BAB III
DOKTRIN-DOKTRIN DASAR TASAWUF
agian ini akan mengungkap sejumlah doktrin pokok tasawuf. Secara khusus, akan dikemukakan sejumlah gagasan dasar dalam dunia tasawuf mencakup tujuan, metode, serta konsep maqamat dan ahwal. Tema-tema ini patut dikemukakan sebagai jalan untuk melacak keberadaan tema-tema tersebut dalam nomenklatur Islam, baik al-Qur`an maupun hadis.
A. Tasawuf sebagai Ilmu
Dalam tradisi Islam, semua ilmu berasal dari Allah SWT. Sebab, segala sesuatu berasal dari-Nya, dan Dia sendiri menye-but diri-Nya sebagai ‘Alim, Maha Mengetahui. Karenanya, se-bagai ‘Alim, Dia memiliki sifat ilmu (‘ilm) atau mengetahui. Da-lam filsafat IsDa-lam, semua nama atau sifat-Nya adalah hakikat dari eksistensi-Nya. Hakikat dari eksistensi-Nya adalah wujud itu sendiri. Sebagai salah satu sifat-Nya, maka ‘ilm (ilmu) ada-lah eksistensi-Nya sendiri.1 Pada hakikatnya, Allah SWT.
ada-lah pemilik ilmu, objek ilmu, bahkan ilmu itu sendiri.
Ilmu Allah SWT. sangat luas sekali, tanpa ada batas. Se-bagai Maha Pemurah, Dia memberi manusia banyak penge-tahuan. Bisa saja Dia memberikan seluruh pengetahuan-Nya kepada manusia tanpa ada batas, tetapi karena manusia mem-iliki keterbatasan, maka manusia hanya mampu menyerap sedikit saja dari ilmu-Nya. Ibarat air laut ditumpahkan ke da-lam sebuah cangkir, tentu cangkir tidak akan mampu menam-pung air laut tersebut, karena keterbatasan kapasitas cangkir.
Jadi, sebagai pemilik ilmu, ilmu-Nya tidak terbatas. Sebab, ilmu adalah diri-Nya sendiri, sedangkan diri-Nya sendiri adalah tid-ak terbatas.
Kendati manusia memiliki banyak keterbatasan, tetapi Al-lah SWT. tiada pernah berhenti melimpahkan pengetahuan-Nya kepada setiap manusia. Karena alasan inilah, Dia memberi manusia dua kitab ilmu kepada manusia, yaitu kitab kecil dan kitab besar. Kedua kitab ini berisikan ayat-ayat-Nya. Kitab kecil berisikan ayat-ayat qauliyah. Kitab ini dikenal sebagai kitab suci, yang berisikan kalam Ilahi, kepada seorang nabi dan rasul. Se-dangkan kitab besar berisikan ayat-ayat kauniyah. Kitab ini dikenal sebagai alam.2 Dalam Islam, alam dibagi menjadi dua
bagian yaitu alam besar (makro kosmos), yaitu alam semesta, dan alam kecil (mikro kosmos), yaitu manusia, dan kedua alam ini diciptakan sebagai tanda-tanda (ayat) keberadaan Allah SWT.3
Kedua alam ini bahkan memiliki dimensi lahir (fisik) dan di-mensi batin (non-fisik).4 Setiap manusia diperintahkan Allah
SWT. untuk menafsirkan kedua kitab ilmu ini secara baik dan benar, karena keduanya berisikan ayat-ayat Ilahi.
Dengan kata lain, sebagian ilmu telah diberikan Allah SWT. secara langsung kepada manusia, tetapi melalui lisan para nabi dan rasul, berupa wahyu. Wahyu Ilahi, seperti al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. berisikan banyak ilmu, dan wahyu Ilahi ini menjelaskan segala sesuatu (al-kitab tibyan li kul-li syai’).5 Dalam tradisi Islam, ayat-ayat al-Quran memiliki
makna lahir sekaligus makna batin.6 Allah SWT. menyeru
manusia mempelajari kandungan ayat-ayat al-Qur’an7 dan
berupaya memahami ta’wilnya.8 Manusia diperintahkan oleh
Allah SWT. untuk menafsirkan dan menakwilkan kandungan teks dari ayat-ayat al-Qur’an, supaya mereka bisa memahami seluruh realitas.9 Sebagai teks suci, ayat-ayat al-Qur’an harus
ditafsirkan dan ditakwilkan secara benar. Dalam epistemologi Islam, teks-teks wahyu bisa dipahami secara benar dengan dengan metode bayani, yaitu tafsir dan ta’wil. Metode tafsir
san-gat tepat memahami makna lahir al-Qur’an, sedangkan metode
ta’wil sangat ampuh menelusuri makna batin al-Qur’an. Kedua metode ini sangat membantu seseorang dalam memahami ayat-ayat dalam kitab kecil tersebut.
Ilmu juga diberikan oleh Allah SWT. secara tidak langsung kepada manusia. Dia menciptakan sebuah kitab besar bagi manusia, yaitu alam semesta. Alam dibagi menjadi dua bagian, yaitu alam besar (makro kosmos) dan alam kecil (mikro kosmos).10
Kedua alam ini memiliki dimensi gaib dan non-gaib. Jadi, kitab besar mengandung dua dimensi yaitu dimensi lahir dan di-mensi batin.
Al-Quran mengakui bahwa realitas itu bisa dibagi dua, yai-tu realitas gaib dan realitas syahadah (non-gaib).11 Banyak
sekali ayat membicarakan realitas gaib seperti Allah SWT.,12
malaikat,13 ‘arsy,14 setan,15 iblis,16 surga,17 dan neraka.18 Tidak
sedikit juga ayat al-Quran yang membicarakan fenomena alam fisik seperti langit dan bumi,19 matahari,20 bulan,21 gunung,22
dan pohon.23 Al-Qur’an sangat banyak memberikan
contoh-contoh bahwa alam memiliki dua dimensi, dimensi lahir dan dimensi batin.
Sebagaimana kemestian untuk menafsirkan kitab kecil, Is-lam juga menyeru manusia menafsirkan kitab besar ini, karena kitab ini juga berisikan ayat-ayat (tanda-tanda) Ilahi.24 Agar
manusia mampu menafsirkan kitab ini, maka Allah SWT. men-ganugerahkan indera, akal dan hati.25 Manusia akan berhasil
menafsirkan kitab besar ini, bila mereka mampu mengaktuali-sasikan semua potensi epistemologinya itu secara sempurna.
Islam bahkan memerintahkan manusia menggunakan se-luruh potensi epistemologinya (indera, akal dan hati), agar mereka mampu memahami realitas. Allah SWT. akan memurkai, bahkan memberikan derajat yang lebih rendah dari derajat hewan ternak kepada manusia, apabila mereka enggan menggunakan indera, akal dan hati untuk memahami ayat-ayat
Ilahi.26 Perintah Allah SWT. ini tidak lain adalah agar manusia
mampu memahami tanda-tanda keberadaan Sang Ilahi.27
Dalam epistemologi Islam, kitab besar akan bisa ditafsirkan secara benar apabila manusia menggunakan metode tajribi, burhani, dan ‘irfani.28 Metode tajribi (eksperimen dan observasi)
digunakan untuk memahami fenomena alam fisik, dan alam fisik bisa dipahami lewat indera.29 Jadi, metode ini
menggunakan indera untuk memahami alam fisik. Para saintis Muslim telah mengembangkan metode ini, dan hakikat metode ini adalah melakukan pengamatan indriawi terhadap objek-objek fisik dan percobaan-percobaan ilmiah terhadap mereka. Terkadang, pengamatan indriawi ini bisa dilakukan secara langsung tanpa alat bantu, namun terkadang membutuhkan alat bantu, misalnya, mikroskop untuk mengamati benda paling kecil, dan teleskop untuk mengamati benda-benda paling jauh. Karena alam fisik mengandung realitas ter-dalam, dan alam fisik memiliki hakikat tersembunyi, maka alam fisik tidak bisa diketahui secara sempurna hanya dengan mengandalkan indera lahiriah semata. Karenanya, penalaran akal memainkan peran besar bagi upaya pengamatan makna terdalam dari alam fisik ini.30 Dengan demikian, alam fisik bisa
dipahami lewat indera, dan kelemahan indera mengetahui hakikat terdalam dari alam fisik ditutupi oleh kemampuan penalaran akal.
Metode burhani digunakan oleh kalangan filosof dari berbagai aliran seperti Peripatetisme (hikmah masysya’iyah), Il-luminasionisme, (hikmah isyraqiyah) dan Transendentalisme (hikmah muta‘aliyah). Metode ini menggunakan akal sebagai alat meraih ilmu. Metode ini menggunakan argumentasi logika (silogisme).31 Selain membantu indera untuk memahami alam,
akal memiliki peran besar mengenal karakteristik alam gaib (non-fisik). Indera tidak mampu mengenali alam gaib, se-bagaimana akal memiliki kemampuan ini. Tetapi, kelebihan akal sebagai alat mengenal objek-objek non-fisik tidak sekaligus
menjadi jaminan bahwa persepsi akal selalu benar. Agar akal mampu mempersepsi objek-objek non-fisik secara akurat, se-tiap akal manusia harus dilatih berpikir secara benar. Karena itu, akal membutuhkan ilmu logika (‘ilm al-mantiq), agar akal bisa berpikir secara benar, dan persepsi akal terhadap alam gaib menjadi akurat.32 Akan tetapi, akal hanya mampu
mengenal dan mengetahui karakteristik objek-objek non-fisik semata, tetapi tidak merasakan, mengalami, apalagi melihat objek-objek tersebut.
Kelemahan akal tersebut ditutupi oleh metode ‘irfani yang disebut juga sebagai tazkiyah al-nafs.33 Metode ini sangat
mengandalkan hati (qalb) manusia sebagai alat meraih ilmu. Menurut metode ini, ilmu bisa diperoleh dengan cara mem-bersihkan jiwa dan hati manusia dari segala dosa. Apabila hati manusia telah suci, maka Allah SWT. akan melimpahkan ilmu secara langsung ke dalam hati manusia. Ilmu ini disebut se-bagai ilmu hudhuri atau ilmu laduni. Dikatakan ilmu hudhuri
adalah karena objek pengetahuan dicapai tanpa melalui peran-tara apapun, baik berupa simbol, konsep maupun representa-si.34
Metode ‘irfani ini digunakan oleh kalangan sufi, baik dari mazhab Gnosisme, Illuminasionisme maupun Transendental-isme. Dalam tradisi Islam, tasawuf atau ‘irfan menjadi ilmu yang menggunakan metode ini. Keduanya kerap disebut mis-tisisme Islam. Melalui metode ini para sufi akan mampu me-rasakan dan melihat objek-objek non-fisik. Mereka bahkan akan mampu memasuki alam gaib, dan memperoleh berbagai ilmu dari alam gaib tersebut. Jika metode burhani hanya sebatas mengenal dan mengetahui objek-objek non-fisik (alam gaib), namun metode ‘irfani mampu mengalami, merasakan, bahkan melihat objek-objek gaib tersebut. Semua ini bisa dipahami dari kasus perjumpaan antara Ibn Sina, seorang filosof diskursif, dan Abu Sa’id, seorang sufi. Ketika mereka bertemu, Ibn Sina berkata “apa yang aku ketahui, ia telah melihatnya.”
Se-dangkan Abu Sa’id berkata pula “apa yang telah aku lihat, ia telah mengetahuinya.”35
Contoh lain bisa disimak dari pertemuan antara Ibn Rusyd, seorang filosof diskursif dengan Ibn ‘Arabi, seorang sufi yang ketika itu masih berusia remaja. Ketika Ibn Rusyd bertemu dengan Ibn ‘Arabi, ia memandangnya dan bertanya “ya?,” lantas Ibn ‘Arabi menjawab “ya.” Ibn Rusyd bertanya sekali lagi “ya?,” tetapi Ibn ‘Arabi menjawab “tidak!.” Seketika wajah Ibn Rusyd pucat pasi. Peribncangan batin mereka sebenarnya seputar masalah cara paling ampuh menuju Allah SWT. Ibn Rusyd sangat meyakini bahwa jalan menuju-Nya hanya me-lalui peningkatan dan penyempurnaan pengetahuan rasional. Akan tetapi, bagi Ibn ‘Arabi bahwa cara menunju-Nya hanya melalui jalan latihan ruhani dan mengikuti ajaran para sufi yang tidak belajar dari buku-buku filsafat seperti Ibn Rusyd.36
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa pengetahuan akal lebih tinggi kualitasnya dari pada pengetahuan inderawi, dan pengetahuan intuitif lebih tinggi kualitasnya dari pada penge-tahuan inderawi bahkan pengepenge-tahuan akal.
Kendati demikian, perbedaan kualitas ilmu tersebut tidak membuat para sarjana Muslim Klasik mendiskriminasikan salah satu dari ketiga metode ilmiah tersebut. Mereka menerima ketiga metode ilmiah tersebut sebagai metode yang valid untuk meraih ilmu. Mereka meyakini bahwa perbedaan tersebut lahir sebagai konsekuensi dari perbedaan objek kajian ketiga metode tersebut. Metode tajribi sangat ampuh meraih ilmu dari objek-objek fisik, tetapi tidak ampuh meraih ilmu dari objek-objek non-fisik. Sedangkan metode burhani sangat akurat menimba ilmu dari objek-objek non-fisik, kendati metode ini hanya mampu mengenali dan mengetahui karakteristik objek non-fisik tersebut. Kelemahan metode burhani ditutupi oleh metode ‘irfani, karena metode terakhir ini mampu merasakan, melihat bahkan memasuki dunia non-fisik, dan meraup hakikat dari dunia gaib tersebut. Dengan demikian, kevalidan ketiga
metode tidak perlu diragukan, karena ketiga metode ini memiliki alat dan objek telaah masing-masing.
Keempat metode ilmiah ini diakui oleh al-Qur’an sebagai cara tervalid memperoleh ilmu dari dua kitab suci Ilahi. Banyak ayat al-Qur’an menyeru manusia untuk memperhatikan fe-nomena-fenomena alam fisik37 dengan menggunakan potensi
panca inderanya.38 Inilah dasar bagi keabsahan penggunaan
metode tajribi. Selain itu, al-Qur’an juga memerintahkan manu-sia agar menggunakan potensi akalnya untuk berpikir secara benar,39 agar mereka mampu memahami fenomena alam fisik
dan alam gaib.40 Allah SWT. bahkan sangat memurkai mereka
yang tidak mau berpikir secara benar.41 Inilah dasar bagi
ke-absahan penggunaan metode burhani sebagai metode meraih ilmu. Kemudian, al-Qur’an juga memerintahkan setiap manusia mensucikan jiwanya, dan melarang mengotorinya, karena hati yang suci akan mampu menerima ilham Ilahi,42 dan
orang-orang berhati bersih akan mendapatkan rahmat Ilahi berupa ilmu yang datang langsung dari sisi-Nya (‘ilmhudhuri).43 Inilah
salah satu argumen kuat tentang kevalidan metode ‘irfani
menurut Islam. Tujuan semua perintah Allah SWT. ini adalah agar manusia bisa memperoleh pengetahuan tentang realitas secara benar, sehingga mereka bisa melihat tanda-tanda kekuasaan Ilahi.44 Jelas sekali bahwa al-Qur’an mengakui
ke-absahan metode tajribi, metode burhani, dan metode ‘irfani se-bagai metode menafsirkan kitab besar.
Dari sini dipahami bahwa karena semua ilmu berasal dari Allah SWT., karena Dia menjadi sumber utama ilmu, dan Dia menciptakan dua kitab sebagai wadah penampung semua ilmu-Nya, maka pada dasarnya, tidak ada pertentangan antara kitab kecil dan kitab besar. Tidak mungkin ada pertentangan karena Allah SWT. adalah wujud sempurna dan sederhana, dan karena Dia tidak berasal dari unsur-unsur yang berbeda, apalagi bertentangan. Dia Maha Esa, dan karena Dia sebagai sumber ilmu, maka kebenaran ilmu menjadi esa pula. Idealnya
tidak ada pertentangan antara kitab kecil dan kitab besar, kare-na keduanya berasal dari satu kebekare-naran, yaitu Allah SWT. se-bagai Maha Esa dan Maha Benar. Karena itu, sangat tidak mungkin ada pertentangan antara wahyu dan filsafat.
Karena itu, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu filosofis, keduanya sama-sama berasal dari Allah SWT. Atau, semua ilmu, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu rasional, be-rasal dari-Nya. Bedanya, ilmu-ilmu agama bebe-rasal dari wahyu yang berasal langsung dari Allah SWT., sedangkan ilmu-ilmu rasional berasal dari Allah SWT, tetapi tidak langsung, karena manusia berusaha keras mencarinya lewat indera, akal dan hati. Para nabi dan rasul menjadi aktor pemeroleh dan penye-bar wahyu Ilahi, sebagai pengetahuan langsung dari Allah SWT., sedangkan para pemikir semacam saintis, filosof dan sufi menjadi aktor pemeroleh dan penyebar pengetahuan tidak langsung dari Allah SWT tersebut. Pada dasarnya, sama sekali tidak ada kontradiksi antara kedua bentuk ilmu ini. Dalam tradisi intelektual Islam, para pemikir Muslim bahkan menjadi-kan wahyu sebagai sumber inspirasi. Bagi kehidupan manusia, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Bahkan, ilmu-ilmu non-agama lahir dari dorongan wahyu Ilahi. Semua pemikir Muslim mengembangkan beragam ilmu atas dasar seruan Ilahi sebagaimana disebutkan oleh berbagai ayat-ayat al-Qur’an. Semua ini mereka lakukan demi menemukan bukti-bukti dari keberadaan-Nya, agar keimanan mereka semakin teguh dan kokoh.
Ringkasnya, tradisi intelektual Islam mengakui kevalidan mistisisme sebagai ilmu. Islam mengakui hati (intuisi) sebagai sarana ilmiah meraih ilmu, dan bahkan alat epistemologi ini menjadi alat paling jitu menangkap hakikat realitas. Akan teta-pi, hanya hati manusia suci yang mampu meraih ilmu hakiki tersebut, karena manusia tersebut telah berhasil mensucikan hatinya (tazkiyah al-nafs), sehingga Allah SWT. secara otomatis melimpahkan ilmu ke dalam hati suci manusia tersebut. Dalam
epistemologi Islam, kualitas pengetahuan intuisi bahkan dipandang sebagai pengetahuan yang tertinggi dibandingkan pengetahuan inderawi dan akal.
B. Tujuan Tasawuf
Para sufi menekuni tasawuf dengan tujuan membersihkan jiwa dan hati agar mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah). Tujuan ini bisa dilihat dari perkataan para sufi awal tentang hakikat dan tujuan tasawuf. Husain ibn ‘Ali berkata “tasawuf adalah kebaikan budi pekerti. Ia yang memiliki budi pekerti yang lebih baik adalah sufi yang baik.”45 Al-Syibli
berkata bahwa “tasawuf adalah syirik, karena ia menjaga hati dari pandangan terhadap yang lain dan yang lain tidaklah ada.” 46 Al-Syibli berkata juga “tasawuf adalah duduk bersama
Allah tanpa merasa sedih sedikit pun.”47 Ahmad al-Jariri
berkata bahwa “tasawuf adalah memasuki dalam semua akhlak nabi dan keluar dari semua akhlak yang tidak terpuji.”48
Ahmad al-Nuri berkata “tasawuf adalah akhlak, maka barang siapa yang bertambah akhlaknya, maka akan bertambah mantap tasawufnya.”49 Ahmad ibn Muhammad al-Ruzabari
berkata bahwa “tasawuf adalah menetap di pintu kekasih (Allah), walaupun ia terusir (karena dosanya), dan kebersihan hati yang dekat kepada Allah adalah setelah jauh dari Allah karena kotoran dosa.”50 Dzun Nun al-Mishri berkata “para sufi
adalah orang-orang yang mengutamakan Allah daripada lainnya, sehingga Allah lebih mengutamakan mereka daripada lainnya.”51 Al-Junaid berkata tasawuf adalah “memurnikan hati
dari berhubungan dengan makhluk lain, meninggalkan sifat-sifat alamiah, menekan sifat-sifat-sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil pelbagai sifat ruh, mengikatkan diri kepada ilmu-ilmu hakikat, mengumpulkan segala sesuatu untuk masa yang kekal, sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan dan mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW.”52 Sahl
Abd Allah al-Tustari berkata bahwa “para sufi adalah orang yang bersih dari ketidakmurnian dan selalu merenung, memu-tuskan hubungan dengan manusia lain demi mendekatkan diri kepada Allah”.53 Abu Yadzid al-Busthami berkata “para sufi
adalah anak-anak yang duduk di pangkuan Tuhan.”54 Ibn Sina
berkata tasawuf adalah “memisahkan diri dari semua kesibukan kepada selain Allah SWT. sampai menjadi fana’ dan meleburkan diri bersama Ilahi, sehingga bisa berperilaku sesuai akhlak Ilahi dan mencapai hakikat tunggal, sehingga akhirnya mencapai kesempurnaan”.55 Nashir al-Din al-Thusi berkata
“tasawuf adalah ilmu tentang Allah SWT. dari dimensi asma`,
shifat dan tajalli-Nya…ilmu tentang usaha melepaskan diri dari segala keterikatan materi yang membelenggu seorang salik saat menyatu dengan Allah SWT., dan ilmu tentang berperilaku sesuai dengan sifat-sifat-Nya”.56
Berdasarkan pernyataan para sufi ini, para sarjana meru-muskan tujuan seorang sufi dalam menekuni tasawuf. Menurut Harun Nasution, tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Karena itu, intisari dari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasing-kan diri (khalwah) dan berkontemplasi. Lalu, kesadaran ini mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan-Nya.57
Men-dukung Harun, Mulyadhi Kertanegara menyatakan bahwa tujuan dari tasawuf adalah pendekatan dengan sumber dan tujuan hidup manusia, yaitu Tuhan.58 Sedangkan A. Rivay
Siregar menyatakan bahwa tujuan dari tasawuf adalah agar be-rada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Secara khusus, ada tiga sasaran tasawuf, yaitu pembinaan aspek moral, untuk
ma‘rifat Allah melalui penyingkapan langsung (al-kasyf al-hijab), dan untuk membahas sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah SWT. secara mistis filosofis dan pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk.59 Dengan demikian,
tujuan tasawuf adalah membina diri dengan berbagai amal ibadah, sehingga menjadi manusia berakhlak, dan dapat men-dekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian, setidaknya ada empat tujuan tasawuf bagi seorang sufi. Pertama. Untuk membersihkan hati agar dapat mendekatkan diri kepada Allah. Kedua. Untuk membina akhlak mulia (akhlaq al-karimah). Ketiga. Untuk memperoleh
ma’rifah (pengetahuan sejati tentang Tuhan). Keempat. Untuk memperoleh ilmu-ilmu hakikat (‘ilm al-ladunni). Karena tujuan-tujuan inilah, para sufi melakukan sejumlah praktik/perjalanan spiritual.
C. Metode Tasawuf
Kaum sufi menggunakan metode ‘irfani yang disebut juga sebagai tazkiyah al-nafs.60 Metode ini mengandalkan hati (qalb)
manusia sebagai alat meraih ilmu. Menurut metode ini, ilmu bisa diperoleh dengan cara membersihkan jiwa dan hati manusia dari segala dosa. Apabila hati manusia telah suci, maka Allah SWT. akan melimpahkan ilmu secara langsung ke dalam hati manusia. Ilmu ini disebut sebagai ilmu hudhuri atau ilmu laduni. Dikatakan ilmu hudhuri adalah karena objek penge-tahuan dicapai tanpa melalui perantara apapun baik berupa simbol, konsep maupun representasi.
Jika para filosof menjadikan akal sebagai alat meraih ilmu dan para saintis menjadikan indera sebagai sarana pemeroleh ilmu, maka para sufi menggunakan jiwa dan hati sebagai sarana memperoleh ilmu langsung dari Allah SWT. Para sufi menyadari bahwa indera dan akal memang bisa membantu manusia mendapatkan kebenaran, namun keduanya memiliki kelemahan. Dari sini mereka mencari alat lain untuk mendapatkan kebenaran sejati, dan menyimpulkan bahwa mereka akan memperoleh kebenaran sejati melalui jiwa dan hati. Akan tetapi, mereka berpendapat bahwa tidak semua jiwa
dan hati manusia mampu memperoleh kebenaran sejati itu, sebab kebenaran seperti itu hanya diperoleh oleh jiwa dan hati tertentu, yaitu jiwa dan hati yang suci dan bersih. Sebab itulah, mereka berusaha menyucikan dan membersihkan hatinya agar mendapatkan pengetahuan sejati, sebab pengetahuan seperti ini hanya diperoleh oleh manusia-manusia suci dan bersih.
Para sufi telah merumuskan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam hal ini, mereka hanya bertumpu kepada metode penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) semata, dan sama sekali menolak argumentasi dan demonstrasi rasional para filosof Peripatetik.61 Untuk bisa dekat diri kepada Allah SWT.,
kaum sufi melakukan perjalanan ruhani, sehingga mereka bisa mengetahui dan sampai kepada hakikat (Allah SWT).62 Dengan
kata lain, kaum sufi menggunakan metode intuitif. Bagi kaum sufi, pengetahuan dari hasil penyingkapan intuisi (hati) lebih unggul dari pengetahuan dari hasil silogisme akal. Karena itu-lah, pengetahuan para sufi lebih unggul dari pengetahuan para filosof.63 Meskipun setiap sufi menggunakan metode intuitif,
tetapi tiap-tiap mereka merumuskan metode khas tersendiri sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan hal ini bisa dilihat dari rumusan-rumusan (amalan-amalan) milik para sufi dan berbagai tarekat tentang metode mendekatkan diri kepada-Nya.
Menurut al-Ghazali, ada beberapa metode agar seorang su-fi dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pertama. Ri-yadhah dan muraqabah. Riyadhah adalah latihan kejiwaan. Se-dangkan muraqabah adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua metode ini juga harus dilakukan secara baik dan benar sesuai dengan syariat Islam.64 Kedua.
Ta-fakkur, yaitu berpikir tentang realitas alam semesta. Metode ta-fakkur ini harus dilakukan secara baik dan benar sesuai dengan syarat-syarat berpikir. Tafakkur sangat bermanfaat bagi seorang sufi untuk menjadi ulama sempurna, berakal, mendapatkan ilham, dan ahli hujjah.65 Ketiga. Tazkiyah al-Nafs, yaitu proses
penyucian jiwa manusia melalui tiga tahap, yaitu takhalli, tahal-li, dan tajalli. Pada tahap pertama, takhalli, seorang sufi berupa-ya mengosongkan jiwanberupa-ya dari sifat-sifat tercela, misalnberupa-ya, tamak, fitnah, dan dusta. Pada tahap kedua, tahalli, seorang sufi mengisi jiwanya yang telah kosong dengan akhlak terpuji. Proses ini berlangsung secara berangsur-angsur melalui be-berapa maqam, yaitu taubat, sabar, syukur, harap, takut, zuhud, fakir, ikhlas, waspada, tawakkal, cinta, rindu dan rida. Se-dangkan pada tahap ketiga, tajalli, seorang sufi memperoleh hasil kegiatannya tersebut berupa karunia keis-timewaan/karamah dari Allah SWT.66 Upaya penyucian jiwa
ini penting dilakukan oleh seorang sufi karena Allah tidak akan bisa didekati oleh jiwa-jiwa kotor. Keempat. Zikir. Zikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi, setelah mereka ber-hasil menghilangkan rintangan jiwa dan membersihkan jiwa dari akhlak tercela. Ketika jiwa telah bersih dan kosong dari segala sesuatu selain Allah, para sufi menghiasi jiwa mereka dengan zikir. Zikir memiliki manfaat besar bagi seorang sufi, sebab zikir dapat menjadi sarana untuk membersihkan jiwa, membuka tabir alam malakut, mendatangkan ilham, dan men-dekati Allah SWT. Jadi, zikir sangat penting bagi seorang sufi, karena zikir dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Zikir mampu menyucikan dan mem-bersihkan hati seorang sufi, dan zikir menjadi santapan hati, ungkapan-ungkapan dialog kepada Tuhan, sekaligus menun-jukkan keakraban manusia terhadap Tuhan.67
Menurut al-Ghazali, zikir memiliki tiga kerja spiritual. Per-tama. Zikir lahir dengan gerakan lidah. Zikir ini sangat dianjur-kan dalam bacaan dari beberapa bentuk ibadah. Kedua. Zikir
sirr (rahasia). Kedudukan zikir ini lebih mulia dari ibadah dan sedekah. Ketiga. Zikir kalbu (qalb). Zikir kalbu muncul sebagai ketidakbutuhan terhadap makhluk dan kesibukan dengan Kha-lik. Apabila seorang sufi sudah sampai pada tahap ini, berarti sufi tersebut telah memasuki fana’ pertama. Dari fana’ pertama
ini, sufi tersebut akan memperoleh fana’ kedua. Dalam fana’
kedua, sufi tersebut akan gaib dari dirinya sendiri untuk ber-musyahadah kepada Allah SWT. Fana’ kedua ini diperoleh dari zikirnya dalam bentuk membaca al-Qur’an, bertasbih, ber-shalawat kepada Nabi Muhammad SAW., istighfar dan do’a. Apabila sufi tersebut terus menerus melakukan zikir seperti ini, maka sufi tersebut akan menyingkap rahasia ketuhanan. Sufi tersebut akan menyaksikan rahasia alam malaikat, alam jin, alam jiwa, bahkan akan dapat mendengar tasbih benda-benda mati kepada Tuhan.68
Dalam tarekat Kubrawiyah, menurut Syaikh Najm al-Din al-Kubra, ada dua jenis prinsip sebagai cara menuju Allah, yakni prinsip lahiriah dan prinsip batiniah. Prinsip-prinsip lahiriah berupa pengamalan aturan-aturan seperti memutuskan diri dari belenggu kepemilikan materi dan menjauhkan diri dari keterikatan duniawi, menyendiri dan menjauhkan diri dari orang banyak, melindungi tujuh organ tubuh dari segala yang dibenci Allah, melawan hasrat hawa nafsu dan keinginannya, mencari seorang syaikh sempurna dan bijaksana, menyibukkan diri dengan berbagai amalan seperti doa, zikir dan salat sunnah, senantiasa berpuasa, menjaga kebersihan tubuh, selalu bangun malam, dan berusaha keras memperoleh penghasilan dan pendapatan yang halal. Selanjutnya, menurut Syaikh Najm al-Din, prinsip-prinsip batiniah adalah berupa pengamalan aturan seperti memelihara dan menjaga diri, ekspresi kerendahhatian, kefakiran dan kehinaan di hadapan Allah, taubat (taubah) dan menyesal (inabah) di hadapan-Nya baik dalam keadaan sulit maupun senang, kepasrahan kepada perintah-Nya, kerelaan (ridha) yaitu menerima ketentuan-Nya tanpa mengemukakan pertanyaan sekalipun terasa pahit, kesedihan permanen (huzn), berprasangka baik (husn al-zhan), tidak menganggap diri tidak terjangkau oleh rencana-Nya, cinta (mahabbah), dan menyerahkan diri kepada kehendak (masyi‘ah) dan kebebasan (ikhtiyar) seseorang serta
memasrahkan diri kepada Allah.69 Menurut Syaikh Najm
al-Din, semua aturan ini akan mampu menyempurnakan lahiriah dan batiniah seorang penempuh jalan spiritual dan membawanya selalu dekat kepada Allah SWT.
Dalam tradisi Syi’ah, menurut Muthahhari, ‘irfan dibagi menjadi dua yaitu ‘irfan teoritis dan ‘irfan praktis. Ajaran ‘irfan didukung oleh referensi al-Qur`an, sunnah Nabi Muhammad SAW. dan para Imam, serta praktik para sahabat yang utama.70
Pernyataan Imam sebagai referensi irfan menjadi pembeda an-tara tasawuf dengan ‘irfan. ‘Irfan teoritis berusaha memahami eksistensi. ‘Irfan teoritis berupaya mendefinisikan subjek, prin-sip-prinsip dan problematika-problematika wujud. ‘Irfan be-rusaha menafsirkan wujud, baik tuhan, alam maupun manusia. ‘Irfan teoritis mendasarkan deduksinya kepada prinsip-prinsip yang ditemukan melalui pengalaman mistis, dan kemudian diubah menjadi bahasa akal untuk menjelaskan pengalaman mistis tersebut. Dalam konteks ini, ‘irfan tidak menggunakan akal sebagai alat utama dalam meraih pengetahuan sejati. ‘Irfan teoritis menggunakan hati, usaha rohani, penyucian, disiplin diri dan dinamisme batin sebagai sarana utama mencapai inti eksistensi yaitu Tuhan, dan terhubungkan dengan-Nya, bahkan menyaksikan-Nya.71
Menurut Muthahhari, ‘irfan praktis ingin menguraikan relasi dan tanggungjawab manusia kepada dirinya, alam dan Allah SWT. Dari sini ‘irfan memiliki kesamaan arti dengan eti-ka. Ajaran ‘irfan praktis disebut rencana perjalanan rohani (sayr wa suluk). ‘Irfan praktis berbicara tentang sebuah titik keber-angkatan, tempat tujuan, tahapan-tahapan, dan stasiun-stasiun yang benar. Dalam konteks ini, ‘irfan praktis ingin memperoleh tauhid sejati, yakni selain Allah tidak ada, dan untuk seorang musafir rohani (disebut salik) diberi penjelasan tentang titik awal keberangkatan, tahap-tahap yang dianjurkan, stasiun-stasiun yang harus dilewati dan kondisi-kondisi yang akan di-alami. Semua ini harus dilewati dengan bimbingan seorang
manusia sempurna (khidr). Tauhid sejati tersebut tidak di-peroleh melalui metode rasional, karena ia merupakan upaya hati dan dicapai melalui perjalanan, pembersihan dan pendi-siplinan diri. ‘Irfan praktis berusaha mengubah manusia.72
Dalam konteks ini, mistisisme Syi‘ah banyak dipengaruhi oleh metode Ibn ‘Arabi, Suhrawardi al-Maqtul dan Mulla Shadra. Karenanya, metode tasawuf Syi’ah bisa dilihat dari epistemologi ketiga sufi tersebut.
Sufi seperti Ibn Arabi hanya bertumpu kepada metode penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) semata, dan tidak bertumpu kepada argumentasi dan demonstrasi rasional seperti kaum Peripatetik.73 Ia melakukan perjalanan ruhani guna
men-dekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga mereka bisa menge-tahui, bahkan sampai kepada hakikat.74 Ia menolak
penggunaan argumentasi rasional, sembari meyakini bahwa kaki kaum rasionalis sebagai terbuat dari kayu rapuh.75
Menurutnya, pengetahuan sebagai hasil penyingkapan intuisi lebih unggul daripada pengetahuan sebagai hasil olah akal, se-hingga pengetahuan para sufi sebagai hasil dari penyingkapan yang dicapai mereka lebih unggul dari pengetahuan filsuf se-bagai hasil dari silogisme akal.76
Dalam kitab Hikmat al-Isyraq, Suhrawardi telah menjelas-kan metode filsafat Illuminasi. Menurut Muthahhari, metode filsafat Illuminasi hanya bertumpu kepada argumentasi rasion-al, demonstrasi rasionrasion-al, serta berjuang secara keras melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa. Metode ini bertujuan untuk menyingkap hakikat. Mazhab filsafat Illuminasi meyakini bah-wa seorang sufi tidak akan bisa menyingkap hakikat, apabila sufi tersebut hanya mengandalkan argumentasi rasional sema-ta, tanpa upaya menyucikan jiwanya.77 Dalam konteks ini,
metode sufistik Suhrawardi al-Maqtul bisa dilacak dari metode filsafat Illuminasi tersebut. Berikut ini adalah epistemologi fil-safat Illuminasi.
Pertama. Seseorang harus menguasai filsafat diskursif secara sempurna sampai ia bisa menjadi filsuf diskursif. Suhrawardi menyatakan “jangan menguji karya ini kecuali oleh ahlinya, yaitu orang-orang yang telah meneladani metode kaum Peripatetik”.78
Kedua. Filsuf diskursif tersebut harus mulai melatih diri secara spiritual dan melakukan kontemplasi.79 Filsuf tersebut
mesti melakukan sejumlah praktik-praktik esketik dan mistik seperti dikatakan Suhrawardi “…hendaknya ia berkhalwat selama empat puluh hari, meninggalkan makanan berdaging, menyedikitkan makan, dan merenungkan cahaya Allah SWT. dan apa yang diperintahkan oleh pemegang amanat wahyu [Nabi Muhammad SAW.)”.80 Ia menambahkan “[filsuf tersebut
harus] mendekatkan diri kepada Allah SWT., terjaga di malam hari, bersikap pasrah...memperhalus rahasia batin, ikhlas menghadapi Cahaya Maha Cahaya...membiasakan jiwa mengingat-Nya...melantunkan bacaan atas mushaf-mushaf sebagaimana diwahyukan [kepada Nabi Muhammad SAW.] dan segera kembali kepada Zat pemegang segala urusan, kesemuanya adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang”.81
Ketiga. Filsuf diskursif tersebut memasuki tahap Iluminasi, yakni ketika ia memperoleh pancaran cahaya (al-Nur al-sanih) dari Nur al-Anwar. Cahaya ini memberikan sang filsuf pengetahuan sejati. Suhrawardi berkata “[jika telah dilakukan semua itu] barangkali kelak akan muncul seberkas sinar dari alam jabarut (alam cahaya), dan ia pun akan melihat alam
malakut (alam mitsal)”.82 Maksudnya, jiwa sang filsuf akan
memperoleh iluminasi dari cahaya tertinggi (yakni Nur al-sanih),83 sehingga ia akan mampu melihat alam cahaya. Sinar
cahaya (al-Nur al-sanih) dari alam tertinggi ini adalah pengetahuan, dan cahaya ini membawa pengetahuan sejati itu menuju jiwa suci sang filsuf.84 Sang filsuf akan memperoleh
iluminasi cahaya dari alam cahaya, sehingga ia mendapatkan pengetahuan, sang filsuf pun akan memperoleh sejumlah keutamaan seperti maqam kun, yakni kemampuan mewujudkan ide-ide otonom (mutsul qayyimah)86 pengetahuan tentang hal-hal
gaib,87 kemampuan melihat alam cahaya,88 ketundukan alam
semesta,89 dan segala jiwa kepadanya.90 Demikianlah, sang
filsuf memperoleh iluminasi dari alam cahaya, sehingga ia memperoleh pengetahuan dan keutamaan.
Keempat. Filsuf diskursif itu mengkonstruksi pengetahuan perolehan dari cahaya Ilahi tersebut dengan menggunakan analisis diskursif. Pengetahuan itu diuji oleh sang filsuf secara demonstrasi. Ia berkata “ilmu-ilmu hakiki (al-‘ulum al-haqiqiyah) tidak bisa dielakkan lagi (harus dibuktikan) dengan menggunakan demonstrasi, yakni silogisme yang disusun dari premis-premis meyakinkan [tidak diragukan kebenarannya]”.91
Sistem pembuktian Posterior Analytics Aristoteles harus dijadikan sebagai sistem pembuktian bagi ilmu-ilmu hakiki itu. Jadi, sang filsuf mesti membuktikan pengalaman intuitifnya secara akliah.
Kelima. Filsuf tersebut mendokumentasikan hasil konstruksi tersebut secara tulisan. Jadi, filsuf tersebut memindahkan pengetahuan sejati itu setelah pengetahuan itu diuji secara demonstrasi Aristotelian, dari pikirannya ke bahasa tulisan. Suhrawardi sendiri telah melakukan hal ini. Setelah ia melewati masa khalwat dan kontemplasi, ia memperoleh pengalaman intuitif, lalu ia menguji pengalaman itu secara diskursif, lantas menuliskannya, sehingga jadilah kitab Hikmat al-Isyraq.92 Kendati Suhrawardi dikenal sebagai seorang filosof,
namun ia memadukan metode tasawuf dan filsafat dalam meraih kebenaran. Metode tasawuf menurut tokoh ini bisa dilihat pada poin kedua di atas.
Dapat dilihat bahwa metode filsafat Illuminasi Suhrawardi memuat metode tasawuf. Agar bisa mendekatkan diri kepada
Allah, seorang sufi harus berkhalwat selama 40 hari, meninggalkan makanan berdaging, menyedikitkan makan, dan merenungkan cahaya Allah SWT. dan apa yang diperintahkan oleh pemegang amanat wahyu (Nabi Muhammad SAW.), mendekatkan diri kepada Allah SWT., terjaga di malam hari, bersikap pasrah, memperhalus rahasia batin, ikhlas menghadapi Cahaya Maha Cahaya, membiasakan jiwa mengingat-Nya, melantunkan bacaan atas mushaf-mushaf sebagaimana diwahyukan [kepada Nabi Muhammad SAW.] dan segera kembali kepada Zat pemegang segala urusan. Akan tetapi, metode ini adalah bagian awal dari metode filsafat Illuminasi. Dalam filsafat Illuminasi, seorang sufi harus menguasai filsafat diskursif terlebih dahulu, sebelum melakukan praktik sufistik. Karena, sebuah pengalaman ruhani harus bisa dibuktikan secara rasional.
Sementara itu, metode tasawuf Mulla Shadra bisa dilacak dari epistemologi filsafat Hikmah Muta’aliyah. Filsafat hikmah ini memiliki prinsip-prinsip khas, sebagai pembeda antara ali-ran ini dengan pelbagai aliali-ran lain seperti Peripatetisme, Illu-minasionisme, Gnosis dan Kalam. Prinsip Hikmah Muta’aliyah
ini terlihat jelas dalam kata-kata Mulla Shadra sendiri “penge-tahuan Hikmah Muta’aliyah haruslah didasarkan pada argumen-tasi rasional dan pandangan rohani serta sesuai dengan syari’at”. “adalah mustahil hukum-hukum syari’at yang benar berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti (pengetahuan intuitif), dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan al-Qur’an dan sunnah”.93 Berdasarkan
pernyataan Mulla Shadra tersebut, jelas bahwa Hikmah Mu-ta’aliyah memiliki tiga prinsip yakni argumentasi demonstratif, pembuktian intuitif, dan dukungan syari’at, baik al-Quran, hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. maupun hadis-hadis keduabelas Imam Syi’ah. Berdasarkan prinsip ini, maka ke-bijaksanaan (wisdom) harus diperoleh lewat pencerahan spiritu-al (zawq), disajikan secara deduktif-silogistik (burhan), dan
didukung oleh doktrin syari’at (wahy).94 Bagi aliran ini, sebuah
pengetahuan dikatakan sebagai pengetahuan hakiki, apabila memenuhi ketiga prinsip ini.
Jadi, filsafat Hikmah Muta’aliyah berusaha mengkombinasi-kan antara disiplin intelektual dengan pengalaman spiritual.95
Mulla Shadra menciptakan suatu harmonisasi sempurna antara kutub rasionalisme dan persepsi mistik. Ia membuat sintesis antara tiga jalan besar menuju kebenaran bagi manusia, yaitu wahyu, akal dan intuisi, dan hasil sintesis ini dinamakan
Hikmah Muta’aliyah. Ia menyelaraskan secara utuh antara ar-gumentasi rasional, kesadaran spiritual, dan wahyu.96
Secara khusus, menurut Hasan Bakti, aliran ini melakukan tiga cara utama. Pertama, dimulai dari pengalaman rohani, lalu digambarkan secara diskursif, dan kemudian dicari dukungan syari’at. Metode ini seperti kata Mulla Shadra “kajian kami tid-ak hanya didasari kepada mukasyafah dan zawqi…tanpa didasarkan kepada dalil (hujjah) dan argumentasi (burhan) serta tata aturan logika”. Kedua, dimulai dari kajian diskursif, lalu dihayati dengan pengalaman rohani dalam bentuk mukasyafah
dan musyahadah, dan kemudian dicari dukungan syari’at. Metode ini seperti dikatakan Mulla Shadra “kajian kami tidak cukup didasarkan kepada…taklid dalam bidang syari’at, tanpa didasarkan kepada dalil dan argumentasi serta tata aturan logika.” Ketiga, dimulai dari pernyataan-pernyataan syari’at, lalu dicari dukungan rasio, atau digambarkan secara diskursif, kemudian dipertajam dengan pengalaman rohani. Metode ini seperti dikatakan Mulla Shadra “kajian kami tidak hanya didasarkan kepada mukasyafah dan zawqi, atau berpegang kepada syari’at, tanpa didasarkan kepada dalil, argumentasi dan tata aturan logika. Pembenaran hanya atas dasar mukasya-fah tidaklah memadai tanpa didukung oleh argumentasi (burhan), seperti halnya pembenaran argumentasi burhani tanpa didukung mukasyafah, merupakan kekurangan yang sangat tinggi.”97
Senada dengan uraian tersebut, Musa Kazhim menuliskan bahwa ada beberapa langkah Mulla Shadra dalam merumus-kan proyek filsafat hikmah. Pertama. Meletakkan sistem filsafat
hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri, sembari menegaskan bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self evi-dent). Kedua. Menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut.
Ketiga. Menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang bersumber kepada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah
mukasyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Keempat. Me-nyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukasyafah
dengan teks-teks suci dalam rangka memperteguh dan mem-perluas bangunan filsafat hikmah. Kelima. Mengajukan metod-ologi sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana tersebut di atas secara teoritis dan praktis.98 Dari metode ini,
Mulla Shadra menghendaki bahwa kebenaran suatu ilmu harus ditopang oleh syari’at, akal, dan intuisi. Dengan kata lain, ilmu itu harus tidak bertentangan dengan ajaran syari’at, hukum akal, dan pengalaman ruhani. Atau, sebuah ilmu harus sesuai dengan ajaran Islam, bisa dirasionalkan, dan tidak berten-tangan dengan pengalaman spiritual.
Melalui Hikmah Muta’aliyah, Mulla Shadra berusaha men-jelaskan filsafat, sebagai pelajaran penalaran, secara sistematis seperti kaum ‘arif menjelaskan masalah perjalanan ruhani (hati). Kaum ‘arif meyakini bahwa seorang penempuh jalan spiritual (salik) harus menempuh empat perjalanan ruhani. Per-tama. Perjalanan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq). Pada tahap ini, salik berusaha keras melewati (meninggalkan) alam realitas (fisik) dan sebagian alam meta-fisika, sehingga salik mampu menemui al-Haq dan tidak ada lagi tirai pembatas antara keduanya, salik dan al-Haq. Kedua. Perjal-anan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq). Pada tahap ini, salik mengadakan perjalanan dalam berbagai
kesem-purnaan dan sifat-sifat-Nya atas bantuan-Nya. Ketiga. Perjalan-an dari al-Haq menujuk makhluk dengan al-Haq (sayr min al-Haq ila a-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, salik kembali memasuki komunitas masyarakat, tanpa meninggalkan al-Haq. Pada tahap ini, salik menyaksikan eksistensi al-Haq pada segala sesuatu bahkan bersama sesuatu. Keempat. Perjalanan dalam makhluk dengan al-Haq (sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, salik be-rusaha member petunjuk kepada masyarakat serta membimb-ing mereka kepada al-Haq.99
Berdasarkan empat perjalanan ruhani itu, Mulla Shadra te-lah menyusun berbagai masate-lah filsafatnya yang bersifat men-tal (akliah) menjadi empat bentuk perjalanan. Pertama. Perjal-anan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq). Pada tahap ini, Shadra membahas dasar dan landasan tauhid. Dalam tahap ini, topik-topik umum filsafat (metafisika umum) dibahas secara rinci. Pembahasan ini disebut sebagai kajian on-tologi. Pada hakikatnya, pembahasan ini mengindikasikan per-jalanan pemikiran seorang filsuf dari makhluk menuju al-Haq. Kedua. Perjalanan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq). Pada tahap ini, Shadra membahas masalah tauhid dan pengenalan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Dalam tahap ini, fil-safat alam (kosmologi) dibahas secara rinci. Karenanya, pem-bahasan ini disebut sebagai kajian kosmologi (natural philoso-phy). Ketiga. Perjalanan dari al-Haq menuju makhluk dengan al-Haq (sayr min al-Haq ila al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Shadra membahas masalah berbagai perbuatan Allah dan berbagai hi-erarki alam eksistensi. Tahap ini disebut juga sebagai pembaha-san teologi. Keempat. Perjalanan dalam makhluk dengan al-Haq
(sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Shadra membahas ma-salah jiwa dan tempat kembali jiwa. Dalam tahap ini, konsep psikologi/antropologi dan eskatologi dibahas secara rinci.100
Lewat empat bentuk perjalanan ini, sebenarnya Shadra juga mengajarkan metode mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, Mulla Shadra mengajarkan bahwa seorang sufi tidak saja dituntut menguasai pengetahuan syariat semata, tetapi juga filsafat dan tasawuf. Sebelum melakukan praktik spiritual, seorang sufi harus menguasai pengetahuan syariat, filsafat dan tasawuf sekaligus. Dalam implementasi metode tasawuf, ia melakukan pengasingan diri (khalwat/uzlah).101 Para ahli berbeda pendapat
tentang berapa lama Shadra mengasingkan diri. Satu pendapat menyatakan bahwa ia berkhalwat selama 15 tahun. Pendapat lain pernah menyatakan bahwa ia berkhalwat selama 11 tahun, dan pendapat lain adalah selama 7 tahun.102 Dalam periode
pengasingan ini, ia melaksanakan mujahadah dan riyadhah. Ia melaksanakan segala bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan merenungkan berbagai masalah wujud, Tuhan, dan alam secara intuitif, lebih daripada menggunakan penalaran logika.103 Karena metode inilah,
Shadra berhasil menempuh empat perjalanan ruhani tersebut. Selain itu, menurut ‘Abd al-Halim Mahmud, praktik tasawuf akan bisa dilakukan secara benar bila melalui perantaraan seorang syaikh (guru). Tasawuf tidak bisa dipelajari lewat buku, karena tasawuf bukan amalan ilmiah dan pembahasan teoritis. Karya-karya tasawuf hanyalah berfungsi sebagai pendorong yang bisa memberi kekuatan bagi calon sufi. Dengan membaca karya-karya tasawuf, seseorang bisa terbantu untuk memahami ajaran tasawuf.104
Menurut ‘Abd al-Halim al-Mahmud, ketika seorang sufi te-lah berhasil menempuh perjalanan spiritual tersebut, niscaya sufi tersebut akan mencapai maqam kewalian. Terkadang, seorang wali akan tetap menjadi wali, dan terkadang Allah memilihnya menunaikan suatu tugas, sehingga ia diangkat menjadi Nabi/Rasul. Karena itu, kenabian lebih tinggi dari kewalian.105
Dalam pendidikan tasawuf, tidak dapat tidak, harus ada seorang penghubung antara orang yang sedang belajar dengan Allah SWT. Karenanya, seorang pemula harus mendapat bimbingan intensif dari seorang penghubung antara dirinya dengan Allah, yakni seorang wali yang ber-fungsi sebagai Nabi Muhammad SAW. yang menghub-ungkan orang dengan Allah SWT.106
D. Maqamat
Dalam tradisi tasawuf, maqamat mendapatkan perhatian khusus dari para sufi. Semua sufi, apapun aliran tasawufnya, sepakat bahwa tasawuf menjadi disiplin ilmu yang berguna sebagai sarana penyucian jiwa dan hati manusia, sehingga ke-lak menusia tersebut akan mampu dekat dengan Allah SWT. Sebagai cara untuk dekat kepada Allah SWT., para sufi meru-muskan tangga-tangga pendakian spiritual seorang sufi, yang disebut maqamat.
Para ahli telah mendefinisikan pengertian maqamat. Abi Nashr ‘Abd Allah ibn ‘Ali as-Sarraj ath-Thusi menjelaskan bahwa maqamat adalah tingkatan antara seorang hamba dengan Allah SWT. yang diperoleh dari ‘ibadah, mujahadah, dan riyadah
hingga dekat dengan-Nya.107 Al-Qusyairi menuliskan bahwa
maqamatadalah suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang pesuluk dengan melalui beberapa tingkatan mujahadah secara gradual, dari suatu tingkatan per-ilaku batin menuju pencapaian tingkatan maqam berikutnya dengan sebentuk amalan tertentu; sebuah pencapaian kese-jatian hidup dengan pencarian yang tidak kenal lelah, beratnya syarat, dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk memperolehnya, seorang sufi akan selalu sibuk dengan berbagai riyadhah.108 Harun Nasution mendefinisikan maqamat
sebagai jalan panjang seorang sufi menuju Tuhan.109 Menurut
dicapai oleh seorang sufi.110 Abudinnata mendefinisikan
maqamat sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah SWT.111
Mu-hammad Solihin dan Rosihon Anwar menjelaskan bahwa
maqamat adalah tingkatan seorang hamba di hadapan-Nya da-lam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa.112 Dengan demikian,
maqamat adalah tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, dari tingkatan paling mendasar sampai tingkatan paling tinggi, yai-tu dekat dengan Allah SWT., yang diperoleh melalui ibadah dan latihan-latihan jiwa tertentu.
Tasawuf tidak saja dikembangkan oleh sufi dari kalangan Sunni, tetapi juga oleh kalangan Syi‘ah. Dari kalangan Sunni, Abi Nashr ‘Abd Allah ibn ‘Ali as-Sarraj ath-Thusi (w. 988 M), misalnya, menyebutkan bahwa tingkatan maqamat adalah tau-bat (at-taubah), wara‘, zuhud (az-zuhd), kefakiran (al-faqr), sabar (az-shabr), tawakkal (at-tawakkul), kerelaan (ar-ridha).113
Al-Kalabazi (w. 995 M) menulis bahwa tingkatan maqamat adalah taubat (at-taubah), zuhud (az-zuhd), sabar (ash-shabr), kefakiran (al-faqr), rendah hati (tawadhu‘), tawakkal (at-tawakkul) dan kere-laan (ar-ridha).114 Al-Qusyairi (w. 1073 M) menyebutkan bahwa
tingkatan maqamat adalah taubat (at-taubah), wara‘, zuhud ( az-zuhd), tawakkal (at-tawakkul), sabar (ash-shabr) dan kerelaan ( ar-ridha).115 Al-Gazali (w. 1111 M) menyebutkan bahwa tingkatan
maqamat adalah taubat (at-taubah), sabar (ash-shabr), kefakiran (al-faqr), zuhud (az-zuhd), tawakkal (at-tawakkul), cinta ( al-mahabbah), ma‘rifah (pengetahuan), dan kerelaan (ar-ridha).116
Tiap-tiap maqam ini akan diperoleh seorang sufi secara mandiri, bukan pemberian gratis dari Tuhan.
Dari kalangan Syi‘ah, Nashr ad-Din ath-Thusi (w. 1274 M) menyebutkan bahwa maqamat dibagi menjadi enam bagian. Pertama, tahapan awal suluk dan syarat-syaratnya yaitu dimu-lai dari iman, keteguhan (at-taubah), niat (an-niah), kejujuran (ash-shiddiq), penyesalan (al-inabah) dan ketulusan (al-ikhlash). Kedua, rintangan dan hambatan pada jalan suluk yaitu dimulai
dari taubat, zuhud, kemiskinan (faqir), kedisiplinan diri ( ri-yadhah), perhitungan (muhasabah) dan kehati-hatian (muraqabah), dan takwa (taqwa). Ketiga, pencarian kesempurnaan dan
maqamat para ahli suluk, yaitu dimulai dari pengasingan diri (khalwah), berpikir/merenung (tafakkur), takut (khauf) dan duka cita (huzn), harap (raja‘), sabar (shabr) dan berterima kasih (syukr). Keempat, maqamat sebelum puncak hakikat, yaitu dim-ulai dari keinginan (iradah), kerinduan (syauq), kecintaan ( ma-habbah), pengetahuan (ma‘rifah), keyakinan (yaqin), dan ke-tentraman (sukn). Kelima,maqamat puncak hakikat yaitu dimu-lai dari pasrah (tawakkul), kepuasan (ridha), ketaatan (taslim), keesaan Allah (tauhid), penyatuan (ittihad), kesatuan (wahdah), dan fana` sebagai maqam tertinggi.117
Berdasarkan keterangan para sufi terkemuka di atas, baik dari kalangan Sunni maupun Syi‘ah, bisa disimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan tentang urutan, jumlah dan akhir dari sebuah tingkatan spiritual (maqamat). Kesepakatan hanya ter-letak bahwa sebelum seorang pesuluk hendak mendekatkan diri kepada Allah SWT., maka pesuluk tersebut harus menempuh maqam taubat (at-taubah). Bagi kalangan Sunni, sep-erti terlihat dalam konsep maqamat menurut Kalabazi, al-Gazali, al-Qusyairi, dan Abi Nashr ‘Abd Allah ibn ‘Ali al-Sarraj ath-Thusi, kerelaan (ar-ridha) adalah maqam tertinggi. Akan tetapi, bagi kalangan Syi‘ah, seperti terlihat dalam pandangan Nashr ad-Din ath-Thusi, fana` adalah maqam tertinggi.
Sejumlah sufi dari aliran tasawuf falsafi memiliki pan-dangan lain tentang maqam tertinggi. Abu Yazid al-Busthami (w. 947 M), misalnya, meyakini bahwa fana`, baqa` dan ittihad
sebagai maqam tertinggi. Dzun Nun al-Mishri (w. 860 M) meya-kini ma‘rifah sebagai maqam tertinggi.118 Menurut al-Hallaj,
maqam tertinggi (w. 922 M) adalah hulul.119 Akan tetapi,
menurut Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) bahwa maqam tertinggi yang bisa dicapai seorang sufi adalah wahdah al-wujud.120 Pendapat
‘Asyariyah, sebab ajaran tasawuf falsafi, misalnya ajaran Ibn ‘Arabi, dikembangkan secara gencar oleh para sufi beraliran Syi‘ah di Iran sejak era kekuasaan Dinasti Safawi, Dinasti Qajar, dan Republik Islam Iran.
Konsep Syi‘ah tentang maqam tertinggi ini bisa dipahami pula dari ajaran Mulla Sadra (w. 1640 M), seorang sufi Syi‘ah paling berpengaruh era dinasti Safawi, bahkan sampai era Re-publik Islam Iran. Menurut Mulla Sadra, kaum sufi meyakini bahwa seorang penempuh jalan spiritual (salik) harus menempuh empat perjalanan ruhani. Pertama. Perjalanan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq). Pada tahap ini, salik berusaha keras melewati (meninggalkan) alam realitas (fisik) dan sebagian alam metafisika, sehingga salik mampu menemui al-Haq dan tidak ada lagi tirai pembatas antara keduanya, salik dan al-Haq. Kedua. Perjalanan dengan al-Haq
dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq). Pada tahap ini, salik men-gadakan perjalanan dalam berbagai kesempurnaan dan sifat-sifat-Nya atas bantuan-Nya. Ketiga. Perjalanan dari al-Haq
menujuk makhluk dengan al-Haq (sayr min al-Haq ila a-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, salik kembali memasuki komunitas masyarakat, tanpa meninggalkan al-Haq. Pada tahap ini, salik
menyaksikan eksistensi al-Haq pada segala sesuatu bahkan ber-sama sesuatu. Keempat. Perjalanan dalam makhluk dengan al-Haq (sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, salik berusaha memberi petunjuk kepada masyarakat serta membimbing mereka kepada al-Haq.121
Berdasarkan empat perjalanan ruhani itu, Mulla Sadra me-nyusun berbagai masalah filsafat menjadi empat bentuk perjal-anan. Pertama. Perjalanan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq). Pada tahap ini, Sadra membahas dasar dan landasan tauhid. Dalam tahap ini, topik-topik umum filsafat (metafisika umum) dibahas secara rinci. Pembahasan ini dise-but ontologi. Pembahasan ini mengindikasikan perjalanan pemikiran seorang filosof dari makhluk menuju al-Haq. Kedua.
Perjalanan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq). Pada tahap ini, Sadra membahas masalah tauhid dan pengenalan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Dalam tahap ini, fil-safat alam (kosmologi) dibahas secara rinci. Karenanya, pem-bahasan ini disebut kosmologi (natural philosophy). Ketiga. Per-jalanan dari al-Haq menuju makhluk dengan al-Haq (sayr min al-Haq ila al-khalq bi al-al-Haq). Pada tahap ini, Sadra membahas ma-salah berbagai perbuatan Allah dan berbagai hierarki alam ek-sistensi. Tahap ini disebut sebagai pembahasan teologi. Keem-pat. Perjalanan dalam makhluk dengan al-Haq (sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Sadra membahas masalah jiwa dan tempat kembali jiwa. Dalam tahap ini, konsep psikolo-gi/antropologi dan eskatologi dibahas secara rinci.122 Dari
kon-sep ini bisa dipahami bahwa maqam tertinggi menurut para sufi Syi‘ah era Modern adalah sayr fi al-khalq bi al-Haq, sebuah
maqam yang lebih tinggi dari wahdah al-wujud versi Ibn ‘Arabi. Dewasa ini, para ulama Syi‘ah Iran sangat mengagumi dan mengikuti ajaran Mulla Sadra, dan bahkan sejumlah lembaga pendidikan Islam Iran memasukkan filsafat Mulla Sadra dalam kurikulumnya.
Berikut ini akan disebutkan beberapa pendapat sufi tentang hakikat maqamat. Pertama. Taubat (at-taubah). Para sufi sepakat bahwa taubat adalah jalan pertama menuju Allah. Ada bebera-pa pengertian taubat. Bagi bebera-para sufi, taubat diartikan sebagai lupa kepada segala hal, kecuali Allah.123 Junaid al-Bagdadi
mengatakan bahwa taubat adalah penyesalan, tekad mening-galkan apa yang dilarang Allah, dan berusaha memenuhi hak-hak orang yang pernah dianiayanya.124 Ath-Thusi mengatakan
bahwa taubat adalah menghindarkan diri dari dosa.125 Menurut
al-Qusyairi, taubat adalah kembali dari sesuatu yang dicela da-lam syari`at menuju sesuatu yang dipuji dada-lam syari`at.126 ‘Abd
al-Halim Mahmud mengatakan bahwa tobat adalah me-nyucikan diri dari maksiat dan menghapus kesalahan sebe-lumnya.127
Kedua. Wara‘. Menurut kaum sufi, wara` diartikan sebagai menjauhi hal-hal yang tidak baik, atau meninggalkan segala yang di dalamnya terhadap syubhat tentang halalnya sesua-tu.128 Menurut Ibrahim ibn Adam, wara‘ adalah meninggalkan
hal-hal yang syubhat dan yang tidak pasti, yakni meninggalkan hal-hal yang tidak pasti. Asy-Syibli menyatakan bahwa wara‘
adalah upaya menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT.129 ‘Abd al-Halim Mahmud
mengatakan bahwa wara` adalah keluar dari segala hal yang syubhat dan meninggalkan segala yang yang syubhat.130
Ketiga. Qana‘ah. Menurut kaum sufi, seperti diungkap al-Qusyairi, qana‘ah adalah sikap tenang karena tidak ada sesuatu yang dibiasakan. Menurut Muhammad ibn ‘Ali at-Turmudzi,
qana‘ah adalah jiwa yang rela terhadap pembagian rezeki yang telah ditentukan. Sufi lain berpendapat bahwa qana‘ah adalah menganggap cukup dengan sesuatu yang ada dan tidak berkeinginan terhadap sesuatu itu yang tidak ada hasilnya.131
Kedua konsep ini sangat tidak asing dalam ajaran Islam, karena selain Alquran, hadis sangat menganjurkan kedua sikap ini.
Keempat. Zuhud (az-zuhd). Bagi sufi, zuhud dimaknai se-bagai keadaan meninggalkan dunia dan hidup keduniaan.132
Al-Qusyairi mengemukakan banyak pandangan para sufi ten-tang zuhud. Ada pendapat menyatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan yang haram, karena yang halal dibolehkan oleh Allah. Pendapat lain menyatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan yang haram adalah wajib, dan meninggalkan yang halal adalah keutamaan. Abu ‘Ali ad-Daqaq mengatakan bahwa zuhud adalah sikap anti kemewahan dunia, tidak berkeinginan membangun pondok dan mesjid. Ibn Jalla` mengatakan bahwa zuhud adalah memandang kehidupan dunia hanya sekedar pergeseran bentuk yang tidak mempunyai arti dalam pandangan. Ibn Khafif menyatakan bahwa zuhud adalah hati merasa terhibur meninggalkan berbagai bentuk ke-hidupan dan menghindarkan diri dari harta. Nashr ‘Adadzi
menyatakan zuhud adalah mengisolir diri dari dunia. Abu Sulaiman ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan berbagai ak-tifitas yang mengakibatkan jauh dari Allah SWT. sedangkan Ruwaim mengatakan bahwa zuhud adalah memperkecil ke-hidupan dunia dan menghilangkan berbagai pengaruh yang ada di dalam hati.133 Ath-Thusi mengatakan bahwa zuhud
ada-lah tidak adanya hasrat atau tidak memiliki keinginan terhadap hal-hal duniawi.134 ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan bahwa
zuhud adalah meninggalkan apa yang dicintai jiwanya dan meninggalkan dunia.135
Kelima. Kefakiran (al-faqr). Bagi para sufi, fakir diartikan se-bagai tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita, atau tidak meminta rezeki, kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajibannya, dan/atau tidak meminta, namun jika diberi ia menerima.136 Ath-Thusi mengatakan bahwa fakir
adalah seseorang yang tidak memiliki kecintaan terhadap kekayaan dan hal-hal duniawi, dan jika sekiranya dia memiliki semua hal tersebut, dia tidak berkeinginan untuk menyimpan dan mengumpulkannya.137 Al-Qusyairi menyebut sejumlah
pendapat sufi tentang fakir. Yahya ibn Mu‘az menyatakan bahwa fakir adalah hendaknya seseorang tidak merasa cukup kecuali dengan Allah. Asy-Syibli menyatakan bahwa hakikat fakir adalah hendaknya jangan merasa cukup dengan sesuatu selain Allah. Menurut Abu al-Qasim, fakir adalah tidak adanya tuntutan kepada Allah, tidak mengajukan pilihan, dan bahkan puas sekaligus rela dengan ketentuan Allah. Abu Bakar ibn Thahir menyatakan bahwa fakir adalah tidak memiliki keingi-nan. Jika harus memiliki keinginan, ia tidak melampaui batas keinginannya, kecuali secukupnya.138
Keenam. Sabar (ash-shabr). Para sufi memaknai sabar sebagai menunggu datangnya pertolongan Allah. Menurut kaum sufi, sabar terdiri atas sejumlah hal yaitu sabar dalam menjalankan perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan-Nya, dan sabar dalam menerima segala cobaan dari-Nya.139 Ath-Thusi
menga-takan bahwa sabar adalah mencegah jiwa dari perasaan was-was ketika terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, melindungi diri dari pergolakan, mencegah lidah dari keluhan, serta menjaga anggota tubuh agar tidak melakukan perbuatan yang merugikan.140 ‘Abd al-Halim Mahmud mengatakan
bah-wa sabar dibagi menjadi dua yaitu sabar lahir dan sabar batin. Sabar lahir adalah sabar dalam menjalankan perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala larangan-Nya, dan sabar dalam melaksanakan hal-hal yang sunnah. Sedangkan sabar batin adalah sabar dalam menerima kebenaran dari siapa saja yang membawa kebenaran itu.141
Beberapa sufi terdahulu telah mendefinisikan makna sabar ini. Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa sabar adalah men-jauhi hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika mene-lan pahitnya cobaan, dan menampakkan sikap kaya dengan menyembunyikan kefakiran di dalam kehidupan. Ibn ‘Atha` menyatakan bahwa sabar adalah tetap berperilaku baik ketika ditimpa oleh cobaan. ‘Amr ibn ‘Utsman menyatakan bahwa sabar adalah tetap bersama Allah SWT. dan menerima cobaan-Nya dengan lapang dada dan senang hati.142
Ketujuh. Berterima kasih (asy-syukur). Asy-Syibli menya-takan bahwa syukur adalah memperhatikan Allah sebagai pihak yang memberikan kenikmatan, bukan kepada kenik-matan-Nya. Bagi al-Qusyairi, syukur adalah memuji Allah dengan mengingat kepada-Nya. Abu Bakar al-Warraq menya-takan bahwa syukur adalah memperhatikan pemberian Allah dan menjaga kehormatan.143 Menurut ath-Thusi syukur terdiri
atas tiga hal yaitu pengetahuan tentang kemurahhatian Allah yang terbentang dari puncak ufuk sampai jiwa; perasaan se-nang dalam memperoleh kemurahan tersebut; dan melakukan sesuatu upaya sejauh kemampuan untuk menyenangkan-Nya.144 Menurut ‘Abd al-Halim Mahmud, syukur ada tiga yaitu
syukur hati yaitu mengetahui bahwa nikmat itu hanya dari Al-lah dan tidak lain dari-Nya; syukur lisan yaitu memuji dan
menyanjung-Nya, menyebarkan nikmat-Nya, dan menyebut kebaikan-Nya; dan syukur badan yaitu tidak menggunakan jasmani dalam maksiat dan mentaati Allah dengan jasmani ter-sebut.145
Kedelapan. Tawakkal (at-tawakkul). Bagi para sufi, tawakkal adalah menyerah kepada qadha` dan putusan dari Allah; percaya kepada janji Allah; selamanya dalam keadaan tenteram jika mendapat pemberian maka ia berterima kasih, jika tidak mendapat apa-apa bersikap sabar, dan menyerah kepada qadha
dan qadar-Nya.146 Ath-Thusi mengatakan bahwa tawakkal
ada-lah mempercayakan semua urusan kepada Alada-lah.147 ‘Abd
al-Halim Mahmud mengatakan bahwa tawakkal adalah mem-benarkan Allah dan bersandar kepada-Nya dalam segala ke-jadian, dan keluarnya kebimbangan dari hati tentang urusan dunia dan rezeki.148 Al-Qusyairi menulis sejumlah pendapat
sufi tentang makna tawakkal. Menurutnya, Hamdun al-Qashshar mengatakan bahwa tawakkal adalah berpegang teguh kepada Allah. Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa tawakkal adalah meninggalkan hal-hal yang diatur oleh nafsu dan melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Sahl ibn ‘Abd Allah mengatakan bahwa tawakkal adalah melepaskan segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepa-da Allah SWT. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan bahwa tawakkal adalah melepaskan anggota tubuh dalam penghambaan, menggantungkan hati dengan ketuhanan dan bersikap merasa cukup.149
Kesembilan. Rendah hati (at-tawadhu‘). Al-Qusyairi telah me-nyebut beberapa makna dari rendah hati (at-tawadhu‘). Menurut Fu«ail ibn ‘Iya« bahwa at-tawadhu‘ adalah rendah diri untuk kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan meneri-ma kebenaran dari orang lain. Junaid al-Bagdadi menyatakan bahwa at-tawadhu‘ adalah merendahkan lambung kepada orang lain dan lemah lembut kepada mereka. Ibn ‘Atha` menyatakan
bahwa at-tawadhu‘ adalah menerima kebenaran dari orang lain.150
Kesepuluh. Cinta (mahabbah). Menurut sejumlah sufi, cinta bermakna memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, dan mengosongkan hati dari segala hal kecuali dari diri yang dikasihi.151 Al-Qusyairi telah menyebut beberapa
pendapat sufi tentang hakikat cinta. Menurut Husain ibn al-Manshur bahwa hakikat cinta itu adalah jika kamu berdiri ber-sama kekasihmu dengan menanggalkan sifat-sifatmu. Mu-hammad ibn ‘Ali al-Kattani menyatakan bahwa cinta harus lebih mengutamakan yang dicintai. Asy-Syibli menyatakan bahwa cinta adalah menghapus hati dari ingatan semua selain yang dicintainya. Junaid al-Bagdadi mengatakan bahwa cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya. Menurut al-Qusyairi, cinta dimaksud adalah cin-ta kepada Allah SWT.152 Ath-Thusi mengatakan bahwa cinta
adalah kepatuhan penuh ketika seorang sufi sudah mengetahui Sang Kekasih sebagai Penguasa Mutlak dan Dia-lah Pemegang Kekuasaan itu sepenuhnya.153 ‘Abd al-Halim Mahmud
menga-takan bahwa cinta adalah menyebut Allah dengan hati dan lidahnya yang dijadikan sebagai kewajiban pada dirinya, takut akan kealpaan, dan beristighfar darinya, dan menggunakan jasmani hanya untuk mengabdi kepada yang dicintainya. Tanda cinta adalah menyesuaikan diri kepada yang dicintai, mengikuti cara-caranya dalam segala urusan, dan dekat kepa-da-Nya dalam segala urusan.154
Kesebelas. Kerelaan (ar-ridha). Bagi kalangan sufi, kerelaan (ar-ridha) adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar Allah dengan senang hati, merasa senang menerima cobaan seperti senang dalam menerima nik-mat.155 Menurut Dzun Nun al-Mishri, bahwa kerelaan adalah
meninggalkan usaha sebelum keputusan, menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, dan apabila mendapat cobaan,