• Tidak ada hasil yang ditemukan

https lunayahasna.wordpress.com 2012 07 docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "https lunayahasna.wordpress.com 2012 07 docx"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

\https://lunayahasna.wordpress.com/2012/07/30/etika-profesi-hakim-dalam-perspektif-hukum-islam-2/

ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan profesi mengimplikasikan kepada tuntutan-tuntutan norma etik yang melandasi persoalan profesional.[1] Namun hal tersebut tidak bisa sempurna karena sifat profesi yang terbatas, khusus dan unggul, maka bukan tidak mungkin akan terjadi gejala– gejala penyalahgunaan terhadap profesi yang dimiliki, yang seharusnya dengan penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum dapat diemban untuk menyelenggarakan dan menegakkan keadilan di masyarakat .

Pada era reformasi sekarang ini yang disertai krisis multidimensi di segala bidang di

antaranya dalam bidang hukum, timbul keprihatinan publik akan kritik tajam sehubungan dengan curat marutnya penegakan hukum di Indonesia, dengan adanya penurunan kualitas hakim dan pengabaian terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi, arah dan orientasi dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan tidak adanya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Dan pihak yang sering disalahkan adalah aparat penegak hukum itu sendiri, yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Pengacara dan Polisi.[2]

Hakim[3] sebagai salah satu aparat penegak hukum (Legal Aparatus) yang sudah

(2)

Dan berbagai kasus gugatan publik terhadap profesi hakim merupakan bukti bahwa

adanya penurunan kualitas hakim sangat wajar sehingga pergeseran pun terjadi dan sampai muncul istilah mafia peradilan.[7]

Indikasi tersebut menunjukan hal yang serius dalam penegakkan standar profesi

hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum bisa dilaksanakan dan nilai-nilai yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh pengembannya sendiri . Dari dasar pemikiran diatas maka sewajarnya bila muncul harapan dan tuntutan

terhadap pelaksanaan profesi baik ciri, semangat, maupun cara kerja yang didasarkan pada nilai moralitas umum (common morailty), seperti nilai kemanusiaan (humanity), nilai keadilan (Justice) dan kepastian hukum (gerechtigheid). Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat mengarah kepada perilaku anggota profesi hakim, sehingga perlu adanya dan ditegaskan dalam bentuk yang kongkrit (Kode Etik).[8] Sehingga dengan adanya nilai-nilai dalam kode etik tersebut, pelaksanaan professional akan dapat di minimalisir dari gejala-gejala penyalahgunaan keahlian dan keterampilan professional dalam masyarakat sebagai klien atau subyek pelayan. Hal ini penting karena nilai-nilai tersebut tidak akan berguna bagi professional saja melainkan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.[9]

Dari peranannya yang sangat penting dan sebagai profesi terhormat (Offilium nobile),

atas kepribadiannya yang dimiliki. Hakim mempunyai tugas sebagaimana dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman adalah Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[10] Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat . Di sini terlihat jelas seorang hakim dalam menjalankan tugasnya selain di batasi

norma hukum atau norma kesusilaan yang berlaku umum juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik profesi . Kode etik sendiri merupakan penjabaran tingkah laku atau aturan hakim baik di dalam

menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun pergaulan dalam masyarakaat, yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum . Islampun menjelaskan bahwa hakim adalah seorang yang diberi amanah untuk

menegakkan keadilan dengan nama Tuhan atas sumpah yang telah diucapkan, dalam pandangan Islam adalah kalimat tauhid adalah amalan yang harus diwujudkan dalam bentuk satu kata dan satu perbuatan dengan niat lilla>hi ta’alla.[11] Sehingga pada setiap putusannya benar – benar mengandung keadilan dan kebenaran . Melalui profesi inilah hakim mempunyai posisi istimewa. Hakim merupakan

(3)

[14] Sehingga setiap keputusan hakim benar-benar berorientasi kepada penegakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dari pada sekedar mengejar kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dalam kode etik profesi hakim .

Kode Etik profesi hakim bukanlah merupakan sesuatu yang datang dari luar tetapi terwujud

justru berasal dan diciptakan oleh anggota profesi sendiri, sehingga merupakan pengaturan sendiri �self regulation). Karena kalau di ciptakan dari luar �instansi atau pemerintah), maka tidak akan dijiwai oleh nilai-nilai yang hidup di kalangan profesi.[15] Kode etik merupakan kesesuaian sikap yang harus di junjung tinggi oleh hakim dengan jiwa-jiwa pancasila.[16] Padahal untuk menegakkan supremasi hukum adalah menegakkan etika, profesionalisme serta disiplin.[17] Meskipun demikian kode etik profesi hakim sebagai standar moral belum memberikan dampak yang positif, sehingga kode etik yang sudah sekian lama perlu dikaji kembali untuk disesuaikan dengan perubahan kondisi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) yang menilai bahwa banyak para kalangan profesi hukum belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari. Oleh karena itu perlu dibentuk standar kode etik profesi hukum yang akan menjadi pedoman untuk prilaku profesi. Dan sebagai cara untuk memulihkan kepercayaan terhadap lembaga peradilan khususnya hakim yang sedang kacau. [18]

Munculnya wacana pemikiran tentang kode etik profesi hakim ini yang akan menjadi

penelitian yang dititik beratkan pada analisis nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik profesi hakim. Penelitian ini penyusun anggap penting karena didorong oleh realitas profesi hakim yang mengabaikan nilai-nilai moralitas. Dan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir keadilan yang merupakan cita-cita dan tujuan[19] (Khususnya Profesi hakim). Melihat permasalahan di atas penyusun merasa tertarik untuk membahas kode etik profesi hakim[20] dan dikaitkan dengan nilai-nilai etika Islam.[21] Masalah ini sangat menarik untuk dikaji karena etika Islam yang bersumber dari al-Qur’an yang pada hakekatnya merupakan dokumen Agama dan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang bermoral .

B. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok masalah adalah :

Apa dan bagaimana nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kode etik profesi hakim Indonesia?

Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kode etik profesi hakim Indonesia?

C. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menjelaskan serta menganalisa nilai-nilai dasar yang terdapat dalam kode etik profesi hakim Indonesia.

(4)

Adapun hasil dari penelitian ini berguna untuk :

Menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya dalam etika profesi hakim (Kode Etik Hakim Indonesia) dan sebagai bahan studi awal untuk penelitian lebih lanjut.

Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan khususnya hakim dalam praktek di lapangan baik berupa kerangka teori maupun praktek.

D. Telaah Pustaka .

Dari hasil telaah pustaka yang penyusun lakukan terdapat beberapa karya ilmiah baik

berupa buku maupun skripsi yang membahas tentang kode etik atau etika profesi hukum. Dari telaah tersebut kami mengkatagorikan kedalam dua aspek yaitu: Pertama, aspek teoritis, yaitu etika profesi hukum yang mencakup seluruh aktivitas profesi dalam kehidupannya. Kadua, aspek penegakan kode etik profesi baik secara individu maupun kelompok. Dengan kata lain pada aspek kedua inilah etika profesi hakim berada sebagaimana yang di tetapkan Dewan Kehormatan dalam aplikasinya di lapangan .

Diantara karya yang termasuk ke dalam aspek teoritis adalah: Karya Oemar Seno Aji

dalam bukunya Etika Professional dan Hukum : Profesi Advokat,karya ini hanya menyoroti permasalahan etik dari profesi advokat, dokter dan wartawan.[22] Namun dalam karya ini disebutkan bahwa kode etik secara umum mengandung normative ethich dan adanya rahasia profesi yang menjadi asas yang memberikan hak untuk menolak keterangan sebagai saksi (vershonings recht).[23] Karya Suhrawardi K. Lubis, berjudul Etika Profesi Hukum,dalam karya ini mencoba membahas etika profesi hukum secara global yang meliputi penasehat hukum dan notaris, dan tidak membedakan antara penasehat hukum dengan advokat.[24] Kemudian karya E. Sumaryono yang berjudul Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum, buku ini membahas etika profesi bagi para penegak hukum untuk meningkatkan professionalitas kerja. Namun obyek pembahasannya hanya di fokuskan pada empat jenis profesi yaitu jaksa, advokat, notaris dan polisi dan tidak mengkaji masalah nilai-nilai etika hakim.[25] Dan skripsi saudara Rofiqoh mahasiswa Ushuluddin, yang berjudul Etika Menurut fazlur Rahman, dalam pandangan fazlur Rahman konsep etika adalah etika religius yang merupakan rangkaian dari teologi, etika dan hukum. Sehingga menjadi manusia bermoral merupakan pencapaian pada integritas individu dan kelompok. Integritas tersebut dapat di peroleh dengan iman, Islam dan taqwa.[26]

Sedangkan yang termasuk kedalam aspek kedua yaitu aspek penegakan kode etik

(5)

[29] Dan dalam buku ini hanya di fokuskan kepada tiga profesi yaitu : profesi hukum, kedokteran dan rohani .

Dari karya-karya tersebut, baru membahas tentang etika profesi secara umum dan

belum terdapat pembahasan yang secara khusus tentang kode etik hakim atau kode kehormatan yang terkandung dalam etika profesi hakim dalam tinjauan etika Islam. Maka dari itu penyusun akan membahas etika profesi hakim yang diantaranya kode etik profesi hakim atau kode kehormatan hakim sebagai bahan yang mendukung terhadap penyusunan ini .

E. Kerangka Teori

Teori etika adalah gambaran umum rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan

dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap definisi konsep-konsep etika, justifikasi, dan penelitian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk.[30]

1 . Etika Sebagai Landasan Profesional

Sebagai cabang ilmu filsafat, etika dimengerti sebagai filsafat moral atau filsafat

mengenai tingkah laku. Etika berbeda dengan moral, moral berisi ajaran-ajaran sedangkan etika berisi alasan-alasan mengenai moralitas itu sendiri.[31] Menurut Hans Wenr dalam bahasa arab etika disebut ahklak. Norma (norm) adalah standar, pola (pattern), model (type). Hal tersebut merupakan aturan atau kaedah yang di pakai sebagai tolak ukur untuk menilai sesuatu.[32]

Etika atau akhlak dalam khazanah Islam dipahami sebagai ilmu yang menjelaskan

baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya di lakukan kepada orang lain, menyatukan tujuan apa yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[33] Dengan demikian Persoalan-persoalan etika adalah persoalan kehidupan manusia. Tidak bertingkah laku semata-mata menurut naluri atau dorongan hati .

Sedangkan K. Bertens mengungkapkan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan

(6)

Dalam filsafat ilmu, epistemologi moral dipelajari dengan dua cara yaitu telaah metodologik dan telaah metafisik .

Telaah metodologik bersifat induktif, menggunakan logika model koherensi. Salah satu yang menonjol adalah telaah equilibrium reflektif. Proses penyusunan teori moral ini dimulai dari penetapan moral yang dipilih; dilanjutkan dengan pemilihan prinsip-prinsip yang hendak digunakan. Lalu diuji pada moral sentralnya; diketemukan konflik dengan moral sentralnya atau tidak; bila ada konflik, diadakan revisi. Itu prosedur menurut Goodman (1965) .

Sedangkan Rewals (1971) menyarankan untuk melihat koherensi dengan moral yang lebih jauh, misalnya keyakinannya atau teori yang dianut.[35]

Cara telaah yang kedua adalah telaah metafisik. Cara ini digunakan oleh realisme metafisik. Dengan pandangan meta-ideologik, moral adalah fakta konstruktif. Kemauan Hakim untuk membantu pihak adalah fakta konstruktif. Fakta konstruktif tersebut bukan temuan pada obyek seperti fakta-fakta penelitian pada umumnya, melainkan fakta konstruk pandangan human.[36] Pandangan human tersebut dapat dilihat dari pandangan sosialogis, psikologis dan keyakinan agama .

Dari sisi cakupannya etika dapat dibagi dua yaitu, etika umum dan etika terapan.

Etika umum merupakan ilmu atau filsafat moral yakni teoritis yang mencakup seluruh aktivitas kehidupan.[37] Sedangkan etika khusus adalah etika individual atau sosial atau lingkungan hidup. Pada wilayah inilah etika pofesi berada.[38]

Menurut Majid Fakhri, sistem etika Islam dalam dikelompokkan dengan empat tipe:

pertama, moral skriptualis. Kedua, etika teologis. Ketiga, teori-teori filsafat. Keempat, etika religius.[39] Dari keempat tipologi di atas etika religius akan menjadi pilihan sebagai landasan teori dalam penelitian ini

Dengan kerangka demikian dapat dikatakan bahwa etika profesi merupakan tuntutan

dasar hakim dalam Islam. Dan juga atas teori tersebut dapat diasumsikan bahwa etika profesi hakim merupakan pengejawantahan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan pertanggung jawaban dalam realitas penegakan hukum oleh hakim. Ada tiga komponen yang menopang tegaknya hukum dan keadilan di tengah masyarakat, yaitu adanya aparat penegak hukum yang professional dan memiliki integritas moral yang terpuji, adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan adanya kesadaran masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum.[40]

Dalam penegakan hukum, menurut O. Notohamidjojo, ada empat norma yang penting

dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan artinya sebagai manusia jadikanlah manusia. Kedua, keadilan yaitu memberikan sesuatu sesuai haknya. Ketiga kepatutan yaitu pemberlakuan hukum harus melihat unsur kepatutan (equity) dalam masyarakat. Keempat, kejujuran yaitu seorang hakim dalam menegakkan hukum harus benar-benar bersikap jujur untuk mencari hukum dan kebenaran. [41]

2 . Eksistensi Hakim Sebagai Penegak Hukum Dalam Islam

Hakim mempunyai tugas sangat penting. Disamping itu hakim harus mempunyai

(7)

Sehingga peranan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dapat dilihat dari

tugasnya :

1 . Penggali Hukum

إ

رجأ هلف ءاطخأ مث دهتجاف مكحاذاو نارجا هلف باصا مث دهتجاف مكاحلا مكحاذ

] 42 [

2 . Pemutus Perkara

اميصخ نينءاخلل نكت لو هللا كرا امب سانلا نيب مكحتل قحلاب بتكلا كيلا انلزناانا

] 43 [

3 . Pemberi Nasehat

.…

ناودعلاو مثلا ىلع اونواعت لو ىوقتلاو ربلا ىلع اونواعتو

] 44 [

Sementara dalam kaidah ushul Fiqh sendiri hakim sebagai pemegang amanah harus

dapat membawa kemaslahatan

ةحلصملاب طونم ةيع رلا ىلع ماملا فرصت

] 45 [

Sebagai salah satu bentuknya adalah dengan adanya kode etik profesi hakim yang tujuannya untuk kemaslahatan bagi manusia, kemaslahatan tersebut tercantum dalam azas-azas yang dituangkan dalam syariat hukum Darury yaitu hal yang pokok dalam kehidupan manusia, hukum Hajjiy yaitu hukum yang menselaraskan dengan hajat dan kebutuhan manusia, dan hukum Tahsiny yaitu merupakan keindahan hidup yang merupakam pelengkap dalam kehidupan manusia.[46] Dengan demikian tujuan penegakkan keadilan dan kebenaran dapat tercapai, dan kode etik profesi hakim benar-benar membawa maslahat bagi manusia .

F. Metode Penelitian

1 . Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan ini .

2 . Sifat Penelitian .

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik[47] metode yang menggunakan pencarian fakta dan data-data yang ada dalam kode kehormatan hakim dan kemudian dianalisa dengan kerangka pemikiran yang telah disusun dengan cermat dan terarah .

3 . Pengumpulan Data .

(8)

masalah ini. Adapun yang menjadi baham tersier adalah semua bahan yang menunjang bahan primer dan sekunder seperti kamus hukum, eksiklopedia dan lain sebagainya .

4 . Pendekatan Penelitian .

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan Filosofis-Normatif.Secara philisofis yaitu dengan melakukan penganalisaan makna-makna secara fhilisofis terhadap kode etik profesi hakim secara umum, sedangkan secara normatif yaitu melakukan analisa terhadap suatu fenomena yang berdasarkan aturan hukum Islam (normatif). Analisa dilakukan dengan metode content analisis (analisa isi)[48]

5 . Analisis Data .

Analisis data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan metode induktif dan deduktif. Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta khusus, peristiwa kongkrit yang kemudian ditarik kesimpulan secara umum (generalisasi). Sedangkan metode deduktif adalah metode yang menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum kemudian di sesuaikan faktor-faktor dari yang bersifat umum. Metode induktif digunakan untuk mengkaji asas-asas atau nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik profesi hakim Indonesia. Sedangkan deduktif dipakai untuk melihat pandangan Islam terhadap etika profesi hakim . Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari : Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pokok

masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan Bab kedua, Pembahasan tentang kode etik profesi hakim Indonesia dan

perkembangan hakim saat ini, yang meliputi peranan hakim baik dari pengertian, tugas dan wewenang. Hal ini akan menjadi landasan untuk mengkaji permasalahan penyalahgunaan profesi hakim dengan melihat konstruksi perkembangan hakim dari analisa kode etik profesi hakim Indonesia yang ada . Bab ketiga, Merupakan eksplorasi hukum Islam terhadap kode etik profesi hakim

Indonesia, serta prinsip-prinsip peradilan dalam nilai etika Islam sebagai landasan dalam profesi hakim Bab keempat, merupakan analisa tentang aplikasi nilai-nilai dari kode etik profesi

hakim dan etika hukum Islam setelah melihat dengan kode etik yang ada dalam konsep etika Islam Bab kelima, berisikan penutup yang terdiri dari kesimpulan sebagai jawaban dari

pokok masalah dalam penyusunan ini, selain itu juga beberapa saran yang berkaitan dengan kode etik profesi hakim .

(9)

KODE ETIK PROFESI HAKIM INDONESIA

A. Gambaran Umum Peranan Hakim

Sebelum membahas pengertian kode etik, maka terlebih dahulu perlu dipahami

pengertian hakim. Hakim berasal dari kata

مكاح مكحي مكح

: sama artinya dengan qod}i

yang berasal dari kata

ض اق ىضقي ىضق artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa

adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.[49] Adapun pengertian menurut syar’a yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan,[50] sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qod}i untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya.[51] Hal ini terjadi pada sahabat dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani Abbasiah, diakibatkan dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan hakim – hakim untuk menyelesaikan perkara yang terjadi . Hakim sendiri adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk mengadili.[52] Sedangkan dalam Undang-undang-undang kekuasaan kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.[53] Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya menurut Undang-undang yang berlaku . Adapun pengertian qad}a sendiri ada beberapa makna yaitu : [54]

a. Menyelesaikan seperti dalam Firman Allah : b. Menunaikan dalam firman Allah

…ضرلاىف اورشتناف ةولصلا ةيضق اذإف c. Menghalangi atau mencegah yang artinya hakim bisa melaksanakan amar ma’ruf nahi

munkar, menolong yang teraniaya dan menolak kez}oliman yang merupakan kewajiban . Dasar Dan Syarat Pengangkatan Hakim

Lembaga peradilan sebagai lembaga Negara yang ditugasi menerapkan hukum (Izhar

(10)

ketetapan Majlis Permusyawatan Rakyat Nomor III/MPR/1978 Tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tinggi Negara .[57]

Dalam al-Quran di jelaskan : Dalam ayat lain di sebutkan : Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Daud sebagai khalifah di muka

bumi ini supaya menghukumi di antara manusia dengan benar. Sedangkan ayat selanjutnya menegaskan bila menghukumi manusia harus sesuai dengan dengan apa yang telah dianjurkan oleh Allah dan orang yang menghukumi tersebut adalah hakim. Dalil hadis} antara lain Dari hadis dan ijma’ tersebut dijelaskan tentang keutamaan ijtihad, kemuliaan ijtihad

yang dilakukan dengan sungguh-sungguh baik benar atau salah akan mendapat pahala. Maksudnya seorang hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapinya itu melalui qiyas yang mengacu kepada al-Kitab dan al-Sunah bukan berdasarkan pendapat pribadi, yang terlepas dari keduanya Hal ini sebagai salah satu usaha menggali hukum guna melindungi

kepentingan-kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk mernghilangkan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, akibat dari luasnya wilayah Islam, seperti pada masa bani umayah khalifah hanya mengangkat qod}i pusat dan didaerah diserahkan pada penguasa daerah dan hanya diberi wewenang untuk memutuskan perkara, sedangkan untuk pelaksanaan putusan oleh khalifah langsung atau oleh utusannya.[62] Sedangkan pada masa Bani Abbasiah dibentuknya Mahkamah Agung, pembentukan hakim setiap wilayah, pembukuan dan mulainya organisasi peradilan,[63] sehingga menempatkan hakim sebagi sosok yang sangat diperlukan dan mempunyai peranan penting . Hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah mempunyai kedudukan yang sangat

(11)

Adapun syarat menjadi hakim secara umum adalah : Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Setia Pada Pancasila dan Undang-undang

Bukan anggota organisasi terlarang

Berumur serendah-rendahnya 25 tahun

Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.[64]

Mengenai ketentuan khuhusnya terdapat pada masing-masing lembaga peradilan.

Peradilan Agama mensyaratkan hakim harus beragama Islam dan sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang mempunyai kehlian dalam bidang hukum Islam. Dan pada peradilan Tinggi Agama minimal berumur 40 tahun dan minimal harus 5 tahun menjadi ketua Peradilan Agama dan 15 Tahun menjadi hakim pada Peradilan Agama.[65] Peradilan Tata Usaha Negara mensyaratkan sarjana hukum yang memiliki keahlian di bidang Tata Usaha Negara atau Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik Pusat maupun Daerah, sedangkan pada Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara minimal berumur 40 tahun dan minimal harus 5 tahun menjadi ketua atau wakil Peradilan Tata Usaha Negara dan 15 Tahun menjadi hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara.[66] Pada peradilan Militer mensyaratkan hakim harus pengalaman dalam peradilan, berpangkat kapten dan berijazah sarjana hukum, dan pada Hakim Militer Tinggi minimal berpangkat Letnan Kolonel, serta pada Hakim Militer Utama minimal berpangkat kolonel dan pengalaman sebagai Hakim Militer Tinggi atau sebagai Oditur Militer Tinggi,[67] Sedangkan pada Peradilan Militer ini tidak ada batasan umur yang menjadi persyaratan. Adapun Peradilan adhoc pada Peradilan Hak Azasi Manusia hakim harus mempunyai keahlian hukum, berumur minimal 45 tahun dan maksimal 65 tahun dan memiliki kepedulian di bidang hak azasi manusia, serta pada hakim ad hoc pada Mahkamah Agung minimal berumur 50 tahun.[68] Sedangkan pada Mahkamah Agung atau Hakim Agung minimal umur 50 tahun dan sekurang-kurangnya 20 Tahun menjadi hakim dan sekurang-kurangnya 3 Tahun menjadi hakim tinggi. Dan apabila diangkat dari dari bukan karir yaitu dari profesi hukum atau akademisi, sekurang-kurangnya telah menjalani rofesinya selama 25 Tahun, dan berijazah magister hukum.[69] Dan Mahkamah Konstitusi yaitu mempunyai kewenangan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, mensyaratkan hakim minimal berumur 40 tahun, tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan dengan kekuatan hukum tetap yang diancam lima tahun penjara serta tidak dinyatakan pailit dan mempunyai pengalaman di bidang hukum minimal 10 Tahun, serta masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi ini hanya 5 Tahun.[70] Adapun Cik Hasan Bisri menyatakan persyaratan tersebut termasuk kedalam dua katagori. Pertama, syarat kongkrit yaitu nomor 1-8, kecuali nomor 3 dan 8. kedua, sebagai syarat Abstrak yaitu : Bertaqwa, Adil, jujur dan setia.[71]

(12)

Sedangkam Imam Mawardi menambahkan bahwa hakim harus diketahui identitasnya,

harus memahami tugas atas pekerjaanya, menyebut wewenangnya dan wilayah (Negara atau Propinsi).[72] Sedangkan dalam literatur Islam atau fiqih ada beberapa persyaratan yang menjadi persamaan dan perbedaan, persamaannya hakim harus berakal, Islam, adil, berpengetahuan baik dalam pokok hukum agama dan cabang-cabangnya, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan dan merdeka bukan hamba sahaya.[73]. Adapun perbedaannya adalah pada fiqih Islam disyaratkan hakim laki-laki dan tidak boleh perempuan yang terjadi khilafiyah diantara para ulama dari empat maz\hab kecuali Abu Hanifah membolehkan selain dalam urusan hadd dan qis}as}, karena kesaksian dalam dua hal tersebut tidak dapat diterima. [74] Hadis\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ di atas menerangkan bahwa perempuan dianggap belum mampu

membawa kemenangan atau kemajuan. Ini merupakan pendapat lama karena melihat kondisi perempuan yang berbeda dengan masa sekarang, sehingga sekarang ini wanita boleh menjadi hakim asalkan mempunyai keahlian serta memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh hukum positif dan hukum Islam . Persyaratan-persyaratan tersebut merupakan persyaratan pada masa dahulu

dikarenakan luasnya wilayah Islam dan banyaknya permasalahan yang muncul sehingga menjadi komplek sedangkan lembaga peradilan masih sangat sedikit, namun dalam kontek sekarang peradilan yang yang sudah merata dan laju kehidupan yang semakin maju sehingga persyaratan-persyaratan itu menjadi dikontekkan secara umum untuk lebih mewadahi pluralitas yang ada, kecuali dalam peradilan agama yang memakai azas personalitas keIslaman sebagai lembaga peradilan khuhus dari lembaga peradilan yang lainnya . Dengan berbagai macam syarat tersebut diharapkan hakim dapat bermoral tinggi dan

tidak boleh melakukan perbuatan tercela, melanggar sumpah jabatan atau melanggar larangan seperti menjadi pengusaha atau penasehat hukum, Karena syarat tersebut termasuk dalam ajaran yang menuntut moral dan tanggungjawab sebagai seorang hakim setelah disumpah sesuai agamanya masing-masing Adapun lafal sumpah dan janjinya sebagai berikut : Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan

(13)

” Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” [76]

Maka jika seorang hakim melanggar maka dapat diberhentikan secara tidak hormat

oleh Presiden dengan terlebih dahulu diberi kesempatan untuk membela diri .

3 . Tugas, Fungsi Dan Tanggung Jawab Hakim

Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan

terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya.[77] ia menjadi tumpuan dan harapan bagi pencari keadilan. Disamping itu mempunyai kewajiban ganda, disatu pihak merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan hukum (izhar al-hukum) terhadap perkara yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun tidak tertulis, dilain pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Secara makro dituntut untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat .

Dalam undang-undang disebutkan tugas pengadilan adalah : tidak boleh menolak

untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[78] Artinya hakim sebagai unsur pengadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[79] Nilai-nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut seperti persepsi masyarakat tentang tentang keadilan, kepastian, hukum dan kemamfaatan. Hal ini menjadi tuntutan bagi hakim untuk selalu meningkatkan kualitasnya sehingga dalam memutuskan perkara benar-benar berdasarkan hukum yang ada dan keputusannya dapat dipertanggungjawabkan .

Dalam hadis dijelaskan :

: ( )

اق تلز امف ىلع لاق ىضقت فيك ىردت فوسف رخلا م لك عمست ىتح لولل ضقت لف نلجر كيلا ىضاقت اذا دعب ايض

] 80 [

Dalam menyelesaikan suatu perkara ada beberapa tahapan yang harus di lakukan oleh

hakim diantaranya :[81]

Mengkonstatir yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih dahulu.

Mengkualifisir yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta-fakta peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya.

(14)

Tahapan-tahapan tersebut menjadikan hakim dituntut untuk jeli dan hati-hati untuk

memberikan keputusan sekaligus menemukan hukumnya, karena pada dasarnya hakim dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil keputusan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keyakinannya sesuai dengan doktrin Curia Ius Novit[82].Karena dalam undang-undang dijelaskan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diputus, dengan alasan bahwa hukum yang ada tidak ada atau kurang jelas.[83]

Sedangkan fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguhnya dari apa yang

dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa.[84] Artinya hakim mengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas .

Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya segenap

kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak .

Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi

tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk baik perkara tersebut telah di atur dalam Undang-undang maupun yang tidak terdapat ketentuannya. Disini terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya hakim harus bersifat obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk undang-undang untuk memeriksa dan mengadili perkara, dengan penilaian yang obyektif pula karena harus berdiri di atas kedua belah pihak yang berperkara dan tidak boleh memihak salah satu pihak .

B. Kode Etik Profesi Hakim Indonesia

1. Pengertian kode etik

Kata etika memiliki banyak pengertian. Secara etimoligis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos (bentuk tunggal) yang berarti adat; akhlak; watak; perasaan; sikap; cara berfikir. Sedang dalam bentuk jamak, ta-etha, berarti adat kebiasaan, atau akhlak yang baik.[85] Jadi secara etimologis etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau ilmu yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat terhadap apa yang baik dan apa yang buruk. Sehingga hal ini menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan tidak baik, patut dan tidak patut untuk dilakukan.[86]

(15)

26

Pada dasarnya secara konseptual paradigmatik, kedua istilah ini mempunyai

sentralitas pengertian dan obyek yang sama, yaitu sama-sama membicarakan totalitas tingkah laku manusia dari sudut pandang nilai-nilai yang baik dan buruk. Akan tetapi pada dataran realitas penggunaannya kedua istilah tersebut memiliki sedikit perbedaan dalam nuansa aplikatifnya. Moral atau moralitas dipakai sebagai tolok ukur menilai suatu perbuatan yang sedang dilakukan oleh seseorang. Sementara etika digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk mengkaji sistem-sistem nilai atau kode.[89] Jadi etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang menyatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.[90] Dan dari perbuatan yang dilakukan itu merupakan moralitas. Karena moralitas adalah kualitas di dalam perbuatan itu benar atau salah, baik atau jahat.[91]

Dengan demikian kata etika setidak-tidaknya mengandung tiga arti. Pertama,

nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika dalam arti ini bisa dirumuskan juga sebagai “sistem nilai” yang berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.[92] Dan pada pengertian etika kedua ini, etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral, inilah yang akan menjadi fokus pembahasan penyusun, khususnya etika yang ada di lingkungan profesi hakim, yang tertuang dalam kode etik profesi hakim .

Sedangkan pengertian profesi sendiri adalah berasal dari kata profession yang

mengandung arti pernyataan, kesanggupan, atau sumpah yang dibuat karena memasuki suatu kepercayaan agama, dalam hal ini suatu profesi.[93]

Sedangkan kata “profesi” merupakan lawan dari kata “amatir” yakni melakukan suatu

pekerjaan hanya sebagai kegiatan hoby atau kesukaan. K. Bertens mengartikan profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Dengan keahlianya, kelompok profesi menjadi kalangan yang sukar ditembus bagi orang luar. [94] Nugroho Notosusanto mengatakan bisa dikatakan profesi apabila mempunyai ciri ciri sebagai berikut, yaitu mempunyai expertise (keahlian), responsibility (tanggung jawab), dan corporateners (kesejawatan). Ketiga ciri tersebut saling terkait dalam suatu profesi.[95]

Dengan demikian sebuah profesi memiliki prinsip-prinsip etika yaitu; pertama, prinsip

(16)

dalam menjalankan profesinya selama masih dalam koridor kode etik.[96] Karena kode etik merupakan aturan-aturan susila atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi profesi. Jadi kode etik berupa suatu ikatan, tatanan, kaidah atau norma yang harus diperhatikan yang berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuat oleh anggota profesi dalam menjalankan profesinya, sebagai pencegahan munculnya tindakan immoral yang pelanggarannya membawa akibat atau konsekuensi tertentu .

Kode etik sebagai hasil kesepakatan anggota, bertujuan agar anggota tidak terjebak

kepada pelanggaran norma yang lebih fatal maka ditetapkan sistem sanksi. Dalam dalam organisasi profesi hukum yang solid, keberadaan kode etik profesi merupakan norma moral yang implikasinya mendekati efektifitas norma hukum.[97] Sehingga organisasi dapat memberikan sanksi, dan sanksi tersebut hanya sanksi organisasi atau dengan sanksi administrasi melalui pihak yang berwenang terhadap anggota profesi yang tidak mematuhi kode etik antara lain berupa pencabutan dari keanggotaannya .

Sehingga kode etik sendiri adalah hasil usaha pengarahan kesadaran moral para

anggota profesi tentang persoalan-persoalan khusus yang dihadapinya dan dapat ditentukan aspek-aspek moral yang terkandung di dalam suatu profesi yang memiliki nilai tinggi sebagai tujuan dari profesi tersebut. Ciri-ciri tersebut tentang bagaimana profesional etis yang dapat mengcover perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa meninggalkan aspek sosial budaya bangsanya, ini sekaligus memberikan pengertian bahwa kode etik profesi merupakan bagian dari etika masyarakat. Oleh kerena itu kode etik profesi tidak boleh bertentangan dengan etika masyarakat .

Kedudukan seorang profesional dalam suatu profesi, pada hakikatnya merupakan

suatu kedudukan yang terhormat, karena setiap profesi terlihat kewajiban agar ilmu yang dimiliki dijalankan dengan ketulusan hati dan i’tikad baik bagi kehidupan masyarakat luas .

2 . Rincian Kode Etik Profesi Hakim Indonesia

Uraian mengenai kode etik hakim meliputi: Ketentuan umum, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan profesi hakim, dan penutup. Adapun deskripsi lebih terperinci dari bagian kode etik profesi hakim tersebut adalah sebagai berikut :

Bab I ketentuan umum pasal 1 berisi ketentuan umum. Pada bagian ini menguraikan

maksud dari istilah kode etik, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan profesi hakim, azas peradilan yang merupakan ketentuan yang ada, dan juga maksud dari dibentuknya kode etik profesi hakim. Pertama, sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter dan pengawasan tingkah laku hakim. Kedua, sebagai sarana control sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial serta pencegah timbulnya konplik antar sesama anggota juga terhadap masyarakat. Ketiga sebagai jaminan peningkatan moralitas dan kemandirian hakim, keempat menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.[98] Selanjutnya ,

Bab II mengatur tentang pedoman tingkah laku (Code of Conduct) hakim yang

(17)

ketidakadilan. Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa. Sari, yaitu bersifat jujur.[99] Dan juga dijelaskan bagaimana sikap hakim dalam persidangan yang telah tercantum dalam tata aturan hukum acara yang berlaku, sikap terhadap sesama rekan, terhadap bawahan atau pegawai, terhadap masyarakat, terhadap keluarga atau rumah tangga. Serta kewajiban dan larangan bagi hakim tersebut .

Bab III mengatur tentang komisi kehormatan profesi hakim sebagai lembaga yang di

bentuk dari tingkat pusat sampai daerah.[100] Lembaga ini bertugas memberikan pembinaan, meneliti dan memeriksa atas pelanggaran yang dilakukan.[101] Kemudian diberikan sanksi baik dari tahap teguran sampai pemberhentian sebagai anggota IKAHI.[102] Komisi kehormatan profesi hakim tersebut dalam memproses pelanggaran melalui mekanisme hukum acara dari mulai pemanggilan, pemeriksaan, pembelaan dan putusan dengan tata cara pengambilan putusan dalam majelis hakim .

Bab IV penutup berisi tentang berlakunya kode etik profesi hakim. Dalam bab

terakhir ini disebutkan bahwa kode etik profesi hakim berlaku sejak disyahkan oleh musyawarah nasional (MUNAS) ke XIII tanggal 30 Maret 2001 .

Dari sistematika kode etik profesi hakim tersebut, maka yang menjadi bahasan dalam

penyusunan penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan mengenai hukum materiilnya yaitu dari Bab II .

Adapun uraian mengenai Kode Etik Profesi hakim meliputi sifat-sifat hakim, sikap

hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, terhadap bawahan, terhadap masyarakat, terhadap keluarga atau rumah tangga serta kewajiban dan larangan profesi hakim .

Sifat hakim tercermin dalam lambang Hakim yang dikenal dengan “Panca Dharma

Hakim : ”

1. Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

2. Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala kebathilan, kezaliman dan ketidakadilan.

3. Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa.

4. Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela.

5. Tirta yaitu sifat jujur.

Adapun Setiap Hakim Indonesia memepunyai pegangan tingkah laku yang

harus dipedomaninya :

A. Dalam persidangan :

(18)

a Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan (right to a decision) dimana setiap orang berhak untuk mengajukan perkara dan dilarang menolak untuk mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh undang-undang serta putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama.

b Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajukan bukti-bukti serta

memperoleh imformasi dalam proses pemeriksaan.(a fair hearing).

c Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain (no bias) dengan menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in resua).

d Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and argumentation of decision), dimana argumentasi tersebut harus diawasi (controlerbaarheid) dan diikuti serta dapat dipertanggungjawabkan (accountability) guna menjamin sifat keterbukaan

(transparency) dan kepastian hukum (legal certainity) dalam proses peradilan.

e Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.

1. Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.

2. Harus bersifat sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.

3. Harus menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata maupun perbuatan.

4. Bersungguh-sunguh mencari kebenaran dan keadilan.

B. Terhadap Sesama Rekan

1. Memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama rekan.

2. Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama rekan.

3. Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps Hakim secara wajar.

4. Menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.

C. Terhadap Bawahan atauPegawai

1. Harus mempunyai sifat kepemimpinan.

2. Membimbing bawahan atau pegawai untuk mempertinggi pengetahuan.

3. Harus mempunyai sikap sebagai sebagai seorang bapak atau Ibu yang baik.

(19)

5. Memberi contoh kedisiplinan.

D. Terhadap Masyarakat .

1. Menghormati dan menghargai orang lain.

2. Tidak sombong dan tidak mau menang sendiri

3. Hidup sederhana.

E. Terhadap keluarga atau rumah tangga

1. Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, menurut norma-norma hukum kesusilaan.

2. Menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga.

3. Menyelesaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.

Selain dijelaskan tentang sifat dan sikap hakim juga terdapat ketentuan kewajiban dan

larangan profesi hakim

1. Kewajiban :

a Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berperkara secara berimbang dengan tidak memihak(impartial).

b Sopan dalam bertutur dan bertindak.

c Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar.

d Memutus perkara berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan.

e Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan Hakim.

2 . Larangan :

a Melakukan kolusi dengan sipapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani.

b Menerima suatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.

c Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya diluar cara persidangan.

(20)

e Melecehkan sesama hakim, jaksa, penasehat Hukum para pihak berperkara, ataupun pihak lain.

f Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, kecuali dikeluarkan dalam rangka pengkajian ilmiah.

g Menjadi anggota atau salah satu partai Politik dan pekerjaan atau jabatan yang dilarang undang-undang.

h Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.

Uraian tersebut di atas merupakan standar minimal dalam pelayanan hukum bagi seorang hakim. Apabila pelayanannya terdapat kesalahan baik yang diperbuat dengan sengaja maupun tidak sengaja atau melebihi batas wewenangnya maka dia dapat dikenakan sanksi baik berupa teguran, skorsing, maupun pemberhentian sebagai anggota Ikatan hakim

Indonesia.[103] Adapun proses pemeriksaannya dilakukan secara tertutup yang sebelumnya diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dan kemudian dari hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh semua

anggota komisi kehormatan profesi hakim dan yang diperiksa. Keputusan dari hasil pemeriksaan itu diambil sesuai dengan tata cara pengambilan putusan dalam majlis hakim.

3. Nilai-nilai dalam Kode Etik Profesi Hakim.

Sebelumnya telah dijelaskan akan pentingnya etika dalam sebuah organisasi profesi, dalam hal ini profesi hakim. Dan akan kita bahas tentang pokok-pokok kode etik profesi hakim. Bagaimanakah pandangan etika terhadap profesi hakim, Apa saja bentuk dan jenis norma etis yang dianut dan wajib dilaksanakan oleh para hakim. Hal inilah yang menjadi permasalahan pada bagian ini. Pembahasan pokok-pokok etika ini dimaksudkan untuk mengetahui bahwa nilai-nilai etika dalam profesi hakim.

Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral bagi pengembannya. Nilai moral tersebut akan menjadi landasan bagi tindakannya. Ada 5 (lima) nilai moral yang terkandung dalam profesi hakim yaitu 1. Nilai kemandirian atau kemerdekaan.

Di sini terkandung nilai profesi hakim adalah profesi yang mandiri, yang dalam melaksanakan tugasnya, tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Begitu pula Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang dilandasi dengan kejujuran dan

keseksamaan, yang diambil setelah mendengar dan mempelajari keterangan-keterangan dari semua pihak. Nilai kemandirian atau kemerdekaan ini sangat penting karena tanpa nilai ini, nilai-nilai lain tidak akan bisa ditegakkan.

Hal ini memperjelas bahwa untuk mendukung terlaksananya tugas-tugas profesi hakim maka diperlukannya kemandirian hakim. Namun harus kita pahami bahwa

(21)

terpengaruh pertimbangan untung rugi, menyesuaikan diri dengan nilai kesusilaan dan agama. Sedangkan keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli; menolak segala bentuk penyelesaian melaui jalan belakang yang tidak sah.[104] Hal ini dapat menjadikan seorang hakim menjadi kuat, demikian pula faktor kemandirian moral dan keberanian moral yang kedua-duanya saling mengikat.

2. Nilai keadilan.

Kewajiban menegakan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka pengadilan harus mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang Yang dicerminkan dalam proses penyelengaraan peradilan yaitu membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.[105] Agar keadilan tersebut dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyaarakat, dengan tidak memutar balikan fakta dan tidak membedakan orang dengan tetap memegang asas praduga tak bersalah. Dan nilai ini dapat diperluas sampai kepada hakim wajib menghormati hak seseorang (setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum).[106] Serta memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi akibat kekeliruan tentang orang atau hukum yang diterapkan.[107]

3. Nilai kerja sama dan kewibawaan korp

Nilai kerja sama ini diwujudkan dalam persidangan salah satunya dalam bentuk majlis dengan sekurang-kurangnya berjumlah sebanyak tiga orang hakim untuk memusyawarahkan hasil dari persidangan secara rahasia yang kemudian menjatuhkan putusan, disamping itu perlunya saling memberi bantuan dan adanya kerja sama dengan negara lain yang meminta keterangan, pertimbangan, atau nasehat-nasehat yang berkaitan dengan hukum.

4. Nilai pertanggungjawaban.

Sikap pertanggungjawaban ini berdimensi vertical dan horizontal. Secara vertical berarti bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horizontal berarti

bertanggung jawab kepada sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan maupun kepada masyarakat luas.[108] Dan dalam kaitanya dengan putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar atas pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumberhukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.[109] Nilai ini penting dalam meletakan tanggung jawab hakim terhadap keputusan yang dibuatnya, sehingga putusan itu memenuhi tujuan hukum berupa keadilan (Gerectigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit), dan kemamfaatan (Zweckmassigkeit).

Menurut O. Notohamidjojo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan kejujuran. Keempat norma etis inilah yang akan dieksplorasi lebih jauh dalam penelitian ini.

a. Kemanusiaan

Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa

(22)

dengan kesejahteraan umum, maka diperlukan adanya penjernihan makna tentang individu dan person. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua dimensi metafisis, yaitu individualitas dan sosialitas, berbeda dari yang lain namun tidak terpisahkan dari yang lain, satu sama lainnya saling menentukan. Individualitas berakar didalam unsur-unsur yang dalam susunan badan manusia menentukan prilaku temperamen (keadaan rasa dan pikiran) dan menyatakan dirinya dalam bentuk emosi yang bersifat infrarasional, sedangkan dari aspek sosialitasnya manusia pribadi itu senantiasa hidup dalam masyarakat atau persekutuan manusia. Sebagai akibatnya sering menimbulkan kerja sama dan konflik akibat dari adanya saling menilai baik sebagai individu (nilai primer) maupun masyarakat (sekunder).[110]

Dihadapan hukum, manusia harus dimanusiakan artinya dalam penegakan hukum

manusia harus dihormati sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial.[111] Manusia menurut kodratnya adalah baik,namun kondisi sosial yang kadangkala memaksa manusia berbuat jahat justru untuk mempertahankan kodratnya itu. Sebagai contoh seorang mencuri hak orang lain dalam rangka mempertahankan hidupnya, meskipun sadar bahwa mencuri dilarang oleh hukum positif. menurut pertimbangannya, dari pada mati kelaparan lebih baik bertahan hidup dengan barang curian, dan hidup adalah hak asasi yang wajib dipertahankan. Oleh karena itu, manusia yang diancam sanksi dalam kerangka penegakan hukum positif yang telah dilanggarnya tetap diperlakukana sebagai manusia, yang wajib dihormati hak-hak asasinya.[112] Manusia memang mempunyai kodrat bebas atau merdeka, karena ia memiliki hak individual. Namun dalam pelaksanaanya hak tersebut berbenturan dengan hak-hak orang lain dan tidak boleh membahayakan orang lain. Kebebasan adalah hak-hak milik setiap manusia sejak lahirnya. Tidak ada satupun hukum buatan manusia yang dapat merampas hak tersebut, sebab hak kebebasan itu diperoleh dari hukum alam.[113]

Dalam menjalankan profesinya, para profesional dituntut untuk menjalankan dua

keharusan yaitu keharusan untuk menjalankan profesinya secara bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan dan dampak pekerjaannya kepada orang lain, serta keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain, artinya keadilan menuntut kita untuk senantiasa kita berikan kepada yang berhak .

Seorang hakim dalam dalam bertindak harus memperhatikan sesuai yang ditentukan

dalam hukum acara yang berlaku dengan memperhatikan azas-azas peradilan, tidak menunjukan sikap memihak atau antipati kepada pihak yang berperkara dan tidak boleh bersikap diskrimimanatif karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Semua warga negara mempunyai hak yang sama dihadapan hukum .

b. Keadilan

Menurut Thomas Aquinas, keadilan didefinisikan sebagai kebiasaan di mana orang

(23)

Ada dua jenis tuntutan keadilan yaitu mentaatinya secara hukum dan secara moral.

Secara hukum seorang pejabat telah disumpah untuk menjadi pengayom bagi setiap warga Negara, termasuk bawahannya sendiri, maka secara moral tidak dapat dibenarkan bila lari dari tanggung jawab setelah perbuatannya ternyata merugikan atau mendatangkan penderitaan bagi bawahannya. Keadilan dapat juga dalam bentuk kewajiban yang harus dibayarkan kepada orang lain. Seperti sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan berfungsi untuk memulihkan pelanggaran pidana yang telah dilakukannya. Sanksi pidana berfungsi untuk memulihkan keadilan yang telah dirusak oleh pelaku kejahatan.[115]

Ada tiga bentuk dasar keadilan yaitu :

Keadilan tukar secara timbal balik (iustitia commutative), yaitu keadilan yang mengatur hubungan antara individu dengan individu lain sebagai partner.

Keadilan pelayanan atau distributive (iustutia distributive), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan di antara masyarakat atau negara dengan individu sebagai warga masyarakat atau negara.

Keadilan legal atau keadilan umum (iustitia legalis, iustitia generalis), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan antara individu terhadap masyarakat atau negara.[116]

Dalam melaksanakan tugasnya hakim dilarang melakukan kolusi dengan siapapun

yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani sehingga keputusan yang dibuat benar-benar adil, tidak berpihak. Hakim dalam memutuskan perkara tumbuh dari integritas (kejujuran dan keterbukaan) dan keberanian without fear ar favor tanpa takut dan memberikan keuntungan kepada pihak yang berperkara.[117] Karena apabila terdapat atau terjadi penyelewengan terhadap kode etik sebagai salah satu acuan atau pedoman tingkah laku dalam menjalani profesinya, maka tempat untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui wadah formal yang ada yaitu komisi kehormatan profesi hakim .

c. Kejujuran

Kejujuran ialah hal yang berhubungan dengan pengertian tentang kebenaran terutama

berkaitan dengan bidang hukum dan moral. Kejujuran sendiri merupakan kebajikan yang mengatur semua kehendak yang jujur dan terdapat dalam pergaulan masyarakat, terutama dalam hubungan antar individu. Sehingga Setiap penegak hukum perlu kejujuran dalam menegakkan hukum, dalam melayani pencari hukum dan keadilan, serta diharapkan menjauhi perbuatan-perbuatan yang curang dalam pengurusan perkara. Kejujuran berkaitan erat dengan kebenaran, keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dan ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Kejujuran adalah kendali untuk berbuat menurut apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati nurani .

d. Kepatutan

Kepatutan (equity) merupakan satu term yang tidak dapat dipisahkan dengan term

(24)

dasarnya merupakan generalisasi universal, yang keberlakuannya tidak mengenal perkara, kasus istimewa, barulah menenguk makna “equity” atau apa yang patut atau layak .

Keadilan pada dasarnya merupakan kebajikan yang diwujudkan dalam sikap objektif,

apa adanya dan umum. Sikap ini yang mengatur hubungan yang hakiki di dalam masyarakat. Jika keadilan dipahami seperti ini, maka makna keadilan akan sangat abstrak dan kurang mengenai situasi dan keadilan manusia secara individual. Yang diperlukan manusia adalah koreksi dan perhatian khusus bagi dirinya, sesuai dengan kualitas, situasi serta keberadaannya sendiri. Dalam hal ini pula orang memerlukan kepatutan, sebab kepatutan memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan keadilan manusia sebagai individual. Jadi kepatutan akan menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum terutama dalam situasi dan kondisi khusus. [118] Dan kepatutan sendiri menempatkan apa yang patut atau apa yang layak, dalam hukum bukan saja keadilan menurut hukum, melainkan juga adil secara moral. Karena putusan hakim akan patut apabila menunjukkan perbuatan yang patut dibuat, dan tidak mengandung cacat bagi putusan pengadilan .

BAB III

KODE ETIK PROFESI HAKIM DALAM ISLAM

A. Pengertian Etika Islam

Pemahaman terhadap eksistensi kode etik profesi hakim dalam wacana pemikiran hukum Islam adalah sistem etika Islam yang akan menjadi landasan berfikir untuk melihat nilai-nilai yang ada dalam kode etik profesi hakim.

Etika dalam Islam disebut dengan akhlak. Akhlak berasal dari bahasa arab yang artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan atau dalam pengertian sehari-hari disebut budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun. Dengan demikian ahklak merupakan gambaran bentuk lahir manusia.[119]

Ahmad Amin memberikan definsi akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang harusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada manusia lainnya, menyatakan apa yang harus dituju oleh manusia dalam hal perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa yang harus diperbuat.[120]

Sedangkan menurut A. Mustofa akhlak dalam Islam (akhlak Islam) adalah merupakan sistem moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolak dari akidah yang diwahyukan Allah pada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian disampaikan pada umatnya.[121] Akidah tersebut diwujudkan menjadi tabiat atau sifat seseorang, yakni telah biasanya dalam jiwa seseorang yang benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan. Perbuatan tersebut terkadang berbentuk baik dan terkadang juga berbentuk buruk.

(25)

dikatakan akhlak merupakan manifestasi iman, Islam dan ihsan yang merupakan repleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri sendiri sendiri sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan interes tertentu.[122]

Sehingga Majid Fakhry menyebutkan etika atau akhlak adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan menjadi dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[123] Lebih ditegaskan lagi etika adalah merupakan hal keyakinan religius tertentu (I’tiqadat) untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.[124] Dari pengertian di atas etika dan akhlak kalau dipahami adalah merupakan dua kata yang mempunyai kesamaan dan juga perbedaan, persamaanya adalah pada obyek yakni sama-sama membahas tentang baik dan buruk tingkah laku manusia sedangkan perbedaanya adalah pada parameternya yaitu etika terhadap akal, dan akhlak terhadap agama (al-Qur’an dan Hadis}).

Dengan demikian etika mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada bentuk bathiniyah yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (syari’ah) yang berbentuk bat}iniyah. Lebih jauh lagi merupakan aspek penting bagi penegak hukum, khususnya profesi hakim. Karena moralitas atau etika sebagai dorongan terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesinya.

B. Landasan Etika Profesi Dalam Islam

Persoalan etika dalam Islam sudah banyak dibicarakan dan termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Etika Islam adalah merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada tuhan, dan sudah tentu berdasarkan kepada agama, dengan demikian al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber utama yang dijadikan landasan dalam menentukan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia, ada yang menerangkan tentang baik dan buruk, boleh dan dilarang, maka etika profesi hakim di sini merupakan bagian dari perbuatan yang menjadi fokus bahasan.

Namun al-Qur’an yang menerangkan tentang kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim tidak menjelaskan teori-teori etika dalam arti yang khusus sekalipun menjelaskan konsep etika Islam, tetapi hanya membentuk dasar etika Islam, bukan teori-teori etika dalam bentuk baku.[125] Tetapi masalah yang paling utama adalah bagaimana mengeluarkan ethik Islam yang bersumber dari al-Qur’an yang melibatkan seluruh moral, keagamaan, dan sosial masyarakat muslim guna menjawab semua permasalahan yang timbul baik dari dalam maupun dari luar.

Dengan demikian perlu dari kedua sumber tersebut yang pada umumnya memiliki sifat yang umum, karena itu perlu dilakukan upaya-upaya dan kualifikasi agar dipahami sehingga perlu melalui penjelasan dan penafsiran. Permasalahan kehidupan manusia yang semakin kompleks dengan dinamika masyarakat yang semakin berkembang. Maka akan dijumpai berbagai macam persoalan – persoalan terutama masalah moralitas masyarakat muslim, pada masa Nabi Muhammad yang terbentuk setelah turunnya wahyu al-Qur’an, sehingga masih bisa dikembalikan kepada sumber al-Qur’an dan penjelasan dari Nabi sendiri. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan keagamaan ketika itu yang

(26)

Al-Qur’an sendiri menjelaskan tentang etika dengan berdasarkan tiga terma kunci, utama yang merupakan pandangan dunia al-Qur’an. Ketiga terma kunci tersebut adalah iman, Islam, dan taqwa yang jika direnungkan akan memperlihatkan arti yang identik. Istilah iman berasal dari akar kata ( نمن ا) yang artinya ”keamanan”, “bebas dari bahaya, “damai”, Islam yang akar katanya (ملس )yang artinya “aman dan integral”, “terlindungi dari disintegrasi dan kehancuran”. Dan taqwa yang sangat mendasar bagi al-Qur’an disamping kedua istilah di atas, yang memiliki akar kata (يقو) juga berarti “melindungi dari bahaya”, “menjaga

kemusnahan, kesia-siaan, atau disintegrasi”.[126] Sehingga pembahasan etika yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung cakrawala yang luas karena menyagkut nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan manusia baik secara individu, masyarakat dan Negara secara umum demi mencapai kebahagian baik di dunia dan di akhirat.

Menurut Madjid Fakhri, sistem etika Islam dapat dikelompokkan menjadi empat tipe. Pertama, moral skripturalis. Kedua, etika teleologis. Ketiga, teori-teori etika filsafat.

Keempat, etika religius.[127] Dari keempat tipologi etika Islam tersebut, etika religius akan menjadi pilihan sebagai landasan teori yaitu nilai-nilai etika yang didasarkan pada konsep al-Qur’an tentang nilai-nilai etika hukum dalam Islam. Dengan demikian penyusun hanya akan menjelaskan salah satu macam etika yaitu etika religius yang menjadi landasan.

