• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

22 BAB II

LANDASAN TEORI

A. RESILIENSI 1. Definisi Resiliensi

Istilah resiliensi berasal dari kata Latin resilire yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resiliensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005).

Menurut Patterson dan Kelleher (2005), resiliesi adalah sebuah konstruksi dasar yang memberikan kekuatan untuk menolong school leader bangkit dan berkembang dari kesulitan-kesulitan. School leader bukan hanya dimaksudkan pada pemimpin atau kepala sekolah namun juga guru dan semua elemen pendidik dalam suatu sekolah.

Grotberg (2003) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan.

Reivich. K dan Shatte. A (2002) dalam bukunya “the resiliency factor” menjelaskan bahwa arti resiliensi itu adalah kemampuan untuk mengatasi dan

(2)

23

beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya. Bertahan dalam keadaan tertekan sekali pun, atau bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) maupun trauma yang dialami sepanjang kehidupannya. Resiliensi bukanlahlah suatu trait, akan tetapi bersifat kontinum, sehingga tiap individu dapat meningkatkan resiliensinya (Reivich & Shatte, 2002).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan tidak menyerah pada keadaan-keadaan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari keadaan tersebut dan menjadi lebih baik.

2. Fungsi Resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (2002) ada empat kegunaan dasar resiliensi yaitu:

a. Mengatasi (Overcoming)

Individu membutuhkan resiliensi agar dapat mengatasi hambatan-hambatan yang dialami, seperti kemiskinan, perceraian, atau bahkan siksaan secara emosional dan fisik pada masa kanak-kanak. Resiliensi juga dapat digunakan saat terjadi hal yang buruk di masa remaja sehingga mampu menciptakan masa dewasa yang lebih baik.

b. Melalui (Steering Through)

Resiliensi dibutuhkan untuk dapat melalui permasalahan sehari-hari, seperti stres. Salah satu kemampuan yang dibutuhkan adalah self-efficacy, yakni

(3)

24

keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk menghadapi lingkungan dan mengatasi masalah secara efektf.

c. Bangkit Kembali (Bouncing Back)

Kehilangan pekerjaan, perceraian, kematian orang yang disayangi dapat memberikan kondisi yang buruk pada individu. Individu yang resilien akan mampu bangkit kembali (bouncing back) dan menemukan cara untuk mengatasi kondisi kritis yang dialaminya. Resiliensi dapat meningkatkan ketahanan seseorang terhadap stres, sehingga peluang terjadinya PTSD (Post Traumatic Stress Disorderi) menjadi lebih kecil.

d. Pencapaian (Reaching Out)

Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Resiliensi membantu individu dalam menemukan makna dan tujuan baru dalam hidup. Individu yang resilien dapat mengembangkan kemampuannya karena lebih terbuka terhadap pengalaman dan tantangan baru. Selain itu, individu yang resilien dapat melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.

3. Dimensi Resiliensi

(4)

25

membangun resiliensi, yaitu aspek regulasi emosi, impulse control, optimisme, analisis kausal, empati, self-efficacy, dan reaching out.

a. Regulasi Emosi (Emotion Regulation)

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang saat berada di bawah tekanan. Individu yang resilien menggunakan sekumpulan keterampilan dengan baik yang dapat membantu mereka untuk mengontrol emosi, perhatian, dan perilaku mereka. Self-regulated merupakan hal yang penting dalam membentuk kedekatan, sukses di pekerjaan dan membantu pemeliharaan kesehatan fisik seseorang.

Individu yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan pertemanan. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan di antaranya adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat.

Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Tidak semua rasa marah, sedih, gelisah, dan rasa bersalah harus diminimalisir ataupun ditahan. Hal ini dikarenakan mengekpresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi.

Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu dalam meningkatkan regulasi emosi, yaitu calming (tenang) dan focusing (fokus). Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, memfokuskan pikiran

(5)

26

individu ketika muncul banyaknya hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu.

i) Calming (tenang)

Individu dapat mengurangi stres yang mereka alami dengan merubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stressor. Meskipun begitu, seorang individu tidak akan mampu menghindar dari keseluruhan stres yang dialami, diperlukan cara untuk membuat diri mereka berada dalam kondisi tenang ketika stres menghadang.

Keterampilan ini adalah sebuah kemampuan untuk meningkatkan kontrol individu terhadap respon tubuh dan pikiran ketika berhadapan dengan stres dengan cara relaksasi. Dengan relaksasi individu dapat mengontrol jumlah stres yang dialami.

ii) Focusing (fokus)

Keterampilan untuk fokus pada permasalahan yang ada memudahkan individu untuk menemukan solusi dari permasalahan yang ada. Setiap permasalahan yang ada akan berdampak pada timbulnya permasalahan-permasalahan baru. Individu yang fokus mampu untuk menganalisa dan membedakan antara sumber permasalahan yang sebenarnya dengan masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari sumber permasalahan. Pada akhirnya individu juga dapat mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini tentunya akan mengurangi stres yang dialami oleh individu.

(6)

27

b. Pengendalian Impuls (Impulse Control)

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif.

Individu dengan pengendalian impuls yang rendah pada umumnya percaya pada pemikiran impulfisnya yang pertama mengenai situasi dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Sedangkan individu dengan pengendalian impuls yang tinggi dapat mengendalikan impulsifitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada.

Regulasi emosi dan kontrol impuls merupakan dua hal yang berhubungan. Jika kontrol impuls individu tinggi maka kecenderungan regulasi emosi juga tinggi. Sedangkan jika kontrol impuls individu rendah maka individu akan berperilaku menggunakan dorongan atau impuls yang pertama kali muncul dalam pikiran. Misalnya saat orang marah yang pertama kali diinginkan adalah berteriak maka individu akan melakukan hal tersebut.

c. Optimisme (Optimism)

Individu yang resilien biasanya memiliki sifat optimis. Mereka percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Optimisme adalah ketika

(7)

28

kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. Individu yang optimis memiliki harapan terhadap masa depan mereka dan mereka percaya bahwa mereka lah pemegang kendali atas arah hidup mereka.

Optimisme menandakan bahwa adanya keyakinan bahwa kita mempunyai kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau ketidakberuntungan yang mungkin terjadi di masa depan tersebut. Hal ini juga merefleksikan Self Efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Reivich & Shatte (2002) mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan membangun strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang terjadi.

Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan Self-Efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada pada seseorang akan mendorong individu untuk mampu menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).

d. Analisis Kausal (Causal Analysis)

Analisis kausal merujuk pada kemampuan seseorang untuk menganalisa masalah dan mengidentifikasi penyebabnya secara akurat. Jika individu sulit mengidentifikasi penyebab dari suatu masalah, inividu akan mengulang kesalahan.

(8)

29

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang merupakan kebiasaan cara seseorang untuk menjelaskan hal baik dan buruk yang terjadi pada diri dan kehidupan mereka. Gaya berpikir ini erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir ”saya-selalu-semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari dirinya sendiri (saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (selalu), serta permasalahan yang ada tidak dapat diubah (semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir ”bukan saya-tidak selalu-tidak semua” meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (bukan saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (tidak selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (tidak semua).

Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada ”selalu-semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi dan mengubah situasi. Mereka akan menyerah dan putus asa. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir ”tidak selalu-tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

(9)

30

Individu yang resilien mempunyai fleksibilitas kognitif dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab signifikan dari kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

e. Empati (Empathy)

Reivich & Shatte (2002) mengatakan bahwa empati mencerminkan kemampuan individu membaca tanda dari kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda noverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Individu dengan empati yang renadah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain

(10)

31

(Reivich & Shatte, 2002).

Dengan kemampuan individu dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang baik (Reivich & Shatte, 2002). Sedangkan ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai.

f. Self –Efficacy

Efikasi diri merepresentasikan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan masalah yang dialami dengan efektif dan keyakinan akan kemampuan untuk sukses. Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai pemimpin, sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap self-efficacy mereka akan selalu tertinggal dari yang lain dan terlihat ragu-ragu. Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting sebagai untuk mencapai resiliensi.

g. Pencapaian (Reaching Out)

Reaching out adalah kemampuan seseorang untuk menemukan dan membentuk suatu hubungan dengan orang lain, untuk meminta bantuan, berbagi

(11)

32

cerita dan perasaan, untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah baik personal maupun interpersonal atau membicarakan konflik dalam keluarga (Reivich & Shatte, 2002).

Menurut Reivich & Shatte (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.

4. Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Perkembangan resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan manusia yang sehat, suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi antara kepribadian seorang individu dengan lingkungannya dalam hubungan yang timbal balik. Hasilnya ditentukan berdasarkan keseimbangan antara faktor risiko, kejadian dalam hidup yang menekan, dan faktor protektif (Warner & Smith, 1982 dalam Benard, 1991). Selanjutnya, keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah dari faktor risiko dan faktor protektif yang hadir dalam kehidupan seorang individu tetapi juga dari frekuensi, durasi, derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya.

(12)

33

a. Faktor Risiko

Schoon (2006) mengungkapkan bahwa faktor risiko merupakan faktor yang dapat memunculkan kerentanan terhadap distress. Konsep risikodalam penelitian resiliensi untuk menyebutkan kemungkinan terdapatnya maladjusment (ketidakmampuan menyesuaikan diri) dikarenakan kondisi-kondisi yang menekan seperti: anak yang tumbuh pada keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah, tumbuh di daerah yang terdapat kekerasan, dan pengalaman trauma. Faktor risiko ini dapat berasal dari faktor genetik seperti penyakit sejak lahir, faktor psikologis, lingkungan dan sosioekonomi yang mempengaruhi kemungkinan terdapatnya kerentanan terhadap stres. Faktor-faktor ini mempengaruhi individu baik secara afektif maupun kognitif.

Faktor risiko dapat berasal dari kondisi budaya, ekonomi, atau medis yang menempatkan individu dalam risiko kegagalan ketika menghadapi situasi yang sulit. Faktor risiko menggambarkan beberapa pengaruh yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih serius lagi. Trait risiko merupakan predisposisi individu yang meningkatkan kelemahan individu pada hasil negatif. Efek lingkungan, dimana lingkungan atau keadaan dapat berhubungan atau mendatangkan risiko. Hubungan antar beberapa variabel risiko yang berbeda akan membentuk suatu rantai risiko (Smokowski, 1998).

b. Faktor Protektif

Faktor protektif berperan mengubah efek-efek negatif dari keadaan hidup yang kurang menyenangkan dan membantu memperkuat resiliensi (Schoon,

(13)

34

2006).

Schoon (2006) menyatakan ada tiga faktor yang termasuk dalam faktor protektif yaitu atribut-atribut individual, karakteristik dari keluarga,dan aspek-aspek konteks sosial yang lebih luas. Selanjutnya ketiga faktor ini akan dijelaskan sebagi berikut:

i) Atribut-atribut individual

Atribut-atribut individual yang menunjukkan faktor protektif individu seperti menampilkan performa yang baik saat tes akademik di sekolah, lebih sedikit menunjukkan masalah perilaku, memiliki banyak hobi, , menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi terhadap kemampuan diri sendiri, menunjukkan perencanaan yang baik dengan rekan kerja dan pilihan berkarir, dan memiliki pandangan yang positif terhadapkehidupan.

ii) Karakteristik keluarga

Karakteristik keluarga diasosiasikan dengan penyesuaian positif selama masa kanak-kanak dan remaja, termasuk lingkungan keluarga yang stabil dan mendukung.Hal ini dikarakteristikan dengan orang tua yang mampu memahami anak, aktif dan ikut berpartisipasi dalam pendidikan dan perencanaan karir anak, mengajak anak untuk memiliki aktivitas yang beragam. Faktor lain yang penting ialah ayah yang membantu ibu dalam hal pekerjaan rumah.

iii) Aspek kontek sosial yang lebih luas

(14)

35

yang memberikan dukungan sepertiguru yang mampu menyadari kemampuan murid serta mendorong dan mendukung perjuangan pendidikan dan pekerjaan murid. Lingkungan sekolah juga berperan penting dalam membantu perkembangan adaptif. Selain itu, dorongan komunitas yang positif seperti dukungan tetangga dan rasa saling memiliki dalam komunitas.

5. Fase Resiliensi

Patterson dan Kelleher (2005) menyebutkan adanya empat fase resiliensi yang mungkin terjadi pada individu saat kesulitan datang dalam kehidupannya:

a. Deteriorating

Merupakan fase saat kesulitan muncul. Pada umumnya individu akan mengalami suatu kondisi terburuk (deterior) yang juga merupakan fase awal dari resiliensi. Pada fase ini, individu akan merasakan kemarahan, rasa berasalah sepanjang waktu School leader yang terperangkap pada fase ini dalam jangka waktu yang lama tidak akan mampu melanjutkan fungsinya sebagai seorang profesional.

b. Adapting

Fase ini merupakan fase transisi dimana individu mulai terbiasa dengan situasi sulit yang mereka hadapi.

c. Recovering

Pada fase ini individu berada pada posisi status quo, netral.

(15)

36

Fase ini merupakan fase terakhir dimana individu tumbuh menjadi lebih kuat melalui pelajaran dan pengalaman yang diambil saat kesulitan menghadang. Dengan adanya kesulitan yang muncul, individu belajar bagaimana menghadapi dan mengatasi masalah tersebut.

6. Tahap Pembentukan Resiliensi

Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I can. Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya resiliensi individu. Pengembangan resiliensi menurut Grotberg (2003) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan mendasarkan pada lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry.

a. Rasa Percaya/Trust (usia 0-1 tahun)

Rasa percaya merupakan tahapan perkembangan pertama pembangun resiliensi. Rasa percaya ini berhubungan dengan pengaruh lingkungan dalam mengembangkan rasa percaya remaja. Perkembangan trust sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang dekat dengan individu, terutama orang tua.

b. Kemandirian/Autonomy (usia 1-4 tahun)

Dimensi pembentuk resiliensi yang kedua adalah kemandirian. Autonomy dapat diartikan sebagai sebagai kemerdekaan dan kebebasan-kemampuan untuk membuat keputusan sendiri.. Pemahaman bahwa dirinya juga merupakan sosok mandiri yang terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar, akan membentuk

(16)

37

kekuatan-kekuatan tertentu pada diri individu. Kekuatan tersebut akan menentukan tindakan seseorang ketika menghadapi masalah.

c. Inisiatif/Initiative (usia 4-5 tahun)

Inisiatif merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berperan dalam menumbuhkan minat seseorang terhadap hal yang baru. Inisiatif juga berperan dalam mempengaruhi individu untuk mengikuti berbagai macam aktivitas atau menjadi bagian dari suatu kelompok. Dengan inisiatif, individu menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah lingkungan dari berbagai macam aktivitas, dimana ia dapat mengambil bagian untuk berperan aktif dari setiap aktivitas yang ada. d. Industri/Industry (usia 6-12 tahun)

Industri merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan keterampilan-keterampilan berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah, dan sosialisasi. Melalui penguasaan keterampilan-keterampilan tersebut, individu akan mampu mencapai prestasi, baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial. Dengan prestasi tersebut, akan menentukan penerimaan seseorang di lingkungannya.

e. Identitas/Identity (usia remaja)

Tahap identity merupakan tahap perkembangan kelima dan terakhir dari pembentukan resiliensi. Identitas merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berkaitan dengan pengembangan pemahaman individu terhadap dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologisnya. Identitas membantu individu untuk mendefinisikan dirinya dan mempengaruhi self image-nya.

(17)

38

B. GURU

1. Definisi Guru

Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru (Mulyasa, 2007).

Selain siswa, faktor penting dalam proses belajar mengajar adalah guru. Guru sangat berperan penting dalam menciptakan kelas yang komunikatif. Menurut Breen dan Candlin (dalam Mulyasa, 2007) mengatakan bahwa peranguru adalah sebagai fasilitator dalam proses yang komunikatif, bertindak sebagai partisipan, dan yang ketiga bertindak sebagai pengamat.

Djamarah (2002) mengungkapkan, guru adalah unsur manusiawi dalampendidikan. Guru merupakan figur manusia sebagai sumber yang menempatiposisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Ketika semua orangmempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru mesti terlibat dalam agendapembicaraan, terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah.Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.

Guru adalah orang yangprofesional, artinya secara formal mereka disiapkan oleh lembaga atau institusipendidikan yang berwenang. Mereka dididik

(18)

39

secara khusus memperolehkompetensi sebagai guru, yaitu meliputi pengetahuan, keterampilan, kepribadian,serta pengalaman dalam bidang pendidikan (Wibowo, 2004).

Maka dapat disimpulkan bahwa guru adalah suatu profesi dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi individu lain yang dinamakan sebagai anak didik.

2. Persyaratan Guru

Daradjat (1985, dalam Djamarah, 2002) mengungkapkan bahwa menjadi guru harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni:

a. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

Guru merupakan teladan bagi anak didiknya, sejauhmana seorang gurumampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh itupulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasipenerus bangsa yang baik dan mulia.

b. Berilmu

Guru harus mempunya ijazah yang menjadi syarat mengajar. c. Sehat Jasmani dan Rohani

d. Berkelakuan Baik

Guru harus memiliki budi pekerti karena hal ini penting dalam pendidikan watak anak didik.

(19)

40

3. Kompetensi Guru

Djiwandono (2002) mengungkapkan bahwa guru yang terlatih baik, akan mempersiapkan empat bidang kompetensi guru yang efektif dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Empat bidang kompetensi tersebut yakni:

a. Memiliki pengetahuan tentang teori belajar dan tingkah laku manusia;

b. Menunjukkan sikap dalam membantu siswa belajar dan memupuk hubungan dengan manusia lain secara tulus;

c. Menguasai mata pelajaran yang diajarkan;

d. Mengontrol keterampilan teknik mengajar sehingga memudahkan siswa belajar.

4. Peranan Guru

Djiwandono (2002) mengungkapkan ada beberapa peran dari seorang guru, yakni:

a. Guru sebagai ahli instruksional

Guru harus tetap membuat keputusan mengenai materi pelajaran dan metode mengajarnya. Keputusan yang dibuat oleh guru ini didasarkan pada sejumlah faktor yang meliputi mata pelajaran yang akan disampaikan, kebutuhan dan kemampuan siswa, serta seluruh tujuan yang akan dicapai.

b. Guru sebagai motivator

Salah satu peranan guru yang paling penting adalah sebagai motivator bagi siswa agar belajar lebih giat.

(20)

41

c. Guru sebagai manajer

Guru sebagai pengelola kelas, meliputi melengkapi formulir-formulir, mempersiapkan tes, menetapkan nilai, bertemu dengan guru-guru lain dalam rapat, bertemu dengan orangtua siswa, dan sebagainya. Guru harus terampil mengatur waktu untuk mengelola sekolah.

d. Guru sebagai konselor

Guru harus sensitif dalam mengobservasi tingkah laku siswa. Mereka harus mencoba merespon secara konstruktif ketika emosi atau perilaku siswa mengganggu pelajaran. Guru juga harus tahu jika siswa membutuhkan bantuan ahli jiwa.

e. Guru sebagai model

Guru merupakan model bagi siswa. Guru secara tetap menjadi model dalam menunjukkan bagaimana berpikir dan bertindak dalam menyelesaikan masalah.

C. WILAYAH PESISIR 1. Definisi Wilayah Pesisir

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 (dalam Sunyowati, 2009) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Pasal 1 Ayat (2), disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Kay & Alder (1999) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana

(21)

42

proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.

Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Dahuri (2003, dalam Sunyowati, 2009) mengatakan bahwa karakteristik, pengertian dan batasan wilayah pesisir di setiap negara berbeda-beda, tergantung kondisi geografisnya. Pada umumnya karakteristik umum wilayah pesisir dan laut adalah sebagai berikut:

a. Laut merupakan sumberdaya milik bersama, sehingga memiliki fungsi publik/kepentingan umum;

b. Laut merupakan open access yang memungkinkan bagi siapapun untuk memanfaatkan ruang laut untuk berbagai kepentingan;

c. Laut bersifat fluida yang berarti sumberdaya (biota laut) tidak dapat dibatasi; d. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang

relatif mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik;

e. Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumberdaya alam, baik yang terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

(22)

43

Dari beberapa definisi wilayah pesisir yang telah disampaikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara darat dan laut yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut dan proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.

2. Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2004).

Masyarakat pesisir terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya (Nikijuluw, 2009).

3. Kondisi Masyarakat Pesisir

Nikijuluw (2009) mengungkapkan bahwa masyarakat pesisir merupakan suatu komunitas yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dengan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal, masyarakat pesisir tidak

(23)

44

mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang hadir. Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya dan teknologi.

Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu (1) kerniskinan struktural, (2) kemiskinan super-struktural, dan (3) kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2009).

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu. Variabel-variabel tersebut adalah struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam (Nikijuluw, 2009).

Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel super-struktural tersebut diantaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintah yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah memiliki komitmen khusus (Nikijuluw, 2009).

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya, sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel penyebab

(24)

45

kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada tokoh panutan (Nikijuluw, 2009).

Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki tempramental dan karakter watak yang keras dan tidak mudah di atur. Realitas pendidikan di masyarakat pesisir adalah pendidikan yang mengalami “dehumanisasi”, dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemundurun dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Dengan pendidikan seperti itu maka anak-anak menjadi putus sekolah dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah (Audiyahira, 2011).

Kusnadi (2003) mengungkapkan bahwa dengan kondisi ekonomi masyarakat pesisir yang rendah tingkat, maka adalah logis jika tingkat pendidikan anak-anak mereka juga rendah. Banyak anak yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, mereka tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumah tangga nelayan miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan dapat bertahan hidup.

4. Pendidikan di Masyarakat Pesisir

Stigma negatif nelayan hingga kini memang belum sepenuhnya hilang. Kondisi serba kekurangan baik secara ekonomi maupun tingkat pendidikan selalu

(25)

46

melekat dalam diri masyarakat pesisir tersebut. Bahkan lebih ironis lagi, kondisi ini seolah membelenggu nelayan yang berujung dengan terjadinya kemiskinan struktural. Kemiskinan yang akan terus lahir dari pola dan struktur kehidupan masyarakat nelayan itu sendiri. Pendidikan seharusnya menjadi perhatian penting didalam masyarakat yang diprioritaskan pada masyarakat pesisir, hal ini terbukti dengan tingkat pendidikan yang rendah pada masyarakat pesisir, rata-rata tingkat pendidikan masyarakat pesisir berhenti sampai batas SMP atau SMA saja.

Dahuri (2004) mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan tingkat pendidikan masyarakat pesisir begitu rendah, yakni:

a. Faktor Lingkungan

Anak-anak masyarakat pesisir telah mengenal cara mendapatkan uang dengan mudah melalui pengalaman mereka hidup di lingkungan pesisir. Dunia pendidikan yang seharusnya dialami oleh anak-anak di masyarakat pesisir berubah menjadi perilaku selayaknya orang dewasa yang berusaha untuk menghasilkan uang sendiri. Pola seperti ini mengarahkan anak-anak untuk mengisi kesibukanya dengan kegiatan menghasilkan uang sendiri daripada mengisi keseharianya dengan pendidikan.

b. Faktor Ekonomi

Kurangnya informasi dan pengetahuan yang menjadikan pola ekonomi masyarakat pesisir menjadi stagnan (tetap pada posisi), sehingga perkembangan ekonomi masyarakat pesisir kurang berkembang. Hal ini disebabkan karena cara mendapatkan penghasilan yang singkat, dalam hal ini adalah sebagai seorang nelayan (untuk mendapatkan penghasilan tanpa harus membutuhkan ijazah atau

(26)

47

legalitas dari akademika) dan penghasilan yang selalu digantungkan setiap hari, sehingga mempengaruhi pola keuangan dalam keluarga.

Anggapan kurang pentingnya pendidikan dipengaruhi oleh masa depan yang sudah pasti bagi masyarakat pesisir yaitu bekerja sebagai seorang nelayan, selain itu kurang berkembanganya ekonomi keluarga membuat anak-anak di masyarakat pesisir untuk mandiri (bekerja mencari uang sendiri) daripada menempuh pendidikan.

c. Faktor Keluarga

Orangtua pada masyarakat pesisir menganggap pendidikan kurang penting. Hal ini dapat dilihat ketika anak-anak yang sudah dianggap mampu menghasikan uang dengan mengumpulkan kerang-kerang atau hasil laut sederhana, banyak yang disuruh untuk bekerja daripada melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola pikir orangtua yang secara turun-temurun yang lebih mementingkan mencari uang. Selain itu, faktor ekonomi yang kurang membuat orangtua berpikir dua kali untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

5. Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat Pesisir

Dalam latar urban, pesisir biasanya merupakan kawasan yang marjinal dan identik dengan kemiskinan dan kekumuhan. Sebagai kawasan marjinal, pesisir menjadi tempat ‘perbenturan’ antara aktivitas ekonomi modern atau tersier dengan aktivitas primer yang langsung memanfaatkan sumberdaya alam. Menurut Dahuri (2001), di dalam pembangunan masyarakat pesisir, sesuai sifat, situasi dan kondisi

(27)

48

yang ada, ditemukan berbagai permasalahan sebagai berikut: a. Desa pantai pada umumnya terisolasi dan jauh dari pusat kota. b. Sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik masih terbatas. c. Kondisi lingkungan kurang terpelihara.

d. Air bersih dan sanitasi jauh dari cukup.

e. Keadaan perumahan umumnya masih jauh dari kondisi yang layak untuk dihuni.

f. Keterampilan yang dimiliki penduduk umumnya terbatas pada masalah penangkapan ikan sehingga kurang mendukung.

g. Pendapatan penduduk yang rendah. h. Permasalahan modal.

i. Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan kehidupan ikan maupun siklus hidup biota laut.

j. Pada umumnya keadaan lingkungan alam sekitar pantai kurang mendukung usaha pengembangan kegiatan pertanian.

k. Kegiatan ekonomi masyarakat umumnya masih tradisional, terbatas pada satu produk saja yakni ikan.

(28)

49

D. PARADIGMA PENELITIAN

PENDIDIKAN

Peran dan tanggungjawab

stres

GURU

Ditempatkan di Pesisir Faktor protektif dan resiko Tidak mampu resilien Resiliensi

RESILIEN

Referensi

Dokumen terkait

Isolat yang berasal pada rhizosfer asal komba-komba (Chromolaena odorata) dari kelurahan Mokoau dan Lalolara, bakteri Azospirillum memiliki bentuk koloni lengkung atau

menunjukkan, bahwa rataan denyut nadi domba yang diberi ransum K1 memiliki hasil pengukuran yang lebih tinggi dari K2, serta pemberian pakan dua kali memiliki pengukuran denyut

mau meminta nasehat kepada perawat, hubungan perawat dan klien harus terbina dengan baik, kemampuan mau meminta nasehat kepada perawat, hubungan perawat dan klien

Senyawa turunan vinkadiformina yang tidak memiliki nilai aktivitas antimalaria pada rentang tersebut tidak dapat diterima sebab berada di luar rentang intrapolasi model

Dukungan keluarga memberikan sumbangan efektif sebesar 69,9% terhadap keberfungsian sosial pasien skizofrenia, sedangkan sumbangan sebesar 30,1% dipengaruhi oleh

Sebuah masyarakat tidak akan lepas dari unsur kebudayaan, baik dari cerminan karakteristik dari masyarakat tersebut ataupun sebagai sebuah

Pemantapan media kultur dilakukan menggunakan stamm kuman yang telah diketahui dan sampel ditanam pada media yang sesuai untuk mengontrol media – media yang baru dibuat

(2003) Indonesia Population: Etnis Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukkan Peran Negara, Sejarah, dan Budaya, dalam Hubungan antar etnis.. Instute of Southerst