• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUDAYAAN MASYARAKAT KOTA SEMARANG. Oleh : AHMAD SAUQIE WASIL HAFIDHI NIM : KELAS : F MATA KULIAH : SOSIOLOGI PEDESAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBUDAYAAN MASYARAKAT KOTA SEMARANG. Oleh : AHMAD SAUQIE WASIL HAFIDHI NIM : KELAS : F MATA KULIAH : SOSIOLOGI PEDESAAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEBUDAYAAN MASYARAKAT KOTA SEMARANG Oleh :

AHMAD SAUQIE WASIL HAFIDHI NIM : 161510501014

KELAS : F

MATA KULIAH : SOSIOLOGI PEDESAAN

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI UNIVERSITAS JEMBER

(2)

BAB1. LATAR BELAKANG

Di Indonesia, terdapat beragam suku bangsa. Keberagaman tersebut menciptakan kebudayaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, yang kemudian dikenal dengan nama kebudayaan lokal yang kemudian menyatu menjadi kebudayaan nasional.Keragaman budaya yang dimiliki menjadikan Indonesia salah satu pusat tujuan wisata masyarakat dunia. Hal tersebut didukung oleh suasana dan kondisi alam serta masyarakat penghuninya yang memilki budaya dengan karakteristik yang unik dan beraneka ragam antara pulau yang satu dengan yang lainnya.

Masyarakat pada dasarnya sangat menjunjung tinggi kebudayaan lokal sebagai sebuah warisan budaya dari para leluhur. Namun, tak jarang budaya lokal semakin tergerus karena generasi muda yang seharusnya menjadi pewaris lebih condong terhadapat budaya-budaya asing baru yang mereka ikuti sebagai tren masa kini. Kebudayaan lokal dengan beragam keunikan dan ciri khas yang ada sebenarnya memiliki pesona yang sangat kuat tersebar di berbagai wilayah tak terkecuali kota Semarang.

Semarang merupakan ibukota Jawa Tengah, dengan demikian adat istiadat, bahasa maupun budaya Jawa sangat kental di kota ini. Meskipun memiliki budaya Jawa, banyak dari warganya yang juga keturunan etnis Tionghoa. Tak bisa dipungkiri bahwa budaya Tionghoa pun ikut berperan di Semarang. Ini terlihat dari berbagai elemen kehidupan di Semarang, mulai dari bangunan sampai dengan kuliner atau makanan. Di Semarang berkembang beberapa suku seperti Jawa, Tionghua dan Arab, serta memiliki budaya yang menarik yang merupakan perpaduan budaya-budaya. Merujuk pada bangunan sejarah dan nama-nama tempat di kota Semarang, maka kebudayaan yang pada saat lalu berkembang seperti Islam, Tionghua, Eropa dan Jawa (pribumi). Dalam tugas ini saya akan menjelaskan apa saja kebudayaan masyarakat kota Semarang .

(3)

BAB 2. PEMBAHASAN

Masyarakat yang ada di Kota Semarang termasuk masyarakat yang religius. Di mana setiap individu memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini tidak lepas dari sejarah kota Semarang yang merupakan salah satu kota yang menjadi obyek persinggahan dan penyebaran agama, terutama agama Islam yang mayoritas penduduk kota Semarang beragama Islam.

Dalam kehidupan beragama, masyarakat Semarang juga memiliki ritual-ritual khas keagamaan yang dilaksanakan sebagai tradisi masyarakat. Selain ritual-ritual ibadah yang telah diwajibkan agama masing-masing. Ritual tersebut yang mentradisi dilakukan secara kolektif oleh masyarakat secara turun-menurun dengan tata cara tertentu. Dalam proses tersebut terjadi akulturasi antara nilai-nilai agama yang dianut dengan budaya etnik tertentu, bahkan ada yang merupakan akulturasi multikultural. Terlebih dalam sejarahnya Semarang menjadi kota banyak disinggahi dari berbagai etnis pendatang dari berbagai negara.

Keberagaman penduduk tersebut juga membuat keberagaman kebudayaan. Setiap warga Semarang mempunyai kebudayaannya sendiri-sendiri berdasarkan negara asalnya. Namun seiring berjalannya zaman terjadi sebuah pembauran secara kultur. Seolah tidak ada batas antara kelompok masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Sehingga jadi sebuah masyarakat yang multikultul dan multietnis. Tradisi dan budaya di Semarang terlihat lebih cantik karena unsur Jawa Oriental yang begitu kental. Ada berbagai kebudayaan masyarakat Semarang antara lain :

1. MANTENAN

Setiap daerah mempunyai tradisi masing-masing. Begitu juga dengan kota Semarang. Salah satunya adalah tradisi Manten Semarangan. Pengantin (mantenan) Semarang asli merupakan budaya tradisional yang harus dilestarikan

(4)

keberadaannya.Pengantin Semarangan mempunyai pakaian khas untuk masing-masing mempelai. Pengantin wanita memakai pakaian jawa biru gelap dengan kancing emas dan berkerah Shanghai. Pengantin wanita juga memakai sarung tangan dan kaus kaki dengan sepatu yang berwarna sama dengan pakaiannya. Rambut pada mempelai wanita memakai aksesoris berupa mahkota, beberapa cunduk mentul dengan garis emas, hitam, dan perak. Ada pulaperhiasan di telinga ditambah di dekatkannya dipasang untaian melati dan cempaka kuning.

Pengantin pria berpakaian jubah sepanjang lutut dengan pakaian luarnya terbuat dari bludru biru gelap. Kepalanya memakai sorban dan di sisi dipasang untaian melati, cempaka kuning, mawar, dan magnolia.Pada pinggang dikenakan ikat pinggang berwarna kuning dan selempang dipasang dari bahu kanan ke pinggang kiri. Dilengkapi pula dengan sarung tangan putih dan sandal selop.

Prosesi mantenan Semarangan, sang penganten putri ditandu di atas Joli dengan gelang emas serenteng, kalung dan giwang gemerlap serta pilis emas di dahinya. Sang penganten putra dengan gagah menunggang seekor kuda, lengkap dengan pedang terselip di pinggang mengiringi sang penganten putri.

2. DUGDERAN

Kata WARAK berasal dari bahasa arab “Wara’i” yang berarti suci dan NGENDOG yang artinya bertelur disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Secara harfiah, Warak Ngendog bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan, kelak di akhir bulan akan mendapatkan pahala di Hari lebaran. Ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog ini mengandung arti filosofis

(5)

tersendiri. Bentuk lurus tersebut menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, lurus dan berbicara apa adanya. Tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan. Selain itu Warak Ngendog juga mewakili akulturasi budaya dari keragaman etnis yang ada di Kota Semarang. Pada setiap bulan puasa tiba Warak Ngendog mudah dijumpai dalam bentuk mainan khas Kota Semarang yang muncul sekali dan hanya hadir di perayaan tradisi Dugderan. Mainan ini berwujud makhluk rekaan yang merupakan gabungan dari beberapa binatang yang merupakan simbol persatuan dari berbagai golongan etnis warga kota Semarang, yaitu Cina, Arab dan Jawa. Kepalanya menyerupai kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya menyerupai kaki kambing (Jawa). Munculnya tradisi “Dugderan” yang tetap dilestarikan hingga sekarang. Dimulai pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat pada tahun 1891 guna menandai dimulainya bulan suci Ramadhan, diselenggarakan upacara dengan membunyikan suara bedug (Dug-dug-dug) dan dentuman suara meriam (Der).Dalam keramaian tersebut dimeriahkan juga dengan mainan anak-anak yang disebut dengan “Warak Ngendog”. Maka tradisi ini tetap dilestarikan hingga sekarang dan menjadi ciri khas budaya Kota Semarang menjelang datangnya bulan puasa bagi umat Islam. Dugderan sejak pertama digelar, digunakan sebagai sarana informasi Pemerintah Semarang kepada masyarakatnya tentang datangnya bulan Ramadan. Karena itu, Dugderan biasanya dilaksanakan tepat 1 hari sebelum bulan puasa. Sedangkan kata Dugder, berasal dari perpaduan bunyi dugdug, dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian diasumsikan dengan derr.

Kemeriahan dugderan tidak hanya saat karnaval, namun juga meliputi pasar rakyat yang digelar sepekan sebelum dugderan. Karnaval merupakan puncak kemeriahan Dugderan, karnaval ini biasanya diikuti oleh pasukan merah putih, drumband, pasukan pakaian adat, meriam, warak ngendok dan berbagai kesenian yang ada di Kota Semarang.

(6)

3. NYADRAN

Menyambut datangnya bulan suci Ramadan, warga Semarang melakukan ritual Nyadran sejak memasuki bulan Ruwah. Nyadran adalah ziarah kubur. Mereka mendoakan arwah leluhur. Pemakaman di Semarang setiap harinya didatangi banyak keluarga untuk mendoakan kerabat mereka yang telah meninggal dunia.

Acara Nyadran itu ada yang dilaksanakan secara pribadi, ada pula yang dilakukan secara serempak satu dusun. Ini seperti yang dilakukan warga Dusun Pucung, Kelurahan Pudak Payung, Semarang, Jumat (27/6) pagi. Ratusan orang datang ke kawasan Sendhang Gedhe—mata air di dusun itu—untuk berdoa bersama yang diakhiri pesta makan bersama."Ini bentuk pelestarian budaya untuk mengirim doa kepada arwah leluhur. Di sisi lain, kami membersihkan mata air di sini sebagai wujud memelihara alam. Di sini ada harmoni kehidupan," kata Poerwa Kasmanto, Lurah Pudak Payung.

Sementara itu, sesepuh warga Atmorejo mengajak semua warga untuk selalu mengingat leluhur mereka. Warga di sana percaya bahwa cikal bakal desa itu adalah Kiai dan Nyai Tayem yang dimakamkan di pemakaman di dekat sendang itu. Dari sisi antropologi, Kiai dan Nyai Tayem adalah sosok pahlawan kebudayaan (culture hero). Orang Jawa kemudian menyebutnya sebagai danyang. Sosok danyang itu dipercaya selalu mengikuti kehidupan perkembangan desa yang pernah dikembangkannya.

Nyandran berasal dari kata sraddha, nyraddha, nyraddhan, akhirnya luruh menjadi nyadran. Dari buku Kalangwan karya PJ Zoetmulder, pakar bahasa Jawa

(7)

dan juga kebudayaan Jawa, upacara Sraddha di Jawa terlacak dilakukan sejak zaman Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, sekitar tahun 1350 Masehi. Sraddha kala itu untuk memperingati wafatnya ratu Majapahit Tribhuwana Tungga Dewi.

Seiring masuknya pengaruh Islam ditandai runtuhnya dinasti Majapahit dan berganti Kerajaan Demak, ritual itu tetap ada. Namun, kini Nyadran tidak hanya untuk raja, tetapi untuk arwah leluhur masing-masing keluarga dengan napas islami. Nyadran di Jawa juga ada sebutan lain, mulai dari ziarah kubur, besik, punggahan, dan ruwahan. Maknanya tetap sama, yakni mendoakan arwah leluhur.

4. POPOKAN

Sendang adalah merupakan sebuah desa di kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Terkenal dengan budayanya yaitu "popokan" sebuah upacara adat lempar lumpur yang diperingati pada bulan agustus tepatnya hari jumat kliwon. Upacara ini sudah turun temurun sejak terbentuknya desa sendang. Upacara ini diawali dengan pembersihan mata air atau sendang itu sendiri, selanjutnya setelah sholat jumat warga membawa "ambeng" atau makanan dan jajan pasar ke rumah bayan (pengurus kampung) untuk acara selamatan. Setelah itu warga menuju perbatasan untuk mengadakan acara arak arakan, dalam acara ini terdapat kesenian dari desa sendang itu sendiri yaitu reog atau jatilan, noknik (pagelaran wayang orang), serta penampilan dari kreasi warga tiap RT nya.Dibarisan depan terdapat macan persembahan. Setibanya arak rakan ini di tempat popokan maka modin (pemuka agama) membacakan doa selanjutnya di

(8)

ikuti perebutan persembahan oleh warga. Setelah itu acara popokan dilaksanakan, warga saling melempar lumpur namun tidak ada emosi disini mereka melaksanakan dengan suka cita, demikian juga penontonya jika terkena lemparan tidak boleh marah karena kata orang dulu orang yang terkena lemparan lumpur maka niscaya mendapat berkah.

Tradisi popokan sendiri berjalan sudah lama. Tradisi ini bermula ketika ada gangguan dari seekor macan yang mengancam warga, merusak tananaman dan meneror warga desa sendang. Namun diusir memakai senjata macan tidak mau pergi warga sempat takut dibuatnya, setelah itu ada seorang pemuka adat yang menyarankan agar macan tersebut diusir menggunakan tanah atau lumpur sawah dan yang terjadi macanpun pergi warga dengan suka cita merayakanya dengan lempar lumpur yang sekarang menjadi tradisi dan identitas wazrga desa sendang. Popokan sendiri bermakna pembersihan diri atau bisa diartikan menghilangkan kejahatan/keburukan tidak harus dengan kekerasan, namun dengan rendah diri dan taat pada ALLAH SWT maka niscaya semua itu bisa dilawan.

5. MAGENGAN

Megengan berasal dari kata megeng yang artinya menahan. Tidak hanya menahan nafsu makan dan minum , tetapi juga menahan dari segala nafsu , seperti amarah dan juga hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Maksud sebenarnya dari Megengan adalah bahwa sebentar lagi mau memasuki bulan suci Ramadhan karena di bulan tersebut umat muslim berkewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Megengan biasanya dilakukan

(9)

menjelang minggu terakhir di bulan Sya’ban. Menurut ceritanya, Tradisi Megengan ini diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pada saat penyebaran agama Islam dalam acara Megengan biasanya ada acara mendoakan para sesepuh yang telah wafat. Selain itu dalam tradisi Megengan juga diisi dengan acara syukuran dengan membagi-bagikan makanan terutama kue apem. Kue apem ini sebenarnya adalah ungkapan permintaan maaf secara tidak langsung , misalnya kepada tetangga, saudara-saudara dan orang di sekitar . Karena apem ini berasal dari kata afum yang artinya adalah meminta maaf dan memberi maaf. Dan menurut ceritanya karena dalam masyarakat Jawa tidak mengenal huruf „F“, maka kata Afwun berubah menjadi Apwun, lalu menjadi apwum , kemudian apwem dan akhirnya menjadi apem. Pendengar, biasanya masyarakat di Jawa Timur ini selain membagikan kue apem juga membagikan pisang raja. Menurut ceritanya, kue apem dan pisang raja ini apabila disatukan akan menjadi payung. Payung melambangkan perlindungan dari segala cobaan selama menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Dilihat dari bahan dasarnya, kue apem melambangkan kebersihan dan kesucian, karena bahan dasarnya adalah beras putih. Warna putih melambangkan kesucian. Kemudian santan, merupakan sari buah kelapa yang juga mempunyai arti “Santen” sebagai akronim dari kata Jawa Sagetho Nyuwun Pangapunten yang berarti permohonan maaf. Sedangkan gula dan garam melambangkan perasaan hati. Sehingga apabila semua bahan-bahan itu dijadikan satu maka mempunyai makna simbolis, yaitu kesucian dan ketulusan perasaan hati manusia. Jadi secara simbolis , makan kue apem bisa diartikan memohon maaf kepada keluarga, sanak saudara dan teman. Dan setelah makan kue apem ini , biasanya orang-orang saling bersalaman saling meminta maaf dan kemudian membaca doa.

(10)

BAB 3. KESIMPULAN

Kota Semarang memiliki banyak budaya diantaranya mantenan, dugderan, nyandran, popokan, magengan. Dalam hal ini kota Semarang di kenal sebagai kota dengan penduduk berbagai etnis yang membuat kebudayaan masyarakatnya menjadi lebih bervariasi. Kebudayaan yang ada harus terus di lestarikan karena hal tersebut dapat menjadi sesuatu yang unik, dapat menarik perhatian dari berbagai masyarakat. Dengan kebudayaan yang terus ada tidak akan memungkinkan kebudayaan tersebut punah dan hilang sehingga dapat di nikmati oleh anak anak bangsa nantinya. Kebudayaan bukan untuk di lihat saja tetapi harus di turunkan ke generasi berikutnya.

(11)

BAB 4. DAFTAR PUSTAKA

http://maryzaintan.blogspot.co.id/2015/02/adat-istiadat-tradisi-masyarakat.html http://jurnal.elsaonline.com/?p=75

http://hellosemarang.com/dugderan-tradisi-unik-sambut-ramadan-di-semarang/ http://isdzackalutfim.blogspot.co.id/

Referensi

Dokumen terkait

Terbukanya peluang bagi semua warga negara untuk mendaftarkan diri sebagai calon kandidat yang akan diusung oleh JOINT menggambarkan inklusifitas JOINT dalam

Pencapaian hasil pelayanan Satlantas Polresta Pekanbaru didasarkan sejauh mana kinerja pegawai Satlantas Polresta Pekanbaru dalam memberikan pelayanan terhadap

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan volume pengembangan sebesar 60% pada suhu 95°C, penurunan suhu pembentukan pasta dari 80-85°C menjadi

Seperti halnya obat yang diberikan secara intranasal adalah untuk efek lokal seperti obat tetes hidung atau dalam bentuk spray yang biasa digunakan penderita untuk

[r]

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi nyata antara perlakuan konsentrasi dan macam Sitokinin pada semua parameter yang diamati.. Pemberian Sitokinin

Kecamatan Dagangan juga mempunyai nilai c-organik yang sangat rendah sehingga untuk meningkatkan KTK perlu peningkatan bahan organik tanah dengan cara pemberian

Pada penelitian ini yang dibicarakan adalah operator kompak dari suatu ruang Hilbert separabel ke ruang Hilbert separabel yang lain.. Barisan terbatas pada ruang