• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sirkumsisi Hemofilia Indonesia EDIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sirkumsisi Hemofilia Indonesia EDIT"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

SIRKUMSISI PADA HEMOFILI

ANTARA FAKTOR SOSIAL, RESIKO DAN EKONOMI

Riswan M., Musdalita E.

Divisi Hemato - Onkologi Medik Departemen Penyakit Dalam Universitas Syiah Kuala. RSUD Dr. Zainoel Abidin. Banda Aceh

Abstrak

Dinegara berkembang sering dijumpai berbgai masalah yang berkaitan dengan penderita

hemoflia. Adanya keterbatasan terhadap faktor pembekuan darah (F VIII) terutama saat melakukan

berbagai tindakan dan prosedur bedah meningkatkan angka morbiditas pada penderita hemofilia.

Penatalaksanaan pasien dengan hemofilia dewasa ini mencakup dalam semua aspek, termasuk aspek

sosial dan kultural termasuk sirkumsisi yang merupakan salah satu prosedur yang vital bagi penderita

hemofilia khususnya yang muslim. Penatalaksanaan yang optimal harus dipersiapkan untuk

menghasilkan suatu prosedur sirkumsisi yang aman. Namun permasalahan yang sering dihadapi

adalah tingginya biaya yang dibutuhkan sehubungan dengan jumlah faktor VIII yang digunakan,

sehingga sirkumsisi pada pasien hemofilia merupakan suatu permasalahan tersendiri menyangkut

tuntutan sosial, resiko dan tingginya biaya yang dipelukan. Laporan kasus ini melaporkan dua

penderita hemofilia yang sudah memasuki usia dewasa (24 dan 25 tahun) yang ingin melakukan

sirkumsisi. Dengan dilakukan persiapan yang baik pada sebelum dan sesudah tindakan, sirkumsisi

berjalan baik dengan hasil maksimal tanpa terjadinya komplikasi perdarahan, namun tingginya biaya

yang dibutuhkan untuk penggunaan faktor VIII ditanggulangi sendiri oleh pasien disebabkan oleh

asuransi menolak membiayai tindakan tersebut karena dianggap bukan suatu tindakan life saving.

Kata kunci : sirkumsisi, hemophilia

I. PENDAHULUAN

Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan yang darah yang diturunkan secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Insiden hemofilia didunia

diperkirakan sekitar 1 kasus pada 5000 penduduk laki-laki dan di Indonesia diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 Juta penduduk di Indonesia. Frekuensi dan tipe perdarahan yang terjadi pada pasien hemofilia sangat tergantung pada tingkat keparahan dan derajat penyakit. Pada penderita dengan derajat peenyakit yang berat perdarahan spontan seperti perdarahan pada sendi, soft tissue, gusi, epistaksis dan intrakranial sering terjadi. Pada penderita dengan derajat sedang jarang dijumpai terjadinya perdarahan spontan, perdarahan yang terjadi sering disebabkan karena trauma sedangkan pasien denga derajat penyakit yang ringan perdarahan sering terjadi sehubungan dengan trauma, tindakan mayor dan minor surgery.1,2,3,4,5,6

Telah banyak dilaporkan dinegara berkembang perdarahan yang disebabkan karena

tindakan bedah dapat berakibat fatal terhadap pasien hemofilia.7,8

World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat tidak hanya berdasarkan faktor fisik saja tetapi mencakup aspek psikologi dan sosial. Sehingga penatalaksanaan terhadappassien passien dengan hemofilia tidak hanya dilakukan terhadap asspek fisik saja tetapi mencakup aspek psikologi dan sosial.7

Sirkumsisi merupakan suatu aspek sosiokultural yang sangat penting dilakukan pada orang muslim. Alasan medis dilakukan tindakan ini adalah menurunkan resiko tertularnya penyakit seksual termasuk HIV, kanker servik, fimosis, parafimosis atau balanitis.7,9

Dalam kehidupan sosial, tidak melakukan sirkumsisi merupakan suatu hal yang sulit untuk diterima meskipun pada penderita hemofilia yang memiliki resiko terjadinya perdarahan, sehingga penderita hemofilia dan keluarganya tetap melakukan sirkumsisi meskipun dengan resiko dan biaya yang tinggi.7

(2)

II. KASUS Kasus 1

Laki-laki 24 tahun datang ke RSUZA untuk menjalani sirkumsisi. 22 tahun yang lalu abang pasien mengalami perdarahan yang hebat saat dilakukan sirkumsisi oleh mantri sehingga dirujuk ke rumah sakit dan dibutuhkan transfusi darah sebanyak 4 kantong, hal yang sama juga dialami oleh adik laki-laki pasien, hal ini menyebabkan pasien datang rumah sakit propinsi. Pasien selama ini mengalami bengkak pada sendi terutama jika terjadi trauma. Tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80kali permenit, pernafasan 20 kali permenit dan temperatur 36,6°c. Tinggi dan berat badan 160 cm dan 48 kg.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan deformitas dan atrofi pada lutut kiri.

Pemeriksaan darah rutin normal, dengan waktu pembekuan dan waktu perdarahan yang normal. Faktor pembekuan yaitu F VIII 2% and faktor IX 79%.

Pasien didiagnosa sebagai Hemofilia A dan dilakukan persiapan penatalaksanaan sirkumsisi sesuai dengan protokol.

Kasus 2

Laki-laki 20 tahun dating ke RSUD dr. Zainoel Abidin dengan keluhan yang sama pada kasus 1, pasieen adalah adik laki-laki dari pasien pada kasus 1. Tanda vital tekanan darah 110/70, nadi 88 kali permenit, pernafasan 20 kali permenit dan temperature 36,7°c. Berat dan tinggi badan 150 cm dan 50 kg.

Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal, pemeriksaan darah rutin normal, dengan waktu pembekuan dan waktu perdarahan yang normal. Faktor pembekuan yaitu F VIII 2% and faktor IX 75 %.

Pasien didiagnosa sebagai Hemofilia A dan dilakukan persiapan penatalaksanaan sirkumsisi sesuai dengan protokol

III. DISKUSI

Bleeding disorders dapat diklassifikasikan dalam primer dan sekunder hemostatic defects. Kelainan primer homeostasis terdiri dari defek kuantitatif dan kualitatif baik kongenital maupun didapat, kelainan kongenital yang paling sering adalah penyakit von Willebrand disease (vWD.) Adanya defisiensi komponen prokoagulan pada kaskade dimasukkan kedalam kelainan sekunder dimana hemofilia A dan B merupakan kelompok kelainan ini Hemofilia A dan B merupakan suatu kelainane single-gene yang diturunkan secara

X-manifestasi klinis sehubungan dengan defisiensi faktor VIII and faktor IX.1,2,3,4,5,6

Sampai saat ini riwayat keluarga masih merupakan cara terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus hemofilia, meskipun terdapat 20-30 % kasus mutasi spontan kromosom X. Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan uji hemostasis, seperti pemanjangan masa pembekuan (CT) dan masa thromboplastin partial teraktivasi (aPTT), abnormalitas uji thromboplastin generation dengan masa perdarahan dan masa prothrombin (PT) dalam batas normal. Diagnosis definitif ditegakkan dengan berkurangnya aktifitas F VIII/ FIX dan jika sarana sitogenetik tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda gen F VIII/FIX.1

Pada kedua kasus diagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga dimana dua saudara laki-laki pasien mengalami perdarahan saat dilakukan sirkumsisi, Standar diagnostic dilakukan pemeriksaan faktor VIII dan IX dan pada kedua pasien didapatkan faktor VIII 2 %.

Dalam Islam sirkumsisi adalah suatu ibadah sunnah rasul yang dijalankan setiap laki-laki muslim. Ditinjau dari aspek kesehatan sirkumsisi memberikan manfaat antara lain menurunkan angka penularan penyakit sexual (STDs), menurunkan resiko kanker penis dan resiko kanker servik pada pasangan serta permasalahan yang terkait dengan kelainan kulit antara lain phimosis, paraphimosis dan balanitis. Sirkumsisi dini juga mencegah resiko terjadinya infeksi pada saluran kemih pada anak laki-laki.7

Tindakan sirkumsisi pada pasien hemofilia sebaiknya tidaklah dianggap sebagai tindakan minor prosedur dan tidak dilakukan tanpa persiapan yang baik. Tindakan ini perlu dilakukan untuk mencegah resiko yang dapat terjadi seperti perdarahan. Disamping itu perlu persiapan ekonomi yang baik mengingat sirkumsisi pada pasien hemofilia bisa mengeluarkan biaya yang relatif mahal..7,9

Pada kedua kasus dilakukan persiapan dan edukasi mengenai prosedur yang kan dilakukan. Pemeriksaan darah rutin, waktu perdarahan, waktu pembekuan dan fakto pembekuan telah dilakukan. Perhitungan terhadap kebutuhan faktor VII juga sudah dilakukan dan pihak asuransi (ASKES) dihubungi untuk penyediaan faktor VIII, namun pihak asuransi tidak bersedia menanggung kebutuhan faktor VIII tersebut karena dianggap bukan suatu tindakan live safing. Jumlah biaya yang dibutuhkan sekitar 60 juta per pasien ditanggung oleh pasien dan keluarganya, padahal ayah pasien hanya seorang

(3)

pegawai administrasi di sebuah sekolah pemerintah sedangkan pasien sendiri hingga saat itu belum bekerja.

Perencanaan mengenai jumlah faktor VIII yang digunakan perlu dibuat sebaik mungkin karena mengingat resiko dari perdarahan yang akan terjadi. Target kebutuhan dari faktor VIII dibuat seoptimal mungkin sesuai dengan level kebutuhan berdasarkan berat ringannya prosedur yang dilaksanakan. Hingga saat ini belum ada protokol khusus yang digunakan untuk tindakan sirkumsisi dan belum ada keseragaman pada masing masing wilayah, beberapa protokol yang bias digunakan diantaranya adalah :

Tabel 1. Guideline untuk level target faktor pembekuan pada tindakan bedah mayor untuk dewasa berdasarkan Australia Guidelines (AHCDO, 2005).9 Hari F VIII level (%) Dosis F VIII (IU/Kg) Pre-op 80-100 40-50 1-3 80-100 40-50 4-6 60-80 20-25 7 dan sesudahnya 40-60 10-20

Tabel 2. Guideline untuk level target faktor pembekuan pada tindakan bedah minor untuk dewasa berdasarkan Australia Guidelines (AHCDO, 2005).9 Hari F VIII level (%) Dosis F VIII (IU/Kg) Pre-op 40-50 20-30 1-3 40-50 20-30 4 dan sesudahnya 20-30 20-25

Di Turki sejak 6 tahun terakhir sudah dikembangkan suatu tekhnik sirkumsisi pada pasien hemofilia, dimana pada metode ini dibutuhkan jumlah faktor VIII yang lebih sedikit dibandingkan protokol lainnya, bila dibandingkan dengan protokol PAPDI maka kebutuhan faktor VIII pada metode Turki ini kurang dari setengah kebutuhan sesuai PAPDI. Pada protokol ini dimana dilakukan pada 56 penderita hemofilia yang mengalami tindakan sirkumsisi dengan menggunakan anestesi lokal dan thermocautery dan mendapatkan faktor pengganti selama 7 – 18 hari didapatkan tidak adanya perdarahan signifikan dan infeksi luka yang terjadi. Hanya 5 pasien yang mengalami perdarahan minimal yang disebabkan keterlambatan subtitusi faktor. Satu diantaranya membutuhkan jahitan lebih dan hematom pada

fenulum yang terjadi pada hari ke 9 namun berhasil di terapi dengan membersihkan luka, pressure bandage dan pemberian faktor. Edem ringan dan sedang serta hiperemis pada daerah jahitan terjadi hampir pada semua penderita namun menghilang setelah hari ke 3 dan ke 5. Penyembuhan luka sempurna terjadi bervariasi mulai hari ke 7 sampai hari ke 21. Dan penderita kembali beraktifitas seperti biasa.7

Tabel 3. Subsitusi Faktor VIII berdasarkan PAPDI.1

Lokasi Level F VIII Dosis F VIII Sendi Mukosa oral Epistaksis Gastrointestinal Genitourinaria CNS Trauma/operasi 40-80 % 50% + antifibrinolitik 80-100% dipertahankan 30 % 100% dipertahankan 30 % 100% dipertahankan 30 % 100% dipertahankan 50-100% 100 % then 50 % sampai penyembuhan luka diperthankan 30 % 20-40 U/kg/hari 25 U/kg 40-50 U/kg 30-40 U/kg/hari 40-50 U/kg 30-40 U/kg/hari 40-50 U/kg 30-40 U/kg/hari 50 U/kg 25U/kg/hari 50 U/kg 50 U/kg/12 jam

Protokol pemberian faktor juga dapat dilakukan sebagai berikut : 7

o Asam traneksamat oral 25-30 mg/kgBB/hari selama 7 hari dimulai 12 jam sebelum operasi.

o 20 U/kg/BB (25 U untuk kasus berat) faktor diberikan IV bolus 2 jam sebelum operasi. Dosis ditingkatkan 2 kali untuk hemofilia B.

o 10 mg/kgBB asam traneksamat (atau o,3 mcg/kg DDAVP infuse untuk kasus ringan) selama operasi.

o 8-16 jam setelah operasi, diberikan faktor secara infus 10 U/kg (12,5 U/kg untuk kasus berat)

(4)

o Pada hari ke 2 dan ke 3 setelah operasi faktor diberikan secara infus dengan dosis 15 U/kg/hari pada kasus ringan, 25 U/kg/hari pada kasus sedang dan 40 U/kg/hari pada kasus berat. Penambahan DDAVP diberikan pada kasus ringan. Untuk hemofilia B dosis ditingkatkan 2 kali dan DDAVP tidak diberikan.

o Pada kasus berat : faktor diberikan dengan dosis 30 U/kg/hari pada hari ke 4 – hari ke 7; 20 U/kg/hari pada hari ke 8 – hari ke 10; 15 U/kg/hari diberikan pada hari ke 11 – hari ke 14 dan 10 U/kg/hari setiap harinya sampai luka menyembuh sebanyak 1-4 kali sehari. Pada hemofilia B dosis ditingkatkan 2 kali dan diberikan 2x pada hari 4-7 dan sekali setelahnya.

o Pada kasus sedang : faktor diberikan dengan dosis 20 U/kg/hari pada hari ke 4 – hari ke 7; 10 U/kg/hari dan satu dosis DDAVP pada hari ke 8 – hari ke 10; dan 10 U/kg/hari diberikan pada hari setelahnya sebanyak 1-2 kali sehari. o Pada kasus ringan faktor diberikan dengan

dosis 15 U/kg/hari pada hari ke 4 ; 10 U/kg/hari diberikan pada hari ke 5 - 7; dan 10 U/kg/hari diberikan pada hari setelahnya sebanyak 1-2 kali sehari. Pada kasus 1, diberikan asam traneksamat 3x500 mg selama 7 hari mulai dari 12 jam sebelum tindakan dilakukan hingga luka mengalami penyembuhan. Faktor VIII yang diberikan berdasarkan PAPDI dimana faktor VIII 100% (50 IU/kg) 2400 IU/hari IV bolus 30 menit sebelum operasi dilanjutkan dengan faktor VIII 30-50% (25 IU/kg) 1200 IU/hari selama 3 hari.

Pada kasus 2, diberikan asam traneksamat 3x500 mg selama 7 hari dimulai 12 jam sebelum operasi sampai luka mengalami penyembuhan. Faktor VIII diberikan berdasarkan metode Turki dimana faktor VIII (20 IU/kg) 1000 IU/hari bolus 2 jam sebelum operasi dilanjutkan dengan faktor VIII (10 IU/kg) 500 IU setiap 8 dan 16 jam setelah operasi. Dosis pemeliharaan (15 IU/kg) 750 IU/hari selama 3 hari. Lima hari setelah pasien pulang ke rumah terjadi perdarahan pada luka bekas operasi disebabkan karena terjadinya trauma mekanikal, pasien kembali dirawat dan diberikan F VIII 2500 IU selama 3 hari dan perdarahan teratasi tanpa timbul komplikasi lain di luka operasi.

IV. KESIMPULAN

Sirkumsisi merupakan suatu tindakan yang dianggap penting pada pasien sirkumsisi, dimana tidak hanya menyangkut aspek fisik dan kesehatan namun juga aspek sosiokultural. Pada kodisi dimana hal ini dianggap suatu masalah yang sangat penting maka tenaga kesehatan yang professional harus melakukan persiapan sebaik mungkin sehingga sirkumsisi pada pasien dengan hemofilia dapat dilakukan dengan aman.

Telah dilaporkan dua kasus pasien hemofilia yang melakukan sirkumsisi, seteah dilakukan persiapan, edukasi dan kerjasama yang baik dengan departemen bedah tindakan sirkumsisi tersebut berhasil dilakukan tanpa koplikasi perdarahan dan infeksi, namun tingginya biaya yang dikeluarkan oleh pasien yaitu 60 juta perpasien menjadi permasalahan tersendiri bagi penderita hemofilia yang ingin melakukan sirkumsisi.

Daftar pustaka

1. Linda W.A Rotty: Hemofilia A dan B In Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V Jilid II. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2010: 759 - 62.

2. Rajiv K. Pruthi: Hemophilia: A Practical Approach to Genetic Testing. Mayo Clin Proc. 2005;80(11):1485-99

3. Arun Banu and Kessler M Craig: Clinical Manifestation and Therapy of the Hemophilias in Hemostasis and Thrombosis basic principles and clinical practice volume II, 4th ed. Editors Colman

W Robert et al, Lippincott Williams & Wilkins, USA, 2001, 815-22

4. Arruda Valder, Katherine A. High: Coagulation Disorders In Harrison’s principles of Internal Medicine,17th ed.

Editors : Eugene B, Anthony SF, Dennis LK, Stephen LH, Dan LL, Larry J, Joseph L. The McGraw-Hill Companies Inc, New York , 2008, 110, 725-31.

5. Kenneth D. Friedman and George M. Rodgers: Inhirited Coagulation Disorders In Wintrobe’s Clinical Hematology, 11th ed

, Editors John P. Greer et al. Lippincott Williams & Wilkins, USA ,2004, 59, 1619-28

6. Gilbert C. White and Gary E. Gilbert: Coagulation Factors V and VIII : Normal function and Clinical Disorders In Blood principles and practice of hematology, 2th

(5)

Lippincott Williams & Wilkins, USA, 2003, 1195-1217.

7. Zulfikar B, Karaman M, Ovali F. Circumcision in Hemophilia an overview. WFH. 2003;1-7

8. Elias Bastounis, Emmanouil P, Leppaniemi A. General surgery in haemophiliac patients. Postgrad Med J 2000; 76: 494-95

9. Joseph A: Circumcision. Br J Gen Pract 2010; 60: 214-15

10. Australian Haemophilia Centre Directors’ Organisation. Guideline for the management of patients with haemophilia undergoing surgical procedures. AHCDO 2005;1-13

11. Srivastava et al. Surgery in Haemophilia. Haemophilia 2004; 4: 799

Gambar

Tabel   1.   Guideline   untuk   level   target   faktor pembekuan   pada   tindakan   bedah   mayor   untuk dewasa   berdasarkan   Australia   Guidelines (AHCDO, 2005)

Referensi

Dokumen terkait

Karena kami melihat tingginya antusiasme masyarakat, maka kami memutuskan untuk mengekspansi program Pribumi Pintar ke Sekolah Dasar, karena dengan

Pada persamaan tersebut ditentukan nilai y=50 sehingga akan diperoleh nilai x yang menunjukan konsentrasi zat aktif dalam sample yang dapat menangkal terbetuknya

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Gendang telinga ( tympanic membrane ) adalah suatu membran tipis yang berlokasi pada ujung paling dalam dari saluran telinga yang memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Telinga

didirikan oleh &a!elis Cmum PBB #ada ** 2esember *+5. Bermarkas besar di ota 6ew ork , C6I0F memberikan bantuan kemanusiaan dan #erkembangan !angka #an!ang ke#ada

Berdasarkan kajian teori mengenai tingkat tutur bahasa Jepang, dapat disimpulkan bahwa salah satu hal yang dapat membedakan penggunaan tingkat tutur bahasa Jepang adalah ihwal

• Tahun 1800-an awal: tiap molekul asam mengandung minimal satu atom H. • Th 1887 Svante Arrhenius (Bapak teori ionisasi): atom H berhubungan dengan

a) Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan. b) Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat