• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL USAHATANI INTEGRASI KAKAO KAMBING DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL USAHATANI INTEGRASI KAKAO KAMBING DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL USAHATANI INTEGRASI KAKAO KAMBING DALAM UPAYA

PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

DWI PRIYANTO

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 (Makalah diterima 20 September 2007 – Revisi 8 Januari 2008)

ABSTRAK

Aset usahatani dari tahun ke tahun mengalami penurunan akibat perubahan tata ruang dan perkembangan populasi penduduk. Perubahan ini menuntut adanya pola intensifikasi usahatani, salah satunya adalah penerapan sistem integrasi tanaman dan ternak (crop livestock system). Pola ini menerapkan pendekatan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), sehingga diharapkan tercapai efisiensi dalam usahatani. Potensi integrasi ternak di lahan perkebunan cukup memberikan peluang akibat semakin berkembangnya usaha perkebunan rakyat. Perkebunan kakao memiliki prospek yang baik dalam sistem integrasi dengan ternak kambing, dimana model tersebut harus tepat dalam implementasinya sehingga sistem integrasi dapat berkelanjutan. Perkebunan kakao rakyat memiliki potensi daya dukung mencapai 6,05 ekor ternak kambing untuk 1 ha. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan kebutuhan pakan dari limbah kulit kakao sebesar 1,5 kg/ekor/hari pada kambing dewasa. Skala usaha yang direkomendasikan adalah 5 ekor induk/peternak, sehingga total ternak yang harus dipelihara di kandang mencapai 13 ekor, dengan target penjualan anak pada umur 8 bulan. Hal ini cukup rasional dengan sumberdaya kepemilikan areal perkebunan kakao di tingkat petani dan daya dukung tenaga kerja keluarga yang tersedia. Model ini ditinjau dari sistem usaha diversifikasi komoditas (kakao dan kambing) dapat saling mendukung sehingga tercapai pola efisiensi usaha di kedua sub sektor. Dampak penerapan model usahatani integrasi ini mampu meningkatkan pendapatan petani sampai 45%.

Kata kunci: Sistem integrasi, kakao-kambing, pendapatan petani

ABSTRACT

FARMING SYSTEM MODEL ON INTEGRATED COCOA AND GOAT TO INCREASE FARMER’S INCOME Farming system assets decrease steadily from year to year due to the changes of ecology and population. This change needs farming intensification in which, one of them is the introduction of integrated systems such as crop livestock system. The crop livestock system has applied Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) approach in order to reach efficiency of the farming systems. The potential of livestock integrated with the cocoa estates has a good prospect on the public estate’s development. Cocoa estate has a good prospect to support the integrated with goat farming, however it needs a real concept of the integrated program that work sustainable. The potency of cocoa estate has a carrying capacity of 6.05 head goats for 1 hectare area. This is based on the need of the feed from cocoa husk of 1.5 kg/head/day. The recommended size of economic scale is 5 does per farmer, so that the optimum number of goats raised by farmer is 13 heads, with sold target age is 8 months. This model is rational based on farmer’s availability for land resources and household family labor. This concept considered from diversification of commodities may support one another, so that the efficiency could be reached both sub sectors, and could give an impact to increase both productivities. Implementation of this model is expected to increase farmer’s income up to 45%. Key words: Integrated systems, cocoa-goat, farmer’s income

PENDAHULUAN

Faktor lahan sebagai aset utama usahatani dari tahun ke tahun cenderung menurun sebagai akibat perkembangan populasi penduduk, perubahan tata ruang wilayah dan lain sebagainya. Kondisi ini berdampak terhadap sistem usahatani yang semakin terbatas akibat semakin sempitnya lahan budidaya yang tersedia. Hal ini secara langsung berdampak terhadap sistem produksi dan pada akhirnya pendapatan usahatani juga semakin menurun. Langkah yang harus ditempuh dalam antisipasi sistem usahatani

berkelanjutan adalah melakukan usahatani diversifikasi (multi komoditas), salah satunya adalah penerapan model usahatani integrasi tanaman dan ternak. Hal ini merupakan salah satu alternatif dalam melakukan efisiensi usaha pada areal lahan yang relatif tetap, tetapi mampu meningkatkan produktivitas usaha sehingga terjadi nilai tambah (added value) dari

berbagai sektor usaha yang saling mendukung.

Model usahatani integrasi tanaman dan ternak mulai dikembangkan secara intensif sejak adanya program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T). Hal ini dilakukan dalam upaya rehabilitasi lahan

(2)

pertanian yang mengalami degradasi akibat eksploitasi pemupukan, yang merupakan program utama Badan Litbang Pertanian (ZAINIet al., 2002). Sistem integrasi

padi-ternak (SIPT) merupakan salah satu komponen dalam mendukung perbaikan lahan pertanian pada kondisi agro-ekosistem lahan sawah intensif (HARYANTO et al., 2002), yang didukung

pengembangan kelembagaan Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (SOENTOROet al., 2002). Kegiatan

tersebut cukup memiliki prospek usaha yang baik melalui pendekatan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) sebagai langkah efisiensi

usahatani, sehingga mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani.

Model usahatani integrasi tersebut berkembang ke arah komoditas tanaman perkebunan yang salah satunya adalah integrasi tanaman kakao dengan ternak kambing di Provinsi Lampung yang cukup potensial dalam mendukung ekonomi rumahtangga (PRIYANTO et al., 2004). Sistem pertanian terpadu selanjutnya lebih

berkembang lagi dengan memasukkan komponen ternak di dalam sistem usahatani (farming system) dan

terakhir sistem tanaman-ternak (crop livestock system).

Di dalam model usahatani, ternak diintegrasikan dengan tanaman pangan untuk mencapai kombinasi optimal, sehingga input produksi menjadi lebih rendah (low input)dengan tidak mengganggu tingkat produksi

yang dihasilkan. Prinsip menekan resiko usaha karena adanya divesifikasi usaha dan kelestarian sumberdaya lahan menjadi titik perhatian dalam model ini (DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN, 2004).

Di sisi lain, kasus penanganan limbah pertanian dan perkebunan (khususnya kakao) sampai saat ini masih merupakan kendala dalam pelaksanaan di tingkat petani. Beberapa kendala diantaranya adalah keterbatasan waktu, tenaga kerja, dan keterbatasan areal pembuangan. Limbah perkebunan masih belum banyak dimanfaatkan walaupun di beberapa lokasi memiliki potensi sebagai bahan baku pakan ternak maupun bahan baku kompos. Limbah kulit kakao pada umumnya dibuang petani di sekitar kebun dan berpotensi sebagai media pengembangan hama

penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella)

yang sangat merugikan petani (FAJARet al., 2004). Hal

ini menunjukkan bahwa limbah kulit kakao belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak. Beberapa lokasi telah mengaplikasikan pemanfaatan limbah kulit kakao untuk kambing (Provinsi Lampung) sebagai bahan pakan yang dapat memberikan keuntungan bagi peternak. Berbagai sosialisasi pengembangan model usahatani di lapang dalam mengintroduksikan inovasi tersebut perlu dilakukan secara terus menerus.

Model usahatani integrasi kakao-kambing merupakan salah satu bentuk pengembangan integrated farming system seperti crop livestock systems (CLS),

dimana kedua usaha tersebut akan menciptakan pola usaha yang sinergis melalui efisiensi usaha (perkebunan kakao dan usahaternak kambing). Hal ini juga sekaligus berdampak terhadap peningkatan nilai tambah pendapatan rumahtangga petani di pedesaan. Kondisi demikian membuka peluang dalam program pengembangan usaha peternakan yang mampu memanfaatkan limbah kulit kakao sebagai pakan ternak. Model usahatani integrasi yang tepat perlu dilihat dari komoditas ternak yang mampu memanfaatkan limbah kulit kakao, serta kemudahan petani dalam mengaplikasikan teknologi tersebut. Model usahatani integrasi ternak kambing pada perkebunan kakao rakyat perlu dikaji dengan tepat, sehingga mampu tercipta pola usaha sinergis sebagai model pengembangan usahatani berkelanjutan berbasis tanaman perkebunan kakao dan ternak kambing.

POTENSI SUBSEKTOR PERKEBUNAN SEBAGAI PELUANG PENGEMBANGAN

PETERNAKAN

Beberapa komoditas tanaman perkebunan memiliki potensi dalam mendukung model sistem integrasi dengan komoditas peternakan. Areal lahan perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit dan lainnya cukup potensial dalam mendukung perkembangan usaha peternakan. Potensi subsektor perkebunan dalam mendukung pengembangan usaha peternakan sebagai sumber pakan melalui sistem integrasi tanaman dan ternak dapat berupa: (1) Pemanfaatan lahan di antara tanaman perkebunan (karet, kelapa, kelapa sawit, jambu mente, cengkeh dan kopi), serta (2) Pemanfaatan limbah tanaman pokok maupun tanaman sela dan limbah pabrik (kelapa sawit, kelapa dan kakao) (SUBAGYONO, 2004).

Perkebunan rakyat memiliki peluang terbesar untuk menerapkan sistem integrasi dengan usaha peternakan. Perkembangan luasan lahan areal perkebunan rakyat pada periode tahun 2000 – 2004 menunjukkan peningkatan yang cukup besar, kecuali untuk perkebunan karet (menurun 9,9%). Potensi perkebunan yang menunjukkan perkembangan cukup tinggi adalah perkebunan kelapa sawit (55,3%), kakao (26,1%) dan vanili (13,57%) (Tabel 1). Secara umum hal ini menggambarkan bahwa peningkatan luas areal tersebut akan membuka peluang besar dalam mendukung pengembangan usaha peternakan melalui model integrasi. Potensi areal perkebunan hampir seluruhnya dapat dimanfaatkan dalam model integrasi usaha peternakan, khususnya pada areal perkebunan rakyat. Diperkirakan sekitar 10 juta ha areal perkebunan rakyat dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ternak ruminansia besar maupun kecil (SUBAGYONO, 2004). Secara rinci manfaat sistem

(3)

Tabel 1. Perkembangan luas tanaman perkebunan rakyat tahun 2000 – 2004 (000 ha) Tahun Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004 Pertumbuhan 2000 – 2004 Karet 3.046 2.838 (-6,83) 2.825 (-0,46) 2.797 (-0,99) 2.769 (-1,0) -9,09 Kelapa 3.601 2.819 (6,05) 3.806 (-0,34) 3.803 (-0,79) 3.807 (0,11) 5,72 Kelapa sawit 1.190 1.566 (31,59) 1.808 (15,45) 1.827 (1,05) 1.846 (1,03) 55,13 Kopi 1.321 1.259 (-4,69) 1.318 (4,68) 1.327 (0,68) 1.343 (1,20) 1,66 Kakao 641 708 (10,45) 798 (12,71) 801 (0,38) 809 (0,99) 26,21 Teh 67 67 (0) 66 (-1,49) 63 (-4,54) 69 (9,52) 2,98 Jambu mete 572 558 (-2,44) 568 (1,78) 571 (0,53) 577 (1,05) 0,87 Lada 150 185 (23,33) 203 (9,72) 203 (0) 204 (0,49) 36,00 Vanili 14 14 (0) 15 (7,14) 15 (0) 15,9 (6,00) 13,57 ( ): Menunjukkan pertumbuhan tahun sebelumnya (%)

Sumber: BADAN PUSAT STATISTIK (2005)

integrasi tanaman dan ternak antara lain: (1) Meningkatkan diversifikasi usaha terhadap kotoran ternak, (2) Peningkatan nilai tambah dari tanaman atau hasil ikutannya, (3) Mempunyai potensi mempertahankan kesehatan dan fungsi ekosistem, dan (4) Mempunyai kemandirian usaha yang tinggi dalam penggunaan sumberdaya mengingat nutrisi dan energi saling mengalir antara tanaman dan ternak (MAKKA,

2004).

Prospek pengembangan model integrasi cukup memberikan keberhasilan, misalnya perkebunan sawit dengan ternak sapi mampu menampung 300 ribu ekor sapi di Provinsi Bengkulu. Peranan sapi adalah membantu pengangkut hasil panen sawit (tandan buah segar) sehingga kapasitas angkut meningkat dan mampu meningkatkan pendapatan petani sekitar Rp. 900.000 – Rp. 1.200.000/bulan, disamping sebagai sumber kompos untuk pupuk tanaman kelapa sawit (GUBERNUR PROVINSI BENGKULU, 2004). Pola integrasi melalui konsep Sistem Tiga Strata (STS) hasil

pengamatan NITIS et al. (2004), melalui pendekatan

terpadu antara tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan peternakan dengan memanfaatkan kotoran kambing mampu meningkatkan daya dukung pakan ternak (hijauan) berupa leguminosa (91%), produksi palawija (13%), hortikultura jeruk (13%), dan kelapa (9%). Produktivitas Sapi Bali meningkat 13% dengan bobot hidup 375 kg, meningkatkan daya dukung

(stocking rate) pada waktu musim hujan dan kering (45

vs 30%), serta daya tampung ternak (carrying capacity)

mencapai 52% lebih besar dibandingkan pada perlakuan kontrol.

POTENSI PERKEBUNAN KAKAO SEBAGAI PELUANG INTEGRASI DENGAN TERNAK

KAMBING

Kulit kakao merupakan salah satu bahan pakan ternak kambing yang cukup memberikan prospek terciptanya model integrasi kakao-kambing. Kulit kakao mampu mengurangi porsi pemberian rumput yang harus disediakan peternak khususnya pada usaha pola intensif (dikandangkan penuh) (PRIYANTO et al.,

2004). Daya dukung kulit kakao sebagai salah satu

sumber bahan pakan ternak ditentukan oleh produksi kakao yang dihasilkan per satuan luas, serta distribusi produksi sepanjang tahun, karena tanaman kakao merupakan komoditas tanaman tahunan. Tingkat produksi kakao cukup bervariasi, dimana dalam 2 – 3 bulan terjadi puncak produksi dan bulan-bulan lainnya berproduksi rendah tergantung dari kondisi wilayah. Sebagai contoh, di wilayah pantai Barat Sulawesi, puncak produksi dicapai selama 3 bulan (April s/d Juni) yang masing-masing mencapai 20, 25 dan 15% produksi, sedangkan pada bulan-bulan lainnya hanya mencapai rataan sekitar 4 – 6% (FAJAR et al., 2004).

Tingkat produksi kakao sangat bervariasi tergantung dari potensi bibit dan manajemen pemeliharaan oleh petani, yang akan berpengaruh terhadap produksi kulit kakao yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak kambing. Data perkembangan produksi kakao secara nasional masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkembangan populasi ternak kambing (52,6 vs 6,97%) yang hal tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat peluang yang besar dalam penerapan model usahatani integrasi tanaman kakao dengan usahaternak kambing (Tabel 2).

(4)

Tabel 2. Perkembangan produksi tanaman kakao rakyat dan populasi ternak kambing Tahun Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004 Pertumbuhan 2000 – 2004 Produksi kakao (*) (000 ton) 353,6 560,4 (58,48) 511,4 (-0,87) 512,3 (0,17) 539,6 (5,32) (52,60) Populasi kambing (**) (000 ekor) 12.566 12.464 (-0,81) 12.549 (0,68) 12.722 (1,38) 13.442 (5,66) (6,97) ( ): Menunjukkan pertumbuhan tahun sebelumnya (%)

Sumber: (*) BADAN PUSAT STATISTIK (2005) (**) DITJEN PETERNAKAN (2006)

Penerapan model usahatani integrasi kakao-kambing di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa peternak mampu memberikan kulit kakao sebagai pakan ternak kambing dewasa mencapai 1 – 2 kg/ekor/hari. Sebagian besar peternak menyatakan bahwa hal ini mampu menghemat tenaga kerja dalam hal penyediaan pakan hijauan mencapai 50%. Ternak kambing sangat menyukai kulit kakao, dan hal ini dapat dipergunakan sebagai langkah antisipasi kekurangan pakan hijauan (PRIYANTO et al., 2004). Puncak

produksi kakao di Provinsi Lampung dalam satu tahun dicapai selama 2 bulan (April dan Mei), masing-masing mencapai 20 – 30% (160 – 240 kg/ha) dari total produksi tahunan, sedangkan pada bulan-bulan lainnya hanya mencapai sekitar 5%. Berdasarkan produksi kakao yang dihasilkan, dapat digambarkan potensi limbah kulit kakao yang tersedia, dan daya dukung pakan untuk ternak kambing terlihat pada Tabel 3.

Dalam memperhitungkan potensi daya dukung kulit kakao sebagai pakan ternak kambing diperlukan tingkat kontinuitas produksi dan keberlanjutan penyediaan pakan sepanjang tahun. Produksi kakao kering tergantung dari spesifik lokasi, pada lokasi perkebunan rakyat di Donggala mencapai 880 kg kering/ha/tahun dengan jarak tanam 3 x 3 m. Dengan konversi bahwa kakao kering mencapai 50% kakao basah, maka kakao basah yang dihasilkan sebesar: 100/50 x 880 kg = 1.760 kg/ha/tahun. Proporsi kulit kakao dan kakao basah mencapai 65 : 35%, maka produksi kulit kakao mencapai: 65/35 x 1.760 kg =

3.268,6 kg/ha/tahun. Hasil pengamatan pada kondisi peternakan rakyat di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa setiap satu ekor kambing dewasa mampu mengkonsumsi kulit kakao sebanyak 1,5 kg/ekor/hari, maka untuk setiap 1 ha kebun kakao memiliki potensi daya dukung sebesar 6,05 ekor kambing dewasa. Dengan kata lain, jika peternak ingin mempertahankan kontinuitas pakan kulit kakao sepanjang tahun, maka dalam 1 ha kebun kakao dapat dipelihara 6,05 ekor ternak kambing dengan rata-rata pemberian 1,5 kg/ekor/hari.

KETERSEDIAAN KULIT KAKAO SEBAGAI PENDUKUNG PAKAN TERNAK

Tanaman kakao mampu berproduksi sepanjang tahun, tetapi produksi buah kakao tersebut tidak merata sepanjang tahun, sehingga akan mempengaruhi potensi produksi kulit kakao (Gambar 1). Dengan asumsi bahwa petani memiliki areal satu hektar kebun kakao, dan tidak ada peluang memperoleh kulit kakao dari petani lain, maka rataan potensi kulit kakao bulanan sebanyak 342 kg (daya dukung 6,05 ekor). Distribusi produksi tertinggi terjadi pada bulan Maret sampai dengan Juni (sekitar 3 bulan). Potensi produksi rendah terjadi pada bulan Juli sampai dengan bulan Februari, sehingga terlihat terjadi over supply produk kulit kakao

pada bulan Maret s/d Juni. Kondisi minimal produksi kulit kakao sebesar 136 kg yang hanya mampu Tabel 3. Perhitungan daya dukung kulit kakao dalam mendukung ketersediaan pakan kambing

Uraian Cara perhitungan Hasil perhitungan

Buah kakao kering 1.100 pohon x 0,8 kg 880 kg/ha/tahun

Buah kakao basah 100/50 x 880 kg 1.760 kg/ha/tahun

Produksi kulit kakao 65/35 x 1760 kg 3.268,6 kg /ha/tahun Kebutuhan kulit kakao 1,5 kg x 360 hari 540 kg/tahun/ekor Daya dukung kulit kakao 3.268,6/540 6,05 ekor kambing/ha kakao Sumber: FAJAR et al. (2004)

(5)

0 200 400 600 800 1000 1200 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan K ulit k aka o ( kg ) Aktual Rataan

Gambar 1. Ketersediaan kulit kakao sepanjang tahun pada kondisi petani di Kabupaten Dongggala Sumber: FAJAR et al. (2004)

menampung setara 3 ekor kambing. Dalam jangka panjang diperlukan teknologi pengolahan kulit kakao melalui pengawetan (fermentasi) dalam mendukung kebutuhan pakan ternak kambing secara berkelanjutan sepanjang tahun untuk mendukung kapasitas optimal (6,05 ekor). Kondisi tersebut diperlukan apabila kondisi daya dukung (pemilikan lahan kakao petani terbatas) dan tidak mampu memperoleh dari petani lain. Dalam kasus di Provinsi Lampung, petani dapat memanfaatkan kulit kakao dari petani lainnya, disamping skala pemilikan lahan yang cukup luas sehingga kebutuhan dapat terpenuhi (PRIYANTOet al.,

2004). Berdasarkan dari data yang ada daya dukung kulit kakao masih sangat berlebih dilihat dari rasio laju populasi kambing dan produksi kakao, sehingga masih terbuka luas peluang model usahatani integrasi ternak kambing secara berkelanjutan.

MODEL SISTEM INTEGRASI PERKEBUNAN KAKAO DENGAN TERNAK KAMBING Skala usaha pemeliharaan

Secara umum usahaternak kambing dilakukan dengan 2 pola usaha, yakni pola penggembalaan dan pola intensif (dikandangkan penuh) dimana petani mempersiapkan pakan sesuai jumlah kambing yang dipelihara. Pada pola penggembalaan petani mampu memelihara dalam skala yang lebih besar dibandingkan dengan pada pola intensif karena pertimbangan tenaga kerja mengambil rumput. Dalam model usahatani integrasi, pemeliharaan disarankan dilaksanakan dengan pola intensif. Kondisi ini mempertimbangkan beberapa aspek diantaranya adalah daya dukung pakan, ketersediaan tenaga kerja keluarga, dan kapasitas daya tampung kandang.

Skala usaha yang direkomendasikan minimal sebanyak 5 induk untuk setiap petani dengan 1 pejantan pada 2 – 3 petani (secara berkelompok), dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Pemeliharaan 5 ekor induk, maka kapasitas tampung kandang secara kontinyu mencapai maksimal 13 ekor, dengan asumsi penjualan anak dilakukan pada umur 8 bulan. Hal ini memerlukan kandang dengan luas sekitar 13 m2. Berdasarkan hasil pengamatan jumlah anak sekelahiran (litter size) sebesar 1,71 ekor, tingkat kematian anak 5%

pada kasus kambing Peranakan Etawah (PE) kondisi pedesaan (SUBANDRIYOet al., 1995), lama

kebuntingan 5 bulan dan kondisi siap kawin kembali 3 bulan (jarak beranak mencapai 8 bulan), dengan penjualan anak rutin umur 8 bulan, maka kapasitas maksimal ternak kambing yang ada di kandang mencapai 13 ekor (Gambar 2).

2. Daya dukung maksimal kulit kakao dengan pemilikan areal 1 ha adalah sekitar 6 ekor, dengan pemberian 1,5 kg/hari. Target ideal dengan skala 5 ekor induk adalah petani memiliki lahan kakao seluas 1,5 ha. Apabila pemberian kulit kakao dikurangi menjadi 1 kg/ekor, maka dalam areal 1 ha kebun kakao berpeluang memberikan daya dukung sebesar 9 ekor kambing, dengan konsekuensi komposisi hijauan yang diperbanyak yang dapat diperoleh dari lahan kebun kakao (tanaman pelindung).

3. Pemeliharaan dengan skala 5 induk, jumlah anak yang dilahirkan mencapai 8 ekor selama 8 bulan, sehingga selama satu tahun mampu menghasilkan anak 12 ekor. Hal demikian secara periodik petani mampu melakukan penjualan setara 1 ekor setiap bulan. Kondisi ini menuntut dilakukan program perkawinan yang tepat waktu dengan

(6)

Gambar 2. Siklus produksi kambing dengan skala induk 5 ekor pada kondisi petani yang terintegrasi dengan perkebunan kakao rakyat

memperhatikan siklus berahi ternak, sehingga target penjualan produksi anak dapat tercapai.

4. Produksi kompos yang dihasilkan sekitar 4 kg/hari (0,3 kg/ekor/hari) pada skala 13 ekor kambing, akan diperoleh 120 kg/bulan. Kompos tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman kakao sekitar 20 pohon (rataan 6 kg/pohon), yang secara bertahap akan mampu mendukung peningkatan produktivitas, maupun efisiensi input

produksi pada usahatani kakao petani. Manajemen pemeliharaan

Perkandangan

Kandang dibuat dengan sistem panggung pada ketinggian minimal 75 cm, sehingga peternak mudah dalam pengambilan kotoran ternak yang dipersiapkan diolah sebagai kompos (pupuk tanaman). Ukuran kandang disesuaikan dengan kapasitas tampung maksimal berdasarkan skala 5 ekor induk (13 ekor maksimal). Tipe kandang adalah kandang kelompok, maupun individual dengan ukuran luas kandang sekitar 1 m2/ekor (13 m2), yang dilengkapi dengan tempat pakan, dan tempat penyimpanan pakan hijauan (LUDGATE, 1989). Alas kandang dibuat dari belahan

bambu atau kayu dengan jarak sekitar 1 cm, sehingga kotoran dapat langsung jatuh ke bawah kandang. Pada kandang individual dilengkapi dengan sekat bambu/papan khususnya kandang ternak jantan. Di bawah kandang dilengkapi dengan kolong tempat penampung kotoran (pit) yang terhindar dari genangan air hujan (ditanggul), sehingga kotoran tetap kering dan akan memudahkan dalam prosesing kompos.

Manajemen pakan

Sistem pemeliharaan dilakukan pola intensif, dimana penyediaan pakan dilakukan oleh peternak (cut and carry). Pakan yang diberikan berupa hijauan yang

bersumber tanaman naungan kakao berupa leguminosa pohon (Lamtoro dan Gliricidia), ataupun yang dikembangkan sebagai pagar perkebunan kakao. Pakan utama yang tersedia tiap hari berupa kulit kakao segar dengan dipotong/dicacah ukuran sekitar 1 x 3 cm. Pemberian hijauan sekitar 2 – 3 kg/ekor/hari, dan kulit kakao sekitar 1 – 1,5 kg/ekor/hari untuk kambing dewasa. Dalam pola integrasi tersebut dipertimbangkan berdasarkan kemudahan petani dalam penggunaan pakan yang ada. Apabila diperlukan dalam jangka kedepan dalam antisipasi over suply kulit kakao perlu

dilakukan fermentasi khususnya untuk penyediaan saat tidak terjadi musim panen raya. BAKRIE et al. (1999)

melaporkan bahwa pemanfaatan kulit kakao sampai 30%, dengn kombinasi hijauan (leguminosa), dan tambahan mineral blok pada kambing dara PE di peternakan rakyat mampu meningkatkan pertambahan bobot hidup per ekor dari 38 g menjadi 78 g/hari. PRABOWO dan BAHRI (2003, unpublished) juga

menyatakan bahwa peranan kulit kakao cukup potensial mendukung pertumbuhan kambing PE yakni diperoleh pertambahan bobot badan harian sebesar 76,8 g/ekor dan 58,6 g/ekor masing-masing pada kambing jantan dan betina dengan pakan kulit buah kakao 30 – 70% yang didukung suplemen pakan lengkap.

Sistem perkawinan

Dalam mendukung sistem perkawinan ternak untuk langkah efisiensi penggunaan pejantan, maka Total

5 induk anak I total 13 ekor Induk 5 + lahir 8 Induk 5 + lahir 8 anak II jual anak I (8 ekor) total 13 ekor

Induk 5 + lahir 8 anak III jual anak II (8 ekor) total 13 ekor

Kawin I Kawin II Kawin III

---5 bulan ---- II --3 bulan--II --- 5 bulan ---- II -- 3 bulan-- II ---- 5 bulan ---- II ---- Kebuntingan II---- jarak beranak 8 bulan ----II ---- jarak beranak 8 bulan ---- II --- II==I==I==I==I==II==I==I==II==I==I==I==I==II==I==I==II==I==I==I==I==II= Bulan

(7)

dari 2 – 3 peternak yang berdekatan disediakan 1 pejantan yang dikelola secara kelompok. Sistem perkawinan sebaiknya dilakukan dengan cara menyatukan pejantan pada kandang di masing-masing petani selama 1 – 1,5 bulan (dicampur) dengan sistem pergiliran (rotasi). Secara langsung dengan disatukan antara ternak jantan pada kelompok betina dalam waktu tersebut akan terjadi 2 siklus berahi (siklus berahi 21 hari), sehingga betina yang menunjukkan tanda berahi akan langsung dapat dikawini oleh pejantan. Selanjutnya pejantan dipindahkan pada petani lainnya, sehingga dalam siklus bunting 5 bulan akan kembali pada perputaran pada peternak semula.

Sistem perkawinan juga dapat diatur sesuai kehendak petani apabila dikehendaki periode kelahiran yang periodik (misalnya 1 bulan sekali). Hal ini memerlukan waktu yang tepat dalam mengatur perkawinan sesuai ketepatan berahi ternak, sehingga anak yang dilahirkan terjadi secara periodik, sehingga penjualan anak dapat secara rutin, dan mampu diciptakan pendapatan rutin (reguler). Perguliran sistem perkawinan dilakukan dengan meminjam pejantan untuk kawin pada saat terdapat tanda-tanda betina berahi. Kondisi demikian memerlukan pembekalan tentang tanda-tanda berahi kepada peternak, sehingga pada saat betina berahi dapat dikawinkan dengan tepat waktu, sehingga dicapai jarak beranak sesuai target (8 bulan).

Penjualan

Penjualan ternak hasil kelahiran anak sebaiknya dilakukan pada saat umur 8 bulan. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa kondisi ternak tersebut telah memenuhi persyaratan bobot jual (15 – 20 kg) kasus pada kambing PE di peternakan rakyat (SUBANDRIYO et al., 1995), sekaligus membatasi

jumlah populasi ternak dalam kandang. Dalam periode ini telah terdapat kelahiran anak periode berikutnya, dengan melakukan penjualan kapasitas kandang relatif tetap (maksimal 13 ekor). Pembatasan kapasitas tampung kandang tersebut perlu dipertahankan dalam rangka antisipasi kepadatan ternak dalam kandang, antisipasi kecukupan pakan, serta alokasi tenaga kerja pemeliharaan. Dengan target skala induk dan sistem perkawinan yang tepat dapat diprogramkan penjualan ternak secara kontinu sebanyak 12 ekor per tahun yang dapat diatur sesuai keinginan petani.

MODEL INTEGRASI KAKAO – KAMBING DAN ANALISIS EKONOMI

Model usahatani integrasi kakao-kambing diharapkan terjadi sinergisme antara kedua komoditas tersebut guna memberikan nilai ekonomis yang lebih optimal, sekaligus mampu meningkatkan pendapatan

Gambar 3. Diagram alir input output model usahatani integrasi kakao-kambing Efisiensi pakan/

tenaga kerja

Efisiensi tenaga kerja Tenaga kerja Tenaga kerja - Peningkatan produksi - Peningkatan pemupukan - Menurunnya penyakit PBK Jual Jual Jual Rumah tangga

Usahatani kakao Usahaternak kambing

Leguminosa

tanaman pelindung Sumber pakan PASAR Kotoran Kompos pupuk segar Kulit kakao

- Peningkatan produksi dan pendapatan usahatani kakao - Peningkatan pendapatan usahaternak kambing Buah kakao

(8)

petani. Perkebunan kakao memberikan dukungan pakan terhadap ternak kambing, sebaliknya ternak kambing dapat menghasilkan kotoran sebagai sumber bahan organik untuk pupuk tanaman kakao. Konsep ini akan menciptakan pola efisiensi usaha baik efisiensi

input sumberdaya usahatani dan efisiensi alokasi

tenaga kerja keluarga (Gambar 3).

Pola efisiensi usaha ternak kambing terjadi pada pemanfaatan kulit kakao dan hijauan tanaman pelindung kakao (leguminosa) yang mampu menghemat alokasi tenaga kerja dalam penyediaan pakan mencapai 50%. Sebaliknya pola efisiensi

pengelolaan kebun kakao terjadi pada penghematan biaya penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk tanaman kakao yang mencapai 40%, di samping penjualan pupuk kandang yang telah banyak dilakukan peternak di Provinsi Lampung (PRIYANTOet al., 2004).

Pada analisis usahatani model integrasi kakao – kambing tersebut dilakukan pada kondisi areal kebun kakao seluas 1,5 ha, berdasarkan kemampuan daya tampung pemeliharaan skala 5 ekor induk. Dengan penerapan model usahatani integrasi secara umum mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani (Tabel 5). Pada usahatani kakao, dengan adanya Tabel 5. Analisis ekonomi model usahatani integrasi kakao-kambing

Usahatani komoditas tunggal (luas 1,5 ha) Usaha multi komoditas (integrasi kakao-kambing) (luas 1,5 ha dan 5 ekor induk kambing)

Usaha kakao Usaha kakao

Penerimaan 1200 kg x Rp. 12.000 = Rp. 14.400.000 Penerimaan meningkat 20 % (dampak

pemupukan) 1.440 kg x Rp 12.000 = Rp. 17.280.000

Biaya Biaya

Pupuk: tanpa pupuk kompos Pupuk: menggunakan kompos dari kambing

Obat = Rp. 500.000 Obat: hama PBK menurun 50% = Rp. 250.000 Tenaga kerja: 2 jam x 360 hari/5 jam/

HOK x Rp. 20.000

= Rp. 2. 880.000 Tenaga kerja: 2 jam x 360 hari/5 jam/ HOK x Rp. 20.000

= Rp. 2.880.000

Pendapatan = Rp. 11.020.000 Pendapatan = Rp. 14.150.000

Usaha ternak kambing (tidak ada) Usaha ternak kambing

Penerimaan (jual anak): 8 ekor selang 8

bulan 12/8 x 8 ekor x Rp. 300.000 = Rp. 3.600.000

Biaya tetap:

Bibit induk = 5 x Rp. 400.000 = Rp. 2.000.000 Bibit jantan = 1 (3 peternak) = 1/3 x

Rp. 600.000

= Rp. 200.000 Kandang (pakai 5 tahun) = Rp. 500.000 Penyusutan/tahun = Rp. 100.000

Biaya tidak tetap:

Pakan: hijauan + kulit kakao (tidak beli)

Obat: 13 x Rp. 10.000 = Rp. 130.000 Tenaga kerja: 1 x 360 hari/5 jam/

HOK x Rp.20.000

= Rp. 1.440.000 Pendapatan bersih usahaternak = Rp. 1. 930.000 Total pendapatan = Rp. 11.020.000 Total pendapatan = Rp. 16.080.000

Dampak sistem integrasi/petani/tahun Rp. 5.060.000 berasal dari Usahatani kakao = Rp. 3.130.000

Usahaternak kambing = Rp. 1.930.000

Peningkatan pendapatan pola integrasi = 5.060.000/11.020.000 = 45,9 % Incremental Benefit Cost Ratio (IBCR) = ∆ output/∆ input = 5.060.000/4.070.000 = 1,24 Dengan penambahan input biaya 1 satuan akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar 1,24

- Luas areal 1,5 ha disesuaikan dengan kemampuan daya dukung kulit kakao dan kapasitas skala usaha (5 induk atau skala 13 ekor kambing)

(9)

Gambar 4. (A) Perawatan kebun kakao melalui program pemupukan kompos dari kotoran kambing di Donggala (B) Kulit kakao yang dicacah dan siap digunakan sebagai pakan ternak

penambahan kompos sebagai pupuk tanaman kakao dapat meningkatkan produktivitas mencapai 20% (FAJAR et al., 2004), dan pendapatan mencapai

Rp. 3.130.000 lebih tinggi dibandingkan pada usahatani komoditas tunggal (kakao). Usahaternak kambing mampu memberikan kontribusi Rp. 1.930.000/petani/ tahun, dengan memanfaatkan sumber pakan dari hijauan (tanaman peneduh) berupa leguminosa, dan limbah kulit kakao yang tidak dimanfaatkan. Dampak penerapan model integrasi secara umum memberikan tambahan pendapatan bagi petani mencapai Rp. 5.060.000 per tahun.

Penerapan model integrasi memberikan dampak peningkatan pendapatan mencapai 45,9%, dan hasil perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa dengan penambahan satu satuan input akan menghasilkan pendapatan 1,24 kali lebih besar (IBCR = 1,24). Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penerapan model integrasi dapat memberikan tambahan kontribusi pendapatan petani. Model integrasi ternak kambing pada sistem perkebunan kakao rakyat mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 17,45% di Kabupaten Lampung Utara (PRIYANTO et al., 2004). Demikian pula model

integrasi lainnya dilaporkan KARTAMULIAet al. (1993)

bahwa dengan paket kredit 4 ekor induk domba yang diintegrasikan di perkebunan karet mampu meningkatkan pendapatan sebesar 12%. HORNE et al.

(1994) pada kondisi manajemen sama dengan skala 20 ekor induk per peternak, mampu meningkatkan pendapatan mencapai 25%. Secara umum pola integrasi tanaman-ternak telah menunjukkan prospek yang positif dalam mendukung pendapatan petani di pedesaan.

Permasalahan penerapan model usahatani integrasi kakao-kambing dan rekomendasi pemecahan

Penerapan model usahatani integrasi kakao dan kambing ditinjau dari aspek manajemen pemeliharaan dan konsekuensi dalam pemanfaatan kulit kakao sebagai pakan ternak tersebut masih terdapat beberapa kendala di lapang diantaranya:

1. Pengelolaan sistem manajemen pola intensif yang terintegrasi secara berkelanjutan belum banyak dikenal petani. Hal demikian perlu dilakukan sosialisasi/pembinaan secara rutin dan serius untuk meyakinkan bahwa sistem integrasi tersebut mampu mendukung konsep ”multi usaha”

(kakao-kambing), dan mampu tercipta pola efisiensi usahatani, serta berdampak terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga petani.

2. Potensi daya dukung baik hijauan (leguminosa) maupun kulit kakao sebagai pakan basal ternak kambing masih memiliki daya dukung cukup besar. Penerapan pemberian pakan tersebut patut diperhitungkan secara berkelanjutan. Tingkat produksi kakao yang tidak merata sepanjang tahun, berimplikasi terhadap fluktuasi ketersediaan kulit kakao. Hal tersebut dapat diatasi pada saat musim panen kakao rendah, peternak dapat memanfaatkan kulit kakao hasil panen petani lain yang tidak memelihara ternak kambing (kasus Provinsi Lampung), sehingga secara berkelanjutan mampu terpenuhi sepanjang tahun. Diperlukan inovasi teknologi pengawetan kulit kakao (teknologi pengolahan/fermentasi) yang diterapkan dalam memenuhi kebutuhan sepanjang tahun.

A

B B

(10)

3. Pada buah kakao yang terserang penyakit penggerek buah kakao (PBK), mengakibatkan kulit kakao terjadi pengerasan, sehingga akan menurunkan tingkat palatabilitas kambing. Perlu solusi program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara rutin sehingga dihasilkan kulit yang relatif bagus dan mampu secara optimal dikonsumsi ternak, sekaligus upaya peningkatan produksi. 4. Kulit kakao yang sudah dikupas selama 3 hari

menyebabkan terjadi bau yang tidak sedap sehingga kambing kurang menyukai. Untuk mengatasi hal tersebut dalam pemberian dilakukan pengupasan secara bertahap disesuaikan dengan kapasitas kebutuhan pakan harian, sehingga kulit kakao tidak terbuang.

KESIMPULAN

Dalam implementasi model usahatani integrasi kakao-kambing dapat disimpulkan bahwa:

1. Perkebunan kakao rakyat memiliki prospek dalam mendukung model usahatani integrasi dengan ternak kambing. Potensi daya dukung mencapai 6,05 ekor dalam areal luasan 1 ha, berdasarkan pertimbangan kebutuhan pakan dari limbah kulit kakao sebesar 1,5 kg/ekor/hari pada kambing dewasa.

2. Skala usaha yang direkomendasikan adalah minimal 5 ekor induk/peternak, berdasarkan pertimbangan kebutuhan pakan dari perkebunan kakao yang dimiliki petani adalah 1,5 ha. Skala pemeliharaan maksimal di kandang peternak mencapai 13 ekor (berbagai umur), dengan target penjualan anak pada umur 8 bulan. Hal demikian cukup rasional dengan sumberdaya kepemilikan areal perkebunan kakao di tingkat petani dan daya dukung tenaga kerja keluarga yang tersedia.

3. Model usahatani integrasi sangat mendukung pola diversifikasi komoditas (kakao dan kambing), yang mampu saling mendukung di kedua subsektor usaha. Model tersebut mampu tercipta pola efisiensi usaha di kedua sektor usaha. Model tersebut berdampak terhadap peningkatan produktivitas usaha, sekaligus mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 45,9%, dengan nilai IBCR mencapai 1,24.

DAFTAR PUSTAKA

BADAN PUSAT STATISTIK. 2005. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

BAKRIE, B., A. PRABOWO, M. SILALAHI, E. BASRI, TAMBUNAN, SOERACHMAN, A. SUKANDA, T. KUSNANTO dan A. MARYANTO. 1999. Kajian Teknologi Spesifik Lokasi dalam Mendukung SPAKU Kambing. Laporan Akhir. LPTP Natar. Lampung. 25 hlm.

DITJEN PETERNAKAN. 2006. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

DIWYANTO, K. dan E. HANDIWIRAWAN. 2004. Peran Litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman-ternak. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP dan CASREN. hlm. 63 – 80.

FAJAR, U., SUKADAR, W. HARTUTIK, D. PRIYANTO, F.F. MUNIER, A. ARDJANHAR dan HERMAN. 2004. Pengembangan sistem usahatani integrasi kakao-kambing-hijauan pakan ternak di Kabupaten Donggala. Laporan Akhir. Kerjasama Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Puslitbang Peternakan, Puslitbang Tanah dan Agroklimat dan BPTP Sulawesi Tengah. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 219 hlm. GUBERNUR PROVINSI BENGKULU. 2004. Prospek

pengembangan sistem integrasi sapi-kelapa sawit di Provinsi Bengkulu. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 87–92.

HARYANTO, B., I. INOUNU, B. ARSANA dan K. DIWYANTO. 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 16 hlm.

HORNE, P.M. , R.M. GATENBY, L.P. BATUBARA and S. KARO-KARO. 1994. Research priorities for integrated tree cropping and small ruminant production systems in Indonesia. Pros. Seminar Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. hlm. 485 – 494.

KARTAMULIA, I., S. KARO-KARO and J. DE BOER. 1993. Economic Analysis of Sheep Grazing in Rubber Plantations. A Case Study of OPMM Membang Muda. Working Paper 145. SR-CRSP. Sei Putih, Sumatera Utara. hlm. 11 – 17.

LUDGATE. 1989. Kumpulan Peragaan dalam Usahaternak Domba di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak/Small Ruminant-Collaborative Research Support Program. Puslitbang Peternakan, Bogor. 167 hlm.

MAKKA, D. 2004. Prospek pengembangan sistem integrasi peternakan yang berdaya saing. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 18 – 31. NITIS, I.M., K. LANA dan A.W. PUGER. 2004. Pengalaman

pengembangan tanaman-ternak berwawasan lingkungan di Bali. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 44 – 52.

PRIYANTO, D., A. PRIYANTI dan I. INOUNU. 2004. Potensi dan peluang pola integrasi ternak kambing dan perkebunan kakao rakyat di Propinsi Lampung. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 381 – 388.

(11)

SOENTORO, M. SYUKUR, SUGIARTO, HENDIARTO dan H. SUPRIYADI. 2002. Panduan Teknis. Pengembangan Usaha Agribisnis Terpadu. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 17 hlm.

SUBAGYONO, D. 2004. Prospek pengembangan ternak pola integrasi di kawasan perkebunan. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 13 – 17.

SUBANDRIYO, B. SETIADI, D. PRIYANTO, M. RANGKUTI, W.K. SEJATI, D. ANGGRAENI, RIA SARI G.S., HASTONO dan S.O. BUTAR-BUTAR. 1995. Analisis Potensi Kambing Peranakan Etawah dan Sumberdaya di Daerah Sumber Bibit Pedesaan. Puslitbang Peternakan, Bogor. 112 hlm.

ZAINI, Z., I. LAS, SUWARNO, B. HARYANTO, SUNTORO dan E. ANANTO. 2002. Pedoman Umum. Kegiatan Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu 2002. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 24 hlm.

Gambar

Tabel 1. Perkembangan luas tanaman perkebunan rakyat tahun 2000 – 2004 (000 ha)  Tahun  Komoditas  2000 2001  2002  2003  2004  Pertumbuhan  2000 – 2004  Karet  3.046  2.838 (-6,83)  2.825 (-0,46)  2.797 (-0,99)  2.769 (-1,0)  -9,09  Kelapa   3.601  2.819
Tabel 3. Perhitungan daya dukung kulit kakao dalam mendukung ketersediaan pakan kambing
Gambar 1. Ketersediaan kulit kakao sepanjang tahun pada kondisi petani di Kabupaten Dongggala  Sumber: F AJAR  et al
Gambar 2.  Siklus produksi kambing dengan skala induk 5 ekor pada kondisi petani yang terintegrasi dengan perkebunan  kakao rakyat
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi oleh peternak sapi potong di Kecamatan Kuranji, di samping itu juga, untuk mengetahui proses adopsi

N Thalassemia Sideroblastik  Defisiensi Besi Penyakit Kronik Normositik normokromik Retikulosit  Anemia hemolitik Perdarahan Akut N/  Anemia Aplastik Leukemia, etc

Mie bakso adalah makanan jajanan yang disukai sampel baik pada kelompok yang tidak meng- alami sindrom pramenstruasi maupun pada kelompok yang mengalami sindrom

Catatan Pemegang Rekod ZULKEFLI B DOLLAH Tahun 1998 Sekolah SK CATOR AVENUE Masa/Jarak 13.2. 3255 MUHAMMAD DANISH AQIL BIN MOHD FAUZI SK

Sementara itu aspek lingkungan eksternal yang menjadi penguat pengembangan bahan ajar bahan ajar bercerita bermuatan nilai-nilai kewira- usahaan berbentuk CD interaktif yaitu

Karena itu, dibutuhkan sebuah sistem informasi yang baik yang mampu mensinergikan arus lalulintas informasi pada kedua departemen tersebut sehingga dalam proses produksi,

Pada kegiatan kali ini para dosen dan mahasiswa/i bekerja sama dengan PD Pasar Jaya untuk pengembangan program di Pasar Tradisonal PSPT Tebet, Jakarta Selatan

Kriteria inklusi review ini adalah artikel tentang aspek penyimpanan sediaan farmasi di rumah sakit; artikel yang diterbitkan dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir,