BAB II
PERLINDUNGAN HAK MEREK DI INDONESIA
A. Kedudukan Hak Merek dalam Hukum Kebendaan
Hak merek merupakan bagian dari Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI).
Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang
bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio
manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immateril. Benda tidak
berwujud,21
Merek adalah tanda yang berupa gambar nama, kata,
hurufhuruf,angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur unsur tersebut yang namun sebelum membahas mengenai kedudukan hak merek dalam
hukum kebendaan di Indonesia, terlebih dahulu haruslah dipahami mengenai
ruang lingkup dari hak merek. Di mana pembahasan mengenai ruang lingkup hak
merek ini, penulis akan membahas mengenai pengertian hak merek, jenis-jenis
hak merek, serta fungsi dari hak merek.
1. Pengertian Hak Merek
Sebelum menelusuri tentang merek lebih jauh, maka terlebih dahulu
dipahami tentang pengertian merek, agar dapat berpedoman pada pengertian yang
sama dalam melakukan pembahasan, guna memperoleh hasil atau paling tidak
mendekati sasaran yang hendak dicapai. Dalam Pasal 1 angka 1 UU Merek 2001
Tentang Merek diberikan pengertian atau batasan tentang merek sebagai berikut :
21
memiliki daya pembedaan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa.
Selain dari pengertian merek menurut Undang-undang merek tersebut
diatas, beberapa sarjana ada juga memberikan pendapatnya tentang merek, yaitu :
a. H.M.N. Purwo Sutjipto, "Merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu
benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain
yang sejenis".22
b. Tirtaamidjaya yang mensitir pendapat Vollmar, "Suatu merek pabrik atau
merek perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan di atas barang atau
di atas bungkusannya, gunanya membedakan barang itu dengan
barang-barang yang sejenis lainnya".23
c. K. Soekardono, "Merek adalah sebuah tanda (Jawa: ciri atau tengger)
dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga
dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang dalam
perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau
diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain".24
d. Essel R. Dillavou, Sarjana Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh
Pratasius Daritan, merumuskan dan memberi komentar bahwa:
No complete, definition can be given/or a trade mark generally it is any sign, symbol mark, work or arrangement of words in the form of a label adopted and used by a manufacturer of distributor to designate his particular goods, and which no other person has the legal right to use it,
22
H.M N. Purwo Sutjipto, Pengertian Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia(Djambatan,1983), hlm. 82.
23
Mr. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan (Djambatan,1962), hlm. 80. 24
Originally, the sign or trade mark, indicated origin, but to day it is used more as an advertising mechanism.25
e. Iur Soeryatin, "Suatu merek dipergunakan untuk membedakan barang
yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya oleh karena itu, barang
yang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda asal,
nama, jaminan terhadap mutunya." Terjemahan bebas :
(Tidak ada definisi yang lengkap yang dapat diberikan untuk suatu merek dagang, secara umum adalah suatu lambang, simbol, tanda, perkataan atau susunan kata-kata di dalam bentuk suatu etiket yang dikutip dan dipakai oleh seseorang pengusaha atau distributor untuk menandakan barang-barang khususnya, dan tidak ada orang lain mempunyai hak sah untuk memakainya desain atau trade mark menunjukkan keaslian tetapi sekarang itu dipakai sebagai suatu mekanisme periklanan)
26
f. Poerwadaminta, memberikan arti merek sebagai;
1) Cap (tanda) yang menyatakan nama dan sebagainya, misalnya : pisau
ini tidak ada mereknya, merek took, merek obat nyamuk.
2) Keunggulan, kegagalan, kualitas, misalnya, jatuh (turun) merek,
mendapat nama buruk, sudah tidak gagah (megah) lagi, bermerek,
bercap, bertanda dan sebagainya.27
7. A.B. Loebis, Merek adalah nama atau tanda yang dengan sengaja digunakan
untuk menandakan hasil/barang suatu perusahaan/perniagaan dari
seseorang/badan dari pada barang perniagaan sejenis milik orang/badan lain.28
25
Pratasius Daritan, Hukum Merek dan Persengketaan Merek di Indonesia, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, hlm. 7.
26
Suryatin, Hukum Dagang I dan II (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 84. 27
Poerwadaminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1974), hlm. 647.
28
8. Suryodiningrat, Barang-barang yang dihasilkan oleh pabriknya dengan
dibungkus dan pada bungkusya itu dibubuhi tanda tulisan dan/atau perkataan
untuk membedakannya dari barang-barang sejenis hasil pabrik pengusaha lain.
Tanda itu disebut merek perusahaan.29
Menurut Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, merek merupakan alat
untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh sesuatu perusahaan.
Pengertian itu menekankan pada fungsi merek untuk membedakan antara barang
dan jasa yang sejenis. Mengenai daya pembeda menurut Sudargo Gautama
memberikan ilustrasi bahwa suatu merek harus dapat memberikan penentuan atau
individuali sering barang yang bersangkutan, sehingga pihak ketiga dapat
membedakan merek yang satu dengan merek yang lain.30
Any sign, or any combination of sign, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those of undertaking, shall be capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words, including personal names, letters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks.
