• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5. Tiga Esensi Dasar UU No. 12 Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2.5. Tiga Esensi Dasar UU No. 12 Tahun 2008"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH :

Wakil Kepala Daerah

Riana Susmayanti, SH.MH.

Faculty of Law, Universitas Brawijaya

Email : rerezain@yahoo.co.id, r.susmayanti@ub.ac.id

Pertemuan 10-11

1. 1. 1.

1. PENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUAN

[Pertemuan 10] [Pertemuan 10] [Pertemuan 10] [Pertemuan 10] a. Pengantar b. Tujuan 2. 2.2.

2. PENGATURAPENGATURAN PENGATURAPENGATURAN N N

KEDUDUKAN WAKIL KEDUDUKAN WAKIL KEDUDUKAN WAKIL KEDUDUKAN WAKIL KEPALA DAERAH KEPALA DAERAHKEPALA DAERAH KEPALA DAERAH [Pertemuan 10] [Pertemuan 10][Pertemuan 10] [Pertemuan 10] 2.1. UU No. 18 Tahun 1965 2.2. UU No. 5 Tahun 1974 2.3. UU No. 22 Tahun 1999 2.4. UU No. 12 Tahun 2008 jo UU No. 32 Tahun 2004

2.5. Tiga Esensi Dasar UU No. 12 Tahun 2008

3. 3. 3.

3. URGENSI WAKIL KEPALA URGENSI WAKIL KEPALA URGENSI WAKIL KEPALA URGENSI WAKIL KEPALA DAERAH

DAERAHDAERAH

DAERAH [Pertemuan 11][Pertemuan 11][Pertemuan 11][Pertemuan 11] 3.1. Alasan Perlu Adanya Wakil

Kepala Daerah

3.2. Alasan Tidak Diperlukannya Lagi Wakil Kepala Daerah 3.3. Alternatif Jika Daerah Tidak

Memerlukan Wakil Kepala Daerah

3.4. Tolak Ukur Perlu Tidaknya Keberadaan Wakil Kepala Daerah

1. PENDAHULUAN

1.1 Pengantar

Pasal 18 Ayat (4) UUDNRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis. Dengan demikian, UUDNRI Tahun 1945 hanya mengakui keberadaan Kepala Daerah saja. Sedangkan kedudukan Wakil Kepala Daerah tidak diatur bahkan tidak dikenal dalam UUDNRI Tahun 1945.

Ketentuan tersebut bertolak belakang dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pemilihan Kepala Daerah selalu disertai dengan pemilihan Wakil Kepala Daerah dengan sistem paket dimana dalam pelaksanaan pemilihan umum selalu menampilkan pasangan calon Gubernur bersama Wakil Gubernur, calon Bupati bersama calon Wakil Bupati, dan calon Walikota bersama calon Wakil Walikota. Selanjutnya UU No. 12 Tahun 2008 kembali menegaskan bahwa pemilihan umum kepala daerah dilaksanakan dalam sistem paket (Kepala Daerah dan wakilnya), keduanya terikat secara politik dan berkampanye bersama untuk memenangkan pemilihan umum kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga dalam pengambilan sumpah jabatan dan pelantikannya dilaksanakan secara bersamaan. Dengan demikian ada kecenderungan pengaturan dalam UUDNRI Tahun 1945 dan UU No.32 Tahun 2004 serta UU No.12 Tahun 2008 mengenai kedudukan wakil kepala daerah hádala tidak konsisten.

S

E

L

F

-P

R

O

P

A

G

A

T

IN

G

E

N

T

R

E

P

R

E

N

E

U

R

IA

L

E

D

U

C

A

T

IO

N

D

E

V

E

L

O

P

M

E

N

T

MODUL

5

(2)

1.2 Tujuan

Dengan penguasaan materi dalam modul ini, mahasiswa akan dapat :

• Menjelaskan pengaturan kedudukan wakil kepala daerah di Kabupaten / Kota

menurut UU No. 12 Tahun 2008

• Menjelaskan urgensi wakil kepala daerah di kabupaten / kota

2.

PENGATURAN KEDUDUKAN WAKIL KEPALA

DAERAH

2.1. Pengaturan Kedudukan Wakil Kepala Daerah Menurut UU No. 18 Tahun 1965

Menurut UU No 18 Tahun 1965, kewenangan yang dimiliki wakil kepala daerah, adalah membantu kepala daeraha, sedangkan untuk pembagian tugas dan kewenangan antara kepala daerah dan wakilnya tidak disebutkan secara rinci. Dengan demikian kedudukan wakil kepala daerah dalam undang-undang ini masih sangat lemah.

2.2. Pengaturan Kedudukan Wakil Kepala Daerah Menurut UU No. 5 Tahun 1974

Dalam UU No. 5 Tahun 1974, terdapat beberapa poin penting mengenai kedudukan wakil kepala daerah, yaitu :

wakil kepala daerah haruslah pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan

wakil kepala daerah dapat diangkat tanpa melalui pemilihan.

Pengisian wakil kepala daerah adalah sesuai dengan kebutuhan.

Pelantikan wakil kepala daerah adalah terpisah dengan pelantikan kepala daerah.

Namun dalam undang-undang ini juga belum mengatur mengenai tugas atau kewenangan wakil kepala daerah secara rinci, sehingga kedudukan wakil kepala daerah tergantung pada kewenangan yang diberikan oleh kepala daerah.

