• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Straus dalam jurnalnya Prevalence of Violence Against Dating

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Straus dalam jurnalnya Prevalence of Violence Against Dating"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Dating Violence

1. Pengertian Dating Violence

Menurut Straus dalam jurnalnya Prevalence of Violence Against Dating

Partners by Male and Female University Students Worldwide (2004), dating

didefinisikan sebagai interaksi yang ‘saling’ (dyadic), termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit dan implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saat ini. Collins (dalam Marcus, 2007) mengatakan bahwa terdapat 5 hal yang dapat menjelaskan sebuah hubungan sebagai

dating. Kelima hal tersebut adalah: (1) involvement – apakah remaja tersebut pacaran,

usia dimana dia memulai pacaran, dan konsistensi serta frekuensi pacaran (2)

partner-selection – siapa yang mereka pilih menjadi pacar mereka (apakah usianya

lebih tua, sama atau dari suku dan sosioekonomi status yang berbeda atau sama) (3)

content – apa yang dilakukan mereka bersama-sama, keberagaman dari aktivitas yang

dilakukan bersama, situasi yang dihindari ketika mereka bersama; (4) quality – hal dimana hubungan tersebut menghasilkan suatu pengalaman yang menguntungkan, seperti intimacy, affection, nurturance, antagonism, and high conflict and controlling

behaviors; and (5) cognitive and emotional processes – apakah terdapat partner yang

(2)

atas diri sendiri yang lebih didasarkan pada emosi. Definisi violence menurut VandenBos (dalam Marcus, 2007) merupakan ekspresi kemarahan dengan tujuan untuk melukai atau merusak seseorang atau properti mereka secara fisik, emosi, maupun seksual.

Dating violence adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan,

yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya (Sugarman & Hotaling dalam Krahe, 2001). Selain itu, menurut The National

Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence

adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya.

Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and

Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam

Murray, 2007) mendefiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja

(intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik

untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya.

(3)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dating violence adalah ancaman atau tindakan untuk melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya, perilaku ini bisa dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.

2. Bentuk-Bentuk Dating Violence

Menurut Murray (2007) bentuk-bentuk dating violence terdiri atas tiga bentuk, yaitu kekerasan verbal dan emosional, kekerasan seksual, kekerasan fisik. a. Kekerasan Verbal dan Emosional

Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah.

Menurut Murray (2007), kekerasan verbal dan emosionalterdiri dari: 1. Name calling

Seperti mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang menginginkan pacarnya, mau muntah melihat pacarnya. Mereka menerima tipe kekerasan ini, karena mereka tidak memiliki self

esteem yang tinggi, sehingga tidak bisa mengatakan jika saya jelek, mengapa

kamu masih bersama saya sekarang 2. Intimidating looks

Pasangannya atau pacarnya akan menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya, jadi

(4)

pihak laki-laki atau perempuannya mengetahui apakah pacarnya marah atau tidak dari ekspresi wajahnya.

3. Use of pagers and cell phones

Seorang pacar ada yang memberikan ponsel kepada pacarnya, supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap bisa menghubungi pacarnya. Alat komunikasi ini memampukan pacarnya untuk memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau. Ada juga dari mereka yang tidak memberikan ponsel kepada pacarnya, namun baik yang memberikan ponsel maupun yang tidak memberikan ponsel tersebut akan marah ketika orang lain menghubungi pacarnya, meskipun orangtua dari pacarnya, karena itu mengganggu kebersamaan mereka. Individu ini harus mengetahui siapa yang menghubungi pacarnya dan mengapa orang tersebut menghubungi pacarnya.

4. Making a boy/girl wait by the phone

Seorang pacar berjanji akan menelepon pacarnya pada jam tertentu, akan tetapi sang pacar tidak menelepon juga. Pacar yang dijanjikan akan ditelepon, terus menerus menunggu telepon dari pasangannya, membawa teleponnya kemana saja di dalam rumah, misalnya pada saat makan bersama keluarga. Hal ini terjadi berulangkali, sehingga membuat si pacar tidak menerima telepon dari temannya, tidak berinteraksi dengan keluarganya karena menunggu telepon dari pacarnya.

(5)

5. Monopolizing a girl’s/ boy`s time

Korban dating violence cenderung kehabisan waktu untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk mengurus keperluannya, karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan pacarnya.

6. Making a girl`s/ boy`s feel insecure

Seringkali orang yang melakukan dating violence memanggil pacarnya dengan mengkritik, dan mereka mengatakan bahwa semua hal itu dilakukan karena mereka sayang pada pacarnya dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya. Padahal mereka membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika pacar mereka terus menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa semua yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau kesempatan untuk meninggalkan pasangannya.

7. Blaming

Semua kesalahan yang terjadi adalah perbuatan pasangannya, bahkan mereka sering mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang belum tentu disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan perselingkuhan.

8. Manipulation / making himself look pathetic

Hal ini sering dilakukan oleh pria. Perempuan sering dibohongi oleh pria, pria biasanya mengatakan sesuatu hal yang konyol tentang kehidupan, misalnya pacarnyalah orang yang satu-satunya mengerti dirinya, atau mengatakan kepada pacarnya bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya lagi.

(6)

9. Making threats

Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini, maka saya akan melakukan sesuatu padamu. Ancaman mereka bukan hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua, dan teman mereka.

10. Interrogating

Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur, cenderung menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang, siapa yang bersama mereka, berapa orang laki-laki atau wanita yang bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas pesan mereka.

11. Humiliating her/ him in public

Mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan temannya. Atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.

12. Breaking treasured items

Tidak memperdulikan perasaan atau barang-barang milik pacar mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka menganggap hal itu sebuah kebodohan.

b. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya (Murray, 2007). Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & Boney-McCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).

(7)

Menurut Murray (2007), sexual abuse terdiri dari: 1. Perkosaan

Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya pasangan mereka tidak mengetahui apa yang akan dilakukan pasangannya pada saat itu.

2. Sentuhan yang tidak diinginkan

Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya.

3. Ciuman yang tidak diinginkan

Mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang tersembunyi.

c. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya (Murray, 2007). Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria terhadap wanita. (Cantos, Neidig, & O’Leary, 1994; Cascardi, Langhinrichsen, & Vivian, 1992; Stets & Straus, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).

(8)

Kekerasan fisikterdiri dari (Murray, 2007): 1.Memukul, mendorong, membenturkan

Ini merupakan tipe abuse yang dapat dilihat dan diidentifikasi, perilaku ini diantaranya adalah memukul, menampar, menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Hal ini menghasilkan memar, patah kaki, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan sebagai hukuman kepada pasangannya. (Mark McGwire dan Sammy Sosa dalam Murray, 2007)

2. Mengendalikan, menahan

Perilaku ini dilakukan pada saat menahan pasangan mereka untuk tidak pergi meninggalkan mereka, misalnya menggengam tangan atau lengannya terlalu kuat.

3. Permainan kasar

Menjadikan pukulan sebagai permainan dalam hubungan, padahal sebenarnya pihak tersebut menjadikan pukulan-pukulan ini sebagai taktik untuk menahan pasangannya pergi darinya. Ini menandakan dominasi dari pihak yang melayangkan pukulan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku dating violence terdiri dari tiga bentuk yakni ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah (verbal and emotional abuse), pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak

(9)

menghendakinya (sexual abuse), dan perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik (physical abuse).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dating Violence Pada Remaja

Murray (2007) dalam bukunya yang berjudul Domestic and Dating Violence:

An Information and Resource Handbook menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor

yang berkontribusi dalam dating violence, yaitu: a. Penerimaan Teman Sebaya

Remaja cenderung ingin mendapatkan penerimaan dari teman sebaya mereka, misalnya remaja pria dituntut oleh teman sebayanya untuk melakukan kekerasan sebagai tanda kemaskulinan mereka (Leaver, 2007).

b. Harapan Peran Gender

Pria diharapkan untuk lebih mendominasi sedangkan wanita diharapkan untuk lebih pasif. Pria yang menganut peran gender yang mendominasi akan lebih cenderung mengesahkan perbuatan dating violence kepada pasangannya, sedangkan wanita yang menganut peran gender yang pasif, akan lebih menerima dating violence dari pasangannya.

c. Pengalaman Yang Sedikit

Secara umum, remaja memiliki sedikit pengalaman dalam berpacaran dan menjalin hubungan dibandingkan dengan orang dewasa, dan remaja tidak mengerti seperti apa pacaran yang benar, dan apakah setiap hal yang mereka lakukan saat pacaran adalah baik. Contohnya, cemburu dan posesif dari abuser dilihat sebagai tanda cinta

(10)

dan sesuatu yang dipersembahkan dari abuser. Karena kurangnya pengalaman, mereka menjadi kurang objektif dalam menilai hubungan mereka.

d. Jarang Berhubungan dengan Pihak yang Lebih Tua

Nancy Worcester in “A More Hidden Crime: Adolescent Battered Women” (The

Network News, July/August 1993) menyebutkan bahwa remaja selalu merasa bahwa

orang dewasa tidak akan menanggapi mereka dengan serius, dan mereka menganggap bahwa intervensi dari orang dewasa akan membuat kepercayaan diri dan kemandirian diri mereka hilang. Inilah yang membuat mereka menutupi dating violence yang terjadi pada diri mereka.

e. Sedikit akses ke layanan masyarakat

Anak dibawah usia 18 tahun mempunyai akses yang sedikit ke pengobatan medis, dan meminta perlindungan ke tempat penampungan orang-orang yang menjadi korban kekerasan. Mereka membutuhkan panduan orangtua, tetapi mereka takut mencarinya. Hal ini akan menghambat remaja untuk terlepas dari kekerasan dalam pacaran.

f. Legalitas

Kesempatan legal berbeda antara orang dewasa dan remaja, dimana remaja kurang memiliki kesempatan legal. Remaja sering kali memiliki akses yang sedikit ke pengadilan, polisi dan bantuan. Ini merupakan rintangan bagi remaja untuk melawan dating violence.

(11)

g. Penggunaan Obat-obatan

Obat-obatan tidak merupakan penyebab dating violence, tetapi ini dapat meningkatkan peluang terjadinya dating violence dan meningkatkan keberbahayaannya. Obat-obatan menurunkan kemampuan untuk menunjukkan kontrol diri dan kemampuan membuat keputusan yang baik dihadapan wanita ataupun prianya.

World Report On Violence And Health (1999) mengindikasikan enam faktor yang

menyebabkan dating violence diantaranya: a. Faktor Individual

Faktor demografi yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kekerasan kepada pasangannya adalah usia yang muda dan memiliki status ekonomi yang rendah. The

Health and Development Study in Dunedin, New Zealand – Dalam satu penelitian

longitudinalnya menunjukkan bahwa seseorang yang berasal dari keluarga yang melakukan kekerasan- berasal dari keluarga yang umumnya berada pada level ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah atau pendidikan yang rendah, maka mereka akan melakukan dating violence.

b. Sejarah Kekerasan dalam Keluarga

Studi yang dilakukan di Brazil, Afrika dan Indonesia menunjukkan bahwa dating

violence cenderung dilakukan oleh laki-laki yang sering mengobservasi ibunya

(12)

c. Penggunaan Alkohol

Penelitian Black, dkk yang diadakan di Brazil, Cambodia, Canada, Chile, Colombia, Costa Rica, El Salvador, India, Indonesia, Nicaragua, Afrika Selatan, Spanyol dan Venezuela menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peminum minuman keras dengan menjadi pelaku dating violence. Yaitu bahwa alkohol dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan individu dalam menginterpretasikan sesuatu (World Report on Violence and Health, 2002) . Lebih lanjut Borsary & Carey (dalam Roudsary, Leahy & Walters, 2009) menggunakan pengukuran penggunan alcohol satu kali seminggu dalam memprediksikan pelaku dating violence.

d. Gangguan Kepribadian

Penelitian di Canada menunjukkan bahwa laki-laki yang menyerang pasangannya cenderung mengalami emotionally dependent, insecure dan rendahnya self-esteem sehingga sulit mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka. Mereka juga memiliki skor yang tinggi pada skala personality disorder termasuk diantaranya antisocial, aggressive and borderline personality disorders.

e. Faktor dalam Hubungan

O’Kefee (2005) mengatakan bahwa, kurangnya kepuasan dalam hubungan, semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan meningkatkan terjadinya dating violence. Lewis & Fremouw, Ray & Gold, Billingham (dalam Luthra dan Gidycs, 2006) penelitiannya mengatakan bahwa semakin lama durasi suatu hubungan, maka dating violence dalam hubungan tersebut semakin

(13)

meningkat. Follingstad, Rutledge, Polek, & McNeill-Hawkins (dalam Luthra & Gidycs, 2006) menyebutkan bahwa dengan pertambahan setiap 6 bulan durasi

dating. Korban dari kekerasan berulang kali akan lebih bisa bertahan dalam

hubungan yang dijalaninya, daripada korban yang mengalami sekali kekerasan atau dengan kata lain, semakin sering dilakukan suatu kekerasan kepada pasangannya maka sang pelaku akan semakin merasa bahwa si korban menerima perilaku kekerasan tersebut.

f. Faktor Komunitas

Dengan tingkat ekonomi yang tinggi, maka orang-orang lebih mampu untuk melakukan perlindungan ataupun pembelaan terhadap kekerasan yang dialaminnya. Meskipun tidak selalu benar bahwa kemiskinan meningkatkan kekerasan. Tapi tinggal dalam kemiskinan dapat menyebabkan hopelessness.

Untuk beberapa pria, tinggal dalam kemiskinan bisa mengakibatkan stress, frustrasi, dan perasaan tidak mampu untuk memenuhi harapan sosial, atau hidup sesuai dengan harapan sosial. Peran gender tradisional, ada tidaknya sanksi dalam komunitas itu, atau daerah tempat tinggal pelaku dan korban merupakan bekas daerah perang sehingga tersedia peralatan perang juga turut berperan.

Terpapar dengan kekerasan yang terjadi di komunitas berhubungan dengan menjadi pelaku dating violence dikedua gender (Malik dalam O`Kefee, 2005). Terpapar dengan kekerasan yang terjadi di komunitas akan meningkatkan kekerasan yang terjadi, mungkin ini disebabkan oleh penerimaan seseorang mengenai violence tersebut. (O’Keefe, 2005).

(14)

Beberapa ciri orang yang melakukan dating violence adalah: 1. Rendahnya self esteem atau self image yang buruk

Self esteem adalah keseluruhan sikap kepada diri, apakah positif atau negatif

(Rosenberg, dalam Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Orang-orang dengan self

esteem dan self image yang rendah ingin meningkatkan self esteem dan self image

mereka dengan menunjukkan kekuatan mereka atas pasangan mereka. 2. Toleransi yang sedikit kepada frustrasi

Frustrasi didefinisikan sebagai perasaan yang timbul ketika terdapat situasi yang merintangi goal (Dollard, Doob, Miller, Mower; & Sears dalam Baron et al., 2006).

Roseinzweig (dalam Kellen, 2009) mengatakan bahwa reaksi seseorang kepada

situasi frustrasi bisa favorable atau tidak favorable berdasarkan toleransi frustrasi seseorang. Kellen (2009) mengatakan bahwa memiliki toleransi frustasi yang rendah seringkali merupakan faktor yang dapat menciptakan kemarahan dan kekerasan.

3. Moodyang sering berubah-ubah

Orang dengan tipe ini biasanya kelihatan tenang dalam beberapa menit, dan tiba-tiba berperilaku agresif kemudian (Adetunji, 2008).

4. Mudah marah

Cenderung mengekspresikan ketakutan atau kecemasan sebagai kemarahan, atau menolak untuk mendiskusikan perasaan mereka, dan kemudian menunjukkan kemarahan mereka yang meledak–ledak.

(15)

5. Kecemburuan yang berlebihan

Kecemburuan terjadi dengan pihak ketiga dalam hubungan, dimana pihak yang cemburu merasa bahwa pasangan mereka membina hubungan dengan oranglain. Seseorang yang pencemburu menunjukkan ekspresi cemburu mereka, seperti kemarahan maupun kekerasan fisik (Peppermint, 2006).

6. Terlalu posesif

Posesif merupakan perasaan takut akan kehilangan seseorang (Hendrick & Hendrick dalam Baron, Byrne & Branscombe 2006). Perasaan ini membuat pasangan mereka ingin mengontrol segala sesuatu mengenai pasangannya, dan tidak jarang kontrol yang dilakukan terlalu berlebihan dan mengekang pasangannya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa delapan faktor yang mempengaruhi dating violence pada remaja adalah faktor individual, sejarah kekerasan dalam keluarga, penerimaan teman sebaya, harapan peran gender, penggunaan obat-obatan, gangguan kepribadian, faktor dalam hubungan, dan faktor komunitas. Faktor individual yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kekerasan terhadap pasangannya adalah usia yang muda, berada pada level ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah, serta seseorang yang sering mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, mengalami

emotionally dependent, insecure dan rendahnya self esteem. Semakin banyaknya

konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan meningkatkan terjadinya dating violence.

(16)

B. Child Abuse

1. Pengertian child abuse

Pada awalnya terminologi tindak kekerasan pada anak atau child abuse berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologis Caffey (dalam Tower, 2003) menyebutkan kasus ini dengan Caffey Syndrome. Hendry (dalam Fitri, 2008) menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain. Selain

Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan

yang dialami oleh anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan emosi anak, dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai , eksploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles dalam Fitri, 2008).

Papalia (2004) menyatakan bahwa child maltreatment atau lebih dikenal dengan child abuse merupakan tindakan yang disengaja dan membahayakan anak baik yang dilakukan oleh orangtua atau oranglain. Penganiayaan sendiri terdiri dari beberapa bentuk. Abuse mengarah pada tindakan yang mengakibatkan kerusakan, dan

neglect merupakan tidak adanya tindakan atau pengabaian pengasuhan yang dapat

mengakibatkan kerusakan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat

(17)

penderitaan pada anak meliputi penelantaran , penganiayaan, eksploitasi seksual dan ekonomi yang dilakukan oleh orangtua atau pengasuh lain.

2. Bentuk-bentuk child abuse

Terdapat empat bentuk child abuse yakni kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional dan pengabaian(Tower, 2003).

1. Kekerasan fisik: kekerasan yang menyebabkan luka-luka diseluruh tubuh melalui pukulan, gigitan, tendangan, dan pembakaran.

2. Kekerasan seksual: Aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang lain.

Menurut child abuse prevention act (dalam Tower, 2003) kekerasan seksual meliputi:

i. Mempekerjakan, menggunakan, membujuk, merangsang, mengajak, atau memaksa anak untuk ikut dalam perilaku seksual secara nyata (atau berupa rangsangan perilaku) untuk tujuan menghasilkan gambaran visual dari perilaku tersebut.

ii. Pemerkosaan, penganiayaan, prostitusi, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual pada anak, ataupun incest pada anak dibawah kondisi yang mengindikasikan bahwa kesehatan atau kesejahteraan anak dirugikan atau terancan oleh hal-hal tersebut.

3. Kekerasan emosional

Meliputi tindakan kejam atau pengabaian yang menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, emosional atau mental (Papalia, 2004). Garbarino, dan kolega

(18)

(dalam Tower, 2003) memisahkan kekerasan emosional dalam dua bagian, yaitu kekerasan secara emosional/psikologis (meliputi serangan verbal atau emotional, ancaman membahayakan, atau kurungan tertutup) dan pengabaian secara emosional/psikologis (meliputi pengasuhan yang tidak cukup, kurang kasih sayang, menolak memberikan perawatan yang cukup, atau dengan sengaja memberikan perilaku maladaptive seperti kejahatan atau penggunaan obat-obatan).

Tower (2003) mengemukan bahwa kekerasan secara psikologis merupakan perilaku merusak yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai ataupun berkurang esensinya, dan dapat memperngaruhi kemampuan atau proses mental anak yang meliputi intelegensi ingatan, pengenalan, persepsi, perhatian, bahasa, dan perkembangan moral. Sedangkan kekerasan emosional merupakan respon emosional yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai terhadap ekspresi emosi anak dan beriringan dengan perilaku ekspresif.

4. Pengabaian

Depanfilis dan koleganya (dalam Tower, 2003) menyebutkan bahwa pengabaian sebagai tindakan kelalaian yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni pengabaian secara fisik, pengabaian secara pendidikan dan pengabaian emosional. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat bentuk

child abuse yang terdiri dari kekerasan yang menyebabkan luka-luka diseluruh tubuh

(19)

seksual), tindakan kekerasan yang menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan mental(kekerasan emosional), dan tindakan kelalaian (pengabaian).

C. Gambaran Perilaku Dating Violence pada Remaja yang Pernah Mengalami Child Abuse

Hubungan romantis sering juga disebut dengan pacaran. Individu ini juga tidak ingin dipisahkan dengan orang yang disukai oleh mereka (Aron, Paris, & Aron dalam Fiske, 2008). Harapan individu untuk tidak dipisahkan dari orang tersebut akan membuat individu ingin mengekspresikan cinta atau rasa sukanya, dan akhirnya individu tersebut juga ingin memiliki ikatan yang disebut dengan pacaran atau dating (Connolly dkk dalam Furman, Mc Dunn & Young, 2005). Menurut Tucker (2004)

dating dimulai dari berkenalan, berteman dan kemudian pacaran. Pacaran atau dating

didefinisikan sebagai interaksi dyadic, termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit atau implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saat ini (Straus, 2004). Kasus-kasus yang sehubungan dengan kekerasan yang dilakukan oleh pacar disebut dengan dating violence.

Dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang

dilakukan kepada pasangan, sewaktu berkencan (Kelly 2006). National Teen Dating

Violence Awareness and Prevention Month mengatakan bahwa dating violence sering

(20)

termasuk penggunaan kata-kata dan tindakan-tindakan yang berbahaya. Meskipun secara terbatas dikonsepkan sebagai kekuatan fisik, dating violence sekarang lebih luas dikenal sebagai sebuah kontinum dari kekerasan dimana mulai dari kekerasan verbal dan emosional sampai pada perkosaan dan pembunuhan (Hickman et al, 2004). Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah. Misalnya adalah mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang menginginkan pacarnya, mau muntah melihat pacarnya, menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya, mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya, atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.

Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya (Murray, 2007). Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan, mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang tersembunyi, sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya). Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & Boney-McCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).

Kekerasan fisikadalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik (Murray, 2007). Tipe kekerasan ini dapat dilihat dan diidentifikasi. Perilaku ini

(21)

diantaranya adalah memukul, menampar, menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria terhadap wanita (Cantos, Neidig, & O’Leary, 1994; Cascardi, Langhinrichsen, & Vivian, 1992; Stets & Straus, dalam Heatrich & O`Learry, 2007).

Kelly (2006), menyebutkan bahwa dating violence merupakan masalah sosial yang signifikan dan dapat terjadi pada siapa saja, dengan usia, orientasi seksual, status sosioekonomi, serta lokasi tempat tinggal dimana saja. Selanjutnya Lewis & Fremouw (dalam Rathigan & Street, 2005) menyebutkan bahwa dating violence merupakan masalah yang signifikan bukan hanya karena akan membahayakan dari segi fisik tetapi juga mental; seperti dapat mengakibatkan luka, dan rendahnya self

esteem. Terlebih lagi dating violence sendiri bisa mengakibatkan kematian, dan jika

terjadi pada masa remaja, maka dating violence akan mengakibatkan terganggunya hubungan romantis dan pola interaksi yang akan terbawa ke masa dewasa.

Dampak dating violence tentu saja tidak hanya dialami oleh perempuan, karena laki-laki pun ada yang mengalami dating violence. Penelitian mengindikasikan bahwa dating violence mempengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda. Pada perempuan, menjadi korban kekerasan fisik atau seksual dihubungkan dengan resiko penggunaan obat-obatan, perilaku control berat badan yang tidak sehat, perilaku seksual yang berisiko, kehamilan dan bunuh diri. Penelitian mengindikasikan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan fisik oleh

(22)

pasangannya cenderung lebih menderita secara fisik dan emosional dibandingkan dengan kekerasan yang dialami laki-laki. Perempuan juga cenderung lebih sering menjadi korban dan mengalami dampak dari kekerasan ini termasuk luka-luka, trauma emosional, perempuan lebih sering dipukul atau dipaksa untuk beraktivitas seksual dan mereka merespon dengan menangis, melawan, melarikan diri atau mengabaikan pasangannya. Laki-laki lebih sering dicubit, ditampar, dicakar, atau ditendang, dan mereka lebih suka untuk melupakan dan menertawakan kekerasan tersebut (www.canada.justice.go.ca). Walaupun masih sedikit penelitian hal ini, pelaku juga mengalami dampak negatif dari perilaku mereka. Mereka berisiko untuk menghancurkan hubungannya, dipermalukan, ditolak secara personal dan disalahkan masyarakat. Mereka juga berisiko membahayakan hubungan dimasa depan (www.canada.justice.go .ca).

Menurut Billingham, Riggs & O’Leary (dalam Luthra & Gidycz, 2006) dating

violence lebih sering terjadi di hubungan yang lebih serius dan dalam durasi yang

cukup lama yaitu setiap pertambahan durasi 6 bulan, maka kekerasan dalam hubungan tersebut akan semakin meningkat. Beberapa wanita menjadi korban pada kencan pertama, tetapi sebagian besar menjadi korban setelah berpacaran dalam waktu yang lama (The National Clearinghouse on Family Violence, 1995). Pelaku

dating violence juga merupakan individu dengan pendidikan yang rendah (World

Report On Violence and Health, 2002).

World Report On Violence And Health (1999) mengindikasikan faktor-faktor

(23)

alkohol, gangguan kepribadian, faktor dalam hubungan, faktor komunitas, sejarah kekerasan dalam keluarga. Pengaruh keluarga sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah-masalah emosional yang kurang diperhatikan oleh orangtua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan dimasa yang akan datang. Misalnya sikap kejam orangtua, berbagai macam penolakan dari orangtua terhadap keberadaan anak, dan juga sikap disiplin yang diajarkan secara berlebihan. Hal-hal semacam ini akan berpengaruh pada model peran yang dianut oleh anak tersebut pada masa remajanya. Bila model peran yang dipelajari pada masa kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standar, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran ini pun akan muncul.

(24)

Paradigma Penelitian Sejarah Kekerasan dalam Keluarga Child Abuse Pengabaian Kekerasan Emosional Kekerasan Fisik Kekerasan Seksual Masalah kognitif Masalah perilaku,

sosial, dan emosional

Masalah dalam jangka panjang Dating Violence (kekerasan dalam Pacaran) Kekerasan Fisik Kekerasan Seksual Kekerasan Verbal dan Emotional

Referensi

Dokumen terkait

Adapun pengertian penempatan menurut Suwatno (2003:138) mendefinisikan bahwa Penempatan karyawan adalah untuk menempatkan karyawan sebagai unsur pelaksana pekerjaan pada

Pada kasus ini, pasien mengalami mual dan muntah, pasien diberikan antiemetik untuk mengatasi terjadinya mual dan muntah, menurut guideline terapi untuk menangani mual

Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui kesantunan negative yang terdapat dalam film How to Train Your dragon (2) untuk mengetahui teknik penerjemahan yang digunakan

Pada sisi yang lain, globalisasi di bidang kultur, politik, ekonomi, pengetahuan---meskipun fenomena ini tidak bisa diidentikkan dengan imperialisme atau bentuk

Terjadinya penurunan material mudah larut pada proses pengeringan dan diikuti dengan peningkatan bahan tidak terlarut tetapi berpotensi untuk difermentasi, dan penurunan

Demikian pula di Cirebon, pen- garuh masyarakat pesisir Cirebon yang kemudian banyak melahirkan para ula- ma dan kyai, yang pada hal tertentu berkolaborasi dengan masyarakat

Masalah yang masih ada terdapat pada faux chenille yang masih belum awam di mata pengrajin sepatu, sehingga pengrajin masih butuh waktu untuk lebih paham dan

Tingkat kepuasan informasi pada mahasiswa Telkom University angkatan 2017/2018 dalam penggunaan situs igracias.telkomuniversity.ac.id dengan skor rata-rata 3.0173 dan