• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP EKSPRESI KOTA SEBAGAI PENDEKATAN MEMBANGUN ATAU MEMPERKUAT CITRA-KOTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP EKSPRESI KOTA SEBAGAI PENDEKATAN MEMBANGUN ATAU MEMPERKUAT CITRA-KOTA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

„KONSEP EKSPRESI KOTA‟ SEBAGAI PENDEKATAN MEMBANGUN ATAU MEMPERKUAT CITRA-KOTA

Bani Noor Muchamad

Staf pengajar p.s arsitektur, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin email: archi_kal@yahoo.com

Abstrak

Sebuah city branding (citra-kota) umumnya terbentuk secara alamiah dan dalam jangka waktu yang panjang (evolutif) berdasar berbagai faktor yang menyertai tumbuh-kembangnya sebuah kota. Peristiwa bersejarah yang pernah terjadi atau sebuah fungsi yang sangat signifikan yang melekat pada kota biasanya menjadi faktor utama pembentuk citra-kota ini. Namun demikian, tidak berarti upaya membangun atau memperkuat citra sebuah kota semata-mata bergantung pada „takdir sejarah‟ ini. Untuk itulah penelitian ini mencoba menggagas sebuah alternatif membangun citra-kota melalui pendekatan konseptual. Konsep ekspresi kota adalah konsep yang ditawarkan dan dibangun dari konsep ekspresi arsitektur yang sudah ada dengan penyesuaian pada elemen-elemen konsepnya. Untuk itu, penelitian ini bersandar pada argumentasi rasionalistik; dimana konsep ekspresi kota dibangun dari kajian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis sesuai kondisi empiris elemen kota. Untuk membangun sebuah citra-kota lebih terbuka peluangnya melalui pendekatan keilmuan (metodologis) dan akan diperoleh penjelasan „bagaimana‟ membangun citra-kota, bukan hanya menjawab „apa‟ yang menjadi citra-kota. Dari analisis diperoleh hasil bahwa terdapat 3 komponen konsep ekspresi kota yaitu, (1)elemen kota, (2)morfologi kota, dan (3)respon. Sedangkan upaya untuk membangun atau memperkuat citra-kota dapat dilakukan dengan: (1)identifikasi elemen-elemen spesifik pembentuk kota, (2) identifikasi proses desain yang sudah ada, (3)memahami hubungan antar elemen yang membentuk kota, (4)memahami bagaimana kota „berbicara‟ melalui desain bangunan dan lingkungan binaannya, dan (5)memahami respon warga kota dan masyarakat lain terhadap cerita tentang kota tersebut. Kelima upaya ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan untuk membangun dan/atau memperkuat citra-kota yang sudah ada.

Kata kunci: ekspresi kota, citra-kota, persepsi, metode desain.

PENDAHULUAN.

Guna merumuskan apa yang dapat menjadi city branding (citra-kota) bagi sebuah kota, setidaknya dapat dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan keilmuan dan pendekatan personal. Secara keilmuan semua bidang ilmu memiliki peluang yang sama untuk mengutarakan gagasan dan berargumen sesuai landasan keilmuannya. Sedangkan secara personal dibutuhkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan, bahkan “penyatuan-diri” dengan kota dan kemampuan mengkolektifkannya mulai dari tataran konseptual hingga disepakati menjadi wujud dari city branding. Mungkin tidak semua orang mampu melakukan pendekatan personal ini, terlebih bagi orang yang selama ini tidak menetap dan mengenal seluk-beluk kota serta memiliki kesempatan membangun kolektifitas yang dibutuhkan. Jika hanya pendekatan personal ini yang mungkin maka akan sangat sulit memperoleh berbagai pemikiran baru untuk membangun city branding sebuah kota. Untuk itulah penelitian ini mencoba menggunakan pendekatan keilmuan, khususnya melalui metodologi yang umum digunakan dalam bidang ilmu arsitektur, yaitu metode desain. Selain itu, dengan pendekatan keilmuan, akan lebih terbuka ruang diskusi dan peluang bagi „orang luar‟ untuk secara obyektif mengemukakan gagasan tentang „bagaimana‟ cara melihat sebuah city branding. Pendekatan keilmuan ini menjadi lebih penting lagi karena tercapainya city branding tentu lebih tepat jika memperhatikan pula kacamata „orang luar‟ dan bukan hanya semata-mata menurut warga kota yang mungkin sangat subyektif.

