

Selanjutnya jumlah anak rawan terlantar pada tahun 2000 mencapai 10.349.240

anak. Dari jumlah tersebut, yang tinggal di pedesaan sebanyak 7.320.786 anak

dan diperkotaan sebanyak 3.046.454 anak. Data anak terlantar menurut sensus

penduduk tahun 2000 mencapai 28.544.797 anak dimana yang di Pedesaan

sebanyak 17.117.934 anak dan di perkotaan sebanyak 11.426.863 anak.

(4)

sebanyak 1.138.126 anak. Pada tahun 2011 terdapat 230 ribu anak jalanan di

indonesia, yang mengalami kenaikan bila dibandingkan pada tahun 2010 yaitu

jumlah anak jalanan mencapai 200 ribu jiwa.

Jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial di Sumatera Utara terus

meningkat dari tahun ketahun. Sesuai data tahun 2007 yang di peroleh dari Dinas

Sosial Sumatera Utara menunjukkan jumlah gelandang pengemis dan anak

jalanan (Gepeng Anjal) mencapai 95.791 orang. Dengan rincian, 3.300 pengemis,

4.823 gelandangan dan 18.741 anak balita terlantar, 161.755 keluarga fakir

miskin, dan yang paling besar jumlah keluarga yang tinggal di rumah tak layak

huni (RTLH) mencapai 140.169 keluarga (KKSP, 2008). Menurut data resmi

yang dirilis Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) menyebutkan sebanyak 800

hingga 900 anak di kota metropolitan Medan yang masih wajib pendidikan

menjadi anak jalanan yang bekerja paruh waktu.1 Berdasarkan data Dinas Sosial Sumut, di tahun 2009 tercatat ada 4.373 orang gelandangan dan 3.440 pengemis

dengan total 7813 jiwa. Sedangkan di tahun 2012 kaum GEPENG mencapai

12.680.2

Gelandangan dan pengemis di Kota Medan selama bulan Suci Ramadan

tahun ini mengalami peningkatan sebesar 50 persen. Dari data Dinas

Kesejahteraan Sosial Sumatera Utara (Sumut), secara keseluruhan di Sumut

jumlah Gepeng 4.181 orang. Populasi Gepeng di Kota Medan merupakan

tersebesar kedua, yakni sebanyak 1.023 orang. Sementara terbanyak pertama

1

Jurnal Efektivitas Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan Oleh Yakmi Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun oleh Fadlika Sya’bana

(5)

adalah di Tapanuli Utara (Taput) sebanyak 2.255 orang khusus untuk

gelandangan, data dari Dinas Kesejahteraan Sosial Sumut, tercatat sebanyak 2.500

jiwa. khusus jumlah gelandangan saja di Medan sebanyak 1.676 orang. Jumlah

tersebut terbesar dari 33 kabupaten/kota di Sumut lainnya.3

Kebijakan mengenai larangan dan pengemis di kota Medan telah

ditetapkan semenjak tahun 2003 yaitu terdapat di dalam Peraturan Daerah No. 6

Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemis di Kota Medan. Akan

tetapi pada realitanya Medan memiliki jumlah gelandangan terbesar dibandingkan

dengan 33 kabupaten atau kota di sumatera utara. Peningkatan jumlah Gepeng

dari tahun ketahunpun dapat dilihat pada lima tahun terakhir menjadi trend yang

sangat pelik yang harus dihadapi oleh kota Medan. Harusnya kebijakan yang telah

ditetapkan mempunyai kelanjutan dalam implementasi nyata pengurangan jumlah

gelandangan dan pengemis tersebut.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik ingin meneliti hal ini, di

mana judul penelitian ini adalah ProsesImplementasi Peraturan Daerah Kota

Medan No. 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di

Kota Medan (Studi Pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan)”.

1.2 Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan

penelitian dirumuskan sebagai berikut:

(6)

BagaimanaProsesImplementasi Peraturan Daerah Kota Medan No. 6

Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan

(Studi Pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan)”?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui Bagaimanana Proses Implementasi Perda No. 6 Tahun

2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis oleh Dinas Sosial dan

Tenaga Kerja Kota Medan.

b. Untuk mengetahui bagaimana sistem pelayanan yang dilakukan

pemerintah dalam Peraturan Daerah Kota Medan No. 6 Tahun 2003

tentang larangan gelandangan dan pengemis di kota Medan oleh Dinas

Sosial dan Tenaga Kerja kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:

1.Manfaat secara ilmiah

Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir

ilmiah, sistematis, bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dan

menuliskan karya ilmiah di lapangan berdasarkan kajian-kajian teori dan

aplikasi yang diperolah dari Ilmu Administrasi Negara.

2.Manfaat secara akademis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu untuk memperkaya khasanah

(7)

kajian akademik, referensi dan tambahan informasi bagi para pembaca

mengenai Otonomi Daerah.

3.Manfaat secara praktis

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Dinas

Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan untuk menangani masalah

gelandangan dan pengemis.

1.5 Kerangka Teori

Untuk memudahkan penulis dalam rangka menyusun penelitian ini, maka

dibutuhkan teori-teori sebagai pedoman kerangka berfikir untuk menggambarkan

dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. Sugiyono menyebutkan

kerangka teori merupakan landasan berpikir untuk melakukan penelitian dan teori

yang dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek

penelitian. Landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar

yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba.4

Secara etimologis, istilah kebijakan publik atau policy berasal dari bahasa

Yunani “polis” berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin

menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris 1.5.1 Kebijakan Publik

1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

4

(8)

policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah atau

administrasi pemerintahan.5

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk

menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,

maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang

kegiatan tertentu.6

Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan kebijakan publik yang

dapat digunakan, salah satunya menurut Robert Eyestone, ia mengatakan bahwa

“secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit

pemerintah dengan lingkungannya.

Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif

memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi

kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan

sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Oleh karena itu, kita

memerlukan batasan atau konsep kebijakan yang lebih tepat.

7

Batasan lain diberikan oleh Thomas R. Dye

yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh

pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.8 Konsep kebijakan publik dari Thomas R. Dye ini mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat

oleh pemerintah, bukan swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang

harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.9

5

Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik.(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), hal 22-25.

6

Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik.(Yogyakarta: Media Pressindo, 2002), hal. 14

7

Ibid., hal 15

8

Subarsono, AG. Analisis Kebijakan Publik:Konsep, Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal 2

9

(9)

Carl Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang

diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan

tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan

terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam

rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu

maksud tertentu.10 Dan dalam pandangan Harrold Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik tersebut hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai

dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat.11

Batasan lain juga disebutkan oleh James Anderson. Ia mengatakan bahwa

kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan

oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu

persoalan. Konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi,

yakni: Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik

berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan.

Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh

pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri.

Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam

mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan

rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan

publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara positif,

kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk Ini berarti kebijakan

publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang

(10)

mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin

mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk

mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu

persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.12

1. Goals atau tujuan yang diinginkan

Dari beberapa uraian diatas dan sejalan dengan pendapat dari Charles O.

Jones, bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen:

2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai

tujuan

3. Programs, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan

4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan

tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program

5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak,

primer atau sekunder).13

Meskipun terdapat berbagai defenisi kebijakan publik yang telah

dikemukakan diatas, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan

publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh

pemerintah yang mempunyai tujuan dan berorientasi pada tujuan dan kepentingan

masyarakat.

12

Winarno Budi, ibid., hal 16-18

(11)

1.5.1.2 Tahapan Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena

melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu,

beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik

membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahapan.

Seperti tahapan-tahapan kebijakan publik yang dikemukakan oleh William N.

Dunn berikut ini:14

1. Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda

publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk

dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah

masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu

masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain

pembahasan untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.

2. Tahap formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para

pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari

pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif kebijakan. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk

masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan

masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagi kebijakan yang diambil

untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan

“bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

14 William N. Dunn,

(12)

3. Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus

kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi

dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga

atau keputusan peradilan.

4. Tahap implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program

tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang

diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni

dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di

tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit

administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap

implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa

implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa

yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

5. Tahap penilaian kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi

untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan

masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang

diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat.

1.5.2 Implementasi Kebijakan Publik

(13)

Menurut James P. Lester dan Joseph Stewart, implementasi kebijakan

dipandang dalam pengertian yang sangat luas, merupakan alat administrasi hukum

di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja

bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang

diinginkan.15 Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output)

maupun sebagai hasil.16

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers

bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam

implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi kebijakan baik yang bersifat individu maupun kelompok atau

institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers

Batasan lain mengenai implementasi kebijakan juga disebutkan oleh Van

Meter dan Van Horn. Mereka membatasi bahwa implementasi kebijakan sebagai

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau

kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

Dari beberapa defenisi implementasi kebijakan publik yang telah

dikemukakan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi

kebijakan publik adalah pelaksanaan kebijakan oleh mesin-mesin administrasi

negara dalam mengatasi masalah.

1.5.2.2 Model-model Implementasi Kebijakan Publik

15

Budi Winarno, ibid, hal. 101

16

(14)

untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan

pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak

variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu

sama lain. Untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang

terlibat di dalamnya, maka kita akan melihat beberapa teori implementasi

kebijakan sebagai berikut:

1. Teori George C. Edwards III (1980)

Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh

empat variabel, yakni: (a) komunikasi, (b) sumberdaya, (c) disposisi dan (d)

struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama

lain.17

Komunikasi

Sumberdaya

Implementasi Disposisi

Struktur Birokrasi

Gambar 1.1: Faktor Penentu implementasi menurut Edwards III

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

17 AG Subarsono.

(15)

kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group)

sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran

suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh

kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelomok

sasaran.

b. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,

tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,

implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud

sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya

finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan

agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya di kertas menjadi dokumen

saja.

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,

seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki

disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik

seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor

memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan juga

menjadi tidak efektif.

d. Struktur birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari

(16)

prosedur operasi yang standar (standard operating procedure atau SOP). SOP

menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan

pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit

dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak

fleksibel

2. Teori Donald S. Van Meter dan Van Horn (1975)

Menurut Meter dan Horn ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja

implementasi kinerja implementasi, yakni: (a) standar dan sasaran kebijakan, (b)

sumberdaya, (c) komunikasi, (d) karakteristik agen pelaksana, (e) disposisi

implementor, dan (f) kondisi sosial, ekonomi dan politik.18

a. Standar dan sasaran kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.

Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi

multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen

implementasi.

b. Sumberdaya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia

(human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources).

c. Hubungan antar Organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan

koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan

kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

18 AG Subarsono.

(17)

d. Karakteristik agen pelaksana

Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur

birokrasi, norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang

semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

e. Kondisi sosial, politik dan ekonomi

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana

kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan bagi implementasi kebijakan,

karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat

opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik mendukung

implementasi kebijakan.

f. Disposisi implementor

Disposisi implementor inimencakup tiga hal yang penting, yakni : (1) respon

implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya untuk

melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan

dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki

oleh implementor.

3. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : (a) karakteristik dari masalah

(18)

of statute to structure implementation) dan (3) variabel lingkungan (nonstatutory

variables affecting implementation).19

4. Teori Merilee S, Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi

oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan

implementasi (context of implementation).20

19

Subarsono, AG. ibid., hal. 94

20 Subarsono, AG.

ibid., hal. 93

Variabel isi kebijakan mencakup : (a) sejauh mana kepentingan kelompok

sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, (b) jenis manfaat yang

diterima oleh target groups (c) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari

sebuah kebijakan, (d) apakah letak sebuah program sudah tepat, (e) apakah sebuah

kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci dan (f) apakah sebuah

program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan mencakup : (a) seberapa besar kekuasaan,

kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam

implementasi kebijakan, (b) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa

dan (c) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model implementasi teori

(19)

1.5.3 Hasil Penelitian Terdahulu

Menurut Gede Sedana didalam jurnalnya tentang faktor penyebab

terjadinya gelandangan dan pengemis, Beberapa faktor penyebab terjadinya

Gepeng terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling

mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya, faktor tersebut

yaitu21

1. Faktor internal yaitu individu dan keluarga Gepeng serta masyarakat ,

Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di

dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk

melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor

tersebut adalah : :

a. Kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan

lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan penguasaan

aset produktif, keterbatasan penguasaan modal usaha

b. Umur

c. Rendahnya tingkat pendidikan formal

d. Ijin orang tua

e. Rendahnya tingkat keterampilan (“life skill”) untuk kegiatan

produktif

f. Sikap mental

21

(20)

2. Eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas gepeng.

Faktor-faktor eksternal mencakup :

a. Kondisi hidrologis

b. Kondisi pertanian

c. Kondisi prasarana dan sarana fisik

d. Akses terhadap informasi dan modal usaha

e. Kondisi permisif masyarakat di kota

Didalam jurnal Nungkei Feriustika Kesumawindayati Dan Chalid Sahuri

mengungkapkan bahwa Setiap proses kegiatan dalam pelaksanaan pembinaan

gelandangan dan pengemis tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

dan yang ingin dicapai. Masalah yang mempengaruhi strategi pelaksanaan

pembinaan gelandangan dan pengemis yaitu anggaran operasional yang tidak

mencukupi, gelandangan dan pengemis yang berasal dari luar kota sedangkan

syarat yang mengikuti pembinaan tersebut gelandangan dan pengemis yang

memiliki identitas dan berasal dari kota tersebut, tidak adanya sanksi atau

hukuman untuk gelandangan dan pengemis agar mereka jera, panti sosial yang

tidak ada sehingga sulit untuk merehabilitasi gelandangan dan pengemis, tidak

adanya kerjasama atau membangun kemitraan dengan instansi lain yang sesuai

dengan ketentuan berlaku dalam Peraturan Daerah dan kurangnya sosialisasi

dengan gelandangan dan pengemis yang terkena razia. Sehingga sulit untuk

(21)

berkeliaran di kota. Dengan demikian fenomena yang menyangkut gelandangan

dan pengemis sulit untuk dapat tertangani dengan efektif.22

1. penghasilan mengemis yang menguntungkan.

Sedangkan Nurrohmah Setyaningrum mengungkapkan Persepsi pengemis

anak tentang kegiatan mengemis yaitu, pengemis anak bisa mendapatkan uang

tanpa harus meminta pada orang tua. Pengemis anak juga dapat bermain

disela-sela kegiatan mengemis yang dilakukannya, yang dilakukan di tempat istirahat

mereka seperti di tempat parkir. Pengemis anak juga menganggap bahwa kegiatan

mengemis yang dilakukannya untuk membantu orang tua mereka, karena

penghasilan orang tua mereka dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Kegiatan mengemis yang dilakukan oleh pengemis anak dapat disebabkan

oleh beberapa faktor, diantaranya karena :

2. tuntutan gaya hidup yang mencakup pola makan, uang jajan, fashion,

dan majunya teknologi yang menjadikan mereka tidak ingin

ketinggalan dengan untuk memiliki barang-barang seperti HP, TV,

tape dan kompor gas

3. tidak adanya aturan yang melarang pengemis di sekitar pasar.

4. sikap satpam pasar dan pedagang yang seolah membiarkan dan

menerima keberadaan pengemis yang berada di sekitar pasar.

Hal ini cenderung menjadikan pengemis semakin terlena dengan kegiatan

mengemis yang dilakoninya.

Dampak kegiatan mengemis bagi anak terbagi menjadi dua yaitu

1. Dampak negatif

22

(22)

Dampak negatif kegiatan mengemis yang dilakukan oleh anak-anak

adalah anak merasa malu atau minder ketika berjumpa dengan teman

sekolahnya dan dapat menyebabkan pengemis anak merasa ketagihan

2. Dampak positif

Dampak positif mengemis bagi pengemis anak adalah pengemis anak

dapat menabung/menyisihkan penghasilan dari mengemis untuk

disimpan dan anak mampu memenuhi kebutuhan, seperti kebutuhan

uang saku sekolah, kebutuhan uang jajan, dan kebutuhan peralatan

sekolah.23

Arie Kusuma, Nugroho Budi dan Nugroho Noto Susanto mengungkapkan

Motivasi non-ekonomi pengemis adalah24

1. Budaya. Mengemis menjadi satu-satunya pekerjaan (profesi) yang

menjadi penunjang hidup. :

2. Agama. Mengemis menjadi sebuah kegiatan yang didorong oleh faktor

eksternal dan internasl. Faktor eksternal karena adanya kewajiban yang

diharuskan oleh agama dalam menyantuni orang-orang miskin (dhu

afa) sementara hal tersebut juga mempengaruhi sisi internal seseorang

dimana dia merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

3. Lingkungan Sosial

a. Mengemis menjadi salah satu kegiatan karena didorong oleh

pengaruh kelompok tertentu dalam suatu lingkungan sehingga

23

Nurrohmah Setyaningrum. Fenomena Pengemis Anak Di Pasar. 2014 24

(23)

seseorang secara tidak sadar mengikuti segala aktivitas yang

dilakukan oleh kelompok tersebut.

b. Mengemis disebabkan oleh adanya permasalahan yang terjadi di

dalam lingkungan keluarga sehingga seseorang merasa tidak betah

terhadap lingkungan tersebut dan akhirnya memilih untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan menjadi pengemis.

Hal serupa diungkapan Lita Yuniarti dalam jurnalnya yaitu, Penyebab

mereka menjadi pengemis karena beberapa hal atau alasan. Ada alasan yang

bersifat struktural, dia tidak bisa melakukan pekerjaan lain selain mengemis

karena faktor fisik atau cacat yang dideritanya sehingga sektor usaha formal tidak

mau menerimanya untuk bekerja. Kedua, karena faktor fisik yang mengalami

kecacatan. Cacat yang dideritanya membuatnya melakukan pekerjaan sebagai

pengemis karena tidak bisa melakukan pekerjaan lainnya yang lebih berat dan

mengeluarkan banyak tenaga. Alasan ketiga yaitu karena malas dan kemiskinan

kultural. Sifat dasar seseorang yang tidak ingin berusaha untuk melakukan

pekerjaan yang lebih layak dan memilih mengemis karena dirasa itu pekerjaan

yang sangat mudah tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan tidak ada dorongan

untuk mengusahakan pekerjaan yang lebih baik meskipun untuk hal tersebut

sudah ada di depan mata. Alasan keempat adalah pemberian reward atau imbalan

yang menggiurkan sehingga seseorang akan berusaha keras untuk mendapatkan

uang dari mengemis itu.

Untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak,

pengemis-pengemis tersebut melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan

(24)

atau reward yang menguntungkan, maka mereka cenderung melakukan pekerjaan

tersebut secara terus-menerus. Dari mengemis mereka bisa mendapatkan uang dan

mampu memenuhi kebutuhannya tersebut. Selain itu, mengemis adalah cara

mudah untuk mendapatkan uang atau reward yang berlimpah, karenanya mereka

tetap melakukan pekerjaannya sebagai pengemis meskipun dirasa tidak layak bagi

masyarakat sekitar karena keluar dari norma-norma yang berlaku dalam

masyarakat. Banyak cara yang dilakukan oleh masing-masing pengemis, dan cara

yang berbeda-beda juga dilakukan oleh beberapa pengemis untuk mengemis. Cara

yang umum dilakukan yaitu dengan berpakaian yang lusuh layaknya pengemis

pada umumnya. Kedua adalah dengan bersikap jujur agar dapat dipercaya oleh

orang dan dianggap pengemis yang baik. Cara ketiga adalah dengan memaksa

sampai dia mendapatkan uang yang diinginkannya dari pengunjung. Cara yang

terakhir adalah dengan menunggu pengunjung datang memberinya sedekah, cara

ini dilakukan oleh pengemis cacat atau lumpuh karena selain kelumpuhannya itu

menarik rasa iba orang, dia juga tidak bisa berjalan ke tempat lain karena

keterbatasannya tersebut.25

1. Tidak tersedianya pekerjaan pokok

Jurnal yang ditulis oleh irka syuryani juga mengemukakan bahwa

Pengemis meliputi :

2. Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan

3. Tidak mau bekerja keras, membuat mereka tidak mengingikan mencari

pekerjaan yang lebih baik dan layak

25

(25)

4. Tidak disiplin, membuat mereka sulit memasuki dunia kerja terutama

sektor formal yang membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai disiplin

tinggi

5. Tidak punya tanggung jawab, membuat mereka sulit diterima di dunia

kerja karena tidak mempunyai tanggung jawab atas pekerjaan

6. Tidak punya percaya diri (budaya malu), membuat mereka membiarkan

diri bekerja menjadi pengemis tanpa ada usaha untuk mencari pekerjaan

yang lebih baik dan terhormat

Para pengemis menunjukkan diri sebagai orang miskin sehingga terlihat

layak untuk dikasihani dan diberi sumbangan. Upaya yang dilakukan oleh

pengemis seperti memanfaatkan anak kecil ketika mengemis untuk mendapatkan

belas kasihan dari orang yang melihatnya agar memberikan sumbangan dan

berpakaian lusuh untuk menutupi status sosial yang sebenarnya, karena pada saat

di rumah atau ketika tidak mengemis, penampilan yang mereka tunjukan itu

berbeda ketika mereka mengemis. Para pengemis cenderung

memaksa/mengintimidasi untuk mendapatkan sumbangan, sehingga masyarakat

merasa terpaksa ketika memberi sumbangan kepada pengemis.26 1.5.4 Kebijakan Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis

Kebijakan yang mejadi landasan dari penelitian ini yaitu :

1. UU Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kesejahteraan Sosial

26

(26)

Setiap Warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang

sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha

kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial

materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan

ketenteraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap Warga Negara untuk

mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan

sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan

menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai dengan

Pancasila.

Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial ialah semua upaya, program, dan

kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan

dan mengembangkan kesejahteraan sosial.

Pekerjaan Sosial ialah semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana

bagi pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial. "Jaminan Sosial" sebagai

perwujudan dari pada sekuritas sosial adalah seluruh sistim perlindungan dan

pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi Warga Negara yang diselenggarakan oleh

Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial.

Tugas-tugas Pemerintah ialah :

a. Menentukan garis kebijaksanaan yang diperlukan untuk memelihara,

membimbing, dan meningkatkan usaha kesejahteraan sosial;

b. Memupuk, memelihara, membimbing dan meningkatkan kesadaran

(27)

c. Melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha

kesejahteraan sosial.

Usaha-usaha Pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi :

a. Bantuan sosial kepada Warga Negara baik secara perseorangan

maupun dalam kelompok yang mengalami kehilangan peranan sosial

atau menjadi korban akibat terjadinya bencana-bencana, baik sosial

maupun alamiah, atau peristiwa-peristiwa lain

b. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan suatu

sistim jaminan sosial;

c. Bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial, termasuk di dalamnya

penyaluran ke dalam masyarakat, kepada Warga Negara baik

perorangan maupun dalam kelompok, yang terganggu kemampuannya

untuk mempertahankan hidup, yang terlantar atau yang tersesat;

d. Pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan peradaban,

perikemanusiaan dan kegotong-royongan.

Alat kelengkapan Pemerintah dalam lapangan kesejahteraan sosial :

a. Di tingkat Pusat ialah Departemen yang diserahi tugas urusan

kesejahteraan sosial dengan seluruh aparatnya;

b. Di tingkat Daerah ialah aparat-aparat yang diserahi tugas urusan

kesejahteraan sosial di Daerah.

Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan

usaha kesejahteraan sosial dengan mengindahkan garis kebijaksanaan dan

ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan

(28)

usaha masyarakat di bidang kesejahteraan sosial, ialah usaha kesejahteraan sosial

dan pemenuhan jaminan sosial yang menyangkut kepentingan orang banyak,

dapat dibentuk yayasan atau lembaga lain yang syarat-syarat dan cara-cara

pembentukannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang-undangan.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang

Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup

mengembara di tempat umum.

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk

mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi

penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan

serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan

pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya :

a. pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga

terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

b. meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan

pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban

(29)

c. pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan

pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke

daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah

masyarakat.

Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga

maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan,

serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat.

Usaha rehabilitasi adalah usaha yang terorganisir meliputi

usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan

dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui

transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan

lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali

memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia

sebagai Warga Negara Republik Indonesia.

Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha

preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan

pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan

pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan

dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta

memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki

kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan

(30)

Kebijaksanaan di bidang penanggulangan gelandangan dan pengemis

ditetapkan oleh Menteri berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan oleh

Pemerintah. Dalam menetapkan kebijaksanaan, Menteri dibantu oleh sebuah

badan koordinasi, yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan

Keputusan Presiden.

Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan

dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan

maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya

gelandangan dan pengemis. Dilakukan antara lain dengan :

a. Penyuluhan dan bimbingan sosial;

b. Pembinaan sosial;

c. Bantuan sosial;

d. Perluasan kesempatan kerja;

e. Pemukiman lokal;

f. Peningkatan derajat kesehatan.

Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan

gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun

kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.

Meliputi :

a. Razia;

b. Penampungan sementara untuk diseleksi;

(31)

Gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung dalam

penampungan sementara untuk diseleksi. Seleksi sebagaimana di maksud dalam

Pasal 11 di maksudkan untuk menetapkan kualifikasi para gelandangan dan

pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri

dari :

a. Dilepaskan dengan syarat;

b. Dimasukkan dalam panti sosial;

c. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;

d. Diserahkan ke pengadilan;

e. Diberikan pelayanan kesehatan.

Dalam hal seseorang gelandangan dan/atau pengemis dikembalikan

kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya baik karena hasil seleksi

maupun karena putusan pengadilan dapat diberikan bantuan sosial yang jenis dan

jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.

Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis meliputi

usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut,

bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga

masyarakat.

Usaha penampungan ditujukan untuk meneliti/menyeleksi gelandangan

dan pengemis yang dimasukkan dalam Panti Sosial. bertujuan untuk menentukan

kualifikasi pelayanan sosial yang akan diberikan.

Usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandangan

(32)

para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik

fisik, mental maupun sosial serta keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan

kemampuannya.

Usaha penyaluran ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah

mendapatkan bimbingan, pendidikan, latihan dan keterampilan kerja dalam

rangka pendayagunaan mereka terutama ke sektor produksi dan jasa, melalui

jalur-jalur transmigrasi swakarya, dan pemukiman lokal.

Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang

telah disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan pengemis.

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1983 Tentang

Koordinasi Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis

Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis dilaksanakan

melalui suatu Tim yang bersifat konsultatif dan koordinatif. Keputusan Presiden

ini mempunyai tugas membantu Menteri Sosial dalam menetapkan kebijaksanaan

Pemerintah di bidang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Keputusan

Presiden ini mempunyai berfungsi :

a. Mengajukan perumusan kebijaksanaan pelaksanaan penanggulangan

gelandangan dan pengemis secara terpadu;

b. Menyusun dan memperinci kebijaksanaan tersebut pada huruf a bagi

tiap-tiap Departemen yang melaksanakan penanggulangan gelandangan

dan pengemis sesuai dengan bidangnya masing- masing, berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(33)

a. Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Departemen Sosial

sebagai Ketua merangkap anggota;

b. Direktur Rehabilitasi Tuna Sosial sebagai Sekretaris merangkap

anggota;

c. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan

Rakyat sebagai anggota

d. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri sebagai anggota;

e. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan Keamanan sebagai

anggota;

f. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan sebagai anggota;

g. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai anggota;

h. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja sebagai anggota;

i. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Transmigrasi sebagai anggota;

j. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian sebagai anggota;

k. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian sebagai anggota.

3. Peraturan Daerah No. 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan

Pengemis di Kota Medan

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup

mengembara ditempat-tempat umum.

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara baik berupa mengamen dan

(34)

Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau

perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas

kasihan orang lain. Dilarang dengan sengaja memperalat orang lain seperti bayi,

anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud

melakukan pengemisan.

Pengawasan terhadap peraturan daerah ini dilaksanakan secara terpadu di

bawah koordinasi kepala daerah. Dalam hal-hal tertentu dan dipandang kepala

daerah membentuk tim pengawasan terpadu teknis penanggulangan gelandangan

dan pengemis akan diatur lebih lanjut dengan keputusan kepala daerah.

Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap gelandangan dan

pengemis serta susila berupa kegiatan yang berbentuk dan mencakup

keterampilan-keterampilan serta keahlian lainnya. Barang siapa yang melanggar

ketentuan peraturan daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam)

bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Tindak pidana dimaksud adalah pelanggaran.

Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan pemerintah kota Medan

diberi wewenang sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di

bidang pelanggaran ketentuan tentang penanggulangan gelandangan dan

pengemis di kota Medan. Wewenang sebagaimana dimaksud adalah :

a. Menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau

laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang pelanggaran

ketentuan tentang penaggulangan gelandangan pengemis agar

(35)

b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan orang pribadi atau

badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan

dengan tindak pidana yang pelanggaran ketentuan tentang

penanggulangan gelandangan dan pengemis

c. Meminta keterangan dan bahan bukti bagi orang pribadi atau badan

sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelanggaran ketentuan

tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis

d. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti

pembukuan pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan

penyitaan terhadap bahan bukti tersebut

e. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka melaksanakan tugas

penyidikan tindak pidana pelanggaran gelandangan dan pengemis

f. Menyuruh berhenti seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada

saat pemeriksaan sedang berlangsung, memeriksa identitas orang dan

atau dokumen, dan memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak

pidana pelanggaran ketentuan tentang penaggulangan gelandangan dan

pengemis

g. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai

saksi

h. Menghentikan penyidikan

i. Melakukan tindak lain untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di

bidang pelanggaran ketentuan tentang penaggulangan gelandangan dan

pengemis serta tuna susila menurut hukum yang dapat dipertanggung

(36)

1.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional

1.6.1 Defenisi Konsep

Dengan konsep peneliti melakukan anbstraksi dan menyederhanakan

pemikirannya melalui penggunaan satu istilah untuk beberapa kejadian yang

berkaitan satu dengan yang lainnya. Maka untuk mendapatkan batasan masalah

yang jelas, defenisi konsep yang diberikan penulis adalah :

a. Kebijakan publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang

akan dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah persoalan

yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang

mengikat. Jadi, kebijakan publik berpusat pada penyelesaian masalah

yang sudah nyata. Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah Peraturan Daerah kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang

Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan

b. Implementasi kebijakan adalah tindakan atau proses atau pelaksanaan

terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dan dijalankan dengan

berbagai program untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama.

Implementasi kebijakan yang di maksud dalam penelitian ini adalah

Implementasi Peraturan Daerah kota Medan Nomor 6 Tahun 2003

Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan dengan

melihat variabel yang dikemukakan George C. Edwards III sebagai

berikut :

1. Komunikasi, Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan

(37)

menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada

kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi

implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak

jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok

sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelomok

sasaran.

2. Disposisi, Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki

oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.

Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan

dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang

diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki

sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan juga

menjadi tidak efektif.

3. Sumberdaya, Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara

jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan

sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan

efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia,

yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial.

Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan

agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya di kertas menjadi

dokumen saja.

4. Struktur birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas

mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang

(38)

struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya

prosedur operasi yang standar (standard operating procedure atau

SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam

bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung

melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni

prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya

menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel

1.6.2Defenisi Operasional

Definisi operasional adalah sebagian petunjuk pelaksana bagaimana

caranya mengukur suatu variabel atau suatu informasi ilmiah yang membantu

penlitian sehingga dari informasi tersebut diketahui bagaimana caranya mengukur

variabel penelitian tersebut.27

a. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas, yaitu meliputi

sosialisasi, baik itu sosialisasi internal maupun eksternal, ditambah

dengan adanya forum diskusi antar pegawai dan pihak-pihak yang

terlibat langsung dalam implementasi kebijakan Perda Kota Medan

Nomor 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Adapun yang menjadi indikator dari implementasi

Perda Kota Medan Nomor 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan

Pengemis adalah :

b. Disposisi implementor, yaitu kognisi dinas sosial dan tenaga kerja

dalam melaksanakan Implementasi Kebijakan Perda Kota Medan

Nomor 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis

meliputi :

27

(39)

1. Netralitas maupun obyektivitas dinas sosial dan tenaga kerja kota

medan,

2. Serta respon dari dinas sosial dan tenaga kerja kota Medan

terhadap pelaksanaan Implementasi Kebijakan.

c. Sumber daya, yaitu meliputi :

1. Sumber daya manusia yang terdiri dari jumlah pegawai, tingkat

pendidikan pegawai, keahlian, keterampilan, dan kemampuan para

pegawai untuk melaksanakan tugas dan fungsi pada dinas sosial

dan tenaga kerja kota Medan.

2. Sumber anggaran yaitu sumber dan besarnya pembiayaan untuk

melaksanakan Perda Kota Medan Nomor 6 tahun 2003 tentang

Larangan Gelandangan dan Pengemis.

3. Fasilitas yaitu sarana dan prasarana yang diperlukan dalam

melaksanakan Perda Kota Medan Nomor 6 tahun 2003 tentang

Larangan Gelandangan dan Pengemis.

d. Struktur birokrasi, yaitu meliputi struktur organisasi, pembagian tugas

dan wewenang, garis komando atau rentang kendali serta ketepatan

atau kesesuaian pelaksanaan program dengan tingkat struktural dinas

Gambar

Gambar 1.1: Faktor Penentu implementasi menurut Edwards III

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan homepage ini menggunakan Macromedia Dreamweaver 3.0 untuk mengedit HTML, Internet Explorer 5.0 sebagai browser, Adobe Photoshop 6.0 untuk mengedit gambar, Macromedia Flash

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

1. Kecenderungan media atau sumber-sumber belajar yang tersedia di sekolah guna menunjang pelaksanaan pendidikan agama di SD, kecenderungan media atau sumber-

RENCANA MARKETING UNTUK LOKASI USAHA……….. BENTUK

Reigeluth (1987), dan model pengembangan media oleh Arief S. Criswell & Luther. Target yang dihasilkan adalah terciptanya media Kit sebagai suplementasi pesan-pesan pembelajaran

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun

23 Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan, bahwa kinerja Sistem Informasi e-KTP Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menggunakan COBIT 5 domain

 Belia yang melakukan aktiviti khidmat masyarakat mempunyai kebarangkalian yang kurang untuk terlibat dengan pelakuan tidak sihat, lebih merasakan diri mereka dekat