Oleh: Martinis*
Abstrak
Kemampuan bernalar yang mempergunakan metakognisi adalah lebih tinggi dibandingkan strategi konvensional, kemampuan bernalar dengan berpikir divergen mempergunakan strategi metakognisi adalah lebih tinggi dibandingkan mempergunakan strategi konvensional, dan kemampuan bernalar dengan gaya berpikir konvergen mempergunakan strategi metakognisi adalah lebih rendah dibandingkan mempergunakan strategi konvensional.
Kata kunci:strategi pembelajaran, gaya berpikir, kemampuan bernalar
A. Pendahuluan
Kemp menyebutkan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh masing-masing individu merupakan potensi yang dapat dikembangkan
melalui pendidikan dan pengajaran.1 Dick and Corey menyatakan bahwa
keterampilan berpikir yang dikembangkan di sekolah berupa penalaran
(reasoning) yang pembelajarannya dilaksanakan melalui berbagai mata
pelajaran.2 Tujuan pembelajaran tidak dapat dimanipulasi oleh guru karena
sudah ditetapkan dalam kurikulum, demikian pula dengan karakteristik siswa sebagai subyek belajar. Kemudian Anderson membagikan taksonomi kognitif dari hasil revisi taksonomi kognitif B.S.Bloom kepada dimensi proses kognitif; mengingat, mengerti, memakai, menganalisis, menilai, dan mencipta. Dimensi pengetahuan; fakta, konsep, prosedur,
dan metakognisi.3
Menurut Bell & Frederick, dengan menggunakan strategi pembelajaran, pembelajar dapat menyampaikan materi pelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan dapat dikuasai pemelajar dengan baik. Selanjutnya Burden dan Byrd
* Dosen Teknologi Pendidikan Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
1Jerrold E. Kemp, The Instructional Design Process, (New York: Harper & Row, Publisher, Inc., 1985), pp. 46-47.
2Walter Dick and Lou Corey, The Systematic Design of Instruction (4th Edition), (New York: Harper Collins College Publishers, 1996), pp. 64-65.
3Lorin W. Anderson, et al., Taxonomy for Learning Teaching and Assessing; A Revision
of Bloom’s Taxonomy of Education Objectives, (New York, Addison Wesley Longman, Inc., 2001), p. 98.
menyebutkan berbagai strategi pembelajaran, yakni: 1) deduktif dan induktif, 2) ekspositori sampai belajar tuntas, 3) ceramah dan bertanya, 4) diskusi sampai belajar kooperatif, dan field trips, 5) pendekatan inquiry dan discovery, 6) pemecahan masalah, bermain peran dan simulasi, laboratory, dan 7) membuat hubungan-hubungan, dan memikirkan hasil pemikiran.4 Reigelut strategi pembelajaran ini memainkan peranan yang
sangat penting dalam menentukan kualitas pembelajaran.5 Para ahli
pengajaran menyatakan bahwa dalam perancangan dan pelaksanaan pengajaran di sekolah menengah terdapat banyak variabel yang menentukan kualitas pengajaran dan harus diterima apa adanya oleh pembelajar, dan selanjutnya variabel-variabel itu dijadikan pijakan kerja.
Strategi pembelajaran yang dilihat pada penelitian ini adalah strategi metakognisi yang merupakan proses memikirkan hasil pemikiran yang diduga dapat membantu mahasiswa dalam memahami, memecah masalah, dan mencari jawaban kekinian tentang kontek yang terdapat dalam materi perkuliahan. Di samping itu, gaya berpikir mahasiswa merupakan hal yang perlu dipertimbangkan delam penggunaan strategi pembelajaran sebab setiap individu memproses informasi dengan cara atau gaya yang berbeda. Menurut Crowl, Sally, Podell Gaya berpikir seseorang dapat dibedakan
atas gaya berpikir divergen dan gaya berpikir konvergen.6
B. Deskripsi Teoretis 1. Kemampuan Bernalar
Piaget dalam Gredler memberikan fungsi intelek pada tiga perspektif. Ketiganya ialah: (1) proses mendasar yang terjadi dalam interaksi dengan lingkungan (asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pengetahuan disusun (pengalaman fisik dan logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif dalam berpikir pada berbagai tahap perkembangan (skema tindakan dari bayi, berpikir praoperasional, operasi kongkrit dan formal). Demikian pula, Zacks, Tversky, dan Iyer dalam Suharnan menyimpulkan dalam penelitiannya, bahwa skema kognitif menjadi mediasi antara informasi perseptual dengan informasi
fungsional mengenai kejadian-kejadian.7 Dengan demikian, skema kognitif
4Paul R. Burden, dan David M. Byrd, Effective Teaching, (Boston: Allyn and Bacon, 1999), p. 85.
5Reigeluth, Charles M., (Ed), Instructional Design, Theories and Models: An Overview of
Their Current Status, (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 1999), p. 19. 6Thomask Crowl, Kaminski, Sally, and David M. Podell, Educational Psychology:
Windows on Teaching, (Dubuque IA: Times Mirror Higher Education Group Inc., 1997), p. 193.
memainkan peran penting di dalam tugas-tugas persepsi dan pembentukan struktur pengetahuan di dalam ingatan khususnya dalam kejadian sehari-hari. Tulisan ini juga menegaskan, skema kognitif tidak hanya membuat seseorang mempersepsi struktur informasi, tetapi juga sangat peka terhadap informasi yang cocok dengan skema itu.
Sternberg menyebutkan bahwa bernalar adalah proses penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang prinsip dan dari bukti.8 Santrock
menyebutkan penalaran adalah pemikiran logis yang menggunakan logika
induksi dan deduksi untuk menghasilkan kesimpulan.9 Woolfolk
menegaskan bahwa penalaran deduktif merupakan metode aturan, contoh, dan konsep terletak dalam suatu hierarki sehingga dapat diketahui
konsep-konsep yang terdapat di atas atau bawah suatu konsep-konsep.10 Borich
menguatkan bahwa penalaran deduktif mulai dari prinsip-prinsip atau bentuk-bentuk umum berlanjut pada penggunaan dalam contoh-contoh dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1) menyatakan teori untuk diuji, 2) membentuk hipotesis-hipotesis, 3) mengumpulkan data, 4) menganalisis dan menginterpretasikan data, dan 5) menyimpul apakah bentuk umum
berlaku untuk hal-hal yang khusus. Riedesel et.al. mengemukakan bahwa
pada penalaran deduktif siswa menggunakan aturan-aturan dan prinsip-prinsip; dari prinsip-prinsip atau suatu aturan umum pindah secara logis ke suatu pemecahan khusus. Jadi bernalar secara deduktif adalah berpikir dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip atau bentuk-bentuk umum yang diberikan dalam menyelesaikan suatu masalah.
Vygotsky yang dikutip oleh Woolfolk memandang bahwa perkembangan berpikir terjadi karena adanya perkembangan dialog yang kooperatif antara anak dengan anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih banyak. Semiawan menjelaskan tentang fungsi otak manusia yang tidak hanya untuk berpikir akan tetapi untuk menjaga keseimbangan tubuh, otak kanan menguasai belahan kiri badan, otak kiri
menguasai belahan kanan badan.11
Berdasarkan kajian teori tentang kemampuan bernalar dan pengertian penalaran, dan pengertian kemampuan yang dikemukakan di atas, dinyatakan bahwa kemampuan bernalar dan berpikir merupakan
8J.R Sternberg, Cognitive Psychology (4th ed.), (Belmont, California: Thomson Wadsworth, 2006), p. 466.
9John W. Santrock, Education Psychology (2nd Edition), (New York: MCGraw-Hill Company, 2004), p. 357.
10Anita Woolfolk, Educational Psychology (9th edition), (Boston: Pearson, 2004), p. 339.
11Conny R. Semiawan, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1997), p. 50.
kemampuan yang sudah dibawa sejak lahir oleh seseorang. Kemampuan bernalar adalah proses berpikir untuk membuat kesimpulan pada dua dimensi, yaitu; induktif dan deduktif dengan empat indikator (1) pemecahan masalah; (2) menarik kesimpulan; (3)berpikir kritis; dan (4) berpikir kreatif.
2. Strategi Pembelajaran
a. Pengertian Strategi Pembelajaran
Menurut Seels dan Richey, strategi pembelajaran adalah spesifikasi untuk seleksi dan mengatur kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan dalam
satuan pelajaran.12 Lebih lanjut Reigeluth dalam Seels dan Richey
membedakan antara strategi makro dan mikro: Variabel-variabel strategi mikro adalah metode-metode untuk mengorganisasikan instruksi pada ide tinggal (contohnya konsep tinggal, prinsip, dan lain-lain).13
Selanjutnya Reigeluth bahwa strategi pembelajaran sebagai
metode-metode untuk memanipulasi untuk unsur-unsur bahan-bahan
pengetahuan.14 Merupakan metode-metode untuk memanipulasi untuk
untuk unsur-unsur bahan-bahan pengetahuan. Kindsvatter et. al. juga
mengemukakan bahwa sebuah strategi pembelajaran merupakan kombinasi metode yang dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran. Demikian pula Burden dan Byrd menguatkan bahwa strategi pembelajaran merupakan metode untuk menyampaikan informasi yang bertujuan untuk
membantu pemelajar mencapai tujuan belajar.15 Moore mengemukakan
bahwa strategi pembelajaran merupakan keseluruhan perencanaan untuk mengajar pelajaran tertentu yang memuatkan metode dan urutan langkah-langkah yang diikuti untuk melaksanakan kegiatan belajar.
Menurut Dick dan Corey, strategi pembelajaran menjelaskan komponen-komponen umum dari seperangkat bahan pembelajaran dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama bahan-bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada pemelajar. Lebih lanjut dikemukakan terdapat lima komponen umum yang terkandung dalam strategi pembelajaran yaitu: (1) kegiatan pra-instruksional; (2) penyajian informasi; (3) peran serta pemelajar; (4) tes (evaluasi); dan (5) kegiatan
12Barbara B. Seels, dan Rita C. Richey, Instructional Technology: The definition and
Domain of the Field, (Washington, DC, Publication Sales Department, Association for Educational Communications and Technology, 1994), p. 31.
13Ibid., p. 32.
14Charles M. Reigeluth, (ed.), Instructional Design, Theories and Models: An Overview of
Their Current Status, (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 1999), p. 400.
tindak lanjut. Secara garis besar semua komponen tersebut secara lengkap, sesuai urutan pembelajaran memiliki komponen-komponen sebagai berikut: (1) kegiatan pra-instruksional, berisi: motivasi, tujuan, tingkah laku awal; (2) penyajian informasi, berisi; urutan pembelajaran, informasi (uraian), contoh-contoh; (3) peran serta pemelajar, berisi; latihan dan umpan balik; (4) tes berisi; tes awal dan tes akhir; dan (5) kegiatan tindak
lanjut, berisi; perbaikan, pengayaan, transfer dan pendalaman.16
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan strategi pembelajaran adalah berkenaan dengan pendekatan pembelajaran sebagai suatu cara yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada pemelajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Strategi pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi perkuliahan dan mahasiswa, metode dan teknik pembelajaran, dan media pembelajaran yaitu berupa peralatan dan bahan pelajaran, serta waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
b. Strategi Pembelajaran Metakognisi
Preisseisen dalam Pannen menjelaskan metakognisi meliputi empat jenis keterampilan, yaitu; keterampilan pemecahan masalah, keterampilan pengambilan keputusan, keterampilan berpikir kritis, keterampilan berpikir berpikir kreatif. Manurut Kaune, kemampuan metakognisi merupakan kemampuan yang melihat kembali proses berpikir yang dilakukan seseorang.17 Kegiatan metakognisi terdiri dari planning-monitoring-reflection. Dalam aktivitas metakognisi tersebut, peran pembelajar (guru, dosen) sebagai mediator dan bukan ”menjejalkan” informasi kepada pemelajar (siswa, mahasiswa).
Sebagai mediator, pembelajar membantu mengarahkan
gagasan/ide/pemikiran pemelajar sesuai dengan konteks pelajaran, membantu pemelajar melihat hubungan antara satu pemikiran dan pemikiran yang lain, serta mendorong pemelajar untuk memformulasikan dan merealisasi gagasan mereka. Kemudian Gagnon memaknai refleksi sebagai tindakan mengambarkan sendiri tentang apa yang telah dirasakan, dilihat, dan diketahui, bagimana membentuk pemahaman baru, menambah pemahaman baru, atau meningkatkan pengetahuan dalam
belajar, serta apa yang akan dilakukan atau dipikirkan selanjutnya.18
16Walter Dick, and Lou Corey, The Systematic Design…, pp. 183-184.
17Christa Kaune, Menebar Virus Pemebalajaran Matematika yang Bermutu, http://rumah-matematika.blogsport.com/2008/07/menebar-virus pembelajaran-matematika.html., p. 2.
18George W. Gagnon, Jr. and Michelle Collay, Designing for Learning Six Elements In
Berdasarkan kajian teori di atas tentang strategi metakognisi, disimpulkan bahwa strategi metakognisi merupakan suatu strategi pembelajaran yang mengkondisikan mahasiswa untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan (menarik kesimpulan), berpikir kritis, dan berpikir kreatif.
c. Strategi Pembelajaran Konvensional
Menurut Brandes et. al., dalam kelas konvensional sikap pembelajar
merupakan orang yang (1) mempunyai banyak informasi, (2) bekerja untuk memindahkan pengetahuan, (3) bertanggung jawab untuk mengajar pemelajar, (4) membuat pemelajar bekerja, (5) dewasa, dan profesional, mempunyai keahlian untuk membuat keputusan yang benar tentang
belajar pemelajar.19 Selanjutnya Edward berpendapat bahwa dalam
kelas-kelas yang konvensional dalam pembelajaran, pembelajar menggunakan buku teks untuk setiap mata pelajaran yang mereka ajarkan. Setiap pemelajar mendengarkan dan membaca bagian-bagian yang sama dari buku tersebut dan melakukan tugas yang sama setiap hari atau sebagai yang dimuat oleh pembelajar dari sebuah buku teks.
Menurut Kellough, dalam pembelajaran secara konvensional, pembelajar bersifat otoriter, berpusat pada kurikulum, terarah, formal, informative, dan dictator, yang mengakibatkan situasi kelas berpusat pada pembelajar; dan tempat duduk pemelajar menghadap ke depan: pemelajar belajar abstrak, diskusi berpusat pada pembelajar, ceramah, pemelajar secara bersaing, sedikit pemecahan masalah, demonstrasi-demonstrasi dari pemelajar, pembelajaran dari yang sederhana kepada yang kompleks, dan
pemindahan informasi dari pembelajar ke pemelajar.20 Hal yang serupa
dikemukakan oleh Bennet dalam Brandes bahwa dalam kelas-kelas konvensional pendekatan progressif dalam belajar sebagai berikut: (1) materi diajarkan terpisah-pisah, (2) guru sebagai penyalur ilmu pengetahuan, (3) tidak ada kata pemelajar dalam perencanaan kurikulum, (4) penekanan pada ingatan, (5) penguatan secara ekternal, (6) terpusat pada standar akademis, (7) ujian secara regular, (8) penekanan pada kompetensi, (9) mengajar klasikal, dan (10) sedikit penekanan pada pernyataan kreatif.21
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran konvensional merupakan strategi pembelajaran yang dilaksanakan oleh
19Donna Brandes, Ginnis, Paul, A Guide to Student-Centered Learning, (Oxford: Donna Brendes dan Pau Ginnis, 1986), p. 201.
20Ricahard D. Kellough, A Resource Guide for Teaching: K-12, (New York: Macmillan Publishing Company, 1994., p, 82.
dosen dengan menggunakan buku-teks, dosen sebagai model. Mahasiswa secara pasif mendengarkan, mencatat, dan membaca bagian yang sama dari buku-buku, dan mencoba meniru apa yang dimodelkan dosen. Materi perkuliahan disampaikan dengan metode ceramah, sekali-kali dilakukan tanya jawab antara mahasiswa dan dosen, dan pemberian contoh materi oleh dosen.
3. Gaya Berpikir
a. Pengertian Gaya Berpikir
Menurut Good and Brophy, setiap individu memproses informasi dengan cara atau gaya yang berbeda.22 Gaya berpikir menunjukkan pada kebiasaan seseorang atau individu dalam memproses informasi dan menggunakan strategi untuk menjawab tugas yang diterima. Gaya berpikir menurut Woolfolk menunjukkan perbedaan individu dalam bagaimana mereka mendekati suatu tugas, tetapi variasi-variasi ini tidak menunjukkan
tingkat inteligensi atau bentuk kemampuan tertentu.23 Gaya berpikir
adalah suatu cara yang dipilih, yang menunjukkan perbedaan setiap individu dalam memproses dan mengorganisasi informasi sebagai respon terhadap stimuli lingkungannya.
Gaya berpikir menurut Lehmkuhl and Lamping sebagai pola pemrosesan informasi tidak terlepas dari aktivitas mental berkenaan
dengan fungsi belahan otak kanan maupun kiri.24 Otak kanan berpikir
dengan pola merasakan-berbuat-analisa (feeling-action-analisis), sedangkan otak kiri dengan urutan analisa-berbuat-merasakan (analisis-action-feeling). Gagne and Briggs menegaskan seseorang diklasifikasikan sebagai individu dengan gaya berpikir divergen atau konvergen berdasarkan performansi yang dirujukkan dalam mengerjakan suatu tugas atau tes tertentu, kuat lemahnya kecenderungan itu dapat dilihat dari proses bagaimana individu
menangani situasi lainnya.25 Good and Brophy menyebutkan gaya berpikir
dapat diidentifikasi dari dimensi-dimensi yang tercakup di dalamnya, yaitu; (1) perhatian terhadap ciri global dari stimuli versus detail; (2) diskriminasi (perbedaan) stimuli ke dalam kategori kecil (sempit); (3) kecenderungan mengklasifikasi unsur-unsur karakteristik yang teramati versus kesamaan fungsi atau waktu dan tempat versus atribut abstrak yang dimilikinya; (4)
22Thomas L. Good, and Jere E. Brophy, Educational Psychology, (New York: Longman, 1990), p. 610.
23Anita Woolfolk, Educational Psychology…, pp. 128-129.
24Dorothy Lehmkuhl, and Dolores Cotter Lamping, Organizing for The Creative
Person, (New York: Crown Trade Paperback, 1995), pp. 28-31.
25Robert M. Gagne, and Leslie J. Briggs, Principle of Instructional Design, 4th edition, (New York: Holt Rinehart and Winston, 1992), p. 188.
berperilaku cepat, impulsif versus lambat, seksama dalam menghadapi masalah; (5) berpikir inisiatif, induktif versus logik, deduktif, dan; (6) cenderung menentukan struktur dengan ciri-ciri khusus dari stimuli yang
dipengaruhi oleh konteks atau sumber lain.26 Demikian pula Sternberg
dalam Hasanuddin mendefinisikan gaya berpikir adalah kecenderungan atau cara seseorang menggunakan intelek untuk mendapatkan ketenangan
apabila menghadapi sesuatu situasi atau melakukan suatu pekerjaan.27
Sternberg mengemukakan bahwa ada 5 dimensi gaya berpikir, yaitu: fungsi, bentuk, tahapan, batasan, dan kecenderungan dengan 13 indikator gaya berpikir yaitu; legislatif, eksekutif, judisial, monarki, hirarki, oligarki, anarki, global, lokal, liberal, konservatif, internal dan eksternal.
Berangkat dari serangkaian pandangan dan penilaian yang dikemukakan para ahli di atas, maka yang dimaksud gaya berpikir pada penelitian adalah tentang bagaimana dosen memproses informasi dan memecahkan masalah berkenaan dengan fungsinya belahan otak kanan dan belahan otak kiri sehingga menjadi kesatuan akal yang harmonis pertumbuhannya.
b. Gaya Berpikir Divergen
Gaya berpikir divergen menurut Crowl, Kaminski dan Podell adalah pola berpikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsi belahan otak kanan, berpikir lateral menyangkut pemikiran sekitar atau menyintuh
pokok persoalan.28 Menurut DePorter dan Hernacki cara berpikir otak
kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik.29 Menurut Semiawanm belahan otak kanan lebih mengutamakan respon yang terkait dengan persepsi holistik, imaginative, kreatif, dan bisosiatif.30 Fungsi belahan otak kanan ditandai dengan berbagai ide atau berbagai alternatif kemungkinan jawaban (divergen), yang telah dikaji menghasilkan jawaban yang paling benar.
Demikian juga Atkinson dan Hilgard belahan otak kanan memegang peranan khusus dalam kemampuan musik dan kemampuan artistik, dalam berkhayal dan bermimpi, dan dalam mengamati pola giometrik yang
26Thomas L. Good, and Jere E. Brophy, Educational Psychology, p. 510.
27Hasanuddin, “Profil Stail Berpikir, Stail Pengajaran, dan Stail Pembelajaran di Kalangan
Dosen dan Mahasiswa” (Studi Kasus di Universitas-Universitas Medan), Disertasi, (Malaysia: Universitas Kebangsaan Malaysia, (2009), p. 9.
28Thomask Crowl, Sally Kaminski, and David M. Podell, Educational Psychology…, p. 193.,
29Bobbi DePorter, & Mike Hernacki, Quantum Learning, terjemahan Alawiyah Abdurrahman, (Bandung: Kaifa, 2002), p. 38.
rumit.31 Persepsinya holistik (menyeluruh) dan efektif, khususnya mengenai tugas yang membutuhkan visualisasi mengenai hubungan. Belahan otak kanan juga memperlihatkan lebih banyak emosi dan impulsif. Oleh karena itu, individu yang luar biasa sifat holistiknya, musikal, intuitif, dan impulsif mempunyai kelebihan yang seimbang pada belahan otak kanannya. Rahmat orang kreatif ditandai dengan pola berpikir divergen, yakni mencoba menghasilkan sejumlah kemungkinan
jawaban.32 Divergen erat kaitannya dengan kreativitas.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya berpikir divergen adalah pola berpikir seseorang yang lebih didominasi oleh berfungsinya belahan otak kanan, berpikir lateral dan menyintuh pokok persoalan. Berpikir divergen adalah berpikir kreatif, yakni memberikan macam-macam kemungkinan jawaban atau pemecahan masalah berdasarkan informasi yang diberikan dan mencetuskan banyak gagasan terhadap suatu persoalan mencoba menghasilkan sejumlah kemungkinan jawaban atau pemecahan masalah.
c. Gaya Berpikir Konvergen
DePorter & Hernacki menjelaskan cara berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linier, rasional dan sangat teratur serta mampu
melakukan penafsiran abstrak dan simbolis.33 Lebih lanjut, Semiawan
menyebutkan belahan otak kiri terutama bertugas untuk menangkap persepsi kognitif serta berpikir secara linier, logis, teratur, dan literal. Belahan otak kiri terutama ditandai oleh fungsi konvergen yang mengacu
kepada satu jawaban benar.34 Sementara Atkinson dan Hilgard
menjelaskan Fungsi belahan otak kiri mengendalikan ucapan membaca,
menulis, dan berhitung.35 Belahan ini bekerja dalam suatu cara yang logis
dan analitik, berfokus pada setiap rincian dan mengamati ciri-ciri individualistik dan bukan pada keseluruhan. Oleh karena itu, individu yang sangat logis, analitik, dan verbal mempunyai fungsi belahan otak kiri yang sangat efisien.
Menurut Atkinson dan Hilgard, dalam tes kecerdasan, pemikiran konvergen menghasilkan respon khusus yang ”cepat” yang seseuai dengan
31Rita L. Atkinson, Ricard C. Atkinson, dan Ernest Hilgard, Pengantar Psikologi, alih bahasa Nurjanah Taufiq dan Rukmini, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), p. 70.
32Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), p. 75.
33Bobbi DePorter, & Mike Hernacki, Quantum Learning, p. 36. 34Conny R. Semiawan, Perspektif Pendidikan…, p. 54.
35Rita L. Atkinson, Ricard C. Atkinson, dan Ernest Hilgard, Pengantar Psikologi, p. 70.
kebenaran dan fakta.36 Munandar menyebutkan berpikir konvergen ialah pemberian jawaban atau penarikan kesimpulan yang logis (penalaran) dari informasi yang diberikan, dengan penekanan pada pencapaian jawaban
tunggal yang paling tepat, atau satu-satunya jawaban yang benar.37
Dengan demikian, kecenderungan gaya berpikir konvergen secara umum dapat ditandai dengan dimilikinya karateristik: (1) vertikal, artinya bergerak secara bertahap, (2) sistematik/terstruktur, (3) logis-rasional, (4) linier, (5) konvergen terfokus pada jawaban yang paling benar, (6) mampu melaksanakan penafisran abstrak dan simbolik, (7) respon sesuai dengan kebanaran dan fakta, (8) memeintingkan struktur dan kepastian, (9) serius memandang persoalan, (10) teramalkan.
C. Deskripsi Data untuk Pengujian Hipotesis Penelitian
Strategi Pembelajaran Gaya Berpikir
Strategi Pembelajaran ΣΣΣΣBaris Metakognisi (A1) Konvensional (A2) Divergen ( B1 ) Σx s s2 9 303 33.67 2.5 6.25 9 216 24 2.69 7.25 18 519 28.83 5.57 31.08 Konvergen ( B2 ) Σx s s2 9 231 25.67 2.12 4.5 9 279 31 2.35 5.5 18 510 28.33 3.49 12.24 ΣΣΣΣKolom Σx s s2 18 534 29.67 4.69 22 18 495 27.5 4.36 18.97 36 1029 28.58 4.59 21.107
B. Pengujian Persyaratan Analisis
Data ini dianalisis dengan teknik analisis varians dua jalan dengan interaksi (ANAVA). Sebelum diadakan uji hipotesis terlebih dahulu
36Ibid., p. 439.
37Utami Munandar, Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif
dilakukan uji persyaratan analisis yang meliputi (1) pengujian normalitas
dengan menggunakan uji liliefors dan pengujian homogenitas dengan
menggunakan uji bartlett. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Rangkuman Hasil Uji Normalitas
Kelompok Data N Lh Lt Keterangan
0,05 0,01 Kelompok A1 Kelompok A2 Kelompok B1 Kelompok B2 Kelompok A1B1 Kelompok A2B1 Kelompok A1B2 Kelompok A2B2 18 18 18 18 9 9 9 9 0.1388 0.0715 0.1288 0.1491 0.1510 0.1535 0.1357 0.1364 0.20 0.20 0.20 0.20 0.271 0.271 0.271 0.271 0.32 0.32 0.32 0.32 0.45 0.45 0.45 0.45 Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Tabel di atas terlihat bahwa harga liliefors pad semua kelompok rancangan penelitian ternyata lebih kecil dari harga tabel nilai kritis pada taraf signifikan α = 0,05 Lo < Lt). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data sampel penelitian ini berasal dari populasi yang berdistribusi
normal. Pengujian homogenitas varians dilakukan dengan uji Bartlett
dengan taraf signifikansi α = 0,05. Hasil analisis uji Bartlett disajikan pada tabel berikut:
Rangkuman Hasil Uji Homogenitas
s2gab B χ2h χ2t(0,05;3) Kesimpulan
5.857 24.6083 0.2099 7.815 Homogen
Perhitungan uji homogenitas diperoleh 0.2099 sedangkan χ2
t pada taraf signifikansi α = 0,05 adalah 7.815. Angka ini menunjukkan bahwa harga χ2
h =0.2099 lebih kecil dari harga χ
2
t = 7.815. Hal ini berarti bahwa
hipotesis nol diterima. Kesimpulannya adalah populasi berdistribusi homogen.
C. Pengujian Hipotesis
Hasil analisis data dengan ANAVA disajikan pada tabel berikut:
Rangkuman Hasil Perhitungan ANAVA 2 Jalur
Sumber Varians dk JK RJK Fhitung Ftabel (JK/dk) α = 0,05 α = 0,01 Antar Kolom 1 42.25 42.25 7.19* 4,15 7,49 Antar Baris 1 2.25 2.25 0,3829 ns Interaksi AxB 1 506.25 506.25 63.515** Dalam kelompok 32 188 5.875 - - - Total 35 738.75 - - - -
Keterangan: * = signifikan, ** = sangat signifikan, ns = non signifikan Berdasarkan hasil perhitungan disajikan pada tabel ANAVA dua jalan di atas, maka berikut ini akan diuraikan masing-masing hipotesis. Uji hipotesis pertama; pada tabel ANAVA diperoleh harga Fhitung 7.19 lebih besar dari Ftabel untuk taraf signifikansi 0,05 (Fhitung = 7.19 > F(0,05) = 4,15). Sementara itu nilai Fhitung lebih kecil dari nilai Ftabel = 7,49 pada taraf signifikans 0,01 (Fhitung = 7.19 < F (0,01 = 7,49). Ini berarti Ho ditolak
dan H1 diterima. Dengan demikian, terdapat pengaruh yang signifikan
antara yang mengikuti perkuliahan dengan strategi metakognisi dengan yang mengikuti perkuliahan dengan strategi konvensional terhadap hasil kemampuan bernalar.
Uji hipotesis kedua; pada table ANAVA diperoleh harga Fhitung 0.38
lebih kecil dari Ftabel untuk taraf signifikansi 0,05 (Fhitung = 0.38 < F(0,05) = 4,15). Ini berarti Ho diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, tidak terdapat pengaruh yang signifikan atau tidak ada perbedaan antara kelompok yang memiliki kecenderungan gaya berpikir divergen dan dengan kelompok yang memiliki gaya berpikir konvergen.
Uji hipotesis ketiga; pada tabel ANAVA diperoleh Fhitung 63,515
lebih besar dari Ftabel 4.15 pada taraf signifikans α = 0,05 (Fhitung 63.515 > Ftabel = 4,15 (α = 0,05) dan juga lebih besar dari Ftabel = 7,49 pada taraf signifikans α = 0,01(Fhitung 63.515 > Ftabel = 7,49 (α = 0,01). Ini membuktikan terdapat interaksi antara strategi pembelajaran dan gaya berpikir terhadap kemampuan bernalar mahasiswa.
Seterusnya perhitungan uji Tuckey Honestly Signicant Difference (HSD).
Berikut ini adalah gambaran kesimpulan hasil hitungan:
Kesimpulan Uji Tuckey HSD Kelompok
perbandingan
n k dk (k;n) qhitung
qtabel α = 0,05 α = 0,01
A1B1 dan A2B1 9 4
3;9
5.98**
2.634 3.890
A1B2 dan A2B2 9 4 3.30*
A1B1 dan A1B2 9 4 9.90**
A2B1 dan A2B2 9 4 8.66**
Keterangan: * = signifikan, ** = Sangat signifikan
Uji hipotesis keempat; berdasarkan pengujian lanjutan terhadap kemampuan bernalar kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi pembelajaran metakognisi dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi pembelajaran konvensional untuk kelompok mahasiswa yang memiliki gaya berpikir divergen (A1B1 banding A2B1), diperoleh harga Qhitung = 5.98 lebih besar
dibandingkan dengan nilai Qtabel = 2.64 pada taraf nyata α = 0,05 dan juga
lebih besar dari Qtabel = 3.89 pada taraf nyata α = 0,01. Dengan demikian,
kemampuan bernalar kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi metakognisi lebih baik dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi konvensional dengan gaya berpikir divergen.
Uji hipotesis kelima; pengujian lanjutan terhadap kemampuan bernalar mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi metakognisi untuk kelompok
mahasiswa yang berpikir konvergen (A1B2 banding A2B2), diperoleh harga
Qhitung = 3.30 lebih besar dibandingkan dengan nilai Qtabel = 2.64 pada taraf
nyata α = 0,05 dan lebih kecil dari Qtabel = 3.89 pada taraf nyata α = 0,01.
Dengan demikian, dapat disimpulkan kemampuan bernalar kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi konvensional lebih baik dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi metakognisi pada kelompok mahasiswa yang berpikir konvergen.
Uji hipotesis keenam; berdasarkan pengujian lanjutan terhadap kemampuan bernalar mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi pembelajaran metakognisi dan dengan gaya berpikir divergen lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang diberi perkuliahan dengan strategi metakognisi dengan gaya berpikir konvergen (A1B1 > A1B2 ), diperoleh harga Qhitung = 9.90 lebih besar dibandingkan dengan nilai Qtabel = 2.64 pada taraf nyata α = 0,05 dan Qtabel = 3.89 pada taraf nyata α = 0,01. Dengan demikian dapat disimpulkan kemampuan bernalar kelompok mahasiswa yang diberi perkuliahan dengan strategi metakognisi dan dengan gaya berpikir divergen lebih baik dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang diberi perkuliahan dengan strategi metakognisi dengan gaya berpikir konvergen.
Uji hipotesis ketujuh; berdasarkan pengujian lanjutan terdapat perbedaan skor kemampuan bernalar antara mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi pembelajaran konvensional dan dengan gaya berpikir konvergan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang diberi perkuliahan dengan strategi konvensional dengan gaya berpikir konvergen (A2B1 < A2B2), diperoleh harga Qhitung = 8.66 lebih besar dibandingkan dengan nilai Qtabel = 2.64 pada taraf nyata α =
0,05 dan Qtabel = 3.89 pada taraf nyata α = 0,01. Dengan demikian dapat
disimpulkan kemampuan bernalar kelompok mahasiswa yang diberi perkuliahan dengan strategi konvensional dan dengan gaya berpikir
konvergen lebih baik dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang diberi perkuliahan dengan strategi konvensional dengan gaya berpikir divergen.
D. Analisis
Melalui analisis deskriptif diperoleh skor rata-rata kemampuan bernalar mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi pembelajaran metakognisi berbeda dengan skor yang dihasilkan oleh mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan strategi pembelajaran konvensional yaitu masing-masing 29.6 dan 27.5. Dilihat dari besarnya rata-rata skor yang dihasilkan oleh kedua strategi pembelajaran itu, maka dapat dikatakan bahwa dengan strategi pembelajaran metakognisi menghasilkan skor kemampuan bernalar yang lebih tinggi dibandingkan dengan strategi pembelajaran konvensional. Dengan demikian, secara keseluruhan strategi pembelajaran metakognisi jauh lebih efektif dari strategi pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa, khususnya yang menjadi subyek dalam penelitian ini.
Besarnya standar deviasi yang dihasilkan oleh strategi pembelajaran metakognisi dan strategi pembelajaran konvensional masing-masing adalah 4,691 dan 4,355. Ini dapat diartikan, bahwa skor kemampuan bernalar yang dihasilkan oleh strategi konvensional mempunyai variasi nilai yang lebih kecil dan lebih terpusat pada nilai-nilai yang relatif lebih besar dari pada variasi nilai yang dihasilkan oleh strategi metakognisi. Untuk itu dikatakan bahwa skor yang dihasilkan oleh strategi pembelajaran metakognisi lebih stabil dibandingkan dengan skor kemampuan bernalar yang dihasilkan oleh strategi pembelajaran konvensional.
Pada kelompok yang memiliki gaya berpikir divergen, melalui pendekatan statistik deskriptif memberikan perbedaan rata-rata skor kemampuan bernalar antara kelompok mahasiswa yang diberi perkuliahan dengan strategi pembelajaran metakognisi dengan kelompok mahasiswa yang diberi perkuliahan dengan strategi pembelajaran konvensional. Besarnya rata-rata skor itu ialah 33,666 dan 25,666. Hasil pengujian hipotesis memperkuat adanya perbedaan itu, yakni dihasilkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan kemampuan bernalar mahasiswa yang diberikan perkuliahan dengan strategi pembelajaran metakognisi dan mahasiswa yang diberikan perkuliahan konvensional. Dengan fakta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa strategi pembelajaran metakognisi lebih baik dibandingkan dengan strategi pembelajaran
konvensional dalam meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa dengan menggunakan gaya berpikir divergen.
Hal yang berbeda ditunjukkan pada kelompok yang menggunakan gaya berpikir konvergen, di mana skor kemampuan bernalar mahasiswa yang diberi perkuliahan dengan strategi pembelajaran konvensional lebih tinggi dari pada strategi pembelajaran metakognisi, yaitu masing-masing 31 dan 25.666. Perbedaan kedua rata-rata skor ini dibuktikan oleh hasil pengujian inferensial, yang menghasilkan perbedaan yang sangat signifikan. Hasil tersebut merepresentasikan keefektifan strategi pembelajaran konvensional dibandingkan dengan metakognisi.
Hal serupa terlihat dari interaksi antara strategi pembelajaran yang digunakan dengan gaya berpikir dalam meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa, ditunjukkan oleh hasil pengujian hipotesis di mana
diputuskan menolak Ho pada taraf signifikan α = 0,01 yang berarti
terdapat pengaruh yang signifikan dari interaksi antara strategi pembelajaran dengan gaya berpikir terhadap kemampuan bernalar mahasiswa. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pengelompokan mahasiswa berdasarkan gaya berpikir memberi efek ataupun pengaruh yang berarti terhadap efektifitas strategi pembelajaran metakognisi maupun strategi pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa dalam penelitian ini.
Seluruh hasil analisis yang telah diuraikan, baik dengan analisis deskriptif maupun dengan analisis inferensial sangat beralasan untuk mengatakan bahwa penggunaan strategi pembelajaran metakognisi lebih
efektif dalam meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa
dibandingkan dengan penggunaan strategi pembelajaran konvensional.
E. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: pertama, secara keseluruhan strategi pembelajaran metakognisi lebih baik dibandingkan strategi pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan bernalar. Kedua, secara keseluruhan untuk meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa yang memiliki gaya berpikir divergen adalah melalui penerapan strategi pembelajaran metakognisi.
Ketiga, secara keseluruhan untuk meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa yang memiliki gaya berpikir konvergen dapat dilakukan dengan mempergunakan strategi pembelajaran konvensional. Keempat, secara keseluruhan terdapat interaksi antara strategi pembelajaran dan gaya berpikir terhadap kemampuan bernalar. Hal ini
dapat dibuktikan dengan terdapatnya (1) hasil kemampuan bernalar kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan strategi pembelajaran metakognisi dengan gaya berpikir divergen lebih baik dibandingkan hasil kemampuan bernalar kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan strategi pembelajaran metakognisi dengan gaya berpikir konvergen, dan (2) hasil kemampuan bernalar kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan strategi pembelajaran konvensional dengan gaya berpikir divergen lebih rendah dibandingkan dengan hasil kemampuan bernalar kelompok mahasiswa yang mengikuti perkuliahan strategi pembelajaran konvensional dengan gaya berpikir konvergen.
Namun demikian, implikasi yang ditimbulkan antara lain: Pertama,
kemampuan bernalar mahasiswa tidak datang begitu saja, perlu adanya latihan yang terus menerus untuk menjadikan seseorang mahasiswa dapat mampu bernalar. Kemampuan bernalar adalah kemampuan seseorang mengolah pikiran atau menggunakan otak yang dimilikinya, otak dan otot memiliki karakter yang sama, ia membutuhkan latihan untuk dapat dibiasakan dalam melaksanakan, mengerjakan, dan berbuat sesuatu. Untuk melatih dan mengolah kemampuan bernalar mahasiswa diperlukan sebuah strategi pembelajaran yang efektif dan tepat guna, maka dalam hal ini strategi pembelajaran metakognisi merupakan strategi pembelajaran yang efektif dan tepat.
Dalam tulisan ini, strategi pembelajaran metakognisi memberikan hasil kemampuan bernalar yang lebih baik dari pada penerapan strategi konvensional. Dalam berbagai mata kuliah membutuhkan kemampuan bernalar, mahasiswa mendapatkan kesempatan yang lebih banyak untuk memahami masalah, berpikir kritis dan berpikir kreatif.
Oleh karena itu, dosen harus menyadari akan pentingnya strategi pembelajaran metakognisi sebagai suatu cara meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa. Ranjibary menjelaskan bahwa penggunaan strategi pembelajaran metakognisi akan memberi manfaat terhadap siswa dan guru dalam menciptakan cara belajar, dan menggunakan strategi pembelajaran metakognisi dapat meningkatkan tanggungjawab, efektivitas, dan kemandirian siswa.
Kedua, strategi pembelajaran metakognisi dan gaya berpikir mempunyai arti penting dalam menumbuhkan kemampuan bernalar terutama dalam memahami, memecahkan masalah, membuatkan kesimpulan, dan mencari jawaban akan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti bahwa gaya berpikir divergen lebih baik untuk mata kuliah yang penulis teliti dengan menggunakan strategi metakognisi. Dengan gaya berpikir divergen, mahasiswa memperoleh (1) jawaban yang
maksimal, (2) berpikir lebih mendalam, dan (3) berpikir kritis dan kreatif. Dengan demikian wajarlah mahasiswa yang berpikir divergen memperoleh hasil penalaran lebih baik dibanding mahasiswa yang berpikir konvergen.
Ketiga, dalam tulisan ini ditemukan bahwa terdapat interaksi antara strategi pembelajaran dengan gaya berpikir dan Pengaruhnya terhadap kemampuan bernalar. Temuan ini memberikan petunjuk bahwa gaya berpikir dapat dipergunakan untuk mendorong mahasiswa berpikir lebih maksimal dalam pembelajaran yang membutuhkan jawaban penalaran.
Strategi pembelajaran metakognisi dengan strategi pembelajaran konvensional terdapat hasil yang berlawanan dalam memberikan konstribusi pemikiran dalam perkuliahan. Penerapan strategi pembelajaran metakognisi dalam perkuliahan dilaksanakan kepada semua mahasiswa tanpa mempertimbangkan bentuk gaya berpikir masing-masing mahasiswa merupakan keputusan yang tidak tepat. Keputusan yang tepat adalah dalam meningkatkan hasil kemampuan bernalar dalam perkuliahan dengan gaya berpikir yang tepat menjadi pertimbangan dalam penerapan strategi pembelajaran. Jika mahasiswa gaya berpikir divergen, maka strategi pembelajaran metakognisi yang lebih dapat untuk meningkatkan hasil kemampuan bernalar perkuliahan. Jika mahasiswa gaya berpikir konvergen, maka penerapan strategi pembelajaran konvesional yang lebih dapat meningkatkan hasil kemampuan bernalar.
Daftar Pustaka
Anderson, Lorin W., et al., Taxonomy for Learning Teaching and Assessing; A
Revision of Bloom’s Taxonomy of Education Objectives, New York:
Addison Wesley Longman, Inc., 2001.
Atkinson, Rita L., Ricard C. Atkinson, dan Ernest Hilgard, Pengantar
Psikologi, Alih bahasa Nurjanah Taufiq dan Rukmini, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1996.
Brandes, Donna, Ginnis, Paul, A Guide to Student-Centered Learning, Oxford:
Donna Brendes dan Pau Ginnis, 1986.
Burden, Paul R. dan David M. Byrd, Effective Teaching, Boston: Allyn and Bacon, 1999.
Crowl, Thomask, Kaminski, Sally, and David M. Podell, Educational
Psychology: Windows on Teaching, Dubuque IA: Times Mirror Higher
Education Group Inc., 1997.
DePorter, Bobbi, & Mike Hernacki, Quantum Learning, terj. Alawiyah Abdurrahman, Bandung: Kaifa, 2002.
Dick, Walter and Lou Corey, The Systematic Design of Instruction (4th Edition), New York: Harper Collins College Publishers, 1996.
Gagne, Robert M. and Leslie J. Briggs, Principle of Instructional Design, 4th edition, New York: Holt Rinehart and Winston, 1992.
Gagnon, Jr., George W., and Michelle Collay, Designing for Learning Six
Elements In Constructivist Classroom, Thousand Oaks, California: Corwi
Press, Inc., 2001..
Good, Thomas L., and Jere E. Brophy, Educational Psychology, New York:
Longman, 1990.
Hasanuddin, “Profil Stail Berpikir, Stail Pengajaran, dan Stail Pembelajaran di
Kalangan Dosen dan Mahasiswa” (Studi Kasus di
Universitas-Universitas Medan), Disertasi, Malaysia: Universitas Kebangsaan
Malaysia, 2009.
Kaune, Christa, Menebar Virus Pemebalajaran Matematika yang Bermutu,
http://rumah-matematika.blogsport.com/2008/07/menebar-virus pembelajaran-matematika.html.
Kellough, Richard D., A Resource Guide for Teaching: K-12, New York: Macmillan Publishing Company, 1994.
Kemp, Jerrold E., The Instructional Design Process, New York: Harper & Row, Publisher, Inc., 1985.
Lehmkuhl, Dorothy, and Dolores Cotter Lamping, Organizing for The
Creative Person, New York: Crown Trade Paperback, 1995.
Munandar, Utami, Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi
Kreatif dan Bakat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999.
Reigeluth, Charles M. (ed.), Instructional Design, Theories and Models: An
Overview of Their Current Status, Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates Publishers, 1999.
Santrock, John W., Education Psychology (2nd Edition), New York:
MCGraw-Hill Company, 2004.
Seels, Barbara B., dan Rita C. Richey, Instructional Technology: The definition
and Domain of the Field, Washington, DC, Publication Sales
Department, Association for Educational Communications and Technology, 1994.
Semiawan, Conny R., Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1997.
Sternberg, J.R., Cognitive Psychology (4th ed.), Belmont, California: Thomson Wadsworth, 2006.
Suharnan, Psikologi Kognitif, Surabaya: Penerbit Srikandi, 2005.
Woolfolk, Anita, Educational Psychology (9th edition), Boston: Pearson, 2004.