(2)

Dalam ranah keilmuan, sebuah metode dapat dilihat sebagai pembeda-pembaharu sekaligus argumentasi logis dibalik hasil yang diperoleh. Arsitektur sebagai ilmu dan seni membangun ruang (space) dan bentuknya (form) tentu memiliki relevansi yang sangat tinggi dengan urusan city branding. Kota, sebagai tempat berkumpul dan beraktifitas manusia, dipenuhi dengan berbagai bangunan dan lingkungan binaan lainnya, oleh karenanya arsitektur tidak dapat diabaikan dalam upaya membangun city branding. Karya arsitektur yang tersebar di seluruh pelosok kota tentunya (baik pada masa awal berdiri maupun pada akhirnya saat ini) memiliki jiwa-tempat (spirit of place), fungsi, dan sejarah (history) yang akan berkontribusi dalam membentuk sebuah city branding. Berdasar pemahaman terhadap desain arsitektur, tulisan ini mencoba menawarkan sebuah alternatif pemikiran (berupa konsep) yang dihasilkan dari sebuah metode keilmuan yang diyakini akan mampu menjelaskan sekaligus memprediksikan „bagaimana‟ sebuah citra-arsitektur terbentuk, termasuk dalam skala yang lebih besar yaitu sebuah citra-kota (city branding).

Penelitian ini menitikberatkan pada „bagaimana‟ melihat atau menemukan sebuah city branding, dan bukan menjawab „apa‟ yang menjadi city branding sebuah kota tertentu. Untuk menjawab „apa‟ mungkin membutuhkan pendekatan personal. Sedangkan sebuah konsep dirumuskan melalui metodologi keilmuan yang berlandasakan pemikiran logis. Ibarat pepatah: “lebih baik memberikan kail daripada memberi ikan”. Selanjutnya dengan konsep yang ada dapat digunakan sebagai landasan penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan untuk merevitalisasi elemen-elemen kota yang ada dalam rangka membangun/memperkuat city branding.

LANDASAN TEORITIK Ekspresi Arsitektur

Dalam tulisan ini, upaya membangun city branding (citra-kota) dilihat sebagai upaya memahami ekspresi kota dan persepsi yang terbangun dari karya arsitektur atau lingkungan binaan yang ada dalam kota tersebut. Dari berbagai sumber, seperti: Kamus Bahasa Indonesia (2008), Mirriam Webster Dictionary, Collins Discovery Encyclopedia (1st ed.), The American Heritage® Dictionary of the English Language (4th ed.), Collins Essential English Dictionary (2nd ed.), Encarta Dictionary, dan beberapa sumber lainnya dapat disimpulkan bahwa istilah (term) ekspresi memiliki kedekatan makna dengan „proses komunikasi‟. Jika dianalisis lebih dalam, akan diperoleh pemahaman bahwa ekspresi adalah proses komunikasi melalui suatu media yang ditujukan untuk membangun kesamaan persepsi akan pesan yang dikomunikasikan/ disampaikan. Pemikiran itulah yang melandasi penelitian ini. Dalam bidang ilmu arsitektur, ekspresi umumnya mencakup substansi kajian ilmu arsitektur yang berlaku universal dengan menggunakan media yang terdapat pada karya arsitektur /lingkungan binaan, yaitu hal-hal yang menyangkut bahasa desain atau bahasa perancangan untuk memberikan kenyamanan atau rasa senang bagi pengguna bangunan. Kesimpulan di atas diperoleh dari analisis atas berbagai pendapat para ahli, antara lain: Johnson (1994:396), Kant (1790:49), Lang (1987:183), Chitham (2005:16), Conway (2005:25), Buder (1990), dan Baird (2001 dalam Williamson, 2003). Bahkan, sebagai argumentasi, dalam konteks desain arsitektur penggunaan term ekspresi dapat ditelusuri sejak era Vitruvius yaitu dalam karyanya Ten Books.

