• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS BUDAYA TEGAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS BUDAYA TEGAL"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS

BUDAYA TEGAL

YUDHA KARTANA PUTRA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal” adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau mengutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir dalam skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

(3)

RINGKASAN

YUDHA KARTANA PUTRA. Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN.

Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Budaya jawa termasuk salah satu budaya yang unik di Indonesia. salah satu daerah yang memiliki budaya Jawa yaitu Tegal. Letak Tegal yang dinilai strategis dekat dengan pantai dan geografisnya, berpotensi untuk menerima pengaruh daerah lain di sekitarnya. Selain mempengaruhi kehidupan sosial, juga berpengaruh pada penataan rumah tinggal dan penempatan jenis tanaman di sekitarnya. Kebutuhan masyarakat dalam pemilihan elemen-elemen penting taman pada rumah tinggal untuk mendapatkan ciri khas, sehingga kekhasan tersebut dapat diketahui dan dapat dijadikan dasar perencanaan taman Tegal.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji elemen-elemen penting pembentuk taman rumah tinggal masyarakat Tegal yang berbasis budaya Jawa. Manfaat penelitian ini yaitu memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap Tegal ditinjau dari sudut pandang budaya dan membantu pemerintah dan masyarakat Tegal untuk memahami elemen-elemen penting pembentuk taman pada rumah tinggal sebagai landasan mendesain taman Tegal.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Informasi yang dikumpulkan bersumber dari studi literatur, observasi langsung, dan wawancara. Tahapan-tahapan penelitian ini, meliputi: (1) pengumpulan informasi, (2) pendeskripsian informasi, (3) analisis informasi, dan (4) sintesis dan konsep.

Pada ketiga wilayah memilki bentuk dan tata ruang rumah tinggal yang sama yaitu persegi panjang dan simetris. Gaya arsitektur, tata ruang, dan elemen pembentuk rumah tinggal masyarakat Tegal terdapat persamaan antara gaya arsitektur Jawa dan gaya arsitektur kolonial. Hal ini terbukti dari kesamaan karakter pola tata ruang rumah tinggal. Kekhasan ini terlihat dari lingkungan pesisir hingga pegunungan.

Pola tata ruangnya terbagi atas 4 ruang utama yaitu halaman depan, teras, rumah utama, dan halaman belakang. Berdasarkan fungsi, halaman depan dan halaman belakang berfungsi sebagai ruang publik, teras atau pendopo sebagai ruang semi privat, dan rumah sebagai ruang privat.

Keseluruhan pola tata ruangnya didesain mengikuti sirkulasi yang dibuat lurus menuju ruang belakang. Orientasi tata ruangnya mengarah pada arah utara atau selatan. Rumah tinggal tokoh masyarakat (golongan bangsawan) mengikuti gaya arsitektur tradisional Jawa karena individu tersebut memahami prinsip tata ruang Jawa.

Pagar tidak secara nyata ada pada seluruh rumah tinggal, hal ini didasari oleh perkembangan karakter masyarakat setempat. Pada lingkungan masyarakat Tegal di pedesaan baik di pesisir maupun pagunungan, fungsi pagar dapat tidak ada sama sekali atau terdapat pagar hidup dari penanaman tanaman secara missal,

(4)

tetapi pada perkembang masyarakat perkotaan memiliki pagar berupa dinding bata.

Berdasarkan prinsip tata ruang Jawa, rumah direpresentasikan sebagai kosmos vertikal. Bagian depan rumah terdapat teras disertai dengan anak tangga yang memiliki tinggi lebih dari permukaan tanah. Bagian teras lebih tinggi daripada tanah yang menunjukan kesucian. Bagian atap berarsitektur limasan dengan tambahan emperan. Dinding rumah dibuat tinggi untuk memberikan kenyamanan yaitu menetralisir panas dari luar. Pada masyarakat pesisir dan perkotaan, sebagian material dinding terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan kapur, sedangkan di daerah pegunungan menggunakan material kayu. Terdapat mushola yang memiliki tinggi yang berbeda dengan lantai dasar, sehingga mencerminkan kesucian dan letaknya dekat dengan ruang makan pada tata ruang rumah di pesisir. Komponen dapur dan sumur di pesisir terpisah dari bangunan rumah utama, sedangkan di perkotaan dan pegunungan menyatu dengan rumah utama.

Teras berfungsi sebagai ruang interaksi dan penerimaan tamu. Selain teras, pendopo memiliki fungsi yang sama, terdapat pada tempat tinggal bangsawan di Tegal. Interaksi yang intim dilakukan di pendopo atau teras oleh antar anggota keluarga atau dengan tamu. Berdasarkan prinsip tata ruang Jawa, pendopo atau teras merupakan ruang transisi memiliki simbol sebagai ruang pertemuan antara kosmos horizontal dan kosmos vertikal.

Rumah tinggal pesisir memiliki halaman belakang yang luas, sedangkana rumah tinggal perkotaan dan pegunungan memiliki halaman belakang yang relatif sempit. Halaman belakang pada masyarakat pesisir difungsikan untuk aktivitas beternak dan berkebun.

Halaman memiliki simbol sebagai kosmos horizontal karena tempat pertemuan antar manusia dan alam. Halaman depan berupa ruang terbuka baik hanya beralaskan tanah maupun ditanami rumput. Halaman depan rumah tinggal masyarakat peisisir cenderung luas. Tanaman yang khas bagi masyarakat Tegal yaitu mangga dan puring karena hampir ditanam di seluruh halaman depan rumah tinggalnya. Tanaman yang ditanam di halaman merepresentasikan tanaman yang dapat menghasilkan manfaat tertentu, menciptakan keteduhan, dan terkadang memiliki makna filosofi Jawa.

Konsep penanaman tanaman lainnya yang seharusnya di halaman depan, diantaranya: (1) penanaman tanaman dilakukan di bagian tepi dekat dengan pagar dan menghindari penanaman yang berlebihan pada bagian tengah halaman. Sebaiknya hanya ditanam tanaman 1-2 tanaman pada bagian tengah halaman untuk menghasilkan keteduhan, (2) tanaman yang disarankan untuk menghasilkan keteduhan yaitu tanaman yang memiliki bentuk tajuk spread dan bulat, (3) tanaman yang ditanam di halaman dominan berwarna hijau, sehingga pada tanaman yang memiliki bagian yang memiliki warna dijadikan sebagai aksen, (4) penambahan jenis tanaman di halaman disesuaikan dengan tujuan atau kebutuhan dan tingkat adaptasi terhadap lingkungan sekitar, (5) tanaman aromatik berbunga dapat ditambahkan di halaman depan untuk memberi aromatheraphy dan bunganya yang berwarna sebagai aksen, (6) tanaman pembatas (pagar hidup) tidak harus ada, tergantung pada lingkungan masyarakatnya, (7) tanaman pengarah digunakan untuk memberikan simbolisasi penyambutan dan tidak diharuskan ada, dan (8) Tanaman di rumah tinggal bangsawan menghindari dari sirkulasi menuju ke pendopo, penanaman terdapat pada bagian tepi dan dekat pilar pendopo.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(6)

KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS

BUDAYA TEGAL

YUDHA KARTANA PUTRA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(7)

Judul Skripsi : Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal Nama : Yudha Kartana Putra

NIM : A44061379

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr. Sc. NIP. 19620801 198703 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP. 19480912 197412 2 001

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 2 Januari 1989 dari Prof. Dr. H. Tri Jaka Kartana, M.Si dan dra. Sri Wardhani, M.Pd. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara, memiliki seorang kakak perempuan bernama Primadhany Kartana Putri.

Riwayat pendidikan penulis diawali dari tingkat taman kanak-kanak (TK) di TK Tunas Muda Islamiyah pada tahun 1996 hingga 1997. Pada tahun 1997 hingg 2002, penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah dasar di SD Mangkukusuman I Kota Tegal. Pada tahun 2002 hingga 2004, penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah pertama di SMP 2 Tegal, kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di SMA 2 Tegal pada tahun 2004. Penulis merupakan lulusan SMA Negeri 2 Tegal pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI-IPB).

Penulis memiliki hobi menggambar dan menyanyi. Penulis pernah terpilih sebagai anggota Paskibraka Kota Tegal pada tahun 2004 dan Paskibraka IPB tahun 2006. Penulis telah banyak memperoleh penghargaan dalam bidang seni menggambar dan melukis dari SMA sampai saat ini.

Setelah melalui tahap tingkat persiapan bersama (TPB) pada tingkat pertama, penulis memilih program studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB pada tahun kedua di IPB. Pada kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP) yang diadakan di Kabupaten Tegal, Kecamatan Bumijawa, penulis menjabat sebagai koordinator Kecamatan Bumijawa dan Ketua Penyelenggara Acara EXPOSE-IPB di Tegal. Selama menempuh pendidikan S1 di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis menjadi asisten dosen mata kuliah Desain Lanskap dan mata kuliah Dasar-Dasar Arsitektur Lanskap.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas berkah dari Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Kajian Desain Taman Tegal Berbasis Karakter dan Budaya Masyarakat di Tegal merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telahmembantu dalam penyelesaian tugas akhir ini, yaitu kepada:

1. Dr. Ir. Adi Gunawan, MAgr. Sc. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, kritik, saran, dan motivasi kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak, Ibu, dan Kakak yang telah memberikan segala bantuan baik moril maupun materi, dorongan motivasi terus-menerus kapada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Ekotunas, Bapak Atmo Tan Sidik, Bapak Daryono, Bapak Nurngudiono, Bapak Akur Sujarwo, Bapak Agus Wijanarko, Bapak Pujianto, dan Bapak Wijanarto selaku pihak yang memberikan informasi secara menyeluruh mengenai sejarah dan budaya Tegal, motivasi, kritik, dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bahtiar A. Pratama yang telah membantu penelusuran informasi selama di Tegal, memberikan motivasi, kritik, dan saran yang berguna dalam penulisan skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran pada penulisan skripsi ini. Penulis juga mengharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Terimakasih.

Bogor, Februari 2011

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI……….... i

DAFTAR TABEL……… iii

DAFTAR GAMBAR……… iv PENDAHULUAN……… 1 Latar Belakang……… 1 Tujuan………... 1 Manfaat………... 2 TINJAUAN PUSTAKA……….……….. 3 Lanskap………..………. 3 Kebudayaan ……….……….…. 5

Budaya dan Konsep Tata Ruang Jawa….……….….. 7

Budaya Jawa……….. 7

Tata Ruang Tradisional Jawa……… 10

Elemen Taman……….. 15 Gapura………. 16 Halaman………... 16 Sirkulasi……….. 16 Pendopo………... 17 Tanaman……….. 17

Kebudayaan Pantai Utara Jawa………... 19

Sejarah Tegal……… 21

Tegal pada Era Mataram……….………... 22

Tegal pada Era Kolonial…….………….……….. 25

Kebudayaan Tegal……….………. 27

Tata Ruang Tegal……… 30

METODOLOGI……….………... 31

Lokasi dan Waktu……….………. 31

Metode dan Tahapan Penelitian………….…..……….. 32

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN……… 37

Hasil Observasi Lapang………. 37

Hasil Wawancara……… 45

Tata Ruang Rumah Tinggal dan Elemen Taman………... 46

Orientasi Arah Hadap……… 47

Pintu Gerbang dan Pagar ……….……….. 48

Teras dan Pendopo……….……….... 48

Rumah (Omah)..………..………... 49 Sirkulasi………...………... 50 Sumur (Pakiwan)……… 50 Mushola.………. 50 Halaman Belakang………. 51 Tanaman………. 51

Konseptualisasi Taman Tegal………. 55

Konsep Tata Ruang……… 55

Konsep Elemen Taman Tegal………... 59

KESIMPULAN DAN SARAN……… 61

Kesimpulan………. 61

Saran………... 62

DAFTAR PUSTAKA………... 63

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbandingan Elemen Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta

Hadiningrat, dan Cirebon……… 11

2. Kedudukan dan Fungsi Antar Ruang pada Tempat Tinggal Masyarakat Tegal……… 12

3. Tanaman Disertai Fungsi dan Makna pada Tata Ruang Jawa……… 18

4. Lokasi, Jumlah, dan Pemilik Rumah Objek Penelitian... 33

5. Daftar Nama Narasumber... 33

6. Jenis, Bentuk, dan Sumber Data………. 34

7. Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal… 38 8. Penanaman Tanaman di Lingkungan Rumah Tinggal……… 44

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Konsep Sadulur Papat Kalima Pancer pada Tata Ruang Keraton Jawa... 8

2. Konsep Macapat Menggambarkan Arah Mata Angin Sebagai Dasar Konsep Taman Jawa... 9

3. Tata Ruang Makro di Keraton Surakarta Hadiningrat ……….. 10

4. Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Jawa……….. 13

5. Gambaran Umum Tata Ruang dan Tata Letak Khas Tradisional Masyarakat Jawa Golongan Bangsawan……… 13

6. Bagian Ruang Dalem Ageng... 15

7. Perayaan Toa Pe Kong di Tegal... 28

8. Sumber Peninggalan Budaya di Tegal…...……….………... 29

9. Peta Wilayah Kota Tegal dan Kabupaten Tegal Serta Batas Administrasi Kecamatan………... 31

10. Kerangka Berfikir Penelitian………..…... 35

11. Bentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal……… 39

12. Tanaman Kedondong sebagai Pagar Hidup ………. 40

13. Anak tangga menuju Teras ……….. 41

14. Pembagian Fungsi Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………….. 46

15. Bagian Teras Rumah Tinggal Masyarakat Tegal disertai Anak Tangga.. 49

16. Penanaman Tanaman di Rumah Tinggal Pedesaan Pesisir……… 52

17. Pagar Hidup Rumah Tinggal Masyarakat Pedesaan di Pesisir………….. 53

18. Penanaman Tanaman di Halaman Depan Rumah Tinggal di Perkotaan... 54

19. Penanaman pada Rumah Tinggal Golongan Bangsawan di Tegal……… 55

20. Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat Tegal pada Umumnya.. ……… 58

21. Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat Bangsawan di Tegal………... 58 22. Konsep Penanaman Tanaman Taman Rumah Tinggal Masyarakat pada Umumnya………..………. 60 23. Konsep Penanaman Tanaman Taman Rumah Tinggal Bangsawan di Tegal……… 60

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Gaya Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Tegal……….. 72

2. Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………. 73

3. Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………. 74

4. Elemen Pembentuk Rumah……… 75

5. Jenis Penanaman Tanaman di Halaman Rumah Tinggal………... 76

6. Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Tokoh Masyarakat (Bangsawan) di Tegal……….. 77

7. Tradisi Masyarakat Tegal……….. 78 8. Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal

(15)
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Keberadaan tiap suku pada tiap daerah memiliki karakter budaya yang khas dan digambarkan melalui tradisi kedaerahan, aktivitas sosial masyarakatnya, serta memiliki kekhasan tata ruang arsitektur. Budaya jawa termasuk salah satu budaya yang memiliki kekhasan tersendiri.

Budaya Jawa berkembang dan memberikan pengaruh di beberapa daerah di pulau Jawa, salah satunya adalah Tegal yang terletak di propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan pembagian daerah sub wilayah kebudayaan Jawa, Tegal termasuk ke dalam sub wilayah kebudayaan pesisir yang masih terpengaruh oleh pusat perkembangan budaya Jawa di keraton (Sedyawati 2003). Letak Tegal yang dinilai strategis dekat dengan pantai, berpotensi untuk menerima pengaruh asing. Berdasarkan potensi di atas maka pengaruh tersebut diperkirakan secara nyata mempengaruhi karaker rumah tinggal masyarakat Tegal.

Kebudayaan Jawa di Tegal berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat baik dari segi sosial dan arsitekturnya yang mempengaruhi karakter khas setempat. Masyarakat Tegal memiliki kekhasan dalam menginterpretasikan budaya dan kehidupannya, di antaranya keunikan dalam pelaksanaan tradisi dan penataan rumah tinggal.

Sesuai dengan kebiasaan dan tradisi yang berkembang di lingkungan masyarakat Tegal yaitu mengutamakan interaksi, maka diperkirakan terdapat fungsi ruang yang berfungsi untuk menampung kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, didasarkan atas kebiasaan dan tradisi setempat juga perlu dikaji mengenai pemanfaatan ruang di lingkungan rumah tinggalnya yang dimanfaatkan sebagai ruang interaksi.

Lingkungan hidup masyarakat Tegal membentang dari pantai hingga pegunungan. Kondisi ini diperkirakan mempengaruhi penataan tata ruang rumah tinggal, pemilihan tanaman yang disesuaikan dengan kondisi iklim setempat, dan penempatan jenis tanaman. Selain itu, perbedaan tersebut juga mewakili kebutuhan ruang.

(17)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji elemen-elemen penting pembentuk taman rumah tinggal masyarakat Tegal yang berbasis budaya Jawa.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap Tegal ditinjau dari sudut pandang budaya.

2. membantu pemerintah dan masyarakat Tegal untuk memahami elemen-elemen penting pembentuk taman pada rumah tinggal sebagai landasan mendesain taman Tegal.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap

Lanskap merupakan suatu sistem yang terintegrasi sebagai ekosistem. Ekosistem merupakan perpaduan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Sistem tersebut memiliki nilai pengalaman yang dijadikan sebagai historical value

terkait hubungan antara ruang dan waktu. Proses yang terjadi di dalam ekosistem tersebut saling mempengaruhi. Hasil dari proses tersebut melalui kombinasi interaksi yaitu memunculkan karakter khusus yang berbeda dengan tempat lain (Lyle 2001).

Lanskap sebagai ekosistem memiliki faktor-faktor penting. Beberapa faktor penting tersebut yaitu manusia, lahan, dan design physical planning.

Lanskap yang diharapkan dapat menampung ragam aktivitas manusia sesuai dengan latar belakang dan pola perilaku. Pola perilaku tersebut dapat diperoleh dari budaya setempat yang merujuk pada kebiasaan sehari-hari dan karakter manusianya. Lanskap ini diarahkan agar berdampak pada peningkatan kualitas manusia dan lingkungan sekitar (Eckbo et al. 1998).

Peningkatan kualitas tersebut disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan lingkungan sekitarnya. Kebutuhan manusia tersebut diperoleh melalui kebutuhan psikologis, emosional, dan dimensional. Kebutuhan manusia diarahkan untuk memenuhi ruang gerak, proses menghayati, merasakan, berfikir, dan menciptakan kawasannya (range) terhadap lingkungannya (Simonds dan Starke 2006).

Lanskap terdiri atas elemen-elemen yang berguna dalam membentuk karakter. Salah satu elemen terpenting dalam menciptakan karakter yaitu tanaman. Penggunaan material tanaman didasarkan atas: (1) fungsi tanaman, (2) peletakan tanaman (nilai simbolisme), (3) tujuan pendesainan, (4) habitat, dan (5) prinsip tata hijau. Material tanaman dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan marfologi, fungsi ekologis, dan efek visual (Laurie 1975)

Proporsi, pola, dan aturan penempatan elemen-elemen lanskap tersebut disesuaikan dengan kebutuhan ruang dan elemen, pola pergerakan, serta fungsi yang akan ditetapkan di dalamnya. Kekhasan bentuk dan pola ini menghasilkan filosofi yang dapat memunculkan nilai dari lingkungan fisik, sosial, dan budaya

(19)

sekitar. Konsep penataan tersebut harus diarahkan mewakili kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar, sehingga menciptakan keharmonisan antara kebutuhan manusia dan lingkungan. Hubungan ini diarahkan untuk membentuk struktur ide, kekuatan (quality), dan perasaan terhadap keindahan yang membentuk karakter melalui proses desain (Rogers 2001).

Manusia di dalam lanskap memiliki peran dalam menentukan kekhasan desain lanskap yang diarahkan untuk keberlanjutan. Keberlanjutan (sustainable) ini didapatkan melalui identifikasi karakter dan pola sosial dari sikap dan perilaku manusia di dalamnya. Sikap dan perilaku manusia di dalam lanskap tertentu tercermin dari pendekatan budaya setempat melalui penggambaran simbol-simbol penting. Hubungan antara manusia dan lingkungan diharapkan dapat memberikan ciri khusus yang membedakan dengan kelompok lain (identity atau special character) (Benson & Roe 2000).

Lingkungan (alam) sebagai lanskap yang memberikan arti hidup dan kosmos. Hubungan manusia dan lingkungan diartikan sebagai hubungan kedekatan yang sesuai dengan karakter, kualitas, dan perilaku. Hubungan kedekatan tersebut berimplikasi pada penentuan bentuk dan pola ruang. Oleh karena itu, lanskap dapat diartikan sebagai hubungan yang harmonis, mewakili karakter, dan mengekspresikan kehidupan (Thompson & Steiner 1997).

Penataan lanskap meliputi struktur dan ruang melalui landasan pemikiran yang tercermin dari pengalaman (pengetahuan manusia) sebagai simbol. Pengalaman dapat menimbulkan beragam ekspresi yang diperoleh melalui pendalaman teori dan teknologi yang mendukungnya. Pola lanskap yang melalui simbol tersebut disesuaikan dengan kondisi nyata dari faktor-faktor setempat. Faktor tersebut mempengaruhi karakter (khas) kondisi lanskap tersebut, sehingga dapat memberikan pandangan yang berbeda dalam mempresentasikannya (Hendraningsih 1982).

Karakter lanskap memilki pola yang bernilai simbolik yang didukung oleh faktor interaksi sosial didalam suatu komunitas dengan lingkungannya. Pola ini dibangun oleh kebiasaan (tradisi) yang dikembangkan menjadi karakter yang berbeda dengan komunitas lainnya. Proses ini didukung dengan pengetahuan untuk menggambarkan interaksi. Proses ini mendefinisikan pencitraan suatu

(20)

identitas dari kebudayaan tertentu. Identitas lanskap yang ditunjukkan ini akan secara nyata mempengaruhi persepsi masing-masing (Bentley & Watson 2007).

Persepsi dalam lanskap yang dipengaruhi oleh tatanan sosial (tradisi), elemen lanskap, dan kondisi asli lingkungan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi, akan menunjukkan keharmonisan dan menghindari konflik. Hal ini merupakan keberhasilan dalam membantu pencitraan sebuah karakter khusus dan secara nyata dapat diketahui dan dipelajari dengan melihat pola-pola yang ada dengan merujuk pada pendekatan kesejarahan. (Longstreth 2008)

Kebudayaan

Kebudayaan sebagai pedoman tingkah laku manusia untuk memahami lingkungan berdasarkan pengalamannya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Kebudayaan terdiri atas tiga wujud yaitu ideal, aktifitas, dan benda budaya (Koentjaraningrat 1984).

Kebudayaan dihasilkan melalui proses komunikasi dimana komunitas yang bersangkutan mampu membangun citra melalui hubungan yang saling melengkapi. Kebudayaan tumbuh beranekaragam, tetapi sangat membutuhkan satu sama lainnya karena kebudayaan diperoleh melalui proses komunikasi baik

internal maupun eksternal. Proses komunikasi ini yaitu memberikan pesan dari satu ke yang lainnya untuk mencapai kesepakatan yang terbaik. Kesepakatan tersebut dapat berupa nilai, kepercayaan, dan norma yang penting (Samovar et al.

2008).

Kebudayaan dinilai nyata dan rasional dikelola secara berulang-ulang, sehingga menunjukkan pola yang khas yaitu pola sosial, mental, dan keyakinan menjadi faktor pendorong yang menciptakan ide dan nilai. Ide dan nilai pada budaya mendefinisikan suatu simbol yang merujuk pada suatu gaya dari kebudayaan tersebut dimana mempengaruhi bentuk arsitektural, adab dan adat, serta kesenian khas (Rogers 2001).

Kebudayaan dapat dinilai sebagai pencerminan jiwa dari masyarakat sehingga membentuk karakter yang khas dan mencerminkan identitas yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat membangun

(21)

kebiasaan-kebiasaan tertentu yang diwujudkan melalui penerapan nilai, norma, peraturan, ketentuan, atau perundang-undangan sebagai pedoman hidup, memiliki kesatuan identitas dan jati diri yang kuat sehingga menganggap berbeda dengan kelompok lainnya (Hariyono 2007).

Kebudayaan juga sebagai pencerminan keseluruhan ilmu pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan dan diwariskan kepada keturunannya (Linton 1940). Berdasarkan hubungan kedekatan dengan alam, Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa manusia sebagai pelaku budaya menggunakan pengalamannya untuk menginterpretasikan alam yang dijadikan sebagai simbol atau pedoman dalam memaknai kehidupan.

Kebudayaan membentuk pola kehidupan dari masyarakat melalui kegiatan, bangunan arsitektural, dan kehidupan sosial yang menjadi ciri khas atau identitas tertentu (Geertz 1992). Salah satu bentuk kebudayaan yang mengutamakan pemaknaan kehidupan yaitu kebudayaan Jawa, sehingga Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai pokok kehidupan manusia, antara lain: (1) masalah hakekat hidup manusia, (2) masalah hakekat karya manusia, (3) kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam, dan (5) hubungan manusia dengan sesama dan Tuhannya.

Budaya dan Konsep Tata Ruang Jawa Budaya Jawa

Budaya Jawa memiliki falsafah Jawa yang dilaksanakan oleh masyarakatnya sebagai penuntun untuk memperoleh ketentraman jiwa dan batiniah. Falsafah Jawa dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Jawa. Falsafah Jawa menuntun seseorang pada keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kerohanian. Hasil dari falsafah Jawa tersebut menghasilkan kehidupan yang harmonis, selamat, dan tentram. Terdapat ungkapan Jawa yaitu “sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana” artinya bahwa keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang sebenarnya mampu menghiasi dunia dengan perbuatan-perbuatan yang memelihara kerukunan dan ketentraman (Mulyana 2006).

(22)

Budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan budaya Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat perkembangannya. Lanskap Keraton dianggap sebagai konsep Taman Tradisional Jawa. Keraton memiliki tata ruang dan penggunaan elemen-elemen tanaman yang mengandung makna simbolik. Makna tersebut mengarahkan pada penggambaran kehidupan manusia menuju kesempurnaan (Kasampurnaning Ngaurip) antara kehidupan duniawi dan rohani (Herusatoto 1983). Konsep kosmologi Jawa yang mempengaruhi lanskap khas Jawa mengajarkan tentang tata perilaku dalam kehidupan, yaitu hubungan dengan manusia, alam, dan Tuhannya. Falsafah Jawa di dalamnya mengarah pada konsep keselarasan dan ketentraman jiwa. (Bratawijaya 1997).

Keselarasan mengenai konsep kosmologi Jawa yang mengarahkan manusia pada kasampurnaning ngaurip, mengarahkan pada konsep kseimbangan kosmos. Keseimbangan kosmos didasarkan atas kosmologi Jawa terdiri atas kosmos vertikal dan kosmos horizontal. Kosmos vertikal dipercaya dibagi menjadi tiga bagian, antara lain: (1) dunia atas, (2) dunia tengah, dan (3) dunia bawah, disebut Tri Buwana. Kosmos vertikal mengarahkan manusia untuk dekat dengan Sang Khalik (Manunggaling Kawula Gusti) menuju kesempurnaan. Kosmos horizontal menggambarkan kehidupan duniawi yaitu kekerabatan dan kerukunan antara sesama manusia. Hubungan keduanya dapat menghasilkan keberaturan dan keseimbangan yang hakiki. Kedua kosmos ini mempengaruhi ragam aktivitas dan kebutuhan ruang untuk memunculkan kehidupan yang harmonis dan sebagai penanda kekhasan tradisional Jawa. Kondisi ini dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya, tetapi tidak mempengaruhi nilainya (Setiawan 2000).

Keseimbangan kosmos memiliki kesamaan dengan konsep sadulur papat kalima pancer, dimana menyelaraskan keseimbangan hidup antara manusia dan lingkungan. Konsep sadulur papat kalima pancer membentuk konsep yang mengutamakan empat arah mata angin. Pedoman ini bertujuan membentuk lambang pada setiap arah mata angin. Konsep ini dipengaruhi oleh keberadaan manusia sebagai penggeraknya yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar. Pada gambar 1 disebutkan bahwa pemahaman yang tersirat di dalam konsep

(23)

sadulur papat kalima pancer yaitu kehidupan memerlukan arah tuntutan. Arah Utara (Lor) sampai ke arah selatan (Kidul) mengisyaratkan jalan kehidupan sampai menuju kesucian menghadap Sang Khalik (Manunggaling Kawula Gusti).

Arah barat-timur (wetan-kulon) mengisyaratkan asal segala sesuatu (Yosodipuro 1994).

Gambar 1 Konsep Sadulur Papat Kalima Pancer pada Tata Ruang Keraton Jawa (Sumber: Setiawan 2000).

Definisi lain konsep sadulur papat kalima pancer yaitu konsep macapat.

Konsep macapat mendefinisikan fungsi ruang atas arah mata angin yang menunjuk pada hubungan kosmos dapat dilihat pada gambar 2. Pendefinisian ini bertujuan untuk memberikan perlambangan pada hubungan sosial dilambangkan secara horizontal dan hubungan adikodrati dengan Tuhan Pencipta Semesta Alam yang dilambangkan dengan hubungan vertikal. Konsep ruang ini berkaitan dengan fungsi kedekatan atau hubungan dalam kehidupan baik duniawi maupun rohani, bukan mendefinisikan tentang suatu batasan teritorial. Hal ini ditujukan untuk menghadirkan suasana harmonis secara sosial, hubungan dengan alam, dan Tuhannya. Suasana harmonis dihasilkan melalui beragam interaksi yang terhimpun membentuk suatu kesatuan (Frick 1997).

(24)

Gambar 2 Konsep Macapat Menggambarkan Arah Mata Angin Sebagai Dasar Konsep Taman Jawa (Sumber: Hariyono 2007)

Kepercayaan mengenai mata angin secara kosmis pada konsep sadulur papat kalima pancer diterapkan melalui perlambangan. Perlambangan tersebut mengartikan arah utara, selatan, barat, dan timur. Arah mata angin utara dilambangkan oleh Dewa Wisnu, memiliki simbol matahari dengan warna kuning. Arah mata angin selatan dilambangkan oleh Dewa Anantaboga (Ratu Kidul), memiliki simbol hitam yang berarti kesabaran dan kasihan. Arah mata angin barat dlambangkan oleh dewa Yamadipati dengan simbol api berwarna merah, memiliki makna kebinasaan dan kematian. Arah mata angin timur dilambangkan oleh dewa Mahadewa dengan simbol air berwarna biru yang bermakna keseragaman dan rasa kebersamaan (Hariyono 2007).

Pencitraan konsep sadulur papat kalima pancer diarahkan pada suatu

imago mundi (pencitraan dunia). Filosofi tersebut menarahkan pada falsafah ”Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti” yang memiliki

persamaan dengan ajaran Islam yaitu Hablun Minallah dan Hablun Minannas.

Falsafah ini mengarahkan pada hubungan antara kehidupan duniawi dan pendekatan diri dengan Sang Khalik (aspek rohani) harus seimbang (Setiawan 2000).

Adapun makna lain dari konsep sadulur papat kalima pancer dari struktur kosmos dalam budaya Jawa kuno dipengaruhi oleh Hindu dan Budha dimana terdapat Jambudvipa. Jambudvipa merupakan inti struktur yang dikelilingi oleh tujuh lapis samudra dan tujuh lapis daratan. Gunung Meru dianggap sebagai pusat kosmos, sehingga sebagai pusat dari perwujudan mata angin kosmis yang diaplikasikan sebagai konsep keruangan pada keraton (Setiawan 2000).

(25)

Penggambaran konsep sadulur papat kalima pancer pada lanskap keraton Surakarta Hadiningrat secara makro dapat dilihat pada gambar 3. Konsep ini dipercaya sebagai perwujudan kekuatan dewa-dewa penjaga. Kekuatan ini merupakan pencitraan dari kekuatan alam yang diciptakan oleh Sang Khalik. Tata ruang di lingkungan keraton merupakan landasan untuk pendesainan Tata ruang dan tata letak khas tradisonal Jawa pada umumnya (Setiawan 2000).

Gambar 3 Tata Ruang Makro di Keraton Surakarta Hadiningrat (Sumber: Setiawan 2000).

Tata Ruang Tradisional Jawa

Tata ruang di lingkungan keraton dijadikan dasar perencanaan tata ruang dan pemilihan elemen-elemen penting di dalam taman Jawa (Setiawan 2000). Pada lingkungan sub kebudayaan Jawa pesisir, penetapan tata ruang dan pemilihan elemen-elemen taman selain dipengaruhi lingkungan Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat, juga dipengaruhi oleh lingkungan keraton Cirebon (Sedyawati 2003). Pada dasarnya, keseluruhan bentuk arsitekturnya pada keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat, dan Cirebon dipengaruhi gaya arsitektur colonial. Hal ini didasarkan atas pengaruh campur tangan pemerintahan Belanda pada jaman penjajahan kolonial di Indonesia (Santoso 1981). Perbandingan elemen lanskap pada tiap-tiap keraton dapat dilihat pada Tabel 1.

(26)

Tabel 1. Perbandingan Elemen Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat, dan Cirebon

No. Komponen Keraton Yogyakarta Keraton Surakarta Keraton Cirebon

1 Orientasi Keraton dan as. Imajiner

Utara-Selatan Utara-Selatan Utara-Selatan

2 Peletakan Bangunan mengikuti pola orientasi utara-selatan mengikuti pola orientasi utara-selatan

mengikuti pola orientasi utara-selatan

3 Alun alun Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar.

Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar.

Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar.

4 Elemen Lanskap di sekitar keraton

• Terdapat pendopo sebagai tempat penerimaan tamu, tempat bertemunya raja dengan abdi dalem

• Terdapat pendopo dan dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter.

• Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya. • Terdapat tanaman beringin dan dari Tugu

menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya.

• Terdapat tanaman beringin di alun-alun

• Terdapat tanaman beringin di alun-alun

• Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh

langkah/gerbang menuju surga (seven step to heaven)

• Sebelum memasuki dalam terdapat anak tangga yang mengarahkan pada kesucian dan niat baik

• Sebelum memasuki dalam terdapat anak tangga yang mengarahkan pada kesucian dan niat baik

• Sebelum memasuki dalam terdapat anak tangga yang mengarahkan pada kesucian dan niat baik

5 Arsitektur Bangunan Bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina.

Arsitektur bergaya tradisional Jawa dan berwarna putih

dikombinasikan dengan arsitektur bergaya kolonial

Bangunan utama yang berwarna putih bergaya arsitektur Jawa, kolonial dan Tiongkok (ditandai dengan piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding) (Sumber: Setiawan (2000) dan Dewi (2009))

(27)

Bagi masyarakat Jawa, rumah (omah) merupakan kebutuhan hidup utama, selain pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Tata ruang rumah tinggal merupakan penjabaran miniatur kosmos dimana diarahkan untuk menciptakan keselarasan hidup berkeluarga dan menghindari perpecahan (Wardani 2007). Rumah tinggal masyarakat Jawa terdiri atas rumah dan halaman, sehingga antara keduanya harus sinergi. Rumah dianggap sebagai pohon yang teduh, dimana orang tanpa rumah diibaratkan pohon tanpa bunga (Widayati 1999).

Pada tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa (Tabel 2), semakin mendekati rumah (omah) semakin bernilai privat. Bagian halaman diperuntukan sebagai ruang publik. Pada bagian sekitar teras dan pendopo diperuntukan sebagai ruang semi publik. Penempatan elemen tanaman terdapat pada bagian halaman dan sekitar halaman (Hamzuri 1986).

Tabel 2. Kedudukan dan Fungsi Antar Ruang pada Tempat Tinggal Masyarakat Tegal

No. Kedudukan Ruang Fungsi Ruang

1 Ruang Publik Sebagai penyedia ruang terbuka hijau melalui penanaman tanaman di sekitar halaman

2 Ruang Semi-Privat Membangun kepercayaan, kekerabatan (menjalin kerukunan), dan memperkuat silaturahmi.

3 Ruang Privat Sebagai ruang pertemuan saudara dan keluarga. (Sumber : Setiawan (2000))

Bentuk rumah masyarakat Jawa sangat sederhana, sebagai ungkapan kesederhanaan hidup masyarakaat jawa. Keutamaan rumah tinggal yaitu menciptakan kerukunan anggota keluarga di dalamnya (Suseno 1988). Biasanya bentuk denah yang diterapkan adalah berbentuk persegi yaitu bujur sangkar dan persegi panjang. Hal tersebut sesuai dengan estetika hidup orang jawa yang mempunyai ketegasan prinsip dalam menjalankan tanggung jawab terhadap hidupnya (Hamzuri 1986). Tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa dibedakan menjadi 2 yaitu yang diperuntukan untuk masyarakat biasa dan bangsawan (Widayati 1999) (Gambar 4).

(28)

Tata ruang Rumah Tinggal Rakyat Biasa Tata Ruang Rumah Tinggal Bangsawan

Gambar 4 Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Jawa.

Adapun perbedaan antara tata ruang Jawa antara golongan rakyat biasa dan bangsawan. Tata ruang dan tata letak tradisional khas Jawa pada golongan rakyat biasa tidak memiliki orientasi khusus, terdiri atas omah dan halaman. Orientasi arah pada rumah tinggal masyarakat Jawa sebagian besar mengarah ke arah selatan atau utara. Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa tata ruang dan tata letak tradisional khas Jawa pada golongan bangsawan dibatasi oleh dinding dan gapura serta memiliki pendopo sebagai elemen pembentuk dari segi arsitekturalnya (Widayati 1999).

Gambar 5 Gambaran Umum Tata Ruang dan Tata Letak Khas Tradisional Masyarakat Jawa Golongan Bangsawan (Sumber: Widayati 1999).

(29)

Setiap tata ruang tradisional Jawa memiliki filosofi dan pandangan mengenai elemen-elemen pembentuknya. Tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa golongan bangsawan terdiri atas: (1) rumah (omah), (2) pendopo, dan (3) gapura. Arah hadap rumah pada golongan masyarakat tidak boleh menghadap ke arah timur. Hal ini disebabkan arah hadap timur dianggap milik keraton (arah timur ditempati oleh Batara Sang Hyang Maha Dewa sebagai simbol asal kehidupan di dunia ini). Sementara itu, tata ruang masyarakat Jawa menggunakan arah hadap utara atau selatan. Arah utara dipercaya ditempati oleh Dewa Sang Hyang Batara Wisnu yang memiliki lambang pemeliharaan (Hamzuri 1986).

Rumah tinggal oleh masyarakat Jawa didasarkan atas norma-norma Jawa yang diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hakekatnya, masyarakat Jawa mempunyai pola kerja yang ditujukan untuk mencapai tiga sasaran pokok, yaitu: kepuasan diri, pengakuan dari masyarakat sekitarnya dan kasih sayang dari lingkungannya. Apabila pola kerja tersebut dikaitkan dengan penentuan tipe bangunan, bentuk bangunan dan lokasi tempat bangunan tersebut berada, maka akan diperoleh hubungan sebagai berikut: tipe bangunan rumah sangat tergantung pada aspek sosial, dalam hal ini erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya, bentuk bangunan tergantung pada aspek geografis dan aspek sosial yang erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk memperoleh kasih sayang dengan lingkungan sekitarnya, dan penentuan lokasi sangat tergantung pada aspek geografis, dalam arti dirinya sendiri adalah bagian dari alam (Indartoyo 2008).

Konsep arsitektur rumah tinggal di daerah pesisir merupakan perpaduan arsitektur tradisional Jawa dan kolonial. Struktur penutup atap dari bangunan menjadi penciri yang khas konsep Jawa. Terdapat tiga tipe spesifik yaitu kampungan, limasan, dan joglo. (Nas & Vletter 2009).

Rumah menurut masyarakat Jawa juga disebut dalem ageng (Gambar 6). Dalem ageng adalah bagian paling penting karena merupakan tempat tinggal keluarga. Dalem ageng memiliki beberapa ruang yang disebut dengan sentong.

Sentong ini terdiri dari:

1) Sentong kiwo, merupakan tempat tidur anggota keluarga dan di daerah pedesaan digunakan untuk menyimpan hasil bumi.

(30)

2) Sentong tengah, merupakan tempat yang sakral karena digunakan sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri. Ruang ini disebut juga pedaringan.

3) Sentong tengen, sama seperti sentong kiwo yaitu merupakan tempat tidur anggota keluarga.

Gambar 6 Bagian Ruang Dalem Ageng (Sumber: Kusyanto 2007).

Hamzuri (1986) menjelaskan bahwa alur sirkulasi pada rumah Jawa dari ruang depan menerus ke ruang belakang, bahkan juga dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Alur sirkulasi dari ruang depan ke ruang belakang, apabila melihat pada Gambar 6 maka sirkulasi tersebut berturut-turut meliputi: pendopo, pringgitan, dalem, dan senthong (senthong kanan, senthong tengah dan senthong kiri). Alur sirkulasi dari kanan ke kiri meliputi: ruang pendopo alur sirkulasi ke kanan dan ke kiri menuju ke halaman luar, ruang pringgitan dan ruang dalem alur sirkulasi ke kanan dan ke kiri menuju gandhok kanan dan gandhok kiri dengan melalui longkangan. Dan alur sirkulasi selanjutnya adalah menuju pawon (dapur),

gadri dan pekiwan melalui pintu yang berada di gandhok kanan dan gandhok kiri. Elemen Taman

Konsep tata ruang Jawa memiliki kekhasan yang memiliki unsur-unsur nilai dan filosofi, terkadang mengarah kepada kekuatan ghaib. Salah satu kepercayaan masyarakat Jawa yaitu angka 7 sebagai angka yang sempurna melambangkan langit ke tujuh menuju kesempurnaan hidup dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa (Anonim 2007). Hal ini memperkuat bahwa taman Jawa lebih bersifat simbolik yang mengaitkan kehidupan manusia dengan

(31)

lingkungannya yaitu melalui pemilihan tanaman yang berbentuk pohon (Setiawan 2000). Taman Jawa juga digambarkan sebagai penampung aktivitas manusia secara psikologis, emosional, dan dimensional. Elemen tanaman sangat penting di dalam desain Taman Tradisional Jawa. Hal ini dikarenakan tanaman memiliki fungsi sebagai pembentuk kosmos (Herusatoto 1983).

Gapura

Elemen tata ruang luar rumah tinggal sebagai gerbang masuk yaitu gapura. Gapura digambarkan sebagai pintu semesta raya, digambarkan seseorang yang memasukinya berarti telah berada di dalam kosmos (Prijotomo 1988). Gapura merupakan bagian dari pagar yang mengelilingi taman, pada lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Keraton Yogyakarta Hadiningrat juga memiliki pagar berbentuk tembok tebal sebagai pengaman keluarga keraton (Soeharso 1985).

Halaman

Berdasarkan Filosofi Jawa, halaman dipercaya terbentuk dari pencerminan kepribadian manusia Jawa. Keseluruhannya mengarahkan pada penciptaan keselarasan, ketenangan, suasana interaksi yang nyaman, pencerminan moral, etika, dan dinamika gerak sosial. Adapun peruntukan kebutuhan ruang terbuka yang ditanami beberapa tanaman yang difungsikan sebagai tanaman berbuah atau pemenuh kebutuhan (Setiawan 2000).

Di dalam konsep tata ruang Jawa, bagian halaman lebih luas dan ditanami tanaman-tanaman yang menghasilkan keteduhan dan dapat dimanfaatkan. Halaman yang luas ini dilatarbelakangi oleh prinsip masyarakat Jawa yang menyenangi keteduhan dan keindahan. Tanaman yang ditanam di halaman dapat menetralisir udara panas sebelum masuk ke pendopo (Widayati 1999).

Sirkulasi

Dari gerbang menuju rumah ditunjukan melalui pola sirkulasi lurus. Berdasarkan filosofi Jawa, sirkulasi setelah melewati gerbang berupa jalan

(32)

yang lurus mengarah pada pusat kosmos dengan open space di sekitarnya (Prijotomo 1988).

Pendopo

Pendopo menjadi salah satu bangunan penting di kompleks keraton yang berfungsi untuk bersemedi (meditasi), mengheningkan cipta, memohon kesejahteraan bagi warga Keraton. Pendopo ini juga digunakan untuk bertemu atau bertatap muka dengan keluarganya, abdi dalem, bahkan rakyatnya. Bangunan pendopo berbentuk arsitektur joglo pada atapnya yang disangga 4 tiang sebagai saka guru pada bagian tengahnya (Anonim 2007). Pada tata ruang rumah tinggal masyarakat bangsawan juga terdapat pendopo sebagai tempat penerimaan tamu dan berinteraksi (sebagai ruang semi privat) (Widayati 1999).

