• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELESTARIAN SUMBER DAYA GENETIK KELAPA SEBAGAI KOMODITAS UNGGULAN DALAM PENGEMBANGAN LAHAN RAWA PASANG SURUT DAN LEBAK 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELESTARIAN SUMBER DAYA GENETIK KELAPA SEBAGAI KOMODITAS UNGGULAN DALAM PENGEMBANGAN LAHAN RAWA PASANG SURUT DAN LEBAK 1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PELESTARIAN SUMBER DAYA GENETIK KELAPA

SEBAGAI KOMODITAS UNGGULAN DALAM

PENGEMBANGAN LAHAN RAWA

PASANG SURUT DAN LEBAK

1)

Henkie Tumundo Luntungan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Jalan Bethesda II, Mapanget, Kotak Pos 1004, Manado 95001

1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 29 Agustus 2008 di Bogor.

PENDAHULUAN

Areal tanaman kelapa di Indonesia adalah yang terluas di dunia, yaitu mencapai 3,90 juta ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006a). Total produksi kelapa butiran per tahun menurut Asian and Pacific

Coco-nut Community (APCC) pada tahun 2004

mencapai 16,66 miliar buah atau setara kopra 3,33 juta ton. Estimasi konsumsi domestik dari produksi setara kopra se-besar 2,30 juta ton. Nilai ekspor kelapa bu-tiran, kopra, minyak, kopra putih, tepung kelapa, santan, arang tempurung, karbon aktif, tempurung, serat, dan produk olah-annya mencapai US$427 juta (APCC 2004). Kelapa menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Semua bagian tanaman kelapa dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya. Di samping itu, arti penting kelapa bagi masyarakat tercermin dari luas areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% dari total luas areal kelapa dengan melibatkan lebih dari 3 juta rumah tangga petani. Pengusahaan kelapa juga membuka kesempatan kerja dari kegiatan pengolahan produk turunan dan hasil

samping yang sangat beragam (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005). Selain itu, beberapa industri sangat bergantung pada bahan baku kelapa, seperti industri minyak, santan, tepung kelapa, oleokimia, nata de coco, cuka, mi-nyak murni, karbon aktif, serat sabut, dan industri pemanfaatan batang kelapa (Tondok 1998; Rindengan dan Karouw 2003).

Permintaan akan kelapa yang terus meningkat ternyata tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas. Hasil studi di sentra-sentra produksi kelapa menunjuk-kan, pengembangan agribisnis kelapa di Indonesia menghadapi berbagai masalah, yaitu: (1) luas pemilikan lahan sempit, rata-rata 0,5 ha/keluarga petani (Bavappa et al. 1995; Tondok 1998; Nogoseno 2003); (2) produktivitas kelapa rendah, hanya 1 ton kopra/ha (Sondakh 1993; Kasryno et al. 1998; Direktorat Jenderal Perkebunan 2006ª) dan diusahakan secara monokultur (Darwis dan Tarigans 1990; Mahmud dan Allorerung 1998); (3) jenis kelapa yang diusahakan sebagian besar bukan varietas unggul; (4) adopsi teknologi anjuran ja-rang dilakukan petani, bila ada hanya pada proyek-proyek yang dibiayai pemerintah (Tarigans dan Darwis 1989; Luntungan 1997; Taher dan Luntungan 1997); (5) pro-duk usaha tani kelapa masih berbentuk

(2)

kelapa butiran dan kopra yang mutunya di bawah standar sehingga tidak kompetitif, serta belum menerapkan diversifikasi produk dan tanaman sela di antara kelapa (Kasryno 1993; Sulistyo 1998; Luntungan

et al. 2002; Sudjarmoko et al. 2002;

Lun-tungan dan Wardiana 2003); (6) sebagian besar pertanaman berumur lebih dari 50 tahun dan tidak produktif karena tanam-an sudah tua/rusak, sebesar 10% (Di-rektorat Jenderal Perkebunan 2006b); dan (7) kelembagaan perkelapaan perlu di-sempurnakan sehingga memenuhi kriteria kelembagaan perkelapaan masa depan. Peran masyarakat harus ditempatkan di depan sehingga kelembagaan perkelapaan dapat mengembangkan keterampilan, kua-litas sumber daya manusia, penguasaan iptek, dan prasarana, serta bentuk dan sis-tem institusinya (Soentoro dan Sayaka 1997; Brotosunaryo 2003).

Untuk menanggulangi berbagai ma-salah yang terkait dengan kelapa, ma-salah satu alternatifnya adalah menyediakan sumber benih yang mencukupi. Sejak tahun 1970, pengembangan kelapa pada lahan rawa pasang surut dan lebak masih menggunakan benih dari hasil pemilihan pohon induk oleh Lembaga Penelitian Tanaman Industri yang sangat terbatas jumlahnya (Abdullah dan Luntungan 1978). Pengembangan kelapa pada lahan rawa pasang surut dan lebak sampai ta-hun 1987 mencapai 342.000 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 1992), dan pada ta-hun 2003 mencapai 680.000 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006a). Apabila tanaman kelapa pada lahan rawa pasang surut dan lebak memerlukan rehabilitasi/ peremajaan bertahap sebanyak 5% atau 17.000 ha/tahun, maka mulai tahun 2008 dibutuhkan 4 juta benih dan untuk per-luasan areal tanam 20.000 ha/tahun diper-lukan 5 juta benih. Dengan demikian,

sumber daya genetik kelapa yang ada perlu dilestarikan secara berkelanjutan, baik secara in situ maupun ex situ agar kebu-tuhan benih kelapa dalam jumlah besar, berkualitas, tepat waktu, dan berkesi-nambungan dapat dipenuhi. Makalah ini mengulas pelestarian sumber daya genetik kelapa dalam mendukung pengembangan lahan rawa pasang surut dan lebak.

KESESUAIAN EKOSISTEM KELAPA PADA LAHAN RAWA PASANG

SURUT DAN LEBAK Pengelolaan Tanah dan Air

Pertanaman Kelapa

Pengelolaan tanah dan air pada lahan rawa pasang surut dan lebak bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam yang berupa tanah dan air secara optimal untuk mendapatkan hasil atau manfaat yang maksimal. Langkah utama dalam pengelolaan air di lahan rawa pasang surut dan lebak ditujukan untuk penguasaan air, yaitu: (1) memanfaatkan air pasang untuk pengairan, (2) mencegah akumulasi garam pada daerah perakaran tanaman, (3) men-cuci zat-zat toksik, (4) mengatur tinggi genangan untuk sawah dan muka air ta-nah untuk lahan kering, dan (5) mencegah penurunan tanah yang terlalu cepat ter-utama untuk tanah gambut (Widjaja-Adhi

et al. 1990). Khusus untuk tanaman kelapa,

Pranowo et al. (1993) menyatakan, pengu-asaan air dilakukan dengan membuat saluran, pintu air, dan tanggul.

Prinsip pengaturan air dibagi atas tiga bagian. Pertama, saluran primer yang lebar-nya mencapai 10 m diberi pintu pengendali air dari beton. Pada waktu air pasang, pintu air ditutup dan pada waktu air surut pintu dibuka. Kedua, saluran sekunder yang

(3)

berukuran lebar sampai 3 m. Saluran ini bermanfaat untuk mengatur keluar masuk-nya air ke pertanaman kelapa. Saluran sekunder diberi konstruksi beton atau kayu dan pintu pengatur air akan membuka dan menutup sesuai dengan pergerakan air. Pada waktu pasang, secara otomatis pintu akan menutup dan pada waktu air surut akan membuka. Ketiga saluran tersier. Saluran tersier ukurannya lebih kecil, hanya 1,0 m pada bagian atas dan 0,5 m pada bagian bawah. Kedalaman saluran tersier juga berbeda dengan saluran sekunder. Pada musim kemarau, permukaan air tanah harus dipertahankan setinggi-tingginya dengan menutup pintu air. Pada musim kemarau biasanya air pasang berubah menjadi asin sehingga air yang ada pada saluran sekunder dan tersier harus diper-tahankan agar air pada permukaan tanah tidak berubah.

Lahan rawa pasang surut umumnya memiliki lapisan tanah mineral yang mengandung pirit. Dalam keadaan reduktif, pirit akan stabil, tetapi bila lapisan ini menjadi aerob maka keberadaannya men-jadi goyah. Saluran drainase yang dibuat melalui lapisan pirit mengakibatkan oksi-gen yang masuk melalui pori tanah bere-aksi dengan pirit yang menghasilkan asam sulfat dan senyawa lain. Reaksi pirit dengan oksigen secara alami berlangsung lama dan kompleks. Untuk mencegah proses pema-saman, tanah harus dalam keadaan reduk-tif, yaitu lapisan pirit harus di bawah muka air tanah. Setelah saluran primer dan sekun-der terbangun, dibuat tanggul pada kiri dan kanan saluran sebagai prasarana jalan. Perencanaan tinggi tanggul harus memper-hatikan tinggi luapan air maksimum ta-hunan.

Selain pengelolaan tanah dan air, penanaman kelapa pada lahan rawa pasang surut dan lebak dilakukan dengan

cara memadatkan tanah di sekeliling bibit kelapa agar tanaman tumbuh tegak (Lun-tungan 1992). Menurut Allorerung (1989), salah satu keunggulan lahan rawa pasang surut dan lebak jika masalah drainase dapat dikendalikan dengan baik adalah air akan tersedia sepanjang tahun pada suhu udara yang tinggi.

Lahan rawa pasang surut dan lebak yang luasnya sekitar 35% dari daratan Indonesia merupakan potensi yang cukup besar untuk perluasan areal pertanian. Dari sekitar 35 juta ha lahan pasang surut dan lebak di Indonesia, 7 juta ha dapat dibuka untuk pertanian. Areal tersebut tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kali-mantan, dan Papua (Darwis 1986; Hadi-wigeno 1992). Oleh karena itu, jika se-kiranya kita mampu, masih tersedia juan hektar areal untuk pengembjuangjuan ta-naman kelapa.

Pengelolaan tanaman kelapa pada la-han pasang surut dan rawa sangat berbeda dengan di lahan kering. Pengaruh iklim terhadap hasil kelapa di lahan kering sa-ngat dominan, sedangkan pada lahan ra-wa pasang surut dan lebak, pengelolaan air yang dominan (Mahmud dan Allo-rerung 1998).

Kesesuaian Pengembangan Kelapa pada Lahan Rawa Pasang

Surut dan Lebak

Sudah waktunya penelitian diarahkan pada sumber daya genetik di lahan rawa pasang surut dan lebak. Lahan rawa pasang surut dan lebak tergolong marginal dan spesifik, sehingga pengetahuan tentang tipologi lahan dan cara pengelolaannya perlu diteliti agar tanaman mampu berproduksi secara optimal. Berdasarkan hasil karak-terisasi Ismail et al. (1990), lahan rawa

(4)

pa-sang surut dan lebak di Sumatera Selatan terdiri atas lahan potensial, lahan sulfat masam, lahan gambut, lahan salin, dan rawa lebak. Selain tipologi lahan, letak tinggi lahan dan genangan air pasang mem-pengaruhi pola usaha tani yang dapat dikembangkan (Widjaja-Adhi et al. 1990). Hasil penelitian Noorsyamsi et al. (1984) menunjukkan, berdasarkan besar-nya luapan air pasang, daerah pasang surut dapat dibedakan menjadi empat tipe, yaitu tipe A, selalu terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil; tipe B, hanya terluapi pasang besar; tipe C, tidak terluapi pasang secara langsung; dan tipe D, kadang disebut lahan tadah hujan pasang surut atau lahan kering pasang surut. Dilihat dari jenis tanahnya, lahan pasang surut umumnya tersusun dari tanah Aluvial dan Gleisol yang berupa endapan sungai, laut atau debu gunung berapi, serta tanah gambut yang berwarna hitam hingga kecoklatan (Ardi et al. l990). Berdasarkan tingkat kematangan atau pelapukannya, tanah gambut dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni: (1) fibrik, tingkat pelapukannya terendah dengan dua pertiga volumenya masih berisi serat; (2) hemik, tingkat pelapukannya sedang dengan kandungan serat sepertiga sampai duapertiga dari volumenya; dan (3) saprik, tingkat pelapukannya besar dan serat kurang dari sepertiga volumenya (Widjaja-Adhi 1986). Tanah gambut mempunyai si-fat fisik dan kimia yang kurang mengun-tungkan, antara lain pH tanah masam dan miskin unsur hara. Apabila kekeringan, permukaan tanah akan menurun, terbentuk pasir semu yang sangat peka terhadap erosi angin serta mudah terbakar (Djae-nudin dan Sujadi 1987).

Ditinjau dari segi lahan, pengembangan kelapa pada lahan rawa pasang surut dan lebak pada awalnya sulit diterapkan.

Na-mun, dengan berkembangnya teknologi “trio tata air”, yang terdiri atas pembuatan saluran, pintu air dan tanggul, pemanfaat-an lahpemanfaat-an ini berkembpemanfaat-ang pesat, baik oleh petani, pemerintah maupun swasta. Data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2003 menunjukkan, luas areal perkebunan ke-lapa pada lahan rawa pasang surut dan lebak mencapai 680.000 ha.

Berdasarkan hasil survei, ekosistem areal rawa pasang surut dan lebak cukup baik untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa. Di Riau, blok penghasil tinggi (BPT) seluas 820 ha dapat menghasilkan kopra lebih dari 1,5 ton/ha/tahun, di Jambi terdapat 600 ha, Sumatera Selatan 225 ha, Kalimantan Ba-rat 70 ha, Kalimantan Selatan 135 ha, Kalimantan Tengah 100 ha, dan Kaliman-tan Timur 27 ha (Luntungan et al. 1990b). Hasil penelitian introduksi kelapa hibrida di Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung menunjukkan, pada umur 4 tahun pro-duktivitas kelapa mencapai lebih dari 1,5 ton kopra/ha/tahun (Pranowo dan Lun-tungan 1993). Hasil analisis Hasni et al.

dalam Luntungan (1997) menunjukkan,

pengembangan kelapa layak diusahakan dengan B/C rasio 3,2, IRR 24%, dan

pay-back period 11 tahun. Berdasarkan

argu-mentasi di atas maka tanaman kelapa layak diusahakan di lahan rawa pasang surut dan lebak.

PELESTARIAN SUMBER DAYA GENETIK KELAPA Sumber Daya Genetik Kelapa Lahan Rawa Pasang Surut dan

Lebak

Plasma nutfah merupakan aset bangsa yang perlu dilestarikan dan dimanfaatkan

(5)

secara berkelanjutan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah antara lain telah meratifikasi Convention on Biological

Diversity dalam Konferensi Tingkat Tinggi

PBB di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Konvensi keanekaragaman hayati mempunyai tiga tujuan, yaitu pelestarian keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan, dan pembagian keuntung-an ykeuntung-ang adil dari pemkeuntung-anfaatkeuntung-an sumber daya genetik (Sudarmonowati 2005). Ada dua macam cara dalam konservasi plasma nutfah, yaitu: (1) konservasi in situ, ber-tujuan untuk upaya perlindungan, peman-faatan dan pelestarian spesies di dalam habitat aslinya; dan (2) konservasi ex situ, bertujuan untuk upaya pemanfaatan dan pelestarian spesies di luar habitat aslinya. Upaya mendapatkan sumber daya ge-netik kelapa di lahan rawa pasang surut dan lebak dapat dilakukan dengan me-nerapkan seleksi BPT dari populasi perta-naman kelapa yang ada sesuai dengan kriteria tertentu, diikuti dengan seleksi po-hon induk karena tidak setiap popo-hon ke-lapa dalam BPT dapat dijadikan sumber benih. Berdasarkan kriteria produksi da-ging buah basah dan koefisien keragam-an berat daging buah basah, BPT dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas (Lun-tungan 1983), yaitu: (1) BPT Kelas I, de-ngan produksi daging buah basah > 7 ton/ ha/tahun atau produksi buah > 130 butir/ pohon/tahun; (2) BPT Kelas II, dengan produksi daging buah basah 3,0-6,9 ton/ ha/tahun atau produksi buah 95-129 butir/ pohon/tahun; dan (3) BPT Kelas III, de-ngan produksi daging buah basah 3,0-4,9 ton/ha/tahun.

Hasil penelitian di Sri Lanka menunjuk-kan, jika seleksi diferensial diperbesar ke arah kanan sebaran populasi maka respons dari keturunannya akan meningkat. Seba-nyak 5% tanaman terbaik memberi

keturun-an dengketurun-an hasil 14,4% lebih tinggi dari-pada hasil rata-rata populasi asal, sedang-kan 15% tanaman terbaik hanya membe-rikan kenaikan 7,9%. Sebaliknya, pada seleksi ke arah kiri sebaran populasi, 5% tanaman terburuk memberikan keturunan yang berproduksi lebih rendah daripada produksi 15% tanaman terburuk. Selain itu, untuk mendapatkan nilai heritabilitas yang tinggi dapat diukur dari berat kopra per buah (95%) dan hasil kopra per pohon (67%). Hasil tinggi dari heritabilitas ini dapat dijadikan efisiensi dalam seleksi pohon induk pada tanaman kelapa (Liya-nage dan Sakai 1960).

Seleksi diferensial pada kelapa di lahan pasang surut dan rawa, yaitu pada kelapa Dalam lokal Jambi di lokasi Tungkal I, dengan umur 60 tahun dan produktivitas 1,24 ton kopra/ha/tahun dibandingkan dengan turunannya yang berumur 6 tahun, dapat memberikan hasil 1,50 ton kopra/ha/ tahun (kenaikan 20%). Untuk kelapa Dalam yang ditanam di Pangkal Duri, Riau, umur 32 tahun dengan produktivitas 1,60 ton kopra/ha/tahun dibandingkan dengan turunannya yang berumur 6 tahun mampu menghasilkan kopra 2,14 ton/ha/tahun (kenaikan 33%). Selain itu, korelasi antar-sifat yang tampak jelas hanya pada antar-sifat jumlah tandan dan jumlah buah, baik untuk tetua maupun turunannya, yang berkisar antara 0,66-0,83. Oleh karena itu, untuk mendapatkan materi pohon induk, seleksi dapat dilakukan terhadap jumlah tandan (Luntungan et al. 1992).

Argumentasi bahwa 5% tanaman ter-baik dari suatu populasi BPT dapat me-ningkatkan produktivitas 10%, memberikan kepastian kepada pengambil kebijakan bahwa BPT perlu dilestarikan sebagai sumber benih kelapa Dalam. Di samping sebagai sumber benih dalam pengembang-an lahpengembang-an rawa paspengembang-ang surut dpengembang-an lebak,

(6)

materi tanaman sekaligus dapat dikonser-vasi secara in situ agar tidak mengalami erosi genetik.

Pengelolaan sumber daya genetik ke-lapa untuk daerah lahan rawa pasang surut dan lebak dapat pula dilakukan melalui introduksi tanaman kelapa dari luar. Sejak tahun 1975 telah dilakukan survei di seluruh Indonesia oleh Liyanage dan Corputty (1976), dengan cara mengumpul-kan contoh tiga varietas kelapa Genjah dan 23 varietas kelapa Dalam. Survei dilan-jutkan dengan memilih materi tanaman untuk ditanam pada empat lokasi kebun induk. Dari kegiatan tersebut, terpilih untuk kelapa Dalam adalah Tenga, Bali dan Palu, dan untuk kelapa Genjah adalah Genjah Kuning Nias. Dari setiap kebun akan dihasilkan kombinasi hibrida F1 Genjah Kuning Nias x Dalam Tenga, Genjah Kuning Nias x Dalam Palu, dan Genjah Kuning Nias x Dalam Bali (Luntungan dan Mahmud 1977; Liyanage dan Luntungan 1978; Luntungan dan Liyanage 1978). Sejalan dengan pembangunan kebun in-duk kelapa hibrida, telah dilakukan pula uji multilokasi pada beberapa tempat di Indonesia untuk mengetahui produk-tivitas, kecepatan berbuah, dan komponen buahnya (Djisbar dan Luntungan 1978; Luntungan 1982; Novarianto et al. 1988; Tenda et al. 1988; Randriani dan Lun-tungan 1989). Untuk menunjang perakit-an hibrida telah diteliti pula viabilitas te-pung sari dari tetua hibrida, observasi ben-tuk buah tetua hibrida yang digunakan, dan toleransi ketiga jenis hibrida terhadap kekeringan (Luntungan dan Rompas 1978; Luntungan 1979; Akuba et al. 1987).

Dari hasil pengujian multilokasi, telah dilepas tiga varietas kelapa hibrida yang diberi nama Kelapa Hibrida Indonesia (KHINA) 1, 2 dan 3, yang kemudian digu-nakan dalam pengembangan kelapa

nasio-nal. Beberapa hibrida dalam dan luar negeri ternyata memperlihatkan potensi hasil yang cukup baik pada lahan pasang surut dan rawa di Sumatera Selatan, Riau, dan Lampung. Produktivitas dapat mencapai 1,5 ton kopra/ha/tahun pada umur 4 ta-hun, sedangkan produktivitas kelapa lo-kal di bawah 1,0 ton kopra/ha/tahun. Produktivitas yang tinggi tercapai karena pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan standar (Pranowo et al. 1989; Pra-nowo dan Luntungan 1993; Luntungan et

al. 1994; Marco et al. 1998).

Sumber daya genetik kelapa untuk lahan rawa pasang surut dan lebak dapat juga diambil dari inovasi teknologi yang dihasilkan Balai Penelitian Tanaman Ke-lapa dan Palma Lain (Balitka), Manado. Dari koleksi kelapa Genjah sebanyak 13 aksesi dan Kelapa Dalam 45 aksesi yang dikon-servasi di kebun-kebun penelitian Balitka, telah dilepas 4 varietas kelapa baru pada tahun 1983, 3 varietas kelapa hibrida pada tahun 1984, 4 varietas kelapa Dalam pada tahun 2004, 2 varietas kelapa Dalam, 4 varietas kelapa Genjah, 2 varietas kelapa hibrida tahun 2006, dan satu varietas kelapa Dalam pada tahun 2007.

Pelestarian Blok Penghasil Tinggi Kelapa Dalam

Hasil identifikasi BPT yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan dan Balai Penelitian Tanaman Industri Bogor di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur pada tahun 1988-1990 mendapatkan BPT Kelas I seluas 90 ha, BPT Kelas II 265 ha, dan BPT Kelas III 1.622 ha. Dari total luas BPT tersebut, potensi untuk menghasilkan benih per tahun mencapai 16,5 juta butir atau luas

(7)

areal yang dapat dikembangkan 66.200 ha/ ta-hun (Luntungan et al. 1990a).

Keberadaan BPT ini sesuai dengan rencana Direktorat Jenderal Perkebunan untuk meremajakan kelapa Dalam dan hibrida 38.000 ha/tahun (Abdullah dan Luntungan 1978). Sebagai tindak lanjut, keberadaan BPT tersebut perlu diamankan melalui konservasi in situ sehingga potensi tanaman dapat dijaga dari pengaruh ling-kungan. Perlakuan tambahan dalam peme-liharaan BPT meliputi pemupukan, pengen-dalian hama dan penyakit, pengenpengen-dalian gulma, perbaikan drainase, dan penyera-gaman tanaman. Konsep konservasi ini sejalan dengan yang disampaikan Alikodra (2000) mengenai permasalahan kawasan konservasi yang terintegrasi dengan pembangunan wilayah. Insan akademik mempunyai peran penting dalam memper-kuat kemampuan pengelolaan kawasan konservasi dan meningkatkan partisipasi dan peran masyarakat dalam kawasan konservasi.

Dengan adanya berbagai kendala dan masalah dalam pengembangan kelapa, saat ini semua kebun induk kelapa hibrida yang dibangun dengan materi lokal dan impor telah ditutup. Mengantisipasi kekurangan sumber benih untuk pengembangan ke-lapa, Balitka dalam beberapa tahun terakhir telah melepas Kelapa Dalam unggul seperti Kelapa Dalam Mapanget, Tenga, Palu dan Bali dengan hasil 2,5-3,5 ton kopra/ha/ tahun (SK Menteri Pertanian No.131-134/ Kpts/Sr.120/3/2004). Kebun induk untuk keempat varietas tersebut akan mulai ber-produksi pada tahun 2010 dan berber-produksi optimal pada tahun 2015. Produksi benih keempat varietas mencapai 1,28 juta benih/ tahun untuk perluasan areal dan perema-jaan kelapa seluas 6.400 ha/tahun (Tenda

et al. 2004; Kumaunang et al. 2006).

Hasil penelitian yang telah memberi dampak saat ini adalah kelapa Genjah Salak yang berasal dari rawa Kalimantan Selatan. Kelapa ini telah diselamatkan melalui konservasi ex situ di KP Pakuwon Jawa Barat dan KP Kima Atas Sulawesi Utara (Luntungan dan Saefudin 1989). Kelebihan kelapa Genjah Salak terletak pada kece-patan berbunga dan berbuah pada umur 2 tahun, tahan terhadap Phytophthora dan sesuai untuk lahan kering iklim basah. Pelepasan varietas kelapa Salak telah di-tetapkan melalui SK Mentan No. 521/Kpts/ SR.120/9/2006.

Saat ini telah dibangun kebun induk kelapa Genjah Salak seluas 2 ha di KP Kima Atas, 2 ha di KP Pakuwon, 3 ha di kebun Dinas Perkebunan Kalimantan Selatan, dan 2 ha di kebun Dinas Perkebunan Ban-ten, dengan potensi produksi benih 72.000 butir/tahun atau untuk kebutuhan pena-naman 280 ha/tahun. Sesuai dengan des-kripsi kelapa Salak, kelapa jenis ini ditu-jukan sebagai komersialisasi kelapa muda, sehingga areal pengembangannya lebih difokuskan pada daerah wisata dekat kota. Di masa mendatang sangat dibutuhkan cara lain untuk memenuhi kebutuhan benih dalam jumlah, kualitas, dan waktu yang tepat serta berkelanjutan. Salah satu cara untuk mendapatkan materi genetik ber-produksi tinggi adalah dengan mendapat-kan tanaman kelapa prepotent yang mam-pu menurunkan sifat-sifat berproduksi tinggi kepada turunannya, meskipun diserbuki oleh tanaman induk jantan mana saja. Harland (1957) menyatakan, ketu-runan tanaman induk betina tunggal (single female parent) bisa lebih unggul tanpa menghiraukan sifat-sifat induk jantan; misalnya tepung sari dari pohon induk betina prepotent dapat digunakan untuk menyerbuki bunga betina dari induk

(8)

jantan berproduksi tinggi. Langkah per-tama yang perlu dilakukan adalah meng-identifikasi tanaman prepotent dalam jumlah yang cukup.

Uji keturunan (progeny test) merupa-kan metode terbaik yang telah diketahui. Keturunan dari pohon induk betina yang berasal dari persilangan bebas ditanam, kemudian dihitung produksi kopranya atas dasar suatu keluarga (family basis) untuk memperoleh pohon induk betina yang unggul. Kelapa Dalam berbuah setelah 6-8 tahun dan hasil optimum dicapai setelah tanaman berumur 12-15 tahun. Oleh karena itu, identifikasi tanaman kelapa yang diinginkan akan memakan waktu minimal 12 tahun. Induk dapat diambil secara acak dari suatu blok pertanaman kelapa untuk uji keturunan, atau diseleksi berdasarkan tingginya nilai fenotipe (kopra).

Metode lain untuk mengidentifikasi tanaman unggul secara cepat telah ditemu-kan. Terdapat korelasi yang nyata dan po-sitif antara jumlah daun yang dihasilkan per batang dalam suatu keluarga selama 40 bulan setelah bibit ditanam dengan hasil rata-rata keturunan dewasa untuk tiap keluarga pada umur 13-16 tahun (r = 0,385 ± 0,091). Walaupun koefisien korelasinya rendah dan untuk tujuan pendugaan tidak berarti, jelas terdapat hubungan antara produksi daun dari keturunan yang muda dan nilai pemuliaan (breeding value) dari induknya. Koefisien korelasi tersebut akan lebih besar bila 10% dari tanaman kelapa terbaik diseleksi untuk uji keturunan. Genotipe yang diinginkan untuk pemuliaan dapat diidentifikasi untuk sementara se-telah 40 bulan dengan menggunakan tek-nik ini.

Keturunan dari persilangan bebas di-tanam untuk uji keturunan, dan jumlah daun yang dihasilkan tiap tanaman dicatat

dengan interval 6 bulan sekali sampai tanaman berumur 40 bulan. Keluarga yang jumlah daun per tanaman rata-rata tinggi menunjukkan bahwa induknya prepotent (Liyanage 1967).

Teknik cepat dalam identifikasi geno-tipe yang baik yaitu dengan meneliti

inbreeding depression pada endosperma

dan bobot embrio buah kelapa. Jika bobot salah satu dari sifat-sifat tersebut berada di bawah kontrol gen (genic control) maka akan dapat diharapkan perbedaan sifat (differential behavior) di antara genotipe bila dilakukan penyerbukan sendiri, ber-gantung pada sifat-sifat gen. Jika sifat-sifat tersebut sebagian besar disebabkan oleh efek aditif dari gen maka inbreeding

de-pression akan kurang jelas atau sangat

kecil dibandingkan dengan sifat yang di-sebabkan oleh dominasi dan epistasis (Liyanage 1974).

Di masa mendatang, sumber daya ge-netik kelapa rawa pasang surut dan lebak perlu dilestarikan melalui teknik in vitro melalui metode kriopreservasi embrio. Ber-dasarkan hasil penelitian, lama penyim-panan tidak akan mengubah potensi embrio untuk tumbuh menghasilkan tunas walaupun disimpan dalam waktu lama (Assy-Bah et al.1989). Selain kriopreser-vasi embrio, konserkriopreser-vasi tepung sari juga diperlukan bagi program persilangan di masa depan dalam rangka perbaikan ta-naman. Ternyata, tepung sari yang disim-pan dalam deep freeze storage selama 18 bulan masih dapat berkecambah. Hasil pe-nelitian Luntungan (1981) menunjukkan kualitas dan kuantitas tepung sari masih dapat ditingkatkan dengan pemberian

naphtalene acetic acid dan etrel, sehingga

rasio berat tepung sari per berat bunga jan-tan setelah diproses meningkat dan daya tumbuhnya tetap tinggi. Ushirozawa dan

(9)

Shibukawa dalam Manthriratna (1965) menyatakan, pada tanaman buah-buahan, tepung sari masih dapat tumbuh setelah disimpan 9 tahun.

STRATEGI PENGEMBANGAN KELAPA

Pembibitan

Ketersediaan bahan baku kelapa makin hari makin berkurang karena berbagai masalah yang dihadapi dalam pengem-bangan agribisnis kelapa. Tantangan terbesar adalah menyediakan bahan ta-naman kelapa unggul secara massal dan dalam waktu singkat. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melestari-kan sumber daya genetik kelapa yang ada di lahan rawa pasang surut dan lebak seperti BPT kelapa Dalam lokal untuk memenuhi kebutuhan benih dalam jumlah banyak, berkualitas, tepat waktu, dan berkesinambungan. Strategi ini dapat di-lanjutkan dengan memasukkan bahan tanaman unggul dari luar yang dapat ber-adaptasi dengan baik di lahan rawa pasang surut dan lebak. Penggunaan sumber be-nih antarkabupaten perlu diatur secara cermat agar program rehabilitasi dan per-luasan areal yang membutuhkan jutaan benih dapat terlaksana secara efisien dalam hal ketersediaan benih, waktu, dan kesi-nambungannya.

Teknologi Budi Daya

Lahan rawa pasang surut dan lebak ter-masuk lahan marginal dan spesifik se-hingga cara pengelolaannya memerlukan teknologi yang tepat untuk mendukung

tanaman agar tumbuh dan berproduksi optimal. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak harus memperhatikan tipologi lahan, tinggi lahan, dan permu-kaan air pasang. Untuk tanaman kelapa, penguasaan air dilakukan dengan pem-buatan dan pemeliharaan saluran, pintu air, dan tanggul sehingga drainase baik untuk mendukung pertumbuhan dan perkem-bangan tanaman. Penataan dan pemeliha-raan saluran drainase memerlukan inves-tasi besar sehingga diperlukan bantuan pemerintah. Tantangan terbesar adalah bagaimanan tanaman tua direhabilitasi bersama-sama dalam suatu sistem yang mempergunakan saluran drainase dalam luasan areal yang besar.

Panen dan Pascapanen

Walaupun agribisnis kelapa menghadapi berbagai masalah, peluang pengembangan tetap terbuka karena pangsa pasar bagi produk-produk kelapa terbuka luas. Selain itu, diversifikasi produk kelapa cukup banyak sehingga segmen pasar dapat diperluas. Diversifikasi usaha tani juga dapat diperluas agar petani tidak ber-gantung pada satu komoditas atau produk saja.

Tersedianya inovasi teknologi yang mendukung usaha diversifikasi produk kelapa memberi peluang bagi petani untuk mendapatkan nilai tambah melalui efisiensi pemanfaatan lahan serta pengembangan industri rumah tangga kecil dan menengah berbahan baku kelapa dan ikutannya. Strategi yang perlu diterapkan dalam panen dan pascapanen kelapa di tingkat petani sebagai produsen bahan baku adalah menghasilkan produk dengan mutu yang sesuai dengan kebutuhan dan

(10)

stan-dar konsumen untuk menciptakan produk-produk hasil kelapa yang bernilai jual tinggi, seperti kopra, minyak kelapa, oleokimia, nata de coco, minyak kelapa murni, karbon aktif, serta serat sabut.

Distribusi dan Pemasaran

Berdasarkan kompleksnya permasalahan dalam agribisnis kelapa, untuk menjamin ketersediaan bahan baku secara berkelan-jutan dengan produk yang bernilai tinggi diperlukan penataan kluster industri agar bisa mendapatkan bahan baku yang me-menuhi standar. Saat ini, terdapat kecen-derungan relokasi industri pengolah pro-duk primer dari negara maju ke negara berkembang sebagai sumber bahan baku, sehingga industri maju hanya mengolah produk sekunder dan tersier untuk mem-perbesar nilai tambah dan efisiensi indus-tri. Sejalan dengan era otonomi daerah, pengembangan agribisnis kelapa harus dilakukan oleh masyarakat setempat. Pe-merintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator, stimulator, dan regulator (Mah-mud dan Allorerung 1998; Novarianto et

al. 2004: Direktorat Jenderal Perkebunan

2006b).

Strategi berorientasi internal yang per-lu diterapkan dalam distribusi dan pema-saran kelapa meliputi penguatan kelem-bagaan, fasilitasi untuk mempertemukan lembaga pemerintah dan nonpemerintah, serta revitalisasi berbagai regulasi yang terkait dengan pengadaan dan pemasaran produk kelapa. Strategi yang berorientasi eksternal meliputi peningkatan akses ke pasar global, regional dan spesifik, pemba-ngunan sistem informasi pemasaran, penyusunan kerja sama pemasaran, peningkatan market intelligence serta

kemampuan pemasaran dan lobi pada forum perdagangan global.

Penelitian dan Pengembangan

Dalam rangka mewujudkan agribisnis ke-lapa yang berdaya saing dan berkeadilan sehingga dapat meningkatkan kesejah-teraan secara berkelanjutan bagi pelaku usaha (Manggabarani 2006), penelitian untuk menghasilkan inovasi teknologi bagi lahan rawa pasang surut dan lebak perlu ditingkatkan. Penelitian dan pe-ngembangan diprioritaskan pada kom-ponen strategi dan teknologi yang dapat diterapkan, meliputi: (1) evaluasi BPT ke-lapa Dalam lokal sebagai sumber benih; (2) pemilihan pohon induk kelapa berpro-duktivitas tinggi untuk membangun kebun induk kelapa Dalam unggul; (3) perakitan varietas, pelestarian embrio, kultur ja-ringan, dan penyimpanan tepung sari bagi program hibridisasi; (4) status hara, batas kritis, dan efisiensi pupuk makro dan mik-ro; (5) identifikasi dan pengendalian hama, penyakit dan aspek biologis lainnya; dan (6) pemilihan komoditas dalam rangka pe-ngembangan usaha tani berbasis kelapa.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Tanaman kelapa memiliki arti penting bagi masyarakat dan petani kelapa, tercermin dari luas areal kelapa pada lahan rawa pasang surut dan lebak yang mencapai 680.000 ha atau 17,4% dari total areal kelapa nasional 3,90 juta ha. Lahan rawa pasang surut dan

(11)

le-bak merupakan lahan marginal dan spesifik sehingga pengelolaannya me-merlukan teknologi yang dapat men-dukung tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal. Pengu-asaan air harus dilakukan dengan membuat saluran, pintu air, dan tanggul sehingga drainase baik. Diperlukan benih dalam jumlah sangat besar untuk mendukung program peremajaan dan perluasaan areal kelapa pada lahan rawa pasang surut dan lebak, karena sebagian tanaman sudah tua atau ru-sak. Sumber daya genetik kelapa yang ada seperti Blok Penghasil Tinggi (BPT) dapat dimanfaatkan sebagai sumber benih dan perlu dilestarikan. 2. Sebagian produk kelapa di Indonesia

dikonsumsi di dalam negeri, dan sisa-nya diekspor dalam bentuk kelapa bu-tiran, kopra, minyak, bungkil, tepung, santan, arang tempurung, karbon ak-tif, tempurung, serat, dan produk serat kelapa dengan nilai devisa setiap tahun mencapai US$ 400 juta. Tersedianya inovasi teknologi untuk mendukung diversifikasi hasil kelapa memungkin-kan produsen (petani) menghasilmemungkin-kan bahan baku sesuai dengan kebutuhan standar konsumen untuk menghasil-kan produk bernilai tinggi. Sesuai de-ngan era otonomi daerah, perlu dite-rapkan penguatan kelembagaan, fasi-litasi, revitalisasi berbagai regulasi yang tidak mendukung, akses pasar, informasi pasar, jaringan pemasaran,

market intelligence berbagai produk;

serta kemampuan trading dan lobi di forum perdagangan internasional. 3. Penelitian dan pengembangan untuk

mendukung pengembangan lahan rawa pasang surut dan lebak perlu di-prioritaskan pada evaluasi BPT sumber benih, perakitan varietas unggul,

pelestarian embrio, kultur jaringan, penyimpanan tepung sari, status hara, tanaman sela, serta identifikasi dan pengendalian hama, penyakit, dan aspek biologis lainnya.

Implikasi Kebijakan

1. Pelestarian BPT memerlukan bantuan pemerintah dalam pemeliharaannya, seperti pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan saluran drainase, dan peremajaan.

2. Diperlukan kebijakan dalam pengem-bangan industri benih berbasis tekno-logi dan pasar yang sesuai dengan kondisi lahan pasang surut dan rawa melalui pembangunan kebun induk kelapa yang berasal dari pohon induk berproduksi tinggi dengan mutu stan-dar.

3. Kebijakan penelitian dan pengem-bangan lahan rawa pasang surut dan lebak diprioritaskan pada evaluasi BPT sebagai sumber benih, perakitan va-rietas unggul, pelestarian embrio, kul-tur jaringan, penyimpanan tepung sari, status hara, identifikasi dan pengen-dalian hama dan penyakit, dan tanaman sela.

4. Dalam rangka pengembangan agribis-nis kelapa, diperlukan kebijakan pe-merintah melalui pembiayaan dari bank dan nonbank yang sesuai untuk pe-ngembangan lahan rawa pasang surut dan lebak.

PENUTUP

Sumber daya genetik dan lahan merupakan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa kepada bangsa Indonesia. Sumber daya

(12)

tersebut harus dikelola bagi kesejahteraan masyarakat serta dilestarikan agar ter-hindar dari erosi genetik dan kerusakan demi kepentingan generasi mendatang.

Blok Penghasil Tinggi kelapa Dalam yang ada di lahan rawa pasang surut dan lebak merupakan salah satu aset nasional. Oleh karena itu, sumber daya genetik ter-sebut perlu dilestarikan secara in situ dan

ex situ agar materi kelapa tersedia secara

efisien. Pelestarian sumber daya genetik memerlukan kebijakan dari pemerintah untuk membantu pemeliharaannya.

Dr. Emile Frison, Director General of International Plant Genetic Resources Institute mengatakan: “Coconut is an

im-portant crop for poor people, supporting their livelihoods and the sustainability of their environment. It is a source of materials for food, drink and shelter. As a fundamental element in the food system it provides essential nutrition to people in coconut-growing communities. It sta-bilizes farming system and coconut generates much needed income for small growers as well as employment and foreign currency earnings for their countries”.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. dan H.T. Luntungan. 1978. Pengadaan dan penyaluran bibit kelapa di dalam Repelita ketiga. Pemberitaan LPTI 29: 39-56.

Alikodra, H.S. 2000. Kontribusi kalangan akademik dalam pengembangan ka-wasan konservasi. Seminar Sehari Pe-ngembangan Wilayah Berbasis Keane-karagaman Hayati, Kebun Raya Ci-bodas, 12 April 2000. 6 hlm.

Allorerung, D. 1989. Strategi dan program penelitian tanaman kelapa di lahan

pa-sang surut dan Lebak. Buletin Balitka 9: 1-12.

APCC. 2004. Coconut Statistical Yearbook. Asian and Pacific Coconut Community. p. 96-117.

Ardi, S.D., M. Subiksa, dan I.P.G.. Widjaja-Adhi. 1990. Karakterisasi lahan Karang Agung II untuk pengembangan per-tanian lahan pasang surut di Sumatera Selatan. hlm. 133-152. Risalah Seminar Hasil Penelitian Proyek Penelitian Per-tanian Lahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS-II. Bogor, 19-21 September 1989. Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian, Jakarta.

Akuba, R.H., H.T. Luntungan, S.N. Darwis, and T.A. Davis. 1987. Comparison of three DxT hybrid coconuts in Indo-nesia for their tolerance to drought. Indian Coconut J. XVII(11): 1-8. Assy-Bah, B., T. Durand-Gasselin, and C.

Pannetier. 1989. Use of zygotic embryo culture to collect germplasm of coconut (Cocos nucifera L). FAO/IBPGR Plant Genetic Resources News Letter 71: 4-10. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 27 hlm.

Bavappa, K.V.A., S.N. Darwis, and D.D. Tarigans. 1995. Coconut Production and Productivity in Indonesia. Asian and Pacific Coconut Community. 84 pp. Brotosunaryo, O.A.S. 2003. Pemberdayaan petani kelapa. hlm. 10-16. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V, Tembi-lahan, 22-24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perke-bunan, Bogor.

Darwis, S.N. 1986. Tanaman kelapa dan lingkungan pertumbuhannya. Balai Penelitian Tanaman Kelapa, Manado. 129 hlm.

(13)

Darwis, S.N. and D.D. Tarigans. 1990 Coconut based farming system in In-donesia. p. 148-160. Proc. XXVII Cocotech Meeting. Asian and Pacific Coconut Community.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 1992. Keragaan dan kebijaksanaan pengem-bangan kelapa pada ekosistem pasang surut. hlm. 1-16. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Kelapa Pasang Surut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006a. Statistik Perkebunan Indonesia. Ke-lapa. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 80 hlm.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006b. Meningkatkan Potensi Kelapa Indone-sia Melalui Pengembangan Kelapa Terpadu. Seminar Nasional Strategi Pengembangan Pemanfaatan Kelapa untuk Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Hari Perkelapaan 2006. Direk-torat Jenderal Perkebunan dan Masya-rakat Perkelapaan Indonesia. hlm. 1-17. Djaenudin, D. dan M. Sudjadi. 1987. Sum-berdaya lahan pertanian tercadang di empat pulau besar menghadapi tahun 2000. Jurnal Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian 6(2): 55-61.

Djisbar, A. dan H.T. Luntungan. 1978. Penelitian Pertumbuhan Tanaman Ke-lapa F1 (Genjah x Dalam) di Pakuwon, Sukabumi. Lembaga Penelitian Tanam-an Industri, Bogor. 11 hlm.

Hadiwigeno, S. 1992. Pidato pengarahan dan pembukaan Kepala Badan Pene-litian dan Pengembangan Pertanian. hlm. v-vi. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Kelapa Pasang Surut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Harland, S.C. 1957. The improvement of the coconut palm by breeding and selection. Bull. 15. Coconut Research Institute Ceylon. p. 1-14.

Ismail, I.G., I. Basa, Ph. Soetjipto, dan Tj. Subud 1990. Tinjauan hasil penelitian usaha tani pasang surut di Sumatera Selatan. hlm. 1-30. Risalah Seminar Hasil Penelitian Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Ra-wa SWAMPS-II. Bogor, 19-21 Sep-tember 1989. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kasryno, F. 1993. Penelitian dan

pe-ngembangan perkelapaan di Indonesia. hlm. 47-58. Prosiding Konferensi Na-sional Kelapa III, Yogyakarta, 20-23 Juli 1993. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Tanaman Industri, Bogor. Kasryno, F., Z. Mahmud, dan P. Wahid.

1998. Sistem usaha pertanian berbasis kelapa. hlm. 51-56. Prosiding Konfe-rensi Nasional Kelapa IV, Bandar Lam-pung, 21-23 April 1998. Pusat Peneliti-an TPeneliti-anamPeneliti-an Industri, Bogor.

Kumaunang, J., Miftahorrachman, dan H. Tampake. 2006. Potensi kelapa Dalam komposit sebagai sumber benih ber-produksi tinggi. hlm. 91-98. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VI, Goron-talo, 16-18 Mei 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bo-gor.

Liyanage, D.V. and K.I. Sakai. 1960. He-ritabilities of certain yield characters of the coconut palm. J. Gen. 57(2&3): 245-252.

Liyanage, D.V. 1967. Identification of genotypes of coconut palms suitable for breeding. Expl. Agric. 3: 205-210. Liyanage, D.V. 1974. Memproduksi bibit

unggul kelapa dengan cara hibridisasi. Pemberitaan LPTI 17-18: 43-51.

(14)

Liyanage, D.V. and C.H.P. Corputty. 1976. Coconut germplasm in Indonesia. Pemberitaan LPTI 21: 1-79.

Liyanage, D.V. dan H.T. Luntungan. 1978. Choice of coconut seed for planting in small holding in Indonesia. Pemberi-taan LPTI 29: 1-11.

Luntungan, H.T. dan Z. Mahmud. 1977. Pemilihan pohon induk kelapa untuk pembuatan hibrida di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Kelapa, Manado. hlm. 41-52.

Luntungan, H.T. and D.V. Liyanage. 1978. Some results of the coconut breeding programme in Indonesia. Pemberitaan LPTI 29: 13-22.

Luntungan, H.T. dan T.M. Rompas. 1978. Penelitian pembentukan buah kelapa dengan mempergunakan tiga macam tepungsari. Pemberitaan LPTI 30: 26-33.

Luntungan, H.T. 1981. Effects of naph-thalene acetic acid dan ethrel on ma-turity of coconut male flowers. Pem-beritaan LPTI VII(40): 55-58.

Luntungan, H.T. 1982. Progress report on coconut breeding in Indonesia. Yearly Progress Report on Coconut Research and Development 1981. FAO, Rome. p. 2-3.

Luntungan, H.T. 1983. Petunjuk pelak-sanaan blok penghasil tinggi kelapa Dalam. Direktorat Jenderal Perkebunan bekerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Industri Bogor. 40 hlm. Luntungan, H.T. dan Saefudin. 1989.

Ke-bun Sumber Benih Kelapa Dalam di Daerah Pasang Surut Kalimantan Se-latan. Buletin Balitka 7: 34-37.

Luntungan, H.T., E.T. Bambang, dan S. Taher. 1990a. Tanaman kelapa untuk pengembangan daerah rawa pasang surut. hlm. 295-299. Risalah Seminar Hasil Penelitian Proyek Penelitian

Per-tanian Lahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS-II. Bogor, 19-21 September 1989. Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian, Jakarta.

Luntungan, H.T., E. Wardiana, dan S. Taher. 1990b. Karakterisasi kelapa Dalam pasang surut di Propinsi Riau. Pembe-ritaan Penelitian Tanaman Industri XV(4): 142-147.

Luntungan, H.T. 1992. Metode penanam-an kelapa pada tpenanam-anah mineral dpenanam-an ta-nah gambut pasang surut. hlm. 140-147. Prosiding Forum Komunikasi Peneli-tian dan Pengembangan Kelapa Pasang Surut, Bogor 28-29 Agustus 1992. Pu-sat Penelitian dan Pengembangan Ta-naman Industri, Bogor.

Luntungan, H.T., E. Wardiana, dan S. Taher. 1992. Evaluasi kelapa Dalam lokal di daerah pasang surut Propinsi Jambi. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 10: 99-103.

Luntungan, H.T., Saefudin, dan D. Pra-nowo. 1994. Pertumbuhan dan pro-duksi lima jenis kelapa hibrida di lahan pasang surut Pulau Rimau Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Kelapa 7(2): 8-14.

Luntungan, H.T. 1997. Evaluasi dan pe-ngembangan kelapa hibrida. hlm. 120-150. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional. Manado, 6-8 Januari 1997. Buku I. Balai Penelitian Tanaman Ke-lapa dan Palma Lain, Manado. Luntungan, H.T., H. Nana, dan H.

Tam-pake. 2002. Produktivitas tanaman temu-temuan sebagai tanaman sela di antara kelapa. hlm. 266-272. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Luntungan, H.T. dan E. Wardiana. 2003. Produktivitas dan pendapatan kacang

(15)

tanah pada pola tanam kelapa dengan tanaman sengon. hlm. 209-214. Pro-siding Konferensi Nasional Kelapa V, Tembilahan, 22-24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perke-bunan, Bogor.

Manthriratna, M.A.P.P. 1965. Coconut Pollen. Ceylon Cocon. Quart. 16: 102-110.

Mahmud, Z. dan D. Allorerung. 1998. Teknologi peremajaan, rehabilitasi dan perluasan tanaman kelapa. hlm.116-130. Prosiding Pertemuan Komisi Penelitian Pertanian Bidang Perkebunan, Medan, 20-21 November 1997.

Manggabarani, A. 2006. Kebijakan pem-bangunan agribisnis kelapa. hlm. 1-11. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VI, Gorontalo, 16-18 Mei 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perke-bunan, Bogor.

Marco, S.H., H. Tampake, dan H.T. Lun-tungan. 1998. Pengembangan kelapa di lahan rawa gambut. hlm. 284-292. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV, Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Nogoseno. 2003. Informasi perkelapaan. hlm. 8-21. Prosiding Hari Perkelapaan Keempat Tahun 2002, Bandung, 20-22 September 2002. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Noorsyamsi, H., H. Anwarhan, S. Soe-laiman, and H.M. Beachell. 1984. Rice cultivation in the tidal swamps of Ka-limantan. Workshop on Research Prio-rities in Tidal Swamps Rice. IRRI, Los Banos. p.17-28.

Novarianto, H., H. Tampake, T. Rompas, dan H.T. Luntungan. 1988. Komponen buah kelapa hibrida Indonesia. Pembe-ritaan Penelitian Tanaman Industri 13(3-4): 61-64.

Novarianto, H., R.H. Akuba, dan M.L.A. Hosang. 2004. Memodernisasi perke-lapaan Indonesia dengan inovasi tek-nologi. hlm. 72-99. Prosiding Simpo-sium IV Hasil Penelitian Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.

Pranowo, D., E.F. Liwe, dan H.T. Luntung-an. 1989. Perkecambahan dan pertum-buhan bibit tiga tipe kelapa hibrida di daerah pasang surut. Pemberitaan Pe-nelitian Tanaman Industri XIV(3): 88-92.

Pranowo, D. dan H.T. Luntungan. 1993. Penampilan produksi beberapa tipe kelapa di lahan pasang surut Pulau Rimau PT Sumatera Candi Kencana. hlm. 541-547. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa III, Yogyakarta, 20-23 Juli 1993. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Tanaman Industri, Bogor. Pranowo, D., H.T. Luntungan, D.

Allo-rerung, dan Z. Untu. 1993. Budidaya tanaman kelapa di lahan pasang surut. Seri Pengembangan No 22/1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ta-naman Industri, Bogor. hlm.10-17. Randriani, E. dan H.T. Luntungan. 1989.

Keragaan Kelapa Hibrida Indonesia di Parungkuda, Jawa Barat. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri XV(1): 15-20.

Rindengan, B. dan S. Karouw. 2003. Pe-luang pengembangan minyak kelapa murni. hlm. 146-153. Prosiding Konfe-rensi Nasional Kelapa V, Tembilahan, 22-24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.

Soentoro dan B. Sayaka. 1997. Aspek kelembagaan dalam agribisnis berbasis kelapa. hlm. 61-72. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional, Manado, 6-8 Januari 1997. Buku I. Balai

(16)

Pene-litian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado.

Sondakh, L. 1993. Produksi kelapa dalam proses tranformasi struktural ekonomi nasional. hlm.59-76. Prosiding Konfe-rensi Nasional Kelapa III Yogyakarta, 20-23 Juli 1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Sudarmonowati, E. 2005. Konservasi plas-ma nutfah. Buku Pedoplas-man Pengelolaan Plasma Nutfah Perkebunan. Pusat Pe-nelitian dan Pengembangan Perke-bunan, Bogor. hlm. 27-37.

Sudjarmoko, B., H. Nana, dan H.T. Lun-tungan. 2002. Analisa ekonomi ta-naman temu-temuan di antara kelapa. hlm. 463-468. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aro-matik. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Sulistyo, R.1998. Pemberdayaan petani dalam usahatani kelapa. hlm.33-46. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV, Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Taher, S. dan H.T. Luntungan. 1997. Tin-dakan kultur teknis dalam rangka peningkatan produktivitas kelapa di Indonesia. hlm.161-175. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional, Manado, 6-8 Januari 1997. Buku I. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado.

Tarigans, D.D. and S.N. Darwis.1989. Country Report of Indonesia. Report of the Workshop on Coconut Based

Farming Systems. FAO Project, RAS 180/32. Thailand, 12-14 September 1989. p. 28-35.

Tenda, E.T., H. Tampake, T. Rompas, dan H.T. Luntungan. 1988. Pengaruh kece-patan berbunga kelapa Genjah dan kelapa Dalam terhadap hasil silangan-nya. Jurnal Penelitian Kelapa 3(1): 79-83.

Tenda, E., J. Kumaunang, dan H. Tampake 2004. Potensi plasma nutfah lokal dalam pengembangan kelapa. hlm. 305-312. Prosiding Simposium IV Hasil Peneli-tian Tanaman Perkebunan, Bogor, 28-30 September 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Tondok, A.R. 1998. Pemanfaatan peluang

pengembangan kelapa dalam mengha-dapi era globalisasi. hlm. 25-32. Pro-siding Konferensi Nasional Kelapa IV, Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Widjaja-Adhi, I.P.G. 1986. Pengelolaan la-han rawa pasang surut dan lebak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 5(1): 1-9.

Widjaja-Adhi, I.P.G., I.G.M. Subiksa, Ph. Soetjipto, dan B. Radjagukguk. 1990. Pengelolaan tanah dan air lahan pasang surut, studi kasus Karang Agung, Su-matera Selatan. hlm.121-132. Risalah Seminar Hasil Penelitian Proyek Pene-litian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS-II, Bogor, 19-21 September 1989. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Provinsi Jambi memiliki puluhan sumber daya genetik (SDG) lokal padi, baik padi dataran tinggi, dataran rendah, rawa lebak dan pasang surut.. Varietas lokal padi

(1992), pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian masih akan menghadapi berbagai masalah diantaranya adalah kondisi luapan dan genangan air yang sangat variatif dari satu

Faktor lain yang juga turut berpengaruh adalah banyaknya kegiatan penelitian dan uji coba sistem pertanian modern dengan pola terpadu di lahan rawa pasang surut tipe yang

1) Masuknya sains melalui pengembangan pertanian modern dalam kehidupan petani di lahan rawa pasang surut menciptakan kontestasi dengan pengetahuan lokal

Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk men- dukung program peningkatan produksi pangan nasional dapat dilakukan karena sudah tersedia berbagai inovasi teknologi (Suriadikarta

1) Masuknya sains melalui pengembangan pertanian modern dalam kehidupan petani di lahan rawa pasang surut menciptakan kontestasi dengan pengetahuan lokal

Hercules (4,9 t/ha), selain memiliki hasil yang tinggi juga adaptif di lahan rawa

1992, pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian masih akan menghadapi berbagai masalah diantaranya adalah kondisi luapan dan genangan air yang sangat variatif dari satu