• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSIDING. Teknologi Hijau Berbasis Lignoselulosa untuk Material Maju dan Bioproduk. Seminar Lignoselulosa 2016 ISSN :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSIDING. Teknologi Hijau Berbasis Lignoselulosa untuk Material Maju dan Bioproduk. Seminar Lignoselulosa 2016 ISSN :"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PROSIDING

2016

Teknologi Hijau Berbasis Lignoselulosa

untuk Material Maju dan Bioproduk

Auditorium Pusat Inovasi - LIPI

Jln. Raya Bogor Km.46, Cibinong, Bogor

Cibinong, 6 Oktober 2016

(2)

i

DEWAN REDAKSI

Dr. Riksfardini Anissa Ermawar, M.BioPB. Dr. Ir. Euis Hermiati M.Sc.

Dr. Widya Fatriasari S.Hut., M.M. Dr. Firda Aulya Syamani

Dr. Dede Heri Yuli Yanto S.Si., M.Agr. Lilik Astari, S.Si, M.ForSc.

Deni Zulfiana, S.Si., M.Si. Sita Heris Anita, S.Si., M.Si.

Maulida Oktaviani, S.Si. Apriwi Zulfitri, S.Si., M.Sc.

(3)

ii

KATA PENGANTAR

Prosiding ini berisi kumpulan makalah yang dipresentasikan pada Seminar Lignoselulosa 2016 yang diselenggarakan pada 6 Oktober 2016 di Auditorium Pusat Inovasi, LIPI. Semua makalah di format ulang sebelum dicetak tanpa mengubah arti dan maksud penulis.

Pusat Penelitian Biomaterial LIPI telah ditetapkan sebagai Pusat Unggulan IPTEK (PUI) Lignoselulosa oleh Kemenristekdikti. Sebagai lembaga penelitian yang menjadi acuan nasional dalam bidang penelitian bahan berlignoselulosa untuk material maju dan bioproduk, kami perlu terus berbenah, menjalin kerjasama dengan lembaga penelitian lain yang terkait dan memberikan wadah bagi para peneliti untuk menyampaikan perkembangan penelitian di bidang lignoselulosa. Atas dasar itulah kami menyelenggarakan seminar ini, dengan harapan semua stake holder dapat berperan aktif dalam upaya menggali potensi bahan berlignoselulosa untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.

Seminar Lignoselulosa perdana ini memilih tema “Teknologi Hijau Berbasis Lignoselulosa untuk Material Maju dan Bioproduk” dan menerima 16 pemakalah yang berasal dari berbagai instansi yaitu: Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Pusat Penelitian Biomaterial – LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan, Universitas Nusa Bangsa, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB, Institut Pertanian Bogor, Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri dan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi (FTKE) Universitas Trisakti. Semua pemakalah mempresentasikan tulisannya dalam bentuk poster. Jumlah total peserta seminar ialah sebanyak 67 orang.

Atas terbitnya prosiding ini, saya, mewakili panitia mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas kontribusi seluruh pemakalah dan kerja keras mitra bestari serta dewan editor untuk segala waktu dan pikiran yang tercurah dalam tiap tahapan proses pembuatan prosiding.

Akhir kata, semoga prosiding ini dapat berperan sebagai sarana bertukar informasi dan diseminasi hasil-hasil penelitian lignoselulosa yang dapat memberikan manfaat nyata bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Bogor, Desember 2016

Dr. Firda Aulya Syamani Ketua Panitia Seminar Lignoselulosa 2016

(4)

iii

DAFTAR ISI

Dewan Redaksi ... i Kata Pengantar ... ii Daftar Isi... iii

1. Ekstraktif bahan alam untuk bioproduk

Suminar Setiati Achmadi ... 1 2. Proses compounding serat alam-termoplastik di industri

Asmuwahyu Saptorahardjo ... 12 3. Biopulping kayu mahang (Macaranga hypoleuca) menggunakan jamur Phanerochaete

chrysosporium

Yeni Aprianis dan Siti Wahyuningsih ... 20 4. Pengaruh prehidrolisis asam asetat terhadap komposisi kimia bambu duri (Bambusa

blumeana J.A. and J.H. Schultes)

Kanti Dewi Rizqiani, Eka Novriyanti, Dodi Frianto ... 29 5. Sulfonasi lignin ampas tebu menjadi surfaktan natrium lignosulfonate

Rini Setiati, Ekarizki Aryani Mandala Putri, Deana Wahyuningrum, Septoratno Siregar, Taufan Marhaendrajana, Sofa Fajriah ... 35 6. Efektivitas formulasi minyak biji mimba hasil screw press terhadap rayap (Coptotermes

gestroi)

Arief Heru Prianto, Adinda S.Dewi, H. Basri, Sulaeman Yusuf ... 42 7. Studi tekno-ekonomi dan analisa kelayakan produksi kertas seni dari kertas bekas di

Cibinong Science Center-Botanical Garden (CSC-BG)

Fahriya Puspita Sari dan Widya Fatriasari ... 51

(5)

1

Review

Ekstraktif bahan alam untuk bioproduk

Suminar Setiati Achmadi*

Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor Jln. Tanjung, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680

*Email korespondensi: ssachmadi@yahoo.com

Abstrak

Ekstraktif bahan alam di makalah ini ditekankan pada bahan alami yang diperoleh dari hutan, tidak semata-mata diekstraksi dari kayu, melainkan juga dari bagian lain pada tumbuhan. Tidak seperti selulosa dan lignin, yang termasuk metabolit primer, pada dasarnya ekstraktif adalah metabolit sekunder, dengan jumlah atom karbon kurang dari 40, dan umumnya hanya menyusun 1-5% dari bobot kayu. Meski demikian, nilai ekonominya sangat tinggi mengingat sebagian besar dari senyawa alam ini berkhasiat dan merupakan endemik Indonesia. Dari sudut pandang kimia, ekstraktif terbagi ke dalam 3 golongan besar, yaitu lemak, terpena/terpenoid, dan fenolik. Selain unsur karbon, hidrogen, dan oksigen, unsur lain dalam jumlah sedikit adalah sulfur dan fosforus. Bioproduk utama yang dibahas di sini ialah minyak kayu manis, jernang, damar mata kucing, ekstrak fenolik dari daun surian, gondorukem dan terpentin, gaharu, ekstrak dari tumbuhan akar kuning, kelompok steroid dari tumbuhan belawan putih, minyak lawang, kopal, dan minyak masohi. Minyak atsiri adalah kekayaan alam Indonesia dan beberapa sumbernya menghadapi kepunahan. Banyak di antara ekstraktif ini bermanfaat bagi kesehatan, dan pengalaman menunjukkan ada potensi bahwa tumbuhan hutan dapat dibudidayakan sebagai pengaya hutan tanaman industri yang ada; demikian pula bahwa ekstraktif dapat dipanen melalui upaya kultur jaringan, atau disintesis di laboratorium.

Kata kunci: ekstraktif kayu; hasil hutan bukan kayu; metabolit sekunder; minyak atsiri; resin Natural product extractives for bioproducts

Extractives in this paper are emphasized on natural products derived from forests, not solely extracted from wood, but also from other parts of the plant. Unlike cellulose and lignin, which are categorized as primary metabolites, extractives are basically secondary metabolites, with the number of carbon atoms less than 40, and generally only make up 1-5% of the weight of the tree. Nevertheless, the economic value is very high considering that most of these natural compounds are efficacious and are endemic to Indonesia. From the standpoint of chemical, extractives are divided into three major categories, namely lipids, terpenes/terpenoids, and phenolics. In addition to carbon, hydrogen, and oxygen, small amounts of other elements, sulfur and phosphorus, are exist. Bioproducts to be discussed here are that of cinnamon oil, dragon’s blood (jernang), resin (damar), phenolics extract from the leaves of surian, rosin and turpentine, agarwood/aloeswood, extracts of yellow-root plant (akar kuning), steroid extracted from belawan putih plant, oil mace, copal, and massoia oil. Essential oils are the natural wealth of Indonesia and some of the natural sources are facing extinction. Many of these extractives are beneficial to health, and experience shows that forest plants can be cultivated as an add-on the existing industrial tree plantations; likewise that the extractive can be harvested through the efforts of tissue culture, or synthesized in the laboratory.

Keywords: essential oil; non-timber forest products; resin; secondary metabolites; wood extractive

(6)

2

Pengertian Ekstraktif Kayu VS. Hasil Hutan Bukan-Kayu (HHBK)

Istilah “ekstraktif” saja dapat menyesatkan, apalagi di sektor pertambangan, yang berarti kegiatan yang mengambil sumber alam tanpa dapat mengembalikannya ke alam. Sementara itu, yang dimaksud dengan “ekstraktif kayu” adalah bahan bukan selulosa, bukan hemiselulosa, dan bukan lignin, yang merupakan bagian dari dinding sel, umumnya berbobot molekul tinggi dan dapat mencapai jutaan. Selulosa dan lignin digolongkan ke dalam metabolit primer, sedangkan ekstraktif kayu adalah berupa senyawa organik berbobot molekul rendah dan tergolong ke dalam metabolit sekunder (secondary

metabolites, atau bahkan natural products).

Metabolit sekunder berukuran molekul dengan < C40, menyusun 1-5% dari kayu, dan sangat ditentukan secara genetika oleh spesies tumbuhan yang bersangkutan, juga bergantung pada lokasi di dalam tumbuhan, Selain dari kayu, ekstraktif juga dapat diperoleh dari kulit, daun, dan buah. Jenis ekstraktif dapat mencapai ribuan dalam satu jenis kayu.

Pada bidang hasil hutan juga dikenal “hasil hutan bukan-kayu (HHBK)”, yaitu hasil hutan hayati, baik nabati maupun hewani dan turunannya yang berasal dari hutan, kecuali kayu. HHBK dapat menjadi alternatif sebagai pendapatan tunai bagi masyarakat setempat (Achmadi, 2016). Rotan dan bambu termasuk HHBK. Rotan bahkan pernah menjadi andalan HHBK bagi Indonesia tetapi kelimpahannya sudah menurun saat ini. Paparan ini membahas lebih pada metabolit sekunder dan turunannya.

Golongan Kimia Ekstraktif Kayu

Berdasarkan asal-muasal biosintesisnya, zat ekstraktif dapat dibagi ke dalam 4 kelompok utama, yaitu lemak, flavonoid (termasuk senyawa fenolik dan polifenolik), terpenoid (Tabel 1), dan sejumlah kecil alkaloid (mengandung unsur nitrogen dan sulfur). Peneliti lain menggolongkan senyawa bahan alam ini berdasarkan tipe yang lebih spesifik. Flavanoid adalah golongan fenolik yang paling melimpah. Golongan ini memberi warna pada daun dan bunga serta rasa asam pada buah yang belum masak. Selain sebagai bahan penyamak, tanin juga dapat digunakan sebagai perekat kayu.

Tabel 1. Golongan ekstraktif kayu

Golongan Struktur kimia Sumber dan kegunaan

Lemak Lemak: asam linoleat

Trigliserida

Alkohol lemak C20H41OH (Eikosanol)

Malam: CH3-(CH2)n-O-CO-(CH2)m-CH3

Suberin: [-O-(CH2)n-CO-] n = 18-28

Kemiri (Aleurites moluccana), nyamplung (Calophyllum inophyllum) Lilin lebah Suberin (gabus) Terpenoid Monoterpena

Umum pada kayu jarum; monoterpena (α-pinena, β-pinena, untuk terpentin; limonena dalam minyak atsiri.

(7)

3 Diterpena Triterpena Diterpena: komponen gondorukem. Fenolik

Fenolik sederhana: asam galat

Stilbena: pinosilvin

Flavanoid: taksifolin

Lignan: pinoresinol

Pinoslvin dalam kayu pinus, sangat beracun.

Flavanoid: taksifolin, krisin, genistein, tanin.

Lignan: biasanya tidak toksik, pinoresinol, antioksidan yang baik.

Fungsi ekstraktif kayu

Fungsi ekstraktif sangat beragam. Salah satunya adalah untuk pertahanan, misalnya sebagai repelan, bisa, dan toksin. Masih banyak senyawa ekstraktif yang belum terungkap fungsinya. Semua fungsi tersebut dapat diturunkan menjadi senyawa obat dan kosmetik, asalkan dikaji fungsi dan dosisnya. Pemanenan yang lestari ekstraktif kayu perlu dipikirkan. Sebaliknya, keberadaan ekstraktif mengganggu proses pulping dan pengerjaan kayu, seperti pengecatan.

(8)

4 Sebanyak 16 jenis kayu tropis Indonesia yang diteliti sifat desorpsi dan adsorpsinya memperlihatkan bahwa sifat higroskopis kayu dipengaruhi oleh ekstraktif yang menyumpal daerah amorf dalam dinding sel. Penyingkiran ekstraktif dengan air panas atau pelarut organik mengakibatkan pengerutan yang berlebihan. Semua sampel yang diteliti memperlihatkan kolaps parsial, yang menyiratkan plastisisasi ekstraktif pada suhu tinggi dan kadar air yang tinggi dalam struktur dinding sel (Choong & Achmadi, 1991).

Ekstraktif kayu memiliki peran penting dalam perlindungan terhadap serangan rayap dan jamur. Pada percobaan di Uganda dengan 3 spesies kayu yang tahan rayap, antara lain Albizia coriaria, ekstraktif dikeluarkan dan digunakan untuk mengawetkan kayu Pinus caribaea dan Antiaris toxicaria yang rentan serangan rayap. Setelah diekspos ke rayap Macrotermes bellicosus di lapangan, ternyata keawetan kayu Pinus meningkat 50% dibandingkan kontrol. Selain itu teramati juga bahwa penyingkiran ekstraktif menurunkan resistensi kayu yang semula awet (Syofuna et al., 2012).

Beberapa ekstraktif kayu yang berpotensi dalam perdagangan

Sekitar 30 ribu sampai 40 ribu jenis tumbuhan yang tersebar di setiap pulau, 20% di antaranya memberikan hasil hutan berupa kayu dan sisanya (80%) justru berpotensi memberikan HHBK, antara lain berupa ekstraktif kayu. Ekstraktif yang sudah biasa dikomersialkan di antaranya cendana, gaharu, kayu putih, masohi (diambil minyak atsirinya), jernang dan kemenyan (resin), dan pinang (flanoid). Gaharu yang berasal dari pohon Aquilaria malaccensis, merupakan turunan kayu (bentukan kayu yang memiliki sifat baru) terjadi akibat infeksi jamur (Fusarium sp., Botryodiplodia sp., Popularia sp., atau

Pytium sp.). Manfaat berbagai ekstraktif meliputi manfaat sosial ekonomi terutama pada peningkatan

pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan, pencegahan dan pengurangan perladangan berpindah, serta pencegah laju urbanisasi dengan menyediakan lapangan kerja. Data statistik ekstratif kayu selalu menunjukkan peningkatan nilai ekspor, tetapi dengan menurunnya sumber daya hutan dapat mengkhawatirkan kelestariannya.

Kayu manis

Trans-Sinamaldehida (3-fenil-2-propenal) merupakan komponen utama minyak sinamon, yakni

mencapai 56%. Minyak sinamon adalah komoditas yang lazim disuling dari kulit pohon (Gambar 1). Senyawa yang rentan teroksidasi ini memiliki aktivitas antioksidan, dengan IC50 5 mg/L, dibandingkan dengan senyawa rujukan butil hidroksi toluena (BHT), dengan IC50 10 mg/L (Pebriana, 2011). Kepunahan sumber daya ini mungkin tidak mengancam karena kulit kayu manis dapat dipanen dari terubusan pohonnya.

Gambar 1. Trans-Sinamaldehida dan sumbernya dari minyak kayu manis

Jernang

Jernang merupakan eksudat dari buah rotan (Daemonorops draco). Warnanya yang merah menyebabkan komoditas ini dijuluki dragon’s blood. Getah ini tidak saja dimanfaatkan sebagai zat warna, melainkan juga sebagai obat mujarab di Jambi. Pada dunia perdagangan, dikenal 3 kelas mutu jernang, yaitu “super”, A, dan B. Kriteria tersebut semata-mata dari tampilan fisik (Gambar 2).

(9)

5 Identifikasi senyawa kimia memperlihatkan bahwa senyawa penciri jernang adalah drakorhodin, dan senyawa 3,4-dihidro5-metoksi-6-dimetil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol selalu hadir bersama dengan drakorhodin (Achmadi et al., 2013). Untuk keperluan perdagangan, sangat diperlukan senyawa murni dari kelompok antosianin ini, agar mutu jernang dapat ditentukan secara lebih terukur. Upaya mengisolasi drakorodin telah berhasil mendapatkan kemurnian 65% (Sarman, 2014).

Gambar 2. Drakorhodin dan senyawa 3,4-dihidro5-metoksi-6-dimetil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol

serta sumbernya dari getah buah rotan

Harga yang tinggi menjadi bumerang, sehingga banyak perambah menebang rotan. Jernang terancam punah. Untuk mendapatkan 1- 2 kg getah sekarang diperlukan 2 pekan; dibandingkan dengan 10-15 tahun silam, pencari jernang hanya perlu 1 pekan di hutan untuk memperoleh 7-10 kg getah kering, sedangkan untuk pendapatkan 1 kg getahnya diperlukan 28-30 kg buah jernang. Permintaan akan ekspor jernang sangat tinggi, yaitu untuk bahan baku herbal. Jalan keluar terbaik adalah budi daya agar mutu biji dan kontinuitas pasokan jernang terjaga. Masyarakat desa di Jambi mulai membudidayakan jernang pada 2006.

Damar Mata Kucing

Lampung Barat menjadi penghasil damar mata kucing (repong) tertinggi di dunia. Komoditas resin ini dihasilkan dari Shorea javanica. Senyawa penciri damar mata kucing ialah α-kopaena (Mulyani, 2013) (Gambar 3). Kelestarian sumber daya ini sangat mengkhawatirkan. Dari total 350 kepala keluarga (KK), rata-rata tiap KK memiliki lahan seluas 2 hektar, dengan sekitar 50 pohon damar per hektar. Setiap pohon, dalam sebulan rata-rata menghasilkan getah damar 2 kg. Pohon damar mulai menghasilkan getah sejak usia 20 tahun. Dalam keadaan banyak hujan, produksi getah damar terganggu. Harga pasar dinilai rendah karena mutu damar menurun. Selama ini ada 3 tingkat mutu getah damar, yakni kualitas asalan, AC, AB, dan ABC atau kualitas ekspor. Rendahnya harga juga berakibat warga menjual pohon damar warisan tinggalan leluhur kepada pengelola kayu atau menggantinya dengan tanaman karet. Salah satu yang perlu dipikirkan ialah standardisasi mutu dan harga.

(10)

6 Surian

Kajian atas daun, kayu teras, dan kayu gubal surian (Toona sinensis) (Gambar 4) menyimpulkan bahwa ekstrak etanol dari ketiga bagian tumbuhan ini memiliki aktivitas antioksidan sangat tinggi dengan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH dan sangat toksik saat diujikan pada larva udang. Hasil anasisis GC-MS pirolisis menunjukkan bahwa pirogalol dalam ekstrak daun dan 9,19-siklolanostan-3-ol dalam ekstrak kayu teras bertanggung jawab atas tingginya aktivitas antioksidan ekstrak. Senyawa seskuiterpenoid yang terdeteksi, yaitu amortena, α-kadinol, G-kadinena, dan α-kopaena dalam ekstrak kayu teras dan kayu gubal diduga berperan dalam toksisitas ekstrak (Sari et al., 2011).

Gambar 4. Pirogalol dan 9,19-siklolanostan-3-ol dan sumbernya dari daun surian

Gondorukem

Getah pinus (Pinus merkusii) (Gambar 5) diolah untuk lanjut menghasilkan terpentin dan gondorukem. Gondorukem dimanfaatkan sebagai pengemulsi di industri tinta cetak, penyalut, industri perekat, dan farmasi. Kandungannya kompleks, terdiri atas 90% berbagai asam resin dengan kerangka diterpena dan 10% senyawa non-asam resin; salah satunya ialah asam merkusat. Pengesteran asam-asam resin ini telah berhasil memenuhi syarat sebagai biodiesel menurut SNI 04-7182-2006, yang meliputi parameter viskositas kinematik, titik kabut, total sulfur, blangan asam, bilangan iodin, dan kadar metil ester. Khusus untuk titik nyala yang lebih rendah dari standar biodiesel, metil ester gondorukem cocok untuk digunakan sebagai biogasolin (Mulyaningrum, 2008). Asalkan upaya reboisasi hutan tidak terganggu, sumber daya gondorukem terbilang aman.

Gambar 5. Asam merkusat sebagai salah satu asam resin dari getah pinus

Gaharu

Gaharu (Gambar 6) bukan khas produk Kalimantan, melainkan tersebar sampai ke Nusa Tenggara dan Papua. Dari keempat tempat tumbuh tersebut, kadar dan senyawa yang terkandung sangat beragam. Keragaman juga ditentukan oleh mutu atau kematangan gaharu. Dari kemedangan Papua, hanya teridentifikasi senyawa dominan berupa metil oktanoat. Dari 4 kelas mutu gaharu asal Kalimantan (kacangan B, teri B, medang A, dan medang B), rendemen damar wangi tidak berkorelasi dengan kadar senyawa seskuiterpena dan kromon yang merupakan penentu mutu gaharu. Dengan menggunakan

(11)

7 kromatografi gas-spektrometri massa, teridentifikasi 10 senyawa seskuiterpena dan 3 kromon, dengan kandungan yang berbeda-beda (Anwar, 2011). Mutu gaharu berdasarkan SNI saat ini, dari yang terendah ke yang tertinggi adalah kemedangan, super tanggung A, dan super A. Kadar seskuiterpena yang terekstraksi baik dalam aseton maupun etil asetat meningkat dari 5-6% ke 12-13%. Senyawa penciri gaharu Pulau Bangka adalah aromadendrena dan J-gurjunena (Muntaqo, 2012).

Gambar 6. Metil oktanoat dan aromadendrena; kayu sebelum dan sesudah menghasilkan gaharu

Akar Kuning

Akar kuning (Fibraurea chloroleuca) (Gambar 7), pasak bumi (Eurycoma longifolia), dan seluang bilum (Lavanga sarmentosa) adalah 3 dari banyak tanaman obat khas Kalimantan. Sekarang, semakin sulit saja menemukan tanaman obat ini sebab pengumpul hasil hutan harus memburunya jauh ke dalam hutan.

Gambar 7. 6-Hidroksiarkangelisina dan sumbernya dari tumbuhan akar kuning

Saponin dari akar tumbuhan akar kuning yang diekstraksi dengan campuran pelarut metanol:diklorometana (2:1), memberikan rendemen 6%. Selanjutnya, saponin dihidrolisis untuk memisahkan sapogenin dari gulanya. Salah satu triterpenoid sapogenin yang terdeteksi memiliki bobot molekul 534 (Gunawan, 2008). Uji in vitro pada mencit jantan dewasa yang hatinya rusak memperlihatkan bahwa sapogenin memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor yang lebih baik dibandingkan saponin. Ekstrak sapogenin lebih mampu mencegah kerusakan hati daripada metode pengobatan (Hardian, 2008).

Belawan Putih

Hutan gambut di Indonesia memiliki biodiversitas flora yang khas. Senyawa antibakteri dari ekstrak kloroform daun belawan putih (Tristania whiteana) (Gambar 8) telah ditemukan melalui analisis bioautografi terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus epidermidis. Dari kajian ini berhasil diisolasi dan diidentifikasi asam betulinat. Selain kegunaannya sebagai obat diare bagi penduduk asli Kalimantan, asam betulinat pun berpotensi sebagai obat kontrasepsi (Handayani et al., 2014).

(12)

8

Gambar 8. Asam betulinat dan sumbernya dari tumbuhan belawan putih

Minyak Lawang

Beragam minyak atsiri khas dihasilkan dari Sulawesi. Minyak lawang (Gambar 9) merupakan minyak gosok terkenal, disuling dari Cinnamomum cullilawan. Safrole diisolasi dari minyak lawang ini melalui ekstraksi basa. Selanjutnya, reaksi dengan eugenol yang berasal dari minyak cengkih menghasilkan hidroksikavikol dengan rendemen 71% (Arifin et al., 2014). Hidroksikavikol diketahui memiliki aktivitas antibakteri, antiradang, antioksidan, antikanker, dan antimutagen.

Gambar 9. Hidroksikavikol dan safrole serta sumbernya dari minyak lawang komersial

Kopal

Kopal (Gambar 10) disadap dari pohon Agathis loranthifolia, yang banyak tumbuh di Ternate, selain di Sukabumi. Kandungan utama kopal adalah limonena, yang mencapai 44%, bergantung pada tempat tumbuhnya. Limonena terdiri atas R-(+)-limonena dan S-(-)-limonena dengan enantiomer S yang harganya lebih mahal. Upaya untuk mengisolasi enantiomer S bahkan menghasilkan senyawa baru karvon 100% (Resmeilina, 2011), yang harga jualnya jauh lebih mahal lagi. Proses isolasi campuran rasemik limonena dengan pelarut ternyata mudah mengoksidasi senyawa alam ini. Masalah utama dalam perdagangan kopal adalah kandungan pengotornya.

(13)

9 Minyak Masohi

Minyak masohi merupakan komoditas ekspor yang merupakan hasil sulingan dari kulit pohon masohi (Cryptocarya massoia), tumbuhan endemik di Papua dan sedikit di Maluku. Importir memanfaatkannya sebagai perisa (flavor) pada es krim dan juga sebagai konstituen kosmetik. Rasanya seperti kelapa. Kandungan utama minyak masohi adalah masoilakton C10 (5,6-dihidro-6-pentil-2H-piran-2-on) dan senyawa ini diusulkan sebagai penciri mutu. Ada juga sedikit kandungan C12 (Wijaya, 2015).

Untuk memperoleh bahan baku, kulit pohon dikupas (Gambar 11), dikeringkan, dan disuling. Sumber daya pohon masohi semakin menipis dan akan ancaman kepunahan sudah di depan mata. Pengangkutan dari pedalaman Papua ke luar pulau sering menggunakan helikopter. Penyulingan skala besar tidak dilakukan di Papua, melainkan di Pulau Jawa.

O

O n

Gambar 11. Masoilakton C10 (n = 3), komoditas minyak masoi, dan sumber dayanya Gagasan untuk pengembangan bioproduk dari ekstraktif kayu

Ekstraktif kayu menjadi anugerah kekayaan bangsa Indonesia, yang wajib diantisipasi dari kepunahannya. Misalnya, dari 70 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di dunia, 40 di antaranya dari Indonesia, dan sebagian adalah ekstraktif kayu. Pada tahun 2010, Dewan Atsiri Indonesia (2007) telah mencanangkan peta jalan pengembangan industri minyak atsiri Indonesia. Dinyatakan, pada tahun 2019, indikator kinerjanya adalah (1) terwujudnya keseimbangan pasokan dan kebutuhan pasar minyak atsiri, (2) sebesar 100% industri minyak atsiri sudah menggunakan peralatan produksi yang standar, (3) sebesar 90% petani mencapai produktivitas potensial tanaman atsiri, (4) sebesar 95% volume produksi minyak atsiri industri sudah memenuhi standar mutu, (5) proporsi nilai ekspor produk turunan minyak atsiri 55% dari total nilai ekspor produk minyak atsiri, dan (6) produk perisa (flavor) & pewangi (fragrance) Indonesia memasok 25% kebutuhan industri pengguna di dalam negeri. Target DAI perlu didukung.

Bercermin dari kemajuan minyak nilam, dapat dikembangkan bioteknologi, meliputi kultur jaringan, aplikasi genetik guna mendapatkan gen pemacu produksi minyak, dan aplikasi enzim untuk memacu produksi minyak. Strategi seperti ini dapat ditiru untuk tumbuhan hutan penghasil ekstraktif. Kita dapat memulainya dengan riset dasar, yakni dengan menyingkap struktur kimia dan sifat-sifatnya, baik sifat kimia, fisik, maupun hayatinya. Setelah itu, senyawa aktif dapat diformulasi dengan senyawa aktif lain lebih meningkatkan manfaatnya.

Untuk spesies yang belum terancam punah, sumber daya ekstraktif bisa ditanam di pekarangan. Upaya sederhana lainnya dapat dengan memanfaatkan bagian tanaman yang tidak mematikan pohon, contohnya adalah dari daun surian. Untuk sumber daya yang terancam punah, dapat dengan sintesis kimiawi. Kayu merbau (Intsia palembanica) sudah sukar didapatkan dari hutan. Dari spesies ini diperoleh robidanol, yaitu flavanoid yang terbukti berpotensi sebagai senyawa pemutih kulit (Batubara et al., 2011). Upaya menyintesis robidanol sudah diinisiasi meski rendemen belum mencapai 50%. Masoilakton C10 sudah pernah disintesis, dan dapat di-scale-up guna mengantisipasi punahnya kayu

(14)

10 masohi di habitat aslinya. Homolog masoilakton telah dapat disintesis tetapi rendemen baru mencapai 47% (Abe & Sato, 1955).

Selaras dengan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pengembangan HHBK diarahkan pada areal di dalam kawasan hutan negara dan lahan milik masyarakat, baik untuk tujuan produksi, lindung maupun konservasi. Pengalaman baik telah diperoleh dari pelaksanaan proyek pengayaan hutan di areal PT Inhutani I di Kalimantan Timur dengan bantuan dana dari the International Tropical Timber Organization, dikerjakan selama 40 bulan. Tumbuhan obat indigenus yang terseleksi antara lain akar kuning, pasak bumi, tabat barito, dan saluang bilum. Bibit telah berhasil dikumpulkan, disemaikan, dipindahkan dan ditanam di tegakan hutan tanaman akasia, dan tumbuh subur layaknya di hutan alam. Gambar 12 adalah yang berkenaan dengan akar kuning, mulai dari penyiapan lahan pembibitan, pemindahan ke lapangan, dan tanaman sekitar usia 3 tahun.

Gambar 12. Pengayaan hutan tanaman industri di Kalimantan Timur, dari pembibitan, pengangkutan

ke lapangan, sampai kondisi pertumbuhan usia 3 tahun

Dari kajian mikologi, ada contoh yang menakjubkan dari pohon kina, penghasil senyawa antimalaria. Umumnya, alkaloid kuinina diekstraksi dari kulit pohon. Cendawan endofit Cercospora sp. dan Diaporthe spp. yang diisolasi dari daun dan ranting pohon kina berhasil ditumbuhkan dalam media sintetik dan kina dapat dipanen kapan pun dari tempat tumbuh yang relatif sempit tanpa bergantung pada pengulitan batang. Berikut ini adalah temuan yang menyiratkan bahwa alkaloid spesifik dapat diekstraksi dari media sintetik yang ditumbuhi Fusarium sp. (Tabel 2). Di pihak lain, galur Diaporthe sp. bahkan mampu memproduksi sampai 185 mg L-1 (Hidayat et al., 2015).

Tabel 2. Produksi alkaloid dari endofit Fusarium sp.

Spesies Nomor koleksi IPBCC

Konsentrasi (mg L-1)

Kuinina Kuinidina Sinkonina Sinkonidina

F. incarnatum 15.1251 0.8 - - 3.6u10-5 15.1252 0.8 - - - 15.1253 0.9 - - 2.0u10-4 F. oxysporum 15.1250 0.9 - - - F. solani 15.1248 0.9 - - - 15.1249 0.7 - - 2.5u10-5

Demikian gagasan untuk melestarikan produksi ekstraktif kayu, baik melalui penanaman, teknik sintesis senyawa organik, maupun memanfaatkan spesies hayati lain. Semoga pemikiran ini bermanfaat.

(15)

11

Daftar Pustaka

Abe, S., Sato F. (1955). Studies on the synthesis of massoi-lactone and its homologues. Part II. Synthesis of nonyn-1-ol-4-carboxylic acid-1-lactone (Massoi-lactone). Bulletin of the Chemical Society of

Japan, 29(1): 88-90.

Achmadi, S.S., Toriq, U., Arifin, B. (2013). Measurement of chemical markers in dragon’s blood. Paper presented at Conference on QIR (Quality in Research), Yogyakarta, 25-28 Juni 2013.

Achmadi, S.S. (2016). Pelestarian produksi hasil hutan bukan-kayu berlandaskan kajian kimiawi. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. 23 April 2016. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Arifin, A., Tang, D.F., Achmadi, S.S. (2015). Transformation of eugenol and safrole into hydroxychavicol. Indonesian Journal of Chemistry, 15(1): 77- 85.

Anwar, F. (2011). Identifikasi komponen kimia empat tingkat mutu gaharu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Batubara, I., Darusman, L.K., Mitsunaga, T., Aoki, H., Rahminiwati, M., Djauhari, E., Yamauchi, K. (2011). Flavanoid from Intsia palembanica as skin whitening agent. Journal of Biological Science,

11(8): 475-480. Doi: 10.10.3923/jbs.2011.

Choong, E.T. & Achmadi, S.S. (1991). Effect of extractives on moisture sorption and shrinkage in tropical woods. Wood and Fiber Science, 23(2): 185–196.

[DAI] Dewan Atsiri Indonesia. (2007). Roadmap Pengembangan minyak atsiri Indonesia.

Gunawan, A. (2008). Deduksi struktur sapogenin akan tanaman akar kuning [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Handayani, D., Achmadi, S.S., Agusta, A. (2014). Senyawa antibakteri daun belawan putih (Tristaniopsis whiteana). Jurnal Biologi Indonesia, 10(1): 93-100.

Hardian, P. (2008). Ekstrak sapogenin akar kuning sebagai hepatoprotektor pada mencit yang diinduksi

parasetamol [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hidayat, I., Radiastuti, N., Rahayu, G., Achmadi, S.S., Okane, I. (2015). Three quinine- and cinchonidine-producing Fusarium species from Indonesia. Current Research in Environmental &

Applied Mycology, 5(4): 4-10. Doi 10.5943/cream/5/4/4.

Mulyani, S. (2013). Senyawa penciri damar mata kucing untuk pembaruan parameter Standar Nasional

Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mulyaningrum. (2008). Metil ester gondorukem sebagai kandidat bahan bakar nabati [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Muntaqo, F.A. (2012). Korelasi kadar seskuiterpena dengan mutu gaharu Standar Nasional Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Pebriana, E. (2011). Isolasi sinamaldehida dari minyak kulit kayu manis sebagai antioksidan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Resmeiliana. (2011). Ciri kimiawi asam resin kopal Agathis loranthifolia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sari, R.K., Syafii, W., Achmadi, S.S., Hanafi, M. (2011). Aktivitas antioksidan dan toksisitas ekstrak etanol surian (Toona sinensis). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, 4(2): 46-52.

Sarman, S.A. (2014). Upaya isolasi drakorodin dari resin Daemonorops draco [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Syofuna, A., Banana, A.Y., Nakabonge, G. (2012). Efficiency of natural wood extractives as wood preservatives against termite attack. Maderas, 14(2): 155–163.

Wijaya, A.F. (2015). Metode isolasi terbaik dan kadar masoilakton minyak masoyi (Cryptocarya

(16)

12

Review

Proses compounding serat alam-termoplastik di industri

Asmuwahyu Saptorahardjo* PT. Inter Aneka Lestari Kimia Jln. Balaraja Barat km 24.5 Tangerang

*Email korespondensi: asmu_wahyu@interaneka.com

Abstrak

Terdapat tiga masalah penggunaan serat alam sebagai penguat pada matriks termoplastik yang harus diatasi. Pertama, suhu operasi mesin pengekstrusi perlu dijaga pada suhu relatif rendah. Hal ini berkaitan dengan potensi degradasi suhu serat alam yang bisa membatasi jenis termoplastik sebagai matriks. Kedua, kadar air yang tinggi pada serat alam. Hal ini dapat menyebabkan proses dispersi serat alam pada matriks termoplastik tidak berlangsung secara efektif, bahkan menimbulkan ketidak- stabilan pada dimensi produk akhir. Ketiga, serat alam umumnya bersifat hidrofilik dan polar, sehingga tidak kompatibel dengan matriks termoplastik yang bersifat non-polar. Untuk meningkatkan pembasahan serat, permukaan serat alam perlu dimodifikasi sehingga menjadi lebih hidrofobik atau perlu digunakan aditif compatibiliser pada formulasi bahan compound. Ketiga masalah ini pada praktek di industri diuraikan dalam paper ini.

Kata kunci: compounding; mesin pengesktrusi; polimer; serat alam; termoplastik Natural fibre-thermoplastics compounding process on industry

There are three major challenges on utilization of natural fiber as reinforcement agent on thermoplastics matrix. First is temperature operation of extruder that require low temperature maintenance. This is due to thermal degradation potency on natural fiber which consequence to the limitation of thermoplastics type as the matrix. Second is high moisture content of natural fiber. The high amount of moisture content on natural fiber lead to ineffective dispersion process as well as unstable dimension of end products. Third is incompatibility between natural fiber which is hydrophilic and polar with thermoplastic that non-polar. In order to increase the wettability of fiber, modification on fiber surface is necessary. Thus fiber become more hydrophobic. Alternative on minimalize the incompatibility is addition of compatibilizer material in compound. Those three challenges on industrial process are described in this paper.

Keywords: compounding; extruder; natural fiber; polymer; thermoplastic Pendahuluan

Material komposit tersusun atas matriks, fasa kontinyu bermodulus relatif rendah dapat berupa thermoplastik yang diperkuat melalui tertanamnya komponen bermodulus tinggi sebagai fasa diskontinyu. Komponen bermodulus tinggi ini pada umumnya adalah serat yang ikut memikul beban stres, sedangkan matriknya mengikat komponen bersama dan bersifat kontinyu, yaitu mendistribusikan beban pada fiber sesuai dengan fraksi volume komposit. Keunggulan material ini adalah sifat mekaniknya yang kuat, resistensi terhadap korosi, ringan, dan dapat difabrikasi, sehingga menjadikan kebutuhan komposit semakin tumbuh.

Kandungan serat alam, seperti selulosa, lignoselulosa, memiliki kerapatan rendah, sekitar 1,4-1,5 g/cm3, mudah didegradasi, konsumsi energi rendah, dan biaya bahan relatif rendah. Kekuatan lebih rendah bila dibandingkan dengan serat sintetik mekaniknya (lihat di Tabel 1). Sehingga sampai saat ini,

(17)

13 aplikasinya bukan untuk menyaingi produk yang telah mempergunakan serat sintetik dengan modulus sangat tinggi, namun, karena didorong oleh kebutuhan industri terhadap produk yang makin ringan dan isu lingkungan (Thompson et al., 2009; Saptohardjo, 2015). Serat alam mulai dipertimbangkan untuk mengganti serat gelas pada komponen otomotif juga pada produk konstruksi. Kerapatan serat alam jauh lebih rendah dibanding serat gelas, sehingga diperoleh kenaikan rasio kekuatan terhadap berat pada produk dengan penguat serat alam dibandingkan dengan penguat serat gelas.

Tabel 1.Perbandingan kekuatan mekanik serat

Serat Kerapatan (g/cm3) Pemuluran (%) Kuat Tarik (MPa) Modulus Elastik (GPa)

Katun 1.5 7.0 40 5.5 -12.6

Jute 1.3 1.5-1.8 39.3-773 26.5

Kenaf 1.45 1.6 930 53

Sisal 1.5 2.0-2.5 511-635 9.4-22

E-glass 2.5 0.5 2000-3500 70

Diadaptasi dari Ku at al. (2011)

Tabel 2. Sifat beragam termoplastik

Sifat PP LDPE HDPE PS

Kerapatan (g/cm3) 0.89 - 0.92 0.91-0.92 0.94-0.95 1.04-1.06

Tm (°C) 162- 170 105-110 130-140 -

Kuat Tarik (MPa) 26 - 41.4 40-78 14.5-38 25-69 Modulus Elastik (GPa) 0.94 - 1.77 0.055-0.38 0.4-1.5 1-2.5 Diadaptasi dari Ku at al. (2011)

Selain beberapa sifat yang menguntungkan, serat alam memiliki tiga kelemahan utama bila ingin dijadikan komposit dengan termoplastik, yakni:

a. Serat alam mudah terdegradasi pada kondisi shear extrusion thermoplastic (Tabel 2). Pada umumnya untuk memproses bahan thermoplastik, titik leleh menjadi petunjuk kondisi pemanasan dalam mesin pengekstrusi (extruder). Untuk mempercepat pelelehan dan menurunkan viskositas bahan termoplastik, suhu pada zona kompresi serta daerah supply lelehan, sekitar 50 °C diatas titik leleh. Sehingga kondisi untuk memproses serat alam dengan PP disarankan pada suhu sekitar 215 °C. b. Serat alam bersifat hidrofilik. Kandungan air pada serat alamiah antara 5-10 % (Rowell et al., 1997;

Clemons & Caufield, 2005). Pemrosesan serat bersama bahan termoplastik dengan kandungan air sebanyak ini akan menyebabkan ketidak-stabilan proses, bahkan produk yang dihasilkan menjadi sangat berpori.

c. Serat alam tidak kompatibel dengan termoplastik, sehingga dispersinya buruk. Hal ini diakibatkan oleh serat alam yang memiliki gugus kimia yang polar seperti gugus hidroksil, sehingga tidak kompatibel sebagai campuran termoplastik yang bersifat non polar.

Tiga keterbatasan inilah yang harus diatasi untuk menghasilkan komposit dengan kualitas yang konsisten. Pada pemakaian serat alam sebagai penguat pada bahan termoplastik, sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kekuatan mekanik. Lain halnya pada pemakaian termoplastik untuk menggantikan bahan tepung kayu pada WPC (Wood Plastic Composite). Kelemahan kayu yang memiliki sifat hidrofilik dan mudah mengalami serangan jamur dapat diatasi dengan meng-encapsulasi

(18)

14 serat kayu dengan material termoplastik yang bersifat hidrofobik. Preparasi tepung kayu ini dapat menurunkan secara nyata aspek rasio dari serat selulosa. Pada situasi ini tepung kayu bersifat sebagai pengisi (filler).

Degradasi suhu serat alam dan proses compounding dalam mesin pengekstrusi

Secara industri, produksi bahan compound serat alam-termoplastik mempergunakan teknik pemrosesan termoplastik yang dikenal sebagai ekstrusi, yakni teknik pencampuran sampai tingkat dispersi yang membuat material tersebut bersifat sebagai komposit. Pada proses ini termoplastik sebagai matriks kontinyu harus meleleh, sedangkan fasa serat perlu terdispersi secara merata, terbenam dengan orientasi matriks seseragam mungkin. Proses pelelehan termoplastik ini mempergunakan dua sumber energi, yakni pemanasan melalui heater di barrel dan pemanasan melalui konversi energi mekanik dalam bentuk putaran (screw) menjadi beban (shear), dan selanjutnya terkonversi menjadi shearing

heat, yang akan menaikkan suhu material dalam proses ekstrusi sampai pada tahap pencapaian titik leleh

termoplastik. Gambar 1 memperlihatkan skema susunan mesin, mulai dari motor, gearbox, hopper untuk memasukkan material, venting pengeluaran udara, barrel extruder sampai ke waterbath untuk mendinginkan.

Gambar 1.Skema susunan mesin pengekstrusi (extruder).

Suhu proses terbatas pada sekitar 200 0C Rowell et al., 1997; Clemons & Caufield, 2005), meskipun dengan waktu tinggal yang singkat dapat diproses pada suhu diatasnya (Saheb & Jog, 1999). Degradasi suhu serat alam dapat mulai terjadi pada suhu 220 0C, yaitu saat komponen hemiselulosa mulai terurai. Teknik analisis TGA (Thermogravimetric Analysis) dapat mengkonfirmasi suhu degradasi ini (Rowell et al., 1997). Akibat degradasi suhu, terjadi perubahan warna dan timbul masalah organoleptik. Degradasi suhu juga dapat menurunkan kekuatan mekanik dari material komposit yang dihasilkan. Selain itu, dapat menimbukan porositas pada campuran yang diakibatkan oleh evaporasi material organik yang volatil dan evaporasi air dari dalam bahan baku serat. Bila barrel extruder ini dibuka (Gambar 2), didalamnya terdapat sepasang screw yang digunakan untuk melelehkan dan mencampur bahan baku (compounding).

Bahan baku yang diumpankan umumnya melalui pengumpanan gravimetrik, yaitu melalui

hopper (Gambar 1), sebagai campuran padatan yang bersifat free flowing. Campuran di dalam barrel

mulai terdorong oleh screw yang bersifat conveying dari daerah feeder bersuhu relatif rendah ke daerah bersuhu lebih tinggi. Bentuk ulir dan ukuran shaft memberikan efek kompresi, menaikkan shear dan meningkatkan suhu material. Sehingga saat suhu leleh terlewati, dengan segera polimer meleleh dengan cepat. Peristiwa tersebut dapat terjadi pada sepertiga dari panjang screw. Barrel mulai terisi penuh pada daerah dengan kompresi tinggi ini dan mulai memberikan tekanan balik ke arah motor. Untuk

(19)

15 mengeluarkan udara yang terbawa pada daerah ini, barel dilengkapi dengan venting. Berikutnya akan terjadi proses dispersi serat ke dalam matriks lelehan polimer. Wilayah panjang screw yang diperlukan untuk dispersi serat ini bervariasi, tergantung pada kemudahan serat dibasahi oleh lelehan polimer serta fraksi volume serat. Untuk memberikan efek orientasi pada serat, dengan memanfaatkan sifat tingginya aspek ratio serat, serat dapat dimasukkan ke dalam barrel saat polimer sudah meleleh. Teknik ini dikenal sebagai side feeder. Masuknya serat pada keadaan ini membuat orientasi serat searah aliran polimer. Hal ini berdampak positif karena dapat mengurangi kerusakan serat (memendeknya serat), sehingga dapat meningkatkan kekuatan modulus flexural komposit. Konfigurasi screw juga memungkinkan untuk diatur sedemikian rupa sehingga dapat menurunkan material volatil dari lelehan. Umumnya, sepertiga terakhir dari konfigurasi screw ini juga dilengkapi venting. Fungsi screw terakhir adalah menghasilkan tekanan tinggi pada lelehan, sekaligus mendorongnya maju seperti pompa untuk melewati lubang die, membentuk strand, yang kemudian dapat didinginkan baik dengan udara dingin maupun pendingin lainya untuk dijadikan butir pelet komposit.

Gambar 2. Screw ganda (twin screw extruder) pada barel dalam keadaan terbuka Masalah kadar air (moisture)

Kecenderungan serat alam mengabsorpsi air mengakibatkan ketidakstabilan dimensi komposit, karena dapat mengakibatkan terjadinya swelling pada komponen seratnya. Moisture pada serat perlu diturunkan sekitar 0,1 % agar proses pencampuran (compounding) dalam twin screw extruder menghasilkan dispersi yang memadai. Bila proses pembuatan komposit didahului dengan pembuatan pelet compound, dimana air digunakan sebagai pendingin (extrudate), maka modifikasi serat perlu dilakukan. Gugusan hidrofilik pada permukaan serat, yaitu berupa gugus hidroksil yang sangat polar, bisa mengakibatkan proses compounding serat dengan bahan termoplastik (bersifat tidak polar) menghasilkan material tanpa keunggulan sifat mekanik. Tidak adanya proses pembasahan permukaan serat oleh lelehan polimer bisa menyebabkan:

a. tidak ada kontak yang rapat (intimate) antara polimer dengan serat mengakibatkan tidak ada proses dispersi serat pada matriks polimer. Terdispersinya serat merupakan syarat mutlak terjadinya proses

compounding. Bahkan peningkatan sifat mekanik akan diperbesar bila aliran polimer dalam extruder

dapat mengorientasikan serat melalui transfer energi permukaan melalui kontak yang rapat tersebut. b. timbulnya pori-pori pada produk kompositnya.

Pendekatan yang perlu dilakukan adalah memodifikasi secara kimiawi gugus hidroksil pada permukaan serat sehingga permukaan serat menjadi lebih hidrofobik. Gugus hidroksil dapat diasetilasi secara kimia, atau dicangkok dengan gugus seperti anhidrida asam. Pemakaian oksidator juga bisa dilakukan untuk memperkaya jumlah selulosa pada serat, misalnya dengan mengoksidasi lignin maupun komponen organik lainnya dalam serat. Tentu saja proses modifikasi sifat permukaan serat alam dengan cara-cara ini menambah biaya bahan utama pada komposit. Sehingga timbul usaha pemrosesan yang sekaligus dapat membebaskan air. Teknik proses yang sudah sering dimanfaatkan adalah proses pencampuran dengan thermokinetic mixer (Rowell et al., 199). Pada dasarny, teknik ini juga memanfaatkan transfer energi kinetik screw seperti twin screw. Namun pada thermokinetic mixer ini,

(20)

16 diameter screw dibuat lebih besar, sehingga lebih tepat disebut rotor. Rotor dapat diputar dengan kecepatan sangat tinggi mendekati 5000 rpm, lebih cepat dibanding twin screw yang hanya sekitar 200 rpm. Pada kondisi ini diharapkan selain proses pencampuran, juga terjadi pengeluaran air yang efektif.

Gambar 3 memperlihatkan alat thermokinetic mixer. Dengan teknik ini, compounding cukup dilakukan

dalam waktu yang pendek, sekitar 2-3 menit, dan bersifat batch. Proses selanjutnya adalah granulasi.

Gambar 3. Rotor pada mixer termokinetik

Compatibiliser serat alam-termoplastik

Teknik lain untuk memperbaki pembasahan permukaan serat, karena perbedaan hidrofobisitas serat alam-matriks polimer adalah pemakaian compatibiliser. Compatibiliser umumnya adalah polimer yang memiliki gugus fungsi polar (functional polymer). Pada umumnya gugus fungsi ini dicangkokkan pada polyethylene (PE) atau polypropylene (PE). Pada formulasi tertentu, compatibiliser ini dapat menurunkan tegangan permukaan lelehan polimer, atau menaikkan energi permukaannya. Energi permukaan polimer seperti PE dan PP, sangat rendah (Tabel 3). Kenaikan suhu dapat menaikan energi permukaan, namun tidak cukup unuk membasahi permukaan serat yang polar. Penambahan

compatibiliser akan menaikan energi permukaan polimer, sehingga energi permukaannya dapat setara

dengan energi permukaan (seperti PET) dan pada gilirannya dapat membasahi permukaan serat.

Tabel 3. Energi permukaan bermacam polimer

Nama Polimer Energi Permukaan mN/m (20° C)

LLDPE 35.7 LDPE 35.3 PP 30.1 PIB 33.6 PS 40.7 PET 44.6

Diadaptasi dari Saheb & Jog (1994)

Pembasahan permukaan serat oleh lelehan matrix termoplastik dan kestabilan perekatan (adhesivity) antara serat dengan matriks akan mengurangi laju dan jumlah absorpsi air pada fasa-antara serat-matrix. Beberapa macam coupling agent yang populer dipergunakan adalah MAPE (Maleat anhidrida dicangkok ke PE), MAPP (Maleat anhidrida dicangkok ke PP), SMA (Maleat anhidrida dicangkok ke Styrena). Gambar 4 menunjukkan pemakaian silan sebagai coupling agent pada serat kertas–PP (1-2% dari berat total), untuk mendapatkan kenaikan maksimum modulus tarik (Lu et al.,

(21)

17 2000). Pemakaian daur ulang polypropylena yang dikombinasikan dengan coupling agent MAPP juga merupakan hal menarik yang telah dilaporkan (Islam & Beg, 2010).

Gambar 4. Modulus tarik sebagai fungsi konsentrasi MAPP pada komposit serat (40%, b/b)

dari kertas–PP, disadur dari Lu et al. (2000)

Aplikasi

A.Tepung kayu –termoplastik pada konstruksi

Saat ini pangsa pasar komposit tepung kayu – termoplastik adalah yang paling besar. Jenis filler yang digunakan dalam komposit tersebut, diantaranya adalah hasil ayakan 20-80 mesh dari proses penghalusan kayu untuk kayu pallet, limbah gergajian kayu, limbah industri mebel, atau limbah konstruksi bangunan. Pada umumnya bahan ini tersedia di pasar secara komersial dengan kerapatan bulk sekitar 110-240 kg/m3. Predrying diperlukan untuk menurunkan kandungan moisture dari 6-10% menjadi kurang dari 1%. Tanpa venting, pembentukan uap pada proses compounding dapat menyebabkan komposit menjadi sangat rapuh.

Teknik compounding dengan Extruder Twin-Screw Intermeshing dilengkapi dengan venting zone yang dihubungkan dengan pompa vakum terbukti mampu menghasilkan komposit PP (polypropylene) dengan beban tepung kayu sampai 60% (Lu et al., 2000; Islam & Beg, 2010). Material komposit ini selanjutnya dapat diproses dengan profile extrusion maupun injection molding. Mesin lain yaitu, mesin extrusi profil yang memiliki counter-rotating twin srew dapat langsung diberi asupan bahan serat alam sampai 60% tanpa precompounding (Markarian, 2005). Hal ini karena mesin memiliki kemajuan rancangan screw, material mesin yang tahan korosif, adanya konfigurasi venting dan perbaikan piranti dosis.

Sebagian besar dari komposit jenis ini dikenal sebagai WPC, banyak dipakai pada selasar maupun penahan erosi (Gambar 5). Tepung kayu, seperti filler mineral, dapat menaikkan kekuatan tarik dan modulus fleksural, namun tidak menambah kekuatan lenturnya. Rasio aspeknya sekitar 10 sampai 20 (Rowell et al., 1997). Pemakaianya terbatas pada bagian konstruksi yang tidak menerima beban berarti.

(22)

18 B. Serat alam pada otomotif

Serat alam seperti kenaf memiliki rasio aspek yang tinggi, sekitar 100-200 (Rowell et al., 1997). Komposit serat dengan aspek rasio setinggi tersebut diharapkan memiliki ketangguhan yang dapat digunakan pada material struktur. Aspek rasio yang tinggi menjadi bermanfaat bila serat dapat terdispersi secara merata dan terikat pada matriks termoplastik, juga serat dapat terorientasi secara seragam pada matriks termoplastik.

Thermokinetic mixer dianggap paling memadai untuk mendispersi serat dari kertas koran dan

serat batang kayu pada polipropilena dan polietilena (Lu et al., 2000; Clemons et al., 2003; Sain et al., 2005). Thermokinetic mixer dilengkapi rotor yang dapat berputar sampai 5000 rpm. Hanya diperlukan waktu selama dua menit untuk mendispersikan serat tersebut sekaligus menaikan suhu sampai 190 0C. Uap air segera terlepas. Pada pendinginan, serat dapat terenkapsulasi. Selesai pencampuran, dapat dilanjutkan dengan granulasi, ataupun langsung dicetak untuk menjadi produk final. Untuk mencegah menurunnya panjang serat akibat shear, dapat ditambahkan aditif pelumas, seperti asam stearat. Dispersi dan ikatan serat-termoplastik dapat diperbaiki dengan coupling agent. Sedangkan pemilihan termoplastik dengan viskositas yang relatif rendah akan memfasilitasi keseragaman orientasi serat pada

die maupun mold. Bila aspek rasio serat mencukupi, dispersi merata, ikatan serat-polimer terbentuk dan

orientasi serat seragam, maka transfer stress dari polimer ke serat akan berlangsung sempurna. Serat akan menjalankan fungsinya sebagai penguat. Pada aplikasi industri otomotif, komposit serat alam-PP pada awalnya hanya dipakai pada bagian interior mobil.

Kesimpulan

Serat alam memiliki potensi untuk menggantikan serat gelas. Masalah yang perlu diatasi adalah mengendalikan kadar air pada serat, membuat permukaan serat menjadi lebih hidrofobik serta mendispersikan serat alam pada matriks termoplastik dengan seragam. Teknik pemrosesan dengan ekstrusi twin screw dapat digunakan jika kadar air dari serat sudah dapat ditekan dan lebih rendah dari 0,1%. Penggunaan venting pada twin screw dapat mengeliminasi kadar air tersebut. Pada situasi dimana pengeringan air pada serat menjadi beban biaya, maka thermokinetic mixer dapat dipertimbangkan. Pada kedua pemrosesan tersebut dispersi tetap menjadi tujuan keberhasilan proses. Bahan pembantu, baik berupa compatibiliser seperti poliolefin tercangkok maleat, maupun additif pendispersi seperti Ca- stearat diperlukan.

Daftar Pustaka

Clemons, C.M. & Caufield, D.F. (2005). In Functional Fillers for Plastic (ed: M. Xanthos), Wiley-VCH.

Clemons, C., Caulfield, D. and Giacomin, A.J. (2003). Impact toughness of cellulose-fiber reinforced polypropylene. Proceed. 7th International Conference on Wood fiber-Plastic Composites,

119-1125.

Islam, M.R. & Beg, M.D.H. (2010). Effect of coupling agent on mechanical properties of composite from kenaf and recycled polypropylene. National Conference in Mechanical Engineering Research

and Post graduate Studies UMP Kuantan Pahang Malaysia, 871-875.

Ku, H., Wang, H., Pattarachayakoop, N. and Trada, M. (2011). A review on tenile properties of natural fiber reinforced polymer composites. Composite Part B: Engineering, 42 (4): 856-873.

Lu, J.Z., Wu, Q. and Mac NabbMc, H.S. (2000). Chemical coupling in wood fiber and polymer composites: a review of coupling agents and treatments. Wood Fiber and Science, 32 (1): 88-104. Markarian (2005). Wood-Plastic composite: current trend in materials and processing. Plastic Additive

(23)

19 Rowell, R.M., Sanadi, A.R, Caoulfield, D.F. and Jacobson, R.E. (1997). In Lignocellulosic-Plastic

Composites (eds: A.L. Leao, F.X. Caravalho and E. Frollini). Brazil.

Saheb, D.N. and Jog, J.P. (1999). Natural fiber polymer composites: a review. Advances in Polymer

Technology, 18(4): 351-363.

Sain, M., Suhara, P., Law, S. and Bouilloux, A. (2005). Interface modification and mechanical properties of natural fiber-polyolefin composite product. Journal of Reinforced Plastics and Composites,

24(2): 121-130.

Saptorahardjo, A. (2015). Cassava starch-based bioplastic, a potential solution for the microplastic problem, In Microplastic in the Environment, Source, Impact & Solution, Cologne.

Thompson, R.C., Moore, C.J., Vom Saal, F.S. and Swan, S.H. (2009). Plastics, the environment and human health: current consensus and future trends. Philosophical Transactions of the Royal Society

(24)

20

Biopulping kayu mahang (Macaranga hypoleuca) menggunakan jamur

Phanerochaete chrysosporium

Yeni Aprianis* dan Siti Wahyuningsih

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan Jln. Raya Bangkinang-Kuok, Km.9 Kotak Pos 4/BKN 28401 Riau

*Email: yennie_dy@yahoo.co.id

Abstrak

Biopulping merupakan perlakuan awal menggunakan jamur pendegradasi lignin sebelum dilakukan pengolahan pulp. Jamur pelapuk putih (FPP) Phanerochaete chrysosporium digunakan pada proses biopulping kayu mahang (Macaranga hypoleuca). Kayu mahang cocok digunakan untuk pulp mekanis dan mekanis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sifat kimia dan sifat pengolahan pulp semi-mekanis kayu mahang yang telah diinokulasi jamur P. chrysosporium. Parameter yang diamati adalah sifat kimia kayu, derajat kristalinitas dan sifat pengolahan pulp. Sifat kimia kayu meliputi selulosa, lignin dan hemiselulosa. Sifat pengolahan pulp yang dikaji adalah rendemen pulp dan tingkat kecerahan pulp. Pengolahan pulp semi-mekanis menggunakan aksi kimia (NaOH 8%, b/b) dan aksi mekanis berupa penguraian serat (refining). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biopulping dengan jamur P.

chrysosporium berhasil menurunkan kadar lignin sebesar 12,05% terhadap kontrol. Derajat kristalinitas

serpih kayu mahang meningkat sebesar 12,55%. Terdegradasinya komponen sel kayu mahang menyebabkan terjadinya penurunan rendemen pulp coklat dan tingkat kecerahan pulp.

Kata kunci: biopulping; kayu mahang; pemasakan semi-mekanis; Phanerochaete chrysosporium; selektivitas delignifikasi

Biopulping of mahang wood (Macaranga hypoleuca) pretreated by white rot fungi Phanerochaete chrysosporium

Biopulping is pulp processing with a pretreatment of lignin-degrading fungi. White rot fungi as one of lignin-degrading fungi, named Phanerochaete chrysosporium, was employed as biopulping agent for mahang (Macaranga hypoleuca). Mahang wood is normally used in mechanical and semi-mechanical pulping. The aim of this study was to determine the chemical properties and characteristics of semi-mechanical pulping of mahang after inoculated of P. chrysosporium. Parameters measured were the chemical properties, crystallinity degree and the pulping characteristics. The chemical properties examined in this study were cellulose, lignin and hemicellulose. Whereas, the investigated pulping characteristics were the pulp yield and brightness. The semi-mechanical and mechanical process were utilizing chemical reaction of NaOH (8%, b/b) and refining, respectively. The result showed the inoculation of white rot fungi, P. chrysosporium, has reduced the lignin content of the wood by 12.05% and has increased the crystallinity degree of the chips by 12.55%, compared to the control. Degradation of mahang wood cell components resulted in decreased brown pulp yield and pulp brightness.

Keywords: biopulping; chemi-mechanical pulping; delignification selectivity; mahang wood; Phanerochaete chrysosporium

Pendahuluan

Kayu mahang (Macaranga hypoleuca) merupakan salah satu alternatif penghasil pulp di lahan gambut. Berdasarkan berat jenisnya, kayu mahang tergolong berberat jenis ringan dengan kisaran 0,27-0,32. Hal ini menyebabkan kayu ini termasuk kayu yang tidak direkomendasikan bagi industri pulp

(25)

21 Pengolahan pulp semi-mekanis memiliki keunggulan antara lain rendemen relatif tinggi, biaya produksi rendah, ramah lingkungan, opasitas, brightness (tingkat kecerahan) dan daya cetaknya lebih tinggi dibandingkan dengan pulp kraft (Yang et al., 2008). Di sisi lain kelemahan dari pengolahan pulp semi-mekanis adalah penggunaan energi yang cukup tinggi untuk proses penguraian serat. Salah satu cara mengurangi kebutuhan energi pada pengolahan pulp semi-mekanis adalah dengan memberi perlakuan awal menggunakan jamur pelapuk putih (JPP) untuk mendegradasi lignin (biopulping) sebelum proses pemasakan. Tujuan biopulping adalah penghematan bahan kimia pemasak, penurunan bilangan kappa, penghematan energi dan meningkatkan sifat fisik pulp (Akhtar et al., 1997; Akhtar et al., 1998; Norhaslida et al., 2014). Selain biopulping, perlakuan jamur digunakan pada pemutihan pulp/biobleaching (Guerra et al., 2006). Pengukuran bilangan kappa pada pengolahan pulp semi-mekanis tidak begitu lazim. Berdasarkan ruang lingkup bilangan kappa bahwa uji bilangan kappa digunakan untuk menentukan tingkat kematangan pulp, daya terputihkan atau derajat delignifikasi pulp kimia dan semi-kimia baik pulp belum putih maupun setengah pulp putih (SNI 0494, 2008).

Aplikasi biopulping pada pengolahan pulp semi-mekanis ataupun mekanis dilaporkan dapat mengurangi kebutuhan energi refining (Hunt, 2006; Scott et al., 2002). Menurut Scott et al. (2002) aplikasi bio-mekanis pada kayu Picea abies berhasil menghemat energi refining sebesar 30%, namun pada penelitian ini tidak dibahas mengenai konsumsi energi. Kualitas kimia kayu mahang setelah diinokulasi dengan Phanerochaete chrysosporium dan sifat pengolahan pulp semi-mekanisnya menjadi fokus penelitian ini.

Biopulping menggunakan jamur P. chrysosporium telah dilakukan terhadap kayu Abies bornmulleriana, Fagus orientalis, sengon (Falcataria mollucana) dan randu (Ceiba pentandra) (Istek

et al., 2005; Pujirahayu dan Marsoem, 2006; Istikowati dan Marsoem 2009). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa perlakuan jamur P. chrysosporium berpengaruh terhadap penurunan kadar lignin dengan peningkatan persentase kadar selulosa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada penggunaan jenis kayu dan pengolahan pulp yang digunakan. Sebelumnya, pemasakan dengan proses kraft kayu mahang telah dilakukan dimana rendemen pulpnya sebesar 40,56% dan bilangan kappa 15,33. Sifat fisik pulp memenuhi persyaratan SNI sulfat putih (Aprianis, 2010). Dibandingkan dengan kayu Acacia mangium, kayu mahang memiliki berat jenis yang lebih ringan, sehingga volumenya besar. Hal ini berimplikasi terhadap kebutuhan biaya pengangkutan sampel yang juga besar.

Sejauh ini belum ditemukan laporan penelitian yang memanfaatkan kayu mahang untuk pulp mekanis dengan aplikasi jamur pelapuk putih P. chrysosporium sebelum diolah menjadi pulp semi-mekanis. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui informasi pengaruh pra perlakuan jamur P. chrysosporium terhadap sifat kimia kayu mahang dan sifat pengolahan pulp semi-mekanisnya.

Bahan dan Metoda

Bahan

Bahan baku yang digunakan adalah sebanyak 3 pohon kayu mahang diperoleh dari hutan sekunder yang tidak diketahui umurnya, memiliki rerata diameter setinggi dada 18,58cm. Bahan untuk proses

biopulping dan analisa kimia kayu mahang adalah isolat jamur P. chrysosporium American Type Culture Collection (ATCC) 34541, Potato Dextro Agar (PDA), dextrose 1% b/v, akuades, spritus, alkohol,

etanol-toluena, H2SO4, CH3COOH. Bahan untuk pemasakan pulp adalah NaOH 8% (b/b). Peralatan yang digunakan adalah mesin chipper, autoclave, laminar, inkubator, alat ekstraksi dan peralatan gelas.

(26)

22 Metode penelitian

Perlakuan jamur pelapuk putih (FPP)

Serpih kayu mahang sebanyak 200 g BKT dimasukkan ke dalam plastik tahan panas dan direndam dengan air kran selama 16 jam, kemudian disterilisasi pada suhu 121 oC selama 30 menit untuk mematikan bakteri dan jamur pada kayu. Setelah itu, serpih diinokulasi dengan suspensi miselia P.

chrysosporium sebanyak 10 ml selama 30 hari. Suspensi miselia jamur diperoleh dengan perbanyakan

jamur pada media PDA selama 10 hari. Lapisan pertumbuhan miselia yang diperoleh kemudian dihomogenkan dengan 300 ml akuades selama 15 detik menggunakan blender (Mendonca et al., 2004). Setelah serpih dan suspensi miselia dimasukkan dalam plastik, di ujung plastik dipasang kapas steril dan ditutup dengan kertas steril untuk menghambat bakteri ataupun jamur yang masuk. Pertumbuhan miselia jamur secara merata di serpih terlihat setelah 30 hari masa inkubasi. Selanjutnya serpih tersebut disterililisasi kembali untuk mematikan jamur dan kemudian dicuci dengan air kran, untuk membersihkan miselia yang masih menempel di kayu, walaupun miselia ini sudah tidak aktif lagi. Tahap selanjutnya adalah pengeringan serpih dengan sinar matahari sampai serpih kering udara (kadar air mencapai 11-12%). Sebagian serpih tersebut dilakukan analisa kandungan kimia, analisa morfologi, kristalinitas, guaiacyl. Sedangkan pengolahan serpih yang lain dimasak dengan proses pemasakan semi-mekanis. Serpih yang tidak diberikan jamur digunakan sebagai serpih kontrol.

Analisa morfologi, derajat kristalinitas dan quacyl

Morfologi permukaan serpih kontrol dan perlakuan secara melintang dilihat menggunakan SEM (Scanning electron microscopy) EVO.50-05-87 (Zeiss), dengan perbesaran 500 kali. Derajat kristalinitas menggunakan XRD-(X-ray diffractometer)-7000 (Shimadzu) dengan sumber sinar Cu (tembaga) dan menggunakan sudut 2ϴ = 0-40. Identifikasi senyawa kimia menggunakan Py-GC-MS (Pyrolisis-Gas

chromatography-mass spectroscopy) QP 2010 (Shimadzu). Kondisi pengujian menggunakan gas

Helium UHP, kolom rtxms (60 m x 0,25 mm x 0,25 μm), temperatur pirolisis 400 oC, temparatur sumber ion 200 oC, temperatur injeksi 280 oC, dan waktu program 50 menit. Pada penelitian ini senyawa kimia yang difokuskan adalah guaiacyl (guasil) dan syringaldehyde.

Analisis kimia kayu

Serpih kontrol dan perlakuan dibuat serbuk dengan ukuran 40-60 mesh, kemudian dibebas ekstraktif etanol- benzena (1:2) menurut SNI 14-1032-1989 (cara uji ekstrak alkohol benzena). Serbuk bebas ekstraktif dilakukan analisa kandungan kadar lignin Klason berdasarkan SNI 0492-2008, kadar holoselulosa dianalisa mengacu pada Browning (1967) dan kadar α-selulosa sesuai SNI 01-1309-1989. Hemiselulosa diperoleh dari selisih holoselulosa dengan α-selulosa. Pengujian analisa kimia kayu dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Selektivitas delignifikasi merupakan rasio degradasi lignin/degradasi selulosa (Yang et al., 2007)

Pemasakan pulp semi-mekanis

Serpih kontrol dan perlakuan sebanyak 200 g dimasak menjadi pulp semi-mekanis menggunakan digester, dengan kondisi pemasakan dapat dilihat pada Tabel 1. Serpih yang telah dimasak dicuci untuk memisahkan dengan lindi hitam, kemudian diuraikan seratnya dengan refiner sampai memiliki derajat giling 700-750 mL CSF. Pulp hasil refining kemudian disaring kemudian ditentukan rendemen sebagai pulp coklat menggunakan persamaan 1 berikut ini:

R (%) =஻௘௥௔௧௣௨௟௣௞௘௥௜௡௚௧௔௡௨௥

(27)

23 Pulp hasil pemasakan (coklat) yang belum diputihkan kemudian diputihkan menggunakan proses pemutihan dua tahap menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan bahan kimia tanpa Cl2 (Tabel 1).

Tabel 1. Kondisi pemasakan dan pemutihan pulp semi-mekanis kayu mahang

Kondisi pemasakan pulp

1 NaOH, % (b/b) 8

2 Rasio serpih : larutan 1:5

3 Suhu, oC 165

4 Waktu, menit 30

Kondisi pemutihan pulp P1 P2

1 H2O2, % (b/b) 4 2 2 Na2SiO3, % (b/b) 3 3 3 EDTA, % (b/b) 1,5 1,5 4 NaOH, % (b/b) 2 2 5 Konsistensi, % 10 10 6 Suhu, oC 70 70

Pulp terputihkan kemudian ditentukan rendemennya yang disebut sebagai rendemen pulp putih. Suspensi pulp kemudian dibuat lembaran kertas menggunakan alat hand sheet former dengan target gramatur 80 g/m2. Hasil cetakan ditentukan tingkat kecerahan menggunakan spectrophotometer (Nippon densoku NF 333). Pada alat tersebut dipilih indikator ISO brightness.

Hasil dan Pembahasan

Morfologi, derajat kristalinitas dan kadar guaiacyl

Morfologi permukaan melintang kayu mahang sebelum dan setelah perlakuan JPP P.

chrysosporium dengan perbesaran 500 kali disajikan pada Gambar 1. Perlakuan jamur ini tidak

memberikan perubahan tebal dinding sel (garis warna merah), namun berdasarkan Gambar 1(a) permukaan serpih kontrol lebih halus dan utuh dibandingkan dengan permukaan serpih setelah perlakuan jamur (Gambar 1b). Perlakuan jamur pada serpih menyebabkan terjadinya kerusakan pada sebagian permukaan kayu (garis warna kuning), hal ini diduga terkait dengan aktivitas degradasi lignin pada dinding sel kayu.

Gambar 1. Morfologi permukaan kayu mahang (a) sebelum perlakuan dan (b) setelah perlakuan JPP P. chrysosporium

(28)

24 Kolonisasi antara sel kayu oleh miselia terjadi di atas permukaan kayu dan kemudian berpenetrasi ke dalam kayu, melalui noktah dan melalui lubang yang dibuatnya. Pertumbuhan miselia jamur diikuti dengan pengeluaran enzim pendegredasi lignin. Miselia masuk sel dari lumen sel dan mendegradasi dinding sel, sehingga menyebabkan penipisan dinding sel (Bowyer et al., 2007; Taleipour et al., 2010), namun tidak terjadi penyusutan kayu maupun collapse (Bowyer et al., 2007). Selain itu, perlakuan jamur pada serpih menyebabkan diameter lumen semakin besar (Taleipour et al., 2010).

Monomer penyusun polimer lignin umumnya tersusun dari syringil, guasil dan hidroksiphenol (para coumaryl alkohol). Kandungan monomer tersebut dapat dideteksi dengan GC-MS. Pada penelitian ini monomer guasil (guaicyl) diutamakan guaiacol saja, sedangkan turunan guasil lainnya tidak diperhitungkan. Monomer syringil yang diperhitungkan adalah syringaldehyde. Hasil analisis guasil dan derajat kristalinitas kayu mahang tersebut yang disajikan pada Tabel 2. Perlakuan JPP P. chrysosporium selama 30 hari meningkatkan kadar guasil sebesar 40,99%. Hal ini disebabkan oleh pengurangan kadar syringil yang ditandai dengan tidak ditemukannya syringalaldehid pada serpih dengan perlakuan jamur (Tabel 2). Monomer siringil lebih mudah terdegradasi P. chrysosporium dibandingkan dengan guasil (Sing dan Chen, 2008). Hubungan hilangnya monomer lignin yaitu syringildehyda karena degradasi jamur FPP diduga adanya proses delignifikasi berupa oksidasi. Peningkatan guasil ditandai dengan oksidasi yang besar pada rantai alkil propana di lignin (Arias et al., 2010).

Tabel 2. Derajat kristalinitas, guasil dan siringil kayu mahang

Komponen Perlakuan Perubahan (%) Kontrol 30 hari Derajat kristalinitas 29,47 33,70 12,55 Guaiacol Syringil aldehid 5,37 6,16 9,10 - 40,99 100

Derajat kristalinitas kayu mahang setelah perlakuan P. chrysosporium meningkat 12,55%. Hal ini disebabkan degradasi bagian amorf pada kayu yaitu hemiselulosa (Howel et al., 2009). Hal ini didukung dengan adanya degradasi hemiselulosa sebesar 12,28% sebagai salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan derajat krisatalinitas kayu mahang setelah perlakuan JPP P.chrysosporium. Peningkatan derajat kristalinitas kayu mahang setelah perlakuan jamur P. chrysosporium serupa ditemukan pada kayu

red maple / Acer rubrum (Harstup et al., 2012), dimana derajat kristalinitas selulosa red maple

meningkat dari 3 sampai 9 minggu. Derajat kristalinitas selulosa kayu red maple imeningkat sebesar 2,5% pada lama inkubasi 4 minggu dengan jamur Pycnoporus sanguineus

Sifat kimia kayu

Jamur P. chrysosporium merupakan JPP yang sebagian besar berasal dari kelas Basidiomycetes. Jamur ini memiliki kemampuan untuk mendegradasi lignin (Hataka dan Hammel, 2010). Keunggulan

P. chrysosporium dibandingkan JPP jenis lainnya adalah jamur ini memiliki kemampuan hidup pada

kisaran suhu yang lebar yaitu 25– 40 oC (Singh dan Chen, 2008; Kasmani et al., 2012).

Perubahan kandungan kimia kayu mahang sebelum dan setelah perlakuan jamur P. chrysosporium dapat dilihat pada Tabel 3. Tingkat kehilangan selulosa setelah perlakuan JPP P.chrysosporium lebih besar dibandingkan kehilangan lignin, dengan selektivitas delignifikasi sebesar 0,71. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas enzim yang terkandung dalam P. chrysosporium lebih bersifat mendegradasi selulosa dibandingkan dengan aktivitas degradasi lignin. Jamur ini bersifat tidak selektif terhadap lignin. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa selain lignin, enzim yang terkandung dalam JPP ini juga dapat mendegradasi komponen kayu lainnya, seperti selulosa, hemiselulosa secara bersamaan (Eriksson, 1990). Selektivitas delegnifikasi kayu mahang lebih

Gambar

Gambar 4. Pirogalol dan 9,19-siklolanostan-3-ol dan sumbernya dari daun surian  Gondorukem
Gambar 7.  6-Hidroksiarkangelisina dan sumbernya dari tumbuhan akar kuning
Gambar 8. Asam betulinat dan sumbernya dari tumbuhan belawan putih  Minyak Lawang
Gambar 11.  Masoilakton C10 (n = 3), komoditas minyak masoi, dan sumber dayanya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kriteria ini, Usaha Mikro (UMI) adalah unit usaha yang memiliki nilai aset paling banyak Rp 50 juta, atau dengan penghasilan penjualan tahunan paling besar Rp 300

Kewirausahaan dan Latar Belakang Keluarga Terhadap Motivasi Wirausaha Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana”.. Skripsi ini disusun dengan

kewarganegaraan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran kewarganegaraan harus memiliki hal-hal sebagai berikut: (1) Seorang Guru Pendidikan Kewarganegaraan harus

Tiga belas kemahiran pedagogi yang mesti dimiliki oleh GPI PK ialah dengan melengkapkan diri dengan nilai-nilai murni, memupuk minat dan kecintaan terhadap profesion,

Pada pembelajaran tematik memerlukan guru yang kreatif, baik dalam menyiapkan kegiatan/pengalaman belajar bagi anak, juga dalam memilih kompetensi dari berbagai mata pelajaran

bahwa alasan ini tidak dapat dibenarkan, karena meskipun Hakim Kasasi tidak mempertimbangkan bukti tambahan berupa akta No.13 tanggal 29 Agustus 1996 tidaklah menyalahi hukum

Semakin restoran franchise fast food mengetahui kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan, maka akan semakin besar pula kemungkinan restoran tersebut akan

Kantung udara (saccus pneumaticus) terdiri dari air sac/saccus: abdominalis (aa/terdapat diantara lipatan intestinum), thoracalis anterior  (ata/terletak pada dinding sisi