Dalam Pasal 15 TRIPs dikatakan bahwa yang disebut suatu merek adalah:
31
Pengertian merek yang terdapat dalam persetujuan TRIPs tersebut pada
umumnya telah dipakai oleh beberapa negara dalam berbagai
peraturan-perundangan di bidang merek, seperti yang terdapat dalam undang-undang merek
Australia yang termuat dalam Trade Marks Act 1955 yang kemudian pada tahun
1995 diganti dengan Trade Marks Act 1995. Demikian juga yang terdapat dalam
29
Suryodiningrat, RM, Pengantar Ilmu Hukum Merek(Jakarta:PradnyaParamitha, 1975), hlm. 30.
30
Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia(Bandung: Alumni, 1977), hlm. 34. 31
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Hukum
Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek yang kemudian diubah dan
disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997.
Pasal 6 ayat 1 Trade Mark Act 1955 Australia pada intinya menyatakan :
A mark used or proposed to be used in relation to goods or services for the purpose of indicating, or so as to indicate, a connection in the course of trade between the goodsor services and a person who has the right, either as proprietor or as registered user to use the mark, whether with or without an indication of the identity of that person.32
A sign used, or intended to be used, to distinguish goods or services dealth
with or provided in the course I of trade by a person from goods or
services so dealth with or provided by any other person.
Tidak jauh dari pengertian itu, dalam Pasal 17 Trade Marks Act 1995
Australia mengenai merek diberikan pengertian sebagai berikut:
33
a. merupakan suatu tanda;
Mengenai beberapa rumusan pengertian merek di atas, maka ada beberapa
unsur yang harus dipenuhi untuk suatu merek. Unsur itu adalah :
b. mempunyai daya pembeda;
c. digunakan dalam perdagangan;
d. digunakan pada barang atau jasa yang sejenis.
Terhadap pendapat-pendapat sarjana tersebut, maupun dari peraturan
merek itu sendiri, secara umum penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa yang
diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan
barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang atau
32
Mc Keough and Steward, Intellectual Property in Australia(Butterworths, Melbourne,1991), hlm. 331.
33
jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda
maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa.34
Sesuai dengan apa yang tercantum dalam UU Merek 2001 maka jenis-jenis
merek yaitu merek dagang dan merek jasa. Pasal 1 butir 4 ada menyebutkan
tentang merek kolektif. Khusus untuk merek kolektif sebenarnya tidak dapat
dikatakan sebagai jenis merek yang baru oleh karena merek kolektif ini
sebenarnya juga terdiri dari merek dagang dan jasa. Hanya saja merek kolektif ini 2. Jenis merek
Undang-Undang Merek Tahun 2001 ada mengatur tentang jenis-jenis
merek, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 dan 3
Undang-UU Merek 2001.
Pasal 1 butir 2 UU Merek 2001, mengatakan :
“Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis
lainnya.”
Pasal 1 butir 3 UU Merek Tahun 2001, menyatakan :
“Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan
hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.”
34
pemakaiannya digunakan secara kolektif. Pengklasifikasian merek semacam ini
kelihatannya diambil alih dari Konvensi Paris yang dimuat dalam Pasal 6 sexies.35
a. Kelas 35 : Advertising and Business
Sebenarnya pengakuan terhadap merek jasa belum begitu lama.
Perkembangan yang ditandai dari Konvensi Nice atau dikenal dengan The Nice
Convention of the International Classification of Good and Service for the
Purposes of the Registration of Mark (1957). Mulai dari Konvensi Nice, maka
pengakuan untuk pendaftaran merek jasa kemudian berkembang di beberapa
Negara lainnya. Di Indonesia, pendaftaran merek jasa baru dapat dilakukan mulai
tahun 1992, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang
Merek.
Semua negara yang mengatur adanya pendaftaran untuk merek jasa, pada
dasarnya akan melandaskan daripada klasifikasi jasa yang ditetapkan dalam
Konvensi Nice, terdiri sebanyak 8 kelas yang meliputi;
b. Kelas 36 : Insurance and Financial
c. Kelas 37 : Construction and Repair
d. Kelas 38 : Communication
e. Kelas 39 : Transportation and Storage
f. Kelas 40 : Material Treatment
g. Kelas 41 : Educational and Entertainment
h. Kelas 42 : Miscellaneous.36
35Ibid.,
hlm.346. 36
Berbeda deng
dipercaya menjadi motif pendorong
merek bukan hanya apa yang tercetak di dalam produk (kemasannya), melainkan
juga merek termasuk yang ada di dalam hati konsumen dan bagaimana konsumen
mengasosiasikannya.
R.M. Suryodiningrat mengklasifikasikan merek dalam tiga jenis, yaitu :
a. Merek kata yang terdiri dari kata-kata saja. Misalnya : Good Year,
Dunlop, sebagai merek untuk ban mobil dan ban sepeda.
b. Merek lukisan adalah merek yang terdiri dari lukisan saja yang tidak
pernah, setidak-tidaknya jarang sekali dipergunakan.
c. Merek kombinasi kata dan lukisan, banyak sekali dipergunakan.
Misalnya : rokok putih merek “Escort” yang terdiri dari lukisan
iring-iringan kapal laut dengan tulisan dibawahnya “Escort”;
Teh wangi merek “Pendawa” yang terdiri dari lukisan wayang kulit
pendawa dengan perkataan dibawahnya “Pendawa Lima”.37
a. Cara yang oleh siapa pun mudah dapat dilihat (beel mark)
Soekardono mengemukakan pendapatnya bahwa, tentang bentuk atau
wujud dari merek itu undang-undang tidak memerintahkan apa-apa, melainkan
harus berdaya pembeda, yang diwujudkan dengan :
b. Merek dengan perkataan (word mark)
c. Kombinasi dari merek atas penglihatan dan merek perkataan.38
37
R.M Suryodiningrat, Aneka Milik Perindustrian, Edisi pertama(Bandung: Tarsito, 1981), hlm.15.
38
Di samping jenis merek sebagaimana ditentukan diatas ada juga
pengklasifikasian lain yang didasarkan kepada bentuk atau wujudnya. Bentuk dan
wujud itu menurut Suryatin dimaksudkan untuk membedakannya dari barang
sejenis milik orang lain. Oleh karena adanya pembedaan itu, maka terdapat
beberapa jenis merek yaitu :
a. Merek lukisan (beel mark)
b. Merek kata (word mark)
c. Merek bentuk (form mark)
d. Merek bunyi-bunyian (klank mark)
e. Merek judul (title mark)
Suryatin berpendapat bahwa jenis merek yang paling baik untuk Indonesia
adalah merek lukisan. Adapun jenis merek lainnya, terutama merek judul kurang
tepat untuk indonesia, mengingat bahwa abjad Indonesia tidak mengenal huruf ph,
sh. Dalam hal ini merek kata dapat juga menyesatkan masyarakat banyak
umpamanya: “Sphinx” dapat ditulis secara fonetis (menurut pendengaran),
menjadi “Sfinks” atau “Svinks”.39
Selain itu saat ini juga dikenal merek dalam bentuk tiga dimensi (three
dimensional trademark) seperti merek pada produk minuman Coca-Cola dan
Kentucky Fried Chicken. Di inggris perusahaan Coca-Cola telah mendaftarkan
bentuk botol merek sebagai suatu merek.40
39
Suryatin, Op.Cit, hlm. 87. 40
OK.Saidin.Op.Cit, hlm. 347-348.
produk yang dipresentasikan oleh bentuk, ukuran dan warna tidak dapat
dikategorikan sebagai merek.41
a. tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya; 3. Fungsi Merek
Berdasarkan definisi merek, fungsi utama dari suatu merek adalah untuk
membedakan barang-barang atau jasa sejenis yang dihasilkan oleh suatu
perusahaan lainnya, sehingga merek dikatakan memiliki funsi pembeda. Di dalam
website Direktorat Jenderal HaKI dikemukakan bahwa pemakaian merek
berfungsi sebagai:
b. sebagian alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup
dengan menyebut mereknya;
c. sebagai jaminan atas mutu barangnya;
d. menunjukkan asal barang/jasa dihasilkan.
Selain fungsi pembeda, dari berbagai literatur ditemukan bahwa merek
mempunyai fungsi-fungsi lain sebagai berikut :42
a. Menjaga persaingan usaha yang sehat.
Hal ini berlaku dalam hal menjaga keseimbangan antar kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum dengan menumbuhkan iklim usaha
yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan
menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang
41
Lihat Smith Kline French Laboratories Australia Ltd versus Pengadilan Merek, 1967, 116 CLR 628
42
dan mencegah persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku
usaha dengan menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha;
b. Melindungi konsumen.
Berdasarkan UU Merek 2001 di dalam konsiderannya menyebutkan
bahwa salah satu tujuan diadakannya undang-undang ini adalah utuk
melindungi khalayak ramai terhadap peniruan barang-barang. Dengan
adanya merek, para konsumen tidak perlu lagi menyelidiki kualitas dari
barangnya. Apabila merek telah dikenal baik kualitasnya oleh para
konsumen dan membeli barang tersebut, konsumen akan yakin bahwa
kualitas dari barang tersebut adalah baik sebagaimana yang
diharapkannya;
c. Sebagai sarana dari pengusaha untuk memperluas bidang usahanya
merek dari barang-barang yang sudah dikenal oleh konsumen sebagai
tanda utuk barang yang bermutu tinggi akan memperlancar usaha
pemasaran barang bersangkutan;
d. Sebagai sarana untuk dapat melihat kualitas suatu barang.
Kualitas barang tentunya tidak selalu baik atau dapat memberikan
kepuasan bagi setiap orang yang membelinya. Baik atau buruknya kualitas
suatu barang tergantung dari produsen sendiri dan penilaian yang
diberikan oleh masing-masing pembeli. Suatu merek dapat memberi
kepercayaan kepada pembeli bahwa semua barang yang memakai merek
tersebut, minimal mempunyai mutu yang sama seperti yang telah
e. untuk memperkenalkan barang atau nama barang.
Merek mempunyai fungsi pula sebagai sarana untuk memperkenalkan
barang ataupun nama barangnya (promosi) kepada khalayak ramai. Para
pembeli yang telah mengenal nama merek tersebut, baik karena
pengalamannya sendiri ataupun karena telah mendengarnya dari pihak
lain, pada saat membutuhkan barang tersebut cukup dengan mengingat
nam mereknya saja. Misalnya, seseorang ingin membeli minuman
bermerek Fanta, maka cukup hanya menyebut Fanta saja;
f. untuk memperkenalkan identitas perusahaan.
Ada kalanya suatu merek digunakan untuk memperkenalkan nama
perusahaan yang menggunakan mereknya. Misalnya, merek dagang
Djarum, Djarum adalah merek yang digunakan oleh perusahaan rokok
Djarum.
Pembahasan mengenai definisi, jenis dan fungsi merek tersebut di atas
dapat dihubungkan dengan kedudukan hak merek dalam hukum kebendaan di
Indonesia. Jika ditelusuri lebih jauh, HKI sebenarnya merupakan bagian dari
benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka
hukum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah satu
diantara kategori itu, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda
berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapatlah dilihat batasan benda
yang dikemukakan oleh pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUH Perdata), yang berbunyi : menurut paham
dikuasai oleh hak milik. Untuk pasal ini kemudian Prof. Mahadi menawarkan,
seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat
sebagai berikut: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu
terdiri dari barang dan hak.43
Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Mahadi barang yang
dimaksudkan oleh Pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil
(stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateril. Uraian ini sejalan
dengan klasifikasi benda menurut Pasal 503 KUH Perdata, yaitu penggolongan
benda ke dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan benda tidak berwujud
(tidak bertubuh). Ada suatu benda tak berwujud yang terdapat pada hak merek,
jadi bukan seperti apa yang terlihat atau terjelma dalam setiap produk. Yang
terlihat atau yang terjelma itu adalah, perwujudan dari hak merek itu sendiri yang
ditempelkan pada produk barang dan jasa.44
Sebagai contohnya, para konsumen berlomba-lomba untuk mengkonsumsi
bumbu masak dengan merek “X” ketinbang bumbu masak dengan merek “Y”.
Padahal jika bumbu masak dengan merek “X” itu kemudian diganti dengan merek
“Y”, dengan komposisi resep yang sama, konsumen juga tidak akan merasa
kecewa. Jadi ada sesuatu yang “tak terlihat” dalam hak merek itu. Itulah hak
kekayaan immateril (tidak berwujud) yang selanjutnya dapat berupa hak atas
intelektual. Dalam kerangka ini hak merek termasuk dalam kategori hak atas
kekayaan perindustrian (Industri Eigendom) atau Industrial Property Rights.45
43
Mahadi, Hak Milik dalam Sistem Hukum Nasional(Jakarta: BPHN, 1998), hlm. 65. 44
OK. Saidin,Op.Cit, hlm. 331. 45Ibid.,
B. Perlindungan Hak Merek di Indonesia
Perlindungan hukum atas merek semakin menjadi hal yang penting
mengingat pesatnya perdagangan dunia dewasa ini. Imbasnya menjadi sulit untuk
membedakan satu produk dengan dengan produk lainnya untuk diberikan
perlindungan merek dengan perlindungan desain produk. Di Inggris, bahkan
Australia, pengertian merek justru berkembang pesat dengan mengikutsertakan
bentuk tampilan produk di dalamnya. Peraturan merek yang pertama kali
diterapkan di Inggris adalah hasil adopsi dari Perancis tahun 1857, dan kemudian
membuat peraturan tersendiri, yakni Merchandise Act tahun 1862 yang berbasis
hukum pidana. Tahun 1883 berlaku Konvensi Paris mengenai hak milik Industri
(paten dan merek) yang banyak diratifikasi negara maju dan negara berkembang.
Kemudian tahun 1973 lahir pula perjanjian Madrid, yakni perjanjian internasional
yang kemudian disebut Trademark Registration Treaty.46
Sejarah tentang Undang-Undang Merek di Indonesia dimulai pada Tahun
1961 yang menggantikan Reglement Industriele Eigendom Kolonien Stb. 1912
Nomor 545 jo. Stb. 1913 Nomor 214. Perkembangan berikutnya, Tahun 1992
lahir Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (lembaran Negara
1992 No. 81) yang berfungsi mencabut Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 yang
kemudian direvisi tahun 1997 dan 2001 dengan menyesuaikan terhadap TRIPs,
yaitu UU Merek 2001. Dengan undang-undang ini terciptalah pengaturan merek
46
dalam satu naskah (single-text) sehingga lebih memudahkan masyarakat
menggunakannya.47
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masalah penggunaan merek terkenal
oleh pihak yang tidak berhak, masih banyak terjadi di Indonesia dan kenyataan
tersebut benar-benar disadari oleh pemerintah, tetapi dalam praktek banyak sekali
kendala-kendala sebagaimana dikatakan oleh A Zen Umar Purba (mantan Dirjen
HaKI) bahwa law enforcement yang lemah. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari sisi
historis masyarakat Indonesia yang sejak dahulu adalah masyarakat agraris,
sehingga terbiasa segala sesuatunya dikerjakan dan dianggap sebagai milik
bersama, bahkan ada anggapan dari para pengusaha home industri bahwa merek
adalah mempunyai fungsi sosial. Pada satu sisi keadaan tersebut berdampak
positif tetapi pada sisi lain justru yang anggapan demikian itu menyebabakan
masyarakat kita sering berpikir kurang ekonomis dan kurang inovatif.48
Agar suatu merek mendapat perlindungan hukum maka merek tersebut
harus didaftarkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI).
Karena disebutkan dalam perjanjian TRIPs dan di dalam Pasal 3 UU Merek 2001
bahwa merek terdaftar memiliki hak eksklusif untung melarang pihak ketiga yang Perlindungan hukum merek yang diberikan baik kepada merek asing atau
lokal, terkenal atau tidak terkenal hanya diberikan kepada merek yang terdaftar.
Untuk itu setiap pemilik merek diharapkan agar mendaftarkan mereknya ke Dirjen
Haki agar dapat memperoleh perlindungan hukum terhadap mereknya
47Ibid,
hlm. 36. 48
tanpa izin dan sepengetahuan pemilik merek tersebut untuk memakai merek yang
sama untuk barang dan/atau jasa yang telah didaftarkan terlebih dahulu.49
Adapun yang dimaksud dengan hak khusus yang diberikan negara kepada
pemilik merek yang terdaftar meliputi:50
Hak atas merek di Indonesia didasarkan atas pemakaian pertama dari
merek tersebut. Bagi mereka yang mendaftarkan mereknya dianggap oleh
undang-undang sebagai pemakai merek pertama dari merek tersebut kecuali kalau dapat
dibuktikan lain dan dianggap sebagai yang berhak atas merek yang bersangkutan.
Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permohonan merek 1. Menciptakan hak tunggal (sole or single right)
Hukum atau undang-undang memberi hak tersendiri kepada pemilik merek.
Hak itu terpisah dan berdiri sendiri secara utuh tanpa campur tangan pihak lain;
2. Mewujudkan hak monopoli (monopoly right)
Siapapun dilarang meniru, memakai, dan mempergunakan dalam perdagangan
barang dan jasa tanpa izin pemilik merek;
3. Memberi hak paling unggul (superiror right)
Hak superior merupakan hak yang diberikan doktrin hak paling unggul bagi
pendaftar pertama. Oleh karena itu, pemegang hak khusus atas suatu merek
menjadi unggul dari merek orang lain untuk dilindungi.
49
Sudargo Gautama, Hak Merek Dagang Menurut Perjanjian TRIPs-GATT dan Undang-Undang Merek RI, (Citra Aditya Bakti: Bandung, 1994), hlm. 19.
50
bersangkutan. Atas permohonan pemilik merek jangka waktu perlindungan merek
terdaftar dapat diperpanjang setiap kali untuk jangka waktu yang sama.
Perlindungan hukum berdasarkan sistem first to file principle diberikan
kepada pemegang hak merek terdaftar yang ‘beritikad baik’ bersifat preventif
maupun represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan melalui pendaftaran
merek, dan perlindungan hukum represif diberikan jika terjadi pelanggaran merek
melalui gugatan perdata maupun tuntutan pidana dengan mengurangi
kemungkinan penyelesaian alternatif diluar pengadilan.
Perlindungan hukum yang dimaksud dapat berupa perlindungan yang
bersifat preventif maupun represif, adalah sebagai berikut :
1. Perlindungan hukum preventif
Perlindungan hukum preventif di sini ialah perlindungan sebelum terjadi
tindak pidana atau pelanggaran hukum terhadap merek dan merek terkenal. Dalam
hal ini sangat bergantung pada pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya agar
mendapat perlindungan hukum.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam upaya preventif adalah :51
a. Faktor hukum.
Undang-Undang Merek 2001 bertujuan untuk lebih memberikan
perlindungan hukum bagi pemegang hak atas merek dagang terkenal
asing. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 5 UU Merek 2001
menentukan bahwa merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut
mengandung salah satu unsur di bawah ini :
51
1) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
2) tidak memiliki daya pembeda;
3) telah menjadi milik umum; atau
4) merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya.
Selain itu Pasal 6 ayat (1) huruf b menambahkan, bahwa : Permohonan
harus ditolakoleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah
terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis. Ketentuan
tersebut juga dapat diberlakukan untuk barang dan jasa yang tidak sejenis.
b. Faktor aparat Direktorat Merek.
Aparat Direktorat Merek, Direktorat Jenderal HKI bertugas untuk
memeriksa permohonan pendaftaran merek. Hal yang paling mendasar
yang perlu dicermati oleh aparat Direktorat Merek adalah agar tidak terjadi
suatu pendaftaran merek tertentu yang sama atau menyerupai dengan
merek merek milik pihak lainnya.
Perlindungan merek diberikan kepada pemilik merek terdaftar. Namun
demikian, dimungkinkan pula perlindungan terhadap merek tidak terdaftar dengan
syarat bahwa merek tersebut termasuk dalam kategori merek terkenal. Dengan itu
maka jelaslah bahwa pemilik merek terkenal akan memperoleh perlindungan
hukum secara preventif dengan adanya berbagai persyaratan permohonan
melalui inisiatif pemilik merek tersebut dapat juga ditempuh melalui penolakan
oleh kantor merek terhadap permintaan pendaftaran merek yang sama pada
pokoknya dengan merek terkenal.
2. Perlindungan hukum represif
Pengertian perlindungan hukum represif adalah perlindungan yang
dilakukan untuk menyelesaikan atau menanggulangi suatu peristiwa atau kejadian
yang telah terjadi, yaitu berupa pelanggaran hak atas merek. Perlindungan hukum
yang bersifat represif dilakukan jika terjadi pelanggaran hak atas merek melalui
gugatan perdata dan atau tuntutan pidana. Bahwa pemilik merek terdaftar
mendapat perlindungan hukum atas pelanggaran hak atas merek baik dalam wujud
gugatan ganti rugi atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan
penggunaan merek tersebut maupun berdasarkan tuntutan hukum pidana melalui
aparat penegak hukum.
Terhadap perlindungan hukum yang sifatnya represif, pemberian sanksi
yang jelas dan tegas bagi pelaku pelanggaran merek sesuai dengan
Undang-Undang Merek yang berlaku, juga harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
secara konsisten. Konsistensi ini akan memberikan jaminan kepastian hukum
khususnya bagi pemegang hak atas merek dagang terkenal asing di Indonesia.
Pemilik merek terdaftar juga memiliki hak untuk mengajukan permohonan
pembatalan pendaftaran merek terhadap merek yang ia miliki yang didaftarkan
orang lain secara tanpa hak.
Selanjutnya, mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan
peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga sehingga diharapkan sengketa merek
dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Sejalan dengan itu, harus pula
diatur hukum acara khusus untuk menyelesaikan masalah sengketa merek seperti
juga bidang hak kekayaan intelektual lainnya. Adanya peradilan khusus untuk
masalah merek dan bidang-bidang hak kekayaan intelektual lain, juga dikenal di
beberapa negara lain, seperti Thailand. Dalam undang-undang inipun pemilik
merek diberi upaya perlindungan hukum lain, yaitu dalam wujud penetapan
sementara pengadilan untuk melindungi mereknya guna mencegah kerugian yang
lebih besar. Disamping itu, untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam
penyelesaian sengkera, dalam undang-undang ini dimuat ketentuan tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.52
Membicarakan tentang pengaturan tentang merek terkenal, maka akan
dilihat dan dicermati ketentuan perundang-undangan tentang merek, mulai
C. Merek Dagang Terkenal
Merek dagang terkenal di Indonesia merupakan sesuatu yang tidak baru
lagi untuk dibahas. Sejak peraturan kolonial dulu, hal ini telah menjadi
pembahsan yang cukup menarik untuk diperbincangkan terkait perlindungan
hukumnya, dimana para pemilik hak merek terkenal menginginkan untuk
mendapat perlindungan hukum yang khusus terhadap hak mereka. Untuk itu perlu
kita bahas mengenai sejarah pengaturan merek dagang terkenal di Indonesia agar
kita dapat memahami merek dagang terkenal lebih dalam lagi.
52
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek, Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1992 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Merek,
UU Merek 2001.
Undang-Undang Merek yang berlaku untuk Indonesia sebelum berlakunya
Undang-Undang Merek yang sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (selanjutnya
disingkat UU Merek 1961), yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan
mulai belaku tanggal 11 Nopember 1961.53
Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengganti undang-undang
kolonial dengan undang-undang asli Indonesia, pemerintah Soekarno memulai
inisiatif reformasi hukum. Beberapa undang-undang baru ditetapkan dan
diberlakukan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961
tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang berlaku sejak 11
November 1961. Tujuan UU Merek 1961 ini adalah untuk melindungi
kepentingan publik dari barang-barang palsu atau tiruan. Undang-Undang Merek
1961 mengadopsi sebagian besar ketentuan dalam Reglement Industrieele
Undang-Undang Merek 1961 ini menggantikan peraturan tentang merek
yang sebelumnya berlaku, yaitu peraturan dari zaman Belanda yang terkenal
dengan nama “Reglement Industrieele Eigendom tahun 1912” (Reglement tentang
Hak Milik Perindustrian Tahun 1912), Stb. 1912 No. 545 yang mulai berlaku
sejak tahun 1913. Dengan berlakunya UU Merek 1961, maka peraturan tentang
merek jaman Belanda tersebut tidak berlaku lagi.
53
Eigendom (Staatsblad van Nederlandsch-lndie No.545). Satu-satunya perubahan
adalah berkurangnya jangka waktu perlindungan merek dari 20 tahun menjadi 10
tahun.
Undang-Undang Merek 1961 tidak merumuskan atau memberi pengertian
tentang merek terkenal. Disamping itu, perlu dicatat bahwa merek-merek terkenal
yang mayoritas dimiliki perusahaan asing tidak dilindungi secara khusus dalam
UU Merek 1961. Tujuan utama undang-undang tersebut adalah melindungi
kepentingan publik semata (dan tidak melindungi kepentingan pemilik merek
secara spesifik). Walaupun begitu, pengadilan di Indonesia menciptakan
yurisprudensi yang memberikan proteksi bagi pemakai pertama merek di
Indonesia yang bertindak atas dasar itikad baik. Dengan demikian, perlindungan
merek di Indonesia diberikan kepada mereka yang bisa membuktikan bahwa
mereka adalah pemakai merek pertama di Indonesia yang beritikad baik dan
kepentingan publik tidak dirugikan oleh merek-merek mereka.
Menanggapi hal-hal tersebut, pada bulan Juni 1987 Menteri Kehakiman
mengeluaran Surat Keputusan Menteri No. M.02-IIC.01.01 tahun 1987
menyangkut merek terkenal (well known trade marks). Berdasarkan keputusan ini,
merek terkenal adalah merek yang telah lama dikenal dan digunakan dalam
periode waktu yang cukup lama untuk jenis-jenis barang tertentu di wilayah
Indonesia. Pendaftaran registrasi merek yang mirip dengan merek terkenal untuk
jenis barang yang sama harus ditolak oleh Direktorat Paten dan Hak Cipta. Akan
tetapi, Surat Keputusan Menteri tersebut belum bisa memuaskan banyak pemilik
tidak terbatas pada jenis barang yang sama, namun mencakup pula semua jenis
produk.
Pada tahun 1991 Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan No.
M.03-HC.02.01 tahun 1991 mengenai penolakan permohonan pendaftaran merek
terkenal atau merek yang mirip merek milik orang lain atau milik badan lain.
Surat keputusan ini menggantikan Surat Keputusan Menteri No.M.02-IIC.01.01
tahun 1987. Surat Keputusan tahun 1991 ini memperluas proteksi merek terkenal
hingga mencakup pula barang-barang yang tidak sejenis dan memberikan
perlindungan bagi merek terkenal yang digunakan di Indonesia dan/atau di luar
negeri.54
Pengadilan dalam praktiknya seringkali tidak sepakat dengan SK tersebut.
Sebagai gambaran, setelah dikeluarkannya SK Menteri Kehakiman tahun 1991,
Direktorat Merek menolak 4.304 aplikasi registrasi merek terkenal yang diajukan
oleh unauthorized parties. Namun, beberapa di antara mereka menentang
keputusan tersebut dan membawa kasusnya ke pengadilan. Dalam kebanyakan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehakiman tahun 1991 ini banyak menuai
kritik, di antaranya SK tersebut dinilai cenderung dibuat atas dasar tekanan para
pemilik merek dari negara Barat dan melampaui ketentuan dalam Article 6bis
Paris Convention karena memberikan perlindungan bagi pemilik merek terkenal
yang belum menggunakan mereknya di Indonesia atau tidak memiliki bukti
pemakaian di Indonesia. SK tersebut juga dinilai bertentangan dengan kriteria
pemakaian merek sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Merek 1961.
54
kasus, pengadilan justru memenangkan un-authorizedparties tersebut dan
memerintahkan Direktorat Merek untuk menerima aplikasi mereka untuk
registrasi merek.
Tahun 1992 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1992 tentang Merek. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1
April 1993. Perubahan mendasar dalam undang-undang baru ini terlihat pada
fokusnya yang beralih dari proteksi kepentingan konsumen menjadi proteksi
merek dagang, termasuk perlindungan khusus bagi merek terkenal. Menariknya,
undang-undang ini keluar seiring dengan maraknya bisnis waralaba di Indonesia.
Perubahan lainnya menyangkut sistem perlindungan yang semula "first to use"
diganti "first to register". Sistem baru ini dipandang lebih bagus karena mampu
memberikan kepastian hukum yang lebih besar dibandingkan sistem "first to use".
Perubahan berikutnya berkenaan dengan lingkup perlindungan yang semula hanya
mencakup barang, UU Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek memperluasnya
hingga mencakup barang, jasa, dan merek kolektif. Undang-Undang baru ini juga
menetapkan hukuman penjara hingga 7 tahun dan/atau denda hingga Rp. 100 juta
untuk pelanggaran hak merek.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek telah memberikan
perlindungan khusus bagi merek terkenal (khususnya untuk kelas produk yang
sama), maka pada tanggal 27 Oktober 1993 Menteri Kehakiman membatalkan
Surat Keputusan No. M.03-HC.02.01 tahun 1991. Sayangnya, Undang-Undang ini
tidak memberikan definisi tentang merek terkenal. Dalam perkembangannya,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun
1997 tentang Merek, perlindungan khusus bagi merek terkenal diperluas hingga
mencakup semua kelas produk. Kriteria merek terkenal disebutkan dalam
ketentuan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 sebagaimana
ditegaskan dalam penjelasannya: memperhatikan pengetahuan umum masyarakat,
penentuannya juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang
diperoleh karena promosi yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai dengan
bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara (jika ada).
Tanggal 1 Agustus 2001, undang-undang merek terbaru disahkan oleh
pemerintah, yakni UU Merek 2001. Undang-Undang ini sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997, dan berlaku sejak tanggal disahkan.
Undang-Undang Merek 2001 ini juga melindungi merek terkenal (well know
mark), Menurut penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf UU Merek 2001, kriteria untuk
menentukan bahwa suatu merek barang atau jasa sudah masuk dalam katagori
merek terkenal (well know mark) adalah dilihat dari : Dengan memperhatikan
pengetahuan umum masyarakat tentang merek tersebut, Dengan memperhatiakn
reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan
besar-besaran, Investasi dibeberapa negara didunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan
disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.
Mencermati kriteria merek terkenal sebagaimana diatur dalam UU Merek
2001 tersebut di atas, kiranya masih belum jelas ukuran pengetahuan umum
dikenal luas, dan luas disini juga perlu ada kejelasan ukurannya. Disamping itu
juga, pengetahuan umum masyarakat tentu berbeda-beda antara masyarakat yang
tingkat pendidikannya rendah dengan masyarakat yang tingkat pendidikannya
tinggi. Begitu pula mengenai reputasi merek terkenal yang diperoleh karena
promosi yang gencar dan besar-besaran, ini memerlukan pembuktian akan adanya
kegiatan promosi tersebut. Promosi yang gencar dan besar-besaran disini, apa
ukurannya, apakah karena hampir setiap hari dipromosikan/diiklankan atau ada
ukuran-ukuran lainnya.
Indonesia untuk acuan yang dipakai dalam membahas perlindungan merek
terkenal adalah Pasal 6 bis Konvensi Paris,55
55
Indonesia meratifikasi Konvensi Paris versi Stockholm melalui Keputusan Presiden Nomor24 Tahun1979 tetapi dengan menyampingkan Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 1 sampai dengan Pasal 12.Dapat ditafsirkan, untuk pasal-pasal tersebut yang diikuti adalah Konvensi Paris versi Londonsebagaimana yang telah diikuti oleh Belanda pada jaman penjajahan yang kemudian diikuti Indonesia,walau saat itu Indonesia telah merdeka.
yang menafsirkan secara implisit
yaitu, apabila merek-merek itu telah didaftarkan di berbagai negara dan telah
dipergunakan dalam kurun waktu lebih dari 20 (dua puluh) tahun maka dapat
dianggap sebagai merek terkenal. Pasal 6 bis Konvensi Paris ini kemudian
diadopsi kedalam Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights (TRIP’s):
(2) Article 6 bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis mutandis to services, in the dermining whether a trademarks is well known, member shall take account of the knowledge of a trademarks in the relevant sector of the publish including knowledge in the member of the promotion of the trademarks.
Terjemahan bebas:
(3) Article 6 bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis mutandis to goods or services which are not similar to those in respect of which trademarks is registered, provided that use that trademarks in relation to those goods or services would indicate a connection between those goods or services and the owner of the regitered trademarks and provided that the interest of the owner of the registered trademarks are likely to be damage by such use.
(Artikel 6 bis Konvensi Paris tahun 1967 menerapkan unsur mutatis mutandis terhadap barang dan jasa yang tidak serupa dengan barang dan jasa yang ada hubungannya dengan merek-merek yang terdaftar, jika pengunaan merek-merek tersebut dalam hubungannya dengan barang dan jasa tersebut mengindikasikan adanya suatu hubungan antara barang-barang dan jasa tersebut dan pemilik merek-merek yang terdaftar tersebut dan jika kepentingan si pemilik merek-merek yang sudah terdaftar tersebut mungkin akan terganggu oleh penggunaan merek tersebut).
Dalam bukunya Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa:
“Merek terkenal adalah merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri. Dengan pengertian bahwa bila masyarakat menyenangi suatu merek bukan berarti yang disenangi itu hanya mereknya saja namun barang yang menggunakan merek tersebut diyakini barang yang bermutu tinggi yang sesuai dengan selera masyarakat”. Dapat disimpulkan bahwa barang ber-merek adalah barang yang bermutu tinggi sehingga mencerminkan mutu barang yang tinggi dan dikenal masyarakat melalui promosi yang gencar dan terus-menerus seperti melalui iklan yang menarik.”56
56
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 230.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, hingga sekarang belum didapati
definisi merek terkenal yang dapat diterima secara umum, Pasal 16 ayat (2) Trade
RelatedAspect of Intellectual Property Rights (TRIP’s) sendiri hanya berhasil
membuat kriteria sifat keterkenalan suatu merek dengan memperhatikan faktor
pengetahuan tentang merek dikalangan tertentu dalam masyarakat, termasuk
pengetahuan negara peserta tentang kondisi merek yang bersangkutan, yang
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Trade Related Aspect of Intellectual Property
Rights (TRIP’s) kemudian di adopsi oleh penjelasan Pasal 6 UU Merek 2001,
walaupun belum berhasil membuat defenisi merek terkenal, namuntelah mencoba
memberikan kriteria merek terkenal. Penjelasan Pasal 6 UU merek 2001, kriteria
merek terkenal selain memperhatikanpengetahuan umum masyarakat, penentuan
juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang diperoleh karena
promosi yang dilakukan oleh pemiliknya disertai dengan bukti pendaftaran merek
tersebut dibeberapa negara.
World Intellectual Property Organization (WIPO), memberikan
rekomendasi mengenai kriteria merek terkenal sebagai berikut:57
1. the degree of knowledge or recognition of the mark in the relevant sector of
public;
2. the duration, extent and geographical area of any use of the mark;
3. the duration, extent and geographical area of any promotion of the mark,
including advertising or publicity and the presentation, at fairs or exhibitions,
of the goods and/or services to which the mark applies;
4. the duration and geographical area of any registrations, and/or any
applications for registration, of the mark, to the extent that they reflect use or
recognition of the mark;
5. the rcord of successful enforcement of rights in the mark, in particular, the
extent to which the mark was recognized as well known by competent
authorities;
57