Pengaturan Kedudukan Wakil Kepala Daerah Menurut UU No. 22 Tahun 1999

Dalam UU No. 22 Tahun 1999 terjadi beberapa perubahan atas UU No 5 Tahun 1974 yaitu:

Menghapuskan persyaratan wakil kepala daerah harus dari kalangan pegawai

negeri, sehingga membuka kesempatan bagi siapa saja baik yang dari luar pemerintahan ataupun bukan pegawai negeri untuk menduduki posisi wakil kepala daerah.

Jika sebelumnya keberadaan wakil kepala daerah disesuaikan dengan

kebutuhan daerah, dalam undang-undang ini semua daerah hanya memiliki satu orang wakil kepala daerah.

Pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan bersamaan.

Lahirnya undang-undang ini menjadi awal dimulainya pemilihan umum dengan

sistim paket yang menampilkan satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah

terjadi pergeseran kedudukan wakil kepala daerah, dimana saat mencalonkan

diri dalam satu pasangan, kedudukan calon kepala daerah dan wakilnya adalah sama, tetapi setelah menjabat kedudukan kepala daerah lebih tinggi karena wakil kepala daerah harus bertanggung jawab kepada kepala daerah.

(3)

Page 33 of 52

Dengan demikian, UU No. 22 Tahun 1999 telah memberikan kewenangan yang lebih jelas kepada wakil kepala daerah, dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, walaupun kewenangan tersebut masih sangat terbatas.

Pengaturan Kedudukan Wakil Kepala Daerah Menurut UU No. 12 Tahun 2008 juncto UU No. 32 Tahun 2004

Dalam UU No. 12 Tahun 2008, kedudukan wakil kepala daerah mengalami penambahan mengenai calon perseorangan, dan pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah apabila wakil kepala daerah menjadi kepala daerah, atau kepala daerah tidak melaksanakan tugas.

Pasal 26 UU No. 32 Tahun 2004 menunjukkan, tugas seorang wakil kepala daerah terfokus pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya koordinasi, pembinaan dan pengawasan, monitoring serta tugas-tugas lain yang sebenarnya dapat dilaksanakan oleh dinas daerah ataupun lembaga teknis daerah. Kalaupun ada tugas-tugas lain yang dilaksanakan seorang wakil kepala daerah yang terkait dengan pengambilan kebijakan, biasanya ditentukan oleh kesepakatan atau

bargaining antara kepala daerah dan wakil kepala daerah maupun partai politik

pengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut. (Suharizal, 2010:103).

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yaitu:

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;

c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; d. melaksanakan kehidupan demokrasi;

e. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; f. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; g. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;

h. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;

i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah;

j. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah;

k. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.

Selain itu kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat, yang disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun, untuk digunakan Pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sebagai pelopor lahirnya daerah otonom yang banyak memberikan gambaran yang jelas mengenai kewenangan wakil kepala daerah, UU No. 32 Tahun 2004 juga telah jelas mengatur mengenai larangan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang wakil kepala daerah. Sebagai aturan pelaksana dari Pasal

(4)

56 UU No. 32 Tahun 2004, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Dalam Pasal 36 PP No. 6 Tahun 2005 dikatakan bahwa:

(1) Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik,

atau gabungan partai politik secara berasangan.

(2) Partai politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada Ayat

(1), dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15%(lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15%(lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di Daerah yang bersangkutan.

(3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan

pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh sekurang-kurangnya 15%(lima belas persen) dari jumlah Kursi DPRD sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) apabila hasil bagi jumlah kursi DPRD mengahsilkan angka pecahan, maka perolehan 15%(lima belas persen) dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan keatas.

Adapun mengenai Pemberhentian wakil kepala daerah diatur dalam Pasal 123 PP No 6 Tahun 2005 sebagai berikut:

(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:

a.Meninggal Dunia;

b.Permintaan Sendiri;

c.Diberhentikan.

(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan karena:

a. Berakhir masa jabatannya, dan telah dilantik pejabat yang baru;

b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan, atau berhalangan

tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;

c. Tidak lagi memenuhi Syarat Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah;

d. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil

Kepala Daerah;

e. Tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala

Daerah; dan/atau

f. Melanggar Larangan Bagi kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.

(3) Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1), huruf a, huruf b, dan Ayat (2) huruf a, huruf b, diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam rapat paripurna dan diusulkan pemberhentiannya oleh Pimpinan DPRD.

(4) Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana

dimaksud pada Ayat (2) huruf d, dan huruf e, dilaksanakan dengan ketentuan :

a. Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan

kepada Presiden berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya.

b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui

Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD, dan putusan diambil dengan persetujuan sekurangnya 2/3(dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat

DPRD tersebut paling lambat 30(tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat Final.

(5)

Page 35 of 52

wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tga perempat) dari jumlah anggota DPRD, dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden.

e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau

wakil kepala daerah tersebut, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan Usul tersebut.

Dalam Pasal 26 UU 12 Tahun 2008, terdapat beberapa poin penting, yaitu :

a. Jabatan wakil Kepala Daerah sifatnya membantu dan menyukseskan Kepala

Daerah dalam memimpin daerah, melaksanakan tugas tertentu, menggantikan Kepala Daerah bila berhalangan. Namun perlu di ingat bahwa keberadaan wakil Kepala Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dipilih berpasangan secara langsung oleh rakyat, bersama-sama memimpin dan menyelenggarakan pemerintahan daerah.

b. Tugas dan wewenang wakil bersifat umum, kekuasaan penuh ada di Kepala

Daerah dan akhirnya ini memunculkan kegamangan wakil Kepala Daerah dalam bertindak. Ada baiknya Kepala Daerah membina hubungan dengan wakil Kepala Daerah dan memberikan peluang kepada wakil Kepala Daerah sesuai dengan kontrak politik yang dibuat ketika mereka diangkat menjadi satu pasangan calon Kepala Daerah.

c. Tidak terdapat indikator yang mengungkapkan wakil Kepala Daerah dianggap

bekerja efektif atau tidak efektif bekerja.

Selanjutnya Pasal 26 Ayat (1) f UU no 12 Tahun 2008 mengatur bahwa wakil Kepala Daerah mempunyai tugas melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang diberikan Kepala Daerah. Oleh karena itu masih terdapat peluang bagi Kepala Daerah(Gubernur dan Bupati/Walikota) untuk berbagi kekuasaan bersama wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur dan Wakil Bupati/Wakil Walikota).

Meskipun demikian, pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara Kepala Daerah dengan wakil Kepala Daerah merupakan wilayah yang rawan konflik, apabila tidak diatur secara tegas dan rinci dalam ketentuan perundang-undangan yang cukup kuat kedudukan hukumnya.

Pembagian tugas antara Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah, dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pola (Sadu Wasistiono, 2011:12), yaitu :

a. diatur secara rinci dalam UU atau PP,

1) Pola ini memiliki kelebihan karena memberikan kepastian hukum mengenai

apa yang menjadi tugas, wewenang dan kewajiban wakil Kepala Daerah,

sehingga memperkecil peluang terjadinya konflik.

2) Pola ini memiliki kelemahan yakni kaku sehingga menutup adanya diskresi

dari Kepala Daerah untuk memberikan tugas, wewenang dan kewajiban yang lebih luas kepada wakil Kepala Daerah. Pola ini juga tidak memperhatikan perbedaan karakteristik masing-masing daerah yang seharusnya diikuti dengan isi pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara kepala daerah dengan wakil Kepala Daerah secara berbeda.

3) UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan pola ini,

tetapi tidak memberi perintah untuk menjabarkannya lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Daerah. Sebagai contoh, Pasal 26 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 mengatur mengenai tugas Wakil Kepala Daerah adalah :

(6)

daerah;

b) membantu Kepala Daerah dalam :

mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah;

menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat

pengawasan;

melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda;

mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan

lingkungan hidup;

c) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten

dan kota bagi wakil Kepala Daerah provinsi;

d) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah

kecamatan, kelurahan/dan atau desa bagi Wakil Kepala Daerah kabupaten/kota;

e) memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam

penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah;

f) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang

diberikan oleh Kepala Daerah; dan

g) melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala

Daerah berhalangan.

4) Rincian tugas wakil kepala daerah tidak disertai rincian kewenangan yang

diperlukan untuk menjalankan tugas tersebut. Intinya, dalam melaksanakan tugasnya, wakil kepala daerah bertanggungjawab kepada kepala daerah. (prinsip subordinasi).

5) Konflik antara Kepala Daerah dengan wakil Kepala Daerah dapat dipicu oleh

isi kewenangan sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan tugas.

6) Berbagai tugas wakil Kepala Daerah berkaitan dengan kata kerja :

membantu, memantau, mengoordinasikan, menindaklanjuti, melaksanakan, mengupayakan, mengevaluasi, memberikan saran memerlukan kewenangan untuk melaksanakannya. Tanpa ada batas kewenangan yang jelas antara Kepala Daerah dengan wakil Kepala Daerah, berbagai tugas tersebut akan menjadi kabur dalam implementasi dan tanggungjawabnya.

7) Kewenangan tersebut terutama berkaitan dengan aktivitas untuk

memutuskan sesuatu. Apabila keputusan yang telah diambil oleh wakil Kepala Daerah dimintakan kembali oleh Kepala Daerah, maka wibawa wakil Kepala Daerah akan pudar.

b. diatur prinsip-prinsipnya di dalam UU atau PP, kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan yang lebih rendah tingkatannya seperti Peraturan kepala daerah.

a. Pola ini menggunakan pendekatan eklektif, yakni menggabungkan berbagai

keunggulan dari berbagai pendekatan. Melalui pola ini, maka prinsip-prinsip pembagian tugas,wewenang, kewajiban dan tanggung jawab antara Kepala Daerah dengan wakilnya ditetapkan secara limitatif dalam UU atau PP. Dengan demikian ada pedoman yang jelas bagi kedua belah pihak.

b. UU atau PP tersebut kemudian memberi mandat kepada Kepala Daerah

untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai isi tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab Wakil Kepala Daerah sesuai situasi dan kondisi masing-masing daerah serta komitmen awal pada saat pencalonan dalam pilkada. Penjabarannya diatur lebih lanjut melalui Peraturan Kepala Daerah.

c. Meskipun Wakil Kepala Daerah tidak mengambil keputusan secara langsung

mengenai hal-hal yang bersifat strategis, Wakil Kepala Daerah harus memiliki kemampuan mempengaruhi Kepala Daerah untuk membuat keputusan sesuai gagasan Wakil Kepala Daerah.

d. Ketentuan pembentukan jabatan lebih dari satu Wakil Kepala Daerah diatur

(7)

Page 37 of 52

pembentukannya diatur dengan peraturan pemerintah. (Baca : Harstanto,

dalam Dzikri Subhani,2010, Wakil kepalaDaerah sebaiknya dipilih oleh

DPR(online), www.Jurnalparlemen.com)

c. tidak diatur sama sekali dalam UU atau PP, tetapi lebih merupakan gentlemen

aggrement diantara dua orang yang dibuat pada saat adanya kesepakatan

untuk maju bersama dalam Pilkada.

1) Terdapat kebebasan sepenuhnya pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah dalam membagi tugas, wewenang, kewajiban dan

tanggungjawabnya sesuai kesepakatan awal pada saat pencalonan.

2) Kunci keberhasilan pola ini tergantung pada kesungguhan dari

masingmasing pihak untuk memegang teguh komitmen yang masing sudah dibuat. Pola ini sangat cocok untuk digunakan bagi orang-orang yang sudah matang berpolitik dan sudah dikenal luas karakternya.

3) Rawan konflik, karena kekuasaan bersifat menggoda, apalagi kalau sudah

berkaitan dengan anggaran.

Tiga Esensi Dasar UU No. 12 Tahun 2008: Calon Perseorangan

Dalam Pasal 56 Ayat (2) UU No. 12 Tahun 2008 dinyatakan bahwa pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan.

Dibandingkan dengan calon partai politik, calon perseorangan harus bekerja keras karena dia harus membentuk tim suksesnya sendiri (J. Kaloh, 2010:188-202). Persyaratan yang harus dipenuhi juga tidak semudah yang dipersyaratkan bagi bakal calon partai politik, selain syarat-syarat administrative yang harus dipenuhi pasangan bakal calon perseorangan, juga

harus memenuhi syarat dukungan (voters). Ketentuan syarat dukungan bagi

calon perseorangan menurut UU No. 12 Tahun 2008 dalam Pasal 59 Ayat (2b) bagi pasangan calon Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota, adalah :

1) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua

ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);

2) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus

lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);

3) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus

ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan

4) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)

jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

Jumlah dukungan sebagaimana tersebut tersebar dilebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan dikabupaten/kota yang dimaksud, sebagaiaman yang dimaksud dalam Pasal 59 Ayat (2d).

Dukungan sebagaimana dimaksud dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 Ayat (2e).

Dalam proses penetapan pasangan calon perseorangan, KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat (Ayat 4a).

(8)

wajib menyerahkan :

1) surat pencalonan yang ditandatangani oleh pasangan calon

perseorangan;

2) berkas dukungan dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri

dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tanda penduduk;

3) surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;

4) surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila

terpilih menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

5) surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang

berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;

6) surat pernyataan nonaktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat

yang bersangkutan menjadi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di daerah wilayah kerjanya;

7) surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD

yang mencalonkan diri sebagai calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

8) kelengkapan persyaratan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan

9) visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.

Dalam Pasal 62 Ayat (1a) dinyatakan bahwa Pasangan calon perseorangan atau salah seorang di antaranya dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota.

Adapun mengenai sanksinya ditentuakan dalam Pasal 62 Ayat (1b), dan Ayat (1c) sebagai berikut :

(1b) Pasangan calon perseorangan atau salah seorang di antaranya yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada Ayat (1a) dikenai sanksi tidak dapat mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik/gabungan partai politik sebagai calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah untuk selamanya di seluruh wilayah Republik Indonesia. (1c) Apabila pasangan calon perseorangan atau salah seorang di antaranya

mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada Ayat (1a) setelah ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon sehingga tinggal 1 (satu) pasang calon, pasangan calon tersebut dikenai sanksi sebagaimana diatur pada Ayat (1b) dan denda sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Diharapkan agar dengan diperbolehkannya calon perseorangan sesuai dengan konstituen yang beraku akan meningkatkan partisipasi politik Rakyat.

Calon Incumbent

Permasalahan calon incumbent diawali oleh putusan Mahkama Agung

(MA) NO.41 P/HUM/2006 mengenai uji materil terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 mengharuskan seorang Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah mengundurkan diri dari jabatan jika hendak maju sebagai calon

Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah (incumbet).

Putusan MA ini juga masih menimbulkan perdebatan, karena UU No. 32

Tahun 2004 tidak mewajibkan calon incumbent untuk mengundurkan diri,

tetapi hanya cuti selama masa kampanye. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 dan

PP No. 6 Tahun 2005, hanya pejabat (caretaker) Kepala Daerah yang maju

(9)

Page 39 of 52

Dalam tata urutan perundangan, kedudukan UU berada diatas PP. Inilah

masalah hukum di seputar calon incumbent untuk tetap pada

jabatannya.tentu, lawan calon incumbent menghendaki agar putusan MA

mengenai PP No. 6 Tahun 2005 itu harus direalisasikan. Putusan in juga menimbulkan persoalan karena Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disumpah untuk menjabat selama lima tahun. Artinya, jika Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah diwajibkan mundur, maka terdapat hak politik kepala daerah/ wakil kepala daerah sebagai warga Negara yang dihilangkan.

