• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber Air Minum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber Air Minum"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumber Air Minum

Winarni (2003) mengatakan secara umum sumber air minum dan air bersih dibagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu: mata air, air permukaan (surface water), dan air tanah dalam (ground water). Air tanah dalam dan mata air biasanya mempunyai kualitas yang lebih baik daripada air permukaan, karena mata air umumnya belum tercemar oleh hasil aktivitas manusia, sedangkan air permukaan umumnya sudah terkontaminasi. Pemilihan sumber air baku untuk pengolahan air bersih dan air minum perlu beberapa pertimbangan, antara lain:

1 Kompetisi antara berbagai sektor penggunaan air selain untuk kebutuhan air bersih, misalnya; irigasi, pembangkit listrik, rekreasi dan keperluan lainnya 2 Debit sumber air baku

3 Kualitas air baku

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1987, pengelolaan sarana dan prasarana air bersih diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I (Provinsi), sedangkan pengelolaannya dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang berada di bawah kendali Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten/ Kotamadia. Sejak dikeluarkan peraturan pemerintah tersebut sampai saat ini PDAM di seluruh Indonesia berjumlah 300 perusahaan dan seluruhnya menerapkan teknologi konvensional yang pada kenyataannya sebagian besar sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bersih, baik kuantitas maupun kualitas akibat dari menurunnya debit dan kualitas air baku. PDAM belum mampu untuk membangun instalasi pengolahan air yang baru dengan penerapan teknologi sesuai dengan kondisi air baku. Salah satu cara adalah modifikasi atau menambah unit pengolahan pendahuluan (pretreatment) untuk meningkatkan kualitas air baku. Aplikasi teknologi peningkatan kualitas air baku perusahaan air minum memerlukan berbagai pertimbangan teknis dan ekonomi, antara lain:

1 Biaya investasi dan operasional rendah 2 Efisiensi pengolahan tinggi

3 Waktu pengolahan singkat

(2)

5 Lahan yang dibutuhkan kecil

6 Hasil pengolahan memenuhi kriteria mutu air yang dipersyaratkan

2.2 Karakteristik Air Baku dan Air Permukaan

Menurut Martin (2001) karakteristik air baku permukaan secara umum digolongkan menjadi :

1 Air permukaan dengan tingkat kekeruhan tinggi

Air permukaan ini telah melalui permukaan tanah yang rentan terhadap erosi atau ditutupi dengan vegetasi yang rendah kerapatannya. Air ini umumnya telah stagnant di waduk atau di danau yang sedikit mengandung gulma atau tanaman air

2 Air permukaan dengan tingkat kekeruhan rendah sampai sedang

Air ini adalah seperti pada golongan yang pertama hanya telah mengalami pengendapan yang cukup lama di suatu badan air

3 Air permukaan dengan tingkat kekeruhan temporer

Air permukaan ini biasanya dari daerah pegunungan, dimana pada saat tidak turun hujan airnya jernih tetapi pada saat hujan terjadi kekeruhan sesaat. Air ini mengalir melalui permukaan yang tertutup oleh vegetasi yang cukup lebat dan curam sehingga pada waktu tidak hujan menghasilkan air yang jernih, tetapi pada waktu hujan menjadi keruh karena terjadi lonjakan tingkat sedimen akibat erosi. Setelah hujan selesai sekitar 2-3 jam air kembali ke aliran dasar (base flow) dan jernih kembali.

4 Air permukaan dengan kandungan warna sedang sampai tinggi

Air yang demikian umumnya telah melalui daerah dengan tingkat humus tinggi dan akibat terlarutnya zat tanin dari sisa-sisa humus tingkat warnanya menjadi tinggi, selain itu akibat proses mikroorganisma pH air menjadi asam. Air ini umumnya terdapat di daerah rawa dan gambut.

5 Air permukaan dengan kesadahan tinggi

Kesadahan paling banyak dijumpai di air laut, dan pada air permukaan tawar umumnya diakibatkan oleh Ca dan Mg dalam kadar yang tinggi yaitu lebih besar dari 200 mg/l CaCO3, sehingga air yang mengalir pada daerah batuan kapur akan mempunyai tingkat kesadahan yang tinggi.

(3)

6 Air permukaan dengan kekeruhan sangat rendah

Air seperti ini dapat dijumpai pada danau-danau yang masih belum tercemar atau air yang masih baru saja keluar dari mata air.

7 Air permukaan dengan polutan rendah sampai tinggi

Air seperti ini sering dijumpai di kota-kota besar. Aktivitas manusia melalui kegiatan domestik maupun industri mengakibatkan pencemaran, sehingga kadar polutan seperti organik, amonia, detergen, logam-logam dan pencemar lainnya meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.

2.3 Senyawa Organik dalam Air

Metcalf dan Eddy (2003) mengatakan bahwa bahan organik terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Zat organik di alam dapat dijumpai pada air permukaan maupun bawah tanah. Senyawa organik dalam air berasal dari:

1 Alam : minyak/lemak hewan, tumbuh-tumbuhan, dan gula

2 Sintesa : berbagai macam persenyawaan yang dihasilkan oleh industri 3 Fermentasi : alkohol, aseton, gliserol, asam-asam dan sejenisnya yang berasal

dari kegiatan mikroorganisme tehadap bahan organik

Zat organik dalam air dapat diketahui dengan menentukan angka permanganatnya, walaupun KMnO4 sebagai oksidator tidak dapat mengoksidasi semua zat organik yang ada, namun cara ini sangat praktis dan cepat pengerjaannya. Penentuan bilangan permanganat ditujukan untuk menentukan kandungan zat organik dalam air alam, seperti air sungai, sumur dan danau (Horran, 1990).

Menurut Winkler (1981) di dalam pengolahan zat organik akan menghasilkan efek rasa dan bau, akibat dari pembusukan secara biologi. Warna dalam air merupakan hasil kontak air dengan reruntuhan organik, seperti tumbuhan, kayu, dan pembusukan dalam beberapa tingkatan variasi dekomposisi. Asam humat dan humus yang berasal dari pembusukan lignin dianggap sebagai penyebab utama timbulnya warna. Warna dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu warna semu (apparent color) disebabkan adanya partikel tersuspensi dan warna nyata (true color) disebabkan oleh ekstraksi dari asam organik tumbuhan yang berbentuk koloid.

(4)

Zat organik dapat disisihkan secara biologi, dengan beberapa variabel yang berpengaruh antara lain jumlah oksigen terlarut (DO), waktu kontak, senyawa penggangu (inhibitor), jenis dan jumlah mikroorganisme pengurai (Bitton,1994). Adanya oksigen menyebabkan proses oksidasi aerob dapat berlangsung, bahan– bahan organik akan dirubah menjadi produk – produk akhir yang relatif stabil dan sisanya akan disintesis menjadi mikroba baru. Secara umum mekanisme penguraian organik dapat dilihat pada persamaan di bawah ini:

(Sumber : Bitton, 1994)

Standar maksimum kandungan zat organik khususnya kloroform dalam air minum menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum sebesar 200µg/liter. Bila telah melampaui batas maksimum yang telah ditentukan tersebut maka dapat menyebabkan bau yang tidak sedap pada air minum dan dapat menyebabkan sakit perut. Adanya zat organik dalam air dapat diketahui dengan perubahan fisik dari air terutama dengan timbulnya warna, rasa, bau dan kekeruhan.

2.3.1 Sumber Trihalometan

Said (1999) mengatakan senyawa trihalometan (THM) seperti kloroform, diklorometan, bromodiklorometan, dibromoklorometan, 1.2 dikloroetan, dan karbon tetraklorida adalah senyawa klor yang dihasilkan dari hasil samping proses klorinasi air. Salah satu sumber THM adalah senyawa humus (humic and Fulvic Substances) yang secara alami terbentuk akibat proses pelapukan daun-daun yang gugur atau sisa tumbuh-tumbuhan yang telah mati. Sumber air baku yang tercemar baik secara alami maupun akibat buangan dari hasil aktifitas kegiatan manusia misalnya buangan rumah tangga maupun industri adalah penyebab terbentuknya senyawa THM.

Air limbah baik domestik maupun industri banyak mengandung zat organik dan sangat berpotensi menurunkan kualitas air baku perusahaan air minum.

(5)

Tindakan Pemda DKI melalui PD PAL Jaya merupakan bentuk upaya melindungi badan air yang digunakan sebagai air baku perusahaan air minum dari pencemaran limbah domestik, walaupun sampai saat ini kapasitas instalasi pengolahannya air limbah domestik PD PAL Jaya sangat jauh dari kebutuhan. Pengolahan air limbah yang mengandung zat organik umumnya menggunakan proses biologi dengan memanfaatkan aktivitas mikroba untuk menguraikan zat organik. Said (1999) juga mengatakan selama proses penguraian mikroorganisme mengeluarkan senyawa hasil metabolisme yaitu amoniak dan senyawa organik yang sangat stabil seperti senyawa humus. Air limbah yang masuk ke badan sungai mengalami proses penguraian secara alami oleh mikroorganisme yang ada dalam air yang merupakan proses pembersihan sendiri (self purification).

Air sungai yang mengandung senyawa berpotensi membentuk THM (precursor) ini diambil sebagai air baku perusahaan air minum dan diolah untuk dijadikan air bersih serta minum masyarakat di daerah hilir. Pada akhir proses pengolahan air bersih di perusahaan air minum mengalami proses desinfeksi dengan penambahan senyawa klor. Senyawa precursor THM tersebut bereaksi dengan senyawa klor membentuk senyawa trihalometan dan senyawa halogen organik lainnya. Konsentrasi senyawa THM yang terbentuk dalam air minum sangat bervariasi tergantung pada musim, dosis klor, waktu kontak, suhu air, pH dan jenis atau cara pengolahan yang digunakan.

2.4 Senyawa Amoniak

Barnes (1980) mengatakan amoniak (NH3) merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4+ atau disebut dengan amonium. Nitrogen amonia keberadaannya di dalam air adalah sebagai amonium (NH4+), yaitu berdasarkan reaksi kesetimbangan:

NH3 + H2O

NH4+ + OH

-Amoniak dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi secara mikrobiologis zat organik yang berasal dari air alam atau air buangan industri dan domestik. Adanya amoniak tergantung pada beberapa faktor yaitu, sumber amoniak, tanaman air yang menyerap amoniak sebagai nutrien, konsentrasi oksigen dan suhu. Konsentrasi amoniak dapat berubah-ubah sepanjang tahun,

(6)

pada musim panas konsentrasi senyawa ini lebih rendah, hal ini disebabkan amoniak diserap oleh tumbuhan, selain itu dapat dipengaruhi oleh suhu. Suhu air yang tinggi yang dapat mempengaruhi proses nitrifikasi, sedangkan pada suhu yang rendah yaitu musim dingin pertumbuhan bakteri berkurang dan proses nitrifikasi berjalan lambat sehingga menyebabkan konsentrasi amoniak pada sungai tinggi (Jennings, 1991).

Menurut Dewi (1998) amoniak banyak ditemukan pada air permukaan dan air tanah dari mulai kadar rendah hingga mencapai 30 mg/l lebih (air limbah). Kadar amonia yang tinggi pada air sungai menimbulkan gangguan kehidupan perairan. Keberadaan amoniak pada air minum menimbulkan rasa kurang enak serta mengganggu kesehatan, sehingga pada air minum kadarnya harus nol dan pada air sungai harus dibawah 1 mg/l. Barnes (1980) juga mengatakan bahwa amoniak dapat menyebabkan kondisi toksik bagi kehidupan perairan. Kadar amoniak bebas dalam air meningkat sejalan dengan meningkatnya pH dan suhu. Kehidupan di perairan terpengaruh oleh kehadiran amoniak, dimana pada konsentrasi 1 mg/l dapat menyebabkan hewan air mati lemas karena oksigen terlarut berkurang. Senyawa amoniak dalam air dapat dihilangkan secara mikrobiologi melalui proses nitrifikasi hingga menjadi nitrit dan nitrat dengan penambahan oksigen melalui proses aerasi.

Senyawa amoniak dapat mengurangi keefektifan klor yang biasanya digunakan sebagai tahap akhir dalam pengolahan air untuk mereduksi mikroorganisma dan bahan organik yang tersisa. Asam hipoklorid dapat bereaksi dengan amoniak membentuk kloramin dengan daya disinfektan rendah (Benefiled dan Randall, 1980).

2.4.1 Proses Nitrifikasi

Senyawa nitrogen merupakan senyawa yang sangat penting dalam kehidupan, karena nitrogen merupakan salah satu nutrien utama yang berperan dalam pertumbuhan organisme hidup. Senyawa ini merupakan komponen dasar protein yang keberadaannya di perairan digunakan oleh hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk memproduksi sel. Nitrogen di atmosfir sebagian besar dalam bentuk gas nitrogen, jumlahnya ± 78% dan sangat terbatas dalam lingkungan air.

(7)

Pada umumnya gas nitrogen ini tidak dapat dipergunakan secara langsung oleh makhluk hidup, hanya beberapa organisme khusus yang dapat mengubahnya ke dalam bentuk organik nitrogen dan proses yang terjadi dinamakan fiksasi. Peran senyawa nitrogen dalam proses pertumbuhan diketahui dari bentuk serta perubahannya yang terjadi di alam dalam suatu siklus yang disebut siklus nitrogen. Berikut ini adalah gambar siklus nitrogen yang terjadi di lingkungan perairan (Manahan,1994).

Gambar 2 Siklus Nitrogen

Senyawa nitrit merupakan bahan peralihan dalam siklus biologi. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi biokimia amonium, tetapi sifatnya tidak stabil karena pada kondisi aerobik terbentuk nitrit, dan dengan cepat nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri nitrobacter. Nitrat dalam kondisi anaerobik direduksi menjadi ntrit yang selanjutnya hasil reduksi tersebut dilepas sebagai gas nitrogen. Nitrit yang ditemui pada air minum dapat juga berasal dari bahan inhibitor korosi yang dipakai industri untuk mengalirkan air dari sistem distribusi PAM. Pada air permukaan, konsentrasi nitrit sangat rendah, tetapi konsentrasi yang tinggi ditemukan pada air limbah dan rawa atau tempat dimana kondisi anaerobik sering dijumpai. Di Indonesia konsentrasi nitrat di dalam air minum tidak boleh melebihi 10 mg/l (Alerts dan Santika, 1984).

Proses nitrifikasi didefinisikan sebagai konversi nitrogen amonium (N-NH4) menjadi nitrit (N-NO2) yang kemudian menjadi nitrat (N-NO3) yang dilakukan oleh bakteri autotropik dan heterotropik (Grady dan Lim, 1980).

(8)

Proses nitrifikasi ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu:

1 Tahap nitritasi, merupakan tahap oksidasi ion ammonium (NH4+) menjadi ion nitrit (NO2-) oleh bakteri nitrosomonas dengan reaksi berikut:

NH4+ + 1½ O2 → NO2- + 2H+ + H2O + 2,75 KJ Nitrosomonas

2 Tahap nitrasi merupakan tahap oksidasi ion nitrit menjadi ion nitrat (NO3-) oleh bakteri nitrobacter dengan reaksi berikut:

NO2- + ½O2 → NO3- + 75 KJ Nitrobacter

Secara keseluruhan proses nitrifikasi adalah sebagai berikut: NH4+ + 2 O2 → NO3- + 2H+ + H2O

Menurut Arifin (1994) kedua reaksi diatas adalah reaksi eksotermik (reaksi yang menghasilkan energi). Jika kedua jenis bakteri tersebut ada, baik di tanah maupun di perairan maka konsentrasi nitrit akan berkurang karena nitrit dioksidasi oleh bakteri Nitrobacter menjadi nitrat. kedua bakteri ini dikenal sebagai bakteri autotropik yaitu bakteri yang dapat mensuplai karbon dan nitrogen dari bahan-bahan anorganik dengan sendirinya. Bakteri ini menggunakan energi dari proses nitrifikasi untuk membentuk sel sintesa yang baru. Sedangkan bakteri heterotropik merupakan bakteri yang membutuhkan bahan-bahan organik untuk membangun protoplasma. Walaupun bakteri nitrifikasi autotropik keberadaannya lebih banyak di alam, proses nitrifikasi dapat juga dilakukan oleh bakteri jenis heterotropik (Arthobacter) dan jamur (Aspergillus).

Horran (1990) berpendapat bahwa senyawa N-NH4 yang ada di perairan akan dioksidasi menjadi nitrat. Tetapi mengingat kebutuhan O2 yang cukup besar maka akan terjadi penurunan oksigen di dalam perairan tersebut sehingga mengakibatkan kondisi septik. Pada proses pengolahan senyawa N-NH4 secara biologis kebutuhan O2 cukup besar sehingga kebutuhan O2 yang tinggi dapat dipenuhi dengan cara memperbesar transfer O2 ke dalam instalasi pengolahan. Pada reaktor biofilter seperti yang digunakan dalam penelitian ini transfer O2 yang besar dapat diperoleh dengan cara menginjeksikan udara ke dalam reaktor. Adanya injeksi udara menggunakan blower diharapkan akan terjadi kontak antara gelembung udara dan air yang diolah, dengan luas kontak yang sebesar-besarnya.

(9)

Miwa (1991) menyatakan ada beberapa faktor pengontrol proses nitrifikasi dalam pengolahan air , yaitu:

1 Konsentrasi oksigen terlarut (Dissolved Oksigen)

Proses nitrifikasi merupakan proses aerob dan berjalan baik jika oksigen terlarut > 1 mg/l.

2 Suhu

Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi dipengaruhi oleh temperatur antara 8 – 30°C, sedangkan temperatur optimalnya sekitar 30°C.

3 pH

pH optimal bakteri nitrosomonas dan nitrobacter antara 7.5 – 8.5 dan aktivitasnya akan mengalami penurunan pada pH di bawah 6 atau diatas 9.

2.4.2 Pengaruh Senyawa Nitrogen

Manahan (1994) mengatakan bahwa senyawa nitrogen dalam jumlah yang berlebih dengan berbagai bentuk dalam siklusnya dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan, diantaranya:

1 Proses eutrofikasi yaitu dengan kehadiran senyawa nitrat dengan konsentrasi tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang dalam jumlah yang tidak terkendali sehingga air kekurangan oksigen terlarut dan akibatnya kondisi perairan menjadi septik.

2 Proses nitrifikasi mengakibatkan konsentrasi oksigen terlarut berkurang sehingga mengakibatkan kerusakan kehidupan air.

3 Senyawa nitrit dapat membahayakan kesehatan karena dapat bereaksi dengan hemoglobin dalam darah sehingga pengikatan oksigen oleh hemoglobin terganggu (metahaemoglobin).

4 Nitrat direduksi menjadi nitrit di dalam usus manusia, sehingga dapat menyebabkan penyakit eyanosis (metahemoglobin) terutama terjadi pada bayi atau yang lebih dikenal dengan penyakit blue-baby.

5 Konsentrasi senyawa amoniak > 1 mg/l akan menyebabkan korosi pada pipa, terutama yang terbuat dari tembaga.

(10)

2.5 Senyawa Deterjen

Deterjen adalah merupakan bahan pembersih yang terbuat dari bahan kimia sintesis dengan komponen utama berupa surfaktan. Masyarakat menganggap deterjen bukan merupakan bahan yang berbahaya atau toksik, maka limbah deterjen dibuang langsung ke perairan sehingga menjadi sumber pencemaran yang potensial.

Ainsworth (1996) mengatakan bahwa deterjen atau surfaktan adalah senyawa dengan struktur gugus molekul tertentu menyebabkan senyawa tersebut mempunyai sifat-sifat detergen misalnya menimbulkan efek busa. Deterjen mempunyai kemampuan untuk mengangkat kotoran pada pakaian, sehingga banyak digunakan sebagai bahan pembersih. Untuk mengaktifkan sifat pembersih, deterjen dilengkapi zat kimia yang mampu mengurangi tegangan permukaan air, sehingga dapat menimbulkan efek busa . Zat pengaktif detergen umumnya disebut sebagai surfactant agents misalnya ABS (Alkyl Benzene Sulfonate). Sifat ABS yang terkenal adalah sulitnya diurai oleh mikroorganisma, karena berasal dari gugus alkyl yang bercabang banyak (Gambar 3.a). berikutnya kemudian dikenal juga turunan yang berasal dari rantai hidrokarbon lurus sehingga relatif mudah diurai secara biologis, yaitu Linier Alkyl Sulfonate (LAS, Gambar 3.b).

Gambar 3 Rumus molekul senyawa ABS dan LAS

Sampai saat ini ABS ini ternyata masih digunakan sebagai bahan baku deterjen di Indonesia, sehingga menimbulkan beberapa masalah seperti yang dinyatakan oleh Ainsworth (1996), yaitu:

(11)

1 Terbentuknya lapisan pada permukaan badan air (film) yang dapat menghalangi trasfer oksigen dari udara ke dalam air

2 Konsentrasi deterjen lebih dari 3 mg/l menimbulkan efek busa yang stabil 3 Kombinasi antara polyphosphate dengan surfactant dapat mempertinggi

kandungan nutrien dalam air sehingga menyebabkan proses eutrofikasi, yang mempercepat laju pertumbuhan gulma air, seperti enceng gondok

4 Hasil penelitian terhadap janin mencit (Mus musculus) menunjukkan potensi toksisitas deterjen, bahwa tikus yang mengkonsumsi air yang mengandung deterjen akan melahirkan janin dalam kondisi cacat dan mati, sementara tikus yang mengkonsumsi air tanpa deterjen dapat melahirkan janin normal.

Said (1995) mengatakan seperti yang dikutip dari Karigome (1987) bahwa penguraian deterjen secara biologis ada tiga jenis definisi, yaitu:

1 Penguraian biologis primer (primary biodegradation)

Adalah penguraian senyawa kimia komplek oleh aktifitas mikroorganisme menjadi bentuk senyawa lain yang tidak lagi memiliki karakteristik atau sifat senyawa asalnya. Penguraian biologis primer dari senyawa deterjen, biasanya sampai tahap dimana sifat-sifat deterjennya hilang,

2 Penguraian biologis tahap diterima lingkungan (environmentally acceptable biodegradation)

Penguraian oleh aktifitas mikroorganisme dimana senyawa kimia telah dipecah secara biologis sampai tahap diterima oleh lingkungan yakni sampai tahap tidak menunjukkan sifat-sifat yang tidak diinginkan misalnya sifat menimbulkan efek busa, racun, perusakan terhadap keindahan dan estetika. 3 Penguraian biologis sempurna atau final (ultimate biodegradation)

Penguraian senyawa kimia (deterjen) oleh aktifitas mikroorganisme secara sempurna menjadi karbon dioksida, air dan garam anorganik serta produk lain yang berhubungan dengan proses metabolisme normal mikroorganisme.

Ainsworth (1996) mengatakan bahwa deterjen merupakan sumber utama phosphor karbonat dalam air buangan dan badan air yang menerimanya. Polyphosphate digunakan sebagai agen pembentuk senyawa kompleks sedangkan karbonat digunakan untuk menghilangkan Ca2+ melalui proses presipitasi.

(12)

Karakteristik deterjen yang dibuat dari komponen PO43+ dan CO32- dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi deterjen dengan komponen PO43+ dan CO32-

Komponen Prosentase berat dalam deterjen

PO43+ CO3

2-Surfactants

Linier alkylbenzene sulfonate (LAS) Tallow alcohol sulfats

Ethyloctyl sulfosuccinates Sodium sulfosuccinates Builders Sodium tripolyphosphate Sodium carbonates Corrosion inhibitors

Sodium silicates (SiO2 : Na2O2)

Suspending agents

Carboxylmethylcellulose Whitening (fluorescent) agents

Optical brightners

Coloring matter and fragrance Perfume Dye Fillers Sodium sulfates Water Polyethylene glycol 18 7,0 5,5 5,5 - 24 - 12 (1,6) 0,30 0,13 0,15 0,14 37 6,0 0,90 22 14 - 6,0 2,0 - 20 20(2,4) - 0,17 0,20 0,80 32 4,0 0,90 Sumber: Alhajjar, Harkin and Chesters (1989)

2.6 Padatan Tersuspesi dan Kekeruhan

Air mengandung bermacam-macam senyawa polutan baik yang tersuspensi, berupa koloid maupun yang terlarut. Senyawa-senyawa polutan yang ada dalam air tersebut, secara umum dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yakni senyawa atau zat yang terlarut (dissolved substances), padatan tersuspensi (suspended solids, SS), dan partikel koloid (colloidal particles). Zat terlarut adalah semua senyawa yang larut dalam air, dengan ukuran kurang dari beberapa nanometer. Senyawa-senyawa ini umumnya berupa ion positif atau ion negatif. Selain itu juga termasuk gas-gas yang terlarut misalnya oksigen, karbondioksida, hidrogen sulfida dan lain-lain. Zat padat tersuspensi merupakan senyawa bentuk padat yang berada dalam kondisi tersuspensi dalam air. Padatan tersebut kemungkinan berasal mineral-mineral misalnya pasir yang sangat halus, silt, lempung atau berasal dari zat organik misalnya asam humus, asam vulvat yang merupakan hasil penguraian jasat tumbuh-tumbuhan atau binatang yang telah mati.

(13)

Di samping itu, padatan tersuspensi ini juga dapat berasal dari mikroorganisme misalnya plankton, bakteria, alga, virus dan lain-lainnya. Semua elemen-elemen tersebut umumnya menyebabkan kekeruhan atau warna dalam air. Kekeruhan dalam air juga dapat disebabkan oleh keberadaan partikel koloid dalam air. Partikel koloid hampir sama dengan padatan tersuspensi hanya mempunyai ukuran yang lebih kecil yakni kurang dari 1 µm (mikron), dengan kecepatan pengendapan yang sangat rendah sekali. Proses koagulasi-flokulasi adalah merupakan proses dasar pengolahan air untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan partikel-partikel koloidal. Poses ini biasanya dilakukan pada tahap akhir dari proses pemisahan zat cair dan zat padat (Degremont, 1991).

