Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 113
Estetika dan Etika Geguritan
dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Tahun 2013
Oleh: Hesti Trisnawati
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
trisnawati.hesti@yahoo.co.id
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) unsur-unsur estetika yang terdapat dalam Geguritan Majalah Djaka Lodang Edisi Tahun 2013, (2) nilai etika Jawa yang terdapat dalam Geguritan Majalah Djaka Lodang Edisi Tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi Juli – Desember tahun 2013. Data yang akan dianalisis berupa kutipan-kutipan yang terdapat unsur-unsur estetika dan nilai etika yang ada dalam geguritan majalah Djaka Lodang edisi Juli – Desember tahun 2013. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, simak dan catat. Instrumen penelitian yang dilakukan menggunakan human instrumant (peneliti sendiri). Teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis (analisis konten). Hasil penelitian Geguritan dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Tahun 2013 memuat estetika yang terdapat dalam Geguritan Majalah Djaka Lodang Edisi Tahun 2013 yaitu purwakanthi guru-swara 250 indikator, purwakanthi guru-sastra 103 indikator, purwakanthi lumaksita 52 indikator, paribasan 2 indikator, saloka 1 indikator, basa rinengga 78 indikator, pepindhan 25 indikator, sanepa 4 indikator, dasanama 7 indikator, tembung yogyaswara 6 indikator, tembung plutan 120 indikator, tembung saroja 34 indikator dan tembung entar 15 indikator. Nilai etika Jawa yang terdapat dalam Geguritan Majalah Djaka Lodang Edisi Tahun 2013 di antaranya adalah (1) etika keselarasan sosial meliputi 6 indikator dan (2) etika kebijaksanaan yang meliputi 25 indikator.
Kata kunci: estetika, etika Jawa, Geguritan Majalah Djaka Lodang
Pendahuluan
Karya sastra memiliki nilai seni yang tinggi, dihasilkan oleh pengarang yang mampu mengolah kata menjadi bahasa yang indah dan menarik untuk dibaca. Karya sastra Jawa yang bernilai estetis, salah satunya yaitu geguritan. Penggunaan bahasa yang indah dalam geguritan akan mudah dipahami peneliti dalam mencari unsur-unsur estetika dan etika. Geguritan merupakan puisi modern atau puisi bebas yang menggunakan bahasa Jawa. Adapun arti sebenarnya kata geguritan dalam kamus Baoesastra (Poerwadarminta, 1939: 157), berasal dari kata “gurit artinya tulisan tatahan, kidung, tembang, geguritan berarti tembang (unen-unen) mung awujud purwakanthi”. Selanjutnya dalam Kamus Jawa-Indonesia Indonesia-Jawa (Purwadi, 2009: 104) diungkapkan bahwa “gurit artinya puisi, syair, geguritan artinya puisi,
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 114 syair”. Geguritan memiliki estetika yang terdapat dalam pemakaian bahasanya dan mengenai etika dapat diketahui setelah membaca secara detail karya sastra tersebut.
Dharsono dan Perwira (2004: 5) mengemukakan “estetika berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” yang berarti hal-hal yang dapat diserap oleh panca indra. Oleh karena itu, estetika sering diartikan sebagai persepsi indra (sense of perception)”. Estetika merupakan suatu keindahan dalam setiap karya sastra baik tersirat maupun yang tersurat. Menurut Padmosoekotjo (1958: 37) kasusastraan Jawa mencakup keseluruhan kata-kata yang terbentuk dari tatanan kalimat bahasa Jawa. Kasusastraan yang terpenting adalah perlu dipahami sekali dan dapat menerapkan pada kalimat dengan baik dan memilah-milah bahasa sampai bisa menjadi bahasa yang indah. Beberapa tatanan kalimat-kalimat dalam bahasa Jawa yang dapat menjadi bahasa yang indah yaitu purwakanthi, paribasan, saloka, basa rinengga, pepindhan, sanepa, dasanama, tembung yogyaswara, tembung plutan, tembung saroja dan tembung entar. Peneliti menggunakan teori Padmosoekotjo yang membahas unsur-unsur estetika dalam geguritan majalah Djaka Lodang edisi tahun 2013.
Membahas mengenai estetika maka erat hubungannya dengan nilai moral atau yang disebut etika, yang digunakan untuk menangkap pesan tersurat maupun tersirat dalam geguritan yang hendak disampaikan pengarang kepada pembacanya dalam rubrik geguritan majalah Djaka Lodang edisi tahun 2013. Etika merupakan pesan atau nilai-nilai sebagai ajaran dalam bertingkah laku. Etika Jawa mencerminkan nilai manusiawi yang pantas menjadi salah satu pedoman dalam menghadapi tantangan kehidupan modern ini. Menurut Endraswara (2010: 56-64) kajian etika Jawa dibagi menjadi dua macam, yaitu etika keselarasan dan etika kebijaksanaan.
Peneliti memilih rubrik geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi tahun 2013 karena di dalamnya banyak geguritan yang dapat dikaji, diantaranya penggunaan bahasa yang indah dalam geguritan akan mudah dipahami peneliti dalam mencari unsur estetika dan etika Jawa untuk membedah isi pesan yang terdapat dalam geguritan tersebut. Kajian estetika dan etika dipilih karena menurut peneliti tepat untuk membedah unsur keindahan dan isi pesan yang terdapat dalam geguritan tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan bisa menggunakan kajian lainnya,
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 115 peneliti lebih tertarik mengambil kajian estetika dan etika. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil penelitian yang berjudul “Estetika dan Etika Geguritan dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Tahun 2013”.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Moleong (2011: 11) mengungkapkan bahwa data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Sumber data penelitian ini adalah geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi Juli – Desember tahun 2013. Data yang akan dianalisis berupa kutipan-kutipan yang terdapat unsur-unsur estetika dan nilai etika yang ada dalam geguritan majalah Djaka Lodang edisi Juli – Desember tahun 2013. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, simak dan catat. Instrumen penelitian yang dilakukan menggunakan human instrumant (peneliti sendiri). Teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis (analisis konten). Endraswara (2013: 161) menyatakan bahwa analisis konten merupakan strategi menangkap pesan karya sastra. Tujuan analisis konten ialah membuat inferensi. Inferensi didapat melalui identifikasi dan penafsiran. Teknik keabsahan data menggunakan teknik validitas semantis dan meningkatkan ketekunan. Penyajian hasil analisis menggunakan teknik informal.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Unsur-unsur Estetika dalam Geguritan Majalah Djaka Lodang Edisi Tahun 2013
a. Purwakanthi Guru-swara
Kutipan: “Tan ana kang madhani, endah merbawani ing pucukking giri” (Lintangku Lintangmu (LL), 1)
‘Tidak ada yang menandingi, indah berkuasa di puncaknya gunung’
Kutipan tersebut termasuk purwakanthi guru-swara yaitu terdapat pada geguritan yang berjudul Lintangku Lintangmu bait pertama baris keempat dengan ditunjukkan kata madhani (menandingi), merbawani (berkuasa), dan giri (gunung) yaitu suara vokal i pada ni dan ri. Di bagian depan muncul suara ni yaitu pada kata madhani, dan merbawani. Kemudian suara ri digabungkan atau
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 116 disebutkan di bagian belakang, yaitu pada kata giri. Penyebutan ulang inilah yang dinamakan purwakanthi guru-swara.
b. Purwakanthi Guru-sastra
Kutipan: “Tuwajuh marang pakewuh” (Sada (SD), 2) ‘Yakin kepada halangan’
Kutipan tersebut termasuk purwakanthi guru-sastra terdapat pada geguritan yang berjudul Sada bait kedua baris ketiga dengan ditunjukkan kata tuwajuh (yakin), dan pakewuh (halangan) yaitu suara konsonan h pada uh. Di bagian depan muncul suara uh yaitu pada kata tuwajuh. Kemudian suara uh digabungkan atau disebutkan lagi di bagian belakang, yaitu pada kata pakewuh. Penyebutan ulang inilah yang dinamakan purwakanthi guru-sastra.
c. Purwaknthi Lumaksita
Kutipan: “Layang kasepen iki, dhik
Layang kang semlempit ing ati wingit” (Layang Kasepen (LK), 1)
‘Surat kesepian ini, dik
Surat yang terselip di dalam hati angker’
Kutipan tersebut termasuk purwakanthi lumaksita terdapat pada
geguritan yang berjudul Layang Kasepen bait pertama baris ketiga dan keempat yaitu pada kalimat layang kasepen iki, dhik dan layang kang semlempit ing ati wingit. Pada baris ketiga disebutkan kata layang (surat), kemudian pada baris keempat disebutkan kembali kata layang (surat). Penyebutan ulang kata layang inilah yang dinamakan purwakanthi lumaksita.
d. Paribasan
Kutipan: “Ajining dhiri saka lathi” (Merga lathi (ML), 1) ‘Kehormatan diri dari lisan’
Kutipan tersebut termasuk paribasan yaitu terdapat pada geguritan yang berjudul Merga Lathi bait pertama baris kelima belas. Pada baris kelima belas yaitu ajining dhiri saka lathi, yang artinya kehormatan diri dari lisan. Ajining dhiri saka lathi bukan makna yang sebenarnya, maksud dari paribasan tersebut adalah dikatakan kehormatan diri manusia berasal dari lisan, berarti lisan itu memiliki arti penting bagi manusia. Manusia yang dipercaya ialah ucapannya, karena dengan lisan manusia dapat menemukan mulia, dan karena lisan juga
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 117 manusia dapat tergelincir dalam dosa. Berhati-hatilah menjaga lisan, supaya tidak sampai menyakitkan orang lain.
e. Saloka
Kutipan: “Asu gedhe menang kerah njarah-ngrayah dianggep lumrah tikus werog giris nggegirisi” (Metamorfosa Uler Kupu (MUK), 1)
‘Anjing besar menang berkelahi merebut-merampas dianggap biasa tikus besar menakut-nakuti’
Kutipan tersebut termasuk saloka yaitu terdapat pada geguritan yang berjudul Metamorfosa Uler Kupu bait pertama baris ketiga. Pada baris ketiga yaitu Asu gedhe menang kerah termasuk saloka karena memiliki makna perumpamaan yang artinya siapa yang artinya anjing besar menang berkelahi. Asu gedhe menang kerah bukan makna yang sebenarnya, maksud dari saloka tersebut adalah siapa yang mempunyai pangkat tinggi atau siapa yang kuat, maka itu yang menang atau berkuasa.
f. Basa Rinengga
Kutipan: “Godhong kang tiba ing bantala
Tan ucul saka kuwasanE” (Pepesthen (PS), 2)
‘Daun yang jatuh di bumi
Tak lepas dari kuasaNya’
Kutipan tersebut termasuk basa rinengga terdapat pada geguritan yang berjudul Pepesthen bait kedua baris ketiga. Pada baris ketiga menggunakan bahasa Jawa kawi yaitu terletak pada kata bantala (tanah, bumi). Kemudian dihiasi dengan bahasa indah terletak pada kalimat tan ucul saka kuwasanE, kata tan merupakan kata lain kudu untuk mempertegas kalimat supaya lebih indah maka menggunakan kata tan. Kehadiran bahasa Jawa kawi dan kata-kata yang dihiasi inilah yang membuat rangkaian kata menjadi lebih indah, yang disebut basa rinengga.
g. Pepindhan
Kutipan: “Atiku nangis nalika anjejenges ati
Ukara sing mkok rakit, pindha welat kang landhep” (Merga Lathi (ML), 1)
‘Hatiku menangis ketika melukai hati
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 118 Kutipan tersebut termasuk pepindhan yaitu terdapat pada geguritan yang berjudul Merga Lathi bait pertama baris kedua. Kalimat ukara sing mkok rakit, pindha welat kang landhep termasuk pepindhan dengan kata kunci pindha yang artinya “ibarat”. Arti dari ukara sing mkok rakit, pindha welat kang landhep “kalimat yang kamu rangkai, ibarat pisau bambu yang tajam” yang maksudnya mengupamakan atau menyamakan seseorang dengan pisau, kata-kata yang terucap bisa menyakitkan orang lain, sehingga diibaratkan sebuah pisau tajam siapa saja yang mengenainya akan terluka. Maksud dari menyamakan sesuatu dengan barang lain yang dinamakan pepindhan.
h. Sanepa
Kutipan: “Jembare donya kang sagodhong kelor
aja ndadekake drajatmu dadi asor” (Aja Lali (AL), 6) ‘Luasnya dunia yang selebar daun kelor
jangan menjadikan derajatmu menjadi rendah’
Kutipan tersebut termasuk sanepa yaitu terdapat pada geguritan yang berjudul Aja Lali bait keenam baris keempat. Kalimat jembare donya kang sagodhong kelor yang artinya luasnya dunia yang selebar daun kelor. Kata jembare donya berasal dari kata sifat kemudian berkesinambungan menjadi kata benda yaitu sagodhong kelor.
i. Dasanama
Kutipan: “Bakal dakkalungke ing kalbumu ………
Bisa dadi tandha ati” (Sekar Wangi (SW), 2, 3) ‘Akan saya kalungkan di hatimu
………
Bisa menjadi tanda hati’
Kutipan tersebut termasuk dasanama yaitu terdapat pada geguritan yang berjudul Sekar Wangi bait kedua baris keempat dan bait ketiga baris keempat. Pada bait kedua dan ketiga ditemukan kata kalbu yaitu pada baris keempat yang artinya “hati”, kemudian pada baris keempat ditemukan kata hati yang artinya sama “hati”. Kata kalbu dan hati yang disebut dasanama.
j. Tembung Yogyaswara
Kutipan: “Kamajaya-Kamaratih kasisih” (Balia (BL), 1) ‘Kamajaya-Kamaratih tersingkir’
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 119 Kutipan tersebut termasuk tembung yogyaswara terdapat pada geguritan yang berjudul Balia bait pertama baris keempat yaitu ditunjukkan pada Kamajaya-Kamaratih. Kata Kamajaya-Kamaratih merupakan nama orang yang terdiri dari dua kata yang lafalnya hampir sama yang memiliki makna laki-laki yaitu Kamajaya dan perempuan yaitu Kamaratih.
k. Tembung Plutan
Kutipan: “Dupi kepanggih pra kadang mitra sedaya” (Mitra (MT), 2) ‘Saat bertemu para saudara teman akrab semua’
Kutipan tersebut termasuk tembung plutan terdapat pada geguritan yang berjudul Mitra bait kedua baris ketiga yaitu kata pra. Kata pra merupakan tembung plutan, berasal dari kata para yang artinya “para”.
l. Tembung Saroja
Kutipan: “Tumanduk asih tresna laras reseping rasa” (Luhur Jejering Wanita (LJW), 6)
‘Mengenai kasih sayang irama menyenangkan rasa’
Kutipan tersebut termasuk tembang saroja terdapat pada geguritan yang berjudul Luhur Jejering Wanita bait keenam baris kelima dengan ditunjukkan kata asih tresna. Kata asih tresna memiliki makna yang hampir sama bahkan sulit untuk dibedakan, kata asih mempunyai arti “kasih, sayang, suka” dan tresna mempunyai arti “cinta, kasih sayang”.
m. Tembung Entar
Kutipan: “Sasuwene iki mung dianggep uwuh
Sanajan direwangi adus kringet lan luh” (Marang Pangreksa Tali Gantungan (MPTG), 2)
‘Selama ini hanya dianggap sampah
Meskipun harus mandi keringat dan tangis’
Kutipan tersebut termasuk tembung entar yaitu terdapat pada geguritan yang berjudul Marang Pangreksa Tali Gantungan bait kedua baris kelima. Pada baris kedua yaitu sanajan direwangi adus kringet lan luh termasuk tembung entar karena memiliki makna kiasan pada kata adus kringet lan luh yang artinya mandi keringat dan tangis. Adus kringet lan luh bukan makna yang sebenarnya,
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 120 maksud dari kata adus kringet yaitu bekerja keras dan kata adus luh yaitu menangis, bersedih.
2. Nilai Etika Etika dalam Geguritan Majalah Djaka Lodang Edisi Tahun 2013 a. Etika Keselarasan Sosial
Etika keselarasan sosial tersebut tampak pada kutipan teks di bawah ini.
“Sadurunge swara hape iku dumeling Isi warta duhkita lumantar es em es
Saka mitra sing tuhu mersudi lestarine basa Jawa Ngugemi jejere juru warta
Lumantar maneka tulisan sosial budaya Kang dumadi saben kala
Ing udyana Djaka Lodang Kaya wus ana sasmita
Lumantar ocehe manuk kedasih Sing mibar miber ing pucuke pring Yen sampeyan bakal pamit
Ninggal kulawarga lan kanca-kanca Ngalor ngidul luru warta
Sing kaya ora ana pungkasane
Sadurunge kaya sampeyan kudu sowan ana Ngersa-Ne Sugeng tindak mitra
Cathetanmu bakal tetep sumimpen Ana rak-rake kapustakan
Dadi tinggalan sing ora kukut dening playune jaman”(Warta Duhkita (WD), 1) Data di atas, menjelaskan etika keselarasan sosial dalam geguritan tersebut berupa wujud sopan santun dalam suasana berduka (berbela sungkawa). Sebagai ucapan salam perpisahan dan sebagai tanda penghormatan terakhir dari kerabatnya kepada seorang juru berita yang sudah meninggal dunia, karyanya akan tetap dikenang dan tersimpan di rak-rak perpustakaan. Wujud sopan santun inilah yang merupakan salah satu kajian dalam etika keselarasan sosial.
b. Etika Kebijaksanaan
Etika kebijaksanaan tersebut tampak pada kutipan teks di bawah ini.
“Garising pepesthen wis tinulis Ing kitab wis sinebut… Lakuning suku mlajar ing ngendi papan
Leng semut dadi paran
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 121 Papan pandhelikan pesthi katekan
Pasrah sumarah nyadhong sih kawelasan Gusti Allah paring, antebing ati amemuji
Godhong kang tiba ing bantala tan ucul saka kuwasanE Gusti Allah kang murbeng dumadi
Dhateng paduka sadaya wangsul sasampune ditimbali” (Pepesthen (PS), 1, 2) Data di atas, menjelaskan sebuah pitutur atau nasihat kepada sesama bahwa sebagai manusia harus ingat akan datangnya kematian, semua makhluk yang bernafas akan mati dan akan kembali kepada Sang Penciptanya bila telah datang waktu yang ditentukan. Harus selalu diingat bahwa takdir itu pasti akan terjadi, maka memohonlah kepada Allah agar diberikan kemantapan hati untuk selalu memuji. Unsur pitutur inilah yang termasuk dalam etika kebijaksanaan.
Simpulan
Hasil analisis data yang telah dilakukan peneliti, maka dapat disimpulkan dari 90 geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi tahun 2013 terdapat unsur-unsur estetika dan nilai etika. Unsur-unsur estetika tersebut, meliputi purwakanthi guru-swara 250 indikator, purwakanthi guru-sastra 103 indikator, purwakanthi lumaksita 52 indikator, paribasan 2 indikator, saloka 1 indikator, basa rinengga 78 indikator, pepindhan 25 indikator, sanepa 4 indikator, dasanama 7 indikator, tembung yogyaswara 6 indikator, tembung plutan 120 indikator, tembung saroja 34 indikator dan tembung entar 15 indikator. Selanjutnya nilai etika dalam geguritan tersebut, meliputi (a) etika keselarasan sosial meliputi 6 indikator dan (b) etika kebijaksanaan meliputi 25 indikator.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 122
Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2010. Etika Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.
_________________. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Dharsono, Kartika Sony dan Perwira, Nanang Ganda. 2004. Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.
Moleong, J. Lexy. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Padmosoekotjo, S. 1958. Ngengrengan Kasusastran Djawa II. Yogyakarta: Hien Hoo Sing.
Purwadi. 2009. Kamus Jawa-Indonesia, Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Bina Media.
W.J.S. Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers, Maatschappij N.V. Groningen, Batavia.