Di satu sisi, putusan MA itu sesungguhnya memberikan keadilan bagi semua pasangan calon untuk bertarung dalam pilkada, tanpa harus memanfaatkan fasilitas jabatan dan kewenangan sebagai Kepala Daerah Hal

ini, juga bisa menghindarkan para birokrat untuk mendukung calon incumbent

semata. Paling tidak, semua peserta Pilkada bisa bertarung lebih sportif dalam upaya memenangkan Pilkada.

Dalam undang-undang ini, calon incumbet dibolehkan melakukan cuti

hanya disaat kampanye pilkada. Adapun sebelum kampanye maupun sesudah

pemilihan, seorang calon incumbent tetap berhak menyandang posisi Kepala

Daerah.

Permasalahan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan UU No. 12 Tahun 2008, yang menyebutkan salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah wajib mengundurkan diri sejak pendaftaran (Pasal 58 point q). Dengan demikian, pengalaman pemilu kada

yang selama ini dipraktekkan oleh incumbent seperti curi start kampanye,

memanfaatkan fasilitas Negara dan dana pemerintah, memanfaatkan PNS sebagai tim sukses terselubung sudah tidak terulang kembali dan hal ini mengindikasikan semakin bertumbuh dan dewasanya wajah demokrasi di Republik Indonesia.

Perolehan Suara Calon Kepala Daerah

Pasangan calon terpilih sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 (Pasal 107 Ayat (1) dan Ayat (2)) dan Pasal 95 Ayat (2) PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menetapkan ambang batas 25% bagi calon pemenang pilkada atau menggunakan konsep mayoritas sederhana, pertimbangan utama penetapan prosentase ini adalah aspek efisiensi, mengurangi pemborosan

pengulangan pilkada dan menghindari kesibukan pihak-pihak yang

berkompoten dalam pilkada. Rendahnya ambang batas ini mengindikasikan bahwa di Negara Indonesia pembangunan sebuah demokrasi masih bukan prioritas utama.

Kebijakan penetapan calon terpilih diatur dalam Pasal 107 UU No. 12 Tahun 2008 yang merupakan revisi terhadap Pasal 107 UU No. 32 Tahun 2004, hanya berbeda sedikit dengan konsep pemenang yang ditetapkan dalam PP nomor 6 Tahun 2005, yaitu naik sebesar 5% tetapi ini sudah membawa angin segar bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.

3.

URGENSI WAKIL KEPALA DAERAH

Sebelum UU No. 32 Tahun 2004, Pemilihan kepala daerah dan Wakil kepala daerah langsung dimonopoli oleh DPRD, yang mengklaim dirinya sebagai pemegang kedaulatan rakyat karena dipilih melalui pemilu. Kedaulatan rakyat “dikebiri” menjadi oligarki segelintir elit, yang kemudian menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah. Kondisi ini bertentangan dengan arti demokrasi yang sesungguhnya. Sebaliknya, Pemilihan kepala daerah secara langsung akan mengakhiri oligarki tersebut, sebab Elit Politik dan Partai politik tidak lagi secara

(10)

langsung memainkan peran dalam memilih dan menentukan kepala daerah, tetapi rakyatlah yang kemudian menentukan melalui mekanisme pemilihan umum kepala daerah. Sistim pemilihan secara langsung, memperkuat legitimasi seorang kepala daerah, karena ia dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai pemegang

kedaulatan Vox Populi vox dey, sehingga Elit Politik atau partai Politik tidak bisa

lagi seenaknya menjatuhkan seorang Presiden, maupun kepala daerah, kecuali ia melakukan tindakan kriminal, dan menghianati Negara, atau makar.

Pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghindarkan kepala daerah dari dominasi DPRD seperti yang terjadi dalam praktek pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999. Dengan dipilih secara langsung, maka kedudukan kepala daerah akan benar-benar sederjat dengan DPRD. Namun kemudian masalah yang harus dipecahkan adalah bagaimana menjaga agar kepala daerah yang mandiri tersebut bisa tetap dikontrol, sehingga tidak berbuat sewenang-wenang atau mengabaikan kepentingan masyarakat. Disinilah pentingnya fungsi pengawasan oleh DPRD maupun masyarakat melalui media masa maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan lainya.

3.1. Alasan Perlu Adanya Wakil Kepala Daerah Beban dan Kerumitan Pekerjaan Kepala Daerah

Beratnya beban kepala daerah bukan saja karena harus berhadapan dengan DPRD yang sangat kuat, tetapi juga karena meningkatnya keberanian masyarakat untuk melakukan kritik dan menuntut hak-haknya kepada Pemerintah Daerah dan kondisi ekonomi sosial masyarakat yang masih rendah. Ditengah keterbatasan kemampuan Pemerintahan Daerah, kepala daerah harus bisa meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat daerahnya, disamping harus tetap menjaga keserasian hubungan dengan pemerintah pusat, dan pemerintah daerah lainnya, sekaligus menumbuh kembangkan kehidupan yang demokratis.

Walaupun mengemban tugas yang begitu berat, jabatan kepala daerah selalu diminati oleh banyak calon (yang diusung oleh Partai politik, maupun pasangan calon Independen), sehingga seolah-oleh pemilihan kepala daerah dan Wakil kepala daerah adalah sekadar permainan spekulatif belaka.

Campur tangan (intervensi) pimpinan pusat partai politik dan isu politik uang juga mewarnai pemilihan kepala daerah. Masalah dapat timbul jika rekomendasi pimpinan pusat partai politik berbeda dengan aspirasi jajaran partai politik di daerah. Perbedaaan tersebut menimbulkan konflik, bahkan perpecahan di dalam partai Politik tersebut. Secara teoritis, intervensi tersebut dapat dibenarkan, jika terjadi kemacetan dalam proses demokrasi. Yang dimaksud dengan kemacetan demokrasi adalah apabila elite daerah, baik eksekutif/birokrat maupun legislatif/politisi, melakukan konspirasi dengan mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat daerah untuk kepentingan kelompok elit itu sendiri. Bila hal itu yang terjadi, maka campur tangan pusat, baik pemerintah pusat maupun pimpinan pusat partai politik, bisa dibenarkan dengan argumen untuk melindungi kepentingan rakyat.

Selanjutnya, praktek politik uang banyak terjadi dalam Proses Pemilukada dengan segala macam bentuknya, baik sekedar biaya akomodasi, tanda terima kasih, syukuran, sampai yang betul-betul jual beli suara, walaupun hal ini secara hukum masih sulit dibuktikan.

Oleh karena itu, jika kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam satu pasangan (paket), setidak-tidaknya terdapat tiga pilihan atau alternatif yang berkaitan dengan kewajiban kepala daerah dan tugas wakil kepala daerah, yaitu :

a. Kepala Daerah dan Wakil kepala daerah sebagai satu pasangan (paket),

b. Kepala Daerah dan Wakil kepala daerah masing-masing berjalan

sendiri-sendiri.

(11)

Page 41 of 52

pelengkap atau pendamping (HAW Widjaja, 2002:94).

Tidak Ada Kerugian Konstitusional

Meskipun menimbulkan kontroversi, pencalonan kepala daerah dan Wakil kepala daerah dalam satu paket pilkada berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tidak pernah ada yang melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, sehingga dianggap tidak ada yang secara konstitusional dirugikan. Padahal konflik kewenangan yang berujung pada maraknya pengunduran diri wakil kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir, menunjukkan bahwa harmonisasi antara kepala daerah dan wakilnya memang sulit dijaga.

Secara yuridis bahwa wewenang wakil kepala daerah dapat dikategorikan sebagai berikut:

1) Kewenangan Mutlak, yaitu kewenangan Wakil kepala daerah yang diperoleh

dari peraturan perundang-undangan. Pasal 26 Ayat 1c UU No. 32 Tahun 2004

menyatakan bahwa Wakil kepala daerah bertugas memantau dan

mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan,

kelurahan dan/atau desa bagi Wakil kepala daerah kabupaten/kota.

2) Kewenangan Pemberian, yaitu kewenangan Wakil kepala daerah untuk

menjalankan roda pemerintahan yang diperolehnya berdasarkan rekomendasi kepala daerah. Pasal 26 Ayat 1f UU No. 32 Tahun 2004 menyakatan bahwa Wakil kepala daerah bertugas melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

3) Kewenangan otomatis, yaitu kewenangan Wakil kepala daerah yang diperoleh

secara otomatis, jika kepala daerah tidak berada di tempat, atau tidak dapat melaksanakan kewajiannya sebagai Wakil kepala daerah. Pasal 26 Ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.

Kaderisasi Pejabat Publik

Adanya jabatan Wakil kepala daerah membuka peluang adanya proses kaderisasi bagi calon kepala daerah di masa mendatang. Selama ini kaderisasi pimpinan daerah relatif terbatas, karena kepala daerah dan Wakil kepala daerah terpilih tanpa latar belakang pengalaman di bidang pemerintahan yang relatif memadai, padahal posisi kepala daerah sangat strategis dalam menentukan kemajuan daerah, yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.

Jumlah Penduduk

Persoalan jumlah penduduk tentu berbeda antara satu daerah dan daerah lainya. Agar pelayanan publik tetap maksimal, maka daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk yang banyak perlu untuk meningkatkan pula kinerja pemerintahannya. Problematika yang timbul dari jumlah penduduk tidak dapat di selesaikan oleh seorang kepala daerah saja, melainkan dengan bantuan dari Wakil kepala daerah. Dengan demikian jumlah Wakil kepala daerah disetiap daerah tidak dapat diseragamkan, karena perbedaan kebutuhan antara satu daerah dengan daerah lainnya.

3.2. Alasan Tidak Diperlukannya Lagi Wakil Kepala Daerah Efisiensi Dan Efektivitas Pemerintahan Di Daerah

Kinerja Wakil kepala daerah yang dipilih paket atau dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan dianggap tidak optimal membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.

(12)

Conflict Of Interest Maupun Conflict Of Politic Antara Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah

Ketidakharmonisan hubungan antara kepala daerah dan Wakilnya, pasti berdampak pada pemerintahan yang dipimpinnya, sehingga masyarakatlah yang kemudian akan dirugikan. Faktor-faktor Penyebab Ketidak harmonisan Hubungan kepala daerah dan Wakilnya adalah sebagai berikut:

a. Lemahnya peraturan perundang-undangan mengenai hubungan kerja antara

keduanya dan diabaikannnya etika politik.

