• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Ditulis Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah) Oleh: MUHAMMAD AMIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Ditulis Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah) Oleh: MUHAMMAD AMIN"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

TENTANG PENDIRIAN BADAN USAHA MILIK NAGARI BATANG SIMONCE MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR TAHUN

SKRIPSI

Ditulis Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah)

Oleh:

MUHAMMAD AMIN

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

(2)
(3)
(4)
(5)

YURIDIS EKSISTENSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN NAGARI KUMANGO NOMOR TAHUN TENTANG PENDIRIAN BADAN USAHA MILIK NAGARI BATANG SIMONCE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR TAHUN ” Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar Tahun 2019.

Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan dan eksistensi Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 dan materi muatan yang terkandung di dalamnya menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif dengan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan untuk mencari jawaban permasalahan dari sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, jurnal, dan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan tipologi penelitian hukum normatif yuridis.

Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari dapat digolongkan sebagai salah satu peraturan perundang-undangan, karena Peraturan Nagari Kumango tersebut telah memenuhi syarat atau unsur dari definisi suatu peraturan perundang-undangan yaitu peraturan tertulis, memuat norma hukum yang mengikat secara umum, dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang, dan melalui prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Meskipun tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, Peraturan Nagari tetap memiliki kekuatan hukum mengikat di tengah-tengah masyarakat. Beberapa materi muatan yang diatur dalam Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 antara lain, Judul, Dasar Hukum, Diktum, Batang tubuh Peraturan Nagari atau lebih tepatnya pada materi pokok yang diatur.

(6)

Segala syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada setiap hambanya. Dengan rahmat dan nikmat-Nya itulah penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul: “TINJAUAN YURIDIS EKSISTENSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN NAGARI KUMANGO NOMOR TAHUN TENTANG PENDIRIAN BADAN USAHA MILIK NAGARI BATANG SIMONCE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR TAHUN ”.

Shalawat dan salam tidak lupa pula penulis mohonkan kepada Allah SWT, semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabat dan kepada para pengikut beliau sampai pada akhir zaman yang telah membentangkan jalan kebenaran dimuka bumi Allah yang tercinta ini.

Skripsi ini ditulis untuk menyelesaikan kuliah Penulis guna meraih gelar Sarjana Hukum (SH) pada Jurusan Hukum Tata Negara/Siyasah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini pula perkenankanlah peneliti menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya serta rasa penghargaan yang tak terhingga kepada Ibunda yang tercinta Nelmayarti, Ayahanda Jufril Anwar, saudaraku Silvia Nora, Yuliana dan Zikri Anwar yang selalu memberikan dorongan moril maupun materil tanpa merasa bosan sedikitpun dengan segenap jiwa dan ketulusan hatinya, kemudian juga peneliti ucapkan terimakasih kepada Ayahanda Sudi Prayitno, SH. LL.M selaku pembimbing utama dan Ayahanda Afrian Raus, S.H., M.H selaku pembimbing pendamping, yang telah membimbing dan mengarahkan dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan kebijaksanaannya, meluangkan waktu, memberikan nasehat serta saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

(7)

rektor IAIN Batusangkar.

2. Dekan Fakultas Syariah, Bapak Dr. H. Zainuddin, MA beserta Wakil Dekan Fakultas Syariah, dan staf Fakultas Syariah IAIN Batusangkar. 3. Ketua Jurusan Hukum Tata Negara, Ibunda Dr. Farida Arianti, M.Ag

beserta staf Jurusan Hukum Tata Negara IAIN Batusangkar, yang telah banyak memberikan dorongan dan fasilitas belajar kepada penulis selama mengikuti pendidikan dan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.. 4. Ayahanda Drs. Afwadi, M.Si selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

5. Ayahanda Drs. Syamsuwir, M.Ag selaku Penguji I dalam penulisan skripsi ini

6. Ibunda Yustiloviani, S.Ag. M.Ag selaku Penguji II dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu dosen yang banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Institut Agama Islam Negeri Batusangkar sehingga memperluas cakrawala keilmuan penulis.

8. Teman-teman Jurusan Hukum Tata Negara/Siyasah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

Batusangkar, Oktober 2019

Penulis,

MUHAMMAD AMIN NIM. 15301500037

(8)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN PERSETUJUAN PEMIMBING LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 8

C. Rumusan Masalah... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Definisi Operasional ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Pemerintahan Daerah ... 11

B. Pemerintah Desa ... 26

C. Nagari ... 30

D. Tinjauan Umum Badan Usaha Milik Desa ... 35

E. Perundang-Undangan ... 38

F. Penelitian Relevan ... 74

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 76

B. Latar dan Waktu Penelitian ... 76

C. Sumber Data Penelitian ... 77

D. Teknik Analisis Data ... 78

(9)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Temuan/Hasil Penelitian ... 79 B. Pembahasan ... 81 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 104 B. Implikasi ... 105 C. Saran ... 106 DAFTAR PUSTAKA LAM

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh metode yang baik, yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. (Ferry Irawan, 2016: 220).

Sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan pedoman tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Konsideran Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 huruf b berbunyi,

“bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan”

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan pedoman dalam pembentukan peraturan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang membentuk peraturan tersebut.

Mengingat Negara Indonesia adalah negara hukum, ini berarti bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum, dalam arti cita hukum (rechtsidee) yang di dalamnya mengandung cita-cita luhur bangsa Indonesia. (C.S.T. Kansil, 1986: 53).

Untuk membuat peraturan yang baik tentu memiliki beberapa unsur yang menjadi landasan berdirinya aturan tersebut. Adapun unsur-unsur yang membentuk peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis, dibentuk

(11)

oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat secara umum. (Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2012: 24)

Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menetapkan jenis dan hierarki peraturan yaitu dalam Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi,

“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi;dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan terdapat tujuh tingkatan peraturan perundang-undangan yang mana tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya, sesuai dengan penjelasan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Ayat (2). Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sedangkan dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi,

“Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,

(12)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Dengan peraturan yang tegas atas tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut, maka berlakulah doktrin tentang asas-asas universal yang lazim dikenal di dunia ilmu hukum, yaitu lex supreiore derogate lex infiriore atau terkadang disebut juga lex supreiore derogat legi infiriore. Dengan doktrin tersebut diakui bahwa norma hukum yang lebih tinggi menegasikan atau menafikan norma hukum yang lebih rendah. Artinya, tata urutan tersebut menunjukkan tingkatan hierarkis antar norma-norma hukum itu secara berurutan. Selain asas ini, dikenal pula adanya asas lex postereore legi priore. Berdasarkan prinsip doktrin yang kedua ini, norma hukum dibentuk belakangan menegasikan norma hukum yang dibentuk terdahulu. (Jimly Asshiddiqie, 2007: 216)

Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan ada beberapa jenis peraturan lain yang dibuat oleh lembaga, dan salah satunya adalah Peraturan Kepala Desa. Peraturan Kepala Desa merupakan salah satu dari peraturan di desa, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 69 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, berbunyi, “Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, Peraturan bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa.”

Peraturan Desa dengan Peraturan Kepala Desa berbeda, menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Sedangkan Peraturan Kepala Desa sebagaimana dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam Pasal 69 ayat (12) yang berbunyi, “Dalam pelaksanaan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan pelaksanaannya.”

(13)

Secara hukum positif, jenis-jenis hukum yang dibuat oleh negara termasuk pemerintah, menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebut peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dimaksud dibuat oleh lembaga atau pejabat pada tingkat negara, tingkat pemerintahan pusat, tingkat pemerintah daerah, dan tingkat pemerintahan desa.

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang-Undang-Undang Desa. Desa adalah desa atau desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

Berdasarkan rincian di atas, dapat penulis ambil kesimpulan bahwasanya untuk menjalankan Peraturan Desa maka aturan pelaksananya adalah Peraturan Kepala Desa. Sehingga Peraturan Desa lebih kuat atau tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Peraturan Kepala Desa karena Peraturan Kepala Desa bersifat aturan pelaksana dari Peraturan Desa.

Peraturan Desa jika dilihat lembaga yang membuat adalah terdiri dari dua lembaga desa, yakni Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Sedangkan Peraturan Kepala Desa pembuatannya hanya satu lembaga desa yaitu Pemerintah Desa. Dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah penulis cantumkan diatas tidak menyebutkan Peraturan Desa, namun Peraturan Kepala Desa. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014

(14)

tentang Desa, Peraturan Desa merupakan peraturan tertinggi di wilayah desa yang mana setiap perintah dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka aturan bawahnya adalah Peraturan Desa.

Sebagai salah satunya adalah peraturan dalam mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUM Desa, merupakan hal yang bersifat strategis sebagaimana dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berbunyi,

“Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. (2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penataan Desa; b. perencanaan Desa; c. kerja sama Desa; d. rencana investasi yang masuk ke Desa; e. pembentukan BUM Desa; f. penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan g. kejadian luar biasa.”

BUM Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.

BUM Desa ini usaha desa yang dibentuk atau didirikan oleh pemerintah desa yang kepemilkan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat. Pembentukan ini berasal dari pemerintah kabupaten/kota dengan menetapkan Peraturan Daerah tentang pedoman tata cara pembentukan dan pengelolaan BUM Desa. Selanjutnya pemerintah desa membentuk BUM Desa dengan Peraturan Desa yang berpedoman pada Peraturan Daerah. (Coristya Berlian Ramlan, 2008: 1069)

Keberadaan desa baik sebagai lembaga pemerintahan maupun sebagai entitas kesatuan masyarakat hukum adat menjadi sangat penting dan strategis. Sebagai lembaga pemerintahan, desa merupakan ujung tombak pemberian layanan kepada masyarakat. Sedangkan sebagai entitas kesatuan masyarakat hukum, desa merupakan basis system kemasyarakatan bangsa Indonesia yang sangat kokoh sehingga dapat menjadi landasan yang kuat bagi pengembangan sistem politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hankam yang stabil dan dinamis.

(15)

Sehingga desa merupakan miniature dan sample yang sangat baik untuk mengamati secara seksama interaksi antara pemerintah dengan masyarakatnya. Dan melalui desa inilah BUM Desa dapat diselenggarakan dengan mengacu pada Peraturan Desa yang didasarkan pada Peraturan Daerah. (Coristya Berlian Ramlan, 2008: 1069)

Melihat posisi BUM Desa ini dalam mengahadapi realitas arus desak intervensi modal domestik dan asing yang kini menjadikan desa sebagai sasaran pengembangan usaha sangat keras sekali, disamping itu BUM Desa ini hanya bermodal tak seberapa jika dibandingkan dengan swasta bermodal besar maka posisi BUM Desa ini tak dapat dibandingkan. Dengan sumber daya alam yang dimiliki desa, hal ini sangat rawan sekali terjadi intervensi modal dan pasar di pedesaan. Kehadiran BUM Desa ini sendiri akan menjadi penangkal bagi kekuatan korporasi asing dan nasional. Diharapkan BUM Desa ini mampu menggerakkan dinamika ekonomi desa, dan sebagai perusahaan desa. (Coristya Berlian Ramlan, 2008: 1069)

Dalam hal ini Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memerintahkan kepada desa untuk mendirikan BUM Desa. Dan pendirian BUM Desa ini ditetapkan dengan Peraturan Desa. Sesuai dengan Pasal 88 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berbunyi, “(1) Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa. (2) Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa.”

Untuk mendirikan BUM Desa ini ditetapkan dengan Peraturan Desa yang mana melibatkan dua lembaga desa atau lebih dengan cara musyawarah desa. Musyawarah desa sebagaimana menurut Pasal 54 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berbunyi,

“ Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.”

(16)

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memerintahkan dalam mendirikan BUM Desa dilaksanakan dengan musyawarah desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa. Namun dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Desa tidak dikenal sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi,

“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi;dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Begitu juga dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi,

“Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Berdasarkan survey awal yang penulis lakukan ditemukan fakta bahwa di wilayah Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten Tanah Datar tidak dikenal adanya desa melainkan nagari, sehingga yang dibentuk bukanlah peraturan desa melainkan peraturan nagari. Nagari Kumango Kecamatan Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar memiliki Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari. Sementara dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengenal adanya peraturan nagari, melainkan peraturan kepala desa.

(17)

Bertitik tolak dari permasalahan diatas penulis tertarik dan ingin meneliti lebih lanjut tentang keberadaan Peraturan Nagari Kumango No. 4 Tahun 2017 untuk dituangkan dalam skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Eksistensi Dan Materi Muatan Peraturan Nagari Kumango Nomor 04 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari Batang Simonce Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”

B. Fokus Penelitian

Dari latar belakang di atas maka penulis memfokuskan penelitian terhadap “Tinjauan Yuridis Eksistensi dan Materi Muatan Peraturan Nagari Kumango Nomor 04 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari Batang Simonce Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana eksistensi Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011?

2. Apakah materi muatan Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011? D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan eksistensi Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.

2. Untuk mendeskripsikan materi muatan Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

E. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Dalam penelitian ini diharapkan agar hasil penelitian nantinya dapat memberikan ataupun menambah pengetahuan terutama dalam hukum tata negara di Indonesia, berkaitan Tinjauan Yuridis Eksistensi dan

(18)

Materi Muatan Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari Batang Simonce Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.

2. Kegunaan Praktis

Bagi praktisi hukum, dan pelaksana lembaga pemerintahan atau lembaga Yudikatif, Legislatif dan Eksekutif yang ada di Indonesia penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau menambah pengetahuan tentang hal–hal yang berhubungan dengan proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional ini dimaksud untuk memberikan gambaran awal serta menghindari adanya pemahaman yang berbeda dengan maksud peneliti, perlu kiranya di jelaskan beberapa istilah penting dalam judul antara lain:

1. Tinjauan Yuridis adalah mempelajari dengan cermat, memeriksa untuk memahami suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum terhadap kedudukan. (KBBI online), dalam hal ini adalah memahami dengan cermat Peraturan Nagari No. 04 Tahun 2017 dalam perspektif Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.

2. Eksistensi adalah keberadaan Peraturan Nagari No. 04 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari Batang Simonce dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.

3. Materi muatan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini adalah Peraturan Nagari Kumango No. 4 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari Batang Simonce. 4. Badan Usaha Milik Desa adalah usaha desa yang kepemilikan modal dan

pengelolaanya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat. Usaha Desa adalah jenis usaha yang berupa pelayanan ekonomi desa seperti,

(19)

usaha jasa, penyaluran sembilan bahan pokok, perdagangan hasil pertanian, serta industri dan kerajinan rakyat. (Permendagri No. 39 Tahun 2010 tentang BUM Desa Pasal 1 angka 6 dan 7). Dalam hal ini penulis mengkaji kedudukan Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari.

Berdasarkan rumusan definisi beberapa istilah diatas maka yang penulis maksud dengan judul Tinjauan Yuridis Eksistensi dan Materi Muatan Peraturan Nagari Kumango No. 04 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari Batang Simonce Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 adalah mengkaji dari segi hukum dalam perspektif Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 terhadap eksistensi dan materi muatan Peraturan Nagari Kumango No. 4 Tahun 2017 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Nagari Batang Simonce.

(20)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Landasan Teori

. Pemerintahan Daerah

Pemerintahan daerah merupakan salah satu alat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah daerah ini merujuk pada otoritas administratif di suatu daerah yang lebih kecil dari sebuah negara dimana Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. (Nuraeni, 2016: 24)

Dalam ketentuan umum dirumuskan bahwa pemerintah adalah pemerintah pusat, yaitu Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan kata pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sementara itu, kata pemerintahan daerah dikaitkan dengan pengertian penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Jimly Asshiddiqie, 2007: 411)

Dengan demikian, kata pemerintahan dalam arti penyelenggaraan pemerintahan dibedakan dari kata pemerintah yang merupakan subyek penyelenggaraannya. Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah meliputi gubernur, bupati, dan walikota beserta perangkat daerah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, gubernur, bupati, dan walikota tepatnya

(21)

masing disebut sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pembedaan kedua istilah pemerintah dan pemerintahan itu juga tergambar pada judul Bab III, “Kekuasaan Pemerintahan Negara” dan Bab VI “Pemerintah Daerah”. (Jimly Asshiddiqie, 2007: 412)

Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah berbunyi,

“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Sedangkan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom“

Setiap pemerintah daerah dipimpin oleh kepala daerah yang dipilih secara demokratis. Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

a. Pengertian Desentralisasi Dan Otonomi

Sampai detik ini, pilihan terhadap desentralisasi merupakan keputusan dianggap terbaik yang perlu diambil oleh bangsa ini. Pilihan ini tidak terlebas dari kondisi wilayah negara yang luas, sehingga tidak mungkin lagi seluruh urusan negara diselesaikan oleh pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat pemerintahan negara. Dipandang

(22)

perlu dibentuk alat-alat perlengkapan setempat yang disebarkan ke seluruh wilayah negara untuk menyelesaikan urusan-urusan yang terdapat di daerah.( Sirajuddin dan Winardi, 2015: 330)

Menurut Joeniarto menyebutkan asas desentralisasi sebagai asas yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri. Sementara otonomi berasal dari kata autos dan nomos. Kata pertama berarti sendiri sedangkan kata kedua berarti perintah sehingga otonomi bermakna memerintah sendiri. Karena desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom, maka setiap pembicaraan mengenai desentralisasi dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi. Esensi desentralisasi adalah proses pengotonomian, yakni proses penyerahan kepada satuan pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan mengelola urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya. Dengan kata lain, desentralisasi dan otonomi merupakan dua sisi dalam satu mata uang (both sides of one coin). (Sirajuddin dan Winardi, 2015: 332)

Otonomi daerah itu sendiri berarti hak, wewenang, dan kewajiban suatu pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan kepada aparat legislatif yaitu DPRD. Itulah sebabnya DPRD pada masing-masing daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) masing-masing ketentuan yang berlaku. Sedangkan fungsi mengurus diserahkan kepada eksekutif daerah yaitu kepala daerah dan dinas-dinas otonomnya. (Inu Kencana dkk, 2002: 94)

Ada beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan desentralisasi. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta-centris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki

(23)

sumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok. (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2003: 171)

Hubungan kewenangan antara pusat dan daerah dalam sistem negara kesatuan ini melahirkan konsep sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi adalah pemusatan kewenangan pemerintah (politik dan administrasi) pada pemerintah pusat, yang dimaksud pemerintah pusat adalah presiden dan para menteri. Jika suatu negara memusatkan semua kewenangan pemerintahannya pada tangan presiden dan para menteri, tidak dibagi kepada pejabat-pejabatnya di daerah dan/atau pada daerah otonom maka disebut sentralisasi. (Sirajuddin dan Winardi, 2015: 332)

Adanya pemerintahan daerah dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentalisasi berasal dari bahasa latin, yaitu de yang berarti lepas dan centrum yang artinya pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat. Dengan demikian, maka desentralisasi yang berasal dari sentarlisasi yang mendapat awal de berarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat tapi hanya menjauh dari pusat. (Sirajuddin dan Winardi, 2015: 333)

Sementara itu, ada alasan ideal dan filosofis bagi penyelenggaraan desentralisasi pada pemerintahan daerah, sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie :

1) Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.

2) Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta

(24)

dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.

3) Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.

4) Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.

5) Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut. (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2003: 172)

Konsep dasar otonomi daerah merangkum hal-hal sebagai berikut (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2003: 175) :

1) Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis dan nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan. Dalam konteks ini, pemerintah daerah bukan terbagi dua tingkatan, melainkan terbagi atas dua ruang lingkup yaitu pemerintah daerah kabupaten atau kota yang diberi status ekonomi penuh dan pemerintah provinsi yang diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya organ birokrasi pemerintah pusat yang melakukan penyelenggaraan pemerintahan di pemerintahan daerah kabupaten atau kota kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan. Sedangkan otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia

(25)

bagi organ birokrasi pemerintah pusat untuk melakukan penyelenggaraan pemerintahan di pemerintahan daerah provinsi. Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan hierarki antara pemerintahan provinsi dengan kabupaten/kota), maka hubungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota bersifat koordinatif, pembinaan, dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah pusat antara kabupaten dan kota dalam wilayahnya, gubernur juga melakukan supervise terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat, serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah di wilayahnya.

2) Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah harus dipertegas. Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan. Untuk itu, optimalisasi hak-hak DPRD perlu diwujudkan, seraya menambah alokasi anggaran untuk biaya operasionalnya. Hak angket, perlu dihidupkan, hak inisiatif perlu diaktifkan, dan hak interpelasi perlu didorong. Dengan demikian produk legislasi akan dapat ditingkatkan dan pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan bisa diwujudkan.

3) Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan di daerah yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.

4) Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan edukatif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah, serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah. Dalam

(26)

kaitan ini juga diperlukan terbangunnya suatu sistem administrasi dan pola karir kepegawaian daerah yang lebih sehat, kompetitif dan profesional.

5) Peningkatan efesiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.

6) Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk block gran, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.

Dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan beberapa asas otonomi daerah, diantaranya:

1) Desentralisasi, adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. (C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2001: 3)

Desentralisasi adalah penyerahan sebagian urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri. Hal yang dimaksud sebagian adalah tidak semua urusan dapat diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, seperti penyerahan urusan pertahanan keamanan akan menimbulkan keberanian daerah untuk melawan

(27)

pemerintah pusat secara separatis. Mengurus adalah penyerahan urusan pemerintahan daerah kepada pihak eksekutif sehingga pemerintah daerah lalu membangun dinas-dinas sesuai urusan yang diserahkan, sedangkan pengaturan adalah agar peraturan daerah dapat dibuat sendiri oleh pemerintah daerah dengan berdirinya lembaga legislatif daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Keberadaan legislatif daerah dan eksekutif daerah inilah yang kemudian mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. (Inu Kencana Syafiie, 2013:84)

2) Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.

Dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. (C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2001: 4)

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari aparat pemerintah pusat atau pejabat diatasnya (misalnya, wilayah provinsi). Jadi, begitu suatu departemen tingkat pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat kepala kantor wilayah provinsi, atau pejabat kepala kantor wilayah provinsi tersebut melimpahkan wewenang kepada kepala kantor departemen di tingkat kabupaten maka terkadang muncul egoisme sektoral karena pemerintah daerah tidak mengetahui pelaksanaan dan sulit untuk ikut mengawasinya. (Inu Kencana Syafiie, 2013: 84)

3) Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah

(28)

daerah provinsi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.

Di satu pihak pemerintah pusat khawatir penyerahan semua urusan kepada daerah akan membuat daerah menjadi separatis, tetapi di pihak lain pemerintah daerah curiga karena pemerintah pusat akan merongrong kekayaan daerah maka tarik ulur antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak pernah selesai dari dulu. Diketahui desentralisasi pemerintahan pada zaman penjajahan sangat dibatasi sehingga aparat dekonsentrasi sangat kewalahan. Misalnya, dalam keuangan sangat kecil, yaitu sekedar membiayai tugas yang tidak penting. Oleh karena itu, dalam urusan pemerintahan tertentu pemerintah daerah diikutsertakan. Kata lain dari tugas pembantuan ini adalah medebewind. Made dalam bahasa Belanda artinya ikut serta atau turut serta, sedangkan bewind juga dalam bahasa Belanda artinya berkuasa atau memerintah. Jadi pemerintah daerah ikut serta mengurus sesuatu urusan tetapi kemudian urusan itu harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah pusat. (Inu Kecana Syafiie, 2013: 84)

Prinsi-prinsip pelaksanaan otonomi daerah (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2003: 191)

Prinsip-prinsip pembagian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah sebagai berikut:

1) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.

(29)

3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang pada daerah provinsi merupakan otonomi terbatas.

4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.

6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.

7) Pelaksanan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

(30)

b. Pembagian Kewenangan Pemerintah Daerah

Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan pemerintah daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren.

Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan sepenuhnya menjadi urusan pemerintah.

Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah kabupaten/kota. untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efesiensi. Penggunaan kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu

(31)

kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan. (Penjelasan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota)

Pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sebagai upaya untuk memperjelas kewenangan masing-masing pemerintah dalam menjalankan kewenangannya dan mengurus rumah tangganya sendiri. Secara umum, berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib terdiri dari : 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Lingkungan hidup; 4) Pekerjaan umum; 5) Penataan ruang; 6) Perencanaan pembangunan; 7) Perumahan;

8) Kepemudaan dan olahraga; 9) Penanaman modal;

10) Koperasi dan usaha kecil dan menengah; 11) Kependudukan dan catatan sipil;

12) Ketenagakerjaan; 13) Ketahanan pangan;

14) Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 15) Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

16) Perhubungan;

(32)

18) Pertanahan;

19) Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

20) Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;

21) Pemberdayaan masyarakat dan desa; 22) Sosial;

23) Kebudayaan; 24) Statistik; 25) Kearsipan; dan 26) Perpustakaan.

Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Pembagian urusan dalam kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota merupakan batasan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang riil dan nyata, sehingga tidak adanya pengambilan urusan yang bukan dari kewenangannya dan tidak mengakibatkan konflik vertikal antara lembaga-lembaga yang ada, karena ada batasan-batasan urusan yang menjadi kewenangan. (Fatkhul Muin, 2014: 7)

Otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata, dan bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintah pusat, disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, serta berkembang di daerah, dan disebut bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Disamping itu otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga

(33)

mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia. ( A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2003: 191)

Disamping daerah otonom provinsi juga merupakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani provinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup:

1) Kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.

2) Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang provinsi.

3) Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kelautan negara.

4) Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada provinsi dengan pernyataan dari daerah otonom kabupaten atau/kota tersebut. (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2003: 193)

Dalam rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah

(34)

otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah seperti berikut : pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu bupati dan gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang-undangan, yaitu setiap Peraturan Daerah memerlukan persetujuan pusat untuk dapat berlaku. ( A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2003: 194)

Menurut Ridwan H.T, secara teoritik, kewenangan bersumber dari peraturan perundang-undangan yang diperoleh melalui tiga cara yaitu, atribusi, delegasi dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat H.D Van Wijk/ Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut (Dedis Elvalina, 2016: 5) :

1) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.

2) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

3) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas nama dirinya.

Mengenai klasifikasi urusan pemerintahan, dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah membagi urusan pemerintahan dalam tiga urusan, diantaranya urusan pemerintahan absolute, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.

1) Urusan pemerintahan absolute, adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. 2) Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan

yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.

(35)

3) Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan

Hal ini, mengenai urusan Pemerintah Daerah yaitu urusan pemerintah konkuren meliputi wewenangnya urusan pemerintah wajib dan pilihan. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Pemda yang berbunyi,

“urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi :

a. Pendidikan b. Kesehatan

c. Pekerjaan umum dan penataan ruang

d. Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman

e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat

f. Sosial

. Pemerintah Desa a. Pengertian Desa

Istilah desa secara etimologis berasal dari kata “swadesi” bahasa sanskerta yang berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom. Dari istilah desa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri. Sedangkan kampong itu sendiri adalah dusun, yakni kesatuan administrasi terkecil yang mempunyai wilayah tertentu, terletak dibawah kecamatan.

Menurut R.H. Unang Soenardjo (1984:11), desa adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya, memiki ikatan lahir batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan, memiliki susunan pegurus yang dipilih bersama, memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan pemerintah sendiri. (Nurcholis, 2011, hal. 4)

(36)

Selanjutnya I. Nyoman Beratha (1982: 19) mendefinisikan desa atau dengan nama aslinya yang setingkat yang merupakan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan susunan asli adalah suatu “badan hukum” dan pula “Badan Pemerintahan” yang merupakan bagian wilayah kecamatan atau wilayah yang melingkunginya. (Nurcholis, 2011, hal. 4) Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Dasril Radjab, 2005: 157)

Menurut Mashuri Maschab, apabila membicarakan desa di Indonesia, maka sekurang-kurangnya akan menimbulkan tiga macam penafsiran atau pengertian. (Sirajuddin dan Winardi, 2015: 355)

1) Pengertian secara sosiologis yang menggambarkan suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang tinggal dan menetap dalam suatu lingkungan, dimana diantara mereka saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen, serta banyak bergantung kepada kebaikan-kebaikan alam. Dalam pengertian sosiologis tersebut, desa diasosiasikan dengan suatu masyarakat yang hidup secara sederhana. Pada umumnya hidup dari sektor pertanian, memiliki ikatan sosial dan adat atau tradisi yang masih kuat, sifatnya jujur dan bersahaja, pendidikannya relatif rendah dan lain sebagainya.

2) Pengertian secara ekonomi, desa sebagai suatu lingkungan masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari apa yang disediakan alam di sekitarnya. Dalam pengertian kedua ini desa merupakan satu lingkungan ekonomi, dimana penduduknya berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

3) Pengertian secara politik, dimana desa sebagai suatu organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politik yang mempunyai wewenang tertentu karena merupakan bagian dari

(37)

pemerintahan negara. Dalam pengertian yang ketiga ini desa sering dirumuskan sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang berkuasa menyelenggarakan pemerintahan sendiri.

Menurut Ni’matul Huda, dalam konteks politik, sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa mengurus kehidupan mereka secara mandiri (otonom), dan wewenang untuk mengurus dirinya sendiri itu sudah dimilikinya semenjak kesatuan masyarakat hukum itu terbentuk tanpa diberikan oleh orang atau pihak lain. Dari sinilah asalnya mengapa desa disebut memiliki otonomi asli, yang berbeda dengan daerah otonom lainnya seperti kabupaten dan provinsi yang memperoleh otonominya dari pemerintah pusat atau pemerintahan nasional. (Sirajuddin dan Winardi, 2015: 356)Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa diartikan “sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sementara pemerintahan desa dimaknai sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Pemerintahan Kesatuan Republik Indonesia. (Sirajuddin dan Winardi, 2015: 356)

b. Kewenangan Desa

Kewenangan desa semula adalah bagian dari politik desentralisasi dan otonomi daerah, sekarang berubah menjadi rekognisi dan subsidiaritas. Kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan dasa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan adat istiadat desa. Kewenangan desa meliputi :

(38)

2) Kewenangan lokal berskala desa.

3) Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota.

4) Kewenangan lain yang ditugaskan pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggaraan kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa didanai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APB Desa). Penyelengggaraan kewenangan berskala desa selain didanai oleh APB Desa, juga dapat didanai oleh Anggaran Pendpatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), penyelenggaraan kewenangan desa yang ditugaskan oleh pemerintah didanai oleh APBN yang dialokasikan pada bagian anggaran kementrian/lembaga dan disalurkan melalui satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota. Penyelenggaraan kewenangan desa yang ditugaskan oleh pemerintah daerah didanai oleh APBD. (Sirajuddin dan Winardi, 2015: 367)

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan ada kewenangan desa yang harus ditaati oleh pemerintahan desa, yaitu dalam Pasal 26 Ayat (1) yang berbunyi,

“Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang: a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa; b. mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa; c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa; d. menetapkan Peraturan Desa; e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; f. membina kehidupan masyarakat Desa; g. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa; h. membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa; i.mengembangkan sumber pendapatan Desa; j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan

(39)

kesejahteraan masyarakat Desa; k. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa; l. memanfaatkan teknologi tepat guna; m. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif; n. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan o. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

. Nagari

a. Pengertian Nagari

Kata Nagari” berasal dari bahasa sanskerta yaitu “Nagari” yang dibawa oleh bangsa Hindu yang tinggal di tengah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat pada zaman Hindu. Bangsa Hindu itu pulalah yang menciptakan pembagian Nagari, serta menentukan masyarakat Minagkabau bersuku-suku dahulunya. Nagari-nagari kecil itu merupakan bentuk negara yang berpemerintahan sendiri (LKAAM, 1987: 47).

Sebagai implikasi dari eksistensi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari yang di dasarkan atas keberadaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, membawa perubahan yang mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terendah di Sumatera Barat. Perubahan tersebut tidak saja berdampak terhadap sebutan desa menjadi nagari, tetapi membuka peluang terhadap pemeliharaan tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau dalam mengembangkan dan melestarikan sistem nilai yang berlaku terutama adat dan budaya filosofinya, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (Dt. Maani : 2008 : 1).

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari Pasal 1 Angka 2 yaitu:

“Nagari adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat secara geneologis dan historis, memiliki batas-batas dalam wilayah tertentu, memiliki harta kekayaan sendiri, berwenang memilih pemimpinnya secara musyawarah serta mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi dan sandi

(40)

adat, Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah dan/atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat”.

A.A Navis (Yazir, 2018: 11) yang lebih menekankan nagari kepada suatu lokasi atau keadaan masyarakat yang di dialami oleh sekelompok orang sekurang-kurangnya empat suku sebagaimana yang dijelaskan sebagai berikut: Nagari adalah sebagai suatu permukiman yang telah mempunyai alat kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami sekurangkurangnya empat suku penduduk dengan Penghulu Pucuk (Penghulu Tua) selaku pimpinan pemerintah tertinggi. Berbeda dengan A. A Navis, Abu (Yazir, 2018: 11) lebih menekankan Nagari itu seadat dan salimbago sebagaimana yang dijelaskan sebagai berikut: Nagari merupakan persekutuan hukum adat yang mempunyai sistem masyarakat yang “Seadat dan Salimbago” (satu adat dan satu lembaga). Artinya, Seadat adalah bahwa didalam sebuah nagari tertentu berlaku satu ketentuan hukum adatnya atau norma masyarakat untuk seluruh warga dan komunitas itu. Sedangkan Salimbago maksudnya suatu pemerintahan, tidak ada kekuasaan lain yang dapat mengatur masyarakat komunitas nagari tersebut selain kelembagaan kepenghuluan yang ada di dalam nagari.

Selanjutnya Musyair Zainuddin (Zainuddin, 2010: 4) menekankan nagari dari bentuk nagari secara modern, sebagaimana yang dijelaskan berikut, nagari merupakan satuan kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa. Artinya, nagari merupakan suatu bentuk pemerintahan berdasarkan adat Minangkabau dengan struktur dan susunan yang asli yakni adat Minangkabau, disamping melaksanakan pemerintahan secara umum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari beberapa pendapat diatas, dapat penulis tarik kesimpulan bahwa nagari adalah satu kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai minimal empat suku, dan memiliki wilayah tersendiri dengan batas-batas tertentu

(41)

beserta kekayaan yang ada di dalamnya berdasarkan susunan asli adat Minangkabau.

b. Pemerintahan Nagari

Pemerintahan nagari merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus kepentingan serta memberikan pelayanan pada masyarakat setempat. Pemerintahan nagari merupakan sub sistem dari penyelenggaraan pemerintahan sehingga nagari memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Wali nagari bukanlah bawahan bupati tetapi sebagai pemimpin masyarakat yang memperoleh mandat dari masyarakat. Jika wali nagari terjebak pada hal-hal yang bersifat formal administratif atau bekerja apa adanya maka nagari tidak bakal berkembang dengan baik.

Pemerintahan nagari merupakan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan, pelayanan, peran serta, dan prakarsa yang bertujuan untuk kesejahteraan anak nagari. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki nagari bukan berarti nagari “membantu” tugas-tugas yang memberikan pusat dan kabupaten, tetapi nagari mempunyai hak untuk membuat atau mengambil keputusan secara mandiri sesuai dengan kondisi lokal. Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki nagari bukan berarti nagari “membantu” tugas-tugas yang memberikan pusat dan kabupaten, tetapi nagari mempunyai hak untuk membuat atau mengambil keputusan secara mandiri sesuai dengan kondisi lokal. Wali nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah orang yang dianggap paling menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam budaya Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari. Dalam sebuah nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari, yakni lembaga yang beranggotakan tungku tigo sajarangan yang merupakan perwakilan

(42)

anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cadiak pandai (kaum intelektual), dan niniak mamak para pemimpin suku dalam suatu nagari. Keputusan-keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan antara wali nagari dan tungku tigo sajarangan di Balai Adat (Afrizal, 2013: 2-3).

Secara historis pemerintahan nagari merupakan sebuah pemerintahan tradisional yang diperintah oleh penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya yang tergabung dalam sebuah kerapatan adat. Penghulu-penghulu tersebut di bantu oleh para manti (orang cerdik yang di percaya oleh penghulu), malin (alim ulama), dan dubalang (hulubalang/keamanan) (LKAAM, 2000: 20).

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi,

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Dan dikuatkan juga dalam Pasal 6 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa berbunyi,

“(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.

(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat”

Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan desa adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa (penjelasan atas Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa). Sehingga penamaan

(43)

pemerintah terkecil dalam wilayah Sumatera Barat adalah nagari yang telah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari, Pasal 1 Ayat (2), nagari adalah kesatuan mayarakat hukum adat secara geneologis dan historis, memiliki batas-batas dalam wilayah tertentu, memiliki harta kekayaan sendiri, berwenang memilih pemimpinnya secara musyawarah serta mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi dan sandi adat, Adat Basandi Syara’- Syara’ Basandi Kitabullah dan/atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Dalam Pasal 5 Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari membagi kelembagaan nagari terdiri atas, Kerapatan Adat Nagari, Pemerintahan Nagari dan Peradilan Adat Nagari.

Mengenai Kerapatan Adat Nagari memiliki tugas dan wewenang yaitu tercantum dalam Perda Provinsi Sumatera Barat No. 7 Tahun 2018 berbunyi,

“Kerapatan Adat Nagari mempunyai tugas sebagai berikut : a. Mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Nagari oleh

KapaloNagari;

b. Menyusun peraturan Nagari bersama Kapalo Nagari; dan c. Menyepakati Rancangan Peraturan Nagari tentang

Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari.

Kerapatan Adat Nagari mempunyai wewenang sebagai berikut: a. Memilih dan mengangkat Kapalo Nagari secara

musyawarah dan mufakat;

b. Menyalurkan aspirasi masyarakat Nagari;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan adat istiadat dan budaya Nagari;

d. Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan Pemerintahan Nagari kepada Kapalo Nagari; dan

e. Melestarikan nilai-nilai adat dan budaya sesuai Adat Salingka Nagari.

Gambar

Tabel Penelitian  No  Kegiatan  BulanPenelitian  Februari     -Oktober                                                 1  Survey Awal  √    2  Bimbingan  Proposal  Skripsi  √  √  3  Seminar  Proposal    √

Referensi

Dokumen terkait

Undang – undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 28, Tambahan

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Peraturan perundang- undangan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,Tambahan Lembaran

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Prosedur perencanaan penggunaan Dana Nagari menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara