• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII KONTESTASI SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VII KONTESTASI SAINS DENGAN PENGETAHUAN LOKAL DI LAHAN RAWA PASANG SURUT"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

7.1 Sejarah Perkembangan Sains dan Pertanian Modern di Lahan Rawa Pasang Surut

Revolusi hijau muncul sebagai salah satu langkah besar di bidang pertanian dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Revolusi ini diawali dengan penelitian untuk meningkatkan produktivitas tanaman gandum yang dilakukan oleh Ford Foundation dan Rockefeller Foundation pada tahun 1943 hingga 1950. Kegiatan penelitian untuk pengembangan tanaman padi secara internasional dilakukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) yang dibentuk pada tahun 1960 di Filipina dengan dukungan oleh kedua yayasan di atas. Indonesia sendiri mulai bekerjasama dengan IRRI sejak Desember 1972 dalam rangka intensifikasi pertanian, pengembangan biteknologi, pengendalian hama, serta mekanisasi pertanian. Pengembangan tanaman padi ini dilakukan melalui penggunaan benih unggul, pestisida dan pupuk kimia. Program peningkatan produksi padi di Indonesia pada awalnya dicanangkan pemerintah secara meluas melalui program Bimbingan Masal (Bimas). Latar belakang program ini terkait dengan upaya pemerintah untuk mengurangi impor beras dan menciptakan negara yang mampu mencukupi sendiri kebutuhan pangannya, khususnya beras.

Keberhasilan program peningkatan produksi padi mencapai puncaknya pada periode 1984-1989 dan Indonesia yang sebelumnya sebagai pengimpor beras terbesar menjadi negara yang mampu berswasembada beras. Peningkatan produksi padi dilakukan melalui penerapan teknik pertanian modern yang dikenal dengan Panca Usaha tani, kebijakan pengaturan harga sarana produksi serta dukungan kredit dan infrastruktur. Keberhasilan peningkatan produksi ini ternyata kurang diimbangi dengan penanganan permasalahan sosial masyarakat petani itu sendiri. Berbagai riset yang dilakukan dalam upaya mendukung program ini lebih difokuskan pada peningkatan produksi semata, dan hanya sedikit perhatian langsung terhadap masalah-masalah sosial dalam kehidupan petani. Bahkan berbagai produk kimia yang digunakan dalam kegiatan pertanian seperti pupuk dan pestisida tanpa disadari merupakan sarana bagi perusahaan transnasional untuk meraih keuntungan dari program

(2)

ini. Para penyuluh pertanian yang menjadi agen dalam pembangunan pertanian yang secara tidak langsung sekaligus berperan sebagai agen perusahaan bahan kimia tersebut.

Ketika memasuki era tahun 1990-an penggunaan bahan-bahan kimia ini mencapai titik jenuh dan peningkatan produksi padi semakin sulit dipertahankan. Sebagian masyarakat mulai menyadari tentang bahaya atau pencemaran yang ditimbulkan oleh bahan-bahah kimia tersebut. Di sisi lain, para petani mulai tergantung dengan penggunaan bahan-bahan kimia ini tersebut. Kehidupan petani menjadi semakin terdesak ketika kebebasan dalam berusaha tani secara perlahan mulai tercabut dari sistem sosial mereka. Padahal sebelum era revolusi hijau, benih atau bibit, pupuk organik dan sarana produksi pertanian mereka usahakan dan produksi sendiri. Kini, para petani harus membeli benih unggul, pupuk, pestisida dan berbagai peralatan mesin pertanian. Sarana produksi ini semakin hari semakin meningkat harganya, bahkan dalam kondisi tertentu, pupuk kimia yang menjadi andalan petani sering sulit ditemukan di pasaran pada saat dibutuhkan.

Pertanian di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Barito Kuala sudah dikembangkan sejak ratusan tahun yang lalu dengan komoditas utama padi sawah. Jenis padi sawah yang dikembangkan merupakan padi varietas lokal yang spesifik tumbuh baik di lahan rawa pasang surut dengan toleransi tinggi terhadap kemasaman tanah. Produktivitas padi lokal ini hanya 2,0-3,5 ton perhektar dan tergolong rendah dibandingkan dengan produktivitas padi unggul di wilayah agroekosistem lainnya (terutama pada lahan beririgasi seperti di Jawa yang dapat mencapai 4,0-6,0 ton perhektar). Di sisi lain, pengusahaan padi lokal ini juga hanya dilakukan sekali setahun mengingat umurnya yang relatif panjang, mencapai 9-11 bulan. Tanaman padi bukan hanya sekedar sebagai komoditas pertanian semata, tetapi menyangkut sistem sosial yang dikembangkan. Teknis budidaya yang dikembangkan merupakan implementasi kehidupan sosial masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Berbagai pengetahuan, teknologi dan kearifan yang dikembangkan masyarakat sangat terkait dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut di wilayah ini. Sistem pertanian padi seperti ini dalam konteks pembangunan pertanian dianggap tidak efisien danj perlu ditingkatkan, baik menyangkut produktivitasnya maupun indeks pertanamanannya agar dapat diusahakan dua kali setahun dengan produktivitas yang tinggi.

(3)

Program peningkatan produksi padi di lahan rawa pasang surut mulai dilaksanakan pada tahun 1970-an. Penggunaan benih unggul dan pupuk buatan seperti Urea menjadi dasar dalam pengembangan pertanian modern di lahan rawa pasang surut. Pengembangan pertanian modern dengan menggunakan bibit unggul berumur pendek yang diawali dengan varietas PB5 dan PB8 yang berumur 120-130 hari ternyata kurang mendapat respon petani di wilayah ini. Faktor penyebabnya adalah penerapan sistem penanaman yang jauh berbeda dengan yang selama ini dilakukan petani, biaya produksi yang relatif tinggi, rasa nasi yang kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat, serta produktivitasnya di lahan rawa pasang surut yang tidak jauh berbeda dengan varietas lokal (hanya mencapai 3 ton perhektar). Faktor penting lainnya adalah karena sistem pertanian padi unggul ini akan merubah sistem dan tatanan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat setempat. Perubahan tatanan sosial ini meliputi perubahan pola matapencaharian, organisasi sosial, penguasaan lahan, serta sistem upah dan bagi hasil.

Pengembangan pertanian modern di lahan rawa pasang surut selain diintroduksi melalui kegiatan penyuluhan pertanian, juga diintegrasikan dengan program transmigrasi lahan rawa pasang surut. Penempatan transmigran di lahan rawa pasang surut ini selain untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa dan Bali juga untuk menjadi pelopor pertanian modern di lahan rawa pasang surut. Oleh karena itu para transmigran ini diharapkan dapat memberikan bimbingan dan contoh bagi masyarakat setempat dalam pengembangan pertanian padi unggul yang lebih modern. Beberapa unit pemukiman transmigrasi (UPT) yang dikembangkan di lahan rawa pasang surut, khususnya di Kabupaten Barito Kuala dapat dilihat pada Lampiran 13.

Daerah asal transmigran ini meliputi wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, DKI Jakarta Bali, Nusa Tenggara Barat, dan penduduk lokal di Kabupaten Barito Kuala. Mengingat kondisi spesifik lahan rawa pasang surut dengan kemasaman yang tinggi dan adanya lapisan pirit yang tidak boleh terangkat ke atas, sistem pertanian yang diterapkan oleh para transmigran ini harus menyesuaikan dengan cara-cara yang dilakukan oleh petani setempat, terutama penggunaan alat tajak. Penggunaan cangkul sebagaimana yang umumnya digunakan oleh petani di Jawa ternyata justeru berakibat terangkatnya lapian pirit ke permukaan dan meracuni tanaman padi. Dalam tahap selanjutnya ternyata sebagian besar transmigran ini turut

(4)

mengusahakan padi lokal. Kondisi lahan rawa pasang surut dengan tingkat kemasaman tinggi di lahan rawa pasang surut, pada awal penempatan mereka memaksa mereka untuk menanam varietas lokal yang memang toleran dengan kondisi ini. Perkembangan sains dan pertanian modern pada masing-masing tipe lahan rawa pasang surut memperlihatkan kondisi yang tidak sama.

7.1.1 Lahan rawa pasang surut tipe A

Lahan rawa pasang surut tipe A, merupakan lahan yang selalu terluapi oleh air baik pada saat pasang besar maupun saat pasang kecil. Pertanian di lahan rawa pasang surut tipe A merupakan wilayah pertama yang dikembangkan oleh petani setempat. Sejak ratusan tahun silam petani di lahan rawa pasang surut tipe A mengusahakan varietas lokal. Daerah-daerah yang termasuk kategori pasang surut tipe A ini umumnya terletak di pesisir atau di pinggiran sungai Barito.

Semenjak masuknya era revolusi hijau di wilayah ini, terutama di Kecamatan Tabunganen yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan rawa pasang surut tipe A, pertanian modern diintroduksi ke wilayah ini. Untuk mendukung pengembangan pertanian, pada tahun 1983 dibangun Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Benih unggulpun mulai dikenalkan kepada petani, tetapi tidak diminati petani, terutama karena secara teknis tidak cocok untuk ditanam di wilayah yang selalu terluapi air pada saat pasang. Menurut salah seorang petani (Dmw, 65 tahun), beberapa petani pernah menamam padi unggul ini pada lahan-lahan yang agak tinggi. Ternyata jenis padi unggul yang ditanam ini justeru diserang hama walang sangit dan berakibat lahan-lahan di sekitarnya juga ikut terserang hama tersebut. Begitu juga dengan penanaman padi unggul pada musim tanam kedua, karena yang menanamnya hanya beberapa petani, kebanyakan mengalami kegagalan akibat serangan tikus. Akibatnya hingga sekarang petani tidak tertarik lagi untuk mengusahakan padi unggul yang berumur pendek baik pada saat bersamaan dengan varietas lokal maupun pada musim tanam kedua setelah penanam varietas lokal.

Secara sosial, budidaya padi unggul ini juga kurang sesuai dengan pola kebiasaan masyarakat setempat. Padi unggul harus dikelola dengan pemeliharaan yang intensif sehingga curahan waktu kerja juga lebih banyak. Padahal masyarakat setempat memiliki pola pembagian waktu (baik harian, mingguan, maupun bulanan) yang disesuaikan dengan ritme kondisi alam serta

(5)

berbagai jenis mata pencaharian lainnya. Selain mengusahakan tanaman padi, masyarakat setempat juga mengusahakan tanaman perkebunan seperti kelapa dan usaha penangkapan ikan (perikanan darat maupun perikanan laut)

Berbeda halnya dengan penggunaan pupuk buatan seperti Urea dan pestisida direspon positif oleh masyarakat. Walaupun demikian, pupuk buatan ini baru meluas penggunaannya semenjak tahun 1990-an. Selain untuk memupuk tanaman, pupuk Urea ini juga digunakan pada fase pembibitan (lacak dan tangkar anak). Penggunaan pestisida secara meluas baru lima tahun terakhir, terutama untuk pengendalian walang sangit dan tikus. Penggunaan kapur pertanian untuk mengatasi kemasaman tanah justeru telah lama dikenal dan digunakan oleh petani dibandingkan dengan pupuk buatan dan pestisida. Para petani di wilayah ini telah mengenal kapur untuk mengurangi kemasaman tanah sejak tahun 1985.

Kegiatan penyuluhan pertanian di wilayah ini menurut pandangan petani baru dilakukan secara intensif dalam lima tahun terakhir. Kelompok tani sebagai salah satu organisasi sosial dalam kehidupan masyarakat petani di wilayah ini digunakan oleh penyuluh untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan di bidang pertanian. Materi penyuluhan yang diberikan menyangkut aspek pengendalian hama tikus pada tanaman padi, diversifikasi pertanian dengan pemanfaatan surjan atau tembokan untuk tanaman sayuran, pemeliharaan saluran air, dan pengembangan ternak itik dan ayam buras. Tata air merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi peningkatan produksi padi di wilayah lahan rawa pasang. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan pertanian di wilayah ini lebih difokuskan pada teknik pembuatan dan pemeliharaan saluran air di sawah petani.

Penggunaan peralatan pertanian modern di wilayah pasang surut tipe A terbatas pada peralatan panen dan pasca panen. Peralatan tradisional untuk kegiatan panen yang umum digunakan petani adalah ani-ani (disebut juga ranggaman). Alat panen ini berbahan utama dari kayu, bambu dan potongan pisau silet, selain itu juga banyak di jual di warung atau kios-kios yang ada di desa. Pemerintah melalui kegiatan penyuluhan pertanian telah lama memperkenalkan alat panen berupa sabit bergerigi sebagai pengganti ani-ani atau ranggaman ini. Sebelumnya petani enggan mengganti ani-ani dengan sabit bergerigi ini.

(6)

Penolakan petani ini didasari oleh oleh alasan yang bersifat teknis dan nonteknis. Secara teknis, menurut mereka menggunakan sabit bergerigi mengakibatkan malai padi yang masih belum masak sempurna akan ikut terpanen dan akan berpengaruh terhadap kualitas gabah yang diperoleh nantinya. Begitu juga dengan menggunakan mesin perontok, akan mengakibatkan beras yang dihasilkan nantinya akan banyak yang patah atau rusak. Aspek nonteknis terkait dengan kepercayaan petani tentang perlakuan terhadap padi sebagai bahan makanan. Padi yang dipanen dengan cara disabit harus dirontok dengan dipukul-pukulkan pada alas kayu atau bambu maupun dengan menggunakan mesin perontok. Menurut kepercayaan sebagian besar petani, merupakan pantangan (pamali) memperlakukan padi dengan cara dipukul-pukul tersebut.

Seiring dengan semakin luasnya areal tanam serta semakin susahnya untuk mencari tenaga upahan, sejak empat tahun terakhir petani mulai menggunakan sabit bergerigi untuk kegiatan panen. Dalam teknis pelaksanaannya, para petani menyabit tanaman padi lebih dekat ke arah tangkai malai. Hal ini dilakukan terkait dengan teknik perontokan yang masih menggunakan cara diinjak-injak (diirik). Mesin perontok juga mulai digunakan tetapi dengan pengaturan khusus pada kecepatan putarannya. Berdasarkan pengalaman petani, agar beras yang dihasilkan nantinya tidak banyak yang rusak atau patah, maka putaran mesin perontok harus diatur atau diperlambat.

Secara sosial, masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat dan terhimpun dalam kelompok-kelompok handil. Kegiatan gotong-royong sebagai modal utama dalam usahatani padi masih tetap dipertahankan terutama dalam kegiatan penanaman. Pengembangan usaha tani padi modern yang ditujukan untuk peningkatan produksi bagi mereka merupakan program pemerintah yang perlu didukung selama kegiatan tersebut juga mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, kesesuaian teknologi yang diintroduksi dengan kondisi alam dan sistem sosial masyarakat menjadi pertimbangan utama penerimaan masyarakat. Bibit unggul nasional yang diintroduksi ternyata secara teknis sangat tidak cocok dengan kondisi lingkungan yang ada sehingga pada wilayah lahan rawa pasang surut hingga kini tidak ada petani yang menanam bibit unggul tersebut. Bibit unggul yang ditanam pada umur 21-28 hari mempunyai batang kecil dan tinggi 10-15 cm, sementara air di sawah pada saat pasang mencapai kedalaman 40 cm.

(7)

Sebaliknya, pupuk anorganik dan peralatan baru seperti sabit bergerigi dan mesin perontok mulai meluas digunakan oleh para petani.

7.1.2 Lahan rawa pasang surut tipe B

Lahan rawa pasang surut tipe B merupakan tipikal lahan yang hanya terluapi oleh air pada saat pasang besar (pasang tunggal). Dibandingkan dengan wilayah di pasang surut tipe A, kegiatan introduksi pertanian modern lebih berkembang dan banyak dilakukan dilakukan di lahan rawa pasang surut tipe B ini. Hal ini karena secara teknis, budidaya padi unggul dapat dilakukan walaupun dengan kendala kemasaman tanah yang cukup tinggi. Selain itu, pada wilayah ini juga bisa diterapkan sistem pertanian padi dengan pola dua kali tanam setahun. Introduksi varietas unggul ini menimbulkan konflik kepentingan antara petani dengan pemerintah atau petugas penyuluh. Petani umumnya menolak untuk menanam padi unggul sebagai pengganti padi lokal terutama pada musim tanam Maret-Agustus dengan alasan rasa nasi yang kurang cocok maupun masalah harga dan pemasaran yang sulit.

Walaupun tidak terjadi pemaksaan kepada petani untuk menanam padi unggul, tetapi banyak bantuan sarana produksi dan kredit usahatani yang dikaitkan dengan kegiatan penanaman padi unggul. Petani yang mau menanam padi unggul akan memperoleh bantuan bibit, pupuk maupun kredit usahatani. Ternyata insentif ini tetap tidak mampu mendorong petani untuk mengganti varietas lokal yang selama ini dengan varietas unggul yang dianjurkan pemerintah seperti IR-36,IR-42, IR-66, Cisokan, hingga varietas Ciherang seperti saat ini.

Pola dua kali setahun yang memungkinkan diterapkan pada wilayah ini adalah pola tanam padi lokal-unggul, dimana pada musim tanam pertama (Maret-Agustus) ditanam bibit padi lokal, sedangkan pada musim tanam kedua (Oktober-Pebruari) ditanam bibit padi unggul nasional berumur pendek. Walaupun memungkinkan untuk ditanam dengan pola padi unggul-unggul, tetapi secara sosial hal ini sulit dilakukan karena para petani setempat masih belum bisa meninggalkan padi lokal, terutama untuk keperluan konsumsi rumah tangga sendiri. Pola tanam padi lokal-unggul ini pada tahun 1995 digalakkan pemerintah Kalimantan Selatan dengan nama program penanaman padi dengan pola sawit dupa yang merupakan singkatan dari ‘satu kali mewiwit dua kali panen’ yang berarti satu kali membibit, dua kali panen. Pola sawit dupa ini

(8)

dilakukan dengan melaksanakan pembibitan padi lokal dan unggul pada waktu bersamaan, sekitar bulan Oktober. Setelah disemai sekitar 20-25 hari, bibit padi unggul selanjutnya ditanam pada lahan yang telah disiapkan, sedangkan padi lokal proses pembibitannya siap ditanam berlangsung hingga sekitar bulan Maret, setelah selesai panen padi unggul pada akhir Pebruari.

Penanaman padi unggul pada musim tanam kedua (Oktober-Pebruari) inipun ternyata kurang banyak diminati petani dengan berbagai pertimbangan teknis dan sosial ekonomi. Petani yang mau menanam padi unggul pada musim kedua ini umumnya hanya dalam luasan yang kecil 0,5-1,0 ha dan terkait dengan program yang dilaksanakan pemerintah, misalnya program SLPTT. Petani yang mengikuti program seperti ini akan memperoleh bantuan benih dengan cuma-cuma serta kredit untuk pembelian sarana produksi lainnya seperti pupuk dan pestisida. Hasil dari kegiatan ini baik produksi maupun pendapatan menjadi pertimbangan bukan hanya petani yang mengikuti program ini, tetapi juga petani sekitarnya.

Secara teknis, penamanan padi unggul pada musim kedua (Oktober-Pebruari) mengandung risiko kegagalan yang cukup tinggi karena serangan hama dan penyakit. Hama utama bagi pertanian padi di Kalimantan Selatan, terutama di wilayah lahan rawa pasang surut adalah tikus. Intensitas serangan ini akan semakin besar dirasakan karena pada musim tanam kedua ini hanya sebagian kecil petani yang melakukan penanaman padi. Akibatnya serangan tikus akan terfokus pada wilayah tersebut. Secara sosial ekonomis, biaya yang dikeluarkan relatif besar (terutama untuk biaya pupuk dan pestisida), sedangkan hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan padi lokal serta adanya risiko gagal panen akibat serangan tikus. Di sisi lain, harga jual gabah padi unggul relatif rendah serta sulit dipasarkan. Bagi sebagian petani pada bulan-bulan tersebut (Oktober-Pebruari) umumnya mereka menekuni pekerjaan sampingan seperti mencari ikan, mencari kayu galam, maupun bekerja sebagai tukang kayu atau buruh bangunan. Selain itu, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka selama ini, sawah di lahan rawa pasang surut perlu diistirahatkan agar kesuburan tanahnya dapat lebih terjaga.

Untuk penggunaan pupuk buatan atau pupuk anorganik telah dikenal dan digunakan petani sejak tahun 1980, penggunaan pestisida sejak tahun 1995 dan mulai meluas penggunaannya pada tahun 2000. Untuk kapur pertanian digunakan petani secara meluas sejak tahun 2000. Penggunaan kapur dalam

(9)

kegiatan pertanian, bagi petani setempat bukan hanya untuk mengatasi kemasaman tanah tetapi juga digunakan untuk mempercepat proses pembusukan sisa-sisa gulma dari kegiatan pengolahan tanah dengan peralatan tajak. Beberapa petani kini juga menggunakan herbisida sebelum kegiatan pengolahan tanah untuk mempermudah proses pengolahan tanah serta mempercepat proses pembusukan gulma-gulma tersebut.

Penggunaan peralatan pertanian seperti traktor tangan walaupun pernah dilakukan pada tahun 2001 melalui program mekanisasi pertanian yang dilaksanakan pemerintah,. Penggunaan traktor tangan ini terkendala kondisi lahan yang kurang sesuai (dapat menyebabkan terbongkarnya lapisan pirit) sehingga tidak diminati petani. Untuk penggunaan peralatan panen seperti sabit bergerigi dan mesin perontok mulai digunakan sejak empat tahun terakhir. Penggunaan peralatan panen dan pasca panen ini mulai banyak diminati hingga kini karena areal panen yang cukup luas dan untuk mempersingkat masa panen serta tenaga kerja upahan yang semakin sulit diperoleh dan upah yang relatif mahal.

Teknologi pertanian modern lainnya yang diintroduksi ke wilayah sejak tahun 2003 adalah praktik pertanian yang berwawasan lingkungan melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi penggunaan pestisida dengan menggunakan pengendalian mekanis dan biologis terutama penggunan musuh alami. Konsep SLPHT ini dikembangkan seiring dengan semakin meningkatnya kekhawatiran akan pencemaran lingkungan dan penggunaan bahan kimia bagi petani pemakainya maupun produk pertanian yang dihasilkan. Menurut petani, walaupun konsep ini sangat sesuai dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan, tetapi dalam aplikasinya sulit untuk dilakukan serta memerlukan tenaga kerja tambahan. Di sisi lain, ketergantungan terhadap bahan kimia baik pestisida maupun herbisida sudah cukup tinggi maka sulit untuk menerapkan konsep ini di lapangan.

Teknologi pertanian terbaru yang sekarang diintroduksi ke wilayah ini adalah Sekolah Lapang Pengelolan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SLPTT). Program ini merupakan salah satu program nasional yang diaplikasikan di lahan rawa pasang surut. Program ini dilatarbelakangi karena kegiatan pertanian yang selama ini ada wilayah pasang surut di dominasi oleh varietas lokal (sekitar 90% produksi disumbangkan oleh padi varietas lokal

(10)

dengan produksi rendah). Oleh karena itu untuk meningkatkan produkstivitas padi perlu dilakukan efisiensi usahatani dengan penerapan teknologi yang memiliki efek sinergis dimana petani berpartisipasi mulai dari perencanaan ampai pengembangannya. Terdapat sebelas15 komponen utama dalam kegiatan SLPTT ini, yang salah satunya adalah penggunaan variteas unggul. Terkait dengan hal inilah, kemungkinan teknologi SLPTT ini tidak dapat diharapkan dapat diadopsi petani secara cepat.

Seperti halnya dengan wilayah pasang surut tipe lainnya, di wilayah ini masyarakat petaninya bersifat terbuka dengan pembaharuan dan modernisasi pertanian yang dilaksanakan pemerintah sejauh kegiatan atau introduksi tersebut mengarah pada upaya peningkatan kesejahteraan mereka. Terbukanya dan semakin membaiknya akses transportasi darat serta akses informasi di wilayah lahan rawa pasang surut tipe B membuat kehidupan sosial ekonomi masyarakat juga semakin meningkat. Perkembangan ini berimplikasi terhadap pola pikir dan orientasi petani setempat ke arah sistem pertanian yang semakin komersial. Pengembangan tanaman hortikultura seperti jeruk, rambutan dan mangga semakin mendorong petani setempat untuk memanfaatkan surjan atau tukungan yang ada di sawah untuk mengembangkan jenis-jenis tanaman tersebut.

Faktor lain yang juga turut berpengaruh adalah banyaknya kegiatan penelitian dan uji coba sistem pertanian modern dengan pola terpadu di lahan rawa pasang surut tipe yang dilakukan oleh lembaga penelitian seperti Balai Penelitian Petanian Lahan Rawa (Balittra) maupun Dinas Pertanian setempat. Keterlibatan petani dalam berbagai uji coba dan penelitian di wilayah ini secara tidak langsung memberikan pengetahuan dan wawasan baru bagi mereka tentang upaya-upaya peningkatan produksi pertanian di lahan rawa pasang surut.

15 Komponen teknologi utama dalam SLPTT meliputi : 1) varietas unggul yang sesuai dengan kondisi lingkungan, 2) benih bermutu/berlabel, 3) pengolahan tanah secara sempurna, 4)umur bibit sesuai anjuran, 5) pengaturan jarak tanam, 6) pemberian pupuk organik, 7) pupuk anorganik sesuai kebutuhan/berimbang, 8) pemberian air secara efektif dan efisien, 9)

pengendalian HPT secara terpadu, 10) pengendalian gulma secaar tepat, dan 11) penanganan panen dan pascapanen dengan baik

(11)

7.1.3 Lahan rawa pasang surut tipe C

Lahan rawa pasang surut tipe C adalah tipe lahan yang tidak terluapi air pasang walaupun pasang besar, air pasang hanya berpengaruh secara tidak langsung terhadap permukaan air tanah yang kedalamannya kurang dari 50 cm. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe C, pertanian modern yang diintroduksi pemerintah melalui kegiatan penyuluhan pertanian ditandai dengan diperkenalkannya bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida. Pupuk anorganik seperti Urea dan TSP mulai dikenal petani sejak tahun 1980-an dan mulai meluas penggunaannya sejak tahun 1985.

Terhadap introduksi varietas unggul, petani di wilayah ini juga kurang berminat untuk menanamnya. Menurut mereka varietas unggul memerlukan modal yang relatif besar terutama untuk keperluan pembelian pupuk, pestisida dan upah kerja (karena ada kegiatan pembersihan gulma atau penyiangan). Rasa nasi yang kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat serta harga yang rendah dan sulitnya pemasaran merupakan faktor yang juga membuat petani enggan menanam padi unggul. Aspek sosial lainnya terkait dengan berkurangnya kesempatan untuk melakukan kegiatan lain di luar usahatani padi. Hal ini karena padi unggul memerlukan curahan tenaga kerja yang intensif dibandingkan dengan padi lokal. Akibatnya mereka tidak bisa mengerjakan pekerjaan sampingan lainnya untuk menambah ekonomi keluarga.

Penggunaan pupuk buatan, terutama Urea pada awalnya hanya sebagai pelengkap untuk menambah kesuburan tanah selain penggunan bahan organik dari sisa-sisa gulma dalam pengolahan tanah. Dalam perkembangan selanjutnya Urea ini juga digunakan untuk memupuk bibit padi lokal pada fase lacak dengan tujuan agar diperoleh bibit yang besar dengan anakan yang banyak. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman petani setempat, pupuk Urea sangat cocok untuk mempercepat pertumbuhan bibit dan perkembangan padi pada awal pertanaman. Mereka juga mengetahuan bahwa varietas padi lokal tidak boleh dipupuk dengan Urea dalam jumlah yang banyak karena tanaman akan mudah roboh dan dapat berpengaruh buruk berupa peningkatan kemasaman tanah. Rekomendasi penggunaan pupuk anorganik dari penyuluh pertanian untuk wilayah ini per hektarnya adalah: Urea 150 kg, SP 100 kg, dan NPK atau Ponska 50 kg.

(12)

Mengenai penggunaan kapur pertanian untuk mengatasi kemasaman tanah telah lama dikenal dan direkomendasikan melalui kegiatan penyuluhan pertanian. Tetapi penggunaan garam untuk tujuan mengurangi kemasaman tanah menurut Kepala Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Tamban belum dibuktikan secara ilmiah. Pada awalnya sekitar tahun 1980 petani setempat menggunakan kapur bakar untuk mengatasi kemasaman tanah, dan pada tahun 1990 mulai menggunakan kapur pertanian (dolomit). Rata-rata penggunaan kapur pertanian oleh petani di wilayah ini sekitar 1-2 ton/ha tergantung tingkat kemasaman lahannya. Walaupun petani mengetahui dengan pasti bahwa kapur pertanian dapat mengurangi tingkat kemasaman tanah, tetapi karena keterbatasan modal usahatani hanya penggunaannya masih di bawah rekomendasi (rekomendasi 3-5 ton/ha).

Penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian padi sudah dikenal sejak tahun 1995 dan meluas penggunaannya sejak tahun 2000. Khusus untuk herbisida atau bahan kimia pengendali rumput dan gulma penggunaanya juga meluas sejak tahun 2000. Herbisida ini digunakan untuk mempermudah kegiatan pengolahan tanah dan mempercepat proses pembusukan gulma dari hasil pengolahan tanah tersebut. Seiring dengan pesatnya penggunaan pestisida di wilayah lahan rawa pasang surut dan kekhawatiran akan dampak negatifnya. Dinas pertanian setempat melaksanakan kegiatan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPTT) sebagai implementasi dari pertanian yang berwawasan lingkungan. Kegiatan ini telah dilaksanakan di wilayah ini sejak dua tahun terakhir melalui kegiatan kelompok tani.

Teknologi pertanian modern lainnya yang saat ini sedang dilakukan ujicobanya di wilayah ini adalah penggunaan trichoderma sebagai upaya untuk mengintensifkan penggunaan pupuk organik yang ada di lahan pertanian dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Uji coba penggunaan trichoderma ini dilakukan pada lahan petani dan melibatkan petani setempat dalam kegiatannya. Penggunaan trichoderma dalam kegiatan usahatani padi ini salah satunya dilatarbelakangi dengan seringnya terjadi kelangkaan pupuk anorganik yang berimbas terhadap menurunnya produksi padi. Teknologi baru ini belum menyebar luas di kalangan petani karena masih dalam tahap uji coba lapangan.

Peralatan pertanian yang diintroduksi melalui kegiatan penyuluhan pertanian di wilayah ini antara lain penggunaan sabit bergerigi dan mesin perontok. Penggunaan kedua peralatan pertanian ini mulai banyak digunakan

(13)

petani sejak tahun 2005. Walaupun demikian, masih ada petani yang menggunakan ani-ani (ranggaman) dan merontok padi dengan cara diinjak-injak (diirik). Umumnya petani yang memiliki tenaga kerja keluarga yang cukup dan lahan yang diusahakan tidak terlalu luas biasanya lebih senang menggunakan cara lama tersebut. Salah satu pertimbangannya adalah menyangkut biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan mesin perontok.

7.1.4 Lahan rawa pasang surut tipe D

Pertanian di lahan rawa pasang surut tipe D dapat dikatakan sebagai jenis lahan tadah hujan. Hal ini karena air pasang besarpun tidak mampu masuk ke areal persawahan, hanya berpengaruh secara tidak langsung terhadap permukaan air tanah yang kedalamannya lebih dari 50 cm. Introduksi pertanian modern melalui kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan di wilayah ini terkait dengan paket teknologi benih unggul termasuk penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk buatan dan pestisida serta penggunaan peralatan pertanian modern.

Upaya memperkenalkan penggunaan benih unggul di wilayah ini sejak tahun 1985 kurang mendapat respon dari masyarakat, karena menurut petani setempat karakteristik budidaya dan beras atau nasi dari varietas unggul tersebut kurang cocok dengan kondisi lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Padi unggul memerlukan pemeliharaan yang intensif, modal yang relatif besar, serta rasa nasi yang kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat. Selain itu tanaman padi unggul rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga diperlukan biaya tambahan untuk pengendalian hama dan penyakit tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan introduksi pertanian modern di lahan rawa pasang surut tipe D ini juga kurang berkembang.

Penggunaan pupuk buatan untuk tanaman padi lokalpun baru direspon secara meluas pada tahun 1995 dan dengan dosis yang masih jauh dari anjuran penyuluh. Sebagian besar petani hanya menggunakan Urea untuk memupuk pembibitan (lacak) dan awal pertanaman saja. Hal ini terkait dengan ketersediaan modal usahatani dan sifat padi lokal yang memang kurang responsif terhadap pemupukan. Begitu juga halnya dengan penggunaan pestisida, hanya sebagian kecil petani yang menggunakannya. Tetapi berbeda halnya dengan herbisida, banyak petani yang mengaplikasikannya untuk mempermudah kegiatan pengolahan tanah dan mempercepat proses

(14)

pembusukan sisa-sisa gulma dari hasil pengolahan tanah tersebut. Penggunaan herbisida ini mulai meluas digunakan sejak tahun 2000.

Peralatan pertanian seperti sabit bergerigi dan mesin perontok baru mulai digunakan oleh beberapa petani sejak tiga tahun terakhir. Sebagian besar petani di wilayah pasang surut tipe D ini masih menggunakan ani-ani (ranggaman) untuk kegiatan panen dan merontoknya dengan cara diinjak-injak (diirik). Berbeda dengan pertanian di tipe lahan rawa pasang surut lainnya, petani di tipe D ini lebih mengutamakan pengaturan tata air dengan penggunaan bendungan sederhana (disebut juga tabat) untuk meningkatkan produksi padi. Oleh karena itulah, dalam upaya meningkatkan produksi padi di lahan rawa pasang surut tipe D, pemerintah telah membangun beberapa tabat. Pembangunan tabat ini dilakuan sejak tahun 2000 dengan tujuan agar air hujan yang ada dapat ditahan selama mungkin untuk menjaga pertumbuhan tanaman padi. Upaya menjaga kondisi air ini penting untuk mengurangi risiko kekeringan yang dapat mengakibatkan terangkatnya lapisan pirit yang bersifat racun bagi tanaman.

Teknologi pertanian modern lainnya sebagai bagian dalam pembinaan petani yang diintroduksi ke wilayah sejak tahun 2005 berupa praktik pertanian yang berwawasan lingkungan melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Program ini merupakan bagian dari program nasional yang dilakukan untuk mengurangi penggunaan pestisida dengan menggunakan pengendalian mekanis dan biologis terutama penggunan musuh alami. Dalam kenyataannya, di wilayah ini penggunaan pestisida masih jarang digunakan, kecuali penggunan herbisida untuk mempermudah kegiatan pengolahan tanah di persawahan.

Gambaran perbandingan teknologi modern di bidang pertanian yang dintroduksi pada masing-masing tipe lahan rawa pasang surut ini dapat diringkaskan seperti Tabel 14.

(15)

Tabel 14 Perbandingan perkembangan teknologi modern di lahan rawa pasang surut Komponen teknologi pertanian modern Desa Tabunganen Muara Lahan rawa pasang surut tipe A Desa Sungai Tunjang Lahan rawa pasang surut tipe B Desa Tinggiran Darat Lahan rawa pasang surut tipe C Desa Simpang Nungki Lahan rawa pasang surut tipe D Benih unggul Tidak ada petani yang menanam Pola tanam unggul – lokal sejak 1995 Diperkenalkan sejak 1980 dan kini dikaitkan dengan program SLPTT Pernah ditanam tahun 1985, tetapi sekarang tidak lagi Pupuk kimia Urea mulai digunakan sejak 1990 terutama pada pembibitan Mulai digunakan sejak 1980 Dikenal sejak 1980 dan meluas tahun 1985 Mulai digunakan sejak 1995 Pestisida Mulai digunakan sejak 2004 Mulai digunakan sejak 1995 Mulai dikenal 1995 dan meluas tahun 2000 Digunakan sejak 2000, terutama herbisida Peralatan pertanian Sabit bergerigi dan mesin perontok sejak 2005 Traktor tangan pernah dicoba tahun 2001, sabit bergerigi dan mesin perontok sejak 2005 Sabit bergerigi dan mesin perontok sejak 2005 Sabit bergerigi dan mesin perontok sejak 2006 Program pembinaan petani BPP dibangun 1983 SLPHT sejak 2003, SLPTT, 2008. SLPTT sejak 2008 SLPHT tahun 2003

Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009

7.2 Bentuk-Bentuk Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut

Sebelum era pembangunan pertanian dikembangkan pemerintah di lahan rawa pasang surut, masyarakat setempat telah mengembangkan sistem pertanian padi sawah satu kali setahun dengan menggunakan varietas lokal. Upaya pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk kepentingan pertanian didasarkan atas pengetahuan lokal yang bersifat spesifik dan adaptif dengan sistem kehidupan masyarakat setempat. Semenjak era orde baru, pemerintah

(16)

melalui program pembangunan pertanian telah mengintroduksi sistem pertanian modern dan teknologi baru berbasis sains dalam kehidupan masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Introduksi ini ini membawa dinamika perubahan yang bukan hanya terkait pada aspek teknis pertanian semata, tetapi mencakup perubahan pada sistem kehidupan masyarakat setempat. Dinamika perubahan ini dapat terjadi pada aras suprastuktur yang mencakup perubahan nilai-nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat, aras struktur yang mencakup kelembagaan masyarakat serta aras infrastruktur dalam kehidupan masyarakat.

Pengetahuan baru yang masuk dalam kehidupan petani ini berinteraksi dengan pengetahuan lokal yang selama ini telah dimiliki petani setempat. Proses kontestasi kedua entitas pengetahuan ini dapat menghasilkan bentuk koeksistensi, dominasi, dan hibridisasi. Bentuk-bentuk kontestasi yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan sistem sosial masyarakat, termasuk berbagai bentuk intervensi pemerintah melalui program pembangunan pertanian. Dalam konteks ini, aspek kepentingan dan proses komunikasi yang merupakan bagian penting yang akan membawa kemana arah kontestasi tersebut akan terbentuk.

7.2.1 Bentuk Koeksistensi

Koeksistensi terjadi jika kedua entitas pengetahuan tersebut masing-masing mempertahankan keberadaannya. Walaupun keberadaan kedua entitas ini diakui dalam kehidupan masyarakat, proses lebih lanjut akan menghasilkan marginalisasi terhadap salah satunya. Hal ini karena adanya suatu entitas pengetahuan yang lebih berkembang dan diakui oleh masyarakat setempat. Proses koeksistensi antara sains pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut terkait erat dengan introduksi sistem pertanian padi modern berbasis padi unggul dengan sistem pertanian padi tradisional yang mengusahakan varietas lokal.

Walaupun di lahan rawa pasang surut tipe A tidak ada petani yang menanam varietas unggul, tetapi beberapa paket teknologi yang menyertai sistem pertanian modern ini ada yang diadopsi oleh petani setempat. Penggunaan peralatan panen dan pasca panen dalam pertanian modern seperti sabit bergerigi telah digunakan petani di wilayah ini. Teknologi ini dikembangkan untuk mempercepat proses pemanenan dan mengurangi kehilangan hasil. Walaupun demikian, sebagian petani lainnya masih

(17)

menggunakan cara lama dengan ani-ani atau ranggaman dan merontoknya dengan cara dinjak-injak atau diirik. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani setempat bahwa padi varietas lokal mudah rontok sehingga ani-ani merupakan alat tepat untuk memanen padi. Bagi petani yang menggunakan sabit bergerigi dan mesin perontok pertimbangannya karena keterbatasan tenaga pemanen dan perlunya segera padi yang masak untuk dipanen. Petani yang memiliki lahan relatif luas dan tenaga kerja upahan sulit diperoleh biasanya akan menggunakan sabit bergerigi dan mesin perontok.

Pada sisi lain, pertimbangan untuk memilih cara pemanenan ini juga tergantung dari keputusan petani pemilik sawah, sehingga pekerja panen harus mengikuti keinginan pemilik sawah tersebut. Oleh karena itu, hingga sekarang kedua cara memanen dan merontok padi tersebut masih dilakukan di wilayah lahan rawa pasang surut. Pada wilayah-wilayah yang sulit untuk mencari tenaga pemanen, perubahan ini akan cepat berlangsung karena tananam padi yang terlambat dipanen mudah rontok atau rusak. Gambaran di atas menunjukkan bahwa sistem upah yang berkembang di masyarakat turut berpengaruh terhadap eksistensi pengetahuan lokal masyarakat, terutama kaitannya dengan pengetahuan tentang peralatan panen dan pasca panen.

Khusus untuk agroeksistem lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D, sistem pertanian padi unggul sudah mulai berkembang dan ditanam pada musim tanam kedua (Oktober-Pebruari). Luas pertanaman padi unggul yang ditanam pada musim kedua tahun 2008/2009 mencapai 1.342 hektar (1,26%) dari 106.629 hektar areal sawah pasang surut di Kabupaten Barito Kuala. Pada musim tanam pertama (Nopember-Agustus) para petani di lahan rawa pasang surut sebagai besar tetap mengusahakan tanaman padi lokal. Pada periode Oktober-April merupakan periode bera di mana lahan sawah diistirahatkan dan hanya sebagian kecil (sekitar 20% bagian dari lahan) digunakan untuk proses pembibitan padi lokal (lacak). Pada periode bera inilah pemerintah melalui kegiatan penyuluhan mengintroduksi sistem pertanian padi unggul. Sebagian besar petani tetap dengan pola lama yakni memberakan lahannya untuk menjaga kesuburan tanah, sedangkan sebagian lagi mengusahakannya dengan padi unggul.

Koeksistensi pengetahuan lokal dengan sains ini juga terdapat dalam kelembagaan atau organisasi sosial petani. Proses ini terjadi karena masuknya pengetahuan baru (sains) yang menjadi dasar dalam sistem pertanian modern

(18)

tersebut juga berpengaruh terhadap kelembagaan dan organisasi sosial petani setempat. Sistem pertanian modern lebih menekankan pada aspek produktivitas dan efisiensi dalam kegiatan pertanian. Praktik-praktik yang dianggap memboroskan biaya seperti penggunaan tenaga kerja yang berlebihan harus dihindari. Begitu juga praktik yang menghambat upaya peningkatan produktivitas seperti ketidakjelasan kepemilikan lahan dan pola pembiayaan usahatani harus diubah dengan pola-pola yang baru. Sebaliknya, sistem pertanian padi lokal yang dilakukan masyarakat setempat masih memiliki keterkaitan erat dengan sistem sosial yang ada. Sistem gadai (sanda) maupun sistem handipan masih banyak dilakukan masyarakat setempat.

Pola penguasaan lahan dalam sistem pertanian modern memegang peranan penting dalam upaya peningkatan produktivitas. Hak milik, sistem sewa maupun bagi hasil telah memberikan batasan yang jelas bagi pelaku atau petani untuk mengelola lahan tersebut. Aturan yang ditetapkan tentang besarnya sewa atau bagian yang harus diserahkan dengan pemilik lahan maupun pihak yang menanggung biaya produksi ditetapkan secara jelas dan telah melembaga. Di sisi lain, sistem pertanian tradisional masih mengenal sistem gadai atau dalam masyarakat setempat dikenal dengan istilah sanda serta status pinjam sementara (biasanya karena ada hubungan keluarga). Menurut petani setempat, sistem sanda ini merupakan bentuk kearifan masyarakat untuk saling tolong menolong dalam kegiatan pertanian. Begitu juga halnya dengan modal usaha, selain milik sendiri juga dipinjam dari keluarga dekat.

Sistem gotong royong yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan istilah handipan umumnya masih digunakan dalam sistem pertanian padi lokal, terutama untuk kegiatan penanaman. Periode atau masa pertanaman yang relatif lama (Pebruari-April) memungkinkan petani menerapkan praktik penamanan secara gotong royong dan bergiliran. Berbeda halnya dengan padi unggul, bibitnya harus segera ditanam dan periode tanamnya relatif singkat (satu bulan). Sistem upah menjadi pilihan jika tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia tidak mencukupi untuk mengejakan kegiatan tanam tersebut. Sistem upah memungkinkan petani untuk menerapkan efisiensi dan kejelasan dalam perhitungan untung ruginya kegiatan pertanian tersebut.

Dalam perkembangannya sekarang ini, sistem upah juga telah digunakan dalam sistem pertanian padi lokal. Implikasi ekonomis dari perkembangan sistem upah ini adalah bertambahnya komponen biaya nyata

(19)

(explicit cost) yang harus dikeluarkan oleh petani. Padahal dalam sistem handipan, petani tidak mengeluarkan biaya nyata dan hanya membayarnya dengan sejumlah tenaga kerja secara bergantian dengan petani lain. Biaya yang dikeluarkan hanya untuk membeli makanan dan minuman pada saat kegiatan handipan tersebut dilakukan. Bagi masyarakat setempat, handipan bukan hanya sekedar gotong royong biasa tetapi kegiatan ini juga menciptakan hubungan sosial yang erat antar sesama petani dan proses transmisi atau pertukaran pengetahuan antar petani dapat terjadi. Ruang publik (public sphere) yang tercipta memungkinkan terjadinya komuinikasi setara yang bebas dari dominasi. Secara ringkas jika dihadapkan (vis a vis) antara sistem handipan dengan sistem upah ini dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.

Tabel 15. Perbandingan antara sistem handipan dengan sistem upah dalam kegiatan pertanian padi di lahan rawa pasang surut

Komponen

pembanding Sistem Handipan Sistem Upah

Sistem pengetahuan yang menjadi basis pelaksanaan

Pengetahuan lokal masyarakat tentang baharian atau batabus hari

Efisiensi tenaga kerja dan peningkatan produktivitas

Prinsip basis utama Kelompok/Komunitas Individu Sistem norma yang

mengatur Kerakatan

dalam

kelompok atau komunitas

Tingkat upah harian atau borongan

Elit yang berperan Ketua kelompok atau kepala handil

Pemilik lahan

Tujuan Kerjasama kelompok dan

solidaritas

Ketepatan waktu pelaksanaan usahatani Kepentingan /

Interest

Pengurangan biaya nyata Volume kerja yang dapat diselesaikan

Kondisi saat ini (Resultan)

Kedua sistem masih tetap eksis dalam sistem pertanian padi yang dilaksanakan masyarakat (terutama padi lokal) dan sistem handipan kini terutama hanya pada kegiatan penanaman saja.

Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009

Kontestasi yang menghasilkan bentuk koeksistensi ini memberikan gambaran bahwa kedua entitas di atas akan tetap eksis dianut oleh masyarakat di lahan rawa pasang surut. Sistem handipan sebagai bentuk pengetahuan lokal masyarakat lebih menekankan pada kebersamaan dalam sebuah komunitas

(20)

atau kelompok terkait erat dengan kepentingan untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh petani. Sistem handipan ini merupakan bentuk kooperatif yang sangat tegas dalam memberikan balasan atau pertukaran tenaga kerja. Bagi petani kecil yang yang tidak mampu membayar tenaga upahan, kegiatan seperti ini merupakan bentuk strategi dalam menjaga kelangsungan usaha mereka. Nilai-nilai sosial yang terkandung dalam kegiatan ini juga sarat dengan penguatan ikatan sosial dan solidaritas antar petani. Sebaliknya sistem upah merupakan dikenal masyarakat ketika sistem pertanian padi lebih diarahkan pada kegiatan yang bersifat komersial. Keuntungan, efisiensi dan produktivitas menjadi dasar pelaksanaan sistem ini. Petani yangmemiliki modal (kapital) besar akan mampu membayar sejumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dan hubungan yang terbentuk mengarah pada pola majikan dan buruh.

Kedua bentuk sistem ini merupakan pilihan yang dapat diambil petani sesuai dengan pertimbangan dan kebutuhan yang dirasakan sehingga lebih bersifat substitutif. Pada kondisi seperti ini kontestasi yang terjadi cenderung menghasilkan bentuk koeksistensi di mana aspek kepentingan dan sistem rasionalitas memegang peranan besar. Dalam konteks inilah Habermas mengingatkan bahwa rasionalitas instrumental cenderung menciptakan kepentingan yang menguasai melalui pengetahuan teknisnya sehingga dapat membuat salah satunya menjadi termarjinalkan.

Bentuk-bentuk koeksistensi antara pengetahuan lokal dengan sains dalam pertanian padi di lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat pada Tabel 16.

(21)

Tabel 16 Bentuk-bentuk koeksistensi antara sains dengan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut Lahan rawa pasang surut

Parameter

Tipe A Tipe B Tipe C Tipe D

Teknik budidaya • Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi

• Perontokan padi dengan cara diinjak dan

penggunaan mesin perontok

• Budidaya padi lokal dan budidaya padi unggul

• Penggunaan alat olah tanah (tajak) dan pengolahan dgn traktor tangan

• Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi.

• Perontokan padi dengan cara diinjak dan

penggunaan mesin perontok

• Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi

• Perontokan padi dengan cara diinjak dan

penggunaan mesin perontok

• Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi

• Perontokan padi dengan cara diinjak dan

penggunaan mesin perontok

Organisasi dan kelembagaan sosial

• Sistem gotong royong (handipan) dan sistem upah

• Pola penguasaan lahan dgn cara gadai (sanda), sakap dan pola

penguasaan dgn sistem sewa

• Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT

• Sistem gotong royong (handipan) dan sistem upah

• Pola penguasaan lahan dgn cara gadai (sanda), sakap dan pola

penguasaan dgn sistem sewa

• Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT

• Sistem gotong royong (handipan) dan sistem upah

• Pola penguasaan lahan dgn cara gadai (sanda), sakap dan pola

penguasaan dgn sistem sewa

• Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT

• Sistem gotong royong (handipan) dan sistem upah

• Pola penguasaan lahan dgn cara gadai (sanda), sakap dan pola

penguasaan dgn sistem sewa

• Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT

(22)

Bentuk koeksistensi pada aspek teknik budidaya di lahan rawa pasang surut tipe B memperlihatkan bentuk yang lebih beragam dibandingkan di tipe A, C, dan D. Hal ini disebabkan sains dan pertanian modern lebih banyak diintroduksi pada lahan rawa pasang surut tipe B. Secara agroekosistem, lahan rawa pasang surut tipe B merupakan wilayah yang ideal untuk pengembangan sistem pertanian padi unggul dengan pola tanam unggul-lokal. Pengaturan air baik untuk irigasi maupun drainase secara teknis mudah dilakukan. Ujicoba dan demostrasi plot untuk pengembangan padi unggul banyak dilakukan di wilayah pasang surut tipe B. Petani memiliki alternatif untuk memilih penggunaan teknologi pertanian yang diinginkan dengan faktor pembatas teknis yang relatif kecil.

Eksistensi pengetahuan lokal yang menjadi basis dalam sistem pertanian padi lokal dan sains yang dikembangkan dalam sistem pertanian padi unggul di lahan rawa pasang surut tipe B lebih disebabkan karena faktor preferensi petani dan masuknya program pertanian yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian setempat. Bagi petani yang memilih untuk menanam padi lokal, pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial merupakan dasar mengapa mereka menanam padi varietas lokal tersebut. Sebaliknya petani yang menanam padi unggul lebih disebabkan karena mereka mengikuti program pemerintah yang sedang berjalan saat itu, seperti program SL-PTT yang menyaratkan petaninya (kelompok tani) mengusahakan varietas unggul (berupa varietas Ciherang). Mereka yang mengikuti program ini mendapat bantuan benih gratis, pembinaan dan praktik lapangan yang dibiayai melalui dana program tersebut.

Berbeda halnya dengan eksistensi penggunaan peralatan tradisional seperti alat panen (antara ani-ani dan sabit bergerigi) dan perontok (dengan cara diinjak dan dengan mesin), pilihan petani lebih disebabkan karena aspek teknis dan sosial ekonomi. Petani yang memiliki areal pertanian yang luas (lebih dari 2 hektar) cenderung menggunakan peralatan sabit bergerigi dan mesin perontok. Sebaliknya yang berlahan sempit (kurang dari 1 hektar) lebih memilih cara panen dengan ani-ani dan meontoknya dengan cara diinjak. Pada kondisi, dimana tenaga upahan sulit diperoleh dan waktu panen yang bersamaan, petani terpaksa memilih penggunaan sabit bergerigi dengan perontokan menggunakan mesin. Pilihan ini tentu juga dipengaruhi oleh ketersediaan mesin perontok yang ada di desa tersebut.

(23)

Pada aspek organisasi dan kelembagan sosial eksistensi sistem gotong royong dan sistem upah sangat terkait dengan perkembangan teknologi yang digunakan serta kondisi perekonomian petani yang bersangkutan. Begitu juga halnya dengan pola penguasaan lahan dan pembiayaan usahatani tidak memperlihatkan pola yang berbeda pada masing-masing tipe lahan. Bagi petani yang memiliki lahan luas dan modal yang besar mereka lebih memilih sistem upah untuk mengerjakan lahannya. Sebaliknya petani dari golongan menengah ke bawah, pilihan untuk melakukan gotong royong (handipan) adalah salah satu cara untuk mengurangi pengeluaran dalam kegiatan usahatani (menekan biaya eksplisit).

Kedua entitas pengetahuan ini memiliki ruang untuk berkembang karena satu sama lain bersifat substitusi. Masuknya sains dalam sistem pertanian petani setempat memberikan pilihan atau alternatif bagi petani tempat untuk menentukan pilihan yang sesuai. Pilihan petani ini umumnya tidak bersifat individualistis, tetapi menyangkut pertimbangan dan sikap anggota komunitas lainnya. Proses komunikasi terjalin melalui perbincangan-perbincangan informal yang bersifat konvergen dan tanpa tekanan baik di warung-warung, teras mushala maupun pertemuan yasinan yang merupakan ruang publik bagi mereka (Habermas 2007). Secara proporsional, kegiatan pertanian di lahan rawa pasang surut masih banyak didasarkan pada pengetahuan lokal. Hal ini terkait dengan varietas yang digunakan dalam sistem pertanian yang berimplikasi pada teknik pertanian tradisional yang digunakan. Koeksistensi pengetahuan lokal dan sains ini dapat berlangsung karena adanya praktik pertanaman padi dengan pola sawit dupa (tipe B,C dan D) yang memungkinkan petani masih dapat menanam padi lokal maupun unggul pada dua musim tanam yang berbeda.

7.2.2 Bentuk Dominasi

Dominasi suatu bentuk pengetahuan atas pengetahuan lainnya dapat terjadi karena pengetahuan tersebut memiliki keunggulan dan kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Subyektivitas dan kepentingan merupakan faktor yang berperan sehingga suatu bentuk pengetahuan dianut dan menjadi dominan. Petani di lahan rawa pasang surut telah lama mengusahakan padi lokal dan pengetahuan tersebut berkembang hingga masuknya pengetahuan baru tentang budidaya padi unggul. Pengetahuan baru ini diberikan kepada

(24)

para petani dalam rangka program peningkatan produksi padi melalui kegiatan penyuluhan pertanian.

Intervensi pemerintah dalam mengintroduksi benih unggul ini menimbulkan konflik kepentingan antara petani dengan pemerintah. Pada tataran suprastruktur padi bagi masyarakat setempat bukan hanya sebagai komoditas komersial, tetapi juga merupakan komoditas sosial budaya. Oleh karena itu, petani digambarkan sebagai orang yang menanam atau mengusahakan tanaman padi sehingga pantang bagi petani membeli beras untuk makan sehari-hari. Di sisi lain, pemerintah menganggap padi sebagai komoditas strategis dan komersial sehingga perlu dikembangkan dengan pendekatan dan pola agribisnis. Dalam kerangka inilah pemerintah berkepentingan untuk mengembangkan padi unggul untuk meningkatkan produksi padi.

Sistem pertanian padi tradisional yang dikembangkan masyarakat sebelumnya terkait erat hubungannya dengan kondisi dan gejala-gejala alam. Penentuan musim dan awal tanam dilakukan dengan pengamatan dan hubungannya dengan benda-benda langit (seperti posisi bintang karantika dan bintang baur bilah). Melalui pengamatan dan prediksi seperti inilah kegiatan-kegiatan dalam sistem pertanian padi dilakukan sehingga risiko kegagalan panen akibat kekeringan atau kebanjiran dapat dikurangi. Bahkan bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A penentuan tentang awal kemarau merupakan hal yang krusial. Prediksi yang keliru tentang awal kemarau dapat mengakibatkan kerusakan tanaman dan kegagalan panen akibat masuknya air laut ke lahan sawah, sementara padi masih pada fase pengisian buah. Masuknya air laut ke sawah tidak merusak tanaman padi jika tanaman padi sudah berada pada fase pematangan.

Kini dengan masuknya sains dan pertanian modern, praktik-praktik penentuan awal tanam dengan melihat kedudukan atau posisi benda langit sudah mulai ditinggalkan. Sistem peramalan cuaca dan penetapan waktu tanam digunakan untuk penyusunan rencana seperti Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Melalui pembinaan penyuluh pertanian kegiatan penanaman dilakukan secara serentak dengan menyesuaikannya dengan program-program pemerintah lainnya seperti KUT, SLPHT maupun SLPTT. Petani harus menyesuaikan kegiatan tanam di lahannya masing-masing dengan rencana dan kegiatan-kegiatan yang telah

(25)

ditentukan tersebut. Dalam konteks keseragaman dan keserentakan waktu tanam penetapan seperti ini memang harus dilakukan dalam suatu kelompok tani. Salah satu manfaatnya adalah dapat mengurangi risiko kegagalan panen akibat serangan hama penyakit karena hamparan yang relatif luas. Di sisi lain, perbedaan agroekosistem di lahan rawa pasang surut yang relatif bervariasi tingkat luapan airnya menjadi kendala tersendiri untuk menerapkan praktik seperti ini. Secara ringkas jika dihadapkan (vis a vis) antara sistem penentuan tanam menggunakan perhitungan bintang atau benda langit dengan penentuan tanam berdasarkan penetapan RDK dan RDKK ini dapat dilihat pada Tabel 17 berikut.

Tabel 17. Perbandingan antara penentuan tanam dengan sistem perbintangan dan penyusunan RDK dan RDKK

Komponen pembanding

Sistem perbintangan Penetapan RDK dan RDKK

Basis sistem pengetahuan

Pengetahuan tentang kedudukan bintang atau benda langit lainnya

Kegiatan yang disesuaikan dengan program dan kebutuhan kelompok

Prinsip basis utama Komunitas Kelompok tani

Sistem norma yang mengatur

Hubungan antara posisi bintang /benda langit dengan kondisi iklim

Prakiraan cuaca, rekomendasi instansi

Elit yang berperan Tokoh masyarakat Ketua kelompok tani, Penyuluh pertanian

Tujuan Penentuan awal dan

akhir tanam

Perencanan kegiatan dan program sesuai

kebutuhan petani Kepentingan Keberhasilan usahatani Keberhasilan usahatani

dan pelaksanaan program Kondisi saat ini

(resultan)

Penentuan dengan sistem perbintangan sudah mulai ditinggalkan, kecuali oleh sebagian kecil petani tua di LRPS tipe A. Penentuan rencana tanam dan kegiatan lainnya didominasi oleh penetapan melalui RDK dan RDKK yang merupakan bagian dari kegiatan

kelompok tani. Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009

Pada aras infrastruktur, sains yang dikembangkan dalam paket teknologi pertanian modern lebih mendominasi dalam sistem pertanian padi lokal yang dikembangkan masyarakat setempat. Walaupun petani di lahan rawa pasang surut tidak banyak yang menanam padi unggul, tetapi mereka ternyata justeru menerima dan menerapkan beberapa bagian dari paket teknologi tersebut.

(26)

Penggunaan pupuk kimia, kapur pertanian dan pestisida sekarang telah meluas penggunaannya. Sebelumnya petani hanya mengandalkan pada pupuk organik yang diperoleh dari sisa jerami dan gulma yang dibusukkan pada saat pengolahan tanah. Pengetahuan petani tentang pentingnya pupuk organik telah digeser oleh pengetahuan tentang pupuk buatan seperti Urea, SP dan pupuk NPK. Pengalaman mereka dalam mengaplikasikan pupuk anorganik pada pertanian padi lokal ternyata memberikan bukti bahwa hasil padi yang diperoleh dapat meningkat. Bahkan menurut pendapat petani dalam kegiatan FGD di Desa Tinggiran Darat (tipe C), sejak tahun 1985 telah tercipta ketergantungan petani akan pupuk Urea. Ketika terjadi kelangkaan atau keterlambatan penyaluran pupuk Urea, petani menjadi resah dan menganggap usahatani akan gagal tanpa pupuk Urea. Padahal varietas padi lokal tidak terlalu responsif terhadap pemupukan dan hanya sedikit memerlukan pupuk buatan.

Penggunaan pestisida juga semakin mendominasi dalam pertanian padi lokal yang dilakukan petani. Mereka mulai meninggalkan cara-cara lama dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman seperti penggunaan perangkap tikus, gerpyokan tikus, asap untuk mengusir walang sangit dan cara-cara magis. Bahkan kini banyak petani yang menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma terutama untuk mempermudah saat pengolahan tanah. Zni (65 th) tokoh petani di Desa Simpang Nungki, mengemukakan:

“Wayah ini patani katuju mamakai ubat rumput supaya nyaman pabila manajaknya. Ubat-ubat ini nyaman haja mancarinya lawan haraganya kada talalu larang. Pahumaan nang sudah disamprut ini bila pas musim manajak jadi nyaman gawiannya, jadi banyak patani nang manggawi kaya itu.”

[Saat ini petani lebih suka menggunakan herbisida agar mudah saat mengolah tanah. Herbisida ini mudah untuk memperolehnya serta harganya relatif tidak mahal. Sawah yang disemprot dengan herbisida ini akan mempermudah pekerjaan saat mengolah tanah, sehingga banyak petani yang melakukan cara seperti itu]

Pengembangan peralatan pertanian modern di lahan rawa pasang surut untuk mendukung sistem pertanian modern juga diintroduksi melalui program-program bantuan teknik. Petani diperkenalkan dengan peralatan baru seperti traktor tangan (hand tractor), sabit bergerigi, dan mesin perontok gabah (power thresher). Khusus untuk traktor tangan, penggunaannya di lahan rawa pasang surut masih belum banyak diminati. Kendala teknis sifat fisik lahan rawa pasang surut yang umumnya merupakan lahan sulfat masam sehingga pengolahan

(27)

tanah dengan traktor tangan dapat menyebabkan lapisan pirit teroksidasi serta terangkat ke permukaan tanah dan meracuni tanaman padi. Secara sosial ekonomi, penggunaan traktor tangan ini berarti pengeluaran tambahan bagi petani untuk biaya pengolahan tanah. Padahal selama ini pengolahan tanah banyak dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan petani tidak perlu mengeluarkan biaya. Kegiatan pengolahan tanah di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D masih banyak menggunakan peralatan tajak. Khusus untuk di tipe A, selain peralatan tajak petani menggunakan parang untuk membersihkan gulma pada saat pengolahan tanah.

Pada aras struktur, proses dominasi sains terhadap pengetahuan lokal dalam pertanian di lahan rawa pasang surut juga terjadi pada kelembagaan/organisasi sosial petani. Dalam sistem kehidupan sosial masyarakat petani di lahan rawa pasang surut, kelompok handil merupakan bentuk lembaga sosial petani yang terpenting dalam menjaga kelangsungan kegiatan pertanian di wilayah tersebut. Kepala handil sebagai pemimpin dalam kelompok ini bertugas untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan penanaman padi dalam wilayah handil tersebut. Ia juga memiliki kewenangan untuk mendistribusikan atau membagi lahan kepada petani yang ingin berusahatani di wilayah tersebut secara adil.

Seiring dengan program revolusi hijau dan peningkatan produksi padi secara nasional, pemerintah membentuk organisasi petani yang disebut dengan kelompok tani. Kelompok tani merupakan kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota16. Pemerintah melalui Dinas Pertanian melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada petani berdasarkan basis kelompok tani. Ini berarti bahwa penyuluhan pertanian dan berbagai kegiatan pembinaan petani lainnya difokuskan pada kegiatan kelompok tani.

Kelompok tani yang berkembang hingga sekarang ternyata lebih mengarah pada kepentingan pemerintah dalam pembinaan dibanding kepentingan petani. Keanggotaan dalam kelompok tani hakikatnya bersifat sukarela dan tidak ada paksaan. Kenyataan yang ada, ternyata secara tidak langsung petani ‘dipaksa’ untuk masuk sebagai anggota kelompok tani.

16 Pengertian kelompok tani menurut Peraturan Menteri Pertanian No.273/Kpts/Ot.160/4/ 2007 tentang Pedoman Pembinan Kelembagan Petani

(28)

Seorang petani yang tidak terdaftar sebagai anggota kelompok tani tidak akan memperoleh kesempatan untuk menerima berbagai bantuan dan subsidi dari pemerintah. Kredit usahatani hanya dapat diperoleh jika yang bersangkutan sudah terdaftar sebagai anggota kelompok tani, bahkan kini dengan sistem penyaluran pupuk secara tertutup seorang petani hanya bisa membeli pupuk bersubsidi jika telah menjadi anggota kelompok tani dan masuk dalam daftar RDK dan RDKK17.

Dalam perkembangan saat ini, kelembagaan handil menjadi semakin terdesak oleh eksistensi kelompok tani yang mendapat sokongan dan dukungan dari pemerintah dibandingkan dengan kelembagaan lokal seperti handil. Secara ringkas jika dihadapkan (vis a vis) antara lembaga handil dengan kelompok tani ini dapat dilihat pada Tabel 18 berikut.

Tabel 18. Perbandingan antara Lembaga handil dengan kelompok tani

Komponen pembanding

Lembaga Handil Kelompok Tani

Basis sistem pengetahuan

Pengetahuan tentang pengelolaan lahan pertanian melalui sistem pengairan handil

Kesatuan sistem pertanian berdasarkan kesamaan (komoditas, hamparan, domisili, dll) Prinsip basis utama Kelompok/komunitas Kelompok

Sistem norma yang mengatur

Aturan handil yang disepakati bersama

Berdasarkan aturan resmi (permentan 273/2007) Elit yang berperan Kepala handil Ketua kelompok tani,

Penyuluh pertanian Tujuan Pengembangan

usahatani dan identitas kelompok

Peningkatan dan pengembangan usaha

Kepentingan Pemeliharaan tata air dan peningkatan kesuburan lahan

Pembinaan petani dan penyaluran kredit,

introduksi paket teknologi/ program pemerintah Kondisi saat ini

(resultan)

Eksistensi lembaga handil telah digantikan dengan kelompok tani yang menjadi salah satu lembaga sosial petani yang mendapat pembinaan pemerintah Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009

(29)

Campur tangan yang besar dari pemerintah dalam pembinaan kelembagaan kelompok tani didorong oleh kepentingan peningkatan produksi yang setiap tahun harus diupayakan demi pemenuhan kebutuhan akan pangan dan prestise daerah18. Hegemoni yang kuat dari pemerintah terhadap kelembagan sosial petani ini pada satu sisi telah melemahkan kemandirian petani. Akibatnya semakin lama petani memiliki tingkat ketergantungan yang semakin tinggi, baik kepada pemerintah maupun pada input luar seperti pupuk dan bahan-bahan kimia pestisida. Proses komunikasi yang terjalin menjadi tidak setara sehingga petani seakan berada dalam posisi yang tidak berdaya sehingga perlu dilakukan upaya-upaya pemberdayaan melalui kegiatan penyuluhan pertanian dengan basis kelompok tani. Kelompok tani menjadi perpanjangan tangan pemerintah baik dalam penerapan teknologi baru maupun sosialisasi berbagai kebijakan di bidang pertanian.

Kelembagaan sosial lainnya yang kini telah hilang eksistensinya adalah lumbung pangan seiring dengan pengembangan padi sebagai komoditas komersial. Sistem jual beli menjadi pilihan yang harus dilakukan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat serta semakin banyaknya input atau sarana produksi yang harus dibeli dan perkembangan sistem upah. Keberhasilan usahatani kini diperhitungkan berdasarkan untung rugi dari usaha yang dilakukan. Walaupun sistem lumbung yang dikenal pada masyarakat di lahan rawa pasang surut lebih bersifat individual atau kelompoki kecil, tetapi keberadaannya dahulu dapat menjadi bagian strategi dalam mengatasi kerawanan pangan. Melalui sistem lumbung ini para petani dapat terjamin kebutuhan pangannya maupun modal usaha untuk musim tanam berikutnya. Mereka juga dapat membantu tetangga atau kerabatnya yang kekurangan pangan atau modal dengan pinjaman gabah tanpa bunga (dibayar juga dalam bentuk gabah saat panen berikutnya.

Kini petani lebih menyukai sistem jual beli dan modal usaha disimpan berupa tabungan uang di bank. Bagi petani yang tidak memiliki modal uang cukup dapat meminjamnya dengan pedagang pengumpul padi yang ada di desa atau desa sekitar baik dalam bentuk uang maupun sarana produksi seperti pupuk. Pinjaman ini tentu dengan bunga yang cukup tinggi serta harus dibayar

18 Daerah yang mampu meningkatkan produksi padinya di atas lima persen setahun akan memperoleh penghargaan dari Presiden. Tahun 2008 Kabupaten Barito Kuala memeperoleh penghargaan tersebut karena produksi padinyanya meningkat sebesar 12,88% dari tahun 2007

(30)

pada saat panen. Padahal harga gabah pada saat panen selalu berada pada titik terendah dan kondisi ini tentu merugikan bagi petani tersebut. Pola pinjaman antara petani dengan pedagang pengumpul padi ini menjadi hubungan patront-client dimana petani sebagi client menjadi terikat dan tergantung dengan pedagang pengumpul padi sebagai patront-nya. Bagi pedagang pengumpul tersebut ia memperoleh dua keuntungan, yakni memperoleh bunga dari pinjaman uang atau saprodi dan memperoleh gabah dengan harga murah dari petani tersebut.

Terciptanya pola seperti ini merupakan implikasi dari perkembangan pertanian padi sebagai komoditas komersial yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari sebuah usahatani dan berkembangnya sistem kapital dalam pertanian di pedesaan. Secara ringkas jika dihadapkan (vis a vis) antara sistem lumbung dengan sistem jual beli ini dapat dilihat pada Tabel 19 berikut.

Tabel 19. Perbandingan antara sistem lumbung dengan sistem jual beli

Komponen pembanding

Sistem Lumbung Sistem Jual beli

Basis sistem

pengetahuan Pengetahuan tentang persediaan cadangan pangan dan modal usahatani musim berikutnya

Dana segar dalam bentuk uang untuk kelangsungan hidup dan usaha

Prinsip basis utama Kelompok dan komunitas Individu Sistem norma yang

mengatur

Kebersamaan Tingkat harga dan kekuatan pasar Elit yang berperan Ketua kelompok Pedagang pengumpul

Tujuan Ketersediaan pangan Keuntungan

Kepentingan Keamanan pangan Stabilitas harga Kondisi saat ini

(resultan)

Sistem lumbung sudah memudar, beberapa yang masih ada dikelola dalam kelompok kecil (ikatan keluarga dekat). Kini sistem jual beli mendominasi dalam sistem pertanian padi di wilayah pedesaan LRPS.

Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009

Berbagai bentuk dominasi yang terjadi dalam sistem pertanian di lahan rawa pasang surut ini, baik pada aspek budidaya maupun organisasi dan kelembagaan sosial dapat dilihat pada Tabel 20 berikut.

(31)

Tabel 20. Bentuk-bentuk dominasi yang terjadi dalam sistem pertanian padi di lahan rawa pasang surut

Lahan rawa pasang surut Parameter

Tipe A Tipe B Tipe C Tipe D

Teknik budidaya • Penggunaan pupuk kimia (anorganik) terhadap pupuk organik

• Penggunaan pestisida terhadap cara-cara tradisional (mekanis dan ’magis’)

• Penggunaan pupuk kimia (anorganik) terhadap pupuk organik

• Penggunaan pestisida terhadap cara-cara tradisional (mekanis dan ’magis’)

• Penggunaan kapur untuk mengatasi kemasaman terhadap penggunaan garam

• Peralatan pengolahan tanah dengan menggunakan tajak terhadap pengolahan dengan traktor tangan

• Penggunaan pupuk kimia (anorganik) terhadap pupuk organik

• Penggunaan pestisida terhadap cara-cara tradisional (mekanis dan ’magis’)

• Penggunaan kapur untuk mengatasi kemasaman terhadap garam

• Peralatan pengolahan tanah dengan menggunakan tajak terhadap pengolahan dengan traktor tangan

• Penggunaan pupuk kimia (anorganik) terhadap pupuk organik

• Penggunaan pestisida terhadap cara-cara tradisional (mekanis dan ’magis’)

• Penggunaan kapur untuk mengatasi kemasaman terhadap garam Organisasi dan kelembagaan sosial • Peranan penyuluh pertanian lebih dominan dari kepala handil dalam transfer pengetahuan tentang pertanian

• Kelompok tani terhadap kelompok handil

• Kelompok tani terhadap kelompok handil

• Sistem penyuluhan kelompok terhadap kegiatan individu

• Kelompok tani terhadap kelompok handil

• Sistem penyuluhan

kelompok terhadap kegiatan individu

Sistem penyuluhan

kelompok terhadap kegiatan individu

Sistem penyuluhan

kelompok terhadap kegiatan individu

(32)

Kurang berkembangnya sistem pertanian padi unggul di lahan rawa pasang surut tipe A, C dan D memiliki pola dan penyebab yang berbeda. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A, petani hanya menanam padi lokal karena memang secara teknis hingga saat ini padi unggul belum bisa ditaman di wilayah ini. Kondisi genangan air yang dalam saat pasang tidak memungkinkan tanaman padi unggul dapat tumbuh dengan baik. Sebaliknya bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D, mengusahakan padi unggul memerlukan biaya produksi yang relatif besar. Di sisi lain, pemasaran gabah dari padi unggul ini sulit dan harga jualnya lebih rendah dibandingkan dengan padi lokal.

Gambaran di atas memperlihatkan bahwa penolakan petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D lebih kuat dibandingkan dengan petani di lahan rawa pasang surut tipe A. Petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D sudah memiliki pengalaman tentang kesulitan dan kegagalan dalam mengusahakan padi unggul. Pengalaman inilah yang membentuk sikap resisten mereka terhadap padi unggul. Walaupun demikian, mereka juga tidak menolak sepenuhnya terhadap modernisasi pertanian. Penggunaan pupuk kimia, pestisida dan peralatan modern tetap mereka gunakan pada usahatani padi lokal. Bahkan penggunaan kapur pertanian mendominasi dalam upaya mengatasi kemasaman tanah, terutama di lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D.

Dominasi yang terjadi dalam penggunaan peralatan pengolahan tanah (tajak) terhadap penggunaan traktor tangan yang terjadi di tipe C dan D lebih disebabkan karena pengetahuan lokal masyarakat tentang adanya bahan yang dapat merusak pertumbuhan tanaman (pirit). Peralatan pengolah tanah tajak terbukti dapat mencegah terbongkarnya lapisan pirit yang dapat meracuni tanaman. Sebaliknya dominasi sains dalam hal penggunaan pupuk kimia dan pestisida atas penggunaan bahan-bahan organik karena melalui program penyuluhan pertanian serta bantuan dan subsidi pemerintah. Pada tahap awal pengenalan bahan-bahan kimia ini petani memperoleh bantuan dan subsisdi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi padi. Kemudahan memperoleh, kepraktisan dan cepat memperlihatkan hasil membuat pengetahuan dan teknologi penggunaan bahan kimia ini juga cepat diterima masyarakat. Bahkan kini mereka sudah sangat tergantung dengan penggunaan bahan-bahan kimia tersebut.

Gambar

Tabel 14    Perbandingan perkembangan teknologi modern di lahan rawa   pasang surut  Komponen  teknologi  pertanian  modern  Desa  Tabunganen Muara     Lahan rawa  pasang surut  tipe A  Desa       Sungai  Tunjang   Lahan rawa pasang surut tipe B Desa  Ting
Tabel 16   Bentuk-bentuk koeksistensi antara sains dengan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut  Lahan rawa pasang surut
Tabel 20.  Bentuk-bentuk dominasi yang terjadi dalam sistem pertanian padi di lahan rawa pasang surut
Gambar 15    Peranan sains dan pengetahuan lokal dalam sistem pertanian padi  di lahan rawa pasang surut

Referensi

Dokumen terkait

a) modal pinjaman mempunyai prioritas lebih dahulu bila terjadi tuntutan atas pendapatan/aktiva yang tersedia untuk pembayaran. b) modal pinjaman mempunyai kekuatan hukum

Masase sesudah pertandingan dilakukan beberapa saat setelah pertandingan dengan tujuan mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan pembuangan sisa metabolisme yang

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik (logistic regression), yaitu dengan melihat pengaruh pergantian manajemen, opini audit,

Anak-anak menjadi penonton segala acara, dari sisi yang positif anak-anak secara tidak sadar akan mencoba dan belajar untuk mengikuti apa yang dilihat pada film

Kesimpulannya, asas percukaian yang lebih meluas serta yang dikenakan pada satu kadar melalui pengenalan GST akan memudahkan kerajaan mengurus dan mentadbir sistem tersebut dan ia

Pengecualian dari instrumen ekuitas tersedia untuk dijual, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara

teridentifikasi tersebar di Laut Jawa dan Selat Makasar bagian utara (Tarakan); unit stok yang sama dari D. macrosoma tersebar di Laut Jawa dan berlanjut hingga Selat Makasar

Risiko-risiko dalam peminjaman kredit tersebut antara lain adalah risiko penundaan pembayaran, risiko pengurangan pembayaran suku bunga atau pinjaman pokok, dan risiko tidak