b. Ketidakjelasan kewenangan atau kurangnya peranan Wakil kepala daerah,

menyebabkan posisi wakil kepala daerah hanya sebagai ‘ban serep’ atau ‘pemain cadangan’ saja

c. Ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 yang mengatur pertanggungjawaban wakil

kepala daerah kepada kepala daerah, menjadikan kedudukan keuangan dan

protokoler wakil kepala daerah tidak fair. Implikasinya, keinginan Wakil kepala

daerah untuk menjadi calon kepala daerah pada pilkada berikutnya hanya

beberapa saat setelah duduk dalam jabatan. Wakil kepala daerah secara latent

menjadi pesaing yang tidak sehat bagi kepala daerah. Sebaliknya, ketika Wakil kepala daerah berhalangan tetap, banyak jabatan Wakil kepala daerah tersebut

yang tidak diupayakan untuk diisi oleh kepala daerah incumbent.

d. konflik saat pengisian jabatan struktural di jajaran pemerintahan. Kepala

daerah dan wakilnya, masing-masing berpacu menempatkan orang-orangnya pada pos strategis dan “basah” (instansi yang mendapat alokasi anggaran cukup besar), karena pilkada langsung membutuhkan ongkos politik yang mahal. Tim sukses perlu diakomodir untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, membayar belanja politik sebelumnya dan menyiapkan belanja politik tahap berikutnya. Kepala daerah dan Wakil kepala daerah bersaing untuk menempatkan mantan tim sukses, famili, orang dekat, dan kaum kerabat di posisi pengambil kebijakan. Tujuannya, menguasai dan mengendalikan semua proyek di instansi tersebut.

e. Latar belakang pribadi, perbedaan ideologi dalam perencanaan pembangunan,

dan masalah kepentingan politik menjelang akhir masa jabatan

f. Pengertian yang salah mengenai paket pemerintahan. Calon kepala daerah

cenderung memilih Wakil yang juga memiliki pendukung yang banyak untuk

meraih suara (vote getter).

Alasan konstitusional.

Keberadaan jabatan wakil kepala daerah tidak bersifat imperative

menurut UUDNRI Tahun 1945, karena Pasal 18 Ayat (4) UUDNRI Tahun 1945 tidak menyebutkan posisi Wakil kepala daerah.

3.3. Alternatif Jika Daerah tidak memerlukan Wakil Kepala Daerah Sekretaris Daerah

Seluruh tugas dan fungsi dari Wakil kepala daerah sesungguhnya dapat dilakukan oleh Sekretaris Daerah, karena sekretaris daerah yang :

1. mengelola roda birokrasi pemerintahan, bukan Wakil Gubernur, Wakil

Bupati atau Wakil Wali Kota, seperti yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) PP 41 Tahun 2007. Sedangkan disisi lain untuk menjalankan fungsi otonomi daerah, bupati/walikota juga dibantu oleh Kecamatan dan Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan pasal 18 Peraturan Pemerintah ini, dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.

2. memberikan komando untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan

(13)

Page 43 of 52

mengincar posisi KDH akan ”mati langkah” jika dimutasi oleh KDH. Beda dengan Wakil KDH yang tak dapat diberhentikan KDH.

Rekonstruksi Pengisian Jabatan Wakil Kepala Daerah

Pencalonan kepala daerah dan wakilnya secara berpasangan memberikan beban bersama untuk memenangkan pilkada. Padahal saat kemenangan diperoleh, dan pasangan calon tersebut dilantik, hubungan di antara keduanya tidak lagi bersifat kemitraan tetapi sudah menjadi hierarkis. Oleh karena itu, sebaiknya :

1. Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota tidak termasuk jabatan yang

dipilih.

2. Pengisian jabatan Wakil kepala daerah bersifat tentatif, sesuai kebutuhan

masing-masing daerah, dan diisi melalui mekanisme pengangkatan dari PNS yang memenuhi syarat, sehingga jabatan Wakil kepala daerah adalah jabatan karier, bukan jabatan politis.

3. Wakil kepala daerah :

a. Diangkat oleh Mendagri. Pengangkatan Wakil Bupati/Wakil walikota

diusulkan oleh KDH melalui Gubernur, dengan mekanisme :

1) Bupati/Walikota mengusulkan maksimal 3 calon Wakil kepala daerah

kepada Mendagri melalui Gubernur.

2) Kemendagri melakukan Uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon

Wakil kepala daerah yang diusulkan Bupati/Walikota.

3) Mendagri mengeluarkan putusan mengenai Wakil kepala daerah yang

memenuhi syarat dan ketentuan yang ditentukan dan disampaikan kepada Bupati/Walikota yang bersangkutan, melalui Gubernur,

selambat-lambatnya 60 hari setelah pengusulan wakil oleh

Bupati/Walikota diterima.

4) Mendagri melantik sendiri Wakil kepala daerah yang bersangkutan,

atau menunjuk Gubernur untuk melantik Wakil kepala daerah yang bersangkutan.

b. Diangkat oleh Gubernur. Selain sebagai pimpinan pemerintah daerah,

Gubernur juga sebagai Wakil pemerintahan pusat di daerah. Adapun prosedurnya adalah:

1) Kepala daerah mengajukan maksimal 3 calon Wakil kepala daerah

kepada Gubernur.

2) Gubernur mengadakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper

test) bagi calon Wakil kepala daerah yang di usulkan kepala daerah.

3) Gubernur memberikan keputusan mengenai Wakil kepala daerah yang

memenuhi persyaratan kepada kepala daerah berdasarkan uji kepatutan dan kelayakan selambat-lambatnya 60 hari kalender setelah pengusulan Wakil oleh Bupati/Walikota diterima.

4) Gubernur Melantik Wakil kepala daerah terpilih.

c. Diangkat oleh DPRD. DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat yang

mengemban aspirasi rakyat, serta DPRD lebih mengetahui mengenai sikap mental dari masing-masing calon yag diajukan oleh kepala daerah untuk mendampinginya dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Adapun prosedurnya adalah :

1) Kepala daerah mengajukan maksimal 3 calon Wakil kepala daerah

kepada DPRD.

2) DPRD mengadakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test)

bagi calon Wakil kepala daerah yang di usulkan kepala daerah.

(14)

daerah melalui uji kepatutan dan kelayakan selambat-lambatnya 60 hari kalender setelah pengusulan wakil oleh Bupati/Walikota diterima.

4) Dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DRRD

dengan kepala daerah.

5) Gubernur Melantik Wakil kepala daerah terpilih.

4. Antisipasi potensi konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan

cara:

a. memperkuat kedudukan Wakil kepala daerah dalam melaksanakan tugas

dan kewenangan serta hubungan antara KDH.

b. Wakil kepala daerah cukup diangkat dan ditetapkan pemerintah sesuai

dengan tingkatan pemerintahan.

c. kedudukan Wakil KDH dihilangkan dalam struktur pemimpin daerah. Sesuai

dengan Pasal 18 UUD yang tidak mengatur keberadaan wakil kepala daerah

3.4. Tolok Ukur Perlu Tidaknya Keberadaan Wakil Kepala Daerah Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah

Selain jumlah penduduk, luas wilayah juga merupakan kategori penting dalam menentukan jumlah Wakil disetiap daerah, sebab luas wilyah berengaruh terhadap rentang kendali kepala daerah. Semakin luas wilayah, maka rentan kendalinya pun semakin besar, demikian pula sebaliknya.

Beban Pekerjaan

Daerah-daerah yang baru berkembang mungkin saja beban pekerjaannya belum begitu banyak, sedangkan bagi daerah-daerah maju, beban pekerjaannya semakin berat.

Kerumitan Pekerjaan.

Ketentuan jumlah Wakil kepala daerah atau tanpa Wakil kepala daerah dapat ditentukan dengan melihat kerumitan pekerjaan atau kompleksitas dalam

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangannya.

REFERENSI

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Amandemen 1 – 4)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007

Aan Eko Widiarto, Diktat Mata Kuliah Sistem Pemerintahan Lokal, FHUB, Malang, 2009 Dadang Solihin, Kamus Istilah Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002

(15)

Page 45 of 52

Dadang Juliantara, Pembaharuan Desa, Lappera, Yogyakarta, 2003

HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001

Harstanto, dalam Dzikri Subhani,2010, Wakil kepalaDaerah sebaiknya dipilih oleh

DPR(online), www.Jurnalparlemen.com

Indra J Piliang, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003

J. Kaloh, Kemimpinan Kepala Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2010

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Fisipol UGM, Raja Grafindo, Jakarta, 2002

Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993

Moh. Rizal Y. Mobonggi, Pengaturan Kedudukan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota Menurut UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Terakhir Dari UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2012

R. Herlambang Perdana, Penindasan atas nama Otonomi, Pustaka Pelajar-LBH Surabaya, Yogyakarta, 2001

Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, 2003

---. 2011. Kontroversi Kedudukan, Tugas, wewenang, dan tanggung

jawab Wakil Kepala Daerah.

Suharizal, Penguatan Demokrasi Lokal Melalui Penghapusan Jabatan Wakil Kepala

Daerah, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 5, Mahkamah Konstitusi, Jakarta,

2010

Taliziduhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta, 1981

Yusdiyanto, 2012, Politik Hukum Kedudukan Wakil Kepala Daerah (online),

http://gagasanhukum.wordpress.com/2012/01/05/Politik-Hukum-Kedudukan-Wakil-Kepala-Daerah/

PROPAGASI

A. Latihan dan Diskusi (Analisa Kasus dalam Paper dan Presentasi)

1. Konflik Kewenangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

2. Mekanisme Penggantian Wakil Kepala Daerah

B. Pertanyaan (Evaluasi mandiri)

1. Bagaimana pengaturan kedudukan wakil kepala daerah di kabupaten/kota

menurut UU No.12 Tahun 2008 ?

2. Masikah perlu adanya wakil kepala daerah di jajaran pemerintahan daerah?

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa (1) Pengetahuan baik sejumlah 66% (43 responden), pengetahuan cukup sejumlah 31%

Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengangkat derajat kedudukan petani lontar tersebut adalah dengan mendirikan pabrik pengolahan gula dalam bentuk gula

“Deposito berjangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan 12 (duabelas) bulan yang dapat diperpanjang secara otomatis”, adalah untuk memastikan bahwa Bendahara Umum

Pertumbuhan produksi padi sawah yang sebagian besar berasal dari peningkatan luas panen padi dapat menekan pertumbuhan produksi komoditas pangan lain yang diusahakan pada lahan

Volume pohon yang diharapkan termanfaatkan, volume batang termanfaatkan, dan faktor eksploitasi berdasarkan 3 petak pengamatan/ penelitian dapat dilihat pada Tabel

Setelah membaca dan mengoreksi skripsi saudara Ayu Anggraini NIM: 12220125 jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,

Selain itu, menurut Kasmir (2011) bahwa rata-rata current ratio yang baik jika lebih dari 200%, namun perusahaan otomotif dan komponen memiliki nilai

Prinsip syariah dijelaskan pada Pasal 1 Butir 13 UU tersebut yaitu aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan