• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENAMBANGAN TANPA IZIN OLEH POLRES LANDAK (Tinjauan Yuridis-Sosiologis). OLEH: ABAS BASUNI, S.IK NPM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENAMBANGAN TANPA IZIN OLEH POLRES LANDAK (Tinjauan Yuridis-Sosiologis). OLEH: ABAS BASUNI, S.IK NPM."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENAMBANGAN TANPA IZIN OLEH POLRES LANDAK

(Tinjauan Yuridis-Sosiologis). OLEH:

ABAS BASUNI, S.IK NPM. A21207093

ABSTRACT

This thesis addresses the issue of law enforcement against criminal acts mining without permission by the Police at the hedgehog. approach is appropriate in the formulation of the problem that has been determined. The approach chosen in this study by using sociological juridical approach. Handling of criminal case that illegal gold mining resort police porcupine is already running as it should. In the framework of the rule of law, the general handling procedures together with other common criminal case. The tindaka-action taken by the district police in combating criminal acts Hedgehog illegal gold mining which are: preventive measures (preventive) and repressive measures (penindakkan). Action refresif conducted by the Police Kuantan Singingi include: (1) investigation, (2) conduct the investigation, (3) when sufficient elements of the police to arrest the suspect, but more often catching hand (4) to make arrests, (5 ) search, (6) confiscation. The factors that inhibit the Hedgehog Police in handling the criminal case of illegal gold mining include: (1) lack of public awareness (2) of miners backed up by a person who is not responsible (3) the suspect fled. Porcupine Police efforts made in dealing with the crime of illegal gold mining may be through: (1) raise awareness of the legal community (2) improving the performance of the unit and coordinated with all relevant stakeholders (3) seek and publish the list of People Search (DPO). Recommendation: The Police, Government, and indigenous and stakeholders should sit together to create an agreement and understanding to combat illegal gold mining activities. Legal education should always be given to the people so awareness of the law in that society increases. Police must act firmly and consistently to carry out their duties as law enforcement officers.

(2)

ABSTRAK

Tesis ini membahas masalah penegakan hukum terhadap tindak pidana penambangan tanpa izin oleh polres landak. metode pendekatan yang tepat sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditentukan. Metode pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis.Bahwa Penanganan perkara tindak pidana penambangan emas ilegal Kepolisian Resort Landak sudah berjalan sebagaimana mestinya. Dalam rangka penegakan hukum, secara umum prosedur penanganannya sama dengan perkara tindak pidana umum lainnya. Adapun tindaka-tindakan yang dilakukan oleh Polisi Resort Landak dalam memberantas tindak pidana penambangan emas ilegal yaitu berupa: tindakan preventif (pencegahan) dan tindakan refresif (penindakkan). Tindakan refresif yang dilakukan oleh Polres Kuantan Singingi meliputi : (1) melakukan penyelidikan, (2) melakukan penyidikan, (3) kalau sudah cukup unsur pihak kepolisian melakukan penangkapan kepada Tersangka, tetapi lebih sering melakukan tangkap tangan (4) melakukan penahanan, (5) penggeledahan, (6) penyitaan. Adapun yang menjadi faktor penghambat Polres Landak dalam menangani perkara tindak pidana penambangan emas ilegal meliputi : (1) kurangnya kesadaran hukum masyarakat (2) pelaku penambangan di back-up oleh oknum yang tidak bertanggung jawab (3) tersangka melarikan diri. Upaya yang dilakukan Polres Landak dalam menangani tindak pidana penambangan emas ilegal dapat melalui : (1) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat (2) meningkatkan kinerja satuan dan melakukan koordinasi dengan semua pihak terkait (3) mencari dan menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO). Rekomendasi : Pihak Kepolisian , Pemerintah, dan para pemangku adat serta masyarakat harus duduk bersama untuk membuat suatu kesepakatan dan kesepahaman untuk memberantas kegiatan tambang emas ilegal tersebut. Penyuluhan hukum harus selalu diberikan kepada masyarakat agar kesadaran terhadap hukum dalam masyarakat itu meningkat. Kepolisian harus bertindak tegas dan konsekuen dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum.

Kata Kunci: Penegakan Hukum, Terhadap, Tindak Pidana, Penambangan ,Tanpa Izin.

(3)

Latar Belakang

Kegiatan penambangan emas sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu sudah dilakukan oleh masyarakat, kegiatan itu dilakukan secara turun temurun hingga sampai saat ini. Berbagai aturan di bidang pertambangan mengamanatkan bahwa untuk kegiatan pertambangan rakyat dapat dilakukan di wilayah pertambangan rakyat, kemudian kegiatan pertambangan rakyat tersebut baru dapat dilakukan jika telah mendapat izin yaitu Surat izin Pertambangan Rakyat (SIPR) dari pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah daerah sesuai ketentuan yang berlaku1.

Maraknya aktivitas penambangan emas tanpa izin yang biasa dikenal dengan istilah Peti, tentunya membawa konsekuensi bagi lingkungan sekitarnya, di mana penggunaan berbagai bahan kimia dalam kegiatan tersebut akan membawa kerusakan dan perubahan ekosistem secara permanen jika tidak dilakukan dengan mematuhi ketentuan dalam batas ambang.

Dari data yang tercatat pada Dinas pertambangan dan Energi Kabupaten Landak2 terdapat sejumlah lokasi penambangan tanpa izin yang beroperasi terus menerus. Wilayah Cagar Alam Desa mandor Kecamatan Mandor yang berbatasan dengan makam Juang Mandor, luas lokasinya ± 100 hektar. Wilayah Pasir Panjang Desa Kayu Ara Kecamatan Mandor luas lokasi ± 50 hektar. Dusun Ugan Hilir Desa Nyin Kecamatan Ngabang sepanjang Sungai Belantian yang mengaliri sungai Tebedak menuju Sungai Landak, lokasi ± 3 hektar, dan Dusun

1

Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.

2

Data ini diambil dengan maksud hanya untuk membatasi lokasi yang tidak terlalu sulit dijangkau, data global tidak dimasukkan untuk memfokuskan pada kemampuan penulis.

(4)

Rangkat Pinggang Desa Sekais Kecamatan Jelimpo. Dusun Siba desa Belayuk Kecamatan Mempawah Hulu seluas ± 3 hektar.

Kenyataan menunjukkan bahwa pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan emas mengkhawatirkan, di mana sebagian air sungai sudah tidak layak digunakan lagi, selain menjadi keruh juga sebab kadar air raksa yang ada sudah tinggi. Dampak terkontaminasinya air sungai dapat menyebar luas. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan dalam proses pendulangan emas digunakan air raksa. Air raksa tersebut jika bercampur dengan lumpur akan menjadi zat sejenis racun yang bernama methylmercuri. Hal ini sangat berbahaya bagi manusia, sebab zat tersebut dapat mengakibatkan manusia terkena berbagai penyakit. Pada sisi inilah aturan berperan sebagai pengontrol agar kegiatan penambangan tidak menimbulkan efek yang merugikan manusia. Aturan yang memiliki sifat memaksa dan menakan yaitu hukum.

Dalam setiap masyarakat selalu terdapat system hukum, ada masyarakat ada hukum (ubi societas ubi ius). Hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama. Sebagai konsekuensinya, maka tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia. Penghormatan dan perlindungan manusia ini tidak lain merupakan pencerminan dari kepentingannya sendiri. Dalam penghormatan manusia ini terdapat persyaratan-persyaratan umum untuk berlakunya peraturan-peraturan hidup yang disediakan bagi manusia. Jadi hukum terdapat dalam masyarakat manusia.

Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan, hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,

(5)

menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.

Hukum itu tidak hanya hukum yang berupa undang-undang melainkan juga hukum kebiasaan rakyat setempat yang tidak tertulis, yang pada hakekatnya adalah suatu perangkat instrument yang berada di tangan sebuag institusi kekuasaan akan difungsikan untuk mengontrol perilaku warga dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seberapa ketatnya control itu, atau seberapa longgar control iyu, tidaklah mengurangi konsep yang diajukan oleh para teoritisi, bahwa pada hakekatnya hukum itu adalah instrument control. Sebagai instrument control, hukum ditenggarai oleh sifatnya yang koersif, tidak pernah berharap kesediaan warga untuk secara suka rela mematuhinya. Joshep S. Roucek mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya, hukum selalui dikenal dengan ancaman sanksi3.

Dalam struktur pemikiran hukum pidana, kejahatan dipandang dalam dua sisi, yaitu: Pertama, mala in se diartikan sebagai kejahatan yang dipersepsikan oleh manusia sebagai suatu perbuatan yang melanggar norma dan dipatuhi oleh manusia sejak kebudayaan manusia lahir atau pada hakekatnya perbuatan itu oleh manusia dipandang sudah jahat, contohnya membunuh, menganiaya, dan lain sebagainya. Kedua, mala in prohibita yaitu suatu perbuatan yang dulunya tidak dianggap sebagai kejahatan, namun melalui proses kriminalisasi ke dalam

3

Joshep S. Roucek, Social Control, dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, hal. 137.

(6)

bentuk hukum tertulis menjadi perbuatan yang jahat, contoh merambah hutan tanpa izin, menambang tanpa izin, dan lain sebagainya.

Kegiatan penambangan rakyat sudah sejak dahulu dilakukan oleh manusia dengan cara mendulang, secara norma masyarakat menilai kegiatan penambang bukan perbuatan kejahatan. Namun demikian dengan berkembangnya teknologi, orang meninggalkan dulang beralih dengan menggunakan mesin. Dulu tingkat pencedmaran air dan kerusakan lingkungan tidak melebihi ambang toleransi manusia, namun apa yang ada sekarang ini bahwa mekanisme mencari butiran emas tidak lagi mengindahkan kelestarian alam, kerusakan cenderung massiv tak terkendali. Melalui lembaga legislasi, kemudian perbuatan menambang dikonstruksi sebagai perbuatan yang harus dikontrol dan dikendalikan oleh

pemerintah melalui ketentuan yang ketat sehingga prosesnya diatur sedemikian rupa dan harus memperoleh izin. Perbuatan menambang yang tidak berizin lalu kemudian dikatagorikan sebagai kejahatan.

Lahirnya hukum pertambangan adalah wujud perlindungan Negara kepada rakyatnya sebagai implementasi dari hak menguasai Negara yang dianut dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh nagara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya lahir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 kemudian dipertegas dalam konsideran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 bagian menimbang huruf a

(7)

yang menyatakan bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.

Dalam memanfaatkan sumber daya alam khususnya bidang pertambangan seringkali dilakukan dengan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dikatagorikan melakukan kejahatan. Usaha-usaha penanggulangan masalah kejahatan telah banyak dilakukan dengan berbagai cara, namun hasilnya belum memuaskan. Hal ini terkait dengan pendapat yang dikemukakan oleh Habib Ur Rahman Khan dalam tulisannya yang berjudul Prevention of Crime-it is Society Which Needs the Treatment and not the

Criminal sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief4, yaitu:

“Dunia modern sepenuhnya menyadari akan problem yang akut ini (maksudnya problem tentang kejahatan), orang demikian sibuk melakukan penelitian, seminar-seminar, konferensi-konferensi internasional dan menulis buku-buku untuk mencoba memahami masalah kejahatan dan sebab-sebabnya agar dapat mengendalikannya. Akan tetapi hasil bersih dari semua usaha ini adalah sebaliknya, kejahatan bergerak terus”.

Salah satu usaha penanggulangan kejahatan adalah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian usaha inipun masih sering dipersoalkan. Perbedaan mengenai peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan ini, menurut Inkeri Anttila telah berlangsung

4

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 16-17.,

(8)

berates-ratus tahun, dan menurut Herbert L. Packer sebagaimana dikutip oleh Barda nawawi Arief5, bahwa usaha pengendalian perbuatan anti social dengan menggunakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana merupakan suatu persoalan social yang mempunyai dimensi hukum yang penting.

Hukum selalu dikatakan untuk menciptakan rasa keadilan. Sejalan dengan hal tersebut, Gustav Radbruch sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo6 memberi nilai-nilai dasar hukum menjadi tiga, yaitu keadilan, kegunaan, dan kepastian. Namun keadilan bukan persoalan semata hukum, banyak hal lain yang mempengaruhi hukum. Hukum bukan bekerja dalam ruang hampa tanpa pengaruh lain. Persoalan hukum bukan hanya sekedar proses legislasi kemudian dibaca dan ditegakkan oleh aparatur hukum dan memberi sanksi bagi yang melanggar, tetapi lebih dari itu. Chambliss dan Seidmen sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo7 dalam mengambarkan kondisi keberadaan hukum dalam masyarakat menyatakan bahwa ada kekuatan lain yang juga memiliki peranan. Kekuatan itu adalah kekuatan sosial. Tingkah laku masyarakat tidak hanya dimonopoli oleh hukum melainkan juga oleh kekuatan sosial lainnya.

Dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 menyatakan bahwa Bupati/walikota memberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Berdasarkan ketentuan ini bahwa bagi masyarakat yang akan melakukan kegiatan penambangan harus memiliki izin

5 Ibid. 6

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Adhitya Bhakti, Cetakan Keenam, Bandung, 2006, hal. 19.

(9)

(IPR). Terhadap mereka yang tidak mematuhi ketentuan mengenai IPR ini, maka dapat dikatakan melakukan tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menyatakan: Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Dalam kenyataannya di Kabupaten Landak terhadap masyarakat yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin (Peti) tidak dilakukan penegakan hukum berupa penerapan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, sehingga kegiatan Peti terus terjadi yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan mengancam kesehatan manusia.

Upaya penegakan hukum terhadap pelaku penambangan tanpa izin menyisakan masalah, melalui tahapan operasi kepolisian yang dilakukan terhadap para pelaku Peti, terungkap banyak hal, tidak hanya permasalahan hukum tetapi juga persoalan lain di luar hukum. T3erasa amat kuat resistensinya, persoalan yang asasi dari para pelaku/pekerja Peti, antara lain alas an mencari penghidupan/ekonomi, masyarakat pelaku Peti merasa belum adanya kebijakan pemerintah yang berpihak kepada mereka, persoalan yang oleh oknum dijadikan sarana kepentingan menyangkut perolehan suara dalam ajang pemilu legislative dan kepentingan lain yang bertujuan untuk eksistensi seseorang. Oleh segelintir

(10)

elit juga dijadikan motif melalui tindakan oposan terhadap terhadap pemerintah guna melemahkan eksistensi birokrasi.

Dalam kegiatan operasi terhadap aktivitas penambangan tanpa izin yang dilakukan oleh jajaran Polres Landak, awalnya memberikan dampak temporer yang signifikan, tetapi hanya bertahan selama dua minggu, setelah itu kegiatan Peti berlangsung kembali. Resistensi opensif muncul diakhir kegiatan, kelompok massa melakukan perlawanan masiv dengan menyerang ke Kantor Polsek Mandor. Massa yang tidak terkendali mengekspesikan ketidakpuasan atas penerapan hukum yang secara sepihak dirasakan tidak memberikan rasa keadilan bagi mereka.

Uraian di atas menarik minat penulis untuk mengkaji lebih lanjut terhadap masalah ini dalam bentuk penelitian tesis dengan judul: PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENAMBANGAN TANPA IZIN OLEH POLRES LANDAK (Tinjauan Yuridis-Sosiologis).

Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Kendala-kendala apa yang dihadapi penegakan hukum terhadap pelaku penambangan tanpa izin?”.

Pembahasan

Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Penambangan Tanpa Izin di Kabupaten Landak.

Menurut Andi Hamzah, istilah penegak hukum sering disalah artikan, seakan-akan hanya bergerak dibidang hukum pidana atau hanya dibidang represif. Istilah penegakan hukum disini meliputi , baik yang represif maupun preventif.5 Sedangkan menurut Sudarto memberi arti penegakan hukum ialah

(11)

perhatian dan penggarapan, baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie).8

Penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Kepoilsian Resort Landak terhadap pelaku tindak penambangan emas ilegal ini secara umum prosedurnya sama dengan penanganan tindak pidana umum lainnya. Pihak Kepolisian Resort Landak sudah melakukan tindakan preventif maupun represif demi menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan akibat dari penambangan emas ilegal tersebut.9

1. Tindakan Preventif (Pencegahan)

Pihak Kepolisian Resort Landak melalui bidang Pembinaan Masyarakat (bimas) nya telah melakukan tindakan preventif berupa himbauan baik secara tertulis maupun tidak tertulis kepada masyarakat agar tidak melakukan penambangan emas ilegal di sepanjang sungai, bukit dan makam juang mandor, serta sungai-sungai kecil lainnya yang ada di Kabupaten Landak.10 Pihak Kepolisian Resort Landak bersama pemerintah daerah kabupaten Landak juga telah melakukan sosialisasi tentang akan dampak penambangan emas ilegal ini bagi masyarakat, keanekaragaman hayati, serta lingkungan hidup. Selain itu pihak Polres juga telah melakukan sosialisasi mngenai sanksi terhadap segala bentuk kegiatan penambangan emas ilegal ini. Selain itu, pihak Kepolisian Resort Landak juga melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan tokoh adat

8

Andi Hamzah, .Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta: 2006, hlm. 134.

9

Wawancara dengan Penyidik Polres Landak, , di Kepolisian Resort Landak.

(12)

agar membantu dalam upaya pemberantasan penambangan emas ilegal. Namun, sebagian tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh adat mengatakan bahwa baik pihak Kepolisian Resort Landak, pihak Pemerintah Kabupaten, pihak Kepolisian Sektor serta pihak pemerintah kecamatan tidak pernah melakukan koordinasi dengan mereka dalam upaya pemberantasan aktivitas penambangan emas ilegal tersebut. Seperti yang disampaikan oleh martinus (ketua pemuda kecamatan manyuke kabupaten landak) dan Lorensus (tokoh adat dari kecamatan manyuke) dalam acara seminar sehari “Permasalahan dan Solusi Pemberantasan PETI di Kabupaten Landak yang ditaja oleh Kepolisian Landak. Jadi, penulis melihat upaya himbauan dan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Resort dan pemerintah daerah Landak ini belum mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat dan penulis juga melihat aparat penegak hukum belum kosisten dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Ini menyebabkan para pelaku penambangan emas ilegal tersebut tidak menghiraukan sanksi yang akan mereka terima atas tindakan penambangan emas ilegal yang mereka lakukan itu.

2. Tindakan Represif (Penindakan)

Setelah pihak Kepolisian Resort Landak melakukan tindakan preventif yaitu berupa himbauan dan sosialisasi kepada masyarakat, namun himbauan tersebut tidak diindahkan, maka pihak Kepolisian Resort Landak melakukan tindakan represif terhadap pelaku penambangan emas ilegal di Kabupaten Landak.11 Adapun tindakan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Resort

(13)

Landak dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum untuk memberantas kegiatan penambangan emas ilegal yaitu :

a. Melakukan penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai tindak pidana.12Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik , apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan “penyidikan” atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5). Penyelidikan diatur dalam Pasal 102 s/d Pasal 105 KUHAP.

b. Melakukan Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.13Penyidikan diatur dalam Pasal 106 s/d Pasal 136 KUHAP.

c. Penangkapan

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa penangkapan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau

12

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta :Sinar Grafika, 2007, hlm. 101.

13

(14)

peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.14

Alasan penangkapan :

1) Seorang tersangka diduga keras melakukan tindak pidana;

2) Dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada permulaan bukti yang cukup.15

Penangkapan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 16 s/d Pasal 19 KUHAP.

d. Penahanan

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penempatannya , dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.16 Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.17 Penahanan tersangka diatur dalam Pasal 20 s/d Pasal 31 KUHAP.

e. Penggeledahan

Penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan dirumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap

14

Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta : 2009, hlm.109.

15 M. Yahya Harahap,

Op. Cit, hlm. 158.

16

Ladeng Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Op. Cit. hlm. 117.

17

(15)

badan dan pakaian seseorang.18 Penggeldahan dilakukan untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan, agar dapat dikumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut suatu tindak pidana.19 Penggeledahaan diatur dalam Pasal 32 s/d Pasal 37 KUHAP.

f. Penyitaan

Penyitaan adalah tindakan hukum yang dilakukan pada taraf penyidikan. Sesudah lewat taraf penyidikan tidak dapat lagi dilakukan penyitaan untuk dan atas nama penyidik.20

Penyitaan diatur di dalam Pasal 38 s/d Pasal 48 KUHAP. Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

2) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan;

6) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana.

Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat

18 Ibid, hlm.248. 19 Ibid. hlm. 249 20 Ibid,. hlm.265

(16)

yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Di dalam tindak pidana penambangan emas ilegal banyak sekali barang bukti yang disita oleh penyidik seperti mesin sedot (dompeng), kapal kayu, emas, dan bahan bakar minyak serta alat-alat lain yang digunakan pelaku untuk melakukan kegiatan penambangan emas ilegal.21

g. Penyerahan Berkas Perkara

Tujuan pemeriksaan penyidikan tindak pidana menyiapkan hasil pemeriksaan penyidikan sebagai “berkas perkara” yang akan diserahkan penyidik kepada penuntut umum sebagai instansi yang bertindak dan berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana. Berkas hasil penyidikan itu yang dilimpahkan penuntut umum kepada hakim di muka persidangan pengadilan. Oleh karena itu, apabila penyidik berpendapat, pemeriksaan penyidikan telah selesai dan sempurna, secepatnya mengirimkan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum. Akan tetapi di dalam pengiriman berkas perkara, penyidik diharuskan menyesuaikan pemberkasan perkara dengan ketentuan Pasal Undang-Undang yang menggariskan pembuatan berita acara pemeriksaan penyidikan seperti yang ditentukan dalam Pasal 121 KUHAP. Seperti yang telah disinggung di atas, setelah penyidik berpendapat segala sesuatu pemeriksaan yang diperlukan dianggap cukup, penyidik “atas kekuatan sumpah jabatan” segera membuat berita acara dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam pasal 121:

(17)

1) Memberi tanggal pada berita acara;

2) Memuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut waktu, tempat, dan keadaan sewaktu tindak pidana dilakukan;

3) Nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi-saksi;

4) Keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, kebangsaan, agama, dan lain-lain);

5) Catatan mengenai akta dan atau benda;

6) Serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.

Demikian syarat pembuatan berita acara yang ditentukan dalam Pasal 121. Akan tetapi, untuk lengkapnya berita acara harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 75.

Kendala Yang Dihadapi Dalam Melakukan Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penambangan Emas Ilegal

Kegiatan pertambangan emas yang dilakukan masyarakat secara liar tanpa dilengkapi dokumen SIPR di Kabupaten Landak telah mengarah pada terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, yang menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat dikategorikan sebagai kejahatan (tindak pidana lingkungan) yang diatur dalam pasal 41 sampai dengan pasal 48.

Mengenai tindak pidana lingkungan bukan hanya masalah yang menjadi isue yang melanda suatu negara saja, tetapi sudah menjadi masalah internasional, hal ini tampak dari program kerja “The Commission on Crime

Prevention and Criminal Justice”, 1992/1996, yang menempatkan kaitan antara

masalah lingkungan hidup dengan sistem peradilan pidana sebagai prioritas. Berdasarkan hal tersebut, maka Kongres ke 9 PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku yang diselenggarakan di Cairo, tanggal

(18)

29 April-8 Mei 1995 menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai salah agenda utama.

Keprihatinan terhadap terjadinya tindak pidana di bidang lingkungan akibat kegiatan pertambangan secara liar, mendorong dilakukan upaya pengkajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut, yakni penyebab meningkatnya kegiatan pertambangan emas tanpa izin yang berdampak terjadinya tindak pidana berupa pencemaran dan perusakan lingkungan, yang merupakan salah satu obyek studi kriminologi.

Kaitannya dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat penambang emas yang cenderung melakukan kegiatan pertambangan emas tanpa memiliki dokumen SIPR dan cenderung mengarah pada terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan, perbuatan mana memenuhi unsur-unsur sebagai suatu tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

Apabila kegiatan pertambangan emas yang dilakukan masyarakat yang meyimpang dari hakekat pertambangan rakyat (karena dilakukan tanpa dilengkapi dokumen SIPR) dan berdampak terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan suatu analisis faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka pemahamannya tidak terlepas dari adanya perilaku menyimpang sebagai hasil dari interaksi atau pengaruh yang timbal balik yang menimbulkan reaksi.

Beberapa hal perlu untuk dikaji secara mendalam berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah terhadap pertambangan rakyat terutama jika dikaitkan dengan aktivitas PETI yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan. Beberapa hal yang akan penulis uraikan di

(19)

bawah ini merupakan rangkuman hasil wawancara dengan responden yang kemudian penulis uraikan dengan bahasa dan cara penulis yaitu, hidup manusia di dunia ini tidak terlepas dari konsep manusia sebagai mahluk berpikir dan bergerak dalam kesadaran akan dirinya. Ia mampu memandang dirinya dan berinteraksi dengan dirinya. Adanya perilaku menyimpang pada diri manusia yang melakukan kegiatan pertambangan tidak sesuai dengan hakekat pertambangan rakyat sehingga mengarah pada terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan sesungguhnya tidak bersesuaian dengan konstruksi konsep diri manusia. Kesadaran diri ini sudah terkikis darinya. Sebagai sebuah komunitas lokal masyarakat penambang mempunyai struktur sosial, dan hidup dalam suatu kultur tertentu yang berbeda dengan kultur besar masyarakat kota. Masyarakat penambang memiliki pola-pola tertentu dan norma-norma untuk melanggengkan kegiatan mereka. Sebagaimana diungkap oleh banyak pihak bahwa faktor pendorong masyarakat melakukan kegiatan pertambangan tersebut diakui karena keberadaan pertambangan tradisional oleh masyarakat setempat yang telah berlangsung secara turun temurun. Jika kemudian pada realitanya sekarang mereka melakukan kegiatan pertambangan tersebut tidak lagi secara tradisional, karena anggapan perkembangan proses pembangunan maka sudah sewajarnya penambangan tersebut dilakukan tidak lagi secara tradisional, guna peningkatan taraf hidup mereka. Dalam konteks yang demikian, ketika pranata hukum nasional, yaitu hukum lingkungan dan hukum pertambangan dan aspek hukum lainnya masuk dalam kawasan komunitas tersebut untuk ditegakkan, maka akan terjadi persinggungan antara norma asli yang terbentuk dari perilaku dan interaksi masyarakat penambang tersebut dengan norma hukum negara

(20)

yang berasal dari luar struktur mereka. Kondisi persinggungan demikian, dalam realitanya telah mengakibatkan “benturan” dalam upaya penegakannya. Masyarakat penambang telah di „cap‟ sebagai masyarakat PETI berdasarkan Inpres Nomor 3 tahun 2000, dan yang terjadi adalah penolakan terhadap segala aturan oleh komunitas masyarakat tersebut. Pembangunan hukum seakan tidak memberikan perlindungan dan hak-hak masyarakat untuk menikmati kekayaan alam pada lingkungan sosial kehidupannya, akan tetapi lebih jauh justru masyarakat mengalami keterasingan dalam siklus bekerjanya hukum sehingga mereka membentuk hukumnya sendiri melalui interaksi dan perilaku yang otonom.

Kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai tujuan. Tujuan ini merupakan obyek yang menjadi sasaran perhatian manusia. Manusialah yang memberi arti terhadap obyek tersebut, apakah menguntungkan atau merugikan bagi dirinya. Dalam kondisi yang demikian, masyarakat yang melakukan kegiatan pertambangan emas dilatarbelakangi oleh suatu tujuan yang menguntungkan dirinya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang sesuai dengan ketrampilan sebagai masyarakat bawah dan kemiskinan dalam berbagai hal, baik ekonomi, pengetahuan dan ketrampilan merupakan faktor pendorong mereka melakukan kegiatan penambangan tersebut untuk memenuhi tujuan hidupnya. Apabila mereka tidak melakukan kegiatan pertambangan tersebut maka kenyataan selanjutnya yang dihadapi adalah kerugian. Dalam masyarakat yang heterogen, seringkali terjadi kegagalan dalam interaksi sosial karena arogansi masing-masing kelompok. Arogansi kelompok tersebut menimbulkan polarisasi yang berkepanjangan.

(21)

Bahkan, tidak jarang diikuti pula dengan ketidakpercayaan dan permusuhan antar kelompok yang berbeda dalam masyarakat.

Pada umumnya, kegagalan interaksi sosial terjadi karena kurangnya komunikasi dan saling pengertian antar kelompok serta lemahnya toleransi antar kelompok. Hal mana dalam realita di Kabupaten Landak, ada sebagian masyarakat mengungkapkan bahwa faktor pendorong meningkatnya pertambangan emas tanpa memiliki SIPR oleh masyarakat karena mereka menganggap bahwa kegiatan pertambangan rakyat ini sudah dilakukan secara tradisi dan bersifat turun temurun, sejak dahulu juga tidak pernah ada izin untuk melakukan penambangan demi untuk kepentingan masyarakat penambang sendiri beserta keluarganya. Selain itu bahwa masyarakat tidak memiliki pengetahuan untuk mengurusan perizinan pertambangan rakyat ini (SIPR), serta masyarakat juga tidak memiliki dana yang besar untuk mengurus perizinan. Pada akhirnya, masyarakat lebih memilih sikap melakukan kegiatan pertambangan emas dengan bantuan para penyandang dana yang sengaja datang untuk membantu masyarakat dan sekaligus juga bertujuan untuk mencari keuntungan dari usaha pertambangan rakta. Dengan suatu harapan apabila kegiatan pertambangan emas tersebut dilakukan dengan adanya bantuan modal dari para penyandang dana tersebut dapat meningkatkan hasil yang diperoleh dari proses pengolahan dan pemurnian bahan galian emas karena didukung peralatan mekanik yang disiapkan oleh penyandang dana, daripada dilakukan secara tradisional. Namun mereka sama sekali tidak terpikir dan tumbuh kesadaran bahwa dampak dari semua kegiatan tersebut akan berdampak lebih berpotensinya terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan pada kualitas

(22)

lingkungan hidup tempat tinggalnya juga akan mengalami kerusakan, jika dibandingkan dilakukan kegiatan secara tradisional. Terlebih hasil yang diperoleh secara keseluruhan tidaklah mereka nikmati, namun juga terbagi dengan para penyandang dana sebagai konsekuensi dari adanya campur tangan penyandang dana tersebut.

Kehidupan masyarakat penambang terjalin dalam suatu interaksi soisal, dimana diantara mereka masing-masing saling mencoba mencari makna terhadap aksinya, sehingga terjadi komunikasi. Faktor peniruan perilaku dalam berinteraksi itu dapat memegang peranan terhadap meningkatnya perilaku pertambangan emas di Kabupaten Landak. Kultur atau budaya yang tercipta dalam interaksi itu biasanya akan mempunyai pengaruh yang sangat kuat, terutama pada kebiasaannya, cara pandangnya atau sikapnya dalam menghadapi sesuatu keadaan. Ketika di dalam berinteraksi itu terdapat perilaku menyimpang yang lama-lama akan menjadi kebiasaan, maka akan terbentuk cara pandang dan sikap yang disesuaikan dengan situasi lingkungannya. Ketika cara pandang dan sikap ini dihubungkan dengan adanya perilaku menyimpang yang dilabelkan kepada masyarakat penambang sebagai PETI, tidak dapat dipungkiri adanya pertambangan emas tanpa dilengkapi dokumen kuasa pertambangan di antara mereka, pada akhirnya mengarah pada terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Kegiatan pertambangan tersebut telah terkonstruksi dalam mata rantai interaksi dalam masyarakat sebagai suatu kegiatan pertambangan rakyat.

Kegiatan pertambangan yang dilakukan masyarakat tanpa dilengkapi dokumen SIPR tersebut dengan demikian juga disebabkan karena adanya aksi

(23)

bersama dalam mengartikan sesuatu obyek. Aksi ini lahir dari perbuatan masing-masing pelaku yang dicocokkan dan diserasikan di antara anggota kelompok yang melakukan pertambangan. Adanya aksi kolektif itu bukan didasarkan pada faktor kebersamaan di antara mereka, melainkan karena adanya penyesuaian dan penyeserasian untuk menuju suatu obyek yang memberikan keuntungan bagi mereka.

Dari gejala yang tampak, terlihat bahwa makna tentang perilaku penyimpangan pada masyarakat penambang dalam melakukan kegiatan pertambangan yang cenderung mengarah pada terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan muncul pada satu pihak karena interaksi dalam komunitas masyarakat penambang tersebut relatif tinggi dibanding dengan aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum, sehingga persepsi tentang perilaku-perilaku menyimpang yang mucul di kalangan masyarakat penambang lebih banyak dipengaruhi proses interaksi dengan komunitas masyarakat penambang itu sendiri. Nilai-nilai dan kebiasaan yang hidup di kalangan masyarakat penambang lebih mendominasi dan mempengaruhi pola pikir mereka sebagai landasan penginterpretasian perilaku-perilaku tertentu yang dipersepsi bukan sebagai penyimpangan, oleh karena konstruksi yang terbentuk di dalam interaksi masyarakat penambang tersebut, bahwa aktivitas atau kegiatan yang mereka lakukan tersebut dipersepsikan sebagai pertambangan rakyat, di mana mereka mempunyai suatu hak untuk memanfaatkan potensi kekayaan alam yang ada di dalam suatu lingkungan sosial kehidupan mereka.

Dampak yang mengarah pada terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha pertambangan merupakan problematika

(24)

undang-undang Pertambangan beserta peraturan pelaksanaannya yang belum menampakkan ciri perlindungan lingkungan dan ciri lain yang dipersyaratkan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang Pertambangan, dalam realitanya lebih memberi akses bagi penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Undang-undang ini memang lahir beriringan dengan UU PMA dan UU PMDN. Tidaklah mengherankan jika undang-undang ini mengilhami spirit pengelolaan sumber daya alam dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan bukan dalam konteks pelestarian kelestarian fungsi lingkungan.

Penegakan Hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan- keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Sering kita dengar dalam rangka penegakan hukum, istilah diskresi. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang.22 Sehubungan dengan adanya diskresi Joseph Goldstein menawarkan konsep dalam law enforcement, yaitu : Total enforcement merupakan ruang lingkup penegakan hukum pidana, sebagaimana diharapkan dan dirumuskan oleh hukum pidana materil (substantive law of crimes), yang tidak mungkin diwujudkan karena keterbatasan gerak penegak hukum disebabkan adanya pembatasan secara ketat oleh hukum acara pidana yang mencakup aturan atau tata cara penangkapan, penggeledahan, penahanan, penyitaan, sampai pada tahap pemeriksaan

22

Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Kepemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung: 2008,hlm.135.

(25)

pendahuluan, atau mungkin juga pembatasan oleh hukum pidana materil itu sendiri, yang menentukan bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.23 Dan Full Enforcement, pada penegakan hukum full

enforcement, para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara

maksimal. Penegakan hukum secara full enforcement ini, menurut Joseph Goldstein, merupakan harapan yang tidak realistis, terdapat kendala -kendala dalam pelaksanaannya berupa batasan waktu, personel, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya.

Dalam hal penambangan emas ilegal di Kabupaten Landak merupakan permasalahan antara kelangsungan hidup hari ini dan masa depan lingkungan untuk generasi di masa yang akan datang. Penambangan emas ilegal ini bukan saja merusak lingkungan di Kabupaten Landak tetapi kegiatan penambangan emas ilegal ini juga telah merusak moral masyarakat terutama generasi muda Landak.

Jadi, sudah seharusnya kegiatan penambangan emas ilegal ini diberantas demi kemakmuran seluruh masyarakat Landak. Namun, pemberantasan tambang emas ilegal ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Kepolisian Resort Landak sebagai lembaga penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk bertindak memberantas kegiatan tambang emas ilegal yang terjadi di Kabupaten Landak menghadapi banyak kendala dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap para pelaku penambangan emas ilegal tersebut. Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak Polres Landak

(26)

dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap para pelaku kegiatan tambang emas ilegal tersebut, antara lain :

1. Kesadaran Hukum Masayarakat Masih Kurang

Menurut Ewick dan Silbey : “Kesadaran Hukum” mengacu ke cara-cara dimana orang-orang memahami hukum dan intitusi institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang.24 Bagi Ewick dan Silbey, “kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan karenannya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku”, dan bukan “hukum sebagai aturan norma atau asas”.25

Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap, kesadaran hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa faktor yang mempengarui kurangnya kesadaran hukum masyarakat adalah :

a) Ketidak pastian hukum;

b) Peraturan-peraturan bersifat statis;

c) Tidak efisiennya cara-cara masyarakat untuk mempertahankan peraturan yang berlaku.26

Dalam tindak pidana penambangan emas ilegal yang terjadi di wilayah Kabupaten Landak sebagian masyarakat yang menjadi pelaku tidak lagi

24

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence),Kencana, Jakarta : 2009, hlm. 510.

25

Ibid, hlm. 511.

26

(27)

menghiraukan setiap aturan yang wajib untuk dipatuhi. Hal ini disebabkan karena masyarakat Landak yang menjadi pelaku penambangan emas ilegal sudah menjadikan kegiatan ini sebagai budaya, bukan lagi sebagai pekerjaan alternatif. Sebagian masyarakat yang menjadi pelaku penambangan emas ilegal memilih pekerjaan ini sebagai pekerjaan utama karena dapat memberikan finansial yang layak, meskipun aktivitas yang mereka lakukan tersebut mereka sadari akan menimbulkan dampak negatif yang sangat luas baik terhadap lingkungan maupun moral masyarakat di areal tambang. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat Landak terhadap tindak pidana penambangan emas ilegal ini juga disebabkan oleh adanya oknum kepolisian yang ikut terlibat dalam kegiatan penambangan emas ilegal tersebut.

2. Pelaku Penambangan Emas Ilegal di Back-up oleh Oknum-oknum yang Tidak Bertanggung Jawab

Berdasarkan pengamatan langsung penulis di lapangan, penulis melihat para pelaku penambangan emas ilegal ini di back-up oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab seperti oknum-oknum penegak hukum, oknum-oknum pemerintah, hingga oknum pemangku adat. Para pelaku penambangan sering mendapatkan bocoran informasi razia dari oknum polisi itu sendiri. Jika para pelaku sudah mendapatkan bocoran informasi akan dilakukannya razia oleh polisi maka para pelaku akan secepat mungkin untuk menyembunyikan alat-alat tambang yang mereka gunakan. Berdasarkan pengakuan salah seorang pelaku penambangan emas ilegal bernama budianus bahwa dia bersama pelaku lainnya mendapatkan informasi tentang razia yang akan dilakukan yaitu dari oknum polisi yang bertugs di Polsek setempat. Mereka setiap minggunya

(28)

harus menyetor uang kepada oknum tersebut, yang sering mereka sebut sebagai uang keamanan.27 Penulis melihat tindakan yang dilakukan oleh oknum kepolisian merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Seharusnya, kepolisian yang menjadi lini terdepan dalam penegakan hukum dapat memberikan pengetahuan serta pemahaman tentang hukum agar terwujud masyarakat yang sadar dan taat akan hukum. Demikian pula dengan adanya kesadaran hukum baik aparatur penegak hukum maupun masyarakat, maka akan tercipta pula kesdaran akan lingkungan mengingat emas merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan harus dikelola dengan baik demi mencapai tujuan yang diharapkan yaitu Sustainable Development (pembangunan berkelanjutan). Menurut penulis terlaksananya efektivitas penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian hendaknya mendapat dukungan yang bersifat kooperatif dari semua pihak, baik pihak pemerintah maupun pemangku adat setempat. Namun dalam kenyataannya, fakta yang penulis temukan dilapangan antara aparatur penegak hukum, aparatur pemerintahan dan tokoh masyarakat belum tercipta suatu koordinasi yang kooperatif dalam pemberantasan penambangan emas ilegal ini. Ini juga menjadi salah satu kendala pihak Kepolisian Resort Landak dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku penambangan emas ilegal. Pihak Kepolisian Resort Landak sering kecolongan dalam melakukan razia akibat ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Pihak Kepolisian Resort Landak memang tidak membantah bahwa aktivitas penambangan emas ilegal ini di back-up oleh

27 Wawancara dengan Tersangka Tindak Pidana Penambangan emas, di Rumah Tahanan Ngabang

(29)

oknum penegak hukum, tetapi sampai saat ini pihak Polres Landak belum bisa menangkap dan membuktikan siapa oknum yang tidak bertanggung jawab itu.28

3. Pelaku Penambangan Emas Ilegal Melarikan Diri

Dalam kegiatan tambang emas ilegal ini yang menjadi pelaku tindak pidana penambangan emas ilegal bukan saja para pekerja tambang, tetapi pemilik alat tambang juga disebut sebagai pelaku. Biasanya para pemilik alat tambang akan melarikan diri setelah dia mendapatkan informasi bahwa anak buahnya atau pekerja tambangnya tertangkap saat polisi melakukan razia.29 Penulis berpendapat sulitnya dilakukan penangkapan terhadap pelaku penambangan emas ilegal disebabkan minimnya sarana atau fasilitas yang digunakan oleh aparat penegak hukum. Dalam menjalankan tugasnya memberantas kegiatan penambangan emas ilegal yang paling dibutuhkan terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Bagaimana penegak hukum dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan lat-alat komunikasi yang proporsional. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup juga tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Sementara berdasarkan fakta yang penulis temukan dilapangan, pelaku penambangan emas ilegal atau sebagai pemilik alat tambang dapat melarikan diri disebabkan pelaku ini

28

Wawancara dengan Kepala Satuan Reskrim Landak di Kepolisian Resort Landak.

29

(30)

memiliki cara-cara yang cerdik dalam menjalankan kegiatan penambangan emas ilegal, oleh sebab itu dalam pemberantasannya harus pula didukung oleh fasilitas yang memadai seperti tenaga manusia penegak hukum yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik dari penegak hukum, peralatan yang memadai, dan keuangan yang cukup karena hal ini berkaitan terhadap pengejaran pelaku.

Kesimpulan

1. Penanganan perkara tindak pidana penambangan emas ilegal Kepolisian Resort Landak sudah berjalan sebagaimana mestinya. Dalam rangka penegakan hukum, secara umum prosedur penanganannya sama dengan perkara tindak pidana umum lainnya. Adapun tindaka-tindakan yang dilakukan oleh Polisi Resort Landak dalam memberantas tindak pidana penambangan emas ilegal yaitu berupa: tindakan preventif (pencegahan) dan tindakan refresif (penindakkan). Tindakan refresif yang dilakukan oleh Polres Kuantan Singingi meliputi : (1) melakukan penyelidikan, (2) melakukan penyidikan, (3) kalau sudah cukup unsur pihak kepolisian melakukan penangkapan kepada Tersangka, tetapi lebih sering melakukan tangkap tangan (4) melakukan penahanan, (5) penggeledahan, (6) penyitaan.

2. Adapun yang menjadi faktor penghambat Polres Landak dalam menangani perkara tindak pidana penambangan emas ilegal meliputi : (1) kurangnya kesadaran hukum masyarakat (2) pelaku penambangan di

back-up oleh oknum yang tidak bertanggung jawab (3) tersangka

(31)

3. Upaya yang dilakukan Polres Landak dalam menangani tindak pidana penambangan emas ilegal dapat melalui : (1) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat (2) meningkatkan kinerja satuan dan melakukan koordinasi dengan semua pihak terkait (3) mencari dan menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO).

(32)

DAFTAR PUSTAKAAN

Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Andi Hamzah, 1991. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

__________,2006.Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, jakarta : Sinar Grafika.

Bambang Poernomo, 1985. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Barda Nawawi Arief, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti.

__________, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-1.

__________, 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

__________, 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta : Kencana.

__________, 2008. Perkembangan Asas hukum Pidana Indonesia, Pustaka Magister Semarang.

__________, 2008. RUU KUHP Baru, Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang : Penerbit Pustaka Magister.

__________, 2009. Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan : Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Bawengan, Gerson. W, 1983. Hukum Pidana di dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Pradnya Paramita.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM- PTHM.

Hartono Hadisoeprapto, 1982. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Yogyakarta : Bina Aksara.

H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Restu Agung.

(33)

Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. J.M. van Bemmelen, 1979. Hukum Pidana 1, Bandung: Binacipta.

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, Cetakan Keenambelas, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2001

Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru.

Moeljatno, 1985. Hukum Pidana Delik-delik Percobaan delik-delik Penyertaan, Jakarta : Bina Aksara.

__________, 1987. Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara.

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005. Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Otto Soemarwoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Cetakan Kedelapan, Yogyakarta, 1999

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme Bina Cipta, Bandung, 1996.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1994. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Kelima, Jakarta : Ghalia Indonesia.

R Tresna, tt. Komentar HIR, Jakarta :Pradnya Paramita.

S. Schaffmeister, dkk, 1995. Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty.

R.Soesilo, 1984. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Bogor : Politia.

Satochid Kartanegara, tt. Hukum Pidana I & II (Kumpulan Kuliah), Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa.

Satjipto Rahardjo, tt. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN, Departemen Kehakiman, tt, Jakarta: Sinar Baru.

Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif , Suatu Tinjauan Singkat,, Jakarta : Rajawali Pers.

(34)

Soetandyo Wignjosoebroto, 2002. Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, Editor : Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta. Sudarto, 1990. Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto.

Soebagyo Joko, Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangan, Rineka Cipta, 1999.

Supriadi, 2008, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta

Sutan Remy Sjahdeini, 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro, 1969. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia,

Bandung: Eresco.

__________, 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : PT Eresco.

Referensi

Dokumen terkait

Aspek ini ditegaskan penjelasan Pasal 186 KUHAP jo Pasal 133 ayat (1) KUHAP dimana disebutkan keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh

Hasil penelitian menunjukan: (1) keaktifan mahasiswa pada pembelajaran Restoran meningkat, terlihat dari data siklus I, mahasiswa memperhatikan penjelasan dosen sebanyak

Justeru melalui kertas konsep ini diharapkan dapat membantu usahawan IKS bagi mengenalpasti gaya pengurusan dan cara urus tadbir organisasi mereka.Pengusaha seharusnya

V pri č ujo č i nalogi smo preu č ili vplive mnogih domnevno pomembnih okoljskih dejavnikov (zlasti dejavnikov zgradbe prostora) na: (a) celoletno, sezonsko in dnevno- no č

2) pemecahan masalah-masalah praktis. Kiranya jelas, bahwa kelayakan sesuatu masalah untuk diteliti itu sifatnya relatif, tergantung kepada konteksnya. Sesuatu masalah

Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode diskriptif kualitatif artinya penulis akan menjelaskan dan memaparkan hakekat dasar dari

Dengan melakukan inversi terhadap hasil pemodelan matematika dari data fisis hasil observasi maka dapat diperoleh nilai dari variabel- variabel dan parameter

Pendapat yang hampir sama disampaikan Dardjowidjojo (2012: 225) yang mengatakan bahwa pemerolehan adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada