• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU

MOHAMMAD NURDIN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman dan Sebaran Satwa Primata di Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks serta dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

Mohammad Nurdin NIM. E34103037

(3)

MOHAMMAD NURDIN. E34103028. Keanekaragaman dan Sebaran Satwa Primata di Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau. Dibawah bimbingan A. MACHMUD THOHARI

Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) merupakan kawasan hutan dataran rendah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, salah satunya adalah satwa primata. Lokasi TNTN ini dekat dengan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman. Taman Nasional Tesso Nilo yang letaknya berbatasan langsung dengan perkebunan kelapa sawit akan memiliki dampak atau pengaruh terhadap keberadaan satwaliar khususnya satwa primata. Berkurangnya habitat asli di dalam hutan karena semakin berkembang dan meluasnya areal perkebunan terutama kelapa sawit dapat mengakibatkan degradasi populasi dan migrasi satwa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan sebaran satwa primata, dan juga untuk mengetahui karakteristik habitat terutama pada kawasan Taman Nasional Tesso Nilo.

Dengan menggunakan intensitas sampling 1 % dari luas arael yang diteliti yaitu diambil sepertiga luasan taman nasional sebesar 13.500 ha, maka didapatkan total luas unit contoh yang harus diamati adalah 135 ha. Dengan total luas unit contoh tersebut dan luas setiap unit contohnya 20 ha maka jumlah jalur yang harus diamati sebanyak 7 jalur. Inventarisasi satwaliar dengan menggunakan metode line transect (transek garis) dan analisis vegetasi untuk habitatnya. Panjang jalur pengamatan ±2 km dan lebar kiri-kanan jalur 50 m. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan dari bulan Maret-Mei 2008 dilakukan di TNTN. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Minitab 13 dan Excel 2007.

Satwa primata yang ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo sebanyak 5 jenis dari 2 famili, yaitu dari famili Cercopithecidae (3 jenis) seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus) dan lutung simpai (Presbytis melalophos). Sedangkan dari famili Hylobatidae ditemukan 2 jenis primata yaitu owa ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Hylobates syndactylus). Pola sebaran dari seluruh jenis primata di areal studi menunjukan sebarannya mengelompok. Dari hasil analisis vegetasi didapatkan komposisi jenis vegetasi yang sangat beragam. Ditemukan 111 jenis tumbuhan dari 43 famili. Jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak ditemukan adalah dari famili Dipterocarpaceae dengan 25 jenis. Untuk tingkat pohon INP jenis yang mendominasi adalah Resak (Vatica spp.) INP 61,31%, tingkat tiang adalah jenis Jejambu (Eugenia spp.) dengan INP 80,97%. Tingkat pancang juga sama yaitu jenis Jejambu (Eugenia spp.) INP 57,98%. Sedangkan untuk semai jenis yang banyak adalah Kelat (Gonystylus forbesii) INP 84,81%. Secara keseluruhan kondisi hutan Tesso Nilo sebagai habitat satwaliar sangat terancam. Hal ini diakibatkan karena adanya gangguan penebangan dan perladangan liar yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

(4)

MOHAMMAD NURDIN. E34103028. Biodiversity and Distribution of Primate in Tesso Nilo National Park Abuted on Palm Plantation of PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau. Under supervision of A. MACHMUD THOHARI

Tesso Nilo National Park is lowland forest area which still having a high biodiversity, one of them is primates. Location of This national park in encircling by palm plantation area and industrial forest (HTI). This hardly having an effect or affecting for existence of wildlife especially primates. Number of residents that is increasingly increases has increased requirement would various land resources, so that many forests converted to fulfill requirement of area of settlement, agricultural land, plantation and industry crop forest resulting to decrease and the happening of fragmentation of habitat. PT. Inti Indosawit Subur is one of palm plantation company which close at Tesso Nilo National Park. This company also experiences problem which caused by the entry of primates like longtailed and pigtailed macaques to areal plantation and eats of palm-kernel. Sees from the problems hence required [by] this study. The aims of the study were to identify biodiversity and distribution of primate, and characteristics of habitat in Tesso Nilo National Park.

Areal becoming research area with a wide 13.500 ha, that a third expansion of Tesso Nilo National Park and made 1% intensitas sampling so just 135 ha had become sample plot area of researching. In such a way that observations were made in seven artificial traffic lane, on the Tesso Nilo National Park abuted on palm plantation of PT. Inti Indosawit Subur with 2 km long to each and width 100 m, this observation using line transect method (Stripe Transect) for inventory of primate and vegetation analysis. This study was conducted on March to May 2008. Data analysis was conducted using Minitab 13 and Microsoft Excel for Windows 2007.

Primates finding 5 species such as long-tail macaque, mitred leaf monkey, ebony leaf monkey, agile gibbon, and siamang in Tesso Nilo National Park. And the distribution of primate dispersed as group (agregatif). Vegetation analysis at tree stand, pillar, stake and seedling it is gotten that amounts species identified 111 plant types which is including 43 set of relativeses. Vegetation types which at most found is from set of relatives Dipterocarpaceae with number of plant types 25 species. for level of tree, important and dominant type with value INP is plant type Resak (Vatica spp.) INP 61,31%, At growth level of pillar species which important and is dominant is type Jejambu (Eugenia spp.) INP 80,97%. At growth level of important and dominant species stake is Jejambu (Eugenia spp.) INP 57,98%. At growth level of seedling species which is dominant is Kelat (Gonystylus forbesii) INP 84,81%. Totality condition of Tesso Nilo forest as habitat of primates in danger. It is because disturbance from illegal logging and illegal farming that doing by local people.

(5)

PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU

MOHAMMAD NURDIN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(6)

Subur, Ukui, Riau

Nama : Mohammad Nurdin

NRP : E 34103028

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas : Kehutanan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA NIP : 19480208 198011 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 19611126 198601 1 001

(7)

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 November 1984 di Bogor, Jawa Barat, dari pasangan Mawih dan Atjih. Pendidikan formal ditempuh pada SD Negeri Cilendek 1 Bogor hingga lulus pada tahun 1997. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama ditempuh di SLTP Negeri 6 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Penulis menamatkan jenjang pendidikan menengah atas pada tahun 2003 di SMU Rimba Madya Bogor dan memperoleh Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan pilihan mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan.

Penulis pernah aktif sebagai anggota HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi), dan tergabung ke dalam Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH). Pada tahun 2004. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Perhutani Unit 1 Jawa Tengah di BKPH Rawa Timur (Cilacap), BKPH Gunung Slamet Barat (Baturraden) dan di Getas pada tahun 2007.

Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur selama kurang lebih 2 bulan pada tahun 2007. Penulis melakukan penelitian karya ilmiah yang berjudul “Keanekaragaman dan Sebaran Satwa Primata di Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau”, dibawah bimbingan Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB.

(8)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terhaturkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman.

Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini dan penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orangtua Ayah dan Bunda (Mawih dan Atjih) tercinta yang selalu mendoakan, mendukung serta memberikan motivasi baik secara moral dan materil selama proses belajar dan penyelesaian skripsi.

2. Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA selaku Pembimbing yang selalu memberikan nasehat, arahan dan bimbingan.

3. Ir. Endang S. Husaeni, M.Si dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji komprehensif atas koreksi, saran dan nasehat kepada penulis. 4. Febi Muryanto, S.Hut dan Mohammad Ramli, S.Hut atas segala dukungan,

bantuan, semangat, dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi.

5. Bu Evan, Bu Titin, Pak Acu atas segala dukungan, waktu, semangat dan nasihat yang diberikan kepada penulis.

6. Teman-teman KSHE angkatan „komodo‟ (2003/40) atas pembelajaran, semangat, dan motivasi selama proses belajar.

(9)

Alhamdulillahirabbil‘alamin dengan rasa puji dan syukur kehadirat Allah Subhannahu Wa Ta’ala atas segala petunjuk, rahmat dan karunia-Nya yang telah mengingatkan kita ketika lupa dari-Nya dan memberi pengetahuan atas kebodohanku serta memberikan kemudahan kami atas setiap urusan, sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad saw beserta keluarga, para sahabatnya yang terpilih, serta para pengikutnya.

Skripsi ini berjudul Keanekaragaman dan Sebaran Satwa Primata di

Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur Ukui Riau, disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini mengkaji mengenai keanekaragaman jenis primata dan sebarannya serta karakteristik habitatnya yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Sebagai informasi tambahan, dilakukan juga studi keanekaragaman jenis primata di kawasan lindung dalam perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dunia ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2010

Mohammad Nurdin NIM. E34103028

(10)

Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 2 1.3. Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata ... 3

2.2. Beberapa Jenis Primata di Indonesia ... 3

2.1.1. Macaca fascicularis ... 3 2.1.2. Macaca nemestrina... 6 2.1.3. Presbytis melalophos ... 7 2.1.4. Trachypithecus auratus ... 9 2.1.5. Hylobates syndactylus ... 10 2.1.6. Hylobates agilis ... 12

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.2. Alat dan Bahan ... 14

3.3. Metode Pengambilan Data ... 15

3.4. Analisis Data ... 18

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo ... 21

4.1.1. Sejarah Kawasan ... 21

4.1.2. Letak dan Luas ... 22

4.1.3. Aksesibilitas ... 23

4.1.4. Topografi ... 23

4.1.5. Geologi dan Tanah ... 24

4.1.6. Iklim ... 24

4.1.7. Hidrologi ... 25

4.1.8. Flora ... 25

4.1.9. Fauna ... 26

4.2. PT. Inti Indosawit Subur ... 27

4.2.1. Curah Hujan ... 27

4.2.2. Suhu Udara ... 28

4.2.3. Batas Wilayah ... 28

4.2.4. Iklim ... 29

(11)

5.1.2. Kepadatan Populasi ... 32

5.1.3. Sebaran dan Aktivitas ... 33

5.1.4. Komposisi Vegetasi ... 38

5.1.5. Kondisi Habitat ... 40

5.2. Komunitas Primata di Dalam Kawasan Lindung ... 45

5.2.1. Keanekaragaman Jenis Primata ... 45

5.2.2. Kepadatan Populasi ... 46

5.2.3. Perilaku dan Aktivitas ... 47

5.2.4. Karakterisitik Habitat ... 47 VI. KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan ... 50 6.2. Saran ... 51 DARTAR PUSTAKA ... 52 LAMPIRAN ... 54

(12)

Tabel Halaman 1 Luasan bentang lahan berdasarkan kelas kemiringan lereng

secara metrik ... 24 2 Jenis Tanah yang Terdapat di PT. Inti Indosawit Subur, kebun

Ukui ... 30 3 Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di TNTN ... 31 4 Pendugaan populasi beberapa satwa primata yang diamati TN

Tesso Nilo ... 32 5 Sebaran populasi jenis-jenis primata di areal studi TNTN

... 34 6 Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis satwa

primata ... 36 7 Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) terbesar dari

tumbuhan di setiap jalur penelitian. ... 40 8 Jenis-jenis satwa primata yang ditemukan di kawasan lindung

perkebunan kelapa sawit ... 45 9 Pendugaan populasi satwa primata di kawasan lindung

perkebunan kelapa sawit ... 47 10 INP untuk tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon ... 48

(13)

Gambar Halaman 1 Peta lokasi penelitian di TN Tesso Nilo yang berbatasan

dengan kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur ... 14 2 Bentuk transek garis pengamatan satwaliar primata di

TNTN... 15 3 Bentuk unit contoh metode garis berpetak untuk

inventarisasi vegetasi ... 17 4 Peta letak kawasan Taman Nasional Tesso Nilo ... 22 5 Diagram kepadatan populasi ke lima jenis primata yang

berada di dalam kawasan TNTN ... 33 6 Owa ungko (Hylobates agilis) ... 35 7 Monyet ekor panjang yang memiliki sebaran vertikal lebih

luas ... 37 8 Lutung budeng (Trachypithecus auratus) ... 37 9 Rekapitulasi 10 famili tumbuhan terbanyak yang terdapat

di TNTN ... 39 10 Kayu balok bekas penebangan liar di dalam kawasan

Taman Nasional Tesso Nilo... 41 11 Areal bekas perambahan hutan didalam kawasan Taman

Nasional Tesso Nilo... 42 12 Kondisi hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang belum

terganggu ... 44 13 Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di dalam

kawasan lindung perkebunan kelapa sawit ... 46 14 Kondisi vegetasi di areal cadangan (kawasan lindung)

perkebunan kelapa sawit ... 48 15 Kondisi sempadan sungai di areal cadangan (kawasan

(14)

Lampiran Halaman

1 Jenis-jenis tumbuhan di kawasan TNTN... 54

2 Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur 1... 56

3 Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur 1... 57

4 Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur 2... 58

5 Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur 2... 59

6 Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur 3... 60

7 Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur 3... 61

8 Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur 4... 62

9 Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur 4... 63

10 Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur 5... 64

11 Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur 5... 65

12 Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur 6... 65

13 Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur 6... 66

14 Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai dan pancang di jalur 7... 67

15 Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang dan pohon di jalur 7... 67

16 Pengamatan satwa primata di TNTN... 69

17 Tally Sheet Pengamatan Vegetasi Tingkat Pohon... 71

18 Tally Sheet Pengamatan Vegetasi Tingkat Tiang... 72

19 Tally Sheet Pengamatan Vegetasi Tingkat Pancang... 73

(15)

1.1. Latar Belakang

Hutan Tesso Nilo setelah resmi ditetapkan menjadi taman nasional, kawasan hutannya masih tetap dalam bahaya. Pembalakan liar, konversi menjadi kebun dan ancaman lainnya dari dulu hingga kini masih menjadi faktor yang membuat hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati ini, harus diselamatkan. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) memiliki luas ± 38.576 Ha dan secara administratif terletak di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kawasan yang masuk wilayah taman nasional ini dulunya merupakan kawasan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Tesso Nilo memiliki fungsi ekologis yang amat penting bagi Riau. Selain menjadi hulu beberapa sungai di Riau, kawasan ini juga memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dibanding hutan dataran rendah lainnya di dunia. Tesso Nilo adalah ekosistem asli hutan dataran rendah (lowland forest). Meskipun saat ini kondisi hutan telah terganggu, namun masih menyisakan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi. Menurut Ditjend PHKA (2007) satwa primata yang ada di TNTN ada 3 jenis yaitu owa (Hylobates agilis), lutung simpai (Presbytis femoralis) dan beruk (Macaca nemestrina). Di kawasan ini juga tercatat ada sekitar 107 jenis burung, salah satunya adalah beo sumatera (Gracula religiosa) yang hampir punah. Jenis gajah sumatera, harimau sumatera, macan dahan, beruang madu, tapir dan rangkong juga masih banyak berada di kawasan ini.

Keanekaragaman hayati flora dan fauna yang ada didalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dapat terancam keberadaan dan kelestariannya oleh kegiatan yang ada disekitarnya, seperti perusahaan yang bergerak dibidang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan perkebunan kelapa sawit. Salah satu perusahaan perkebunan yang dekat dengan TN Tesso Nilo adalah perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur Riau.

Letak perkebunan kelapa sawit yang dekat dengan kawasan TNTN akan memiliki dampak atau pengaruh terhadap keberadaan satwaliar khususnya satwa primata di kawasan TNTN. Berkurangnya habitat asli di dalam hutan karena

(16)

semakin berkembang dan meluasnya areal perkebunan terutama kelapa sawit dapat mengakibatkan degradasi populasi dan migrasi satwa. Perkebunan kelapa sawit juga akan mengalami masalah yang disebabkan oleh masuknya satwa primata. Terutama monyet ekor panjang dan beruk yang mudah beradaptasi dengan areal perkebunan. Jenis primata ini sering dijumpai memakan buah sawit yang masih muda. Interaksi satwa primata dengan kelapa sawit yang terus terjadi, dapat menyebabkan kerugian pada kebun kelapa sawit, hal ini dikarenakan primata tersebut mencari pakan dengan memasuki daerah perkebunan.

Melihat permasalahan tersebut, maka telah dilakukan kegiatan studi penelitian mengenai keanekaragaman jenis satwaliar khususnya satwa primata. Hal ini untuk memberikan gambaran mengenai keberadaan satwa primata dan penyebarannya di areal kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur Riau.

1.2. Tujuan

Tujuan pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui keanekaragaman jenis dan sebaran satwa primata di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau.

2. Mengetahui karakteristik habitat pada kawasan Taman Nasional Tesso Nilo.

1.3. Manfaat

Hasil kegiatan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan data dan informasi terbaru mengenai jenis-jenis satwa primata bagi Taman Nasional Tesso Nilo. Demi kelestariannya diharapkan adanya kerjasama pengelolaan yang baik antara pihak TN Tesso Nilo dengan pihak perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui, Riau.

(17)

2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata

Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah primata adalah :

Kingdom : Animalia

Phyllum : Chordata

Sub Phyllum : Vertebrata

Class : Mamalia

Ordo : Primata

Primata umumnya dibagi kedalam 3 sub ordo yaitu : Prosimii, Tarsii, dan Simii. Dari sekitar 195 jenis primata yang ada di dunia, 40 jenis ditemukan di Indonesia. Di Indonesia terdapat 2 jenis (Nycticebus) dari sub ordo Prosimii (famili Lorisidae), 5 jenis (Tarsius) dari sub ordo Tarsii (famili Tarsidae) dan jenis-jenis dari sub ordo Simii termasuk dalam famili Cercopithecidae, Hylobatidae, dan Pongidae. Pada famili Cercopithecidae. Di Indonesia terdapat 25 jenis terbagi Macaca (11 jenis), Presbytis (12 jenis), Simias (1 jenis) dan Nasalis (1 jenis). Famili Hylobatidae terdapat 6 jenis (Hylobates) dan Pongidae 2 jenis (Pongo) (Supriatna dan Wahyono, 2000).

2.2. Beberapa Jenis Primata di Indonesia

2.2.1. Macaca fascicularis (Monyet ekor panjang)

Menurut Kurland (1973) dalam Pamungkas (2001), perbandingan ekor dan tubuh merupakan suatu ciri khusus secara morfologi yang dapat digunakan untuk membedakan antara Macaca fascicularis dengan Macaca jenis lainnya, dan ukuran tubuh yang kecil berwarna cokelat dengan bagian perutnya berwarna lebih muda, seringkali berwarna keputih-putihan yang jelas pada bagian muka. Pada monyet-monyet yang belum dewasa sering memiliki jambang mengelilingi muka, walaupun tidak terpisah secara nyata pada Macaca nemestrina (Lekagul dan Mc Neely, 1977).

(18)

a. Ekologi dan Penyebaran

Monyet ekor panjang merupakan satu dari jenis primata yang paling berhasil dalam penyebarannya. Penyebarannya meliputi seluruh kawasan Asia Tenggara yaitu antara 20º LU – 10º LS dan 92º BT – 128º BT (Wheatly, 1980 dalam Pamungkas, 2001). Lekagul dan Mc Neely (1977) menyatakan bahwa penyebaran monyet ini adalah di Indonesia, Thailand, Burma (Myanmar), Malaya, Philipina dan beberapa pulau kecil lainnya. Di Indonesia Macaca fascicularis terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung, Kepulauan Tambelan, Kepulauan Natuna, Simalur, Nias, Jawa dan Bali, Matasari, Pulau Bawean, Pulau Timor, Pulau Lombok, Pulau Sumba, Pulau Sumbawa dan Flores (Ditjend PHPA, 1986).

b. Perilaku dan Aktivitas

Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok-kelompok. Satu kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri dari 8-40 ekor atau lebih termasuk beberapa betina (Medway, 1978 dalam Pamungkas, 2001). Menurut Lekagul dan Mc. Neely (1977), suatu kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri lebih dari 100 individu dan betina yang sedang menyusui dapat hamil kembali. Hal ini menunjukkan suatu kecenderungan kearah perluasan populasi. Tekanan populasi yang tinggi karena cepat bereproduksi dapat menjelaskan mengapa monyet ini telah memperluas habitatnya sampai mangrove dan tipe hutan pantai yang umumnya diabaikan oleh jenis lain.

Menurut Medway (1978) dalam Pamungkas (2001), monyet ekor panjang bersifat arboreal, meskipun sering turun kebawah. Monyet ekor panjang beradaptasi dengan kehidupan manusia. Mereka takut air, dapat berenang dengan cepat dan terampil (Lekagul dan Mc. Neely, 1977).

c. Habitat

Habitat adalah tempat dimana organisme tersebut hidup atau tempat dimana organisme tersebut dapat ditemukan (Odum, 1971). Suatu habitat merupakan kesatuan dari sejumlah komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi dan iklim (mikro dan makro) serta komponen biologis yang terdiri dari manusia, vegatasi dan margasatwa (Semiet, 1986). Sedangkan menurut Yoakum (1971), bahwa komponen habitat yang terpenting bagi kehidupan

(19)

margasatwa adalah makanan, air, tempat berlindung dan ruang (dalam Pamungkas, 2001). Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Oleh karena itu, habitat suatu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lain. Habitat suatu jenis satwaliar mengandung suatu sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik. Sistem tersebut dapat mengendalikan kehidupan satwaliar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 1990).

Menurut Lekagul dan Mc Neely (1977), meskipun habitat klasik Macaca fascicularis adalah hutan rawa mangrove, namun mereka juga ditemukan di hutan primer dan sekunder sampai ketinggian 2000 mdpl, di hutan bekas tebangan dan daerah-daerah pertanian dimana mereka dianggap sebagai hama. Sebaliknya menurut Supriatna dan Wahyono (2000), monyet ini hidup pada hutan primer sampai sekunder mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1000 mdpl. Seringkali juga ditemukan di hutan bakau, perkebunan sampai ke hutan dekat perkampungan.

d. Pakan

Monyet ini pemakan segala jenis makanan (omnivora), namun komposisinya mengandung lebih banyak buah-buahan (60%), selebihnya berupa bunga, daun muda, biji, umbi. Monyet yang hidup di rawa-rawa kadang-kadang turun ke tanah pada air surut dan berjalan menelusuri sungai mencari serangga. Monyet yang hidup di daerah bakau atau pesisir, sering dijumpai memakan kepiting atau jenis moluska lainnya. Sehingga sering monyet ini disebut ”Crabs eating macaque”.

e. Status Konservasi

Hingga kini monyet ini belum dilindungi undang-undang dan resikonya masih rendah terhadap kepunahan. Penangkapan langsung dari habitatnya untuk dijadikan percobaan atau peliharaan, merupakan sisi lain dari terganggunya populasi di alam. Monyet ini merupakan hama bagi penduduk, karena dapat merusak lahan pertanian padi, jagung, perbenihan karet dan pohon buah-buahan. Sejak tahun 70-an, monyet ekor panjang diekspor untuk keperluan riset biomedik dan juga penelitian psikologi.

(20)

2.2.2. Macaca nemestrina (Monyet ekor pendek/beruk)

Monyet ini berbadan besar, tegap dengan dimorfisme seksual yang tampak jelas yaitu terdapat perbedaan yang jelas antara jantan dan betina. Diantara semua jenis monyet, warna jenis dari beruk ini sangat bervariasi. Akan tetapi, secaca umum warna yang dominan adalah cokelat keabu-abuan dan kemerah-merahan. (Lekagul dan Mc Neely, 1977).

a. Ekologi dan Penyebaran

Monyet ekor pendek tersebar mulai dari India timur laut, Assam, Thailand, Malaysia dan Borneo. Di Indonesia terdapat di pulau Sumatera, Mentawai, dan Kalimantan. Monyet ini tidak terdapat di Jawa baik kehidupannya maupun tanda-tanda yang berupa fosil (Lekagul dan Mc Neely, 1977). Di Sumatera beruk terdapat di semua provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung (Wilson dan Wilson, 1980 dalam Pamungkas, 2001). Penyebaran beruk juga terdapat di Suaka Margasatwa Pleihari dan Suaka Margasatwa Kutai, Kalimantan.

b. Perilaku dan Aktivitas

Monyet ekor pendek digolongkan kedalam bentuk kelompok ”multimales group” yaitu mempunyai lebih dari satu ekor jantan dewasa dalam satu kelompok. Southwick dan Cadigan (1972) dalam Pamungkas (2001) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa beruk di Malaya sering dijumpai di hutan sekunder dalam populasi yang cukup rendah, demikian juga di hutan primer. Hal ini disebabkan oleh pola pergerakan dan tingkah laku yang lebih menyukai pohon-pohon kecil. Kesukaan untuk berada di tanah bukan ketika berjalan saja, bahkan pada waktu memakan buah yang sudah dipetik dari pohon pun sering dibawa turun ke tanah (Wilson dan Wilson, 1975 dalam Pamungkas, 2001).

c. Habitat

Menurut Lekagul dan Mc Neely (1977), pada Macaca nemestrina mendiami hutan primer dan sekunder di pedalaman dan jarang ditemukan di pinggir pantai atau hutan pantai.

(21)

d. Pakan

Beruk mengkonsumsi berbagai jenis makanan. Komposisi pakannya adalah buah dan biji 73%, daun-daunan 5%, bunga 1%, dan beberapa jenis makanan lain seperti serangga, kepiting sungai, rayap, telur burung sekitar 12%. Sisanya berupa jamur atau bagian tumbuhan lainnya. Beruk ini memakan lebih dari 160 jenis tumbuhan yang berbeda.

e. Status Konservasi

Ancaman utama keberadaan beruk adalah penangkapan satwa ini dari habitat alamnya, terutama di Sumatera, untuk diperdagangkan dalam jumlah yang cukup besar. Beruk diklasifikasikan sebagai primata yang rentan dalam daftar IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), dan dimasukkan ke dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade Of Endengared Species Flora and Fauna). Beruk juga sering digunakan sebagi hewan percobaan dalam penelitian biomedik, seperti halnya monyet ekor panjang. Di Sumatera, tenaga beruk sering dimanfaatkan sebagai pengambil atau pemanjat pohon kelapa untuk memetik buahnya. Beruk sering dianggap sebagai hama tanaman perkebunan dan pertanian.

2.2.3 Presbytis melalophos (Simpai)

Monyet ini berukuran sedang sampai besar, dengan kepala bulat, hidung pesek dan perut yang besar, memiliki ekor yang lebih panjang dari ukuran kepala dan badannya. Rambut yang menutupi tubuhnya cukup panjang dan tebal dan yang berada dikepala membentuk jambul berujung runcing. Alis meremang, kaku mengarah kedepan (Napier dan Napier, 1967).

a. Ekologi dan Penyebaran

Simpai adalah salah satu jenis Presbytis yang memiliki wilayah penyebaran terluas di Sumatera, yaitu mulai dari Sumatera bagian selatan hingga bagian utara Danau Toba serta Kalimantan. Habitat yang disukai adalah hutan hujan bawah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 2000 mdpl. Mereka jarang dijumpai pada daerah rawa-rawa atau tepian aliran sungai (Ditjend PHPA, 1986).

(22)

b. Perilaku dan Aktivitas

Simpai memiliki ukuran kelompok yang relatif kecil yaitu 5-13 ekor dan bersifat poligami dengan satu ekor jantan memimpin kelompok (Wilson dan Wilson, 1975 dalam Pamungkas, 2001). Simpai banyak dijumpai pada pohon-pohon pada strata tajuk lapisan tengah dan bawah sebagai tempat mencari makan dan melakukan aktivitas harian. Sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur dipilih tajuk lapisan atas dengan ketinggian lebih dari 20 m (paling sering sekitar 40 m). Jarang sekali simpai turun ke tanah atau lantai hutan (Ruhiyat, 1983 dalam Pamungkas, 2001).

c. Habitat

Simpai lebih suka tinggal di hutan-hutan pedalaman dan sering dijumpai pada hutan primer dataran rendah sampai pegunungan hingga 2500 mdpl. Mereka jarang dijumpai pada daerah rawa-rawa atau tepian aliran sungai. Penyusutan hutan menyebabkan mereka kadang-kadang dijumpai di daerah perkebunan (Supriatna dan Wahyono, 2000). Simpai banyak dijumpai pada pohon-pohon pada strata tajuk lapisan tengah dan bawah sebagai tempat mencari makan dan melakukan aktivitas harian. Sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur dipilih tajuk lapisan atas dengan ketinggian lebih dari 20 m (paling sering sekitar 40 m). Jarang sekali simpai turun ke tanah atau lantai hutan. Pohon-pohon tempat tidur tersebut umumnya terletak di punggung bukit dan daerah-daerah yang lebih tinggi (Ruhiyat, 1983 dalam Pamungkas, 2001).

d. Pakan

Pakan simpai adalah buah-buahan, bunga, biji, pucuk daun dan beberapa jenis serangga kecil. Simpai mengkonsumsi lebih dari 55 jenis tumbuhan yang berbeda. Komposisi pakan simpai iniantara daun 33%, buah 46%, bunga 17%, dan makanan lain sampai 4%.

e. Status Konservasi

Informasi tentang populasi satwa ini di alam belum banyak diketahui. Namun, penyusutan habitat mengancam kelangsungan populasi simpai di seluruh daerah sebarannya. Meskipun dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan, kondisi tersebut dapat meningkatkan kematian anak-anak simpai.

(23)

Hal inilah yang mendorong perlindungan satwa ini melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990.

2.2.4. Trachypithecus auratus (Budeng)

Monyet ini mempunyai warna rambut hitam, diselingi dengan warna keperak-perakkan. Bagian ventral, berwarna kelabu pucat dan kepala mempunyai jambul. Anak lutung yang baru lahir berwarna kuning jingga dan tidak berjambul, setelah meningkat dewasa warnanya berubah menjadi hitam kelabu.

a. Ekologi dan Penyebaran

Lutung budeng tersebar mulai dari Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Beberapa jenis dari lutung budeng seperti T.a. auratus dan mauritius tersebar di Jawa Barat bagian barat dan tenggara, sedangkan jenis T.a. cristatus, tersebar di Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Selatan, Sumatera bagian selatan termasuk juga Jawa Timur, Bali dan Lombok. Habitat yang disukainya adalah hutan bakau, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi baik primer atau sekunder. Lutung ini juga mendiami daerah perkebunan.

b. Perilaku dan Aktivitas

Dalam hidupnya lutung budeng membentuk kelompok dengan beberapa individu mulai dari 6-23 ekor. Dalam setiap kelompok terdapat jantan sebagai pimpinan kelompok, dan beberapa betina serta anak-anak yang masih dalam asuhan induknya. Lutung ini aktif pada siang hari (diurnal) dan hidup pada berbagai lapisan hutan (arboreal). Dalam melakukan pergerakan, lebih sering meloncat saat pindah pohon. Kadang-kadang mereka juga berjalan dengan keempat anggota tubuhnya yaitu kedua tangan dan kakinya saat bergerak di cabang pohon yang besar atau saat turun di tanah. Lutung ini sering memilih pohon tidur di sekitar sungai. Tidur pada dahan atau percabangan pohon.

c. Habitat

Lutung budeng hidup di hutan bakau, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi baik primer atau sekunder. Lutung ini juga mendiami perkebunan (Supriatna dan Wahyono, 2000).

(24)

d. Pakan

Lutung budeng memakan lebih dari 66 jenis tumbuhan yang berbeda. Komposisi makanan 50% berupa daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian dari tumbuhan atau serangga.

e. Status Konservasi

Akibat dari pengurangan habitat untuk berbagai peruntukan, maka semenjak tanggal 22 September 1999, Lutung budeng dan Lutung hitam telah dilindungi undang-undang, berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 733/Kpts-II/1999. Selain itu tahun 1996 lutung ini oleh IUCN dikategorikan sebagai primata yang rentan (Vulnerable).

2.2.5. Hylobates syndactylus (Siamang)

Siamang adalah sejenis kera yang memiliki rambut panjang dan kasar, hitam seluruhnya kecuali disekeliling muka dan dagu. Tangan lebih panjang dari tubuhnya, kaki pendek tetapi besar. Ukuran badan secara keseluruhan adalah paling besar dari semua spesies yang ada. Pada tangan siamang dijumpai selaput kulit yang menghubungkan jari kedua dan ketiga, hal ini merupakan pembeda yang khas terhadap spesies Gibbon yang lain. Siamang mempunyai kantung suara pada tenggorokannya. Kantung suara ini dapat dikembangkan sebesar kepalanya, untuk mengumandangkan suara pada waktu-waktu tertentu (Sastrapradja, 1982).

a. Ekologi dan Penyebaran

Siamang terdapat di semenanjung Malaysia dan Sumatera (Napier dan Napier, 1967 ; Wilson dan Wilson, 1976 ; Chivers, 1972 ; Gittins dan Raemakers, 1980 dalam Pamungkas, 2001). Siamang menempati hutan-hutan dataran rendah sampai di hutan pegunungan sampai ketinggian 1200 mdpl. Keterampilannya dalam mencari makan dari tajuk ke tajuk melebihi spesies Gibbon yang lain. Hal ini ditunjang oleh kecakapan yang seimbang antar tangan dan kakinya (Sastrapradja, 1982).

b. Perilaku dan Aktivitas

Siamang bersifat monogami, hidup dengan pasangan jantan dan betina yang tetap, serta diikuti oleh beberapa anak yang belum dapat mandiri

(25)

(Supriatna dan Wahyono, 2000). Dalam satu keluarga gibbon hanya terdiri dari 3 sampai 4 individu (Bismark, 1984). Pada Gibbon umumnya hidup secara arboreal, yaitu pada tajuk-tajuk dan puncak-puncak pohon. Sifat arboreal ini menjadikan gibbon hampir tidak pernah bergerak turun ke bawah. Pohon-pohon dengan tajuk-tajuk yang rapat sangat disukai gibbon untuk istirahat malam maupun siang hari (Napier dan Napier, 1967).

c. Habitat

Siamang menempati hutan tropik primer atau sekunder, mulai dari hutan dataran rendah hingga hutan perbukitan sampai ketinggian 3800 mdp (Supriatna dan Wahyono, 2000). Pada Gibbon umumnya hidup secara arboreal, yaitu pada tajuk-tajuk dan puncak-puncak pohon. Gibbon menempati lantai hutan hujan tropis, hutan setengah menggugurkan daun, serta hutan pegunungan dibawah ketinggian 2000 mdpl (Napier dan Napier, 1967). Sifat arboreal ini menjadikan gibbon hampir tidak pernah bergerak turun ke bawah. Pohon-pohon dengan tajuk-tajuk yang rapat sangat disukai gibbon untuk istirahat malam maupun siang hari.

d. Pakan

Siamang memakan hampir semua bagian tumbuhan seperti, daun, buah, biji, dan bunga. Selain itu, satwa ini juga mengkonsumsi beberapa jenis serangga. Komposisi makanan siamang adalah 59% daun, 31% buah, 8% bunga, dan 3% berbagai jenis serangga. Siamang dikenal sebagai penyebar biji-bijian (seed dispersal) beberapa jenis tumbuhan Ficus.

e. Status Konservasi

Status populasinya siamang di alam tergolong genting, artinya dikhawatirkan satwa ini akan punah jika tidak dilakukan upaya pelestarian, terutama perlindungan habitatnya. Untuk melindunginya Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan dan undang-undang, yaitu SK Menteri Pertanian 14 Februari 1973 No. 66/Kpts/um/2/1973, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991, dan diperkuat dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990.

(26)

2.2.6. Hylobates agilis (Unko)

Pada kera jenis ini, pergelangan dan jari tangan maupun kakinya berwarna hitam. Biasanya warna tersebut lebih gelap dari warna tubuhnya yang kadang-kadang berwarna cokelat gelap. Pada punggung terdapat rambut berwarna putih, jantan mempunyai lengkungan putih yang lebih jelas disekelilingnya jika dibandingkan dengan betina (Sastrapradja, 1982).

a. Ekologi dan Penyebaran

Wau-wau tangan hitam (ungko) banyak dijumpai di semenanjung Malaysia dan Sumatera (Napier dan Napier, 1967). Spesies ini juga tersebar di daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan (Sastrapradja, 1982). Terdapat dua sub spesies yang dikenal dengan Hylobates agilis-agilis cuvier di Sumatera dan Hylobates agilis albibarbis di Kalimantan (Sastrapradja et al, 1982 ; Chivers, 1978 dalam Bismark, 1984).

b. Perilaku dan Aktivitas

Ungko hidup membentuk keluarga atau pasangan (monogamous) serta diikuti oleh 1 atau 2 anak yang belum dapat mandiri. Ungko berpindah dengan cara bergelantungan atau berayun dari dahan satu ke dahan yang lain. Kadang-kadang bila berada di tanah atau di dahan yang besar, mereka dapat berjalan menggunakan kedua kakinya (bipedal) (Supriatna dan Wahyono, 2000). Aktivitas hariannya dilakukan pada siang hari (diurnal). Diawali dari terbit fajar sampai beberapa saat menjelang senja (Chivers, 1972 dalam Pamungkas, 2001).

c. Habitat

Ungko hidup di hutan primer datran rendah dan hutan rawa. Selain itu, mereka sering ditemukan di daerah batas antara hutan rawa dan tanah kering. Apabila ungko bersuara, oleh masyarakat Kalimantan Tengah dijadikan pertanda bahwa tidak jauh dari mereka terdapat daratan atau rawa (Supriatna dan Wahyono, 2000). Aktivitas hariannya dilakukan pada siang hari (diurnal). Diawali dari terbit fajar sampai beberapa saat menjelang senja (Chivers, 1972 dalam Pamungkas, 2001).

(27)

d. Pakan

Pakan ungko terdiri dari buah, daun, bunga dan beberapa jenis serangga kecil. Umumnya mereka makan sambil bergantungan pada dahan dan memetik satu persatu buah, biji, bunga atau daun muda. Kadang-kadang juga menarik ranting yang ada pakannya. Primata ini mengkonsumsi buah 58%, daun 39%, bunga 3% dan sisanya yaitu sekitar 1% berbagai jenis serangga.

e. Status Konservasi

Penyusutan habitat akibat pembukaan hutan untuk lahan pertanian, perkebunan, atau pembalakan, menyebabkan penurunan populasi satwa ini di alam. Menurut IUCN, ungko dikategorikan sebagai satwa genting yang hampir punah jika tidak ditangani dengan segera. Pemerintah Indonesia melindunginya melalui SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991, dan diperkuat dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990.

(28)

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dilakukan di areal kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo yang berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui Riau. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret – Mei 2008. Untuk informasi tambahan, dilakukan juga pengamatan pada kawasan lindung di dalam perkebunan kelapa sawit. Peta lokasi penelitian di TN Tesso Nilo yang berbatasan dengan kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Ukui Riau disajikan pada sajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di TN Tesso Nilo yang berbatasan dengan

kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur

4.2. Alat dan Bahan

1. Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain : tali tambang, tali rafia, pita berwarna, buku identifikasi tumbuhan ”Check List Tumbuhan Sumatera”, buku identifikasi jenis primata ”Panduan Lapangan Primata Indonesia”, peta kerja, tally sheet dan obat-obatan (P3K).

(29)

2. Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain : pengukur waktu (stopwatch), kamera, golok, binokuler, meteran, kompas suunto, GPS (Global Positioning System) Garmin 76 Csx, gunting dan alat-alat tulis.

4.3. Metode Pengumpulan Data

4.3.1. Di Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo

Untuk menghimpun data dan informasi mengenai satwa primata dilakukan inventarisasi satwaliar dengan menggunakan metode line transect (transek garis) dan analisis vegetasi untuk habitatnya. Panjang jalur pengamatan ±2 km dan lebar kiri-kanan jalur 50 m. Untuk mendukung pengamatan satwaliar digunakan metode concentration count (titik konsentrasi). Bentuk unit contoh metode transek garis disajikan pada Gambar 2.

50 m

Jalur transek 2 km

50 m

Gambar 2. Bentuk transek garis pengamatan satwa primata di TNTN.

a. Orientasi Lapangan

Orientasi lapangan ini dimaksudkan untuk mengenal secara keseluruhan areal yang akan dilakukan studi sekaligus melakukan kegiatan survei. Setelah itu mencocokkan keadaan lapangan dengan peta kerja yang ada. Kegiatan yang lain adalah menentukan lokasi pengamatan untuk kelompok satwaliar primata yang akan diamati. Pada setiap awal jalur pengamatan diberi tanda dengan patok dari kayu atau bambu atau penendaan pada pohon.

b. Pembuatan Jalur Pengamatan

Jalur pengamatan satwaliar primata dibuat dengan mengikuti jalur pengamatan dari analisis vegetasi. Pada jalur pengamatan satwa dibuat jalur dengan panjang jalur transek yaitu 2 km.

(30)

Pembuatan jalur pengamatan satwa ditandai dengan menandai titik-titik pada jalur dengan menggunakan pita (flagging) dengan selang 25 m atau disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Sebelumnya ditentukan terlebih dahulu titik awal jalur dengan GPS (Global Positioning System), hal ini untuk bisa mengetahui koordinat lintang dan bujurnya yang dianggap penting untuk pembuatan peta transek agar lebih tepat dan teliti sehingga akan mempermudah dalam proses pertampalan (over laying) dengan peta tematik lainnya. Selanjutnya mulai diukur titik lanjutan secara manual dengan menggunakan kompas dan tali dengan jarak antar tali 25 m sepanjang jalur yang dibuat (dicatat jarak dan sudutnya).

Dengan mencatat hal-hal tersebut diatas, maka penyebaran titik-titik lokasi primata selama berlangsungnya pengamatan dapat digambarkan dalam peta-peta bersama-sama jalur pengamatan secara tepat. Peta yang dihasilkan nantinya dapat ditampalkan dengan tema-tema peta yang lain dalam rangka analisis selanjutnya.

c. Pengamatan Primata

Dalam hal ini transek dibuat dengan memotong kawasan pengamatan menjadi beberapa garis transek. Selanjutnya pengamatan pada jalur tersebut dilakukan pada periode tertentu (pada saat melakukan aktivitas pada satu jalur). Data yang dikumpulkan dari pengamatan satwaliar primata dengan menggunakan metode transek garis antara lain :

Nama jenis satwaliar primata Jumlah individu

Waktu diketemukannya jenis satwaliar tersebut Amati habitat satwaliar

Letak posisi satwa dan tipe vegetasi.

Dengan menggunakan intensitas sampling 1 % dari luas arael yang diteliti yaitu diambil sepertiga luasan taman nasional sebesar 13.500 ha, maka didapatkan total luas unit contoh yang harus diamati adalah 135 ha. Dengan total luas unit contoh tersebut dan luas setiap unit contohnya 20 ha maka jumlah jalur yang harus diamati sebanyak 7 jalur.

(31)

d. Inventarisasi Vegetasi

Inventarisasi vegetasi di habitat primata dengan menggunakan metode garis berpetak untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan di habitat yang dihuninya. Kegiatan ini sebagai tambahan data untuk memperoleh gambaran tentang kondisi habitat yang dihuni oleh satwa primata. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon (tumbuhan dengan diameter >20 cm) dan tiang (tumbuhan dengan diameter 10-20 cm) adalah jenis, jumlah individu setiap jenis, diameter dada (130 cm) dan tinggi total dan tinggi bebas cabang. Sedangkan data yang dikumpulkan untuk pertumbuhan semai (tumbuhan yang tingginya <1,5 m) dan pancang (tumbuhan dengan diameter <10 cm dan tingginya >1,5 m) hanyalah jenis dan jumlah individu setiap jenis yang ditemukan. Soerianegara & Indrawan (2002) menjelaskan bahwa pada tingkat pertumbuhan semai (a) digunakan ukuran dengan besar 2x2 m, untuk tingkat pertumbuhan pancang (b) ukurannya sebesar 5x5 m. Pada tingkat pertumbuhan tiang (c) ukurannya sebesar 10x10 m, untuk tingkat pertumbuhan pohon (d) ukuran yang digunakan sebesar 20x20 m. Bentuk metode garis berpetak disajikan pada Gambar 3.

100 m

Gambar 3. Bentuk unit contoh metode garis berpetak dalam inventarisasi

vegetasi

4.3.2. Kawasan Lindung di Dalam Areal Kebun Kelapa Sawit

Metode yang digunakan dalam inventarisasi satwa primata sama seperti yang dilakukan untuk di Taman Nasional Tesso Nilo yaitu dengan menggunakan metode line transect (transek garis) mengikuti jalur analisis vegetasi untuk habitatnya. Tetapi panjang jalur pengamatan hanya ± 150 m dengan lebar kiri-kanan jalur 20 m karena luasannya relatif lebih kecil dibanding Taman Nasional Tesso Nilo.

d c

b a

(32)

4.4. Analisis Data

a. Pendugaan Kepadatan

Dugaan kepadatan suatu jenis primata berdasarkan metode transek garis dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Persamaan King : Lw x Dj i 2 atau a x Dj i

Ket : Dj : kepadatan populasi aktual untuk jalur ke-j ( ind/km2) Σxi : jumlah individu primata yang ditemukan (ind) L : panjang garis transek

w : lebar kiri/kanan a : luas jalur pengamatan

Untuk ukuran pendugaan populasi total seluruh areal yang diteliti dapat menggunakan rumus : A x a Dj P

Ket : P : populasi dugaan untuk seluruh areal ( ind/ha) Σa : jumlah jalur pengamatan

A : luas total areal penelitian (ha)

b. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi yang dilakukan untuk menentukan komposisi dominasi suatu jenis pohon pada suatu komunitas. Soeranegara & Indrawan (2002) menyatakan bahwa persamaan yang digunakan dalam menentukan komposisis vegetasi adalah sebagai berikut:

INP = KR + FR + DR

Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis

Luas unit contoh

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100 %

Kerapatan seluruh jenis

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis

(33)

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100 % Frekuensi seluruh jenis

Dominansi (D) = Luas bidang dasar suatu jenis

Luas unit contoh

Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu jenis x 100 %

Dominansi seluruh jenis Keterangan: Luas bidang dasar suatu jenis = ¼ µ D2

c. Analisis Keanekaragaman Primata

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis primata di areal yang diteliti, dapat diperoleh dengan menghitung Indeks Keanekaragaman Jenis. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis mamalia ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekargaman Shannon-Wiener dengan rumus sebagai berikut: N n p p p H i.ln i i i '

Ket. : H’ = Indeks keanekaragaman ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah individu seluruh jenis

Dari hasil perhitungan nilai keanekaragaman jenis menurut Shannon-Wiener dapat diketahui kekayaan jenis satwaliar primata tersebut dengan melihat nilai H’ dengan kisaran sebagai berikut :

H’ < 1 memiliki tingkat keanekaragaman jenisnya rendah 1<H’<3 memiliki tingkat keanekaragaman jenisnya sedang H’ > 3 memiliki tingkat keanekaragaman jenisnya tinggi

d. Pola Sebaran Spasial

Pola sebaran spasial berbentuk acak, berkelompok dan merata (Alikodra, 1990). Satwa primata merupakan satwa yang secara alami dan sebagian besar hidup dalam kelompok sosial. Pola sebaran yang akan ditentukan adalah pola sebaran kelompok jenis primata di seluruh areal studi.

(34)

Dari segi statistika, hubungan antara rata-rata dan keragaman individu contoh yang terdapat dalam setiap satuan sampel (contoh), masing-masing pola tersebut adalah sebagai berikut (Tarumingkeng, 1994):

a. Pola sebaran acak, apabila SX x (memiliki pola sebaran frekuensi poisson)

b. Pola sebaran mengelompok, apabila SX x (memiliki pola sebaran frekuensi binomial negatif)

c. Pola sebaran merata, apabila SX x (memiliki pola sebaran frekuensi binomial)

Ket: SX = keragaman rata-rata/simpangan baku rata-rata

x = rata-rata contoh

Untuk mencari nilai ragam pengamatan di areal penelitian digunakan persamaan berikut : 1 / 2 2 2 b b i i X n n X X S b X X n S S 2

Ket: SX2 = keragaman populasi X

S = keragaman rata-rata populasi/simpangan baku rata-rata nb = jumlah jalur pengamatan

(35)

3.1. Taman Nasional Tesso Nilo 3.1.1. Sejarah Kawasan

Pada awalnya, kawasan hutan Tesso Nilo ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas dan merupakan hutan yang dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri plywood dan produk kayu lainnya. Tahun 1980 permasalahan gajah sudah mulai timbul karena dibukanya kawasan Hutan Langgam yang saat ini bernama Tesso Nilo sebagai daerah pemukiman transmigrasi. Sejak itulah konflik antara gajah dan manusia ada, gajah mendatangi dan merusak lahan tanaman masyarakat.

Pada tahun 1984, gangguan gajah di Provinsi Riau semakin meningkat, sehingga pemerintah mencadangkan habitat gajah yang salah satunya adalah kawasan Tesso Nilo. Pencadangan habitat gajah di kawasan hutan Tesso Nilo oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup yang pada akhirnya tidak terealisasi. Selanjutnya pada tanggal 30 April 2001, Gubernur Riau mengusulkan kembali kawasan Tesso Nilo dengan luas 153.000 hektar sebagai kawasan konservasi gajah. Tanggal 25 Agustus 2003, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 282/Kpts-II/2003 tentang pencabutan Izin Areal PT. INHUTANI IV dan meminta Gubernur Riau untuk melakukan langkah-langkah persiapan penunjukan kawasan hutan Tesso Nilo sebagai kawasan konservasi gajah.

Pada tanggal 1 Mei 2004, tim terpadu mengeluarkan berita acara tentang pengkajian dan pembahasan tim terpadu atas usulan pembentukan Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau. Pada tanggal 19 Juli 2004, Menteri Kehutanan menunjuk Tesso Nilo sebagai kawasan Taman Nasional yang berada pada areal PT. INHUTANI IV melalui surat Keputusan No. 255/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Sebagai kawasan Hutan Tesso Nilo yang terletak di kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu Provinsi Riau seluas 38.576 hektar menjadi Taman nasional Tesso Nilo.

(36)

3.1.2. Letak dan Luas

Letak kawasan Taman Nasional Tesso Nilo secara administratif berada di dua kabupaten yakni Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Secara Geografis terletak antara 00008’08’’-00020’45’’ Lintang Selatan dan 101051’51’’-102003’18’’ Bujur Timur.

Gambar 4. Peta letak kawasan Taman Nasional Tesso Nilo

Kawasan ini dibatasi oleh hutan produksi, perkebunan kelapa sawit, tanah milik dan pemukiman penduduk. Secara administrasi kawasan TNTN berbatasan dengan :

1. Disebelah barat berbatasan dengan HPH Nanjak Makmur dengan vegetasi hutan sepanjang 16.460 m.

2. Disebelah utara berbatasan dengan PT. RAPP dengan vegetasi akasia sepanjang 17.264 m. Desa Lubuk Kembang Bunga dengan vegetasi semak dan sisa hutan sepanjang 3.216 m. Desa Air Hitam dengan vegetasi semak sepanjang 921 m.

3. Disebelah timur berbatasan dengan Dusun Bagan Limau dengan vegetasi sawit, lahan kosong sepanjang 9.294 m dan vegetasi hutan sepanjang 4.262 m.

(37)

PT. Inti Indosawit Subur dengan vegetasi kelapa sawit sepanjang 1.828 m. KKPA dengan vegetasi kelapa sawit dan hutan sepanjang 7.154 m.

4. Disebelah selatan berbatasan dengan PT. Putri Lindung Bulan dengan vegetasi akasia sepanjang 12.178 m. PT. Rimba Lazuardi dengan vegetasi akasia sepanjang 2.938 m. CV. Riau Jambi Sejahtera dengan vegetasi hutan sepanjang 1.075 m.

Luas kawasan Taman Nasional Tesso Nilo berdasarkan Surat keputusan Menteri Kehutanan No. 255/Menhut-II/2004 seluas 38.576 hektar. Berdasarkan perhitungan grafis (hasil plot koordinat buku ukur survei penataan sendiri dan persekutuan areal kerja) PT. INHUTANI IV, PT. Nanjak Makmur dan PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) tahun 2000 adalah seluas 38.608 hektar.

3.1.3. Aksesibilitas

Sebagian besar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo berada di Kabupaten Pelalawan yang terletak 60 km dari ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru. Kawasan hutan Tesso Nilo memiliki aksesibilitas yang sangat terbuka, hampir seluruh keliling kawasan ini memiliki jaringan jalan masuk, hal ini mempercepat penurunan kualitas hutan akibat pencurian hasil hutan dan perburuan satwa. Aksesibilitas menuju hutan Tesso Nilo antara lain:

1. Jalan Raya Lintas Timur Sumatera – Ukui- Ds Lubuk Kembang Bunga 2. Jalan Raya Lintas Timur Sumatera– Ukui- Dusun Bagan Limau

3. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-Baserah-Simpang Inuman

4. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-simpang lala-Desa Pontian mekar 5. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-Simpang Klayan (simpang mangga) 6. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-Simpang Selanjut

7. Jalan Raya Taluk Kuantan-Air Molek-Simpang Sentajo.

3.1.4. Topografi

Penentuan kemiringan lereng suatu bentang lahan didasarkan pada data kontur dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000 dengan interval kontur 25 m. Tingkat kemiringan lereng dikelompokkan kedalam 5 kelas kemiringan lereng yaitu datar, landai, bergelombang, curam dan sangat curam. Luasan bentang lahan

(38)

berdasarkan kelas kemiringan lereng secara metrik maupun dalam proporsinya disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Luasan bentang lahan berdasarkan kelas kemiringan lereng secara metrik

No. Kemiringan Lereng Luas (Ha) Proporsi (%)

1. 0-8 % (datar) 19.514,43 51,04 2. 8-15 % (landai) 2.467,05 6,45 3. 15-25 % (bergelombang) 4.854,19 12,70 4. 25-45 % (curam) 3.869,28 10,12 5. >45 % (sangat curam) 7.526,03 19,69 Total 38.230,98 100,00

Sumber : Rencana Pengelolaan Taman Nasional Tesso Nilo (RKL TNTN) 2005-2025.

3.1.5. Geologi dan Tanah

Kawasan-kawasan pada bagian barat dan timur Pekanbaru, masing-masing digolongkan sebagai dataran rendah dan rawa dataran rendah. Kondisi litologinya dicirikan oleh bahan organik semi lapuk yang berasal dari gambut tropis zaman kuarter dan batuan pasir Kaolinit, batuan liat serta tufa asam yang sudah mengalami proses pelapisan sedimen dari zaman Kuarter.

Berdasarkan laporan RKL TNTN, penggolangan jenis tanah oleh USDA (United State Departement Agrinomic), jenis tanah yang mendominasi kawasan tersebut adalah Tropohemist (sekarang Haplohemist) dan Paleudults. Kawasan ini berada pada kisaran hutan yang berambut tebal, berawa sampai kawasan kering dengan ketinggian 25-100 meter dari permukaan laut yang dilapisi oleh gambut memiliki ketebalan bervariasi di atas pasir dan liat berpasir.

3.1.6. Iklim

Dataran bagian timur dari kawasan Sumatera bagian tengah secara umum digolongkan sangat lembab dengan curah hujan tahunan yang berkisar antara 2.000-3.000 mm. Kondisi hutan yang lembab dan rapat akan banyak menggugurkan daun, sehingga banyak tumbuhan yang mengalami kekeringan serta mati. Kondisi yang kering memicu terjadinya kebakaran hutan seperti yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini.

Berdasarkan data laporan RKL TNTN yang bersumber dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Balai Wilayah I Stasiun Meteorologi Pekanbaru, rata-rata curah hujan tertinggi selama 10 tahun terakhir

(39)

(1992-2001) jatuh pada bulan November yaitu sebesar 278,67 mm dan terendah pada bulan Juni sebesar 133,19 mm. Sedangkan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 2.395,39 mm/tahun (Dephut, 2006).

3.1.7. Hidrologi

Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dan sekitarnya merupakan daerah tangkapan air bagi beberapa sungai antara lain : Sungai Tesso (bagian barat), Sungai Segati (bagian utara) dan Sungai Nilo (bagian timur). Ketiganya merupakan sub DAS dari DAS Kampar, tepatnya diantara DAS Tesso dan DAS Nilo di Provinsi Riau.

Sungai Nilo dan Sungai Air Sawan merupakan jalur jelajah gajah yang sering diseberangi oleh kelompok gajah dalam mencari makan. Sungai Nilo yang berhulu dari Sungai Air Sawan berada di pinggir desa Lubuk Kembang Bunga, tepatnya di sisi sebelah barat dan berbatasan dengan areal tanaman akasia milik PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

3.1.8. Flora

Kawasan Tesso Nilo dinyatakan sebagai hutan yang terkaya keanekaragaman hayati di dunia dan merupakan salah satu habitat terakhir bagi gajah sumatera yang saat ini mulai terancam keberadaannya (Dephut, 2006). Meskipun saat ini kondisi hutan Tesso Nilo telah terganggu, namun kawasan hutannya masih menyisakan keragaman jenis flora yang tinggi.

Di kawasan tersebut ditemukan 360 jenis pohon yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku yang diantaranya terdapat beberapa jenis yang dilindungi dan terancam punah, yakni : kayu batu (Irvingia malayana), kempas (Koompasia malaccensis), jelutung (Dyera polyphylla), Sindora leiocarpa, Sindora velutina, Sindora brugemani, kulim (Scorodocarpus borneonsis), tembesu (Fagraea fragrans), dan jenis-jenis lainnya yang telah termasuk dalam Red List International Undangeseed Convention Nature (IUCN) seperti gaharu (Aquilaria malaccensis), ramin (Gonystylus bancanus), keranji (Dialium spp), meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus spp), durian (durio spp) dan jenis Aglaia spp.

(40)

Selain itu ditemukan pula 82 jenis tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati berbagai macam penyakit. Diantaranya patalo/pasak bumi (Eurycoma longifolia) adalah salah satu tumbuhan obat yang populer sebagai obat kuat, biasanya akarnya dicampur dengan janin kijang yang diambil dari kandungan induknya kemudian direndam dalam alkohol. patalo/pasak Bumi ini juga biasa digunakan untuk obat malaria. Jenis tumbuhan obat lainnya diantaranya, kunyik bolai (Zingiber purpureum), jarangau (Acorus calamus), lengkuas putih (Alpinia galanga), akar bulu (Argyreira capitata), sundik langit (Amorphopalus spp), dan akar kayu kuning (Lepionurus sylvestris) yang merupakan obat penyakit kuning.

3.1.9. Fauna

Kawasan hutan Taman nasional Tesso Nilo yang mempunyai kawasan hutan yang basah dan kering, sehingga memungkinkan untuk berkembangnya kehidupan satwaliar. Selain satwa gajah sumatera yang merupakan satwa endemik, Menurut Dirjend PHKA (2007) satwa-satwa lain yang terdapat di Taman Nasional ini terdiri dari 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, 3 jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilian, 18 jenis ampibia dan berbagai jenis serangga. Satwa-satwa yang terdapat di Taman Nasional Tesso Nilo diantaranya: 1. Mamalia, antara lain harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), macan

dahan (Neofelis neobulosa), beruang madu (Helarcos malayanus), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragolus javanicus), rusa (Cervus unicolor), babi hutan (Sus sp), tapir (Tapirus indicus) dan bajing (Callosciurus spp). 2. Primata antara lain owa (Hylobates agilis), lutung simpai (Presbytis femoralis)

dan beruk (Macaca nemestrina).

3. Burung diantaranya adalah beo sumatera (Gracula religiosa), burung kipas (Rhipidura albicollis). elang ular (Spilornis cheela), alap-alap capung (Microchierax fringillarius), kuau (Argusianus argus), burung udang punggung merah (Ceyx rufidorsa), julang jambul hitam (Aceros corrugatus), kangkareng hitam ((anorrhinus malayanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), ayam hutan (Gallus gallus), dan betet ekor panjang (Psittacula longicauda).

(41)

4. Reptilia diantaranya ular kawat (Ramphotyphlops braminus), dan ular kopi (Elaphe Flavolineata). ular picung air ((Xenochrophis trianguligerus), ular cabe kecil (Maticora intestinalis), ular sendok, ular cobra (Ophiphagus Hannah), sanca sawah (Phyton reticulates), ular gendang/phyton darah sumatera (Phyton curtus), dan buaya sinyulong (Tomistoma schlegeleii). 5. Amphibia, antara lain katak serasah berbintik (Leptobrachium hendriksoni),

kodok buduk sungai (Bufo asper), kodok buduk (Bufo melanostictus), katak lekat (kalophrynus pleurostigma), percil bintil (Microhyla heymonsi), katak sawah (Fejervarya cancrivora), katak kangkung (Limnpnectes malesianus), katak batu (L. macrodon), bancet rawa sumatera (Occodozuga sumatrana), kongkang kolam (Rana chalconota), kongkang gading (R. erythraena), kongkang kasar (R. gladulosa), kongkang racun (R.hosii), kongkang jangkrik (R. nicobariensis), dan kongkang sungai totol (R. signata).

3.2. PT. Inti Indosawit Subur 3.2.1. Batas Wilayah

Batas wilayah studi meliputi Batas Proyek, Batas Ekologis, Batas Administratif dan Batas Teknis.

a. Batas Proyek

Batas proyek adalah batas kegiatan perkebunan kelapa sawit (Kebun Buatan dan Kebun Ukui) yang mencakup areal seluas 37.029,11 Ha. Dua areal perkebunan untuk lokasi Kebun Buatan, adalah 5.781,47 Ha merupakan areal Kebun Inti dan 12.000 ha merupakan areal Kebun Plasma. Untuk lokasi di Kebun Ukui, luas areal perkebunan adalah seluas 6.727,64 Ha yang merupakan areal perkebunan inti dan 12.520 Ha merupakan areal perkebunan plasma. Batas–batas proyek sebagian besar masih dibatasi oleh hutan sekunder dan hutan belukar dan sebagian kecil juga dibatasi oleh tanah garapan milik penduduk.

b. Batas Ekologis

Batas ekologis ditetapkan berdasarkan ruang persebaran dampak kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pabrik minyak kelapa sawit terhadap lingkungan biogeofisik–kimia. Berdasarkan pertimbangan ini, maka batas ekologis studi

(42)

evaluasi lingkungan kegiatan perkebunan kelapa sawit mencakup seluruh areal perkebunan dan daerah hilir sungai yang diperkirakan terpengaruh oleh dampak erosi dan pembuangan limbah industri minyak kelapa sawit.

c. Batas Administratif

Untuk lokasi perkebunan di Buatan batas administratif meliputi daerah Siak, Kabupaten Bengkalis, dan Kecamatan Langgam, Kecamatan Bunut, Kabupaten Kampar.

Untuk lokasi perkebunan di Ukui batas administratif yang ditetapkan, adalah Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Kampar, Kecamatan Paris Penyu, dan Kabupaten Indragiri Hulu.

d. Batas Teknis

Batas teknis ditetapkan berdasarkan pertimbangan ketersediaan tenaga, waktu dan biaya serta kemampuan ilmu dan teknologi. hasil dari batas proyek, batas ekologis, administratif pada batas teknis akan menggambarkan batas studi evaluasi lingkungan.

3.2.2. Curah Hujan

Data curah hujan dan hari hujan diambil dari Stasiun Minas dan Sei Apit yang jaraknya masing-masing sekitar 40 km dari lokasi proyek. Kebun yang paling berdekatan dengan areal proyek adalah kebun SUS PTP II di S. Buatan. Curah hujan di areal proyek dan sekitarnya berkisar antara 2.300–2.800 mm/tahun dengan distribusi yang merata sepanjang tahun tanpa terdapat bulan kering yang nyata, dengan hari hujan berkisar antara 91 hari–140 hari. Curah hujan yang rendah terjadi pada bulan-bulan Mei–Agustus, akan tetapi jumlahnya masih jauh diatas 100 mm.

3.2.3. Suhu Udara

Data temperatur yang diambil dari Stasiun Simpang Tiga (± 150 km dari lokasi proyek) yang meliputi kurun waktu 9 tahun (1971-1979) menunjukkan temperatur maksimum rata-rata 32,40C, temperatur minimum rata-rata 21,70C dengan temperatur rata-rata sepanjang tahun 26,30C.

(43)

3.2.4. Iklim

Lokasi kegiatan perkebunan kelapa sawit secara geografis terletak antara 101’40’–102’15’ Bujur Timur dan 0’05’–0’43’ Lintang Selatan. Dengan demikian lokasi kegiatan terletak didaerah beriklim tropis. Untuk mengetahui kondisi iklim di areal perkebunan, maka dasar iklim diambil dari stasiun meteorologi terdekat, yakni stasiun Minas, Sei Apit, Simpang Tiga, Air Molek dan Japura/Rengat.

Berdasarkan klasifikasi yang telah dibuat oleh Schmidt & Ferguson (1951), areal proyek termasuk dalam tipe ”A” dengan nilai Q sebesar 13,0. Sedangkan apabila menggunakan metode Koppen, areal proyek termasuk tipe ”Afa” yaitu tipe iklim tanpa bulan kering yang nyata serta temperatur pada bulan terpanas di atas 220C.

Dengan menggunakan batasan yang telah dibuat oleh Pusat Penelitian Marihat (PPM), berarti keadaan curah hujan di areal termasuk dalam klas terbaik (klas 1) untuk ditanami tanaman perkebunan, karena berada pada selang 2.000– 2.500 mm/tahunnya. Kelembaban udara dari Stasiun Simpang Tiga menunjukan, bahwa areal perkebunan mempunyai kelembaban udara yang cukup tinggi, rata-rata 83,6%. Sedangkan kecepatan untuk angin rata-rata-rata-rata 3,5 knot dengan kecepatan maksimun 16,7 knot.

3.2.5. Geologi dan Tanah

Klasifikasi tanah yang terdapat di perkebunan kelapa sawit diantaranya: Podsolik Merah Kekuningan

Jenis tanah ini terdapat pada bentuk wilayah datar agak berombak (F/U), bergelombang (R) dan berbukit (H) dengan bahan induk batuan liat (clay stone). Kedalaman tanah lebih dari 100 cm, tekstur terdiri dari lempung berpasir, lempung berpasir dan lempung.

Alluvial

Jenis tanah ini terdapat pada bentuk wilayah datar (F). Kedalaman tanah lebih dari 100 m, tekstur lempung berpasir sampai pasir.

Jenis tanah yang terdapat di PT. Indosawit Subur Ukui disajikan pada

Gambar

Gambar    Halaman  1  Peta  lokasi  penelitian  di  TN  Tesso  Nilo  yang  berbatasan
Gambar  1.  Peta  lokasi  penelitian  di  TN  Tesso  Nilo  yang  berbatasan  dengan  kebun kelapa sawit PT
Gambar 4. Peta letak kawasan Taman Nasional Tesso Nilo
Tabel 1. Luasan bentang lahan berdasarkan kelas kemiringan lereng secara metrik
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakan

Bahwa yang menjaga langit yang tujuh serta bumi ini dan yang ada padanya adalah Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya.. Allah Shubhanahu wa ta’alla

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Pelatihan Perawatan Tali Pusat dengan Metode Simulasi terhadap Keterampilan Merawat Tali Pusat pada Ibu Primigravida Trimester II-III di

Ekamas Fortuna dan juga SPSI me ncoba menyelesaikan perselisihan PHK di luar pengadilan melalui Penyelesaian Bipartit, yang merupakan perundingan antara SPSI dengan

Dari grafik sebagaimana pada gambar 5.8 di bawah, terlihat bahwa kita perlu mencari luas daerah dua kali, lalu menjumlahkannya.. Dari suatu penelitian di Rumah Sakit Sayang Ibu

Turbin reaksi aliran ke dalam (inward), adalah turbin reaksi dimana air memasuki roda pada bagian lingkaran luar dan mengalir menuju kedalam melalui sudu

3} TEMPAT DAN TANGGAlLAHIR : Wilayah Kab / Kota tempat serta tanggal. bulan dan tahun kelahiran peserta '---. lsi dengan angka sesuai dengan jenis kelamin 5) JUMLAH