commit to user
SKRIPSI
SOSIALISASI NILAI DAN NORMA AGAMA ISLAM
PADA ANAK USIA DINI OLEH GURU DAN ORANGTUA
DI PAUD PURNAMA GATAK KELURAHAN KEDUNGAN
KECAMATAN PEDAN KABUPATEN KLATEN
TAHUN AJARAN 2009/2010
Disusun untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Sosiologi
Oleh
Afiyanta Rizal Pratama
D0306001
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah Disetujui untuk Dipertahankan Dihadapan Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Mengetahui,
Pembimbing Skripsi
commit to user HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah diterima dan disahkan oleh panitia ujian
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Hari :
Tanggal :
Panitia Ujian :
1. Drs. H. Supriyadi, SN, SU ( )
NIP. 19530128 198103 1001
2. Much. Rosyid Ridlo, S.Ag ( )
NIP. 196904 19 200501 1 001
3. Dra. Rahesli Humsona, M.Si ( )
NIP.19641129 199203 2 002
Disahkan oleh :
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Dekan,
commit to user MOTTO
² HIDUP ADALAH PERUBAHAN.
*(Penulis)*
² Hal kecil membentuk kesempurnaan, namun kesempurnaan bukanlah hal
yang kecil.
*(Demokritos)*
² Bukan harta kekayaanlah, tetapi budi pekerti yang harus ditingalkan sebagai
pusaka untuk anak-anak kita.
*(Penulis)*
² Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua.
*(Aristoteles)*
² Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah
dilaksanakan/diperbuatnya.
commit to user HALAMAN PERSEMBAHAN
Seiring waktu berputar, tiada terasa telah kulalui
detik-detik yang sangat berharga dalam sebuah perjalanan
hidup ini hingga selesainya suatu karya sederhana yang
ingin penulis persembahkan kepada:
§ Ibu dan ayah tercinta yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang, dukungan, semangat serta doa yang tulus.
§ Teruntuk ‘teman-teman istimewaku’ yang tiada henti-hentinya memberikan semangat dan dukungan kepadaku
dengan sepenuh hati serta selalu ada buatku.
§ Untuk teman-teman dan sahabatku yang selalu memberikan support dan selalu ada ketika suka dan duka.
commit to user KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr, Wb.
Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Sosialisasi Nilai dan Norma Agama Islam pada Anak Usia Dini oleh Guru dan
Orangtua di PAUD Purnama Gatak Kelurahan Kedungan Kecamatan Pedan
Kabupaten Klaten Tahun Ajaran 2009/2010” ini dengan baik.
Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Banyak pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, maka
selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Supriyadi SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Ibu Dra. Rahesli Humsona, M.Si selaku Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak M. Rosyid Ridlo, S.Ag selaku pembimbing akademis.
6. Perangkat fakultas: Dekanat, Jurusan, Pengajaran dan petugas perpustakaan
commit to user 7. Bapak Bupati Klaten beserta stafnya.
8. Bapak Camat Pedan beserta stafnya.
9. Semua informan yang dengan tulus memberikan waktu dan informasinya.
10.Teman-teman Sosiologi angkatan 2006, terima kasih atas kebersamaan kalian.
11.Teman-teman istimewa -- Hisyam, Beka, Mika, dan Lilis, Esya, Alief,
Yemima, Ami, Emma, Dila, dan si Kembar – Anto dan Awan – “LOVE you
Guys”.
12.Segala pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per-satu, yang telah
memberikan bantuan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa barangkali dalam penyusunan skripsi ini masih ada
kekurangan. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis.
Untuk itu, penulis, mengharapkan masukan, saran, dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi
ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr, Wb.
Surakarta, 28 Februari 2011
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... x
ABSTRAK ... xii
BAB I PENDAHULAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Tinjauan Pustaka ... 17
F. Definisi Konseptual ... 42
G. Kerangka Pemikiran ... 43
H. Metode Penelitian ... 45
1. Jenis Penelitian ... 45
2. Lokasi Penelitian ... 46
3. Sumber Data ... 46
commit to user
5. Teknik Pengambilan Sampel ... 49
6. Teknik Analisis data ... 50
7. Validitas Data ... 51
BAB II DESKRIPSI LOKASI ... 53
A. Keadaan Umum Kecamatan Pedan ... 53
B. Keadaan Umum Kelurahan Kedungan ... 63
C. Keadaan Umum PAUD Purnama ... 68
BAB III PEMBAHASAN ... 77
A. Sosialisasi Nilai dan Norma Agama Islam pada Anak Usia Dini oleh Guru di PAUD Purnama ... 77
B. Sosialisasi Nilai dan Norma Agama Islam Pada Anak Usia Dini oleh Orangtua di PAUD Purnama ... 105
C. Perkembangan Kemampuan Nilai dan Norma Agama Islam pada Anak Usia Dini Setelah Disosialisasi oleh Guru dan Orangtua ... 158
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 162
A. Kesimpulan ... 162
B. Saran ... 168
B. 1. Bagi Orangtua ... 168
B. 2. Bagi Guru ... 169
DAFTAR PUSTAKA ... 171
commit to user
DAFTAR TABEL, GAMBAR (FOTO) DAN MATRIKS
Diagram Model Analisis Interaktif ... 51
Tabel II.1 Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kecamatan Pedan
Kabupaten Klaten Tahun 2010 ... 54
Tabel II.2 Jumlah Anak Usia Dini Per-Kelurahan di Kecamatan Pedan Kabupaten
Klaten Tahun 2010 ... 55
Tabel II.3 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Pedan
Kabupaten Klaten Tahun 2010 ... 56
Tabel II.4 Jumlah Sekolah di Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten Tahun 2010 ... 57
Tabel II.5 Daftar Taman Kanak-Kanak Islam di Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten
Tahun 2010 ... 58
Tabel II.6 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Pedan
Kabupaten Klaten Tahun 2010 ... 58
Tabel II.7 Jumlah Pemeluk Agama di Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten Tahun
2010 ... 59
Gambar II.1 Peta Kabupaten Klaten ... 60
Gambar II.2 Peta Kecamatan Pedan ... 61
Tabel II.8 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di
Kelurahan Kedungan Kecamatan Pedan Tahun 2010 ... 63
Tabel II.9 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan Kedungan
Kecamatan Pedan Tahun 2010 ... 64
Tabel II.10 Jumlah Sekolah di Kelurahan Kedungan Kecamatan Pedan Tahun 2010
commit to user
Tabel II.11 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kelurahan Kedungan
Kecamatan Pedan Tahun 2010 ... 65
Tabel II.12 Jumlah Pemeluk Agama di Kelurahan Kedungan Kecamatan Pedan Tahun
2010 ... 66
Gambar II.3 Peta wilayah Kelurahan Kedungan ... 67
Tabel II.13 Penggunaan Lahan di Kelurahan Kedungan Kecamatan Pedan Tahun
2010 ... 67
Tabel II.14 Daftar Tenaga Pendidik PAUD Purnama Tahun Ajaran 2009/2010 ... 68
Tabel II.15 Daftar Penyelenggara PAUD Purnama ... 69
Tabel II.16 Jumlah Peserta Didik PAUD Purnama Menurut Usia Tahun Ajaran
2009/2010 ... 69
Tabel II.17 Jumlah Peserta Didik PAUD Purnama Menurut Kelas Tahun Ajaran
2009/2010 ... 69
Tabel II.18 Struktur Kurikulum Satuan Pendidikan PAUD Purnama Tahun Ajaran
2009/2010 ... 71
Tabel II.19 Daftar Alokasi Waktu Pembelajaran PAUD Purnama Tahun Ajaran
2009/2010 ... 75
commit to user ABSTRAK
AFIYANTA RIZAL PRATAMA, 2011, Sosialisasi Nilai dan Norma Agama Islam pada Anak Usia Dini oleh Guru dan Orangtua di PAUD Purnama Gatak
Kelurahan Kedungan Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sosialisasi nilai dan norma agama Islam pada anak usia dini oleh guru dan orangtua. Teori yang digunakan adalah teori tindakan sosial, yang terdiri dari empat aspek, yakni Rasional Instrumental adalah tindakan yang dipengaruhi oleh harapan-harapan si pelaku dengan perhitungan yang rasional, Rasional Nilai adalah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh akan nilai religius, Afektif adalah tindakan yang dipengaruhi oleh perasaan emosi si pelaku, Tradisional adalah tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan pada masa lampau. Perilaku orangtua dalam mensosialisasikan nilai dan norma agama Islam pada anak usia dini merupakan suatu tindakan sosial karena dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi pada perilaku anaknya.
Lokasi penelitian ini adalah di PAUD Purnama Kedungan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten karena PAUD Purnama merupakan salah satu Taman Kanak-Kanak yang berada di Kecamatan Pedan yang berlandaskan pada pendidikan agama Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Untuk teknik pengambilan sampel digunakan teknik purposive sampling. Teknik analisis data yang digunakan yaitu model analisis interaktif yang menggunakan tiga komponen utama, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Untuk memperoleh data dengan tingkat validitas yang tinggi digunakan metode triangulasi data dengan sumber.
commit to user ABSTRACT
AFIYANTA RIZAL PRATAMA, 2011, The Socialization of Islam’s Norms and Values to The early Age Children by teachers and Parents at PAUD Purnama Kedungan of Pedan Sub district of Klaten Regency, Social and Political faculty, Sebelas Maret University Surakarta.
This research aims to find out how the socialization of Islam’s norms to the early age children is conducted by teachers and parents. The theory used was social action theory, consisting of four aspects, Rational Instrumental rational is the action affected by the expectation of the actor based on rational consideration, Rational Value is the action which is determined by fully belief in religious value, Affective is the action affected by the actor’s emotional feeling, Traditional is the action based on the habits in the past. Parent’s behavior in socializing Islam religion norms to the early age children is a social action because it is done by considering and orienting to their children’s behavior.
The research was taken place in PAUD (Early Age Children Education) Purnama Kedungan, Pedan Subdistrict, Klaten Regency; the reason is because PAUD Purnama in one of the kindergartens based on Islamic education located in Pedan Sub district.
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak adalah seorang laki-laki atau perempuan yang belum dewasa atau
belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, dimana
kata "anak" merujuk pada lawan dari orangtua, orang dewasa adalah anak dari
orangtua mereka, meskipun mereka telah dewasa
(http://id.wikipedia.org/wiki/anak.htm, diakses tanggal 11 Januari 2011 pukul
20.00). Anak merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk bisa
membantu mengembangkan kemampuannya. Karena pada dasarnya anak lahir
dengan segala kelemahan, sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat
mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak adalah penerus generasi keluarga
dan bangsa, yang perlu mendapat pendidikan sehingga potensi-potensi yang ada
pada diri anak dapat berkembang dengan pesat, yang nantinya akan tumbuh
menjadi manusia yang memiliki kepribadian yang tangguh dan memiliki berbagai
macam kemampuan dan ketrampilan yang bermanfaat.
Masa perkembangan anak terutama pada masa usia dini merupakan masa
dimana berbagai kemampuan anak tumbuh dan berkembang sangat pesat.
Perkembangan kemampuan seorang anak tidak sama dengan yang lain, bahkan
dalam satu keluarga sekalipun tidak akan ditemukan dua anak dengan kepribadian
yang sama, karena anak merupakan pribadi yang unik. Pemberian stimulasi dan
fasilitas yang tepat pada masa ini, akan sangat berpengaruh pada proses
perkembangan anak selanjutnya, dan sebaliknya. Apabila lingkungan sekitar anak
commit to user
yang tepat bagi perkembangan kemampuan anak, maka anak dapat berkembang
tidak seperti apa yang diharapkan. Berdasar studinya tentang riwayat pendidikan
anak nakal, Glueck (dalam Elizabeth Hurlock, 1991) menarik kesimpulan bahwa
remaja yang berpotensi nakal dapat diidentifikasi sejak dini pada usia dua atau
tiga tahun yang terlihat dari perilaku antisosialnya. Begitu pula pada orang dewasa
yang kreatif telah ditunjukkan pada masa anak dengan perhatiannya pada
permainan imajinatif dan kreatif. Dengan demikian masa usia dini merupakan
masa yang "kritis" dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Masa usia dini sering dikatakan sebagai usia emas (golden age) yaitu usia
yang sangat berharga dibanding usia-usia selanjutnya. Usia tersebut merupakan
fase kehidupan yang unik (Hibana S. Rahman, 2002). Menurut Tadkiroatun
Musfiro (2008), periode masa usia dini dalam perjalanan usia manusia merupakan
periode penting bagi pembentukan otak, intelegensi, kepribadian, memori, dan
aspek perkembangan yang lain. Kegagalan pertumbuhan dan perkembangan pada
masa ini dapat mengakibatkan kegagalan masa-masa sesudahnya.
Akhir-akhir ini, berbagai fenomena perilaku negatif anak sering terlihat
dalam kehidupan sehari-hari. Melalui surat kabar atau televisi dijumpai beberapa
kasus anak-anak yang berbicara kurang sopan, senang meniru adegan kekerasan,
juga meniru perilaku orang dewasa yang belum semestinya dilakukan anak-anak,
bahkan perilaku bunuh diri pun sudah mulai ditiru anak-anak. Kondisi ini sangat
memprihatinkan mengingat dunia anak merupakan dunia yang penuh dengan
kesenangan untuk mengembangkan diri, yang sebagian besar waktunya diisi
dengan belajar melalui berbagai macam permainan dilingkungan sekitamya
commit to user
Baru-baru ini, seorang anak di Jember, Jawa Timur yang berinisialkan AH
dengan usianya yang masih 14 tahun, dan merupakan salah satu siswa kelas VI
Sekolah Dasar menjadi otak serangkaian pencurian di beberapa sekolah di Jember,
Jawa Timur. Ia bersama rekannya yang usianya jauh di atas AH berhasil mencuri
satu unit komputer, printer, televisi, VCD player, satu unit telepon, tujuh setel
pakaian silat, 22 buah buku tulis, 60 buah buku strimin, 1 staples, 17 penghapus,
11 pensil 2B, dan 2 pensil HB di SDN Curahlele II. Kepada penyidik, AH
mengaku, hasil pencurian tersebut digunakan sebagai uang saku sekolah dan
membayar biaya rekreasi. Polisi menengarai, AH dan Samsul tidak hanya mencuri
di SDN Curahlele II, tetapi juga di sebuah madrasah di Kecamatan Bangsalsari
(http://regional.kompas.com/read/2010/06/04/09493286/Bocah.SD.Jadi.Otak.Penc
urian.di.Sekolah, diakses tanggal 17 Desember 2010 pukul 12.57).
Berita yang tidak kalah mencengangkan adalah kasus perokok usia dini
yang banyak terjadi di berbagai wilayah di negeri ini, seperti pada kasus Reno
Ardiyansah dan Sandi Adi Susanto. Reno Ardiyansah, bocah yang berumur 20
bulan sudah merokok sejak umur 14 bulan. Menurut kedua orangtuanya, perilaku
buruk anaknya baru diketahui sejak enam bulan terakhir. Tidak diketahui pasti
siapa yang membuat anak tersebut menjadi pecandu rokok. Jika permintaanya
untuk merokok tidak dituruti maka Reno akan menangis dan yang lebih parahnya
lagi jika tidak dibelikan rokok maka puntung rokok bekas/sisa orang akan dihisap
Reno. Tidak seperti kebanyakan anak kecil yang lainnya, jika diberi uang oleh
orangtuanya, Reno membelanjakan uang tersebut untuk membeli rokok
(http://health.kompas.com/read/2010/09/22/14425648/Bocah.Ini.Merokok.sejak.U
commit to user
Sedangkan Sandi Adi Susanto mengalami kasus yang sama dengan Reno
Ardiyansah, namun bisa dibilang kondisinya lebih parah lagi. Bocah yang lahir
pada 18 Februari 2006 ini berbeda dengan balita pada umumnya. Kalau balita lain
kebanyakan senang menghisap jempol tangan dan oleh orangtua dijauhkan dari
hal yang dapat menyebabkan sakit, justru Sandi sangat senang menghisap rokok.
Malahan Sandi juga sering diajak sejumlah pemuda untuk minum minuman keras
(miras). Di usianya yang belum genap 4 tahun, Sandi juga lihai membicarakan
hal-hal berbau seks ataupun pornografi yang merupakan konsumsi bahan
pembicaraan orang dewasa. Sandi juga "fasih" mengucapkan kata-kata kotor
(umpatan atau pisuhan), seperti layaknya orang dewasa. Ketika Sandi menenggak
minuman beralkohol bersama teman-temannya, hal ini tak diketahui langsung
orangtuanya, yaitu pasangan suami istri Mulud Riadi dan Mujiati. Orangtuanya,
tahu setelah Sandi bercerita kepada orangtuanya kalau dia sering diajak
menenggak miras serta mengeluh dadanya sesak dan kepalanya pusing. Selama ini
Sandi tidak pernah membeli rokok dengan uangnya sendiri, biasanya dia dibelikan
rokok oleh teman-temannya yang telah dewasa
(http://regional.kompas.com/read/2009/12/30/06420283/Sandi.Wedhus..Balita.Jag
o.Isap.Rokok, diakses tanggal 17 Desember 2010 pukul 13.19).
Dengan naluri yang lemah, kontrol diri yang rapuh, kepekaan moral yang
kurang, dan keyakinan yang salah dari orangtua, membuat anak mengalami
hambatan dalam berkembang dan mengembangkan kemampuan-kemampuannya.
Tantangan semakin besar karena pengaruh buruk tersebut juga muncul dari
berbagai sumber yang mudah didapat anak-anak. Televisi, film, video permainan,
musik, dan iklan memberikan pengaruh terburuk bagi moral mereka karena
commit to user
pengagungan kekerasan. Hal-hal buruk di dunia internet juga sangat mengejutkan,
seperti: pornografi, penyiksaan, pemujaan setan, pedofilia, dan begitu banyak
situs-situs penghasut yang mengajarkan kebencian, yang semuanya bisa lolos dari
sistem filter terbaik sekalipun. Tentu saja media populer bukan satu-satunya yang
memberi pengaruh buruk, siapa pun atau apa pun yang berbenturan dengan
keyakinan moral keluarga adalah ancaman, termasuk di dalamnya teman sebaya
ataupun orang dewasa.
Sampai saat ini masih ada anak-anak yang menjadi korban, hal ini terjadi
karena orangtua melewatkan satu bagian yang sangat kritis, yakni sisi spiritual
atau nilai dan norma agama dalam kehidupan anak. Sesuai dengan tinjauan
permasalahan pada penelitian ini, nilai dan norma agama yang dipakai adalah nilai
dan norma agama Islam.
Kekuatan spirituallah yang diperlukan anak-anak untuk menjaga adab
mereka dalam menghadapi kebobrokan moral yang terjadi di dunia ini. Untuk itu,
diperlukan pembangunan kecerdasan moral anak sejak dini. Dengan membangun
kecerdasan moral, orangtua berharap agar anak-anaknya tidak hanya berpikir
dengan benar, tetapi juga bertindak dengan benar. Orangtua juga berharap dengan
membangun kecerdasan moral maka anak akan mempunyai karakter yang kuat.
Cara terbaik untuk membangun kecerdasan moral adalah melalui sosialisasi nilai
dan norma agama (Islam) kepada anak untuk melindungi kehidupannya baik
sekarang maupun selamanya. Sebab pada masa usia dini apa yang diajarkan dalam
diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah
sesudahnya.
Pada masa usia dini, anak belum mempunyai kemampuan kognitif untuk
commit to user
kebiasaan moral seperti melatih kontrol diri, bersikap adil, menunjukkan rasa
hormat, berbagi, dan berempati mulai dipelajari. Orangtua adalah instruktur moral
yang pertama dan terpenting bagi anak, tidak ada seorangpun yang lebih baik dari
orangtua dalam membangkitkan kebajikan moral tersebut. Menurut Hibana S
Rahman (2002), struktur kepribadian anak dibangun dan dibentuk sejak usia dini,
dan orangtualah yang paling berperan dalam peletakan dasar kepribadian anak.
Hibana S. Rahman (2002) juga berpendapat bahwa perkembangan moral
adalah perkembangan perilaku seseorang yang sesuai dengan kode etik dan
standar sosial. Perilaku tersebut tidak dilaksanakan dengan suka rela. Moralitas
dibangun sejak masa kanak-kanak, walau sesungguhnya moralitas tidak muncul
pada masa kanak-kanak melainkan pada masa remaja. Bentuk-bentuk pendidikan
dan layanan yang tepat dapat dilakukan untuk pengembangan moral.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam mengembangkan
berbagai kemampuan anak. Pendidikan menurut Hibana S. Rahman (2002), “suatu
tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh seorang pendidik atau pengasuh
anak guna mencapai tujuan yang telah ditentukan, atau mencapai kondisi yang
lebih baik bagi anak”. Pendidikan memberikan pengaruh dan kontribusi yang
sangat besar bagi pengembangan diri anak. Pendidikan dalam hal ini dipahami
sebagai suatu usaha sadar orangtua atau orang dewasa yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan anaknya. Sedangkan pendidikan Islam menurut HAMKA
(dalam Samsul Nizar, 2007), merupakan “serangkaian upaya yang dilakukan
pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian
peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang
commit to user
Tujuan pendidikan pada umumnya adalah menyediakan lingkungan yang
memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya
secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya,
sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat (Utami
Munandar, 2004). Sedangkan tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan
mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta
mempersiapkan anak atau peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di
tengah-tengah komunitas sosialnya (HAMKA dalam Samsul Nizar, 2007).
Pentingnya pendidikan anak sejak usia dini didasarkan adanya berbagai
hasil penelitian di bidang neurologi (Osborn, White dan Bloom), pada usia 4 tahun
pertama separuh kapasitas kecerdasan manusia sudah terbentuk. Artinya kalau
pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal, maka
potensi otak anak tidak akan berkembang secara optimal. Secara keseluruhan,
sampai usia 8 tahun, 80 % kapasitas kecerdasan manusia sudah terbentuk, artinya
kapasitas kecerdasan anak hanya bertambah 30 % setelah usia 4 tahun hingga
mencapai usia 8 tahun. Selajutnya kapasitas kecerdasan anak tersebut akan
mencapai 100 % setelah berusia sekitar 18 tahun. Hal ini, berarti perkembangan
yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan
perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga
periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang
diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode
berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali,
sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk
commit to user
lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak
(Fasli Jalal, 2004).
Pendidikan keagamaan merupakan faktor penting dalam memperkokoh
dan menyelamatkan moral anak. Seperti yang tercantum di dalam UU Nomor 2
tahun 1989, dikemukakan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan
yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang
menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang
bersangkutan.
Agama mengandung manfaat yang begitu besar dalam kehidupan manusia
yang menganutnya, tetapi masih banyak orang yang tidak mempedulikan
kehidupannya. Mereka cenderung untuk melakukan hal-hal yang membuat dirinya
senang tanpa memikirkan orang lain. Agama mempunyai lima fungsi pokok yaitu
fungsi edukatif, fungsi pengawasan sosial, fungsi penyelamatan, fungsi memupuk
persaudaraan, dan fungsi transformatif (Hendropuspito, 1984). Dari kelima
fungsi ini, fungsi edukatif yang akan lebih banyak digunakan dalam tinjauan
permasalahan pada penelitian ini.
Fungsi edukatif meliputi dua hal yaitu tugas mengajar dan tugas
bimbingan. Ajaran-ajaran agama yang bersifat otoriter dan selalu dianggap benar
membuat manusia untuk selalu berusaha mematuhi semua ajaran tersebut dengan
tujuan memperoleh kehidupan yang bahagia baik di dunia sekarang ini maupun di
kehidupan setelah kematiannya nanti. Dengan bimbingan, manusia diharapkan
untuk dapat didewasakan hidup kerohaniannya dalam menghadapi kehidupan di
dunia ini maupun pada saat menghadapi kematian. Dengan fungsi edukatif ini
commit to user
kemampuan atau potensi dalam kehidupan seorang anak pada awal pertumbuhan
dan perkembangannya.
Dalam acuan menu pembelajaran PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)
telah dikembangkan program kegiatan belajar yang membahas tentang berbagai
aspek pengembangan kemampuan dan potensi anak, seperti yang tercantum dalam
Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pos PAUD (2006) berikut ini:
1. Pengembangan fisik; anak mampu mengelola keterampilan tubuh
termasuk gerakan-gerakan yang mengontrol gerakan tubuh, gerakan
halus dan gerakan kasar serta menerima rangsangan pancaindra.
2. Pengembangan kognitif; anak mampu berpikir logis, kritis,
memecahkan masalah-masalah dan menemukan hubungan sebab
akibat.
3. Pengembangan bahasa; anak mampu menggunakann bahasa untuk
pemahaman bahasa pasif dan dapat berkumunikasi secara efektif yang
bermanfaat untuk berpikir dan belajar.
4. Pengembangan sosial emosional; anak mampu mengenali lingkungan
alam, lingkungan sosial, peranann masyarakat dan menghargai
keragaman sosial dan budaya serta mampu mengembangkan konsep
diri, sikap positif terhadap belajar, control diri dan rasa memiliki.
5. Pengembangan moral dan atau nilai dan norma agama; anak mampu
melakukan ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan Tuhan, dan
mencintai sesama.
6. Pengembangan Seni; anak memiliki kepekaan terhadap irama nada,
birama, berbagai bunyi, bertepuk tangan, serta menghargai hasil karya
commit to user
Dari keenam menu pembelajaran PAUD di atas, pengembangan moral dan
atau nilai dan norma agamalah yang akan dikaji dalam tinjauan permasalahan
pada penelitian ini. Karena pendidikan keagamaan sangat menentukan bagi
perkembangan moral seorang anak. Pendidikan keagamaan dalam Islam berupaya
untuk mengembangkan seluruh potensi anak baik jasmani, rohani maupun akal.
Dengan optimalisasi seluruh potensi yang dimilikinya, pendidikan Islam berupaya
mengantarkan anak kearah kedewasaan yang sempurna dengan memiliki iman dan
taqwa serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi.
Seperti yang terjadi pada kasus Farih Abdurrahman, bocah berusia tiga
tahun yang berasal dari bumi Aljazair ini telah menghafal Al-Qur’an sejak ia
masih dalam kandungan ibunya. Ibu Abdurrahman, sebagaimana diceritakan
ayahnya, rajin membaca surat al Kahfi ketika Abdurrahman masih dalam
kandungan, sebagaimana juga setelah lahir orangtuanya sering menyetel Al Affasy
Channel (saluran televisi yang menyiarkan bacaan Al-Quran), bahkan ketika
orangtuanya ingin merubah channel yang ditonton si kecil, Abdurrahman sering
menolak. Pada suatu malam, ia dituntun orangtuanya untuk bisa duduk di kursi
podium, di sebuah acara yang ditayangkan oleh televisi Aljazair, yang bertajuk
”Fursaan Al-Qur’an”. Memakai torbus atau topi merah khas Aljazair, ia pun
duduk dengan senyum dan mata polosnya. Kakinya yang masih sangat pendek,
bergantung dan berayun di kursi yang masih terlalu tinggi untuk ukuran anak
seusianya. Kala itu, ia berada di hadapan seratusan hadirin yang sebagiannya
adalah tokoh agama dan para penghafal Al-Quran. Lalu, lisannya tak lama
berucap lancar ayat demi ayat surat Maryam yang berjumlah 98 ayat
(http://hakimaza.wordpress.com/2010/02/12/bocah-ajaib-dari-aljazair/, diakses
commit to user
Pendidikan Islam menurut Samsul Nizar (2007), merupakan proses
transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses tersebut
melibatkan tidak saja aspek kognitif (pengetahuan tentang ajaran Islam), tetapi
juga aspek afektif dan psikomotorik (menyangkut bagaimana sikap dan
pengalaman ajaran Islam secara benar). Muhammad Azmi (2006), “Islam
memiliki ajaran yang bersifat universal, meliputi segala aspek kehidupan manusia,
baik dari segi ibadah maupun muamalah, ajaran Islam juga sarat dengan nilai-nilai
akhlak, sosial, baik anjuran, larangan, maupun kebolehan yang tercantum dalam
ajaran agama Islam”.
Adapun pokok-pokok pendidikan Islam yang dapat dikenalkan kepada
anak sejak usia dini adalah menyangkut ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni Akidah, Ibadah, dan
Akhlak (Mansur, 2007).
1. Pendidikan Akidah
Akidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Akidah merupakan
perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada
sesuatu. Akidah adalah persoalan pertama yang diserukan Nabi
Muhammad Saw. ketika beliau diutus kepermukaan bumi. Akidah
memiliki enam pokok-pokok keyakinan yaitu: iman kepada Allah
SWT, iman kepada Malaikat-Nya, iman kepada Kitab Suci-Nya, iman
kepada para Rasul-Nya, iman kepada Kiamat dan iman kepada Qada
dan Qadar.
2. Pendidikan Ibadah
Ibadah adalah tunduk, patuh, yang timbul dari kesadaran hati akan
commit to user
sesungguhnya Allah mempunyai kekuasaan yang tidak dapat dicapai
oleh akal. Ibadah kepada Allah merupakan suatu kewajiban yang harus
dilakukan oleh manusia selama hidupnya. Ketika seorang manusia
menghadapkan dirinya untuk memenuhi panggilan Allah serta menaati
perintah-Nya, berarti telah melakukan suatu ibadah. Ibadah dalam
agama Islam memiliki lima pokok keyakinan yakni Syahadat, Sholat,
Puasa, Zakat, dan Haji.
3. Pendidikan Akhlak
Secara etimologi akhlak adalah budi pekerti, perangai, tingkah laku
atau tabiat. Dari pengertian ini akhlak tidak saja merupakan tata aturan
atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia,
tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhan dan bahkan dengan alam semesta.
Dalam perspektif pendidikan Islam, pembinaan akhlak adalah faktor
penting dalam pembinaan anak. Oleh karena itu, pembentukan akhlak dijadikan
sebagai bagian dari tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan akhlak diharapkan agar
anak dapat membedakan antara yang baik dan buruk, sopan dan tidak sopan,
terpuji dan tercela, dan seterusnya. Akhlak menempati posisi paling penting dalam
Islam, karena kesempurnaan Islam seseorang sangat tergantung kepada kebaikan
dan kemuliaan akhlaknya. Akhlak yang baik tidak akan terwujud pada seseorang
tanpa adanya pembinaan yang dilakukan. Oleh karena itu, pembinaan akhlak
sangat perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, utamanya kepada
anak usia prasekolah (Muhammad Azmi, 2006).
Memberikan pendidikan Akhlak berdasarkan ajaran agama akan mampu
commit to user
juga baik untuk sekitarnya. Untuk mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada
diri anak, diperlukan berbagai macam metode dan pendekatan. Metode dan
pendekatan ini berfungsi sebagai nilai untuk mencapai tujuan. Ahli pendidikan
Islam Abdullah Nashih Ulwan (1999) telah mengemukakan metode-metode
pendidikan dalam Islam. Metode ini digunakan orangtua untuk memberikan
sosialisasi nilai dan norma agama Islam pada anak, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Keteladanan
Pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh,
baik berupa tingkah laku, sifat maupun cara berpikir.
2. Pembiasaan
Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan perilaku dalam
kehidupan sehari-hari seorang anak.
3. Memberi nasihat
Yang dimaksud dengan nasihat adalah penjelasan tentang kebenaran
dan kemashlatan dengan tujuan menghindarkan orang-orang yang
dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang
mendatangkan kebahagiaan dan manfaat.
4. Motivasi dan Intimidasi
Metode motivasi lebih baik daripada metode intimidasi. Yang pertama
bersifat positif dan pengaruhnya relatif lama karena bersandar pada
pembangkitan dorongan intrinsik manusia. Sedangkan metode
intimidasi bersifat negatif dan pengaruhnya relatif temporal
commit to user
Orangtua sangat berpengaruh terhadap pendidikan seorang anak, sebab
orangtua merupakan guru pertama dan utama bagi anak. Orangtua, melalui
pendidikan dalam keluarga merupakan lingkungan pertama yang diterima anak,
sekaligus sebagai pondasi bagi pengembangan pribadi anak. Orangtualah yang
pertama kali dipahami anak sebagai orang yang memiliki kemampuan luar biasa
di luar dirinya. Dan dari orangtualah anak pertama kali mengenal dunia. Melalui
mereka anak mengembangkan seluruh aspek pribadinya (Agus Salim, 2008).
Secara lebih rinci dapat diuraikan pentingnya peran orangtua bagi
pendidikan anak, seperti yang diungkapkan oleh Hibana S. Rahman (2002:
97-98), antara lain: (1). Orangtua adalah guru pertama dan utama bagi anak, (2).
Orangtua adalah pelindung utama bagi anak, (3). Orangtua adalah sumber
kehidupan bagi anak, (4). Orangtua adalah tempat bergantung bagi anak, (5).
Orangtua merupakan sumber kebahagiaan bagi anak.
Sosialisasi nilai dan norma agama Islam pada anak usia dini oleh orangtua
tidak hanya ditentukan oleh peran dari bapak sebagai pemimpin dalam suatu
keluarga, namun peran ibu juga tidak terlepas karena kedekatan kejiwaan anak
lebih condong ke ibu. Melalui pendidikan nilai dan norma agama maka perilaku
anak akan terbentuk dengan baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Suatu keluarga akan berjalan tenteram, tenang, dan damai, apabila keduanya
(orangtua) bekerjasama dalam memberikan bimbingan atau pendidikan dalam
membentuk pola perilaku yang baik bagi anak-anak di lingkungan keluarga (Sri
Wardhani, 2005).
Di sinilah pentingnya kehadiran dan peran orangtua dalam memberikan
bekal pendidikan secara informal bagi anak-anaknya sejak usia dini. Di tengah
commit to user
kebijakan pendidikan yang belum mendukung sepenuhnya. Bukanlah suatu
langkah yang tepat apabila orangtua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak
kepada tenaga pendidik. Orangtua mempunyai kekuasaan sepenuhnya untuk
memberikan yang terbaik bagi anaknya.
Orangtua adalah pendidik utama, dan pertama serta terbaik untuk anak.
Sebaik apa pun tenaga pendidik, program kegiatan, dan fasilitas yang tersedia di
tempat penitipan dan pendidikan anak usia dini, tidak akan dapat menggantikan
sepenuhnya peran orangtua sebagai pengasuh sekaligus pendidik bagi anak. Oleh
karena itu peran orangtua sangatlah penting di dalam pendidikan anak usia dini.
Orangtua kembali menjadi aktor utama untuk menjadi model yang dapat menjadi
teladan bagi anak. Karena rumah dan keluarga adalah yang paling bertanggung
jawab dalam membentuk anak menjadi sesuai yang diharapkan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik
untuk meneliti permasalahan tersebut, dengan judul “Sosialisasi Nilai dan Norma
Agama Islam pada Anak Usia Dini oleh Guru dan Orangtua di PAUD Purnama
Gatak Kelurahan Kedungan Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten Tahun Ajaran
2009/2010”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “Bagaimana Sosialisasi Nilai dan Norma Agama Islam pada
Anak Usia Dini oleh Guru dan Orangtua di PAUD Purnama Gatak Kelurahan
commit to user
C. TUJUAN PENELITIAN
Suatu penelitian tentu mempunyai arah dan tujuan yang telah ditetapkan.
Tanpa tujuan maka penelitian tidak akan memberi manfaat dan penyelesaian.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk melihat bagaimana nilai dan norma agama Islam
disosialisasikan pada anak usia dini oleh guru dan orangtua.
2. Untuk mengetahui metode-metode pendidikan Islam yang diajarkan
guru dan orangtua pada anak usia dini.
3. Untuk mengetahui aktivitas anak usia dini di sekolah dan di rumah.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan teoritis berupa tambahan khasanah keilmuwan
dalam bidang sosial.
b. Dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian sejenis
secara lebih mendalam.
c. Dapat digunakan sebagai literatur untuk melakukan penelitian serupa
dalam lingkup yang lebih luas.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan saran dan pertimbangan
bagi pihak-pihak yang mengadakan penelitian berkaitan dengan sosialisasi
nilai dan norma agama Islam pada anak usia dini oleh guru dan orangtua.
b. Dapat memberikan pengetahuan yang jelas bagi para orangtua tentang
commit to user
mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan bagi masyarakat
dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan dalam pendidikan Islam.
c. Menjadi syarat dan tanda bagi penulis untuk menyelesaikan studi di
jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep-Konsep Penelitian
a) Pengertian Sosialisasi
Sosialisasi adalah suatu proses dimana anggota-anggota
masyarakat atau keluarga yang baru mempelajari norma-norma atau
kebudayaan masyarakat di mana ia tinggal menjadi anggotanya (Soerjono
Soekanto, 1984).
Pengertian ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Horton
& Hunt (1999), “Sosialisasi adalah suatu proses yang dilalui oleh
seseorang dalam menghayati norma-norma kelompoknya sehingga orang
itu dapat memiliki suatu kepribadian tersendiri dan unik”.
Menurut Berger, “Sosialisasi adalah proses melalui mana seorang
anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam
masyarakat”. (Peter L. Berger, 1987 dalam Kamanto Sunarto, 2004).
Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia, sosialisasi diartikan
sebagai tingkah laku yang berkenaan dengan proses yang rumit, dan
bagaimana individu belajar dan berperilaku seperti yang diharapkan oleh
commit to user
Dalam sosialisasi yang terjadi di masyarakat, mengajarkan tentang
kebiasaan, ide, sikap, dan nilai-nilai. Sosialisasi dianggap penting oleh
masyarakat karena kebudayaan diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam prosesnya, seorang individu dikehendaki untuk dapat berkembang
tidak hanya dengan dirinya sendiri, tapi juga mendapat pengaruh dari
lingkungan sosialnya.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sosialisasi
merupakan proses pengenalan dan penanaman kebudayaan tertentu dari
satu individu ke individu lain dimana kebudayaan itu dapat berupa adat
kebiasaan, nilai atau norma yang baik sesuai dengan yang dikehendaki dan
disetujui oleh masyarakatnya.
b) Pengertian Nilai
Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna
dan pengabsahan pada tindakan seseorang. Karena itu nilai menjadi
penting dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak jarang pada tingkat
tertentu orang siap untuk mengorbankan hidup mereka demi
mempertahankan nilai (Ishomuddin, 2002: 36).
Nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) adalah
sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.
Menurut Horton & Hunt (1999), nilai diartikan sebagai gagasan
mengenai apakah pengalaman itu berarti atau tidak berarti.
Nilai merupakan suatu bagian yang penting dari kebudayaan. Suatu
tindakan dianggap sah, dalam arti secara moral dapat diterima, apabila
harmonis dengan nilai-nilai yang dapat diterima masyarakat dan tidak
commit to user
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah kumpulan sikap
perasaan ataupun anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik buruk,
benar salah, patut-tidak patut, mulia-hina, maupun penting atau tidak
pendting. Nilai yang ada dalam masyarakat dapat dipelajari sejak
anak-anak melalui proses sosialisasi juga melalui pengalaman hidup sehari-hari.
Suatu nilai yang dimiliki seseorang ikut mempengaruhi perilaku manusia
dalam suatu kelompok sehingga disusunlah norma untuk menajaga
keberadaan nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat.
c) Pengertian Norma
Norma adalah sesuatu yang berada di luar individu, membatasi
mereka, dan mengendalikan tingkah laku mereka (Atik Catur Budi.
Sosiologi SMA). Sedangkan menurut Nurseno dalam Theory and
Application of Sociology, norma merupakan suatu pedoman untuk hidup
dan berinteraksi, norma berisi perintah atau larangan agar manusia dapat
berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah sehingga tercipta ketertiban serta
kesinambungan dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat.
Norma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) adalah
aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok di masyarakat,
dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai
dan diterima setiap warga masyarakat.
Norma-norma sosial berada dalam dua bentuk dasar. Norma jenis
pertama merujuk pada perbuatan yang bersifat umum atau biasa.
Norma-norma semacam itu menggambarkan apa yang dilakukan kebanyakan
orang, sehingga bisa disebut sebagai norma deskriptif. Berbagai norma itu
commit to user
dianggap oleh sebagian besar orang sebagai perbuatan efektif bagi mereka
dalam situasi tertentu. Dengan hanya mencatat apa yang dilakukan orang
lain dan kemudian meniru perbuatan mereka, berarti kita telah memilih
secara efisien dan benar. Berbagai bukti menunjukan bahwa orang
cenderung mengikuti tokoh dari suatu kelompok. Para peneliti sering
menunjukkan bahwa persepsi tentang apa yang dilakukan kebanyakan
orang akan mempengaruhi perilaku si pengamat, bahkan ketika
perilaku-perilaku itu mengandung moralitas yang netral seperti memilih produk
sehari-hari (Vankatesan 1966) atau menatap ruang kosong di angkasa
(Milgram et. al. 1969).
Norma jenis kedua mengacu pada harapan-harapan bersama dalam
suatu masyarakat, organisasi atau kelompok mengenai perbuatan tertentu
yang diharapkan atau aturan-aturan moral yang kita setujui untuk
dilaksanakan. Norma-norma semacam itu merefleksikan apa yang disetujui
dan yang tidak disetujui oleh sebagian besar orang. Norma-norma itu
memotivasi perilaku kita dengan cara menjanjikan ganjaran atau hukuman
sosial informal atas perilaku itu. Berbeda dengan norma deskriptif, yang
sering diistilahkan dengan norma-norma ”merupakan”, norma-norma ini
justru sering disebut dengan norma ”seharusnya”. Norma-norma deskriptif
menginformasikan perilaku kita, sedang norma-norma ini mengaturnya
(Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, 2008).
d) Pengertian Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) adalah
commit to user
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Definisi agama dalam sosiologi adalah definisi empiris yaitu
definisi menurut pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan
dari masa lampau maupun kejadian sekarang.
Hendropuspito (1984) mendefinisikan agama sebagai suatu jenis
sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada
kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan
didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan
masyarakat luas pada umumnya.
Emile Burnaof (dalam Dadang Kahmad, 2000) berpendapat bahwa
agama adalah ibadah, dan ibadah itu perbuatan campuran. Agama
merupakan perbuatan akal yang manusia mengakui adanya kekuatan Yang
Mahatinggi, juga perbuatan hati manusia yang beribadah untuk memohon
rahmat dari kekuatan tersebut.
Lain halnya dengan Joachim Wach (dalam Hendropuspito, 1984),
yang melihat agama dari tiga unsur pengertian, yaitu: pertama unsur
teoritis-nya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, kedua unsur
praktis-nya, yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya,
ketiga unsur sosiologis-nya, bahwa agama mempunyai sistem
perhubungan dan interaksi sosial. Apabila salah satu unsur tidak terdapat
maka orang tidak dapat bicara tentang agama, tetapi hanya kecenderungan
religius.
Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi
commit to user
umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan
bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya.
Menurut Mc Guire (dalam Ishomudin, 2002), sistem nilai yang
berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat perangkat
sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur
sikap individu dan masyarakat. Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan
individu karena nilai sebagai realitas yang abstrak dirasakan sebagai daya
dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam realitasnya nilai
memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berpikir, dan
pola bersikap.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dikatakan bahwa agama
adalah sebuah sistem atau prinsip kepercayaan dan praktek beribadah
kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan tersebut.
e) Pengertian Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah anak yang berumur nol tahun atau sejak lahir
hingga berusia kurang lebih delapan (0-8) tahun. Batasan tersebut sejalan
dengan pengertian dari NAEYC (National Association for The Education
Young Children). Menurut NAEYC, anak usia dini atau early childhood
adalah anak yang berada pada usia nol hingga delapan tahun (Bredekamp,
1994 dalam Tadkiroatun Musfiroh, 2008).
Selanjutnya batasan pengertian usia dini pada anak usia satu hingga
lima (1-5) tahun. Pengertian ini didasarkan pada pembatasan dalam
psikologi perkembangan yang meliputi bayi (babyhood) yakni usia 0-1
commit to user
akhir (late childhood) yakni usia 0-12 tahun, dan seterusnya (Soemantri
Padmonodewo, 1995).
Sementara itu, Subdirektorat PADU (Pendidikan Anak Dini Usia)
membatasi pengertian istilah usia dini pada anak usia 0-6 tahun; yakni
hingga anak menyelesaikan masa Taman Kanak-Kanak (Sugeng Santosa,
2002). Pengertian seperti ini berarti mencakup anak-anak yang masih
dalam asuhan orangtua, anak-anak yang berada dalam TPA (Taman
Penitipan Anak), Kelompok Bermain (Play Group), dan TK (Taman
Kanak-kanak).
Dalam Undang Undang Pelindungan Anak, UU PA Bab I pasal 1
ayat 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah ”seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.” Sedangkan menurut UU no 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab 1 pasal 1 ayat 14, yang dimaksud
anak usia dini adalah mereka yang berusia antara 0 – 6 tahun.
Di antara batas usia pengertian anak usia dini, terdapat kelompok
anak usia bermain (usia 3 tahun) dan kelompok usia TK (usia 4-6 tahun).
Oleh Biechler dan Snowman, (1993, dalam Padmonodewo, 1995); anak
berusia 3 hingga 6 tahun ini disebut sebagai anak usia pra-sekolah.
f) Pengertian Guru
Menurut Undang-Undang No. 141 2005, pasal 1, butir 1 tentang
guru dan dosen, yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
commit to user
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah (Andi Yudha Asfandiyar, 2009).
Guru dalam hal ini berarti pelaksana kegiatan belajar mengajar
yang adalah juga tenaga kependidikan. Dalam peraturan pemerintah No.
27 tahun 1990 Bab VIII Pasal 14 mengatur mengenai tenaga kependidikan
taman kanak-kanak. Guru taman kanak-kanak merupakan tenaga pendidik
yang memiliki kualifikasi sebagai guru taman kanak-kanak. Sedangkan
ketentuan berikutnya mengatakan bahwa anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan tertentu dapat membantu guru dalam
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar atau bermain. Mengingat
anak didik di taman kanak-kanak berusia dini, mereka memerlukan
perhatian khusus.
Untuk menjadi seorang guru TK diperlukan
persyaratan-persyaratan akademik seperti lulusan LPGTK (Lembaga Pendidikan Guru
Taman Kanak-Kanak) dan lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) serta
mempunyai pengetahuan tentang kesehatan dan psikologi anak. Selain itu
diperlukan pula sifat-sifat yang dimiliki oleh guru TK seperti bakat
mendidik anak, sabar, keibuan/kebapakan, sayang anak, aktif, mampu
menggantikan sebagian fungsi orangtua bagi anak, dan memiliki
keterampilan-keterampilan khusus seperti keterampilan musik, tari, seni
rupa, dan bercerita (Depdikbud, 1983).
Guru TK merupakan penolong lewat komunikasi dan menyediakan
materi-materi yang cocok, sebagai penengah dari pertengkaran antar anak,
dan mengatur cara belajar anak bersama anak-anak lainnya dan
commit to user g) Pengertian Orangtua
Orangtua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu,
dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat
membentuk sebuah keluarga.
Singgih D. Gunarsa (1986: 38) ”Orangtua adalah yang
pertama-tama dan terupertama-tama bertanggung jawab untu mengatur, mengkoordinasikan
serta memberikan rangsangan-rangsangan kepada anak”. Sedangkan
Thamrin Nasution (1986) berpendapat bahwa ”Orangtua adalah setiap
orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau rumah tangga,
dan dalam kehidupan sehari-hari lazim disebut dengan Ibu-Bapak”.
Orangtua adalah pendidik sejati, pendidik karena kodratnya
(Ngalim Purwanto, 1998). Yang berarti pendidik atau orangtua
mengutamakan kepentingan dan kebutuhan anak, dengan
mengesampingkan keinginan dan kesenangan sendiri.
Orangtua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan
membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang
menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi,
orangtua memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas
pendidikan anak-anaknya.
Untuk lebih memperjelas mengenai pengertian orangtua, maka
penulis juga mengutip pengertian orangtua dari UU RI No.20 tahun 2003
pasal 7 yaitu: (1) ”Orangtua berhak berperan serta dalam memilih satuan
pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan
anaknya”. (2) ”Orangtua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban
commit to user
1990 pasal 1 ayat 4 menjelaskan ”Orangtua adalah ayah dan/atau ibu atau
wali anak didik yang bersangkutan”.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian orangtua dalam penelitian ini
adalah suami istri yang sudah disebut sebagai bapak dan ibu dan dianggap
dewasa atas dasar ikatan pernikahannya dan sudah dikaruniai anak serta
bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Sedangkan bagi
pasangan suami istri yang sudah dianggap dewasa namun belum
mempunyai anak maka belum dapat digolongkan sebagai orangtua, kecuali
mereka berdasarkan atas hukum telah mengangkat seseorang sebagai
anaknya dan segala hal kebutuhan anak adalah tanggung jawabnya.
2. Landasan Teori
a) Teori Aksi
Penelitian ini menggunakan paradigma definisi sosial sebagai
acuannya. Weber sebagai pengemuka dari paradigma ini mendefinisikan
sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami
(interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial
untuk sampai pada penjelasan kausal mengenai arah dan konsekuensi
tindakan sosial itu. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasar, yakni
konsep tidakan sosial dan konsep tentang penafsiran dan pemahaman.
Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber adalah tindakan yang
nyata-nyata diarahkan kepada orang lain, dapat berupa tindakan yang
bersifat ”membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena
pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan
commit to user
serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (George
Ritzer, 1985).
Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial tersebut, Weber
mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi
yakni:
1. Tindakan manusia yang menurut si aktor mengandung makna yang
subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata yang bersifat membatin sepenuhnya, dan bersifat
subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari situasi, tindakan yang
sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara
diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau beberapa orang.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah
kepada orang lain (George Ritzer, 1985).
Weber membedakan tindakan dari tingkah laku pada umumnya
dengan mengatakan bahwa sebuah gerakan bukanlah sebuah tindakan
kalau gerakan itu tidak memiliki makna subjektif untuk orang yang
bersangkutan. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila
tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang
lain, dan berorientasi pada perilaku orang lain. Dalam penelitian ini,
misalnya, orangtua membaca doa sebelum makan untuk tujuan diri sendiri
bukanlah sebuah tindakan sosial, namun apabila orangtua berdoa dengan
maksud mengajarkan kebiasaan berdoa sebelum makan kepada anaknya
commit to user
orangtua hendak bepergian, ia selalu mengucapkan salam kepada seluruh
anggota keluarganya termasuk anaknya, dengan cara seperti ini maka
orangtua berharap anaknya akan mengikuti kebiasaannya tersebut,
sehingga hal ini bisa disebut sebagai tindakan sosial.
Dalam mempelajari tindakan sosial Weber menganjurkan melalui
penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut
terminologi Weber disebut verstehen. Verstehen merupakan kunci bagi
individu untuk menangkap arti tindakan sosial itu. Tidak hanya perilaku
(behavior) saja yang dipelajari tetapi motif dari tindakan tersebut.
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber
dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Pembedaan pokok
yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan non rasional.
Singkatnya, tindakan rasional (menurut Weber) berhubungan dengan
pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan (Paul
D Johnson, 1988).
Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakan
kedalam empat tipe, yaitu:
1. Rasional Instrumental (Zwerk Rational)
Tindakan “yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku
objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain;
harapan-harapan ini digunakan sebagai ‘syarat’ atau ‘sarana’ untuk
mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan
commit to user
Contoh: Orangtua menyuruh anaknya pergi ke Masjid untuk
mengikuti mengaji Al-Qur’an agar anaknya lancar membaca
Al-Qur’an.
2. Rasional yang berorientasi nilai (Werk Rational Action)
Tindakan “yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran
akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk
perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya”
(Weber, 1921/1968: 24-25).
Contoh: Orangtua mengajari anaknya bergaul yang baik dan
berbicara yang baik kepada orang lain.
3. Tindakan Afektif(Affectual Action)
Tindakan yang dibuat-buat, dipengaruhi oleh perasaan emosi
dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami,
kurang atau tidak rasional.
Contoh: Orangtua menghukum anaknya ketika anak tersebut
berbuat salah atau melanggar nilai dan norma agama (berbicara
kotor).
4. Tindakan Tradisional(Traditional Action)
Tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam
mengerjakan sesutau di masa lalu saja (George Ritzer, 1985).
Contoh: Orangtua yang membiasakan anaknya untuk mencium
tangan ketika bersalaman dengan anggota keluarga karena
merupakan kebiasaan orangtua sejak kecil.
Selanjutnya Ritzer mengemukakan tiga macam teori yang termasuk
commit to user
fenomenologi. Ketiga teori ini mempunyai kesamaan ide dasarnya bahwa
menurut pandangannya, manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas
sosialnya. Kecocokannya yang lain adalah bahwa ketiga teori ini sama
berpendirian bahwa realitas sosial bukan merupakan alat statis daripada
paksaan fakta sosial. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya
ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan
sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam konsep fakta sosial
(George Ritzer, 1985).
Dalam penelitian ini menggunakan Teori Aksi. Hinkle
mengemukakan asumsi dasar dari teori ini merujuk pada karya Mac Iver,
Znanieeki dan Parsons (dalam George Ritzer, 1985) sebagai berikut:
1. Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sebagai subyek
dan dari situasi eksternal dalam posisinya.
2. Sebagai manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai
tujuan-tujuannya.
3. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur,
metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk
mencapai tujuan tersebut.
4. Kelangsungan hidup manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang
tidak dapat diubah dengan sendirinya.
5. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan
yang telah, sedang dan akan dilakukan.
6. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral
commit to user
7. Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian
teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode
verstehen, imajinasi, sympathetic, reconstruction atau
seakan-akan mengalami sendiri.
Dari semula, Parsons (dalam George Ritzer, 1985) menjelaskan
bahwa teori aksi memang ideal dapat menerangkan keseluruhan aspek
kehidupan sosial. Parsons sebagai pengikut teori aksi menyusun skema
unit-unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Adanya individu selaku aktor.
2. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu.
3. Aktor mempunyai alternatif cara, alat serta teknik untuk
mencapai tujuannya.
4. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang
dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala
tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak
dapat dikendalikan oleh individu. Misalnya kelamin dan tradisi.
5. Aktor di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan
berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih
dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk
mencapai tujuan. Contohnya kendala kebudayaan.
Aktor mengejar tujuan dalam situasi di mana norma-norma
mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk mencapai
tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau
alat. Tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan
commit to user
individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari
sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya
(George Ritzer, 1985).
Konsep voluntarisme Parsons inilah yang menempatkan Teori Aksi
ke dalam paradigma definisi sosial. Aktor menurut konsep voluntarisme
adalah pelaku aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan meniliai dan
memilih dari alternatif tindakan. Walaupun aktor tidak memiliki
kebebasan total, namun ia mempunyai kemauan bebas dalam memilih
berbagai alternatif tindakan. Berbagai tujuan yang hendak dicapai, kondisi
dan norma serta situasi penting lainnya kesemuanya membatasi kebebasan
aktor. Tetapi di sebelah itu aktor adalah manusia yang aktif, kreatif dan
evaluatif.
Kesimpulan utama yang dapat diambil adalah bahwa tindakan
sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan
keputusan-keputusan subjektif tentang sarana dan cara untuk mencapai
tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemuanya itu dibatasi
kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk
norma-norma, ide-ide dan nilai-nilai sosial. Di dalam menghadapi situasi
yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di dalam
dirinya berupa kemauan bebas.
b) Sosialisasi
Individu dalam masyarakat akan mengalami proses sosialisasi agar
ia dapat hidup dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat di mana individu itu berada. Sosialisasi
commit to user
tanpa sosialisasi suatu masyarakat tidak dapat berlanjut pada generasi
berikutnya.
Peter Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by
which a child learns to be a participant member of society” – proses
melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang
berpartisipasi dalam masyarakat (Berger, 1978: 116 dalam Kamanto
Sunarto, 1993). Sedangkan menurut David A. Goslin, sosialisasi adalah
proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetetahuan,
keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi
sebagai anggota dalam kelompok masyarakatnya (Goslin, 1969: 2 dalam
T.O. Ihromi, 1999).
Dari konsep-konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa melalui
proses sosialisasi individu diharapkan dapat berperan sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Oleh karena
itu, barulah diketahui betapa pentingnya sosialisasi itu dalam
keberlangsungannya dengan suatu masyarakat.
Seseorang untuk mempunyai diri, untuk berperan sebagai anggota
masyarakat tergantung pada sosialisasi, maka seseorang yang tidak
mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Hal
ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan
terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus anak-anak
yang tidak di sosialisasi (olehnya dinamakan unsocialized children), yaitu
seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun
1900 ditemukan di desa Saint-Serin, Perancis (the wild boy of Avyron) dan