Etika religius adalah etika yang dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi al-Qur’an tentang manusia dan kedudukannya di muka bumi, dan cenderung melepaskan dari kepelikan dialektika dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam secara utuh.[128] Bahan-bahan etika religius adalah pandangan-pandangan dunia al-Qur’an, konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa hal sufisme. Karena itu sistem etika religius muncul dalam berbagai bentuk yang kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang paling Islami. Diantara eksponennya adalah Hasan Basri, Mawardi, Raghib al-Isfahani, al-Ghazali, dan Fakhruddin ar-Razi. al-Ghazali yang sistem etikanya mencakup moralitas filosofis, teologis, dan sufi, adalah contoh yang paling representatif dari etika religius.[129]

Sementara kajian epistemologi terhadap nilai-nilai suatu perbuatan, oleh F. Huorani dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu: Pertama, Obyektifisme; “right” memiliki arti yang obyektif, yaitu suatu perbuatan itu disebut benar apabila terdapat kualitas benar pada perbuatan itu. Aliran ini biasanya dimiliki oleh aliran mu’tazilah dan filsuf muslim. Kedua, Subyektivism; “right” tidak memiliki arti yang obyektif, tetapi sesuai dengan kehendak dan perintah dan ketetapan Allah swt. Tipe ini disebut secara spesifik oleh George F. Huorani dengan theistic subjectivisme atau divine subjectivisme. Terma ini disepadankan oleh George F. Huorani dengan sebutan ethical voluntarism. Ketiga, Rationalism; ‘right” itu dapat

diketahui dengan akal semata atau akal bebas. Artinya, akal manusia dinilai mampu membuat keputusan etika yang benar berdasarkan data pengalaman tanpa menunjuk kepada wahyu. Aliran ini dengan pendayaannya terhadap akal disepadankan oleh George F. Huorani dengan kelompok intuitionist. Aliran ini dibagi 2 yaitu: pertama, “right” selalu dapat diketahui oleh akal secara bebas. Kedua, “right” dalam beberapa kasus dapat diketahui oleh akal semata, pada kasus lain diketahui oleh wahyu, sunnah, ijma’, dan qiyas, atau dapat diketahui oleh akal dan wahyu dan seterusnya. Aliran ini secara spesifik disebut dengan partial rationalism. Keempat,Traditionalism; “right” tidak akan pernah dapat diketahui dengan akal semata tetapi hanya dapat diketahui dengan wahyu dan sumber-sumber lain yang merujuk kepada wahyu. Menurut George F. Huorani, aliran ini bukan tidak sama sekali tidak memanfaatkan

(27)

sunnah, menetapkan ijma’ atau menarik qiyas. Aliran seperti ini biasanya dianut oleh para fuqoha dan mutakallimun.[130]

Sedangkan kata-kata profesi sendiri dalam Al-Qur’an disebutkan dengan kata-kata ‘aml ( لمع ) yang disebut berulang-ulang, belum lagi dengan penyebutan yang lain atau kiasan lain. Namun ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa Islam tidak progresif terhadap budaya kerja. Hal ini karena disebabkan didalam Islam adanya takdir, yang sering dipahami secara negatif atas pemahaman bahwa dalam Islam tidak terlalu penting. Ini bias dari teologi jabariyah (aliran aqidah yang berpendapat bahwa manusia tidak punya faktor atau penentu). Sehingga faktor adanya kemiskinan akibat dari faktor dari teologis ini.[131]

C. Sistem Etika Islam Dalam Penegakan Hukum

Sistem etika Islam yang berkembang terlebih dahulu dalam pemahaman agama, sehingga hubungan antara agama dengan etika mempunyai relasi yang erat. Keduanya memang tidak dapat dipisahkan. Keterbatasan kemampuan manusia untuk mamahami ajaran agama menyebabkan perlunya manusia mencari jalan dan berfikir yang tepat untuk

membantu manusia dalam menafsirkan agama, karena tidak semua orang sepakat dalam suatu pendapat. Begitu juga terhadap peristiwa-peristiwa sekarang yang dulunya masih belum menjadi persoalan agama dapat dipecahkan melalui etika dengan memperhatikan ketentuan agama.

Agama biasanya dipahami semata-mata membicarakan urusan spiritual, karenanya ada ketegangan antara agama dan hukum. Hukum utuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat untuk mengontrolnya dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaedahnya, yaitu norma-norma yang ditentukan oleh agama.[132] Agama di sini menekankan moralitas, perbedaan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri kepada kesejahteraan material dan kurang memperhatikan etika. Terlihat dengan adanya perbedaan antara fungsi antara etika dengan ilmu hukum yaitu etika dalam agama memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang segala perbuatan yang dilarang dan madarat sedangkan ilmu hukum tidak karena banyak perbuatan yang baik dan berguna yang tidak diperintahkan oleh ilmu hukum. Dari fungsi di atas menjadikan etika atau akhlak mendalami gerak jiwa manusia secara batin walaupun tidak menimbulkan perbuatan lahir sedangkan ilmu hukum melihat segala perbuatan yang

berakibat kepada lahir.

Hukum agama sebenarnya merupakan hukum moral “farexcellence”, sedangkan menurut Khan : “hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya.Tidak ada pemisahan total hukum dari moralitas”. Oleh karena itu hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum.[133]

(28)

Etika Islam sebagai landasan yang harus dijunjung oleh seorang profesi dalam hal ini seorang hakim (Qadi)dalam menjalankan profesinya adalah memberi keputusan (

Judgement ) bukan menghadiahkan keadilan dan keputusan yang diberikan harus berdasarkan hukum. Hal ini dalam konsep Islam, profesi hakim harus benar-benar menegakkan etika, dan bagaimana etika yang harus ditegakkan dalam menjalani profesi dalam Islam, atau yang disebut etika profesi dalam Islam.

Konsep profesi dalam Islam tersebut adalah : [135]

1. Meletakkan kerja sebagai sebuah amal shaleh yang dilakukan dalam kontek dan tahapan yang runtut atas iman, ilmu, dan amal. Disini kerja terorientasi kepada dua pandangan : aktifitas yang bernilai ibadah dan sebuah aktifitas untuk memperoleh keuntungan financial.

2. Menunuaikan kerja sebagai suatu penunaian amanah yang harus dilakukan secara professional.

3. Melakukan kerja dengan wawasan masa depan dan wawasan ukhrawi artinya dalam melakukan kerja, seseorang harus mengingat kepentingan akan hari depannya. [136]

Dari uraian di atas etika profesi dalam Islam adalah merupakan aktivitas yang bukan hanya bersifat duniawi, melainkan juga sangat ukhrawi. Artinya Islam melibatkan aspek transendental dalam beribadah, sehingga bekerja tidak hanya bisa dilihat sebagai prilaku ekonomi tetapi juga ibadah, sehingga profesi hakim yang dijalani adalah suatu profesi yang profesi yang harus dipertanggung jawabkan di akhirat.

Dalam hadis\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ di sebutkan :

: :

هب ضقي ملف قحلا فرع لجرو ةنجلاىفوهف هب ىضقف قحلا فرع لجر ةنجلاىف دحاوورانلاىف نانثا ةث لث ةاضقلا

رانلا ىف اوهف لهج ىلع سانللىضقف قحلا فرعي مل لجرو رانلاىف اوهف مكحلاىف راجو

] 137 [

Hadits} diatas menjelaskan pembagian hakim, sehingga apabila haim tidak

menjalankan amanahnya sesuai dengan sistem etika profesi dalam Islam maka termasuk salah satu golongan hakim yang celaka, karena mengimgkari tujuan dari etika profesi hakim yang ada, dan tidak bisa mempertanggungjawabkan akan tugasnya diakhirat nanti.

Hal ini diungkapkan oleh al-Ghazali, bahwa tujuan etika dalam Islam berpangkal dari pengabdian sepenuhnya pada Tuhan. Pemikiran etika al-Ghazali sangat menekankan pada keselamatan individu baik di dunia sekarang maupun di akhirat nanti. Adanya kewajiban bagi manusia pada hakekatnya dimaksudkan untuk keselamatan individu.[138]

Referensi

Dokumen terkait

 Deposit adalah pembayaran yang dilakuan oleh tamu pada saat melauan pemesanan kamar atau check-in sebagai jaminan selama tinggal di hotel..  Pre-payment adalah

Fungi seperti ini menunjukan dimorfisme atau mempunyai dua bentuk/dua sifat hidup yaitu dalam bentuk uniseluler seperti ragi yang bersifat parasit dalam bentuk

Cilji Za dosego navedenega namena raziskave postavljamo naslednje raziskovalne cilje: - predstaviti Krajinski park Goričko in prikazati trenutno stanje turistične ponudbe v njem;

Penambahan jumlah sudu berarti menambah jumlah gaya tangensial sehingga resultanya menjadi lebih besar, namun pertambahan jumlah sudu memungkinkan adanya pengurangan

JADUAL KULIAH SEMESTER GENAP TA 2014/2015.. FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI -

Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 85/KPTS/BPBD- SS/2017 tentang Status Keadaan Siaga Darurat Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi

Bersumber dari fenomena rumah sakit yang dikemukan yang terdahulu dengan itu permaslahan peneliti dirumusakan dengan berikut: “Dengan apa meningkatkan kinerja

Hasil belajar siswa menggunakan nilai post test dengan teknik analisis data statistik uji-t satu sampel (one sample t-test). Hasil penelitian ini menunjukan penuntun