Dispersi koloid dalam air merupakan partikel-partikel bebas yang tertahan dalam air dalam bentuk suspensi. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel yang sangat halus (1-200 nm), hidrasi oleh air dan adanya muatan listrik permukaan. Suatu koloid dikatakan stabil apabila tidak dapat menggumpal secara alami. Faktor yang paling mempengaruhi stabilitas koloid dalam air adalah ukuran partikelnya. Partikel dengan ukuran yang lebih besar, ratio luas permukaan partikel terhadap berat partikel kecil sehingga pengendapan secara gravitasi menjadi dominan. Beberapa contoh waktu pengendapan untuk berbagai jenis partikel dapat dilihatseperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Waktu pengendapan untuk berbagai macam partikel

Diameter partikel Tipe

partikel Waktu pengendapan dalam 1 meter air

Luas spesifik

mm µm Å m2/m3

10 104 108 Kerikil 1 detik 6.102

1 103 107 Pasir 10 det 6.103

10-1 102 106 Pasir halus 2 menit 6.104

10-2 10 105 Lempung 2 jam 6.105 10-3 1 106 Bakteria 8 hari 6.106 10-4 10-1 105 Koloid 2 tahun 6.107 10-5 10-2 104 Koloid 20 tahun 6.108 10-6 10-3 103 Koloid 200tahun 6.109 Sumber : Degremont (1991)

(14)

Efisiensi Proses Penyisihan

Perhitungan penyisihan senyawa polutan didasarkan atas perbandingan pengurangan konsentrasi zat pada titik masuk dan keluar terhadap konsentrasi zat di titik masuk. Tingkat efisiensi yang didapat merupakan gabungan antara hasil asimilasi oleh mikroorganisme heterotrof dan proses biologis oleh mikroorganisme. Perhitungan tingkat efisiensi ini dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut:

2.8 Laju Pembebanan

Metcalf dan Eddy (2003) mengatakan laju pembebanan didefinisikan sebagai jumlah senyawa yang terdapat di dalam air baku yang diuraikan oleh mikroorganisme di dalam bioreaktor per satuan luas permukaan media biofilter per hari. Laju pembebanan ini digunakan untuk mengetahui jumlah total beban zat di dalam air yang akan diolah dalam biofilter. Laju pembebanan zat ini dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

(15)

2.9 Pengertian Mikroorganisma

Menurut Lay dan Hastowo (1992), mikroorganisma atau mikroba adalah substansi bersel satu yang membentuk koloni atau kelompok dimana satu sama lain dalam koloni tersebut saling berinteraksi. Dalam pertumbuhannya mikroorganisme memerlukan sumber energi, karbon dan nutrisi. Berdasarkan kebutuhan nutrisinya bakteri dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:

1 Heterotrop yaitu bakteri yang mengambil karbon dari karbon organik saja. 2 Autotrop yaitu bakteri yang menggunakan CO2 dan HCO3- sebagai sumber

karbon tunggal.

3 Fakultatif autotrop yaitu bakteri yang menggunakan senyawa organik maupun CO2 sebagai sumber karbon.

Lay dan Hastowo (1992) juga menyatakan bahwa bakteri memerlukan energi untuk melakukan aktivitasnya. Berdasarkan sumber energi bakteri dapat dibedakan menjadi:

1 Phototrop yaitu bakteri yang menggunakan cahaya sebagai sumber energi. 2 Chenamotrop yaitu bakteri yang menggunakan reaksi kimia (reaksi reduksi

oksidasi bahan organik).

Setiap jenis mikroorganisme dapat hidup baik pada rentang temperatur tertentu. Temperatur yang paling baik utuk aktivitas mikroorganisme disebut temperatur optimal. Berdasarkan hal itu bakteri dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

1 Bakteri Psikrofil (oligotermik) yaitu bakteri yang hidup pada temperatur antara 0oC – 30oC dengan temperatur optimum 10oC – 20oC.

2 Bakteri Mesofil (mesotermik) yaitu bakteri yang hidup pada temperatur antara 5oC – 60oC dengan temperatur optimum 25oC – 40oC.

3 Bakteri Termofil (politermik) yaitu bakteri yang hidup pada suhu antara 40 oC -80oC dengan temperatur optimum 55oC – 65oC.

Metcalf dan Eddy (2003) menyatakan bahwa jenis-jenis mikroorganisme yang sering dijumpai pada proses pengolahan biologis adalah bakteri, jamur, protozoa, alga, crustacea dan virus. Sel bakteri adalah sel yang paling berperan dan banyak dipakai secara luas di dalam proses pengolahan air baku sehingga struktur sel mikroorganisme lainnya dapat dianggap sama dengan bakteri.

(16)

Menurut Miwa (1991), beberapa jenis dari mikroorganisme seperti bakteri, jamur, lumut, protozoa dan invertebrata adalah habitat dalam biofilm tertentu, walaupun demikian bakteri, jamur dan lumut biasanya merupakan mayoritas. Bakteri dan jamur mengambil zat-zat gizi dan zat-zat lainnya, sedangkan protozoa dan invertebrata diharapkan hidup dari mereka. Kematian biomassa dari mikroorganisme akan diuraikan oleh bakteri dan di dalam biofilm tersebut ada sejenis rantai makanan.

2.10 Pengolahan Biologis

Miwa (1991) mengatakan bahwa di dalam proses pengolahan air yang mengandung polutan senyawa organik, teknologi yang digunakan sebagian besar menggunakan aktifitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa polutan organik tersebut. Proses pengolahan air limbah dengan aktifitas mikroorganisma biasa disebut dengan proses biologis. Proses pengolahan secara biologis dapat dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara) atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses biologis aeorobik biasanya digunakan untuk pengolahan air dengan beban BOD yang tidak terlalu besar, sedangkan proses biologis anaerobik digunakan untuk pengolahan air dengan beban BOD yang sangat tinggi. pengolahan air yang mengandung polutan zat organik dapat dilakukan secara biologis. Pada prinsipnya proses biologis akan mengubah bahan-bahan pencemar yang berbentuk koloid atau terlarut yang ada didalam air baku menjadi bentuk lain dalam bentuk gas, maupun jaringan sel yang dapat dipisahkan dengan proses fisis seperti pengendapan. Begitupun juga dengan Pelezar dan Chan (1996) mengatakan bahwa pengolahan biologis didefinisikan sebagai proses pemurnian sendiri di dalam air dengan penyesuaian kondisi yang sesuai untuk meningkatkan efisiensi. Dalam beberapa penelitian kualitas air sungai menyatakan apabila zat pencemar dibuang pada hulu mengalir ke hilir melalui sungai, dengan berjalannya waktu sejumlah konsentrasi polutan akan berkurang, hilang atau tereduksi pada derajat konsentrasi tertentu, gejala ini dikenal dengan pemurnian sendiri oleh sungai (self cleaning service). Aktivitas ini berjalan alami, miroorganisme sebagai peran utama pada proses penyisihan ini tumbuh, menempel pada permukaan kerikil dan tumbuhan air di sungai.

(17)

Pengolahan air limbah secara bilogis secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yakni proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture), proses biologis dengan biakan melekat (attached culture) dan proses pengolahan dengan sistem lagoon atau kolam. Proses biologis dengan biakan tersuspensi menggunakan aktifitas mikro-organisme untuk menguraikan senyawa polutan yang ada dalam air dan mikro-organime yang digunakan dibiakkan secara tersuspesi di dalam suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini antara lain : proses lumpur aktif standar/konvesional (standard activated sludge), step aeration, contact stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit) dan lainya. Proses biologis dengan biakan melekat berbeda dengan biakan tersuspensi dimana proses pengolahan air dimana mikro-organisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Proses ini disebut juga dengan proses film mikrobiologis atau proses biofilm. Beberapa contoh teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain : trickling filter, biofilter tercelup, reaktor kontak biologis putar (rotating biological contactor, RBC), contact aeration/oxidation (aerasi kontak) dan lainnnya (Bitton, 1994). Secara garis besar klasifikasi proses pengolahan air limbah secara biologis dapat dilihat pada Gambar 4.

(18)

2.10.1 Biofiltrasi

Horan (1990) mengatakan, di dalam pengolahan secara biologis terjadi proses oksidasi, absorpsi dan filtrasi zat pencemar yang dilakukan oleh aktivitas biologi dari biomassa dalam biofilm tertentu yang terdiri dari mikroorgasnisma aerobik maupun anerobik. Pengoksidasian, pengabsorbsian dan penyaringan zat pencemar oleh aktivitas biologi dari biomasa (mikroorganisma) yang terkonsentrasi dalam biofilm disebut dengan proses biofiltrasi (biofiltration).

Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, Bitton(1994) menyatakan bahwa tipe pengolahan secara biologi meliputi tipe oksidasi kontak secara biologi dengan menggunakan sarang tawon (honeycomb tubes), cakram berputar (rotary disk) dan kontak saringan (contact filter bed).

1 Sarang tawon (honeycomb tubes)

Ada dua metode penerapan untuk media ini yaitu secara anaerob dan aerob, aplikasi untuk sistem aerob dilengkapi dengan unit pompa udara (blower). Pemasangan sarang tawon dapat disususun secara vertikal maupun horisontal dalam suatu bak atau saluran dengan tujuan memperluas kontak dengan air.

2 Cakram berputar (rotary disks)

Dalam tipe ini biofilm tertentu dikembangkan pada permukaan cakram berputar, dimana masing-masing cakram terdiri dari lembaran-lembaran plastik berdiameter ± 3 m diletakkan dalam tanki bergaris batas (bersekala) dan direndam sekitar 40%. Bila cakram diputar pada porosnya dan bagian cakram yang terendam muncul dari batas diameter tangki tanki, cairan menetes keluar dari celah-celah antara lembaran tersebut dan diganti dengan udara. Mekanisme ini berlangsung terus-menerus dan bergantian kontak udara dengan air, dimana biofilm kontak dengan air akan menguraikan polutan dan kontak dengan udara sebagai proses aerasi.

3 Kontak saringan (contact filter bed)

Biofilm dikembangkan pada permukaan butiran khusus sebagai media filter dengan bahan yang terbuat dari keramik atau butiran plastik. Media kontak dengan aliran air dan setelah beberapa waktu proses berjalan akan terjadi penyumbatan, sehingga cara ini secara periodik waktu tertentu harus dicuci untuk mengembalikan kehilangan tekakan (pressure drop). Pada saat proses

(19)

membutuhkan banyak pemakaian oksigen, sehingga perlu ditambahkan fasilitas aerasi (blower dan diffucer) untuk menjaga biofilter dalam kondisi tersuplai udara.

Selanjutnya Horran (1990) juga menjelaskan bahwa, proses penyisihan polutan secara biologi lebih efektif digunakan sebelum pengolahan secara kimia. Pada isntalasi pengolahan air yang tidak menggunakan proses biologi untuk mengatasi limbah domestik yang mengandung deterjen dan zat-zat organik terlarut dalam air perlu dilengkapi dengan pengolahan lanjutan dengan karbon aktif dan ozon.

2.10.2 Mekanisme Pengolahan Biologi dengan Proses Biofiltrasi

Miwa (1991) mengatakan bahwa zat organik dan amoia dalam air akan diuraikan oleh mikroorganisme yang tumbuh dalam biofilm. Dengan adanya aktivitas biologi zat-zat polutan yang terkandung di dalam air digunakan untuk membentuk badan sel atau menjadi sumber energi yang penting bagi kehidupan mikroba. Hasil akhir metabolisme seperti CO2, H2O, NOX dan lainnya akan dikeluarkan/ dibuang ke dalam air dan yang berupa gas keluar ke udara sekelilingnya.

Bitton (1994) mengatakan mekanisme proses metabolisme di dalam sistem biofilm (biofiltrasi) dalam suasana aerobik secara sederhana dapat diterangkan seperti pada Gambar 5. Gambar tersebut menunjukkan suatu sistem biofilm yang yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada medium, lapisan air yang diolah dan lapisan udara yang terletak diluar. Senyawa polutan yang ada di dalam air misalnya senyawa organik, amoniak, phospor dan lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang melekat pada permukaan medium. Pada saat yang bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air, senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilhan akan diubah menjadi biomasa. Sulpai oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya pada sistem RBC yakni dengan cara kontak dengan udara luar, pada sistem trickling filter dengan aliran balik udara, sedangkan pada sistem biofilter tercelup dengan menggunakan blower udara dibantu dengan pompa sirkulasi.

(20)

Di dalam proses biofiltrasi ini apabila lapiasan biofilm cukup tebal, maka pada bagian luar lapisan biofilm akan berada dalam kondisi aerobik sedangkan pada bagian dalam biofilm yang melekat pada medium akan berada dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan terbentuk gas H2S, dan jika konsentrasi oksigen terlarut cukup besar maka gas H2S yang terbentuk tersebut akan diubah menjadi sulfat (SO4) oleh bakteri sulfat yang ada di dalam biofilm. Pada zona aerobik nitrogen–ammonium akan diubah menjadi nitrit dan nitrat dan selanjutnya pada zona anaerobik nitrat yang terbentuk mengalami proses denitrifikasi menjadi gas nitrogen. Oleh karena di dalam sistem bioflim terjadi kondisi anaerobik dan aerobik pada saat yang bersamaan maka dengan sistem tersebut maka proses penyisihan senyawa nitrogen menjadi lebih mudah (Bitton, 1994). Mekanisme penyisihan amoniak dalam proses biofiltrasi secara sederhana ditunjukkan seperti pada Gambar 6.

(21)

Gambar 6 Mekanisne penyisihan amoniak di dalam proses biofiltrasi

Miwa (1991) juga mengatakan lebih rinci mengenai penguraian zat pencemar oleh beberapa jenis mikroba, yaitu :

1 Zat organik

Zat-zat organik biasanya diuraikan oleh bakteri heterotrofik. 2 Amoniak

Amoniak dinitrifikasi menjadi nitrat oleh bakteri nitrobacter dan nitrosomonas. 3 Besi (Fe), Mangan (Mn) dan Deterjen

Fe (II) dan Mn (II) dioksidasi menjadi Fe (III) dan Mn (IV) oleh beberapa jenis bakteri ferri, sedangkan deterjen akan diuraikan oleh bakteri karbon.

Mikroorganisme mengalami proses metabolisme yang terdiri dari proses katabolisme dan anabolisme. Proses anabolisme memerlukan energi (reaksi endergonik) dan terjadi pada proses sintesa mikroorganisme, sedangkan proses katabolisme yang terjadi pada proses oksidasi dan respirasi merupakan reaksi eksergonik karena melepaskan energi. Proses transformasi substrat berlangsung dalam suatu kelompok protein yang berperan sangat penting dalam proses biologis, yaitu enzim yang bersifat sebagai katalis(Reynolds,1985).

Proses metabolisme pada mikroorganisme menurut Metcalf dan Eddy (2003) dapat dilihat dibawah ini:

(22)

COHNS + O2 + bakteri CO2 + NH3 + produk + energi akhir

(Materi organik)

Oksidasi

COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2

(Materi Organik)

( Sel Bakteri Baru)

Sintesa

C5H7NO2 + 5 O2 5 CO2 + NH3 + 2H2O + energi Respirasi

2.10.3 Karakteristik Pengoperasian Pengolahan Biologis

Pelezar dan Chan (1996) mengatakan bahwa pengolahan biologi efektif untuk penyisihan organik, amonia, deterjen dan mangan. Faktor yang mempengaruhi efisiensi proses pengolahan antara lain:

1 Suhu (temperatur) air

Suhu optimal antara 200C sampai 300C dan efisiensi pengolahan akan berkurang pada temperatur yang lebih rendah atau lebih tinggi.

2 Nilai pH

Nilai pH optimal antara 7 sampai 7.5 3 Oksigen terlarut

Oksidasi dan penguraian dari zat-zat organik, nitrifikasi amoniak dengan mikroorganisme membutuhkan oksigen, sehingga apabila menginginkan efisiensi lebih tinggi perlu ditambahkan aerasi atau suplai udara.

4 Penghambat

Kehadiran dari beberapa pencemar seperti logam berat, minyak, zat organik berbahaya, tanah dan pasir halus yang tersuspensi menutup lapisan biofilm dapat menghambat aktivitas biologis, sehingga efisiensi pengolahan berkurang. 5 Frekuensi kontak

Frekuensi kontak dapat diartikan sebagai kapasitas pengolahan per unit luas permukaan biofilm. Frekuensi kontak antara air yang akan diolah dengan biofilm semakin tinggi maka efisiensi penyisihan akan meningkat.

(23)

2.11 Reaktor Biofilter

Winkler (1981) menyatakan bahwa berdasarkan pertumbuhan mikroorganisme yang berperan dalam penguraian zat pencemar, bioreaktor dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1 Reaktor dengan biakan tersuspensi (suspended growth reactor)

Mikroorganisme tumbuh dan berkembang dalam reaktor biologis dalam keadaan tersuspensi.

2 Reaktor dengan biakan melekat (attached growth reactor)

Reaktor dengan biakan melekat atau diebut dengan biofilter adalah reaktor yang dilengkapi dengan media (support) sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme.

Grady dan Lim (1980) menyatakan ada beberapa keuntungan dari jenis reaktor biofilter ini antara lain:

1 Pengoperasiannya mudah

Di dalam proses pengolahan air sistem biofilm, dengan dilakukan ataupun tanpa dilakukan sirkulasi lumpur tidak menimbulkan masalah bulking seperti yang terjadi pada proses dengan biakan tersuspensi misalnya pada sistem lumpur aktif, oleh karena itu pengelolaannya lebih mudah.

2 Lumpur yang dihasilkan sedikit

Lumpur yang dihasilkan proses biofilm relatif lebih kecil dibandingkan dengan proses lumpur aktif, dimana 30–60% dari organik yang dihilangkan diubah menjadi lumpur aktif (biomasa) sedangkan pada proses biofilm hanya sekitar 10-30%. Hal ini disebabkan karena pada proses biofilm rantai makanan lebih panjang dan melibatkan aktifitas mikroorganisme dengan orde yang lebih tinggi dibandingkan pada proses lumpur aktif.

3 Tepat untuk mengolah air dengan konsentrasi polutan rendah maupun tinggi. Proses pengolahan air dengan sistem biofilm ini mikroorganisme melekat pada permukaan media penyangga, sehingga pengontrolan proses pengolahan terhadap aktivitas mikroorganisma lebih mudah. Proses biofilm cocok digunakan untuk mengolah air limbah dengan konsentrasi rendah sampai konsentrasi tinggi.

(24)

4 Tahan terhadap fluktuasi jumlah air baku maupun konsentrasi polutan

Mikroorganisma dalam proses biofiltrasi melekat pada permukaan unggun media, akibatnya konsentrasi biomassa mikroorganisme persatuan luas atau volume media relatif besar sehingga tahan terhadap fluktuasi beban organik maupun fluktuasi beban hidrolik.

5 Pengaruh penurunan suhu terhadap efisiensi pengolahan kecil

Jika suhu air baku turun aktifitas mikroorganisme berkurang, tetapi oleh karena didalam proses biofilm substrat maupun enzim dapat terdifusi sampai ke bagian dalam lapisan biofilm dan lapisan biofilm cukup tebal maka pengaruh penurunan suhu (suhu rendah) tidak begitu besar.

2.12 Media Biakan

Media biakan bakteri atau juga disebut juga dengan media penyangga merupakan salah satu bagian penting dalam proses biofiltrasi. Media biakan dapat berupa kerikil, pasir, plastik dan partikel karbon aktif yang di dalam operasinya dapat terendam sebagian atau seluruhnya atau hanya dilewati air saja. Fungsi media adalah sebagai tempat tumbuh dan berkembangbiak mikroorganisma yang terlibat langsung dalam pengolahan air secara biologi. Mikroorganisma ini akan melapisi permukaan media membentuk lapisan biomassa yang tipis yang disebut biofilm. Struktur reaktor biofilter dengan susunan media biakan di dalamnya menyerupai saringan (filter) yang terdiri dari tumpukan media yang disusun secara teratur maupun acak di dalam reaktor (Said, 1995).

Seperti yang dikatakan Sumeker dan Halim (1991) bahwa efektivitas media biakan tergantung pada jenis bahan, bentuk, ukuran, luas permukaan media, volume rongga dalam media dan kekasaran permukaan. Media biakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat antara lain:

1 Luas permukaan besar

2 Tidak bersifat racun terhadap mikroorganisma 3 Sifat fisika dan kimia stabil

4 Celah untuk difusi udara dapat dilewati oleh lapisan biofilm yang terlepas.

Luas permukaan media biakan per satuan unit volume sangat berpengaruh terhadap efektifitas kerja reaktor biofilter, karena semakin luas permukaan per

(25)

unit volume yang ditumbuhi biomassa kemampuan penguraian senyawa polutan yang ada di dalam air juga semakin besar. Selain itu semakin besar persentase ruang kosong media menyangga, maka semakin besar kontak biomassa yang menempel pada media pendukung dengan substrat yang ada dalam air (Montgomery, 1985)

Menurut Said (2000) media biofilter dari bahan organik banyak yang dibuat dengan cara dicetak dari bahan tahan karat dan ringan misalnya plastik atau PVC, keramik dan material lainnya, dengan luas permukaan spesifik dan volule rongga (porositas) yang besar, sehingga dapat melekatkan mikroorganisme dalam jumlah yang lebih banyak dengan resiko kebuntuan yang sangat kecil. Dengan demikian memungkinkan untuk pengolahan air limbah dengan beban konsentrasi yang tinggi serta efisiensi pengolahan yang cukup besar. Salah Satu contoh media biofilter yang banyak digunakan yakni media dalam bentuk sarang tawon (honeycomb tube) dari bahan plastik. Beberapa contoh perbandingan luas permukaan spesifik dari berbagai media biofilter dapat dilitat pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan luas permukaan spesifik media biofilter

No. Jenis Media Luas permukaan spesifik (m2/m3) 1 Trickling Filter dengan batu pecah 100-200

2 Modul Sarang Tawon (honeycomb modul) 150-240

3 Tipe Jaring 50

4 RBC 80 -150

Sumber: Said (2000)

Said (2000) juga mengatakan bahwa keuntungan penggunaan media biofilter dari bahan plastik tipe sarang tawon ini ini antara lain:

1 Mempunyai luas permukaan besar , yaitu antara 85–225 m2/m3 2 Persentase rongga kosong lebih besar dari media lainnya (±95%)

3 Plastik merupakan bahan yang mudah dibentuk (tipis, berstruktur), dirangkai (disatukan secara teratur) dan ringan sehingga dapat diletakkan di dalam reaktor biofilter sampai dengan ketinggian 6–10 m

Ukuran dan bentuk media berpengaruh terhadap turbulensi aliran, selain itu juga memegang peranan penting pada pembentukan biofilm, transportasi dan

(26)

akumulasi massa biologi atau massa padatan yang tersuspensi dan distribusi atau peruraian massa polutan sepanjang reaktor. Susunan media yang teratur cocok untuk limbah yang mempunyai kandungan padatan tersuspensi tinggi, sedangkan media yang acak (random) digunakan untuk pengolahan air dengan konsentrasi padatan tersuspensi yang rendah. Luas permukaan media mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang tumbuh sebagai biofilm pada permukaan media di dalam reaktor. Satuan luas permukaan menjadi sangat penting, bila suatu biomassa punya kecenderungan membentuk lapisan biofilm yang sangat besar dibanding yang tersuspensi di antara rongga media. Struktur permukaan berupa kekasaran permukaan dan cekungan memegang peranan penting pada saat awal operasi Bitton (1994).

Gambar

Tabel 1   Komposisi deterjen dengan komponen PO 4 3+
Tabel 2  Waktu pengendapan untuk berbagai macam partikel
Gambar 4  Proses pengolahan air secara biologi
Gambar 5  Mekanisme  metabolisme di dalam proses biofiltrasi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tolenransi beragama tidak berarti bahwa ajaran agama yang satu bercampur Dari beberapa uraian di atas kita dapat menyimpulkan pelaksanaan Ibadah Agama dan Kepercayaan terhadap

Kurikulum 2013 adalah sebuah kurikulum yang dikembangkan untuk meningkatkan dan menyeimbangkan kemampuan soft skilss dan hard skills yang berupa sikap, ketrampilan, dan

Tanaman karet merupakan salah satu tanaman yang cukup adaptif dengan berbagai kondisi lingkungan, sehingga memiliki sebaran pertanaman yang luas. Secara agroklimat

TOLAK UKUR KINERJA/ TARGET VOLUME PELAKSANAAN : SWAKELOLA/ REKANAN KODE REKENING BELANJA/ SUB BELANJA/ PROGRAM/ KEGIATAN/ SUB KEGIATAN KETERANGAN. SUMBER PENYERAPAN SAMPAI

  This  system  is created  to make the  students  in  STT  X easier to download 

Berdasarkan prinsip dan uraian landasan teoritis yang dikemukakan diatas, Penulisan penelitian ini berkaitan langsung dalam penggunaan media grafik salah satu tawaran sebagai

Data ini akan diolah dengan menggunakan Algoritma Apriori untuk mengetahui aturan jenis obat apa saja yang sering muncul bersamaan.Misal pada resep dokter yang

Dari teori yang dijelaskan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa layanan (jasa) adalah suatu kegiatan yang terjadi karena adanya interaksi dari pengguna jasa