Kedekatan antara „ekspresi-persepsi-desain‟ telah lama menjadi perhatian para ahli, baik dari bidang ilmu arsitektur maupun bidang-bidang ilmu lainnya. Salah satu benang merah yang menghubungkan ketiganya adalah persoalan estetika atau keindahan. Jika kita melihat pada sejarah perkembangan arsitektur, khususnya pada periode dimana manusia merasa sudah jauh kehilangan rasa kemanusiaannya dalam desain, kita akan mengerti mengapa faktor estetika menjadi sangat penting dalam sebuah desain arsitektur. Terlebih jika kita memahami

(3)

bagaimana sejarah kehancuran yang terjadi setelah perang dunia. Berbagai teori berkembang pesat dalam rangka memahami berbagai persoalan yang muncul dan mencari solusinya.

Kedekatan antara „ekspresi-persepsi-desain‟ ini tentunya dapat ditemukan pada semua kota yang terbentuk dari sekumpulan karya arsitektur. Untuk itu, upaya membangun city branding (citra-kota) dengan memahami ekspresi dan persepsi yang terbangun dari karya arsitektur atau lingkungan binaan yang ada dalam kota bukan semata-mata persoalan subyektifitas; melainkan sebuah pemikiran yang sangat logis.

Konsep ekspresi arsitektur

Konsep ekspresi arsitektur dalam tulisan ini merujuk pendapat Muchamad dan Ikaputra (2010) yang pada prinsipnya menjelaskan bagaimana sebuah desain harus mampu mengkomunikasikan gagasan desainnya kepada pemakai atau masyarakat di sekitarnya. Gagasan desain yang dikomunikasikan mencakup hakikat kebutuhan akan ruang (space), keindahan (aesthetic) serta kenyamanan. Desain merupakan hasil pekerjaan seorang arsitek atau perancang untuk memenuhi kebutuhan akan wadah aktivitas, memberikan kenyamanan dan kesenangan dari desain yang akan dihasilkan. Untuk itu, beberapa komponen dasar desain harus diproses melalui sebuah prosedur untuk menghasilkan karya desain yang dapat diprediksikan kemampuannya memenuhi kebutuhan pengguna maupun masyakarat umum lainnya. Namun demikian, persoalan bagaimana menyajikan gagasan sekaligus wujud gagasan menjadi tanggungjawab dari desain yang dihasilkan. Untuk itulah bangunan atau lingkungan binaan sebagai hasil karya desain harus mampu berbicara kepada pemakainya atau masyarakat tentang gagasan-gagasan akan ketersediaan, kenyamanan, keindahan, dlsb yang menjadi kebutuhan penggunanya. Sedangkan dari sisi pemakai atau masyarakat, mereka diharapkan mampu membangun persepsi yang sesuai dengan apa yang digagas oleh perancang dengan bantuan mekanisme proses desain (teori arsitektur). Berdasar uraian di atas maka „konsep ekspresi arsitektur‟ yang dimaksud dapat digambarkan sbb:

Gambar 1. Konsep ekspresi arsitektur (sumber: Muchamad dan Ikaputra, 2010)

Sebagaimana umumnya kaidah-kaidah sebuah konsep dalam berbagai bidang ilmu, konsep ekspresi arsitektur inipun mengandung komponen konsep dan proposisi. Konsep adalah simbol yang digunakan untuk memaknai fenomena dan mencakup 3 elemen, yaitu: (1) simbol, (2) muatan makna atau konsepsi, dan (3) obyek atau peristiwa: fenomena, fakta, referensi empirik (Ihalauw, 2008). Konsep yang membentuk ekspresi arsitektur dapat dijelaskan pada tabel berikut.

(4)

Tabel 1. Konsep ekspresi arsitektur

Konsep Simbol Muatan makna Obyek

Desain Komponen desain; fungsi,

keindahan, dan kekuatan. Prinsip desain yang diolah Kegiatan/aktivitas mendesain/merancang yang dilakukan oleh seorang arsitek.

Bangunan (karya desain)

Elemen; garis, bidang, ruang (dan komposisinya). Bentuk/ wujud bangunan (facade, selubung, dll). Elemen fisik bangunan (atap, dinding, lantai,dll).

Unsur-unsur fisik yang diwujudkan dari proses desain dan menjadi sarana memenuhi kebutuhan penghuni/pemakai bangunan.

Bangunan/ lingkungan buatan (fisik) sebagai wadah berbagai aktivitas sehari-hari dan untuk memenuhi berbagai kebutuhan pemakainya. Respon thd

desain Kenyamanan, Keindahan, Kepuasaan.

Kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi /terdapat dalam karya desain (bangunan) dan dapat dirasakan/direspon.

Tanggapan perilaku clien,

pengguna/penghuni, dan masyarakat umum terhadap suatu karya desain arsitektur

Sumber: Muchamad dan Ikaputra, 2010.

Dari 3 konsep diatas selanjutnya dapat dijelaskan adanya 2 proposisi dari adanya keterkaitan antara; (1) konsep desain dengan bangunan dan (2) konsep bangunan dengan respon.

1. Keterkaitan antara konsep desain dan bangunan dapat dijelaskan melalui keterkaitan fenomena keduanya. Kegiatan mendesain dipahami sebagai kegiatan mengolah fungsi-keindahan-kekuatan yang merupakan kegiatan utama seorang arsitek (Robinson, 2001:67-68). Dari kegiatan ini akan dapat diwujudkan sebuah bangunan. Adapun landasan teoritis yang menjelaskan kedudukan kedua konsep adalah konsep proses desain (Lang, 1987:43) yang merupakan sebuah teori positive-prosedural.

Gambar 2. Proses desain

(sumber: Muchamad dan Ikaputra, 2010)

2. Proposisi kedua terbentuk dari keterkaitan antara konsep bangunan dengan konsep respon terhadap bangunan. Kedua konsep dihubungkan oleh kaitan bahwa sebuah bangunan tentu akan menimbulkan respon yang merupakan dampak yang ditimbulkan oleh bangunan (hasil desain) melalui kemampuan desain dalam “berbicara” kepada pengguna (klien), sesama profesi arsitek, dan masyarakat umum yang melihat atau merasakan keberadaan bangunan tersebut (Conway and Roenisch, 2005; Encyclopædia Britannica). Hal ini dijelaskan dalam berbagai teori-teori yang ada dalam studi-studi tentang perilaku lingkungan (environment behavior study); Environmental Perception and Behavior Approach (Patricios, 1975), The Theory of Mediational of Environmental Meaning (Hersberger, 1974), dan yang utama adalah The Gestalt Theory of Perception (Max Wertheimer dan Christian von Ehrenfels). Selanjutnya dari hubungan antara karya desain dengan respon terhadap bangunan akan terbentuk persepsi yang umumnya terungkap melalui makna yang dikandung dan metafora yang ditampilkannya. Penjelasan ini dapat ditunjukkan melalui gambar berikut ini:

(5)

Gambar 3. Persepsi: makna dan metafora (sumber: Muchamad dan Ikaputra, 2010)

Konsep ekspresi arsitektur di atas dapat menjelaskan dan memprediksikan bagaimana sebuah desain arsitektur dapat membentuk sebuah persepsi sesuai yang diharapkan. Selanjutnya konsep ekspresi arsitektur ini menjadi landasan konseptual/teoritik yang akan dikembangkan dalam konteks ekspresi kota.

METODE

Penelitian ini bersandar pada pemahaman rasionalistik; bahwa city branding (citra-kota) dapat dipahami secara logis berdasar landasan konseptual/teoritik. Landasan konsep ekspresi arsitektur yang ada (Muchamad dan Ikaputra, 2010) dijadikan landasan konsep dan selanjutnya dicoba diterapkan pada skala kota. Penggunaan konsep ekspresi arsitektur sebagai landasan knsep ekspresi kota didasarkan adanya kesamaan mendasar pada substansi tujuan konsep, yaitu menjelaskan bagaimana sebuah desain dapat dipahami. Untuk itu konsep ekspresi kota dikembangkan dengan menyesuaikan pada elemen konsepnya. Jika pada konsep ekspresi arsitektur elemen-elemennya mencakup elemen desain bangunan yang paling banyak diperhatikan (Lang, 1987) yaitu fungsi (utility), keindahan (venustas), dan kekuatan (firmitas) maka pada konsep ekspresi kota ini digunakan elemen-elemen pembentuk permukiman yang dirumuskan oleh Doxiadis (1968) dalam Ekistics (the science of human settlement). Elemen yang dimaksud adalah: nature, man/anthropos, shell, society, dan networks. Pemilihan elemen permukiman menurut Doxiadis didasarkan cakupannya yang sangat komprehensif, mulai dari skala populasi 1 orang hingga skala seluruh populasi manusia yang ada, serta mulai dari skala ruang terkecil (manusia yang diam) hingga cosmos (ruang semesta). Elemen elemen permukiman atau lebih luas lagi adalah skala kota yang ada dapat dijadikan kriteria analisis untuk konsep ekspresi Kota Semarang.

(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Merujuk pada konsep ekspresi arsitektur (gambar 1) maka untuk memahami „bagaimana‟ membangun city branding (citra-kota), termasuk Kota Semarang, dapat dijelaskan melalui konsep ekspresi kota berikut.

Gambar 4. Konsep ekspresi kota

Konsep ekspresi kota di atas dapat dibaca sbb:

1. Elemen kota. Setiap kota, termasuk Kota Semarang, memiliki 5 elemen (nature, man/ anhropos, shell, society, networks) yang telah „memenuhi‟ syarat dan diterima hingga akhirnya terbentuk sebuah kota. Sebagai contoh, posisi geografis (elemen nature) Kota Semarang yang berada dekat/tepi laut dengan topografi dan iklimnya yang spesifik tentu telah memenuhi syarat dan diterima sebagai lokasi bermukim bagi warganya. Begitu pula halnya dengan kota lain, misal Kota Banjarmasin, yang posisinya jauh dari laut dan berada di atas rawa. Masing-masing kota memiliki elemen alam yang berbeda namun bisa diterima sebagai tempat tinggal. Kondisi (alam) ini telah dipahami benar dan direspon dengan berbagai kearifan lokal baik dalam bentuk pengetahuan maupun lingkungan binaan masyarakat kota bersangkutan. Lima elemen kota ini menjadi bahan baku terbentuknya kota. Untuk itu, dalam upaya membangun city branding Kota Semarang, maka tahap pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi karakter-karakter spesifik dari ke-5 elemen ini. Identifikasi karakter ke-5 elemen ini harus berkaitan dengan kriteria: (a)kebutuhan ruang (space), (b)keindahan (aesthetic), dan (c)kenyamanan. Kriteria ini sekaligus menjadi pesan bahwa kebutuhan ruang; keindahan; dan kenyamanan bagi semua warga dan masyarakat lain akan terpenuhi. Selain itu kriteria inilah yang pada hakikatnya akan dikomunikasikan serta menjadi city branding setiap kota. Jika pesan dapat tersampaikan dengan baik maka citra-kota akan terbentuk atau dikenal serta menjadikan kota semakin berkembang.

2. Proses desain. Kota hanya mungkin terbentuk manakala 5 elemen tersebut saling berhubungan. Menurut Doxiadis (1968) terdapat 31 kombinasi hubungan antar elemen permukiman (kota). Hubungan antar elemen yang terjadi memang sangat kompleks, dan untuk memahaminya dapat dilihat melalui proses desain yang ada. Proses desain dapat berupa proses yang direncanakan maupun tidak (terjadi secara alamiah dan/atau trial by error) namun yang pasti sudah teruji oleh waktu dan akhirnya tercipta menjadi sebuah kota yang dirasa dapat memenuhi fungsi, keindahan, dan kenyamanan. Dalam proses desain kota, peran manusia (man/anthropos), baik yang berpendidikan formal maupun warga kota umumnya, sangat besar peranannya. Manusia akan selalu berusaha memenuhi keinginannya, mengatasi permasalahan alam, dan bahkan merubah/menundukkan

(7)

lingkungan alam yang ada. Berdasar hal ini, usaha untuk membangun city branding Kota Semarang dapat ditelusuri dari proses-proses desain yang pernah direncanakan/dibuat. 3. Model proses desain. Dalam proses desain kota, khususnya yang direncanakan, terdapat

beragam model yang digunakan. Karena kota dibangun dalam kurun waktu yang panjang tentunya setiap periode/zaman memiliki paradigma, metode, dan ciri tersendiri. Model proses desain bersifat umum dan mencakup semua pengetahuan (tidak hanya ilmu dan seni bangunan) tetapi pengetahuan lain yang berimplikasi pada terbentuknya kota. Sebagai contoh (elemen shell): berbagai bangunan, kawasan permukiman, atau fungsi-fungsi kawasan kota yang ada dan dibangun pada berbagai periode menunjukkan beragamnya model proses desainnya. Pengaruh politik, ekonomi, budaya luar, dlsb pasti turut berpengaruh dalam proses desain. Secara substantif, sebagian besar masyarakat mungkin sudah mengetahui berbagai proses desain yang pernah terjadi. Untuk itu berbagai proses desain yang telah diketahui selama ini perlu di-review kembali untuk membangun city branding Kota Semarang.

4. Morfologi kota. Morfologi kota adalah keseluruhan bentuk (form) kota yang tercipta dari hubungan antar elemennya. Untuk memahami city branding sebuah kota maka harus dipahami juga hubungan antara elemen yang terwujud dalam morfologi kota. Dalam hubungan antar elemen ini, setiap kota memiliki penjelasan yang berbeda karena karakter masing-masing elemen kotanya juga berbeda. Sebagai contoh, sebuah pola pergerakan /jaringan jalan (elemen networks) akan berbeda di setiap kota karena perbedaan kondisi topografinya (elemen nature). Begitu juga dengan bagian dari morfologi kota lainnya. Dengan demikian, morfologi kota merupakan „media‟ yang menyimpan semua informasi hubungan antar elemen dan model proses desainnya.

5. Desain yang berbicara. Sebagai media, kota, melalui bangunan dan lingkungan binaan lainnya, memiliki kemampuan menyampaikan pesan yang dikandungnya. Disini bisa dilihat bagaimana sebuah kota mampu „berbicara‟. Komunikasi gagasan-gagasan dapat melalui elemen fisik bangunan, sejarah, maupun fungsi spesifik yang dimilikinya. Seluruh memori kolektif warga yang telah mentradisi adalah hasil dari cerita kota.

6. Respon. Kondisi kota pasti akan menimbulkan respon dari warganya. Respon dari warga kota ini hanya akan muncul manakala kota (melalui bangunan atau lingkungan binaan lainnya) mampu „berbicara‟. Dalam bidang psikologi; studi untuk memahami bagaimana respon manusia terhadap cerita yang disampaikan oleh kota sudah banyak dilakukan. Tujuannya tentu saja untuk memahami manusia, khususnya hubungannya dengan lingkungan alam ataupun buatan di sekitarnya. Sangat disayangkan jika disiplin ilmu arsitektur yang membangun kota justru tidak memperhatikan respon manusia dilihat dari sisi bangunan dan kotanya. Dalam konteks desain, respon terlihat melalui pemahaman akan makna sebuah desain dan/atau melalui metafora desain. Untuk memahami makna dan metafora desain arsitektur dapat melalui substansi teori yang digunakan dalam proses desainnya. Dengan pemahaman ini maka untuk membangun city branding Kota Semarang harus dipahami sejauh mana kota telah berbicara kepada warganya selama ini dan persepsi apa yang warga kota dan masyarakat lainnya miliki.

7. Makna dan metafora. Secara fisik, kota, termasuk seluruh bangunan dan lingkungan binaan lainnya memiliki makna dan metafora dari cerita yang terbangun. Makna dan metafora kota terbentuk dari persepsi warga atas cerita yang selama ini beredar. Disinilah sesungguhnya terletak sebuah cita-kota (city branding).

Dari seluruh uraian di atas maka upaya untuk membangun atau memperkuat citra-kota, termasuk Kota Semarang, dapat dilakukan dengan identifikasi elemen-elemen spesifik kota, identifikasi proses desain yang sudah ada, memahami hubungan antar elemen pembentuk kota, memahami bagaimana kota „berbicara‟, serta respon warga kota dan masyarakat lain terhadap cerita kota tersebut.

(8)

KESIMPULAN 1. Memahami city branding sebuah kota adalah:

Memahami ekpsresi kota tersebut.

Memahami persepsi warga kota dan masyarakat lain akan cerita tentang kota tersebut. Memahami makna dan metafora dari elemen-elemen pembentuk kota.

2. Membangun sebuah citra-kota lebih terbuka peluangnya melalui pendekatan keilmuan (metodologis) karena akan diperoleh penjelasan „bagaimana‟ membangun citra-kota, bukan hanya menjawab „apa‟ yang menjadi citra-kota.

3. Terdapat 3 komponen konsep ekspresi kota yaitu, (1)elemen kota, (2)morfologi kota, dan (3)respon.

4. Upaya membangun atau memperkuat citra-kota dapat dilakukan dengan: (a)identifikasi elemen-elemen spesifik pembentuk kota, (b) identifikasi proses desain yang sudah ada, (c)memahami hubungan antar elemen yang membentuk kota, (d)memahami bagaimana kota „berbicara‟ melalui desain bangunan dan lingkungan binaannya, dan (e)memahami respon warga kota dan masyarakat lain terhadap cerita tentang kota tersebut.

5. Kelima upaya ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan untuk membangun dan/atau memperkuat citra-kota yang sudah ada.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih peneliti ucapkan kepada Bpk. Ikaputra, atas segala bimbingan dan masukannya selama peneliti menyusun konsep ekspresi arsitektur yang menjadi landasan bagi penyusunan tulisan ini.

PUSTAKA

Buder, Stanley. 1990. Visionariess And Planners: The Garden City Movement and the Modern Community. New York: Oxford University Press.

Chitham, Robert. 2005. The Classical Orders of Architecture. 2nd Ed. Elseviers.

Conway, Hazel and Rowan Roenisch. 2005. Understanding Architecture: An introduction to architecture and architectural history. New York: Routledge.

Doxiadis, C.A. 1968. Ekistics: an introduction to the science of human settlements. New York: Oxford University Press.

Johnson, Paul-Alan. 1994. The Theory of Architecture: Concept, Themes & Practices. New York: Van Norstand Reinhold Company.

Lang, Jon. 1987. Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design. New York: Van Norstand Reinhold Company.

Muchamad, Bani Noor, dan Ikaputra. 2010. Model Ekspresi Arsitektur . Proseding Seminar Riset Arsitektur. Universitas Udayana. Bali.

Robinson, Julia Williams. 2001. The Form and Structure of Architectural Knowledge:From Practice to Discipline. In Andrzej Piotrowski and Julia Williams Robinson (Ed). The Discipline of Architecture. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Williamson, Terry. Antony Radford, and Helen Bennetts. 2003. Understanding Sustainable Architecture. London: Spon Press.

Gambar

Gambar 1. Konsep ekspresi arsitektur  (sumber: Muchamad dan Ikaputra, 2010)
Tabel 1. Konsep ekspresi arsitektur
Gambar 3. Persepsi: makna dan metafora  (sumber: Muchamad dan Ikaputra, 2010)
Gambar 4. Konsep ekspresi kota

Referensi

Dokumen terkait

Red Cross and Red Crescent National Societies use a community-based health and first-aid approach to improve maternal, new- born and child health.. Whether delivering home-based

Sj_ = besar arus jenuh untuk kelompok jalur atau

Penerapan model Guided discovery dengan metode Card sort memberikan kesempatan siswa untuk bergerak aktif secara fisik dan mental melalui aktivitas belajar

Secara umum, biaya mutu ini meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menjamin dihasilkannya produk yang bermutu (dikenal dengan istilah conformance quality cost,

5 1.03.01 DPU Peningkatan Jaringan Irigasi D.I Alue Sungai Pinang Pembangunan Sarana dan Prasarana. Daerah Tertinggal Jasa Konstruksi 300.000.000 1

Pada hewan yang baru menetas, suara digunakan untuk memberi tahu induknya bahwa dia menetas sehingga induk akan membuka sarangnya (Hickman et al., 2008). Ketika

[8] Chousidis, Christos, Rajagopal Nilavalan, and Laurentiu Lipan.. "Expanding the use of CTS-to-Self mechanism for

Dalam melakukan wawancara peneliti harus menyusun atau menyiapkan beberapa instrument terlebih dahulu atau berupa pertanyaan untuk diajukan kepada responden,