• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERLIBATAN KERAJAAN TANETE DALAM PERDAGANGAN MARITIM THE INVOLVEMENT OF THE KINGDOM OF TANETE IN MARITIME TRADE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETERLIBATAN KERAJAAN TANETE DALAM PERDAGANGAN MARITIM THE INVOLVEMENT OF THE KINGDOM OF TANETE IN MARITIME TRADE"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Perdagangan maritim di Indonesia selalu dihubungkan dengan aktivitas manusia yang menjadikan laut sebagai objek. Apakah laut dilihat dari segi infrastuktur atau laut dilihat sebagai sumber daya alam hayati laut. Dalam perkembangannya laut di Indonesia semakin memikat pemerintah untuk mengembangkannya. Pada masa pemerintahan Presiden Abdul Rahman Wahid (Gus Dur) laut semakin diperhatikan

DALAM PERDAGANGAN MARITIM

THE INVOLVEMENT OF THE KINGDOM OF TANETE

IN MARITIME TRADE Sahajuddin

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166

Pos-el: saj.sahajuddin@yohoo.com Handphone: 081342630331

Diterima: 30 Maret 2015; Direvisi: 23 April 2015; Disetujui: 27 Mei 2015

ABSTRACT

7KLVVWXG\UHYHDOHGWKHSURFHVVRIWKH¿UVWLQYROYHPHQWRI7DQHWH.LQJGRPLQPDULWLPHWUDGHLQWKHDUFKLSHODJR in the XVII century. The writer applied the historical method, that is, analyze an event based on a historical perspective through the resources collected (heuristics), source criticism, interpretation, and historiography in SURVHRUQDUUDWLYH7KHUHVXOWRIWKLVVWXG\LQGLFDWHGWKDWWKHSURFHVVRIWKH¿UVWLQYROYHPHQWRI7DQHWH.LQJGRP in maritime trade began when To Sangiang connected his power to the sea. Bisides, his generations also engaged LQ¿VKLQJDQGOLYHVWRFN7KHPDULWLPHWUDGHKDGRUJDQL]HGIURPWKHUHLJQRI/D7LQXOX'DHQJ1JDVVHQJE\ establishing maritime authorities (sahbandar), then developed by the generations. At the time, the Kingdom of Gowa also held the authority in Sulawesi by giving rewards and privileges to the Tanete Kingdom to engage in maritime trade and exempt from any tax of maritime trade.

Keywords: maritime trade, Kingdom of Tanete, privilege, to Sangiang.

ABSTRAK

Kajian ini mengungkapkan proses awal keterlibatan Kerajaan Tanete dalam perdagangan maritim di Nusantara pada abad XVII. Penulis menerapkan metode sejarah, yaitu menganalisis suatu peristiwa berdasarkan perspektif sejarah melalui pengumpulan sumber (heuristik NULWLNVXPEHULQWHUSUHWDVLGDQKLVWRULRJUD¿GDODPEHQWXN prosa atau cerita. Hasil kajian menunjukkan bahwa proses awal keterlibatan Kerajaan Tanete dalam perdagangan maritim sejak To Sangiang menghubungkan kekuasaannya dengan laut. Selain itu, keturunannya juga terlibat dalam penangkapan ikan dan peternakan. Perdagangan maritim telah terorganisasi pada masa kekuasaan La Tinulu Daeng Ngasseng dengan membentuk pejabat kemaritiman (sahbandar), lalu dikembangkan oleh penerusnya. Pada masa itu pula, Kerajaan Gowa menjadi pemegang otoritas di Sulawesi dengan memberi penghargaan dan keistimewaan kepada Kerajaan Tanete agar terlibat dalam perdagangan maritim dan membebaskannya dari segala pajak perdagangan maritim.

Kata kunci: perdagangan maritim, Kerajaan Tanete, keistimewaan, to Sangiang

dengan membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Kemudian Pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang juga kembali menegaskan pentingnya nilai-nilai kemaritiman Indonesia. Kepedulian pemerintah itu dianggap sebagai langkah positif dalam mengeksplorasi sumber daya hayati laut maupun sumber daya alam Indonesia pada umumnya. Perhatian itu pula dianggap sebagai kesadaran historis pemerintah atas capaian kerajaan-kerajaan maritim yang

(2)

ada di Nusantara pada masa lampau, sebut saja Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Aceh, Mataram, Makassar dan kerajaan maritim lainnya. Baik yang sudah tercatat dan tersebar secara luas di Nusantara maupun kerajaan maritim yang belum populer tetapi memiliki peranan penting pada masa lampau seperti Kerajaan Tanete.

Kajian ini sebagai salah satu alasan dan cara untuk mengungkapkan keterlibatan Kerajaan Tanete dalam perdagangan maritim. Alasan lain karena mengingat pemerintah telah membuat perencanaan poros maritim dunia setelah pembangunan tol laut dari Sabang sampai Merauke. Dalam mewujudkan pembangunan tol laut itu, maka penting untuk memetakan wilayah-wilayah maritim Indonesia. Apa lagi wilayah maritim yang pernah mencapai kejayaan pada masa lampau penting untuk diungkap dan dipertimbangkan layak tidaknya dibangun kembali pelabuhan tersebut. Walau tantangan untuk mewujudkan itu masih perlu pengkajian terutama efek lanjut setelah pembangunan itu, karena bisa jadi keuntungan besar akan dikuasai oleh kapitalis asing dan kita hanya sebagai penonton. Belajar dari kejayaan kerajaan maritim pada masa lalu, perlu dipersiapkan agar tidak tergilas oleh kapitalis asing yang hanya mementingkan keuntungan usahanya atau negara semata, seperti pada masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dan pada masa Hindia Belanda.

Laut menjadi penting sebagai objek kajian dalam berbagai disimplin ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah. Terkait dengan itu, ilmu sejarah memiliki tema yang disebut sejarah maritim. Menurut Singgih Sri Sulistiyono bahwa sejarah maritim adalah salah satu bidang sejarah yang khusus mengkaji segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan aktivitas manusia di bidang kelautan (Sulistiyono, 2004:2). Lebih lanjut disebutkan bahwa ruang lingkup dari sejarah maritim mencakup semua aspek kelampauan aktivitas manusia yang berhubungan dengan kelautan, seperti pelayaran, perdagangan, perikanan, teknologi navigasi, perkapalan, budaya pesisir, perompakan, angkatan laut dan sebagainya. Oleh karena itu, sejarah maritim memungkinkan dilakukannya pengkajian

WHUKDGDSDNWL¿WDVNHUDMDDQ\DQJPHPDQIDDWNDQ laut untuk pembangunan dan pengembangan kerajaannya. Termasuk Kerajaan Tanete yang pernah beraktivitas dalam perdagangan maritim perlu diungkapkan dan dikaji kembali, terutama nilai-nilai sejarahnya dan manfaatnya pelabuhan itu untuk ke depan.

Pendapat lain yang hampir sama dengan Singgih Sri Sulistiyono adalah Edward L. Poelinggomang yang mengutif dari Alfred Thayer Mahan yang menyatakan bahwa kajian sejarah maritim tidak hanya berhubungan dengan persoalan pelayaran dan perdagangan maritim, tetapi juga menyangkut pemanfaatan laut dalam membangun kekuatan maritim (Poelinggomang, 2014:2-9). Berdasarkan pandangan tersebut, maka Sulawesi Selatan sebagai salah satu provinsi yang memiliki laut yang sangat luas dan bahkan hampir semua kabupaten yang ada di provinsi ini memiliki wilayah laut penting untuk dikaji. Kabupaten yang tidak memiliki laut hanyalah Kabupaten Toraja, Toraja Utara, Enrekang, Sidrap dan Soppeng dari 24 kabupaten, sehingga laut menjadi sangat penting. Pentingnya laut bagi orang Sulawesi Selatan karena menjadi referensi khusus dalam pengembangan nilai-nilai kultural Sulawesi Selatan. Nilai-nilai kultural kelautan itu telah terpatri dalam diri mereka untuk memahami dan mengembangkan dirinya dan masa depannya. Itulah sebabnya sejak masa lampau Sulawesi Selatan sangat sulit dipisahkan dengan dunia laut. Bahkan beberapa peneliti dan penulis memberikan pernyataan bahwa orang Bugis, Makassar dan Mandar adalah pelaut ulung. Namun harus diakui bahwa ada juga yang berpendapat sebaliknya bahwa orang Bugis Makassar bukan pelaut ulung.

Mengingat pentingnya laut dan pentingnya memetakan (mendaftar dan mengklasifikasi) wilayah yang memiliki sejarah maritim pada masa lampau seperti Kerajaan Tanete. Maka kajian ini mengambil judul “Keterlibatan Kerajaan Tanete Dalam Perdagangan Maritim”. Tentu dalam kajian ini,bertujuan untuk mengungkapkan sebab-akibat dan alasan-alasan lainnya, kenapa dan bagaimana Kerajaan Tanete terlibat dalam perdagangan maritim. Perlu diketahui bahwa kerajaan ini sejak awal berdirinya bernama Kerajaan Agangnionjo yang telah melakukan

(3)

aktivitas kelautan, terutama berkaitan dengan penangkapan ikan.termasuk laut sebagai media penghubung antara wilayah kekuasaan yang satu dengan wilayah kekuasaan yang lainnya. Karena itu, kajian ini dianggap penting untuk memahami keterlibatan Kerajaan Tanete dalam perdagangan maritim. Pengungkapan alasan-alasan tentang keterlibatannya dalam perdagangan maritim belum banyak diungkapkan. Padahal pada masa lampau kerajaan ini pernah menjadi salah satu kerajaan maritim dan melakukan kontak-kontak dagang dunia luar, pelabuhannya pernah menjadi bandar niaga maritim. Keterlibatan kerajaan ini, juga terkait dengan pengaruh dan hubungannya dengan Kerajaan Gowa pada masa itu, tetapi belum banyak diungkapkan.

Keberadaan dan luas laut di Sulawesi Selatan menjadi alasan utama kerajaan-kerajaan lokal di daerah ini memungkinkan terlibat dalam perdagangan sehingga laut bukan menjadi pemisah tetapi pemersatu dari satu daerah dengan daerah lain. Ini pula yang menjadi alasan pentingnya kajian ini dilakukan. Sebab perhatian khusus dari kerajaan-kerajaan maritim di Sulawesi Selatan telah mengalami proses dan pergeseran perubahan masyarakat yang berlangsung lama. Sementara laut telah menjadi penghubung, walau terpaut dan dibatasi oleh laut itu sendiri, tetapi juga laut dengan pelabuhan dan perdagangan maritimnya menjadi pemersatu antara daerah atau paling tidak menjadi penghubung dan menyebabkan terjadinya interaksi di antara mereka. Penghubung tidak berarti bersatu tetapi juga penghubung akan WHUMDGLQ\DNRQÀLNNRQÀLNDQWDUNHNXDVDDQ

Proses dan pergeseran itu telah terjadi beberapa abad yang lalu dan paling tidak dimulai pada masa Kolonial Belanda. Mulai dari VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) sampai pada masa Hindia Belanda telah banyak mengintervensi kerajaan-kerajaan maritim untuk mencapai monopoli perdagangan. Itulah sebabnya, pelabuhan dan perdagangan maritim secara beransur-ansur mengalami kemerosotan dengan adanya peraturan, izin dan larangan-larangan dari Pemerintah Hindia Belanda terkait dengan pelayaran dan perdagangan. Pada dasarnya Kompeni Belanda menghendaki monopoli perdagangan, sehingga Belanda berusaha supaya

pesaing dan penantangnya harus disingkirkan untuk tidak terlibat dalam dunia pelayaran dan perdagangan seperti yang terjadi di Kerajaan Tanete, Sulawesi Selatan.

P e r k e m b a n g a n k e r a j a a n m a r i t i m di Nusantara, termasuk kerterlibatan dan perkembangan Kerajaan Tanete karena memang memiliki wilayah laut yang potensial. Potensi lautnya bisa dilihat dari segi perikanan, letaknya dan kedalaman air lautnya memungkinkan terwujudnya sebuah pelabuhan dan terjadinya kontak-kontak dagang dan kontak sosial budaya dengan dunia luar. Namun sebaliknya, bahwa kehancuran dan terjadinya perubahan pada kerajaan-kerajaan maritim pada masa itu disebabkan oleh adanya intervensi asing, khususnya intervensi VOC dan Hindia Belanda menurut pendapat Van Leur. Tetapi menurut M.A.P. Meilink bahwa bukan saja pada masa VOC dan Hindia Belanda tetapi sejak penaklukan Portugis terhadap Malaka (Sulistiyono, 2014:3-7). Kondisi kehancuran perdagangan maritim bagi golongan peribumi itu berlangsung sampai Indonesia merdeka, tetapi dengan waktu yang sama kemajuan pengusaha dan penguasa asing semakin meningkat.

Kondisi itu, menjadi persoalan tersendiri pada masa kemerdekaan, bahkan sampai pada masa reformasi sekarang. Pada satu sisi kerajaan maritim yang pernah terlibat dalam perdagangan maritim memang tinggal kenangan, namun pada sisi lain dengan luas laut yang ada memungkinkan masyarakat sekitarnya masih berkecimpung di bidang kelautan. Sampai saat ini di Sulawesi Selatan pada umumnya dan Tanete (Kabupaten Barru) pada khususnya merupakan wilayah kelautan. Sebagian masyarakatnya menjadikan laut sebagai salah satu sumber mata pencaharian hidup yang masih bertahan, khususnya penangkapan ikan laut. Profesi ini telah berlangsung lama di Sulawesi Selatan, yaitu sejak masa lampau dan bahkan melibatkan peran dan keikutsertaan birokrat kerajaan dan kaum bangsawan pada masa itu. Hal ini disebabkan karena pengetahuan orang Bugis, Makassar dan Mandar tentang kelautan, dan pengetahuan- tentang berlayar telah banyak mereka ketahui dan kuasai. Seperti kecakapan, keberanian, penguasaan laut dan

(4)

kelautan telah dicatat dalam sejarah sejak lampau dan telah tercatat dalam peta pelayaran Portugis (Poelinggomang dkk, 2004:52-57).

METODE

Tulisan ini mengacu pada penelitian studi pustaka dengan metode sejarah kritis sesuai dengan langkah-langkah penelitian sejarah pada umumnya. Langkah pertama adalah penentuan topik atau judul penelitian. Adapun langkah-langkah penelitian sejarah (Cottschalk, 1982:27) tersebut adalah (1) heuristik, yaitu mencari dan mengumpulkan data-data atau sumber-sumber yang berkaitan dengan objek penelitian melalui studi pustaka; (2) kritik sumber, artinya bahwa tidak semua sumber yang berkaitan dengan objek penelitian ini akan dipergunakan sebagai kebenaran analisis tetapi diseleksi melalui kritik interen dan eksteren dengan memperhatikan tujuan penulisan; (3) interpretasi, sering disebut penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber \DQJGLSHUROHK  KLVWRULRJUD¿VHULQJGLDUWLNDQ sejarah penulisan sejarah secara luas. Maksudnya sejarah sebagai hasil rekonstruksi yang telah menjadi suatu rangkaian narasi melalui proses pemahaman yang kita sebut interpretasi. Karena bentuknya narasi, maka dianggap sebagai suatu kesatuan dari proses rekonstruksi yang kita sebut KLVWRULRJUD¿ .DUWRGLUGMR 0XODLODQJNDK pertama sampai langkah keempat merupakan satu kesatuan, langkah pertama, peneliti telah melakukan studi pustaka dan mendapat beberapa sumber data yang dapat dimanfaatkan karena harus melalui kritik sumber. Kemudian data-data itu berusaha untuk dipahami dan diinterpretasi dengan baik sampai menghasilkan sebuah narasi yang runtut sebagai wujudnya sekarang.

PEMBAHASAN

Proses Awal Kemaritiman Kerajaan Tanete Keterlibatan Kerajaan Tanete dalam perdagangan maritim bukan hal yang baru, tetapi telah ada sejak lama dan berlangsung sejak masa pembentukan kerajaan ini. Banyak diberitakan bahwa keterlibatan Tanete dalam perdagangan maritim karena kontak-kontak dagang yang mereka lakukan terhadap banyak daerah yang

ada di jazirah selatan Sulawesi seperti, Siang, Bacokiki, Suppa, dan Nepo (Poelinggomang, 2005:59) jauh sebelum mereka melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Gowa di pelabuhan Makassar pada abad XVI dan XVII. Bahkan lebih awal lagi Tanete telah menjalin hubungan perdagangan dan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lainnya seperti Kerajaan Goari’E, Kerajaan Mario, Kerajaan Bila, Kerajaan Pattojo dan Kerajaan Batu-batu. Hubungan ini disertai dengan perjanjian persahabatan dengan menempatkan Kerajaan Tanete sebagai saudara tertua (Longi, 2001:21).

Perjanjian persahabatan itu melahirkan nota bersama dengan diberi nama Tulu’ Pitue (tali tujuh), yaitu ”…. Kita bertuju hendak bersatu laksana tali untuk saling mengingatkan dan memberitahu sesuatu yang besar….” (Longi, 2001:22). Pernyataan bersama ini bermaksud untuk saling bekerja sama dalam berbagai hal, menyangkut kepentingan yang dapat menguntungkan bersama pula. Tentu saja di dalamnya termasuk kerja sama perdagangan di antara mereka. Sehubungan dengan itu dapat kita menelusuri lebih jauh lagi kebelakang, di mana kita dapat menemukan adanya tanda-tanda awal akan adanya perdagangan itu, baik maritim dilihat sebagai infrastruktur maupun maritim dilihat sebagai sumber daya kekayaan alam laut untuk dapat dipergunakan sebagai kemakmuran manusia.

Perdagangan maritim Kerajaan Tanete sebenarnya secara tidak langsung kita juga menceritakan perdagangan maritim Kerajaan Agangnionjo.1 Untuk itu, mungkin kita bisa telusuri bagaimana proses munculnya Kerajaan Tanete yang sebelumnya disebut Kerajaan Agangnionjo. Oleh karena dengan menelusuri keberadaan kerajaan tersebut, berarti kita juga menelusuri awal keterlibatannya dalam perdagangan maritim. Kerajaan Agangnionjo yang dibangun oleh To Sangiang diawali dengan suatu kisah yang mengharukan dan unik. Hal 1 Kerajaan Tanete sebelumnya bernama

Kera-jaan Agangnionjo, perubahan tersebut banyak diberitakan setelah peristiwa pengantaran jenazah pengeran Kerajaan Luwu oleh Kerajaan Agangnionjo bersama Kerajaan Ta-nete Selayar

(5)

mana menunjukkan adanya simbol-simbol kesinambungan antara sumber daya alam darat dan sumber daya alam laut. Kesinambungan itu berawal dari ditemukannya air dan ikan dalam balubu di atas Gunung Pangi tempat dimana To Sangiang tinggal.2Air yang ditemukan di sini tidak dibedakan antara air laut atau air darat3 tapi yang jelas, bahwa di atas Gunung Pangi itu tempat di To Sangiang berada dan tinggal ditemukan sebuah balubu yang berisi air. Di samping itu juga banyak ditemukan ikan, yang tentu saja menandakan bahwa ikan itu berasal dari air. Air, ikan dan gunung menunjukkan harmonisasi dan keselarasan bumi antara laut dan darat.

Demikian pula ketika To Sangiang turun dari daerah Jangan-jangannge, Gunung Pangi, kemudian mencari tempat pemukiman yang dianggap paling cocok dan ideal, terutama tanah yang subur. Namun kesuburan tanah itu tidak menjamin ketentraman di antara mereka (keluarga To Sangiang) sebab limpahan hasil pertanian menyebabkan salah satu putranya iri hati terhadap putranya yang lain karena memperoleh hasil pertanian yang berbeda. Sang kakak memperoleh hasil pertanian yang sedikit dibanding dengan putra To Sangiang yang bungsu yang memperoleh hasil pertanian banyak, sehingga kakak menjadi iri dan menyebabkan keduanya bertengkar (Gising, 2002:10-15). Terjadinya kasus tersebut membuat To Sangiang merasa bahwa daerah itu bukannya mendatangkan ketenangan dan kedamaian tetapi perselisihan. Kemudian keluarga To Sangiang berpindah-pindah dan setiap daerah yang ditempati, To Sangiang berusaha membagi lahan garapan kepada anaknya secara adil dengan harapan pertengkaran anaknya segerah berakhir. Tetapi harapan itu menunjukkan kenyataan lain, karena dalam perkembangannya tetap terjadi pertengkaran, dan akhirnya keluarga To Sangiang pindah lagi ke daerah yang dianggap lebih tepat.

2 Keberadaan To Sangiang dan keluarganya di

atas Gunung Pangi, serta ditemukannya ikan dan air dalam balubu milik To Sangiang, pertama-tama ditemukan oleh Arung Pangi ketika sedang melakukan perburuan di gu-nung tersebut.

3 Air laut yang dimaksud adalah tempat asal dari

ikan hidup yang ada dalam balubu, sementara air darat yang dimaksud adalah air tawar yang ada di atas Gunung Pangi

Setelah keluarga To Sangiang pindah ke daerah yang disebut La Poncing, yaitu daerah yang tidak begitu jauh dari laut. Di sanalah mereka membuka lagi lahan sawah-sawah baru yang kemudian dinamai Lamangngade. Lama kelamaan daerah itu semakin diperluas lahan persawahannya sampai mendekati laut. Keseluruhan tempat itu oleh To Sangiang dinamainya Arung Nionjo sebab wilayah itu telah menjadi wilayah kekuasaannya. Perkembangan berikutnya adalah kearungan Arung Nionjo menjadi Kerajaan Agangnionjo (Longi, 2001:7). Di tempat dekat laut inilah mereka bertahan dan menetap tinggal, walaupun masih terjadi pertengkaran dua putra To Sangiang. Tetapi di tempat ini pulalah mereka mendapat solusi yang mampu mendamaikan, menentramkan, dan memakmurkan mereka tanpa ada yang merasa dirugikan. Setelah beberapa lama bertahan dan menetap tinggal di Arung Nionjo, wilayah kekuasaan yang menyatukan darat dan laut akhirnya menjadi Kerajaan Agangnionjo. Perkembangan selanjutnya Kerajaan Agangnionjo berubah menjadi Kerajaan Tanete.

Peristiwa perubahan nama Kerajaan Agangnionjo menjadi Kerajaan Tanete juga sangat menarik karena menghadirkan simbol darat, gunung, persawahan, ikan, air darat dan air laut, dan termasuk makna terjadinya persaingan di antara mereka sebagai anggota keluarga To Sangiang. Tanda-tanda itu menunjukkan adanya nilai-nilai kemaritiman pada kerajaannya. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya terkait dengan darat, gunung, ikan, dan air telah dikenal sejak To Sangiang masih berada di Jangan-jangangnge, Gunung Pangi. Sementara simbol laut baru dikenal sejak To Sangiang mendirikan Kerajaan Agangnionjo dan kemudian Pancana dijadikan bandar niaga kerajaannya. Kedamaian .HUDMDDQ$JDQJQLRQMRWHUZXMXGVHWHODKDNWL¿WDV keluarga To Sangiang mempertautkan antara darat dan laut. Hal ini bisa dipahami dengan terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian serta terjadinya kesinambungan antara darat dan laut. Keadaan ini diperoleh setelah To Sangiang tinggal dan menghubungkan dirinya dengan dunia pertanian dan dunia perikanan laut sebagaimana waktu mereka masih tinggal di atas Gunung Pangi. Makna keterlibatan Kerajaan Tanete dalam

(6)

perdagangan maritim karena Kerajaan Tanete berada dalam dua sisi yang tidak terpisahkan antara darat dan laut.

Sementara perdagangan maritim Kerajaan Tanete pada dunia luar tidak jauh berbeda dengan kerajaan-kerajaan maritim lainnya di Nusantara, khususnya kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Dalam perdagangan di Nusatara selalu mengalami pola-pola yang sama, yaitu muncul dan berkembangnya pusat perdagangan karena dukungan oleh pusat-pusat perdagangan daerah yang ada di sekitarnya (Kartodirdjo, 1988:4). Kemudian pusat perdagangan daerah itu menjadi besar sebagai cerminan terjalinnya suatu integrasi perdagangan, dan sebaliknya menjadi hancur atau punah akibat ketidakmampuannya bersaing dan mengintegrasikan wilayahnya.Jadi berkembang maju dan mundurnya suatu kerajaan tergantung pusat-pusat perdagangan kerajaan itu mampu menkonsolidasikan wilayahnya dalam dunia perdagangan. Kita lihat bagaimana perdagangan di Malaka pada abad XV. Di mana sebelum hasil daerah diangkut kepusat perdagangan di Malaka, dan dari sana ke Asia Barat atau Asia Timur, sebab Malaka disuplai oleh pelabuhan daerah yang ada di sekitarnya, khususnya yang ada di Sumatera. Demikian juga kebesaran dan kejayaan pusat-pusat perdagangan maritim yang terdapat di Jawa, Sulawesi, Maluku dan lain-lain karena disuplai oleh pelabuhan daerah yang ada di sekitarnya. Khusus di Sulawesi Selatan dimotori oleh Kerajaan Gowa pada awal abad XVI dan memasuki abad XVII, juga menciptakan dan didukung oleh pusat-pusat perdagangan daerah dari kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan termasuk Kerajaan Tanete.

Perkembangan perdagangan maritim di Kerajaan Tanete telah berlangsung cukup lama (sejak namanya masih bernama Kerajaan Agangnionjo) dan mencapai puncak kejayaan sebelum terjadinya Rumpak’na Pancana pada 1820-an (Asba, dkk, 2006:7). Peristiwa itulah yang menghancurkan Pancana sebagai kota dan bandar niaga yang cukup besar. Meriam-meriam Belanda yang menghancurkan dan meratakan Pelabuhan Pancana dengan tanah, sehingga Kerajaan Tanete menjadi merosot, kemudian Pancana yang hancur dijadikan kerajaan pinjaman oleh Hindia Belanda.

Kekuasaan dan megahnya kota bandar niaga Pancana sebagai pusat perdagangan maritim Kerajaan Tanete pada masa itu, menjadi bukti kehebatan dan kemajuan peradaban masa lampau. Walau harus diakui bahwa kebesaran itu karena dibangun sejak lahirnya Kerajaan Agangnionjo pada masa itu. Dapat disimpulkan bahwa kejayaan Pancana pada masa itu merupakan akumulasi usaha-usaha yang dilakukan oleh raja-raja yang pernah berkuasa dan membangun Kerajaan Tanete. Mulai dari To Sangiang, kemudian dilanjutkan oleh raja pertama Datu GollaE sampai kepada raja-raja selanjutnya. Hal itu bisa kita telusuri apa yang dibangun dan dikembangkan raja-raja itu kaitannya terhadap kemajuan dan kemakmuran kerajaannya.

P a d a u m u m n y a R a j a - r a j a Ta n e t e berorientasi pada bidang pertanian, kemaritiman dan perikanan laut untuk membangun negerinya. Orientasi pembangunan itu mengantar Kerajaan Tanete mampu bersanding dengan kerajaan-kerajaan besar lain yang ada di Sulawesi Selatan seperti Gowa, Bone, Luwu, dan Wajo termasuk kerajaan-kerajaan Melayu seperti Johor dan Minangkabau. Sekali lagi bahwa keberhasilan itu merupakan akumulasi dari dedikasi raja-raja Tanete. Kita lihat apa yang dilakukan Datu GollaE yang dianggap berhasil memakmurkan Kerajaan Sigeri.4 Kemakmuran yang ada di Sigeri juga berhasil diwujudkan di Tanete (Agangnionjo) dengan membangun bidang pertanian dan perikanan. Seperti yang telah dilakukan di Sigeri, Datu GollaE menggiatkan rakyatnya untuk memajukan pertanian dan penangkapan ikan di Agangnionjo, sehingga dalam waktu yang tidak begitu lama Kerajaan Agangnionjo menjadi makmur. Demikian juga penggatinya Pangara 4 Kerajaan Sigeri adalah salah satu Kerajaan

tet-angga Kerajaan Agangnionjo yang mengalami kedamaian dan kemajuan yang yang sangat pesat pada masa itu. Hal itulah yang mendorong To Sangiang untuk meminta raja Kerajaan Sigeri (tidak ditahu siapa nama aslinya) agar sudi kiranya datang di Agangnionjo menyelesaikan perselisihan putra-putra To Sangiang. Tetapi setelah berha-sil mendamaikan kedua putra To Sangiang, malah To San-giang bermohon lagi kepada Karaeng Sigeri raja Kerajaan Sigeri untuk sudi kira menjadi raja Kerajaan Agangnionjo. Setelah melalui pembicaraan dan pertimbangan, akhirnya Karaeng Sigeri menerima permohonan To Sangiang men-jadi raja Kerajaan Agangnionjo dengan gelar Datu GollaE.

(7)

Wampang Puang Lolo Ujung ketika Datu GollaE meninggal dunia (Gising, 2002:13-14).

Pangara Wampang Puang Lolo Ujung juga demikian menggiatkan pertanian dan penangkapan ikan, tetapi gagal. Kegagalan Pangara Wampang terkait dengan tidak berhasilnya para petani memperoleh hasil panen yang memuaskan, tetapi malah sebaliknya terjadi kerugian karena terserang penyakit tanaman. Demikian juga para nelayan selalu memperoleh hasil yang tidak memuaskan sehingga Pangara Wampang mengundurkan diri menjadi raja karena merasa tidak berhasil mengantar rakyatnya menjadi makmur. Kemudian Pangara Wampang digantikan oleh MatinroE ri Bokokajuruna (tidak diketahui nama aslinya). Raja ini juga melanjukkan usaha Datu GollaE memajukan pertanian dan perikanan di Agangnionjo dengan sungguh-sungguh sehingga rakyat kembali makmur.

Keistimewaan Kemaritiman Kerajaan Tanete Kerajaan Tanete mengalami perkembangan pesat setelah Pangara Wampang mengundurkan diri sebagai raja Kerajaan Tanete. Selain alasan gagalnya pertanian dan perikanan, juga Pangara Wampang merasa bahwa kegagalan dirinya karena memang tidak layak menjadi raja lantaran bukan keturunan raja dari Datu GolaE. Ia diangkat menjadi Raja Kerajaan Agangnionjo (Tanete) karena mendapat penghargaan dari kerajaan yang berhasil mendampingi Datu GolaE membangun dan memajukan Kerajaan Tanete. Padahal secara adat kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan, bahwa yang dapat menjadi raja setelah raja yang berkuasa wafat adalah anak mattola (putra mahkota) sementara Pangara Wampang bukanlah anak mattola. Namun pengunduran diri Pangara Wampang sebagai raja tanpa ada yang menyuruh dan menekannya, merupakan wujud teladan yang patut dicontoh oleh para pemimpin saat ini.

Setelah Pangara Wampang mengundurkan diri, ia digantikan oleh MatinroE ri Bokokajuruna sebagai keturunan dari Datu GolaE. Raja ini mampu membangkitkan kembali rakyatnya EHUDNWL¿WDVGDODPELGDQJSHUWDQLDQGDQSHULNDQDQ Namun masa pemerintahannya tidak banyak diceritakan dalam sumber, dan setelah beliau wafat digantikan oleh Daeng Ngasseng. Raja ini

tetap mengikuti jejak MatinroE ri Bokokajuruna, yakni memajukan pertanian, perikanan dan perdagangan maritim (Poelinggomang, 2005:32-33). Pada masa pemerintahan Daeng Ngasseng pula memperkenalkan Kerajaan Agangnionjo sebagai kerajaan yang memiliki perairan laut yang berpotensi mendirikan pelabuhan dan dapat dilalui, serta bisa disinggahi oleh kapal-kapal dari luar.

Letak dan posisi Kerajaan Agangnionjo yang disebelah utara-baratnya adalah beratasan dengan Selat Makassar. Daerah perbatasan yang dimaksud adalah Lamangngade Arung Nionjo sebagaimana disebutkan di atas, yang belakangan daerah itu terkenal dengan sebutan Pancana. Pancana merupakan wilayah laut yang memiliki kedalaman air yang memungkinkan dilabukannya perahu dan kapal-kapal pelayaran. Pancana begitu cepat berkembang dan merupakan daerah pelabuhan dan bahkan pernah menjadi bandar niaga internasional mendampingi bandar niaga Kerajaan Gowa, yaitu Somba Opu. Pancana juga dijadikan pusat dan ibu kota Kerajaan Agangnionjo sampai tahun 1950 dan pada tahun itu dipindahkan ke PekkaE (Longi, 2001:2).

Pancana sebagai bandar niaga maritim yang cukup ramai pada masa itu tentu tidak lahir begitu saja tetapi melaui proses perkembangan yang cukup lama. Di samping faktor internal, terutama berkaitan dengan letak laut di Pancana yang begitu dalam airnya dan rindang dari hempasan angin kencang dan ombak besar. Sehingga memang sangat cocok dijadikan pelabuhan. Faktor internal lainnya adalah ketersediaan komoditas dagang sendiri yang berasal dari daratan seperti beras dan kacang-kacangan, termasuk ternak potong. Apa lagi orang Agangnionjo juga penghasil ikan yang produktif pada masa itu. Selain faktor internal sebagaimana disebutkan di atas, juga perkembangan dan kemajuan Pancana sebagai bandar niaga maritim karena faktor luar Kerajaan Agangnionjo, yaitu hubungannya dengan kerajaan-kerajaan lain dengan menjadikan laut sebagai infrastuktur dan juga Pancana dijadikan sebagai tempat transaksi barang komoditas.

Namun legalitas Pancana sebagai bandar niaga maritim baru terwujud setelah mendapat penghargaan dan keistimewaan dari Kerajaan

(8)

Gowa. Sejak abad XVI sampai memasuki paru kedua abad XVII Kerajaan Gowa merupakan pemegang supremasi dan pemegang otoritas perdagangan maritim di Sulawesi Selatan, termasuk berbagai macam pelabuhan yang ada di daerah ini. Kerajaan Gowa berkembang pesat pada masa itu karena dukungan faktor dari luar dan faktor dari dalam kerajaan sendiri. Faktor dari dalam, terutama berkaitan dengan letak dan posisi Kerajaan Gowa yang sangat strategis, memiliki struktur pemerintahan yang rapi dan boleh dikatakan sebagai kerajaan yang paling sukses dan memiliki pengaruh besar pada masa itu di Sulawesi Selatan. Faktor dari dalam juga karena Kerajaan Gowa menciptakan sentralisasi bandar niaga, yaitu Pelabuhan Somba Opu, sementara pelabuhan daerah lain tetap dibiarkan berdiri tetapi para saudagar hebatnya diangkut ke Somba Opu pada waktu Kerajaan Gowa melakukan ekspansi dan perluasan kekuasaan. Sementara pelabuhan yang ada di daerah tetap dibiarkan berkembang dan dijadikan sebagai penopan dan mensuplai Pelabuhan Somba Opu barang komuditas.

Sementara faktor luar,lebih kepada akibat dari pengaruh migrasi para pedagang akibat adanya penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511. Sebelum Malaka jatuh ke tangan Portugis, perdagangan rempah-rempah dikuasai oleh pedagang-pedagang Melayu, Malaka yang kemudian berpangkal di Johor dan Jawa, sedang Makassar belum muncul sebagai pelabuhan yang berarti pada saat itu. Namun karena kebijakan Kerajaan Gowa yang menerapkan politik pintu terbukayang sering disebut “mare liberum”membuat para migran dari Malaka melakukan eksodus ke Makassar. Pada perkembangan berikutnya, kedudukan Kerajaan Gowa sangat strategis, yaitu sebagai tempat singgah dari dan ke Maluku, Filipina, Cina, Patani, Kepulauan Nusa Tenggara dan Nusantara bagian barat pada akhir abad XVI, (Kartodirdjo, 1988:4-7). Konsep mare liberum atau laut terbuka dari manapun asalnya, namun dalam praktiknya, Kerajaan Gowa berhasil menjadikan bandar niaga Somba Opu sebagai Bandar transito di Nusantara sejak awal abad XVII. Sehingga berkembanglah Kerajaan Gowa dengan pesat

sebagai pusat perdangangan. Adapun faktor-faktor historis lain yang mempercepat perkembangan itu. Pertama, pendudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua, aliran migran Melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Melayu. Ketiga, blokade Belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang, baik dari Nusantara maupun dari India, Asia Barat dan Asia Timur.

Kenyataan lain adalah kemerosotan pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur menyebabkan fungsinya sebagai penyalur bahan makanan diambil alih oleh Makassar, meskipun dalam hal ini masih perlu mendatangkan beras dari Jawa. Faktor pendorong pertumbuhan Pelabuhan Somba Opu Makassar yang lain ialah monopoli perdangangan rempah-rempah yang dijalankan oleh Belanda di Maluku. Sebab dengan demikian Makassar tumbuh sebagai pasar penyalur rempah-rempah yang dijual di luar monopoli VOC itu. Pedagang-pedagang Barat membuat Makassar mempunyai kedudukan sentral yang menguntungkan sekali bagi perdangangan antara Malaka dan Maluku. Di sana pedagang dari segala penjuru dapat bertemu. Maka di samping perdagangan rempah-rempah hiduplah pasar untuk bermacam-macam barang: sutra, emas, porselin, berlian, intan, kayu cendana, dan lain-lain. Bertemulah di sana pedagang-pedagang dari Maluku, Ambon, Seram, Kai, Aru, Tanimbar, Solor, Timor, Ende, Bima, Bali, Jawa, dan lain-lain kecuali bangsa Portugis, yang datang berkunjung adalah pedagang dari Makao, Cina, Jepang, Sailan, Gujarat. Kemudian pada awal abad XVII juga pedagang Barat seperti Belanda, Inggris, dan Denmark (Kartodirdjo, 1988:89-90).

Merosotnya pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur dan munculnya Makassar sebagai pusat perdagangan membuat pergeseran dalam jaringan perdagangan serta rute pelayaran di Nusantara. Kalau selama abad XVI rute yang ditempuh ialah Maluku-Jawa-Selat Malaka, kemudian menjelang akhir abad itu menjadi Maluku-Makassar-Selat Sunda. Sehubungan dengan perubahan itu maka kedudukan Banten dan vasalnya Sunda Kelapa (Jayakarta) bertambah strategis, suatu hal yang akan dimanfaatkan oleh VOC. Namun kenyataan

(9)

lain membuat Kerajaan Gowa semakin ramai didatangi oleh pedagang-pedagang dari luar, khususnya para pedagang pelarian dari Malaka, Johor, dan dari Jawa. Keramaian Pelabuhan Somba Opu dari waktu ke waktu semakin bertambah dan meningkat sehingga memerlukan pelabuhan pendamping tanpa mengurangi nilai pelabuhan dari segi keramian dan barang komoditas, maupun dari segi kebijakan dan keamanan. Salah satu pelabuhan pendamping yang dimaksud adalah Pelabuhan Pancana di Kerajaan Tanete.

Pelabuhan Pancana sebagai salah satu pelabuhan pendamping dari Pelabuhan Somba Opu tentu memiliki alasan. Alasan yang dimaksud adalah alasan yang memiliki nilai historis pada masa sebelumnya. Di mana Kerajaan Agangnionjo dengan ibu kotanya Pancana pernah mendapat penghargaan dan keistimewaan dari Kerajaan Gowa kaitannya dengan perdagangan maritim. Penghargaan dan keistimewaan itu diperoleh ketika rombongan perahu dari Raja (Adatuang) Sawitto berjumlah sekitar 13 buah perahu dengan membawa pasukan sekitar 300 orang dengan tujuan ke Makassar untuk menentang Kerajaan Gowa. Rombongan ini sebelum sampai di Kerajaan Gowa, mereka melewati perairan Kerajaan Agangnionjo yang membuat Raja Daeng Ngasseng bertanya-tanya pada rombongan perahu itu yang singgah di negerinya. Melalui pabate-batenya (pengawal kerajaan) Raja Kerajaan Agangnionjo Daeng Ngasseng menyuruh menemui rombongan itu untuk menanyakan mau kemana dengan tujuan apa (Longi, 2001:12; Poelinggomang, 2005:33-35).

Setelah melalui dialog dan diskusi yang tidak berkesudahan, akhirnya terjadi perang antara rombongan Adatuang Sawitto dengan Kerajaan Agangnionjo. Pertempuran ini terjadi lantaran Adatung Sawitto berusaha melanjutkan perjalannya ke Kerajaan Gowa untuk menantangnya. Walaupun niat itu berusaha dinasehati oleh raja Daeng Ngasseng tetapi tidak mau mengurungkan niatnya untuk pergi menentang Kerajaan Gowa (Patunru, 2004:62-64). Perang itu dimenangkan oleh Kerajaan Agangnionjo, dan berita kemenangan itu sampai juga di Kerajaan Gowa. Kemenangan itu merupakan kemenangan Kerajaan Gowa walau Kerajaan Agangnionjo

yang melakukan perang terhadap Kerajaan Sawitto. Sehingga Kerajaan Gowa memberi penghargaan tinggi atau keistimewaan kepada Kerajaan Agangnionjo dengan menetapkan, bahwa: (1) Agangnionjo dianggap telah menjunjung tinggi Ulu Kana (perjajian antarkerajaan) maka Kerajaan Agangnionjo harus dianggap sebagai keluarga dekat Kerajaan Gowa; (2) Kerajaan Agangnionjo adalah merupakan salah satu wilayah yang memiliki kategori kaya akan hasil bumi, maka kepadanya diberikan izin untuk mengadakan kontak dagang dengan Kerajaan Gowa; (3) Kerajaan Agangnionjo dianggap telah berjasa dan menunjukkan kesetiaannya maka sebagai imbalan Kerajaan Agangnionjo dibebaskan atas segala bea cukai dalam pelayaran dimanapun juga dalam wilayah Kerajaan Gowa; (4) Telah terjalin persahabatan yang erat, maka atas nama Kerajaan Gowa menghadiahkan dua buah perahu besar kepada Raja Agangnionjo Daeng Ngasseng atas nama seluruh rakyat Agangnionjo (Longi, 2001:19-20).

Membangun Perdagangan Maritim

Kemajuan suatu peradaban tidak lahir dengan sendirinya, tetapi lahir dengan penuh perjuangan dan dedikasi yang tinggi dari berbagai pihak yang merasa bagian dari peradaban itu. Demikian juga dalam pembangunan perdagangan maritim suatu bangsa (kerajaan) pada masa lampau memerlukan inisiator yang mampu memberikan penjelasan akan pentingnya pembangunan itu. Pembangunan pada masa lampau, inisiatornya lebih banyak diperankan oleh para raja, pejabat-pejabat kerajaan dan para bangsawan. Namun juga tidak bisa menghindari pengaruh kebijakan umum yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi. Sebut saja Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan pada pertengahan abad XVI sampai pertengahan abad XVII dikenal sebagai kerajaan yang sangat maju perdagangan maritimnya pada masa itu, juga memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar. Kerajaan ini pula sebagai pemegang otoritas perdagangan maritim di Sulawesi Selatan pada abad itu. Sehingga pembangunan perdagangan maritim Kerajaan Tanete sulit menepis andil dari Kerajaan Gowa.

(10)

memberi penghargaan dan keistimewaan kepada Kerajaan Agangnionjo (Tanete) sebagai kerajaan sekutu dianggap sebagai motivasi tersendiri. Kebijakan itu menjadi salah satu pendorong Kerajaan Agangnionjo membangun kerajaannya. Khususnya pembangunan Pelabuhan Pancana dalam rangka membangun perdagangan maritimnya. Kerajaan Gowa sebagai pemegang otoritas perdagangan maritim di Sulawesi pada masa itu, mengisyaratkan Kerajaan Agangnionjo terlibat dalam perdagangan maritim. Terutama kebijakan pemberian izin berdagang kemana saja dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa karena Kerajaan Agangnionjo dianggap kerajaan yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Apa lagi Kerajaan Agangnionjo dibebaskan dari segala pajak dan bea-bea padanya terhadap kontak-kontak dagang dengan dunia luar dari Kerajaan Gowa. Di samping itu Kerajaan Agangnionjo diberi hadiah kapal besar sebagai alat transportasi antardaerah dalam proses perdagangan.

Kenyataan itu menjadi motivasi bagi Kerajaan Agangnionjo dalam membangun perdagangan maritimnya. Suatu hal yang sangat menguntungkan bagi kerajaan yang berusaha keras membangun perdagangan maritimnya, tiba-tiba mendapat kemudahan-kemudahan atas kebijakan Kerajaan Gowa. Jika kebijakan dan kemudahan itu mampu dimanfaatkan dengan baik maka semakin mudah Kerajaan Agangnionjo terlibat dalam perdagangan maritim, apa lagi disertai dengan kebijakan untuk mewujudkan dan melaksanakannya. Itulah sebabnya, pada masa pemerintahan raja IV La Tinulu Daeng Ngasseng (1573-1585) di saat kebijakan itu diberikan, langsung disambut dengan senang hati. Hal ini sangat bertepatan dengan kebijakan internal Kerajaan Agangnionjo yang tengah menggalakkan keterlibatan kerajaannya dalam perdagangan maritim (Poelinggomang, 2005:41). Seruan itu langsung dimotori oleh Raja La Tinulu Daeng Ngasseng sendiri karena memang raja ini sejak awal menjabat giat mendorong rakyatnya meningkatkan perduksi pertanian, peternakan dan perikanan.

Raja La Tinulu Daeng Ngasseng pula sejak pelantikannya mulai melakukan penataan dan pengembangan organisasi pemerintahan

kerajaan. Sebelum La Tinulu Daeng Ngasseng, masalah pengorganisasian pemerintahan kerajaan belum banyak dilakukan. Namun raja ini giat melakukan pembenahan organisasi pemerintahan, sehubungan dengan kebijakan raja ini, dan mendorong rakyatnya terlibat dalam perdagangan maritim. Sehubungan dengan itu diciptakan jabatan pabbicarae. Pejabat ini berkedudukan sebagai penasehat raja dalam urusan pemerintahan dan perekonomian. Pabbicara ini membawahi pejabat syahbandar (sabanara) dan mengurusi para pengawal kerajaan (pabate-bate). Syahbandar bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan eksport-inport dan memungut pajak pelabuhan dan perdagangan. Sementara tugas dari para pengawal adalah menjaga keamanan dan ketentraman raja serta mengawal raja dalam kegiatan kunjungan kenegaraan ke kerajaan lain, atau melakukan perjalanan dinas ke daerah-daerah dalam wilayah pemerintahannya (Patunru, 2004:61-65).

Perkembangan pesat yang terjadi di Kerajaan Tanete merupakan usaha yang berlangsung sejak lama, namun pada masa La Tinulu Daeng Ngasseng mampu diorganisir secara terstruktur dengan baik sesuai dengan hak dan wewenangnya. Walau tidak bisa juga dipungkiri, bahwa pengambil inisiatif dalam pengembangan kerajaan tidak terlepas dari perkembangan kerajaan-kerajaan lain yang ada di sekitarnya Sulawesi Selatan. Termasuk perkembangan yang terjadi di Nusantara bahkan perkembangan di Asia Tenggara. Pengaruh perkembangan yang terjadi dari luar kerajaan juga meninspirasi pembangunan kerajaan, termasuk pengaruh perseteruan politik yang melanda kerajaan-kerajaan di Nusantara. Demikian juga perseteruan yang terjadi di Sumatera dan Jawa yang di dalamnya terdiri dari kerajaan-kerajaan Melayu dan Jawa. Makanya hampir dipastikan bahwa perkembangan Kerajaan Tanete, juga sebagai imbas perkembangan kerajaan lain, terutama Kerajaan Gowa. Baik perkembangan Kerajaan Gowa secara politik, ekonomi, sosial-budaya dan sistem penataan organisasi pemerintahan pada waktu itu. Kebijakan Kerajaan Gowa yang menempatkan Kerajaan Tanete sebagai sekutu dan mengizinkannya ikut dalam percaturan perdagangan membuat Kerajaan Tanete berkembang pesat. Kemajuan

(11)

itu diduga bahwa perkembangan perdangangan maritim Kerajaan Tanete itu, atas pengaruh perkembangan perdagangan maritim Kerajaan Gowa. Demikian juga bahwa perkembangan Kerajaan Gowa mendapat pengaruhyang terjadi di luar Kerajaan Gowa dalam berbagai bidang kehidupan (Kartodirdjo, 1988:4).

Perkembangan yang dialami Kerajaan Gowa itu, memang tidak bisa berdiri sendiri tetapi mendapat bantuan dan dukungan dari pusat-pusat perdagangan yang ada di daerah Sulawesi Selatan seperti dari Kerajaan Tanete. Sebaliknya Kerajaan Tanete yang mempunyai daya tarik tersendiri, mulai dari posisi faktor alamnya, komoditinya, sistem pemerintahannya yang mampu melindungi dan memproteksi pedagang-pedagang dari luar. Dalam tradisi orang-orang Tanete disebutkan bahwa mereka suka membantu orang lain yang sedang kesusahan dan juga kuat memegang janji yang mereka ikrarkan kepada siapa mereka berikrar (Poelinggomang, 2005:19-22). Di samping itu mereka mampu mengambil inisiatif GDODPNRQÀLNNRQÀLN\DQJWHUMDGLGLVHNLWDUQ\D sehingga Kerajaan Tanete selalu terhindar dari persoalan. Tradisi dan pendirian sikap Kerajaan Tanete itulah yang membuat para pedagang dari luar berdatangan ke Pelabuhan Pancana melakukan transaksi dagangnya. Ditambah lagi dengan kebijakan Kerajaan Tanete yang mengatur dengan baik penempatan para pedagang, misalnya para pedagang dari Jawa dan Melayu ditempatkan pada lokasi tersendiri, demikian juga pedagang-pedagang dari daerah lain di Nusantara maupun dari negara-negara lain.

Selain itu, bahwa kemajuan dan kemampuan Tanete dalam hubungan perdagangan karena Tanete berpegang pada tradisi religi, yang mana dalam hubungan yang mereka bangun selalu dikembalikan pada kesepakatan kata. Pernyataan itu menunjukkan bahwa secara kultural masyarakat Tanete berpandangan bahwa memberikan tumpangan dan melayani orang lain yang datang di negerinya merupakan perbuatan yang mulia dan bermakna untuk mendapatkan berkah dan rahmat dari Allah yang Maha Kuasa. Kemudian berpegang pada prinsip keselarasan perkataan dengan perbuatan atau berpegang teguh pada janji yang telah dinyatakan. Dalam

tradisi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Tanete pada khususnya bahwa keberhasilan suatu usaha pertanian maupun perikanan ditentukan oleh perilaku politik pemimpin dan aparat pemerintahannya (Poelinggomang, 2005:20). Jika penguasa dan aparat pemerintahannya berperilaku yang baik dan mengayomi rakyatnya maka pasti hasil pertanian dan perikanan akan melimpah, dan jika sebaliknya maka kegagalan yang akan dicapai. Itulah sebabnya dalam masyarakat ini terdapat ungkapan kepada penguasa yang menyatakan “jika panen gagal dan ikan menghilang dari perairan maka sayangilah dirimu sendiri “, yang maksudnya adalah jika usaha pencarian nafkah rakyat tidak berhasil berarti penguasa dan aparatnya telah melakukan perbuatan tercelah sehingga rakyat pasti akan meninggalkan mereka.

Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa Kerajaan Tanete telah terbentuk dan mampu membangun kerajaan dengan baik atas andil dari To Sangiang secara mandiri, walaupun DGDNRQÀLNGLDQWDUDDQDNQ\D1DPXQGDODP SHQ\HOHVDLDQNRQÀLNLWXKDUXVPHPLQWDEDQWXDQ dari Karaeng Sigeri. Atas bantuan dari Karaeng 6LJHULLWXNRQÀLNEHUKDVLOGLVHOHVDLNDQWDQSDDGD yang merasa tersakiti, sehingga beliau dinobatkan menjadi raja pertama Kerajaan Agangnionjo. Jika GLEDQGLQJNDQNRQÀLN\DQJWHUMDGLGL.HUDMDDQ Agangnionjo (Tanete) dengan kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan dalam proses integrasi internal kerajaannya, Kerajaan Tanete terbilang NHFLOGDQULQJDQLQWHQVLWDVNRQÀLNQ\D-XJDKDUXV diakui bahwa Kerajaan Tanete memang belum mapan dan teratur pada saat Kerajaan Gowa melakukan ekspedesi dan ekspansi perluasaan wilayah kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan. Sehingga dalam penaklukan itu, Kerajaan Tanete tidak masuk sebagai sasaran kerajaan yang ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa. Ekspedesi dan ekspansi itu dilakukan pada masa pemerintahan Raja Gowa X, I Manriwa Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) sangat terkait dengan pengembangan perdagangan maritim. Salah satu tujuan dari ekspansi adalah perdagangan maritim dengan cara menaklukan terlebih dahulu, kemudian mengangkut para

(12)

saudagarnya ke Somba Opu. Melihat hal itu, bisa dipahami bahwa para pedagang pada masa itu banyak diperankan oleh para bangsawan. Di samping, para pelaut Bugis Makassar memiliki keahlian kebaharian yang luar biasa, juga mempunyai reputasi sebagai pedagang sukses dan jujur, prajurit yang setia dan jujur, berkepribadian dan berperilaku baik, pemimpin yang baik, dan senang berpetualang (Lampe, 2011:18).

Keterlibatan para bangsawan dalam perdagangan karena pemilikan faktor-faktor produksi, faktor produksi tersebut kebanyakan hanya dimiliki oleh para bangsawan.Hal ini terjadi karena para bangsawan, khususnya di Sulawesi Selatan memiliki kekuatan dan kekuasaan. Di mana pemilikan faktor produksi selalu didasarkan pada sistem adat dan tradisi, khususnya masalah pemilikan tanah. Bahwa tanah adalah milik penghuni pertama wilayah itu, dan yang dianggap penghuni pertama adalah To Manurung. Sementara para raja dan bangsawan-bangsawan yang ada di Sulawesi Selatan merasa keturunan dari To Manurung (Ahimsa Putra,1988). Jadi tanah dan kekuasaan yang dimiliki oleh para raja dan bangsawan lainnya adalah warisan dari leluhurnya.

Para bangsawan sebagai pemeran dalam perdagangan maritim mampu menjangkau semua bentuk kebijakan pemerintahan kerajaan. Alasannya sederhana, karena antara pembuat kebijakan dan pemeran dalam perdagangan merupakan satu kesatuan. Ada beberapa pola perdagangan yang dilakukan oleh para bangsawan, yaitu pola perdagangan kepercayaan atau pola perdagangan titipan, pola perdagangan keliling dan pola perdagangan kongsi (Yudana dan Pageh, 1987:187). Itulah sebabnya raja Gowa X disebutkan bahwa pada periode awal pemerintahannya melakukan perluasan pengaruh kekuasaan dengan menaklukan sejumlah kerajaan. Kerajaan yang dimaksud antara lain Kerajaan Siang (Pangkajene), Bacukiki, Suppa, Sidenreng, Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, Lamatti, Wajo, Duri, Panaikang, Bulukumba, dan sejumlah kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone dan kerajaan kecil lainnya. Kerajaan yang ditaklukkan itu juga mengangkut orang dan barang dari negeri yang ditaklukkan

ke bandar niaga Somba Opu. Daerah-daerah yang telah taklukan dan dipengaruhi, selanjutnya ditempatkan seorang anggota keluarga istana (Ana Karaeng ri Gowa) untuk memerintah, termasuk Kerajaan Sigeri.

Keterlibatan Kerajaan Tanete dalam perdagangan maritim secara terorganisir dimulai pada masa pemerintahan Raja IV La Tinulu Daeng Ngasseng, kemudian dilanjutkan oleh raja-raja berikutnya sebagai penggantinya. Demikian juga raja Tumaburu Limanna (1597-1603) yang menduduki takta kerajaan mengantikan Daeng Sanjai. Meskipun Tumaburu Limanna adalah raja yang mewarisi kekayaan dan kemakmuran yang dihasilkan berkat kerja dan karier pendahulunya, namun tetap terus bergiat memajukan ketentraman dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena itu, sebagai pelanjut pemerintahan, ia sangat memperhatikan aktivitas penduduknya baik dalam kegiatan pertanian, perikanan dan peternakan, maupun dalam dunia perdagangan maritim (Poelinggomang, 2005:41-44).

Kerajaan Tanete dalam dunia perdagangan maritim, berhasil memikat banyak pedagang yang berkunjung ke bandar niaganya, bukan hanya para pedagang Nusantara sebagaimana disebutkan sebelumnya. Tetapi juga pedagang dari negara lain, seperti Belanda, India, Gujarat, Spayol dan Portugis. Salah satu negara yang memiliki informasi tentang kehadirannya dalam perdagangan maritim di Kerajaan Tanete yang masih turun-temurun pada masyarakat orang Barru (Kerajaan Tanete) adalah pedagang Portugis. Di Kerajaan Tanete ini pedagang dari Portugis dikenal dengan sebutan Parengki. Kelompok pedagangg ini juga mendapat izin dari raja mendirikan loji dipermukimannya yang dikenal dengan sebutan Laparengki, yang terletak pada sebelah selatan hulu Sungai Lajari.

Kehadiran pedagang Portugis itu tentu bukan hanya berkaitan dengan perdangangan rempah-rempah saja, tetapi juga pada produksi pangan dari Kerajaan Tanete, seperti beras dan ternak potong dan perikanan. Selain informasi tentang para pedagang Portugis, juga ada beberapa informasi dan sumber yang menyebutkan bahwa pernah datang satu perahu dagang dari Johor yang membawa putri raja Johor, yang melarikan diri

(13)

karena terjadi perebutan kekuasaan di negerinya. Rombongan putri Johor itu diterima dengan senang hati dan diberikan tempat pemukiman yang disebut Pancana setelah putri ini dinikahi oleh raja Tanete. Banyaknya pedagang dari luar Kerajaan Tanete di Pelabuhan Pancana menunjukkan bahwa kerajaan ini terbuka bagi orang luar. Hal ini menunjukkan pula bahwa Kerajaan Tanete menerapkan kebijakan “politik pintu terbuka“, sama seperti yang diterapkan oleh Kerajaan Gowa. Kesamaan tersebut mengindikasikan masih kuatnya hubungan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Tanete sampai masa pemerintahan Tumaburu Limanna.

PENUTUP

Kerajaan Tanete merupakan kerajaan yang baru berdiri pada abad XVI setelah To Sangiang mengikrarkan wilayahnya menjadi Arung Nionjo dan kemudian menjadi Kerajaan Agangnionjo, kemudian Datu GollaE diangkat sebagai raja pertama pada tahun 1547. Raja pertama ini, juga merupakan raja Sigeri dan merupakan kemenakan dari raja Gowa X Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga dari pihak ibunya. Datu GollaE sangat giat mendorong rakyatnya meningkatkan produksi pertanian, penangkapan ikan dan ternak potong. Kalau berdasarkan atau mengacu pada pemahaman sejarah maritim dari Singgih Sri Sulistiyono, maka Kerajaan Agangnionjo layak dikaji dalam sejarah maritim. Sehingga nilai-nilai kemaritiman kerajaan ini sudah muncul pada masanya, dan bahkan sebelumnya, dengan apa yang dilakukan oleh To Sangiang, baik pada waktu To Sangiang masih di atas Gunung Pangi, maupun setelah ia turun gunung.

Keterlibatan Kerajaan Tanete dalam dunia perdagangan maritim memang tidak langsung keluar jauh melakukan kontak dagang dari wilayahnya tetapi mereka menjalin hubungan dengan kerajaan lokal lainnya dengan laut sebagai penghubung. Pada hubungan ini, terwujudlah perjanjian tujuh kerajaan di antara mereka, yaitu Kerajaan Goari’E, Kerajaan Mario, Kerajaan Bila, Kerajaan Pattojo dan Kerajaan Batu-batu. Perjanjian ini, juga mengikat mereka dalam hubungan perdagangan. Adapun komoditas

andalan Kerajaan Tanete adalah hasil pertanian, perikanan dan ternak potong. Komoditas itupulalah yang berhasil memikat banyak pedagang yang berkunjung ke bandar niaganya, termasuk pedagang Portugis. Di daerah ini pedagang Portugis dikenal dengan sebutan Parengki.

Letak dan posisi Kerajaan Agangnionjo disebelah utara-baratnya yang beratasan dengan Selat Makassar juga merupakan alasan kerajaan ini terlibat dalam perdagangan maritim. Hal ini dimungkinkan karena Pancana (nama pelabuhan Kerajaan Tanete) merupakan wilayah laut yang memiliki kedalaman air yang memungkinkan perahu dan kapal-kapal dagang berlabuh. Pancana begitu cepat berkembang dan merupakan daerah pelabuhan dan bahkan pernah menjadi bandar niaga internasional mendampingi bandar niaga Kerajaan Gowa, yaitu Somba Opu. Pancana juga dijadikan pusat dan ibu kota Kerajaan Agangnionjo (Tanete) sampai tahun 1950, kemudian dipindahkan ke PekkaE

Pertengahan abad XVI sampai abad XVII Kerajaan Tanete berhasil membangun dan mengembangkan bandar niaganya dan terlibat dalam perdagangan maritim, tetapi tetap menjalin hubungan komersialnya dan hubungan persekutuannya dengan Kerajaan Gowa. Hal ini bisa dipahami karena Kerajaan Gowa memiliki andil atas keterlibatan Kerajaan Tanete dalam perdagangan maritim. Andil yang dimaksud adalah berkaitan dengan penghargaan dan keistimewaan yang diberikan oleh Kerajaan Gowa kepada Kerajaan Tanete. Di mana Kerajaan Gowa memberi penghargaan dan status kepada Kerajaan Agangnionjo sebagai kerajaan sekutu. Di samping itu juga dicatat dan diakui oleh sejarawan Inggris Robert Dick-Read yang menyatakan bahwa para pelaut Bugis Makassar memiliki keahlian kebaharian yang luar biasa, juga mempunyai reputasi sebagai pedagang sukses dan jujur, prajurit yang setia dan jujur, berkepribadian dan berperilaku baik, pemimpin yang baik, dan senang berpetualang.

Kerajaan Gowa sebagai pemegang otoritas perdagangan maritim di Sulawesi pada masa itu, mengisyaratkan Kerajaan Agangnionjo terlibat dalam perdagangan maritim. Terutama kebijakan pemberian izin berdagang kemana

(14)

saja dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa karena Kerajaan Agangnionjo dianggap kerajaan yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Apa lagi Kerajaan Agangnionjo dibebaskan dari segala pajak dan bea-bea padanya terhadap kontak-kontak dagang dengan dunia luar. Di samping itu Kerajaan Agangnionjo diberi hadiah kapal besar sebagai alat transportasi antardaerah dalam proses perdagangan. Bertepatan dengan kebijakan tersebut, Raja Tanete IV La Tinulu Daeng Ngasseng (1573-1585) memang lagi berusaha keras membangun Pelabuhan Pancana dan membentuk jabatan syahbandar dan organisasinya yang khusus menangani masalah perdagangan maritim. Raja ini sebagai peletak dasar perdagangan maritim di kerajaannya secara terorganisir dan dilanjutkan oleh penerusnya sampai abad XIX.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra, Heddy Shri. 1988. Minawang: Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Asba, Abdul Rasyid, dkk. 2006. ”Pancana Sebagai Bandar Niaga Internasional” Barru: Pemerintah Kabupaten Barru, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Cottschalk, Louis. 1982. (penerjemah Nugroho Notosusuanto), Mengerti sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Gising, Basrah. 2002. Sejarah Kerajaan Tanete. Makassar: Sama Jaya Makassar.

Kartodirdjo, Sartono. 1985. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia. Kartodirdjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah

Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium jilid I. Jakarta: Gramedia. Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu

Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Lampe, Munsi. 2011. “Pengalaman Pengembaraan

Pelayaran Pelaut Bugis-Makassar dan Reproduksi Nilai Budaya Kemaritiman N u s a n t a r a ” . M a k a s s a r : M a k a l a h dipresentasikan pada acara Seminar Sejarah dan Budaya, yang diselenggarakan oleh BPSNT Makassar pada tanggal 12 Mei 2011.

Longi, Syarief (editor). 2001. Kerajaan Agangnionjo (Tanete). Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan: Proyek Pengadaan Sarana Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Barru tahun Anggaran 2001.

Patunru, Abdurrazak Daeng. 2004. Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar. Makassar: Pusat Kajian Indonesia Timur bekerja sama dengan lembaga penerbitan Universitas Hasanuddin. Poelinggomang, Edward L., dkk. 2004. Sejarah

Sulawesi Selatan Jilid I. Makassar: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Sulawesi Selatan. Poelinggomang, Edward L. 2005. ”Sejarah Tanete

Dari Agangnionjo Hingga Kabupaten Barru”. Barru: Pemerintah Kabupaten Barru, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Poelinggomang, Edward L. 2014. ”Teori dan

Metodologi Sejarah Maritim”. Makalah disampaikan pada kegiatan Worksop roadmap Jurusan Ilmu Sejarah Unhas pada 29 Oktober 2014 di Hotel Aerotel Smile. Sulistiyono, Singgih Sri. 2004. Pengantar Sejarah

Maritim Indonesia. Semarang: Program Hibah Penulisan Buku Teks 2004 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Sulistiyono, Singgih Sri. 2014. ”Mengeksplorasi Tema-tema Penelitian Sejarah Maritim Indonesia”, Makalah disampaikan pada kegiatan Worksop roadmap Jurusan Ilmu Sejarah Unhas pada 29 Oktober 2014 di Hotel Aerotel Smile.

Yudana, IMD. Pageh. 1987. Penuntun Pelajaran Sejarah. Bandung: Ganeca Exact.

Referensi

Dokumen terkait

Selain ada upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada lembaga pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser –meskipun belum sampai digantikan—oleh

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh signifikan kreativitas terhadap hasil belajar matematika siswa kelas VIII SMPN 2 Banjarmasin

Menurut Hadari Nawawi ( 2005:61) metode penelitian adalah cara yang dipergunakan untuk memecahkan masalah dengan menggunakan lankah-langkah yang telah dirumuskan.

Dengan melihat kondisi-kondisi di atas, maka penulis akan membahas cara mengestimasi harga saham Jakarta Islamic Indeks menggunakan regresi nonparametrik kernel

Adapun faktor eksternal motivasi adalah segala sesuatu yang berasal dari luar individu baik yang langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi individu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis pelaku dan korban pelecehan seksual di media sosial. Penelitian ini merupakan metode kualitatif

Kod njega se najbolje ogleda to da menadžeri ne mogu posjedovati samo par određenih sposobnosti koje su im potrebne za obavljanje posla nego moraju imati cijeli niz sposobnosti

Mengenai faham yang dibawa oleh Al Hallaj tentang ajaran kesatuan agama yang menurutnya semua agama yang ada itu benar dan orang bebas memilih suatu agama yang ada itu benar,