CDK-249/ vol. 44 no. 2 th. 2017
97
96
Alamat Korespondensi email:
Peran Neuroimaging dalam Diagnosis Cedera Kepala
Sylvani
Alumna Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Indonesia
ABSTrAK
Cedera kepala adalah perubahan status mental yang terjadi saat kecelakaan. Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan beratnya trauma dan morfologinya. Pemeriksaan neuroimaging yang berperan dalam diagnosis cedera kepala meliputi foto rontgen, Computed Tomography (CT), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Foto rontgen memiliki peran yang sangat terbatas. CT scan tanpa kontras merupakan pilihan pertama di unit gawat darurat. Pemeriksan MRI lebih sensitif mendeteksi kelainan intrakranial pasien cedera kepala dibandingkan CT scan, khususnya pada cedera kepala ringan.
Kata kunci: Cedera kepala, neuroimaging
ABSTrACT
Traumatic brain injury defined as the alteration of mental status during an accident. Traumatic brain injury can be classified based on its morphology and the severity of the trauma. Several neuroimaging studies that play a major role in the diagnosis of a traumatic brain injury include Skull X-Ray, Computed Tomography (CT), and Magnetic Resonance Imaging (MRI) of the brain. X-Ray examination has a limited function in diagnosis. A CT scan without contrast is the main examination in the emergency department. MRI studies appear to be more sensitive than CT scan in detecting an intracranial abnormality especially on patient with mild traumatic brain injury. Sylvani. The role of Neuroimaging in the Diagnosis of Traumatic Brain Injury
Keywords: Neuroimaging, traumatic brain injury
PENDAHuLuAN
Cedera kepala menjadi masalah pada kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi di seluruh dunia.1 Cedera kepala adalah
penyebab utama terjadinya kematian dan disabilitas jangka panjang khususnya pada dewasa muda.1 Banyak pasien cedera kepala
berat meninggal sebelum sampai ke rumah sakit; hampir 90% kematian akibat trauma terkait dengan cedera kepala.2 Sekitar 75%
pasien cedera kepala diklasifikasikan sebagai cedera kepala ringan, 15% cedera kepala sedang, dan 10% cedera kepala berat.2
Computed Tomography (CT) merupakan
pemeriksaan pilihan utama untuk diagnosis cedera kepala akut dengan tujuan untuk menentukan apakah terdapat lesi yang mengancam jiwa.3 Magnetic Resonance
Imaging (MRI) lebih sensitif dalam mendeteksi
kelainan intrakranial dibandingkan CT scan khususnya untuk cedera kepala ringan.3
Pemeriksaan radiologi konvensional tidak memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis kelainan intrakranial.3
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
American Congress of Rehabilitation Medicine
(ACRM) mendefinisikan cedera kepala sebagai perubahan status mental yang terjadi pada saat kecelakaan (disorientasi atau konfusi).1
ACRM membatasi penyebab cedera kepala berupa benturan pada kepala, kepala yang terbentur pada suatu objek atau pergerakan akselerasi-deselerasi otak, seperti whiplash, tanpa trauma langsung pada kepala.1
Tabel 1. Klasifikasi cedera kepala2
Beratnya Trauma Cedera kepala ringan Cedera kepala sedang Cedera kepala berat
GCS 13-15 GCS 9-12 GCS 3-8 Morfologi Fraktur tulang tengkorak Tempurung Linier/Stelata
Depresi/nondepresi Terbuka/tertutup
Basis Dengan/tanpa kebocoran LCS Dengan/tanpa kelumpuhan N.VII Lesi Intrakranial Fokal Epidural
Subdural Intraserebral Difus Concussion Kontusio multipel Hypoxic/ischemic injury Axonal injury
Gambar 1. Insidens cedera kepala di berbagai negara1
Insiden (per 100.000 penduduk)
400 350 450 500 300 250 200 150 100 50 0 Global Eropa Wilayah Europ ean Union USA China* Brazil South A frica Pakista n Sweden*Germa ny Italy* Denma rk* Nor way* Finla nd
99
CDK-249/ vol. 44 no. 2 th. 201798
Insidens cedera kepala di seluruh dunia meningkat terutama disebabkan oleh peningkatan penggunaan kendaraan bermotor di negara berpendapatan rendah hingga menengah.1 Insidens cedera kepala
berbeda di berbagai negara di dunia (Gambar 1).1
Berdasarkan data dari Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), setiap tahun
terdapat 1,7 juta orang di Amerika yang mengalami cedera kepala, dari 1,4 juta orang yang ditangani di unit gawat darurat, 275.000 orang memerlukan rawat inap, dan 52.000 orang mengalami cedera fatal.1 Sebuah
studi meta-analisis di 23 negara di Eropa memberikan hasil insidens cedera kepala yang ditangani di rumah sakit sebesar 235 dari 100.000 penduduk.1
KLASIFIKASI
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan beratnya trauma dan morfologi (Tabel 1).2
DIAGNOSIS
Pemeriksaan pada pasien cedera kepala meliputi pemeriksaan neurokognitif, EEG, pemeriksaan biomarker dalam darah, CT scan dan MRI (terutama susceptibility-weighted
imaging dan diffusion-tensor imaging).
Berikut merupakan pemeriksaan neuroimaging yang dapat digunakan untuk mendiagnosis cedera kepala:
Foto rontgen
Foto rontgen kepala tidak memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis kelainan intrakranial.3 Namun, pemeriksaan ini masih
dapat digunakan untuk mendiagnosis fraktur tulang tengkorak.4 Fraktur memberikan
gambaran garis hitam bertepi tajam dan biasanya berbentuk lurus (Gambar 2).4
Fraktur yang muncul pada area meningea media dapat berkaitan dengan hematoma epidural.4 Pada fraktur depresi, garis fraktur
yang lusen dapat memberi gambaran stelata atau semisirkular (Gambar 3).4 Pada kondisi
demikian, CT scan diindikasikan karena mungkin terjadi cedera jaringan otak.4
Computed Tomography (CT Scan)
CT scan tanpa kontras tetap menjadi pilihan
pertama pemeriksaan pada cedera kepala. Pemeriksaan ini bahkan lebih unggul dibandingkan MRI jika dilakukan dalam beberapa hari setelah trauma.3,10
Pemeriksaan CT scan pada unit gawat darurat difokuskan untuk menentukan efek massa dan perdarahan.3 Efek massa dapat ditentukan
oleh adanya pergeseran atau kompresi struktur intrakranial dari posisi normalnya dengan menganalisis lokasi dan bentuk ventrikel, sisterna basalis dan sulkus. Darah biasanya memberikan gambaran hiperdens dan biasanya terdapat di sisterna basalis, fisura sylvii dan interhemisfer, ventrikel, ruang subdural atau epidural, atau di parenkim otak (intraserebral).3
Pemeriksaan CT scan diindikasikan untuk semua pasien cedera kepala sedang dan berat.2 Pada cedera kepala ringan, CT scan
dilakukan pada pasien dengan nilai GCS kurang dari 15 dalam 2 jam setelah kejadian, pasien dengan kecurigaan fraktur kranium terbuka
atau depresi, adanya tanda-tanda fraktur basis
cranii, muntah lebih dari 2 kali, atau usia di atas
65 tahun.2 CT scan dapat dipertimbangkan
pula pada pasien yang mengalami pingsan lebih dari 5 menit, amnesia sebelum kejadian lebih dari 30 menit, dan mekanisme cedera yang berbahaya (seperti pejalan kaki tertabrak oleh kendaraan bermotor, penumpang terlempar dari kendaraan bermotor, jatuh dari lebih dari 5 anak tangga).2
Berikut merupakan gambaran CT scan yang dapat ditemukan pada pasien cedera kepala: Fraktur kranium linier
Merupakan fraktur yang paling sering dan dapat mengakibatkan hematoma epidural. 3 Fraktur di kranium ini paling
sering pada area temporal dan parietal (Gambar 4).3
Fraktur kranium depresi
Fraktur depresi sering berakibat pada kerusakan otak dan sering terjadi pada regio frotoparietal3 biasanya berupa
fraktur kominutif (Gambar 5-A). 3
Fraktur basis cranii
Fraktur ini merupakan fraktur paling berat berupa fraktur linier pada dasar tulang tengkorak.3 Pada pemeriksaan CT scan
dapat dicurigai terdapat fraktur basis
cranii terutama bila terdapat udara dalam
otak (traumatic pneumocephalus), cairan di mastoid air cells, atau air–fluid level di sinus sfenoid (Gambar 5-B). 3
Hematoma epidural
Terjadi akibat rupturnya arteri atau vena meningea media ke dalam ruang antara duramater dan lapisan dalam tulang tengkorak.3 Hampir 95% hematoma
Wilayah Gambar 2. Fraktur kranium linier. Fraktur kranium
(tanda panah) biasanya berupa garis hitam bertepi tajam dan tidak ada tepi yang berwarna putih. Pada posisi anteroposterior (AP) (A), tidak dapat ditentukan apakah fraktur berasal dari tulang tengkorak bagian depan atau belakang. Pada posisi Towne (B), yaitu posisi leher menunduk dan posisi occipital lebih tinggi, fraktur ini dapat terlihat terletak di tulang occipital.4
Gambar 3. Fraktur kranium depresi. Pada posisi lateral (A) menunjukkan bagian sentral dari fraktur, yaitu gambaran stelata (tanda panah besar), dan sekitarnya terdapat garis fraktur konsentrik (tanda panah kecil). Perhatikan gambaran sutura dan gambaran vaskular normal pada foto tersebut. Pada posisi anteroposterior (AP) (B) menunjukkan dalamnya fraktur depresi, walau gambaran ini terlihat lebih jelas pada pemeriksaan CT scan.4
Gambar 4. CT scan kepala dengan fraktur kranium linier (B) dan hematoma epidural (A). Pada brain
window (A), terdapat gambaran lesi berbentuk
lentikular dan hiperdens di regio frontal kiri yang khas untuk hematoma epidural (panah hitam). Bone
window (B) menunjukkan fraktur di tulang regio
CDK-249/ vol. 44 no. 2 th. 2017
99
98
epidural terkait dengan fraktur kranium, terutama di tulang temporal.3 Gambaran
hematoma epidural berupa massa hiperdens, ekstraaksial, bikonveks, berbentuk seperti lensa, terletak paling sering di regio temporoparietal, tidak melewati garis sutura, namun dapat melewati tentorium (Gambar 4-A).3
Hematoma subdural
Hematoma ini lebih sering dibandingkan hematoma epidural dan biasanya tidak terkait dengan fraktur kranium.3
Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh kerusakan bridging veins yang menyebabkan perdarahan di ruang antara duramater dan araknoid. Hematoma subdural akut memberikan gambaran lesi hiperdens berbentuk bulan sabit (konkaf) yang dapat melewati sutura dan masuk ke dalam fisura interhemisfer namun tidak melewati garis tengah.3 Jika hematoma ini
menjadi subakut atau darah bercampur cairan LCS, gambarannya bisa menjadi lesi isodens (terlihat berupa pergeseran sulkus).3 Sedangkan hematoma subdural
kronis (setelah 3 minggu) memberi gambaran hipodens (Gambar 6).3
Perdarahan intraserebral
Trauma pada point of impact (disebut coup
injuries) dan trauma pada sisi berlawanan
dari point of impact (disebut contrecoup
injuries) sering terjadi setelah trauma.3 Coup
injuries sering disebabkan oleh robekan
pada pembuluh darah kecil intraserebral.3
Contrecoup injuries terjadi akibat peristiwa
aselerasi-deselerasi saat otak didorong ke arah berlawanan dan membentur bagian dalam tulang tengkorak.3 Mekanisme ini
dapat menyebabkan kontusio serebral.3
Kontusio hemoragik merupakan perdarahan terkait edema yang biasa ditemukan di lobus
frontal inferior dan lobus temporal anterior pada atau dekat permukaan otak (Gambar 7).3 Pada pemeriksaan CT scan, perdarahan
intraserebral dapat berubah seiring waktu dan dapat tidak terlihat pada CT scan awal. 3
Berikut gambaran perdarahan intraserebral pada CT scan:
Kontusio hemoragik tampak sebagai lesi hiperdens multipel, kecil dengan batas tegas di parenkim otak (Gambar 7-A). 3
Dapat dikelilingi oleh lingkaran hipodens dari edema. (Gambar 7-B). 3
Dapat terdapat perdarahan intraventrikel (Gambar 8). 3
Efek massa merupakan hal yang sering terjadi dan menimbulkan penekanan pada ventrikel, pergeseran ventrikel ke-3 dan septum pellucidum, sehingga menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan otak yang berat. Pergeseran ini
Gambar 5. Fraktur kranium depresi (A) pada tulang parietal kanan (tanda panah putih). Fraktur basis cranii (B) terdapat fraktur kominutif di tulang temporal kanan (tanda panah putih), cairan di
mastoid air cells (lingkaran putih), dan udara di dalam
otak (pneumocephalus) (tanda panah terputus).3
Gambar 8. Perdarahan intraventrikel (tanda panah putih).3
Gambar 6. Hematoma subdural akut (A), subakut (B), dan kronis (C). A, Terdapat gambaran lesi hiperdens berbentuk bulan sabit (tanda panah putih) dengan herniasi otak yang ditunjukkan oleh dilatasi temporal horn kontralateral (tanda panah terputus). B, Hematoma menjadi isodens yang ditunjukkan oleh tidak tampaknya sulkus (tanda panah putih) dibandingkan sisi sebelahnya (tanda panah hitam). C, Gambaran hematoma menjadi hipodens (tanda panah putih) dan masih terdapat pergeseran fisura interhemisfer (tanda panah terputus) dan kompresi ventrikel lateral.3
Gambar 7. Kontusio serebral. A, Kontusio serebral memberikan gambaran lesi hiperdens multipel di dalam parenkim otak (tanda panah putih). B, Kontusio (tanda panah hitam) biasanya dikelilingi oleh lingkaran hipodens yang berasal dari edema (tanda panah hitam putus-putus), dan terdapat efek massa yang ditunjukkan oleh hilangnya sisterna basalis ipsilateral (tanda panah putih putus-putus), pergeseran garis tengah (tanda panah putih) yang menggambarkan herniasi subfalcine, dan dilatasi dari temporal horn kontralateral (lingkaran putih). Terdapat hematoma luas pada scalp (tanda panah kuning).3
Insidens cedera kepala di seluruh dunia meningkat terutama disebabkan oleh peningkatan penggunaan kendaraan bermotor di negara berpendapatan rendah hingga menengah.1 Insidens cedera kepala
berbeda di berbagai negara di dunia (Gambar 1).1
Berdasarkan data dari Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), setiap tahun
terdapat 1,7 juta orang di Amerika yang mengalami cedera kepala, dari 1,4 juta orang yang ditangani di unit gawat darurat, 275.000 orang memerlukan rawat inap, dan 52.000 orang mengalami cedera fatal.1 Sebuah
studi meta-analisis di 23 negara di Eropa memberikan hasil insidens cedera kepala yang ditangani di rumah sakit sebesar 235 dari 100.000 penduduk.1
KLASIFIKASI
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan beratnya trauma dan morfologi (Tabel 1).2
DIAGNOSIS
Pemeriksaan pada pasien cedera kepala meliputi pemeriksaan neurokognitif, EEG, pemeriksaan biomarker dalam darah, CT scan dan MRI (terutama susceptibility-weighted
imaging dan diffusion-tensor imaging).
Berikut merupakan pemeriksaan neuroimaging yang dapat digunakan untuk mendiagnosis cedera kepala:
Foto rontgen
Foto rontgen kepala tidak memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis kelainan intrakranial.3 Namun, pemeriksaan ini masih
101
CDK-249/ vol. 44 no. 2 th. 2017100
disebut sebagai herniasi (Gambar 9). 3
Diffuse axonal injury (DAI)
Gambaran DAI pada CT scan berupa perdarahan kecil (5-15 mm) di substansia alba, perbatasan substansia alba dan nigra di lobus frontal dan temporal, kadang di
corpus callosum dan batang otak, sistem
ventrikel dan sekitar mesensefalon. Namun demikian, DAI sering tidak terdeteksi pada pemeriksaan CT scan, sehingga pemeriksaan MRI tetap memegang peran besar dalam mendeteksi DAI.7
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pilihan utama untuk mendeteksi kelainan intrakranial karena lebih sensitif dibandingkan CT scan. 3
Dalam trauma kepala, MRI berperan besar untuk mendeteksi adanya diffuse axonal
injury (DAI).3 DAI merupakan kerusakan akson
menyeluruh yang menyebabkan kehilangan kesadaran mendadak dan koma selama lebih dari 6 jam.5 Penyebab DAI biasanya
terkait dengan akselerasi dan deselerasi cepat dari otak. Kerusakan akson ini dapat terjadi segera pada saat trauma (primer) atau beberapa menit sampai jam setelah kejadian (sekunder).6 Bagian-bagian otak
yang lebih rentan terhadap DAI adalah substansia alba di parasagital lobus frontal, lobus parietal (termasuk deep white matter),
corpus callosum anterior dan posterior, ganglia
basalis (termasuk kapsula interna), serebelum (termasuk middle cerebellar peduncle), dan pons (termasuk dorsolateral rostral brainstem).6
Gambaran DAI pada MRI adalah sebagai berikut:
Perdarahan petekie kecil tampak hiperintens pada gambaran T1-weighted
images.3
Gambaran yang paling sering ditemukan adalah area hiperintens multipel pada
T2-weighted images di cervicomedullary junction pada lobus temporal dan parietal
atau di corpus callosum (Gambar 10).3
Sekuen lain pada MRI yang dapat membantu diagnosis cedera kepala adalah fluid
attenuated inversion recovery (FLAIR). FLAIR
merupakan pulse sequence yang meniadakan sinyal dari cairan serebrospinal sehingga gambaran hiperintens berkaitan dengan edema.10 T2 weighted-MRI khususnya FLAIRMRI
Gambar 9. Herniasi otak. A, Herniasi subfalcine muncul ketika otak supratentorial bersama dengan ventrikel lateral dan septum pellucidum, mengalami herniasi di bawah falks (tanda panah putih) dan bergeser melewati garis tengah ke arah berlawanan (tanda panah putus-putus). B, Herniasi transtentorial biasa terjadi saat hemisfer serebri bergeser ke bawah melalui insisura di bawah tentorium, menekan temporal horn ipsilateral dan menyebabkan dilatasi temporal horn kontralateral (tanda panah putih). Kedua gambar menunjukkan infark serebral luas dengan edema sitotoksik.3
Gambar 10. Diffuse axonal injury pada MRI. Gambar ini didapatkan dengan menggunakan pulse sequence yang sama dengan T2, namun dengan menurunkan sinyal hiperintens dari cairan serebrospinal, sehingga meningkatkan penyengatan dari area edema. A dan B. Potongan axial mendemonstrasikan lesi multipel hiperintens di gray-white matter junction (tanda panah putih) dan di dalam bagian splenium dari corpus
callosum (tanda panah hitam).3
CDK-249/ vol. 44 no. 2 th. 2017
101
100
lebih sensitif untuk mendeteksi lesi traumatik dibandingkan CT scan.8 Gradient-recalled echo
(GRE) T2-weighted imaging dan susceptibility
weighted imaging (SWI) sering digunakan
untuk mengidentifikasi perdarahan yang tampak hipointens pada modalitas ini. Penggunaan tiga sekuen sering digunakan untuk men-diagnosis cedera kepala karena kemampuannya untuk menemukan kelainan tersembunyi; kombinasi T1, T2, FLAIR, dan SWI telah diketahui dapat membuat segmentasi dan model tiga dimensi pada edema dan perdarahan pada substansia alba dan nigra. Contoh gambaran MRI akut dan kronis pada cedera kepala ditunjukkan pada Gambar 11.10
Gambaran SWI dapat dilihat pada Gambar 12.11
Diffusion MRI juga memegang peranan
besar dalam diagnosis cedera kepala karena kemampuannya untuk mendeteksi efek trauma pada struktur substansia alba.10
Diffusion MRI lebih sensitif mendeteksi
peningkatan kandungan air dibandingkan MRI konvensional.7 Meskipun demikian,
diffusion MRI tidak dapat menggantikan MRI
konvensional dalam mendeteksi perdarahan minimal.7 Diffusion Weighted Imaging (DWI)
dapat mendeteksi trauma akson saat pulse
sequence lain gagal.7 DWI telah terbukti
dapat mengindentifikasi shearing injury yang tidak terlihat pada T2/FLAIR, sehingga sangat berguna dalam evaluasi cedera kepala tertutup.8 Gangguan pada jalur akson
substansia alba dapat dideteksi secara dini melalui pemeriksaan Diffusion Tensor
Imaging (DTI).7 DTI memeriksa integritas jalur
substansia alba dengan mengukur derajat dan arah difusi air.8
DTI telah menjadi biomarker potensial untuk mendeteksi kelainan pada pasien cedera kepala ringan yang dengan pemeriksaan
neuroimaging lain dinyatakan normal. Skala
yang paling sering dipakai dalam DTI adalah
fractional anisotropy (FA) yang mengukur
orientasi dan integritas substansia alba.9
Penurunan FA mengindikasikan degradasi dan diskontinuitas akson dengan bertambahnya kandungan air di antara jalur akson atau dalam ruang perivaskular khusunya pada corpus
callosum.9 Gambaran DTI dapat dilihat pada
gambar 13.11
Diffusion spectrum imaging (DSI) merupakan
teknik terbaru yang membuat pemetaan arsitektur jaras saraf yang komplek menggunakan teknologi spektrum tiga dimensi.10 Teknik ini sangat efektif bila
dikombinasikan dengan CT/MRI untuk mengetahui efek cedera kepala terhadap struktur spesifik substansia alba dan mengindetifikasi abnormalitas yang tidak terdeteksi oleh modalitas lain.10
Pada pasien cedera kepala anak, kombinasi T2, FLAIR, dan SWI memberikan hasil yang lebih akurat terhadap tingkat keparahan kerusakan substansia alba dan deteksi dampak lesi dibandingkan CT scan.10
rINGKASAN
Neuroimaging memegang peranan yang
sangat besar dalam diagnosis cedera kepala.
Jenis pemeriksaan berupa foto rontgen kranium, CT scan, dan MRI. Peranan foto rontgen dalam diagnosis cedera kepala sangat terbatas, yaitu hanya dapat digunakan untuk melihat adanya fraktur pada tulang tengkorak.
CT scan merupakan pilihan pertama di unit
gawat darurat. CT scan tanpa kontras sangat berguna untuk melihat perdarahan dan efek massa intrakranial. Kelainan yang dapat dilihat pada CT scan berupa fraktur kranium, hematoma epidural, subdural, dan perdarahan intraserebral. MRI lebih sensitif dibandingkan
CT scan untuk menilai kelainan intrakranial
khususnya mendeteksi diffuse axonal injury (DAI). Sekuen MRI yang sangat bermanfaat dalam mendiagnosis cedera kepala meliputi FLAIR, GER, SWI, dan diffusion MRI.
Gambar 12. Potongan sagital (kiri) dan aksial (kanan) dari SWI pada otak normal. Area titik hitam menunjukkan pembuluh darah otak yang menyengat karena menggunakan SWI.11
Gambar 13. Diffusion Tensor Images (DTI). Kiri: Map fractional anisotropy (FA). Area berwarna putih adalah area dengan anisotropy tinggi. Kanan: map orientasi warna. Difusi di arah kanan-kiri ditampilkan dengan warna merah, difusi di arah superior-inferior ditampilkan dengan warna biru, dan difusi di arah anterior-posterior ditampilkan dengan warna hijau.11
103
CDK-249/ vol. 44 no. 2 th. 2017102
DAFTAr PuSTAKA:
1. Bob R, Andrew IR, David KM. Changing patterns in the epidemiology of traumatic brain injury. E-Jnl Nature Reviews Neurology [Internet]. 2013 [cited 2016 June 14]; 9:231-6. Available from: http://www.nature.com/nrneurol/journal/v9/n4/full/nrneurol.2013.22.html.
2. American College of Surgeons Commite On Trauma. ATLS. 9th ed. Chicago; 2012(6) .p. 149-68.
3. William H. Learning radiology recognizing the basic. 3rd ed. 2016;27:279-88.
4. Fred AM. Essentials of radiology. 2nd ed. Philadelphia: Saunders; 2005.
5. Pawan M. Diffuse axonal injury: Pathological and clinical aspects. E-Jnl Forensic Research & Criminology International Journal [Internet]. 2015 [cited 2016 June 23]; 1(4): 00026. Available from: http://medcraveonline.com/FRCIJ/FRCIJ-01-00026.php.
6. Tibor H, Safa AS. The significance of diffuse axonal injury: How to diagnose it and what does it tell us? E-Jnl Advances in Clinical Neuroscience & Rehabilitation [Internet]. 2008 [cited 2016 June 23];8(2):16-8. Available from: http://www.acnr.co.uk/may_june_08/ACNRMJ08_axonal.pdf.
7. Sanjith S. Traumatic axonal injury in mild to moderate head injury — an illustrated review. E-Jnl The Indian Journal of Neurotrauma [Internet]. 2011 [cited 2016 June 23]; 8(2):71-5. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0973050811800031.
8. Cecilia VM, Robin AH, Maryse L, Liying Z, Katherine HT. Mild traumatic brain injury: Neuroimaging of sports-related concussion. E-Jnl Neuropsychiatry Clin Neurosci [Internet]. 2005 [cited 2016 June 14];17(3):297-304. Available from: http://neuro.psychiatryonline.org/doi/abs/10.1176/jnp.17.3.297.
9. Yuta A, Ryota I, Masataka G, Naoki Y, Hiroshi S. Diffusion tensor imaging studies of mild traumatic brain injury: A meta-analysis. E-Jnl J Neurol Neurosurg Psychiatry [Internet]. 2012 [cited 2016 June 14]; 83(9):870-6. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22797288.
10. Andrei I, Bo Wa, Stephen RA, Marcel W, Danielle FP, Guido G, et al. Neuroimaging of structural pathology and connectomics in traumatic brain injury: Toward personalized outcome prediction. E-Jnl NeuroImage: Clinical [Internet]. 2012 [cited 2016 June 14]; 1:1-17. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/ article/pii/S2213158212000034?np=y.
11. Shenton ME, Hamoda HM, Schneiderman JS, Bouix S, Pasternak O, Rathi Y, et al. A review of magnetic resonance imaging and diffusion tensor imaging findings in mild traumatic brain injury. E-Jnl Brain Imaging Behav [Internet]. 2012 [cited 2016 February 7];6(2):137-92. Available from: https://www.youtube.com/ watch?v=Que597XbMK0.