PENDEKATAN PERILAKU TERHADAP
LINGKUNGAN SEKOLAH LUAR BIASA
DI JAKARTA
Sesti Mayasari, Nina Nurdiani, Ren Katili
Jurusan Arsitektur Universitas Bina NusantaraJl K H.Syahdan No.9 Jakarta Barat 11480 Email: Tungayang@hotmail.com
Abstract
Every citizen has an equal right to education including those with visual impairments. Exceptional education provided to citizens who have physical or mental disorder that can later be re-socialize into normal society. Behavior very important role in the architecture of this school to know the needs of students so that buildings are designed to support students' independence. This study is a qualitative research. In general, descriptive research with qualitative analysis that aims to determine how the buildings and facilities that can support students' independence. The results showed that the theory of the ADA (American Disability Act) as a guide in the design of a special school for the blind focus on aksesbility, audibility, interaction, olfactory, safety, security, tangible, sight.
Keywords : Education, Special School, The Blind Students
Abstrak
Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan termasuk para penyandang tunanetra. Pendidikan luar biasa diberikan kepada warga negara yang memiliki kelainan fisik ataupun kelainan mental agar nantinya bisa kembali bersosialisasi ke masyarakat secara normal. Peran Arsitektur Perilaku sangat penting di sekolah ini untuk mengetahui kebutuhan siswa agar bangunan yang dirancang dapat mendukung kemandirian siswa. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada umumnya penelitian dengan analisis kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana bangunan dan fasilitas yang dapat mendukung kemandirian siswa. Hasil penelitian menunjukan bahwa teori ADA (American Disability Act) menjadi panduan dalam perancangan sekolah luar biasa untuk tunanetra yang fokus pada aksesbility, audibility, interaction, olfactory, safety, security, tangible, sight.
PENDAHULUAN
Latar belakang dari penelitian ini adalah pendidikan dan kemanusiaan adalah dua hal yang saling berkaitan, pendidikan selalu berhubungan dengan tema-tema kemanusiaan. Khusus bagi para penyandang cacat disebutkan dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 2 bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Pendidikan khusus yang dimaksud adalah pendidikan luar biasa.
Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik), Jakarta mempunyai 8.690 orang penyandang disabilitas dan diantaranya terdapat 1.071 orang penyandang tunanetra, dari jumlah tersebut 488 orang di antaranya merupakan kelompok anak berusia sekolah dari umur 6 – 19 tahun.
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta sendiri memiliki 93 sekolah luar biasa yang diantaranya terdapat 2 sekolah untuk tunanetra dan 91 sekolah untuk sekolah penyandang cacat lainya seperti yang tertera pada table 1.
Data dibawah menyebutkan bahwa sekolah untuk tunanetra atau SLB-A menjadi jumlah yang paling sedikit dengan memiliki jumlah penyandang cacat netra terbanyak dibanding dengan penyandang cacat lainnya. Berdasarkan survei pada sekolah SLB-A Pembina Jakarta dan Studi Literatur pada SLB-A Elsafan masing-masing sekolah tersebut hanya tersedia sekitar 40 kelas yang merupakan gabungan dari SDLB, SMPLB, SMALB dan masing-masing kelasnya hanya dapat menampung rata-rata 3 siswa. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah proses belajar mengajar siswa yang mengalami keterbatasan dalam menerima pelajaran. Dari data tersebut dapat di asumsikan 240 siswa yang tertampung dari 488 anak tunanetra usia sekolah dan terdapat 248 anak lainnya yang tidak dapat tertampung oleh pihak sekolah karena keterbatasannya jumlah ruangan. Dengan begitu dapat di ambil kesimpulan bahwa hanya setengah jumlah anak penyandang tunanetra yang dapat tertampung oleh sekolah di Jakarta. Oleh karena itu pembangunan sekolah perlu dilakukan guna untuk menampung anak-anak yang tidak tertampung dan tidak mendapatkan pendidikan.
Tabel 1 Jumlah Sekolah Menurut Ketunaan di Beberapa Provinsi No. Provinsi Tuna
Netra A Tuna Rungu B Tuna Grahita C Tuna Daksa D Tuna Laras E Tuna Ganda G Camp uran Jml 1 DKI Jakarta 2 11 35 - 1 5 38 93 2 Jawa Barat 13 25 56 - - 69 163 326 3 Banten - 2 3 35 2 2 17 37 4 Jawa Tengah 6 21 35 2 2 33 62 164 5. DI Yogyaka rta 2 4 8 - 1 11 - 65 6 Jawa Timur 11 49 88 5 5 102 175 438 Sumber: Depdikbud 2010/2011
Dengan pendidikan yang rendah dan ketiadaan keterampilan, membuat mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan sehingga bermunculan fenomena yang sering kita lihat disekitar seperti tunanetra menjadi tukang kerupuk, pengamen, bahkan sampai pengemis. Adapun usaha penanganan yang dilakukan oleh pemerintah untuk pemenuhan akan adanya fasilitas khusus bagi penyandang tunanetra yaitu dalam bentuk memperbanyak Sekolah Luar Biasa Bagian A yang juga menerima siswa double handicap.
Uraian yang sudah dijelaskan menghasilkan rumusan permasalahan yang diangkat menjadi bahan penelitian, yaitu bagaimana memberikan tempat dan fasilitas yang dapat melatih kemandirian siswa tunanetra dalam melakukan kegiatannya sendiri?
Adapun tujuan dari penelitian adalah memfasilitasi pendidikan khusus kepada siswa tunanetra, seperti ruang- ruang yang responsif terhadap kegiatan yang akan ditampung, serta karakter dan perilaku penyandang tunanetra dengan lengkap, nyaman, dan aman, guna pencapaian pendidikan khusus yang berkualitas, sekaligus dapat mendukung mereka menjadi lebih mandiri dan aktif, dengan indera lain yang mereka miliki.
Tinjauan pustaka merupakan hasil rangkuman beberapa penelitian atau artikel yang telah ada yang berkenaan dengan sekolah untuk anak yang berkebutuhan khusus.
Ann Heylighen tahun 2011 dalam artikelnya mengenai “Haptic design research” menyatakan berdasarkan perilaku tunanetra yang sangat mengandalkan indra perabanya kualitas haptic dalam lingkungan binaan berhubungan dengan permukaan, karakteristik bentuk dan material pada permukaan furniture sangat membantu untuk menunjukan arah ruangan yang ingin dituju.
Fidear Morina Puspitasari tahun 2010 dalam artikelnya mengenai “Karakteristik Lingkungan Fisik sebagai Pendukung Mobilitas Siswa Tunanetra di Lingkungan Sekolah Luar Biasa” menyatakan berdasarkan perilaku tunanetra dalam melakukan perpindahan fisik konsep informasi menjadi alat bantunya. Indera selain penglihatan sangat diandalkan untuk mendapatkan informasi mengenai lingkungan fisik di sekitarnya seperti elemen non-taktual antara lain: suara lonceng angin, suara air dari kolam pancuran air, dan aroma bunga.
Nina Karina Marpaung tahun 2009 dalam artikelnya “Peranan Orientasi Ruang Sekolah Menengah Tunanetra Bandung” menyatakan bahwa orientasi ruangan yang sederhana dan tidak banyak cabang pada jalan dapat membantu dalam bermobilisasi menuju ruang luar tapak maupun ke ruang dalam bangunan.
METODE PENELITIAN
Sebelum penelitian dilakukan menurut Moleong (1991:236) sudah disiapkan rancangan penelitian dengan cakupan komponen-komponen yang diperlukan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada umumnya penelitian dengan analisis kualitatif dikatagorikan sebagai penelitian deskriptif. Sumber data yang di dapatkan dapat dibagi menjadi dua bagian seperti data primer dan data sekunder. Data primer peneliti adalah kebutuhan ruang yang dibutuhkan oleh siswa maupun guru tunanetra dalam menunjang proses pendidikan dan aktifitas yang dilakukan didalam sekolah tersebut, peneliti datang dan mengikuti proses pembelajaran anak TKLB-A dan SMPLB-A Pembina Jakarta, Lebak Bulus. Dari mulai belajar hingga mengikuti kegiatan Ekstrakulikuler selama beberapa hari sehingga dapat mengetahui bagaimana karakteristik, pola perilaku yang dilalukan dalam lingkungan sekolah, fasilitas yang dibutuhkan. Hal tersebut dilakukaan melalui proses pengamatan dan wawancara terhadap siswa dan guru di sekolah tersebut.
Adapun sumber data sekunder adalah literatur antara lain dapat berupa jurnal atau hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai perilaku siswa tunanetra dan sekolah luar biasa tunanetra, gambar arsitektur yang terdapat pada website sekolah sebagai landasan studi banding, peraturan daerah tentang bangun-bangunan, perundang-undangan, dan referensi lainnya yang mendukung maksud penelitian mengenai pengertian dan pola perilaku siswa berkebutuhan khusus tunanetra.
Teknis analisis data yang dipergunakan adalah analisis diskriptif kualitatif yang sudah dilakukan sejak pengumpulan data dimulai. Kumpulan data tersebar berupa catatan hasil pengamatan kegiatan yang dilakukan di lingkungan SLB-A, wawancara degan Penghuni Sekolah, foto fasilitas yang diberikan oleh sekolah, artikel mengenai SLB-A dan Pola Perilaku Siswa Tunanetra dan sebagainya. Selanjutnya data yang terkumpul tersebut diatur, diurut, dikelompokkan, diberi kode, dan dikatagorikan. Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut bertujuan menemukan tema yang akhirnya diangkat menjadi teori yang akan diterapkan pada proses desain.
Penyajian hasil analisis data menggunakan teknik gabungan antara informal dan formal. Teknik penyajian informal adalah penyajian hasil analisis dengan cara naratif, sedangkan teknik penyajian formal adalah penyajian hasil analisis dalam bentuk foto, gambar, bagan, peta, dan tabel. Pemuatan foto, gambar, bagan, peta, dan tabel sebagai teknik penyajian formal diperlukan untuk memperkuat
deskripsi atau narasi dari sajian informal atau sebaliknya. Dominasi dari penyajian hasil analisis data penelitian ini adalah melalui teknik informal.
HASIL DAN BAHASAN
Karakteristik ruang pada SLB A Pembina Jakarta, SLB-A Karya Murni, dan Mexico School for The Blind dianalisa berdasarkan teori yang mengacu pada ADA (American Disability Act). Teori yang membahas kriteria bangunan sekolah tunanetra agar dapat membantu siswa dalam melakukan aktifitasnya seperti yang akan dijelaskan dibawah ini.
Accessibility
Accessbility atau aksesbilitas adalah kriteria yang membahas tentang kemudahan pencapaian terhadap
suatu lokasi. Di area koridor sekitar kelas SLB-A Pembina Jakarta tersedia lantai pemandu jalan dan perbedaan tekstur pada lantai untuk membedakan pinggir koridor, hal tersebut berguna untuk menentukan arah yang ingin dituju, tidak tersedianya handrailing dikoridor tersebut dapat membahayakan siswa melakukan aktifitas di area koridor yang memiliki perbedaan level yang cukup tinggi dengan taman didepannya. Untuk mengakses perbedaan level dari jalan menuju sekolah yang cukup tinggi tidak ditemukannya ram, akses dibuat dengan menggunakan tangga sehingga mempersulit mereka yang mempunyai kemampuan dalam keterbatasan fisik selain tidak dapat melihat seperti tidak bisa berjalan.
Tidak adanya lantai pemandu dan handrailing pada SLB-A Karya Murni untuk mempermudah atau membantu siswa menemukan arah yang dituju sehingga siswa menjadikan kolom disekitar untuk menentukan arah hal tersebut dapat melatih siswa mengeksplorasi ruang dengan tidak dibuatnya
pathway secara langsung. Tidak tersedianya ramp pada sekolah ini untuk mengakses perbedaan level
dari gedung ke gedung sehingga siswa sering tersandung perbedaan level pada lantai.
Koridor pada Mexico School for The Blind tidak banyak menggunakan alat bantu seperti perbedaan tekstur pada lantai sebagai pathway membuat siswa dapat mandiri melakukan aktifitas tanpa bantuan disekelilingnya secara langsung, akan tetapi koridor yang didesain dengan menggunakan perbedaan jenis treatment pada dinding dapat dijadikan siswa sebagai alat bantu secara tidak langsung untuk mengenali jalan yang mereka lewati, hal tersebut dapat melatih siswa terbiasa bermobilitas di luar lingkungan sekolah.
Kesimpulannya dari aksesbilitas ketiga sekolah tersebut terdapat beberapa unsur yang dapat diterapkan pada lorong koridor sekolah yang akan dirancang seperti penerapan handrailing yang berbeda tekstur material pada dinding koridor berfungsi untuk siswa mudah mengenali fungsi tiap ruang. Selain handrailing terdapat pula pathway yang akan diterapkan, kegunaan pathway tersebut pada lantai koridor berfungsi untuk menginformasikan kepada siswa bahwa terdapat ruangan atau persimpangan yang dilewatinya.
Audibility
Audibility adalah kemampuan untuk mengontrol jenis suara yang mempengaruhi para pengguna
fasilitas yang dapat menciptakan sebuah pengalaman yang unik yang dapat membantu siswa bernavigasi. Kolam ikan di area taman pada sekolah SLB-A Pembina Jakarta yang dimaksudkan untuk siswa dapat mengetahui posisi mereka berada dengan memanfaatkan indera pendengaran, akan tetapi seiring berjalannya waktu kolam tersebut tidak dirawat dan akhirnya tidak terpakai. Ruang kelas yang berdekatan dengan entrance sekolah tanpa pembatas yang dapat meredam suara bising mempersulit guru menyampaikan pelajaran pada siswa yang sangat mengandalkan indra pendengarannya dalam menerima proses belajar mengajar.
Ruang kelas yang di kelilingi oleh taman pada SLB-A Karya Murni membuat suasana lingkungan sekolah menjadi tenang karena suara bising yang berasal dari luar lingkungan sekolah dapat teredam oleh tanaman di sekelilingnya sehingga suasana belajar menjadi kondusif dan siswa dapat mudah berkonsentrasi terhadap pelajaran yang di terimanya. Tidak terdapat fasilitas lain yang berguna untuk siswa dapat mengetahui perbedaan wilayah ruang dengan memanfaatkan pendengarannya.
Tidak terdapat treatment yang spesial pada sekolah Mexico School for The Blind untuk mengenali perbedaan ruang dengan memanfaatkan pendengaran. Selain itu ruangan di kelilingi dengan taman
yang dapat meredam suara di sekeliling gedung sehingga suasana sekolah sudah kondusif atau tidak mendapat efek suara dari luar sekolah yang tidak diinginkan saat proses belajar mengajar dilakukan. Kesimpulan yang dapat diterapkan pada unsur audibility ini adalah menerapkan white noise atau suara yang dapat berguna untuk mengetahui fungsi ruang seperti terdapat air mancur pada depan lobi drop
off sehingga siswa dapat mengenali area lobi dengan mudah.
Interaction
Interaction adalah area yang dapat menciptakan suatu interaksi satu sama lain antar siswa. Terdapat
area Interaksi seperti taman yang dapat digunakan siswa SLB-A Pembina Jakarta saat jam istirahat berlangsung, siswa dapat bermain di sekitar taman sehingga siswa dapat bersosialisasi satu sama lain, akan tetapi taman yang sekarang sudah tidak terawat membuat siswa tidak lagi menggunakan area tersebut dan hanya dijadikan sebagai area hijau sekolah dan siswa bermain di area koridor sekolah. Taman yang masih terawat rapih dan terdapat area permainan didalam SLB-A Karya Murni yang dapat dimanfaatkan siswa saat jam istirahat berlangsung, sama dengan SLB-A Pembina Jakarta area tersebut dapat dijadikan area interaksi siswa dan area hijau di lingkungan sekolah.
Area interaksi pada Mexico School for The Blind di desain outdoor agar siswa merasa tidak jenuh dengan aktifitas yang hampir semua dilakukan didalam ruangan, selain itu area pinggir koridor juga dapat dijadikan area interaksi dengan memberikan treatment dengan meletakan bench pada dinding, secara tidak langsung tempat tersebut dapat menjadi area interaksi siswa saat waktu senggang. Kesimpulan dari unsur interaction yang dapat diterapkan adalah terdapat ruang komunal atau ruang belajar yang dapat digunakan untuk berdiskusi bersama siswa lainnya yang tepat mehadap ke area taman sehingga siswa juga dapat menghirup udara segar. Selain itu taman tersebut dapat juga dipakai untuk bersantai dan berinteraksi satu sama lain antar siswa.
Olfactory
Olfactory atau penciuman bergunan untuk menciptakan tanda aromatik untuk area tertentu atau ruang
sehingga membantu dalam pengembangan pemetaan kognitif dan untuk menciptakan pengalaman yang benar-benar unik bagi siswa. Pada ketiga sekolah yang di bandingkan tidak terdapat unsur
olfactory atau area yang dapat dimanfaatkan melalui indera penciuman untuk mengetahui perbedaan
ruang seperti tidak tersedia taman yang ditanami oleh tumbuhan tertentu yang dapat memberikan aktifnya indera penciuman dan menjadi ciri khas ruangan tersebut. Ruangan tersebut dapat memberitahu siswa dari bahaya, seperti bau yang berkaitan dengan pelanggaran.
Pada sekolah yang akan dirancang akan diterapkan unsur olfactory atau unsur yang dapat mengaktifkan indera penciuman seperti perbedaan aroma makanan pada kantin sehingga aroma tersebut dapat menginformasikan keberadaan siswa yang mendekati area kantin. Selain itu aroma lemon yang terdapat pada area cuci tangan di kelas juga dapat menjadi sebuah petunjuk fungsi dari area tersebut.
Safety
Safety atau keamanan berguna untuk menciptakan lingkungan yang aman di mana siswa dapat bebas
untuk bergerak di lingkungan yang bebas hambatan untuk mencegah kebingungan dan cedera. KeamananTangga pada SLB-A Pembina Jakarta dibagi menjadi dua arah menjadi arah naik dan turun dipisahkan dengan railing dapat mengurangi resiko tabrakan antara siswa dalam melakukan perpindahan tempat satu ke tempat lainnya. Pintu yang tidak sliding dapat membahayakan siswa satu sama lain, resiko terjadi benturan saat membuka pintu sangat mungkin di area ini. Selain itu perbedaan level lantai sekitar 30 cm cukup membahayakan siswa sehingga dapat membuat terbatasnya ruang gerak siswa dalam melakukan aktifitasnya.
Tangga di ujung selasar SLB-A Karya Murni dapat membahayakan siswa, dengan adanya tangga tersebut dapat menghambat pergerakan siswa yang masih baru dan mempersulit siswa yang memiliki ketunaan fisik lainnya. Selain itu pintu yang membahayakan karena membuka ke luar selasar, menyebabkan siswa tunanetra sering menabrak. Ujung kolom yang tajam yang dapat membahayakan saat melakukan kegiatan disekitarnya.
Mexico School for The Blind tidak memfasilitasi siswa dengan fasilitas khusus untuk mendapatkan
keselamatan secara khusus seperti mengurangi akses tangga atau memberikan treatment khusus untuk siswa beraktifitas di lingkungan sekolah, sekolah tersebut melatih siswa terlatih dengan lingkungan luar yang dimana tidak semua tempat memfasilitasi penyandang tunanetra, secara tidak langsung siswa dipaksa untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada agar terlatih mandiri saat tidak di lingkungan sekolah.
Kesimpulannya dari unsur safety yang akan diterapkan ialah akses ramp akan menjadi akses utama siswa untuk mencapai lantai berikutnya, terdapat pula tangga yang dapat digunakan sebagai akses pendukung, untuk menghindari tabrakan akses tangga tersebut juga dirancang menjadi dua arah yaitu arah naik dan turun. Pada bangunan SLB-A ini juga tidak diterapkan perbedaan level lantai pada tiap ruang yang dapat mempersulit siswa bermobilitas.
Security
Fasilitas ini harus menjadi lingkungan yang aman (secure), melindungi siswa dari pengaruh luar. Fasilitas ini harus memberikan rasa aman tanpa ada kesan penjara pada desain. Tidak adanya pembatas akses masuk orang luar masuk ke dalam lingkungan SLB-A Pembina Jakarta membuat siswa tunanetra dapat dengan mudahnya berinteraksi dengan orang luar sehingga guru sering merasa cemas dengan keamanan dari sekolah tersebut. Serta tidak terdapat kantin pada SLB-A Pembina Jakarta mempersulit siswa saat istirahat sehingga mereka membeli makan diluar area sekolah yang merupakan area lalu lalang kendaraan dan mudahnya orang lain masuk ke area sekolah tersebut karena tidak adanya pengamanan pada gerbang sekolah yang cukup lengang.
Area bermain siswa terletak dibagian kawasan SLB-A Karya Murni dan siswa juga tidak dapat keluar masuk area sekolah dengan bebas agar menghindari bahaya interaksi dengan orang yang tidak dikenal. Luas area yang cukup besar membuat guru sulit mengawasi siswa yang sedang beraktifitas diluar gedung sekolah.
Kesimpulan dari unsur security ini adalah akan diterapkannya area lobi atau area akomodasi akademis terletak pada bagian tengah masa bangunan sehingga berguna menjadi area kontrol pengurus untuk memantau aktifitas siswa, selain itu siswa juga hanya dapat keluar masuk bangunan sekolah melalui satu akses yaitu akses lobi sehingga dapat mudah terkontrol oleh pihak sekolah.
Tangible
Fasilitas ini harus memberikan tekstur khusus (tangible) pada permukaan untuk menavigasi dengan sentuhan. Penggunaan tekstur khusus untuk pemberitahuan spesifik seperti "bahaya" atau penunjukan toilet, dan sebagainya. SLB-A Pembina Jakarta ini memberikan treatment khusus pada koridor sekolah seperti perbedaan tekstur pada lantai dapat memberikan informasi atau dapat dijadikan penanda bahaya pada lantai yang memiliki perbedaan level pada sekolah tersebut. Terdapat pula path
way yang dapat membantu siswa dalam mengerakan tongkatnya untuk menemukan ruangan yang
dituju.
Perbedaan tekstur pada dinding luar kelas SLB-A Karya Murni guna untuk memberi tanda pada ruangan untuk menginformasikan keberadaan siswa saat berjalan. Selain itu juga dapat meminimalisasi perawatan pada dinding yang sering kotor karena prilaku siswa yang sering meraba tembok untuk penunjuk jalan.
Treatment perbedaan tekstur hanya di aplikasikan pada dinding koridor kelas Mexico School for The Blind yang cukup panjang, untuk membantu siswa melakukan aktifitas di lorong, tidak terdapat
treatment di ruangan lainnya karena sekolah tersebut lebih membuat siswa dapat mengenali ruangan dengan tidak di fasilitasi secara khusus akan tetapi dengan membiarkan siswa mengeksplorasi ruangan dengan perbedaan material dan elemen ruang.
Kesimpulan dari unsur perbedaan material tekstur yang akan diterapkan pada ruang koridor sekolah untuk mengetahui perbedaan fungsi ruang, perbedaan tekstur dan bentuk pada interior kelas untuk mengetahui letak dan kegunaan fungsi perabot di dalam kelas.
Sight
Fasilitas ini harus menggunakan warna untuk mewakili ruang yang berbeda dan jalur yang dapat membantu dalam wayfinding atau merangsang penglihatan (sight). Penggunaan cahaya siang hari
alami dapat membantu untuk menentukan ruang khusus yang memisahkan mereka dari ruang lain dengan menggunakan berbagai tingkat pencahayaan. Pada kedua sekolah SLB-A Pembina Jakarta dan Karya Murni tidak terdapat fasilitas ruang yang membedakan warna pada beberapa ruangan atau cahaya yang signifikan untuk membuat siswa dapat membedakan ruangan yang mereka tuju atau lewati.
Skylight pada plafond Mexico School for The Blind membuat cahaya masuk kedalam dan dapat membantu siswa merasakan sinar yang menerpa wajah sehingga membantu siswa mengetahui keberadaan posisinya. Selain sinar yang dapat dirasakan siswa juga dapat merasakan perbedaan suhu pada tiap ruangan dengan mengatur besar kecilnya bukaan pada ruangan di sekolah tersebut.
Kesimpulan yang dapat di terapkan dari unsur sight yaitu perbedaan warna yang mencolok pada kaca atau partisi yang terdapat di area ramp dapat membantu siswa mengetahui sejauh apa mereka melewati ramp tersebut atau menjadi tolak ukur siswa dalam mengtahui seberapa jauh mereka berjalan. Selain itu warna yang mencolok pada kaca dalam kelas yang berfungsi juga sebagai fasad juga dapat menjadi alat pembantu siswa untuk mengetahui fungsi ruang tersebut khususnya untuk low
vision.
Penerapan Konsep ADA (American Disability Act)
Dari hasil pengamatan dan pembahasan pada dari perbandingan ke tiga sekolah, diperoleh beberapa simpulan yang fokus terhadap lingkungan fisik saling mempengaruhi terhadap prilaku siswa tunanetra di sekolah dengan mengacu pada teori ADA (American Disability Act) dan perbandingan fasilitas ruang dengan mengacu pada sifat dan karakteristik siswa tunanetra yang telah di amati dengan memperhatikan keamanan dan kenyamanan.
Didukung dengan aksesbilitas yang aksesibel dan fasilitas kelas yang dapat membantu siswa untuk bermobilitas sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut
• Accesbility, lorong koridor sekolah yang akan dirancang seperti penerapan handrailing yang
berbeda tekstur material pada dinding koridor berfungsi untuk siswa mudah mengenali fungsi tiap ruang. Selain itu lorong koridor sekolah yang akan dirancang seperti penerapan handrailing yang berbeda tekstur material pada dinding koridor berfungsi untuk siswa mudah mengenali fungsi tiap ruang. (Gambar 1)
Gambar 1 Lorong Koridor Kelas
• Audibility, penerapan white noise atau suara yang dapat berguna untuk mengetahui fungsi ruang
seperti terdapat air mancur pada depan lobi drop off sehingga siswa dapat mengenali area lobi dengan mudah. (Gambar 4)
• Interaction, terdapat ruang komunal atau ruang belajar yang dapat digunakan untuk berdiskusi
bersama siswa lainnya yang tepat mehadap ke area taman sehingga siswa juga dapat menghirup udara segar. Selain itu taman tersebut dapat juga dipakai untuk bersantai dan berinteraksi satu sama lain antar siswa. (Gambar 2)
Gambar 2 Area Komunal
• Olfactory, diterapkan unsur olfactory atau unsur yang dapat mengaktifkan indera penciuman
seperti perbedaan aroma makanan pada kantin sehingga aroma tersebut dapat menginformasikan keberadaan siswa yang mendekati area kantin. Selain itu aroma lemon yang terdapat pada area cuci tangan di kelas juga dapat menjadi sebuah petunjuk fungsi dari area tersebut.
• Safety, akses ramp akan menjadi akses utama siswa untuk mencapai lantai berikutnya, terdapat
pula tangga yang dapat digunakan sebagai akses pendukung, untuk menghindari tabrakan akses tangga tersebut juga dirancang menjadi dua arah yaitu arah naik dan turun. (Gambar 3)
Gambar 3 Tangga Utama
• Security, diterapkannya area lobi atau area akomodasi akademis terletak pada bagian tengah
masa bangunan sehingga berguna menjadi area kontrol pengurus untuk memantau aktifitas siswa, selain itu siswa juga hanya dapat keluar masuk bangunan sekolah melalui satu akses yaitu akses lobi sehingga dapat mudah terkontrol oleh pihak sekolah. (Gambar 4)
Gambar 4 Area Lobby Entrance
• Tangible, diterapkan pada ruang koridor sekolah untuk mengetahui perbedaan fungsi ruang,
perbedaan tekstur dan bentuk pada interior kelas untuk mengetahui letak dan kegunaan fungsi perabot di dalam kelas. (Gambar 5)
• Sight, warna yang mencolok pada kaca dalam kelas yang berfungsi juga sebagai fasad juga dapat
menjadi alat pembantu siswa untuk mengetahui fungsi ruang tersebut khususnya untuk low
Gambar 5 Area Ruang Dalam Kelas
Beberapa saran dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, yaitu bangunan sekolah tunanetra harus membuat siswa menjadi lebih mandiri dalam melakukan aktifitasnya tanpa mengharapkan bantuan orang lain, dan mempnyai pembekalan diri setelah lulus dari sekolah tersebut.
Pembagian Zoning Dalam Tapak dan Bangunan
Zoning Horisontal
Pada umumnya dalam menentukan zoning ruang, yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah hubungan antar ruang, orientasi matahari dan kebisingan.
Gambar 6 merupakan zoning ruang secara horizontal, susunan ruang dikelompokan secara berurutan, susunan zona dalam tapak mempunyai urutan dari publik menuju ke area privasi, zoning tersebut merupakan hasil analisis terbaik mengenai panas dari arah barat dan kebisingan dari jalan utama. Area private yang terdiri dari ruang kelas dan fasilitasnya diletakan saling terhubung dengan fasilitas sekolah yang disediakan, kemudian dihubungkan dengan area semi private atau kantor para guru dan staf yang berada di tengah agar staff maupun pengajar dapat memantau kegiatan siswa dan pengunjung yang datang ke sekolah. Area service diletakan depan kanan tapak yang langsung terhubung dengan parkiran agar sirkulasi area service tidak mengganggu aktifitas lainnya. Area semi publik sengaja mengelilingi bangunan sekolah guna untuk taman yang akan mengelilingi kelas sehingga setiap kelas terjadi pertukaran udara dan mendapatkan sinar matahari. (Gambar 1)
Gambar 6 Zoning Horizontal Lantai Dasar Pada Sekolah
Zoning Vertikal
Pengelompokan area secara vertikal diperlukan agar hubungan antar kegiatan berdasarkan sifat tidak hanya berlangsung secara horizontal, namun dengan menentukan zoning ruang vertikal, ruangan akan menjadi lebih dinamis dalam peletakan nya selain itu guna menghemat luas tapak yang memiliki luas terbatas. Hubungan ruang yang berdekatan dan disusun secara vertikal, akan memperkaya kualitas ruang secara estetika maupun fungsi. Berikut adalah analisis zoning vertikal pada area sekolah. Zona kiri khususnya lantai satu dan dua adalah area publik atau area parkir dan kantin karena arah matahari barat menyorot langsung kebagian area tersebut sehingga ruang yang tidak dipakai secara
terus menerus dapat diletakan di zona pertama. Zona tengah adalah area semi publik atau ruang administratif yang merupakan aktifitas pusat dari sekolah selain itu area tersebut dapat terhubung keseluruh bagian ruang. Area private zona paling sebelah kanan dan kiri untuk menunjang jumlah siswa yang membutuhkan kelas yang cukup banyak, pada lantai bawah atau yang berdekatan dengan area semi private ialah ruang kelas SDLB karena siswa SD sangat butuh pengawasan saat tidak bersama guru atau sedang beristirahat. Pada lantai atas terdapat ruang siswa SMP dan SMA yang sudah dapat mandiri sendiri untuk melakukan aktifitasnya. (Gambar 7)
Gambar 7 Zoning Vertikal Pada Sekolah
Dapat disimpulkan bentukan massa yang terjadi hasil analisis terhadap kondisi tapak dan lingkungan sekitar, aktifitas yang dilakukan diluar ruangan ditempatkan di dalam bangunan sekolah sehingga tercipta void besar pada tengah sekolah untuk menciptakan ruang luar yang terkontrol oleh pihak sekolah. Dengan terdapatnya bukaan pada tengah bangunan juga membuat sirkulasi angin dan matahari dapat masuk secara alami. (Gambar 8)
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil pengamatan dan perbandingan pada tiga sekolah, diperoleh beberapa simpulan pembahasan dari perbandingan ke tiga sekolah. Ketiga sekolah tersebut belum ada yang memenuhi kriteria ADA
(American Disability Act) akan tetapi sudah ada beberapa kriteria yang terpenuhi oleh masing-masing
sekolah. Untuk menyempurnakan ketiga sekolah tersebut makan dirancang Sekolah Luar Biasa Tunanetra di jalan Kebon Raya, Kebun jeruk dengan memenuhi semua kriteria yang di sebutkan oleh teori ADA (American Disability Act).
Penerapan teori ADA (American Disability Act) pada bangunan yang dirancang mencakup 8 aspek yaitu Accessbility, Audibility, Interaction, Olfactory, Safety, Security, Tangible, Sight.
Beberapa saran dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, yaitu bangunan sekolah tunanetra harus membuat siswa menjadi lebih mandiri dalam melakukan aktifitasnya tanpa mengharapkan bantuan orang lain, dan mempnyai pembekalan diri setelah lulus dari sekolah tersebut.
REFERENSI
Departemen Sosial RI. (2002). Panduan Orientasi dan Mobilitas Panti Sosial Penyandang Cacat
Netra. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat.
Halim, Deddy, (2005). Psikologi Arsitektur, Pangantar Kajian Listas Disiplin. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Sholahudin, M. ( 2007). Setting Ruang dan Pengaruhnya Terhadap Aksesbilitas Para Penyandang
Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Yakkum Yogyakarta. Jurnal Setting Ruang, jilid 1 No.1, diakses 25
Maret 2014 dari http:/www.unud.ac.id,
Tanuwidjaja, Gunawan. (2013). Implementasi Service Learning Dalam Desain Inklusi di Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa – A Surabaya. Jurnal Service Learning, jilid 1 No.1, diakses 25 Maret
2014 dari http:/www.ukp.ac.id
RIWAYAT HIDUP
Sesti Mayasari lahir di kota Jakarta pada tanggal 19 Mei 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Arsitektur pada tahun 2015.