Pendopo dan teras difungsikan sebagai tempat penerima tamu oleh pemilik rumah. Apabila di lingkungan keraton, pendopo difungsikan sebagai tempat raja menerima pisowanan dari rakyat atau bawahannya. Pendopo pada masyarakat pesisir Jawa sebagai tempat untuk bersilaturahmi. Hal ini disebabkan sifat masyarakat pesisir yang dikenal egaliter atau tidak memandang status sosial seseorang. Selain itu, sirkulasi yang terbentuk merupakan konsep sumbu imajiner yang lurus. Sirkulasi ini merupakan perwujudan proses kelahiran manusia hingga mengalami kematian. Sirkulasi pada lingkungan keraton biasanya didesain bertahap-tahap mendasari tentang perjalanan hidup manusia menuju kesempurnaan hidup (Sardjono 1996). Tanaman

Taman Tradisional Jawa memiliki elemen tanaman dibentuk untuk membentuk karakter dan berperan sebagai touch of life serta keindahan lingkungan (Booth 1983). Tanaman di dalam tata ruang Jawa dipercaya memiliki pesan dan makna simbolik yang menggambarkan kehidupan manusia Jawa (Tabel 3). Geertz (1992) menyatakan bahwa smbol-simbol dari elemen tanaman tersebut memiliki nilai sakral yang menunjuk pada tanda, ciri, dan kualitas penghuni dan lingkungannya.

(33)

Tabel 3. Tanaman Disertai Fungsi dan Makna pada Tata Ruang Jawa

Nama Tanaman Fungsi Simbolik (Makna)

Beringin (Ficus benjamina) Peneduh Pengayoman (mensejahterakan) Kepel (Stelechocarpus

burahol)

Peneduh Kesatuan Kantil/Cempaka (Micelia

champaca)

Estetika Kemuliaan dan pembawa rezeki

Kelapa hijau (Cocos nucifera)

Penghasil buah Suasana hati ayem dan tenteram Jambu dersono (Eugenia

javanica)

Penghasil buah Kasih sayang antar sesama Sawo kecik (Manilkara

kauki)

Simbolik, Peneduh

Kebaikan (becik) Belimbing (Averrhoa sp.) Penghasil buah,

penaung

Ketenteraman, murah rezeki, ketenangan jiwa

Gayam (Inocarpus edulis) Penaung Penyejuk jiwa Mangga (Mangifera indica) Penghasil buah,

penaung

Kesengsem (Jatuh hati) Mawar (Hibiscus rosa

sinensis)

Estetika Sabar dan pengandalian diri Kenanga (Cananga

odorata)

Estetika, pewangi

Menolong antar sesama (temengo)

Bunga gading Estetika Ingat (eling) Tanjung (Mimusoph elengi) Pengarah Mengarahkan diri Soka (Parrinarium

glaberrium)

Pengarah, pembatas

Pengaman, penolak bala (Sumber: Setiawan (2000))

Tanaman-tanaman tersebut didasarkan atas kepercayaan pemilihan tanaman yang terdapat pada lingkungan keraton sebagai pencerminan fungsi estetik, fungsional, dan simbolik. Fungsi estetik pada tanaman, digunakan untuk menghasilkan keindahan berdasarkan karakter fisik dan bunganya.

(34)

Tanaman yang digunakan sebagai kebutuhan, antara lain digunakan untuk upacara tradisional, wewangian, obat-obatan, makanan, kosmetik, dan pewarna (Soeharso 1985).

Adapun beberapa tanaman yang memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis pada tanaman, misalnya pohon gayam memiliki fungsi sebagai penyimpan air menuju ke permukaan tanah, sehingga air jernih mudah didapatkan di sekitar pohon tersebut. Beberapa tanaman juga difungsikan agar dapat dimanfaatkan bagian dari tanaman tersebut (Setiawan 2000).

Berdasarkan filosofi Jawa, tanaman yang memiliki arti simbolik dan memiliki ketentuan khusus dalam peletakannya yaitu sawo kecik (Manilkara kauki). Tanaman sawo kecik dipercaya apabila ditanamnya tanaman ini pada tanah tertantu maka menandakan bahwa tanah tersebut milik keraton. Sebaliknya, apabila ditanam di luar lingkungan keraton maka seseorang yang bertempat tinggal yang memiliki pohon tersebut masih dalam garis keturunan keraton (trahing kusomo). Penanaman tanaman di lingkungan keraton tidak memiliki aturan peletakan tertentu. Peletakan tanaman di lingkungan keraton didasarkan atas, antara lain: (1) perintah raja setelah mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa, (2) meniru gaya penanaman keraton jaman dahulu, (3) mendapat kekuatan ghaib atau daya magis yang dipancarkan oleh tanaman tersebut. Tujuan penanaman yaitu untuk menambah atau menguatkan pengaruh baik dan menangkal pengaruh buruk (Setiawan 2000).

Kebudayaan Pantai Utara Jawa

Berdasarkan sub daerah kebudaaan Jawa, Tegal sebagai salah satu daerah di dalam kebudayaan pantai utara Jawa. Kebudayaan pantai utara Jawa termasuk ke dalam sub kebudayaan Jawa Pesisir. Pada umumnya, orientasi kebudayaan Jawa di wilayah Pantai Utara Jawa mengalami degradasi. Hal ini dikarenakan pada wilayah Pantai Utara Jawa berpotensi dalam memperoleh pengaruh budaya asing. Wilayah Pantai Utara Jawa memilki pelabuhan besar sebagai pintu gerbang masuknya budaya asing. Gaya arsitektur dan taman di Wilayah Pantai Utara Jawa tidak ditemukan penggunaan konsep Jawa Tradisional (Hariyono 2007).

(35)

Kebudayaan Pantai Utara Jawa bersifat heterogen. Hal ini dapat dilihat bahwa kondisi sosial masyarakat Tegal yang terdiri bermacam-macam etnis dan lokasi yang strategis. Selin itu, sifat heterogen ini disebabkan oleh karakter keterbukaan masyarakatnya dalam menerima pengalaman baru, bersedia menerima perubahan sosial, dan menilai ketrampilan teknis sebagai hal yang penting. Kebudayaan Pantai Utara Jawa hanya sedikit dipengaruhi oleh kehidupan keraton Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakatnya tetap berprinsip pada falsafah Jawa yang beberapa mengalami perubahan yang adaptif, baik dari segi sosial dan arsitektural (Sedyawati 2003).

Pada bagian utara Tegal dekat dengan pelabuhan berdiri bangunan bergaya kolonial. Wilayah Pantai Utara Jawa pada masa kejayaan Belanda di tanah Jawa meninggalkan bangunan arsitektur dan taman bergaya kolonial dikenal dengan bangunan indis. Di tanah Jawa dikenal dengan rempah-rempahnya, sehingga mendorong bangsa lain seperti Arab, Cina, dan Eropa melakukan perdagangan. Selain bangunan Indis, juga ditemukan bangunan bergaya arsitektur Cina dan Arab. Kerajaan-kerajaan lainnya di Indonesia juga mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pengaruh kerajaan-kerajaan tersebut mempengaruhi kondisi mental, sosial, budaya, dan tata ruang (Kartodirdjo 1999).

Alasan terdapatnya bangunan bergaya kolonial (indis/indisce) di Tegal yaitu pada abad XVII yaitu saat Zaman Modern Awal (1600-1800 M) yang ditandai dengan kedatangan pedagang Eropa dan Cina di Wilayah Pantai Utara Jawa. Tipologi arsitektur, tata ruang, dan taman ditransplantasikan pada arsitektur lokal. Sehingga, kombinasi ini mengahasilkan arsitektur bergaya campuran disertai dengan adaptasi proses akomodasi kultural. Pendopo sebagai ruang tradisional Jawa diadopsi dan dikombinasikan dengan arsitektur Eropa menjadi luasan beranda yang berfungsi sebagai ruang bersama dan ruang pertemuan (Nas & Vletter 2009).

Daerah-daerah di wilayah kebudayaan Pantai Utara Jawa banyak dijadikan basis pertahanan kerajaan-kerajaan besar, seperti Mataram. Salah satunya Tegal, Tegal memiliki letak yang strategis dan memiliki pelabuhan besar. Tegal dijadikan sebagai wilayah penyangga pangan kerajaan Mataram. Daerah-daerah

(36)

pesisir Pantai Utara Jawa lebih dahulu dikuasai oleh Belanda (VOC) karena dianggap daerah ini dapat menjadi basis pertahanan yang kuat (Rochani 2005).

Sejarah Tegal

Tegal secara administratif terbagi atas wilayah kota dan kabupaten. Tegal terletak di bagian utara Jawa berdekatan dengan Cirebon dan Banyumas, sehingga berpotensi untuk dipengaruhi oleh budaya yang dibawa dari kedua daerah tersebut. Pada dasarnya, kota dan kabupaten Tegal merupakan kesatuan yang mencerminkan tidak adanya perbedaan dari sudut pandang budaya, sehingga karakter baik hubungan dirinya maupun secara sosial dengan orang lain memiliki kesamaan yang erat. Begitu pula latar belakang sejarahnya memiliki kesamaan yang tak dapat dipisahkan dan saling melengkapi (Su’ud 2003).

Berdasarkan sejarah perkembangan Tegal, dahulu Tegal hanya sebuah desa yang bernama “Tetegal”. Tokoh yang berperan penting bagi perkembangan Tegal yaitu Ki Gede Sebayu. Ki Gede Sebayu dianggap sebagai pendiri Tegal yang didasari oleh cerita rakyat Tegal. Ki Gede Sebayu sebagai tokoh panutan bagi masyarakat Tegal dalam tindakan dan perilakunya (Daryono et al. 2008).

Desa Tetegal merupakan sebuah desa yang belum tertata dengan baik dan ditempati oleh sebagian kecil warga. Kondisi di sekitar desa masih berupa ilalang dan padang yang luas. Nama Tetegal diperoleh dari Ki Gede Sebayu atas jasanya yang memanfaatkan potensi alam setempat dijadikan suatu tegalan atau tetegal. Berdasarkan cerita rakyat Tegal, Ki Gede Sebayu bersama warga setempat memanfaatkan potensi alam tersebut untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Hal ini melatarbelakangi meningkatnya semangat warga Tetegal untuk terus bekerja keras. Ki Gede Sebayu mendapatkan penghargaan atas jasanya mengajar dan membimbing warga untuk memanfaatkan potensi setempat dengan teknologi sederhana. Jasa Ki Gede Sebayu juga meningkatkan dan menggairahkan mental warga Tetegal untuk berusaha berperilaku yang terbaik, optimal, dan bekerja keras (Rochani 2005).

Nilai-nilai yang diajarkan oleh Ki Gede Sebayu meningkatkan tingkat spiritual dan membentuk karakter masyarakat Tegal. Nilai dan filosofi yang diajarkan, antara lain tidak banyak bicara, malakukan tugas atau pekerjaan dengan

(37)

sepenuh hati dan ikhlas, kerja keras dan pemimpin yang menjadi panutan bagi seluruh warganya. Oleh karena itu, Ki Gede Sebayu diangkat sebagai Jur Demang oleh Bupati Pemalang meliputi daerah Tegal atas jasanya. Pengangkatan Ki Gede Sebayu sebagai Jur Demang didasari atas peraturan daerah no. 5 tahun 1988 pada tanggal 28 juli 1988 (Anonim 2007).

Tegal pada Era Mataram

Tradisi dan Kebudayaan masyarakat Tegal semakin berkembang pada saat masuknya Mataram di Tegal. Pada masa kejayaan Mataram di Tegal, Tegal dijadikan sebagai bandar penting bagi politik Mataram. Tegal dijadikan sebagai pelabuhan besar untuk berlabuhnya kapal Mataram dan kapal asing (Anonim 2007). Mataram dipimpin oleh Sultan Agung melakukan langkah menjadikan Tegal sebagai pintu barat Mataram dan pemasok suplai makanan saat penyerangan Mataram ke Batavia (De Graff 1990).

Pengaruh Mataram di Tegal mempengaruhi tata ruang Tegal secara keseluruhan. Pada dasarnya, kerajaan Mataram bersifat agraris yang beribukota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golongan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan keikutsertaan oleh Belanda. Kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam. Hal ini mengakibatkan adanya perpaduan antara pengaruh arsitektur Jawa kuno dan kolonial di Tegal dan daerah pesisir lainnya (Alamsyah 2008).

Berdasarkan sejarah perkembangan Mataram di Tegal, Sultan Agung Hanyakrakusuma merupakan gelar yang diperoleh oleh Mas Rangsang selama memerintah Kerajaan Mataram. Raja-raja Mataram sebelumnya, secara berturut-turut disebutkan Sultan Hadiwijaya (1550-1582), Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senapati (1582-1601), Mas Jolang yang merupakan putra dari Sutawijaya lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak (1601-1613), dan barulah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma berkuasa. Di bawah pemerintahan Sultan Agung atas Mataram (1613-1645),

(38)

Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered (Hoeve 2003).

Berdasarkan sejarah perkembangan Mataram di Tegal, Sultan Agung selama berkuasa memiliki tujuan menyatukan daerah-daerah di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan oleh Sultan Agung agar tidak membahayakan kedudukan Mataram. Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda. Pada tahun 1625 Belanda mendirikan kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur (Anonim 2007). Sultan Agung mengangkat Tumenggung sebagai Adipati Tegal untuk mempertahankan wilayah pesisir barat. Wilayah kekuasaan Tumenggung meliputi Tegal, Brebes, dan Losari. Tegal sebagai pertahanan Mataram yaitu sebagai pintu gerbang Mataram di wilayah barat dan memiliki pelabuhan besar yang menguntungkan bagi Mataram (Rochani 2005).

Kekuasaan Mataram telah meliputi sebagian besar wilayah Jawa, sehingga mempengaruhi kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Jawa. Salah satu kerajaan yang dibawah kekuasaannya yaitu Kesultanan Cirebon. Hal ini juga melatarbelakangi pengaruh besar yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Tegal. Cirebon terletak di bagian pantai utara Jawa Barat. Pada saat itu, Kesultanan Cirebon memiliki wilayah yang meliputi beberapa kabupaten, seperti Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon. Berdasarkan Babad Negarakertabumi, kata Cirebon berkembang dari kata “caruban” yang berasal dari istilah “sarumban”. “Sarumban” memiliki arti pusat percampuran penduduk. Pada abad 16 Cirebon dibawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Pangeran Walasungsang ditempatkan oleh raja Pajajaran sebagai juru labuhan di Cirebon. Walasungsang dianggap sebagai pendiri Cirebon, meningkatnya status Cirebon menjadi kesultanan oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati sebagai pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten (Hoeve 2003).

Budaya Cirebon memiliki pengaruh pada budaya yang berkembang di Tegal pada saat Mataram memberikan pengaruh pada kerajaan Cirebon. Menurut

(39)

Hoeve (2003), pada saat Kerajaan Cirebon dipimpin oleh Panembahan Ratu, masa pemerintahannya dibawah pengaruh Mataram. Pengaruh Mataram pada tahun 1590 yaitu pada saat Panembahan Senapati membantu dalam memperkuat tembok yang mengelilingi Cirebon. Menurut Dewi (2009), tahun 1678 kesultanan Cirebon di bawah perlindungan Banten terbagi menjadi 3, antara lain: Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman, dan Panembahan.

Menurut Daryono et al. (2008), setelah masa Sultan Agung sebagai Raja Mataram, kemudian digantikan oleh Sunan Amangkurat 1. Amangkurat I merupakan raja keempat Kerjaaan Mataram Pada saat masa Amangkurat I terjadi pemberontakan Trunojoyo. Amangkurat I termasuk raja yang berkuasa di Tegal di bawah bendera Mataram. Amangkurat I meninggal pada saat mengasingkan diri atas pemberontakan yang terjadi, sehingga meninggalkan keratonnya di Plered. Amangkurat I meninggal di Ajibarang, kemudian dimakamkan di Desa Pasarean, Kabupaten Tegal. Amangkurat I berwasiat kepada Adipati Anom berbunyi: “Tunggalna lan guruningwang ing lemah memuncak”.

Tegal merupakan daerah yang dipercaya Mataram pada masa Sultan Agung dan Amangkurat I sebagai daerah pengamanan Mataram. Pada saat Mataram menyerang ke Batavia, Tegal dijadikan sebagai gudang makanan. Siasat yang dilakukan oleh Mataram ini diketahui oleh mata-mata VOC, sehingga gudang makanan tersebut dibakar. Setelah penyerangan VOC di Tegal, VOC mengarahkan perhatiannya pada Cirebon (Alamsyah 2008).

Daryono et al. (2008) mengutarakan bahwa setelah Amangkurat I meninggal dunia, digantikan oleh Adipati Anom. Adipati Anom adalah anak dari Amangkurat I. Menurut cerita sejarah, Adipati Anom merasa tidak senang dengan perlakuan Amangkurat I. Adipati Anom berkerjasama dengan Pangeran Trunajaya dari Madura mengadakan pemberontakan yang dikenal dengan pemberontakan “Trunajaya”. Setelah berhasil menyingkirkan Amangkurat I, Trunajaya menginginkan kekuasaan Mataram. Adipati Anom diutus untuk merebut kembali Mataram dari tangan Trunajaya. Adipati Anom berusaha merebut kembali Mataram dari tangan Trunajaya dengan mengutus Martoloyo untuk melakukan penyerangan. Adipati Anom diangkat menjadi Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat Senapati-Ing Alaga Ngabdurrahman Sayidin Natagama

(40)

(Amangkurat II). Selama Kerajaan Mataram di Tegal, ternyata Tegal pernah menjadi “Ibu Kota Kerajaan Mataram”.

Menurut Poesponegoro et al. (1993), pada masa perang trunajaya tahun 1677, Adipati Martoloyo menjabat sebagai Wedana Bupati Pesisiran Kilen yang bertempat di Tegal. Selain menggunakan gelar adipati atau tumenggung, penguasa daerah pesisiran juga memakai gelar Kyai Demang atau Kyai Ngabehi, terutama yang menjabat sebagai bupati.

Kartodirdjo (1992) mengatakan bahwa Amangkurat II meminta bantuan kepada VOC untuk melakukan perlawanan kepada Trunajaya. VOC memperoleh imbalan yaitu sebagian wilayah kekuasaan Mataram, termasuk Tegal. Pada tahun 1680, VOC mengangkat dirinya sebagai penguasa daerah pesisir, termasuk Tegal menjadi daerah kekuasaanya.

Tegal pada Era Kolonial

Tahun 1729-1900, pemerintahan Belanda di Kota Tegal dipegang oleh Residen Belanda dan pemerintahan tradisional Tegal dipegang oleh bupati (Suputro 1959). Kantor Residen Belanda berada di dekat benteng Belanda yaitu di sekitar pusat kota. Pusat kota ditandai dengan kediaman pejabat dan gedung pemerintahan. Segala infrastruktur Belanda diposisikan di wilayah bagian timur kota dekat dengan pelabuhan Tegal. Arsitektur bangunan belanda sangat khas dengan bangunan menyerupai benteng dan berjendela besar yang disebut dengan bangunan indis (Soekiman 2000)

Wilayah kota dan kabupaten di Tegal memiliki latar belakang masyarakat dan pandangan yang sama. Sejak dicetuskannya sumpah bersama pada perayaan Hari Proklamasi RI tanggal 17 agustus 1949 yang berbunyi: “Kami rakyat Indonesia dari Kabupaten dan Kota Tegal bersumpah tetap berjuang hingga tercapai suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka bulat berdasarkan Pancasila”. Hal ini merupakan suatu bentuk keformalitasan untuk diketahui bahwa Kota dan Kabupaten Tegal tidak memiliki perbedaan karena semuanya bermula dari Desa Tetegal (Daryono et al. 2008).

Belanda melakukan sistem tanam paksa untuk komoditas tebu bagi masyarakat Tegal. Komoditas tebu ini dipergunakan untuk memenuhi pasokan

(41)

tebu ke pabrik gula Pangkah, Banjaratma, dan Jatibarang. Hal ini menyebabkan rakyat tidak menanami sawah-sawahnya dengan tanaman padi. Lokasi didirikannya pabrik pengelohan tebu bertempat di beberapa tempat, diantaranya Pagongan, Kemantran, Dukuhringin, Pangkah, Balapulang, dan Ujungrusi (Daryono et al. 2008). Menurut Alamsyah (2008), sektor pertanian di Tegal dikembangkan sebagai penopang perekonomian VOC, sehingga tanaman tebu diarahkan menjadi perkebunan yang menjadi devisa penting dalam bentuk pabrik gula.

Alamsyah (2008) mengungkapkan bahwa pada masa Pakubuwono II berkuasa, Sunan meminta bantuan kepada VOC untuk menumpas pemberontak Cina yang berlangsung selama 3 tahun yaitu pada tahun 1740 hingga 1743. Di Tegal terjadi pemberontakan yang disebut “Geger Pecinan” sebagai bentuk

pemberontakan atas kompetisi dagang antara VOC dan pedagang Cina.

Di akhir abad XIX, Belanda memasuki periode liberal yang ditandai dengan memberikan peluang bisnis kepada pihak swasta yang dikelola oleh orang Belanda maupun Cina. Setelah pemerintahan liberal, pemerintahan Belanda melakukan politik etis dengan masyarakat pribumi. Terjadi desentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda atas Tegal. Pada tahun 1901, Tegal dijadikan 2 wilayah penting yaitu kota dan kabupaten (Soemarna 1984).

Masuknya etnis Cina, Arab, dan Madura di Tegal dikarenakan hubungan dan kepentingan dagang. Hal ini dikarenakan oleh adanya pelabuhan di Tegal. Potensi pelabuhan di Tegal berkembang dengan cepat, terutama fasilitas jasa yang dikarenakan adanya hasil produksi dari pertanian dan perkebunan yang melimpah di Tegal. Hasil pertanian dan perkebunan yang dikembangkan di Tegal, antara lain padi, tebu (setelah tahun 1840, permintaan terus meningkat), kopi (di tanah-tanah kering), Faktor ini mendorong kerjasama antara masyarakat pribumi dan masyarakat etnis dalam mengembangkan sektor jasa di pelabuhan Tegal. Keberadaan kebudayaan maritim dikarenakan adanya pelabuhan di Tegal dan dinamika masyarakat pesisir dimulai sejak masa Mataram Islam (Alamsyah 2004).

(42)

Kebudayaan Tegal

Kebudayaan di Tegal sangat beragam, tetapi masih berpegang teguh pada budaya Jawa. Masyarakat Tegal dikenal bersifat terbuka yaitu berkeinginan untuk mengenal pengetahuan baru. Perkembangan kebudayaan diawali dengan sebuah tradisi. Penyelenggaraan tradisi di Tegal, selain berasal dari nilai-nilai budaya Jawa juga berasal dari pengaruh-pengaruh budaya lainnya, seperti Cina dan Arab (Kustomo 2004).

Masyarakat Tegal memiliki kebiasaan kegiatan berkumpul disertai dengan acara minum teh bersama yang dikenal dengan tradisi moci. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada malam hari oleh laki-laki. Menurut Su’ud (2003), tradisi minum teh yang dimulai pada tahun 1930-an, dilatarbelakangi dengan berdirinya pabrik teh di Tegal. Tradisi moci ini dilakukan dengan poci yang terbuat dari tanah liat. Menurut Kustomo (2004), teh poci menggunakan campuran antara gula batu dan teh pahit aroma melati diseduh dengan menggunakan poci dari tanah liat. Traidisi mengisyaratkan untuk selalu membina kerukunan antar sesama dan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa.

Adapun tradisi masyarakat Tegal dilatarbelakangi oleh penghargaan dan rasa hormat kepada tokoh Mbah Panggung. Mbah Panggung merupakan tokoh yang berperan serta mendirikan Tegal. Menurut Hartatik (2009), kepercayaan yang berkembang di Tegal yaitu dahulu Tegal merupakan sebuah atol (pulau karang) yang dikelilingi oleh laut. Kemunculan Tegal berasal dari penggabungan sebuah atol dengan Pulau Jawa. Atol ini dipercaya merupakan tempat Mbah Panggung untuk bermunajad. Saat ini, Atol dipercaya terletak di Kelurahan Panggung, Tegal. Tradisi yang dilakukan setiap tanggal 6 bulan Syaban untuk mengenang jasa Mbah Panggung yaitu sowan (ziarah) ke makam Mbah Panggung, kemudian dilanjutkan dengan nglarung sesaji di laut.

Tradisi lainnya yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Tegal dilatarbelakangi oleh sejarah Tegal pada era Mataram saat mengadakan penyerangan ke Batavia. Bentuk strategi Mataram yaitu mendirikan bedeng

darurat. Bedeng darurat ini diakomodasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan prajuri Mataram yang bersiap menggempur Batavia pada tahun 1628 dan 1629 di bawah perintah Sultan Agung. Bedeng darurat ini kemudian berkembang menjadi

Gambar

Gambar 1 Konsep Sadulur Papat Kalima Pancer pada Tata Ruang Keraton Jawa     (Sumber: Setiawan 2000)
Gambar 2 Konsep Macapat Menggambarkan Arah Mata Angin Sebagai  Dasar Konsep Taman Jawa (Sumber: Hariyono 2007)
Gambar 3 Tata Ruang Makro di Keraton Surakarta Hadiningrat    (Sumber: Setiawan 2000)
Tabel 1. Perbandingan Elemen Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat, dan Cirebon
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan tujuan hukum yaitu hukum sebagai kontrol sosial, maka usaha-usaha yang dilakukan dalam memberikan bantuan hukum pada tingkat penyidikan dibedakan menjadi

Shifting diperlakukan pada lantai FOH dengan permainan level yang membagi lobby dan restoran menjadi area-area yang berbeda namun tetap memiliki kesatuan (gambar

Meningkatkan keterampilan masyarakat yang bermukin pada wilayah pantai di Palanro Kabupaten Barru tentang pekerjaan finishing jamban keluarga dari kayu model

Fitzsimmon (1982) menyatakan bahwa jasa adalah suatu paket terintegrasi ( service package ) yang terdiri dari jasa eksplisit dan implisit yang diberikan dalam atau dengan

This book is a tour de force, certainly the best book in English on the subject. It looks at Bauls with fresh eyes, is both thoughtful and thought-provoking, and provides many

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh antara perilaku manajer atas isu manajemen lingkungan terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan variabel intervening

a) Obyek pengaturan agraria dalam wilayah Indonesia. Obyek yang dimaksud adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. b)