• Tidak ada hasil yang ditemukan

Characteristics of Daggertooth Pike Conger Fish (Muraenesox cinerus) as Raw Material for Diversification Products Development

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Characteristics of Daggertooth Pike Conger Fish (Muraenesox cinerus) as Raw Material for Diversification Products Development"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK IKAN MALONG (

Muraenesox cinerus

) SEBAGAI BAHAN BAKU

PENGEMBANGAN PRODUK DIVERSIFIKASI

Untung Trimo Laksono1*, Tati Nurhayati2, Pipih Suptijah2, Nani Nur’aenah1, Teguh Setyo Nugroho1

1Prodi Teknologi Hasil Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak, Jalan Ahmad Yani, Pontianak, Kalimantan Barat

2Departeman Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat.

*Korespondensi: uun.laksono@yahoo.co.id Diterima: 27 November 2018 /Disetujui: 29 Maret 2019

Cara sitasi: Laksono UT, Nurhayati T, Suptijah P, Nur’aenah N, Nugroho TS. 2019. Karakteristik ikan malong (Muraenesox cinerus) sebagai bahan baku pengembangan produk diversifikasi. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 22(1): 60-70.

Abstrak

Ikan malong (Muraenesox cinerus) merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki sebaran cukup luas dengan bentuk tubuh memanjang seperti belut. Ikan dengan bentuk seperti ini memiliki edible portions

berkisar 50-60% namun belum ada informasi berkaitan karakteristik kimiawinya. Penelitian ini bertujuan mengukur komposisi kimiawi ikan malong (proksimat, asam amino, asam lemak dan mineral) serta tekstur gel daging dalam bentuk kamaboko. Sampling ikan malong dilakukan menggunakan metode purposive sampling dengan kriteria ukuran panjang, kesegaran dan jarak dari lokasi pengujian. Ikan selanjutnya dilakukan pengujian proksimat, asam amino, asam lemak, dan mineral (P, Na, Ca, K, Mg dan Fe). Komposisi kimia ikan malong meliputi kadar protein, lemak, abu, karbohidrat dan air dengan nilai berurutan yaitu 12,273%, 4,96%, 1,17%, 1,12% dan 80,49% dengan mineral makro yang dominan yaitu Kalium (K) 170,20 mg/100 g, Ca 90,75 mg/100 g, dan Na 80,15 mg/100 g. Asam amino (AA) yang memegang peranan penting dalam rasa dan tekstur daging ikan adalah asam glutamat 2,68%, lisina 1,57%, leusina 1,25%, asam aspartat 1,54% dan arginina 1,04%, sedangkan asam lemak yaitu eukosapentanoat(EPA) 0,6%, dekosaheksanoat (DHA) 0,9%, asam lemak linoleat 0,2%, oleat 1,4% dan linolenat 1,0%. Penambahan CaCl2 0,2 hingga 0,6% mampu meningkatkan kualitas tekstur kamaboko ikan malong.

Kata kunci: asam amino, asam lemak, malong, mineral, kamaboko.

Characteristics of Daggertooth Pike Conger Fish (Muraenesox cinerus) as Raw

Mate-rial for Diversification Products Development

Abstract

Daggertooth pike conger fish (Muraenesox cinerus) has elongated body shape similar to eels and distribute widely worldwide. The fish has edible portion of 50-60% but there has been less information regarding the chemical characteristics. The aim of this research was to determine chemical composition of daggertooth pike conger fish (proximate, amino acid, fatty acid and mineral) and textural properties from its kamaboko. Purposive sampling method applied in this research with length, freshness and distance from location as criteria. Analytical method performed including proximate, amino acids, fatty acids, and minerals (P, Na, Ca, K, Mg dan Fe). Chemical composition from daggertooth pike conger fish showed that on proximate levels of protein, fat, ash, carbohydrates and moisture content value were 12.273%, 4.96%, 1.17%, 1.12% and 80.49% respectively. Dominant macro minerals, namely potassium (K) 170.20 mg /100 g, Ca 90.75 mg /100 g, and Na 80.15 mg /100 g. Amino acid (AA), namely glutamic acid 2.68%, 1.57% lysine, leusine 1.25%, 1.54% aspartic acid and arginine 1:04%. Moreover, the essential fatty acids namely EPA (eicosa pentanoat acid) 0.6%, DHA (docosa hexanoat acid) 0.9%, 0.2% fatty acids linoleic, oleic and linolenic 1.4% 1.0%. CaCl2 (0.2-0.6%) addition to daggertooth pike conger kamaboko could improve textural quality. Keywords: amino acid, fatty acid, minerals, kamboko

(2)

PENDAHULUAN

Ikan malong (Muraenesox cinerus) merupakan salah satu jenis ikan demersal yang hidup hingga kedalaman 100 m di muara-muara sungai. Ikan ini termasuk jenis ikan predator yang memakan ikan-ikan lainnya. Ikan malong mampu tumbuh hingga panjang 200 cm namun rata-rata panjangnya 100-150 cm. Bentuk tubuh ikan malong bulat memanjang seperti belut. Malong merupakan nama lokal untuk menyebut ikan Muraenesox cinerus di wilayah Kalimantan Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung hingga kepulauan Natuna, sedangkan didaerah lain dikenal dengan ikan remang atau cunang. Ikan malong tersebar di perairan Malaysia, Indonesia, Filiphina hingga ke perairan Jepang. Ikan malong di Indonesia tersebar mulai dari perairan Sumatera hingga Sulawesi (Genisa 1999; Ridho et al. 2004; Satapoomin 2011). Tubuh ikan malong yang berbentuk bulat memanjang ini umumnya memiliki jumlah daging yang relatif lebih tinggi dibandingkan ikan dengan bentuk compressed. Banyaknya daging ikan yang dapat digunakan (edible portions) pada setiap ikan sangat membantu dalam pemanfaatannya sebagai bahan baku pengolahan. Marichamy et al. (2012) menjelaskan edible portions ikan Muraenesox cinerus mencapai 52,75% dengan panjang ikan 70 sampai 80 cm.

Tingginya edible portions ikan malong ini sangat baik jika digunakan untuk bahan baku pada indutri surimi atau industri yang berbasis daging ikan (turunan surimi). Jenis-jenis ikan yang umumnya digunakan pada industri surimi yaitu ikan kuniran, ikan mata goyang, selar, dan layaran dengan berbagai ukuran (Laksono 2012). Ikan malong ini selain dapat digunakan untuk bahan baku pada industri surimi juga dapat dimanfaatkan untuk bahan baku berbagai produk olahan diversifikasi hasil perikanan yang menggunakan daging sabagai bahan utamanya. Lanier dan Lee (1992); Park (2000); Ramirez et al. (2007); Bourtoom et al. (2009); Ramirez et al. (2011) menjelaskan bahwa surimi merupakan konsentrat protein ikan yang dihasilkan dengan cara melakukan pencucian secara berulang daging ikan hingga didapatkan protein larut garam

berupa myofibril. Pencucian daging ikan tersebut bertujuan untuk melarutkan berbagai komponen larut air misalnya protein sarkoplasma, darah, enzim, dan bahan lain misalnya lemak dan lainnya.

Industri surimi biasanya menggunakan ikan dengan ukuran rata-rata antara 500-700 g/ekor agar ekonomis dalam pengolahan surimi, jika ukuran ikan lebih kecil maka surimi yang dihasilkan menjadi sedikit dan bila terlalu besar maka harganya tidak ekonomis. Jenis-jenis ikan lain yang ukuran lebih besar dengan harga yang lebih ekonomis namun tidak dilirik menjadi bahan baku dalam pengolahan surimi antara lain ikan Malong. Kemampuan pembentukan gel pada daging ikan sangat dipengaruhi oleh adanya protein larut garam berupa myofibril (aktin dan myosin). Jika daging ikan sebaliknya lebih banyak mengandung protein larut air (sarkoplasma) maka relatif akan menurunkan kemampuan pembentukan gelnya.

Pembentukan gel pada surimi juga dipengaruhi oleh penambahan garam. Garam NaCl, CaCl2 dan MgCl2 mampu meningkatkan kinerja dari enzim TGase pada daging ikan. Motoki dan Seguro (1998); Ho et al. (2000); Cui et al. (2007) dan Laksono (2012) menguji kinerja logam Na+, Ca2+, dan Mg2+ untuk meningkatkan aktivitas enzim TGase. Lebih lanjut Sidauruk et al.(2017) juga membuktikan jika endogenous TGase dari hati ikan remang juga mampu diaktivasi oleh ion Ca2+, sehingga jumlah penggunaan garam CaCl2 menjadi penting diukur untuk mengetahui perannya pada surimi ikan malong.

Guna meningkatkan manfaat pada ikan malong tersebut, maka sangat penting diketahui karakteristik kimiawi dan biokimiawi daging ikan tersebut agar dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dunia industri dan diversifikasi hasil perikanan. Karakterisasi ikan malong dari sisi kimiawi dan pemanfaatan sebagai bahan baku surimi merupakan tahap awal untuk mengembangkan dan pemanfaatan ikan malong sebagai bahan baku industri yang potensial. Hal ini untuk memperbesar peluang pemanfaatan ikan untuk pemenuhan gizi masyarakat dan pengembangan usaha berbasis daging ikan di wilayah pesisir. Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur

(3)

komposisi kimiawi ikan malong (proksimat, asam amino, asam lemak dan mineral) serta tekstur gel daging dalam bentuk kamaboko. BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain ikan malong, H2SO4 (Sigma Aldrich, US) , HCl, NaOH, akuades, NaCl, indikator PP (Sigma Aldrich, US), benzena (Merck, Jerman), batu didih, asam borat (Merck, Jerman), larutan Brij-30 (Sigma Aldrich, US), 2-merkaptoetanol (Merck, Jerman), larutan standar asam amino (Sigma Aldrich, US), EDTA (Titriplex III) (Merck, Jerman), metanol (Merck, Jerman), Na-asetat (Merck, Jerman). Larutan standar asam lemak (Sigma Aldrich, US), larutan BF3 16% (Merck, Jerman), NaCl jenuh (Merck, Jerman), Heksan (Merck, Jerman), Na2SO4 anhidrat (Sigma Aldrich, US).

Peralatan yang digunakan pantara lain pisau, talenan, meat grinder (Panasonic, China), baskom, oven (Vulcan, US), tanur pengabuan (Vulcan, US), timbangan, spatula (Pyrex, Japan), beker glass (Pyrex, Japan), erlemeyer (Pyrex, Japan), tabung reaksi (Pyrex, Japan), water bath (memert, Jerman), kertas whatman 1, ekstraksi soxlet (Pyrex, Japan), tabung destruksi (Pyrex, Japan). Membran milipore 0,45 mikron, HPLC (type ICI dan kolom ODS), pipet 1 mL (Pyrex, Japan), labu takar (pyrex, Japan). Kromatografi gas (Shimadzu, Japan), mikro pipet (Boeco, Jerman).

Metode Penelitian Sampling ikan malong

Sampling ikan malong dilakukan dengan metode purposive sampling dengan kriteria yaitu ukuran ikan, tingkat kesegaran dan jarak terdekat dari lokasi pengujian (laboratorium). Berdasarkan kriteria tersebut maka ikan malong di ambil dari beberapa tempat pendaratan ikan (TPI) di Kalimantan Barat yaitu TPI Sungai Kakap, dan TPI Sungai Pinyuh. Sampling dilakukan dengan bekerjasama bersama nelayan penangkap ikan agar ikan yang didapatkan tetap dalam kondisi kesegaran yang baik. Ikan malong (ukuran 80->100 cm) kemudian dibawa ke tempat pengujian dengan wadah berinsulasi

dan diberikan es untuk menjaga suhu ikan. Sampling ikan dilakukan pada bulan Juli hingga September 2015 dengan mengambil data ukuran ikan, jumlah tangkapan, dan area penangkapan.

Ikan yang didapatkan kemudian diukur berat dan panjang, selanjutnya ikan difilet untuk memisahkan daging, tulang, isi perut dan kulit. Daging dihomogenkan dengan homogenizer, selanjutnya dilakukan pengujian sesuai parameter yang dinginkan. Daging ikan malong yang telah difilet selanjutnya dibuat menjadi kamaboko untuk diukur kekuatan gelnya.

Prosedur Analisis

Analisis proksimat dan mineral makro Analisis proksimat dan mineral makro mengacu pada AOAC (2005) terdiri analisa kadar air, protein, lemak, karbohidrat, abu. Pengujian mineral makro dilakukan menggunakan Atomic Absorbtion Spectrophotometry (AAS). Prosedur uji mineral meliputi pemanasan sampel pada suhu 120oC kurang lebih 4 jam, kemudian

sampel ditambahkan H2SO4 dan dipanaskan hingga menjadi lebih pekat. Sampel kemudian ditambahkan HNO3 dan HCL 2-3 tetes dan dipanaskan kembali hingga berwarna kuning muda. Sampel didinginkan dan ditambahkan akuabides dan HCL, selanjutnya dianalisis menggunakan AAS.

Analisis asam amino

Komposisi asam amino ditentukan dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) berdasarkan metode AOAC (1995). Analisis asam amino terdiri atas 4 tahap, yaitu (1) tahap pembuatan hidrolisat protein; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; dan (4) tahap injeksi serta analisis asam amino. Khusus untuk pengujian asam amino bebas, tidak dilakukan proses hidrolisis dengan asam dan pemanasan.

Analisis asam lemak

Analisis asam lemak dilakukan berdasarkan metode AOAC (2005). Lemak dihidrolisis terlebih dulu menjadi asam lemak kemudian ditransformasi menjadi bentuk esternya dengan cara metilasi hingga diperoleh

(4)

metil ester asam lemak (FAME). FAME kemudian dianalisis dengan alat kromatografi gas. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul puncak pelarut sampai ke tengah puncak komponen yang dipertimbangkan. Luas puncak dari masing-masing komponen adalah berbanding lurus dengan jumlah komponen tersebut dalam contoh.

Pembuatan kamaboko

Pembuatan kamaboko dilakukan berdasarkan metode SNI: 2372.6:2009. Daging ikan yang telah difilet dihaluskan dengan meat grinder. Daging lumat kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam meat processor, tambahkan garam (NaCl) sesuai perlakuan 2% (b/b) mengandung CaCl2 0,2; 0,4 dan 0,6% dan air ±20% (v/b). Daging kemudian dihomogenkan hingga membentuk adonan yang kalis. Adonan dimasukkan cetakan kamaboko hingga padat dan ditutup rapat. Adonan dipanaskan pada suhu setting 40°C selama 30 menit dan dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu cooking 90°C selama

15 menit. Kamaboko kemudian dimasukkan

ke dalam air dingin suhu 4-5°C, kemudian di keluarkan dari cetakan. Kamboko sebelum dilakukan pengujian disimpan pada suhu 4°C selama semalam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ikan malong yang digunakan pada penelitian ini diambil dari wilayah penangkapan di Kalimantan Barat (wilayah perairan Kabupaten Kubu Raya dan Mempawah). Pemilihan wilayah perairan Kabupaten Kubu Raya dan dan Kabupaten Mempawah karena wilayah ini merupakan tempat pendaratan ikan yang paling dominan di Kalimantan Barat. Sampling ikan dilakukan dengan bekerjasama langsung bersama nelayan yang berada di wilayah penangkapan (TPI Sungai Kakap dan TPI Sungai Pinyuh) agar tingkat kesegaran ikan yang diperolah dapat terjaga dan terkendali. Lokasi Penangkapan di wilayah perairan Kalimantan Barat disajikan pada Figure 1.

Wilayah tempat penangkapan ikan malong berada pada jarak 1 hingga 5 mil laut dari pantai yang berada pada wilayah perairan Kalimantan Barat yang termasuk ke dalam wilayah laut Cina Selatan dengan periode waktu sampling dilakukan mulai bulan Juli hingga bulan September 2015. Total hasil penangkapan ikan malong oleh nelayan di wilayah sampling antara 5 hingga 30 kg sekali trip penangkapan dengan ukuran ikan yang beragam. Nelayan selain menangkap ikan malong juga menangkap ikan jenis lain baik itu ikan pelagis maupun ikan demersal. Nelayan yang menangkap ikan malong ini merupakan nelayan tradisional dengan ukuran kapal yang kecil. Model kapal dan jenis alat tangkapan

Figure 1 Fishing ground in West Kalimantan (Karimata strait, Natuna sea dan south China sea). Location

(5)

yang digunakan nelayan di wilayah sampling dapat di lihat pada Figure 2. Ukuran ikan malong yang ditangkap beragam mulai size 2 kg/ekor hingga 5 kg/ekor. Ikan malong hasil tangkapan nelayan tersebut memiliki panjang berkisar 50 cm sampai diatas 1 m (Figure 3). Komposisi kimia ikan malong dapat dilihat pada Table 1.

Komposisi daging ikan secara umum terdiri dari protein 15-25%, air 70-85%, karbohidrat 0,1-1%, lemak 1-10% dan abu 1-1,5%. Hasil pengujian proksimat ikan malong menunjukkan jika air merupakan komponen terbesar yaitu 80,489%, diikuti dengan protein, lemak, abu, dan karbohidrat dengan nilai berururatan yaitu 12,273%, 4,956%, 1,166% dan 1,117% (by different). Kadar air yang tinggi dikarenakan ikan yang diuji merupakan ikan segar. Nilai gizi makro ikan malong ini tidak jauh berbeda dengan

ikan lainnya. Nilai proksimat pada daging ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti umur ikan, kematangan gonad, jenis makanannya, bentuk tubuh dan lainnya Chyuan et al. (1996).

Kandungan Mineral Makro Ikan Malong (Muraenesox cinerus)

Mineral makro yang diuji antara lain Ca, P, Na, K, Mg, Fe dan Vitamin C. Prngujian dilakukan menggunakan metode gravimetri. Hasil pengujian komponen mineral makro ikan malong dapat dilihat pada Table 2.

Mineral yang diuji pada penelitian ini hanya beberapa jenis saja yang termasuk ke dalam mineral makro. Jenis mineral ini yang umum digunakan dalam pengujian dan metabolisme tubuh. Menurut Arifin (2008) berdasarkan kegunaannya dalam aktivitas kehidupan, mineral (logam) dibagi menjadi

Figure 2 Type of fishermen boat in sampling area (Sungai Kakap and Sungai Pinyuh district).

(6)

dua golongan, yaitu mineral esensial dan nonesensial. Mineral esensial diperlukan dalam proses fisiologis hewan, sehingga mineral golongan ini merupakan unsur nutrisi penting yang jika kekurangan dapat menyebabkan kelainan proses fisiologis atau disebut penyakit defisiensi mineral. Mineral ini biasanya terikat dengan protein, termasuk enzim untuk proses metabolisme tubuh, yaitu kalsium (Ca), fosforus (P), kalium (K), natrium (Na), klorin (Cl), sulfur (S), magnesium (Mg), besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan (Mn), kobalt (Co), iodin (I), dan selenium (Se).

Hasil pengukuran kadar mineral pada daging ikan malong diperoleh jenis mineral makro yaitu Na 16,216 mg, Ca 91,140 mg, K 169,823 mg, dan Mg 37,367 mg. Mineral K (Pottasium) menjadi jenis mineral yang paling dominan pada daging ikan malong yaitu 169,823 mg, kondisi ini berbeda dengan hasil temuan Nurnadia et al. (2013) yang menguji kandungan mineral makro pada beberapa jenis ikan laut dan diperoleh jenis mineral magnesium yang paling dominan. Mineral mikro yang diuji pada sampel ikan malong adalah P (phosfor) 16,217 mg dan Fe (iron) 1,557 mg. Hasil penelitian

Nurnadia et al. 2013 memperoleh kandungan mineral Fe pada jenis ikan dan kerang laut di perairan Malaysia antara 175,62 µg/100 g pada ikan sebelah hingga 897,47 µg/100 g pada ikan bawal hitam, sedangkan pada jenis kerang mencapai 6208,55 µg/100 g.

Asam Amino pada Ikan Malong

(Muraenesox cinerus)

Jenis asam amino ikan malong secara umum sama dengan ikan lain tetapi berbeda pada jumlahnya. Asam amino pada daging ikan malong dengan jumlah terbanyak adalah asam glutamat, asam aspartat, lysina, leusina dan arginina (Table 3).

Asam amino glutamat merupakan asam amino yang memiliki peran penting dalam memberi rasa gurih pada daging ikan. Derby et al. (2007) menjelaskan jika asam glutamat merupakan komponen paling penting dalam pembentukan cita rasa pada makanan hasil laut. Asam amino yang paling banyak ditemui pada moluska laut adalah asam glutamat, asam aspartat, glisin dan alanine. Uju et al. (2009) menjelaskan bahwa asam glutamat mengandung ion glutamat yang dapat merangsang beberapa tipe syaraf yang ada pada lidah manusia. Asam glutamat Table 1 Proximate composition from Muraenesox cenerus

Note *= By Different

Parameters (%)

Average

Manyung fish (Abraha

et al

. 2017)

Water content

80.49

79.15

protein

12.27

18.56

Lipid

4.96

0.54

Ash

1.17

1.75

Carbohydrate*

1.12

0.54

Table 2 Result test of micro mineral from Muraenesox cinerus

Parameter (mg)

Average

Bandeng (Hafiludin 2015)

Mineral P

16.217

-Mineral Na

80.330

83.66

5

Mineral Ca

91.140

56.216

Mineral K

169.823

318.725

Mineral Mg

37.367

40.101

Mineral Fe

1.557

0.032

(7)

dan asam aspartat memberikan cita rasa pada seafood, namun dalam bentuk garam sodium yaitu pada MSG akan memberikan rasa umami.

Asam glutamat pada ikan malong lebih rendah dibandingkan ikan nila atau ikan lele, ikan-ikan ini diketahui secara umum memiliki rasa gurih yang baik saat dimakan. Hasil penelitian Laksono (2012) menunjukkan jumlah asam glutamat pada ikan nila yaitu 12,885% dan pada ikan lele 8,63%. Daging ikan nila memiliki kemampuan pembentukan gel yang bagus untuk pembuatan bakso, nugget atau lainnya. Hal ini mungkin yang menjadi salah satu penyebab mengapa daging ikan malong masih kurang disukai oleh masyarakat untuk diolah menjadi produk diversifikasi. Komposisi Asam Lemak pada Ikan Malong (Muraenesox cinerus)

Ikan malong termasuk jenis ikan dengan bentuk tubuh yang memanjang hampir menyerupai ular atau belut, namun ikan ini memiliki kepala dengan struktur rahang mulut

yang kuat dan bergigi tajam. Berdasarkan kondisi tersebut ikan ini temasuk ikan karnivora yang suka memakan ikan-ikan kecil lain. Ikan malong secara umum tidak memiliki banya lemak pada dagingnya. Lemak ikan malong terkonsentrasi pada bagian perut dan jumlahnya tidak banyak. Kadar lemak ikan malong utuh 4,96% sedangkan pada daging ikan hanya 0,41%. Kadar lemak pada daging ini relatif kecil jika dibandingkan lemak pada daging ikan lele (1,29%) (Laksono 2012). Jenis dan jumlah asam lemak yang ada pada daging ikan malong disajikan pada Table 4.

Asam lemak palmitat menjadi asam lamak terbanyak pada lemak ikan, selain itu lemak ikan mengandung asam lemak eukosapentanoat (EPA) 0,6% dan dekosaheksanoat (DHA) 0,9% sebagai asam lemak esensial bagi tubuh manusia. Asam lemak esensial lainnya adalah asam lemak linoleat 0,2%, oleat 1,4% dan linolenat 1,0%. Lemak esensial ini menjadikan ikan sebagai bahan pangan yang sangat baik digunakan untuk pemenuhan gizi. Jumlah asam lemak tak Table 3 Amino acid test from Muraenesox cinerus meat

Note *: Sample in dry form (WC, 25.7%)

Parameters

Muraenesox cinerus

Amino acid from

%

(w/w) (wet basis).

Amino acid from conger eel

(Good-man-Lowe

et al.

1999)* %/100 g

(w/w) (dry basis).

Aspartic acid

1.54

7.8

Glutamic acid

2.68

12.3

Serine

0.60

2.9

Histidine

0.34

1.5

Glycine

0.87

7.0

Threonine

0.53

3.9

Arginine

1.04

5.2

Alanine

0.96

5.7

Tyrosine

0.54

1.6

Methionine

0.52

0.9

Valine

0.76

2.4

Phenylalanine

0.64

1.8

I-leucine

0.75

2.0

Leucine

1.25

5.7

Lysine

1.57

6.1

Total

14.60

66.8

(8)

jenuh seperti EPA, DHA, oleat, linolenat dan linoleat pada ikan malong sangat dipengaruhi oleh umur dan kematangan gonad ikan. Menurut Iverson (2002) kadar asam lemak pada ikan sangat dipengaruhi oleh jenis spesies ikan. Pratama et al. (2011) juga mendapatkan hasil pengujian kadar asam lemak EPA 2,41%, oleat 34,21%, linoleat 48,36 pada minyak ikan yang diekstrak dari ikan layur. Hal ini membuktikan bahwa bentuk tubuh, ukuran, spesies, tingkat kematangan gonad dan jenis kelamin pada ikan mempengaruhi kadar lemaknya.

Profil Daging Ikan Malong sebagai Bahan Baku Surimi

Ikan malong dengan bentuk tubuh silinder memiliki warna daging yang dominan putih dengan sedikit daging merah pada bagian linea lateralisnya. Rata-rata bagian daging ikan malong setelah pemisahan dari tulang, kulit, kepala dan isi perut 62,89±2,23%. Rendemen ikan malong ini relatif cukup besar dibandingkan dengan jenis ikan lain diantaranya rendemen daging

ikan tiga waja, belanak dan mujair secara berurut yaitu 42,87%, 30,69% dan 28,63% (Radityo et al. 2014)

Daging ikan malong dilakukan uji tekstur dalam bentuk kamaboko. Perlakuan penambahan garam CaCl2 bertujuan untuk melihat kinerja enzim endogenous TGase pada daging ikan malong. Hal ini karena endogenous TGase tergantung pada ion Ca. Enzim TGase merupakan enzim larut air sehingga rentan mengalami kerusahan dan kehilangan dengan proses pengolahan. Konsentrasi CaCl2 yang digunakan sebanyak 3 level yaitu 0,2; 0,4; dan 0,6% dari total garam NaCl yang digunakan yaitu 2,5%.

Berdasarkan uji tekstur (Table 5) terhadap kamboko diketahui jika perbedaan antar perlakuan terhadap parameter TPA (Hardness, fracturability, gumminess dan chewiness) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Perlakuan tanpa pemberian garam CaCl2 menunjukkan nilai parameter TPA relatif lebih rendah dibandingkan setelah penambahan CaCl2. Hal ini menunjukkan jika enzim TGase dapat Table 4 fatty acid from Muraenesox cinerus meat

Parameters

Muraenesox cinerus

Amino acid from

fish %

(w/w) (wet basis).

Amino acid from Conger eel

(Goodman-Lowe

et al.

1999)*

%/100g (w/w) (dry basis).

Aspartic acid

1.54

7.8

Glutamic acid

2.68

12.3

Serine

0.60

2.9

Histidine

0.34

1.5

Glycine

0.87

7.0

Threonine

0.53

3.9

Arginine

1.04

5.2

Alanine

0.96

5.7

Tyrosine

0.54

1.6

Methionine

0.52

0.9

Valine

0.76

2.4

Phenylalanine

0.64

1.8

I-leucine

0.75

2.0

Leucine

1.25

5.7

Lysine

1.57

6.1

Total

14.60

66.8

(9)

diaktivasi kinerjanya dengan adanya ion. Pentingnya peran ion Ca2+ menjadi dasar

pentingnya penambahan garam CaCl2 pada saat pengolahan produk yang menggunakan daging ikan sebagai bahan dasarnya. Efek dari aktivator Ca2+ ini tergantung pada jumlah

dan aktivitas endogenous TGase yang sangat dipengaruhi oleh jenis, umur, kematangan gonad dan lainnya. Ohtsuka et al. (2001)

menjelaskan bahwa tekstur gel tergantung pada spesies ikan dan konsentrasi garam, suhu, waktu pemanasan dan kadar air.

Visessanguan et al. (2000) kelenturan

pada parameter tekstur daging ikan dapat disebabkan oleh terpecahnya myosin sehingga mengarah pada peningkatan fluiditas semi gel dan menyebabkan pemisahan beberapa jaringan protein daging. Penambahan CaCl2 mampu memberikan kekuatan gel yang lebih baik berdasarkan uji lipat dan uji gigit, semakin tinggi jumlah CaCl2 yang diberikan mampu mengoptimalkan kinerja enzim TGase dalam membentuk gel pada daging ikan malong.

KESIMPULAN

Daging ikan malong (Muraenesox cinerus) memiliki rendemen rata-rata 62,89±2,23% dengan komponen dominan air 80,49% dan protein 12,27%. Jenis asam amino dominan yaitu asam glutamat 2,68%, lisinina 1,57%, Leusinina 1,25%, asam aspartat 1,54% dan arginina 1,04%. Mineral Kalium (K) 170,20 mg/100 g, Ca 90,75 mg/100 g, dan Na 80,15 mg/100 g. Jenis asam lemak esensial EPA 0,6%, DHA 0,9%, asam lemak linoleat 0,2%, oleat 1,4% dan linolenat 1,0%.

Penambahan garam CaCl2 pada kamaboko daging ikan malong dapat meningkatkan kinerja dari endogenous TGase sehingga memberikan tekstur yang relatif lebih baik jika tanpa panambahan garam CaCl2.

Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk membandingkan efek kinerja ion Ca2+ pada

endogenous TGase daging ikan yang telah mengalami pencucian dan kombinasinya dengan bahan lain seperti bahan pengenyal, dan tepung.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini merupakan hibah dari DRPM DIKTI dalam skema penelitian kerjasama antar perguruan tinggi (PEKERTI) tahun 2015-2016 yang dilaksanakan bekerjasama antara Pogram studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Politeknik negeri Pontianak (POLNEP) dan Program studi Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemits. AOAC. (US): Washington DC.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis (18 Edn). Association of Official Analytical Chemist Inc. Mayland. USA. Abraha B, Mahmud A, Samuel M, Yhdego W,

Kibrom S, Habtom W. 2017. Production of fish protein hydrolysate from silver catfish (Arius thalassinus). MOJ Food Processing and Technology. 5(4): 1-8. Arifin Z. 2008. Beberapa unsur mineral

esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. Jurnal Litbang Pertanian. 27(3): 99-105.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional 2006. Penentuan Mutu Pasta Pada Produk Perikanan. SNI 2372.6: 2009. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional.

Bourtoom T, Chinnan MS, Jantawat P, Table 5 profile texture kamaboko from Muraenesox cinerus meat

Additions

CaCl2 (%) Hardness Fracturability Gumminess Chewiness WHC Folding test Bite test

0.0 301 222 203.75 49.005 76.20 4.00 5.35

0.2 355 341 198.8 54.43 80.52 4.58 6.41

0.4 337.25 328.5 188.6 52.42 81.305 4.84 6.85

(10)

Sanguandeekul R. 2009. Recovery and characterization of proteins precipitated from surimi wash-water. Journal Food Science and Technology. 42: 599–605. Cui L, Guocheng D, Zhang D, Liu H, Chen J.

2007. Purification and characterization of transglutaminase from a newly isolated Streptomyces hygroscopicus. Journal. Food Chemistry. 105: 612–618.

Chyuan-Yuan S, Yu-Jang P, Tze-Kuei C, Tuu-Jyi C. 1996. Free amino acids and nucleotide-related compounds in milkfish (Chanos chanos) muscle and viscera. Journal Agricultural and Food Chemistry. 44(9): 2650-2653.

Derby CD, Kicklighter CE, Jhonson PM, Zang X. 2007. Chemical composition of inks of diverse marine molluscs suggests convergent chemical defenses. Journal Chemical Ecology. 33(2):1105-1113. Genisa AS. 1999. Pengenalan jenis-jenis ikan

laut ekonomi penting di Indonesia. Jurnal Oseana. 24: 17-38.

Goodman-Lowe GD, Carpenter JR, Atkinson S, Ako H. 1999. Nutrient, faaty acid, amino acid an mineral analysis of natural prey of the Hawaian monk seal, Monachus schauinslandi. Journal Comparative Biochemistry and Physiology. Part A 123: 137-146.

Ho M-L, Leu S-Z, Hsieh J-F, and Jiang S-T. 2000. Technical approach to simplify the purification method and characterization of microbial transglutaminase produced from Streptoverticillium ladakanum. Journal Food Chemistry and Toxicology. 65(1): 76-80.

Iverson SJ, Frost KJ, dan Lang SLC. 2002. Fat content and faaty acid composistion of forage fish and invertebrates in Prince William Sound, Alaska; factor contributing to among and within species and variability. Journal Marine Ecology Progress series. 241: 161-181.

Laksono UT. 2012. Produksi Transglutaminase dari Streptoverticillium ladakanum dengan media alternatif yang mengandung hidrolisat limbah cair pengolahan surimi dan tepung tapioka. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Lanier TC, Lee CM. 1992. Surimi technology. Edited by Tyre C. Lanier. New York (US): Marcel Dekker, Inc.

Marichamy G, Badhul Haq MA, Vignesh R, Shalini R and Nazar AR. 2012. Report on the distribution of essential and non essential fatty acids in common edible fishes of Porto-Novo coastal waters, southeast coast of India. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 1102-1115

Motoki M, Seguro K. 1998. Transglutaminase and its use for food processing: Review. Journal Food Science Technology. 9: 204-210.

Nurnadia AA, Azrina A, Amin I, Mohd Yunus AS, Effendi H. 2013. Mineral contents of selected marine fish and shellfish from the west coast of Peninsular Malaysia. International Food Research Journal. 20(1): 431-437

Ohtsuka T, Umezawa Y, Nio N, Kubota K. 2001. Comparison of deamidation activity of Transglutaminase. Journal Food Chemystry and Toxicology. 66(1): 25-29.

Pratama RI, Awwaludin MY, Ishmayana S. 2011. Komposisi asam lemak ikan tongkol, layur dan tenggiri dari Pamengpeuk Garut. Journal Aquatik 2: 107-115.

Radityo CT, Darmanto YS, Romadhon. 2014. Pengaruh penambahan egg white powder dengan konsentrasi 3% terhadap kemampuan pembentukan gel surimi dari berbagai jenis ikan. Jurnal Pengolahan dan bioteknologi hasil perikanan. 3(4):1-9. Ramirez JA, Rodriguez NR, Uresti RM,

Velazquez G, Vazquez M. 2007. Fiber-rich functional fish food from striped mullet (Mugil cephalus) using amidated low methoxyl pectin. Journal Food Hydrocolloids. 21: 527–536.

Ramirez JA, Uresti RM, Velazquez G, Vázquez M. 2011. Food hydrocolloids as additives to improve the mechanical and functional properties of fish products: A review. Journal Food Hydrocolloids. 25: 1842-1852.

Ridho MR, Kaswadji RF, Jaya I, Nurhakim S. 2004. Distribusi sumberdaya ikan demersal di perairan laut cina selatan.

(11)

Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11(2): 123-128.

Satapoomin U. 2011. The fishes of southwestern Thailand, the Andaman sea, a review of research and a provisional checklist of species. Journal Phuket marine biological Center Res. Bull. 70: 29–77.

Sidauruk SW, Nurhayati T, Suptijah P, Laksono UT. 2017. Karakterisasi enzim Transglutaminase endogenous dari hati

ikan cunang (Congresox talabon). Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 20(3): 582-591.

Visessanguan W, Ogawa M, Nakai S dan An H. 2000. Physicochemical changes and mechanism of heat-induced gelation of arrowtooth flounder myosin. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 48(4): 1016-1023.

Gambar

Figure 1 Fishing ground in West Kalimantan (Karimata strait, Natuna sea dan south China sea).
Figure 2 Type of fishermen boat in sampling area (Sungai Kakap and Sungai Pinyuh district).
Table 2 Result test of micro mineral from Muraenesox cinerus

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Penelitian: terdapat pengaruh square steps exercise terhadap penurunan risiko jatuh pada kelompok perlakuan yang telah diuji dengan uji wilcoxon diperoleh p

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan profesionalisme Auditor Internal dapat mempengaruhi kinerja manajemen. 2

Berdasarkan hasil penelitian dan pemba- hasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran matematika dengan pendekat- an PBL berseting TGT efektif

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pembelajaran lebih difokuskan kepada siswa atau student center sedangkan guru sebagai fasilitator dalam

Penelitian ini bertujuan untuk memonitoring trend dan produktivitas kapal huhate yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung dengan menggunakan

Usaha penangkapan ikan di Bitung telah berkembang dengan baik, sehingga pada kawasan ini terdapat perusahaan yang khusus menangkap ikan tuna dengan armada yang

kondisi pembelajaran yang awalnya berpusat pada guru berubah menjadi berpusat pada siswa. Tetapi masih terdapat kekurangan yang perlu untuk diperbaiki sehingga