• Tidak ada hasil yang ditemukan

d. Apabila dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah NJOP PBB, maka cara perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "d. Apabila dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah NJOP PBB, maka cara perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut:"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

penyaluran tahap III dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah dicairkan selama tahap I dan II.

2. Perhitungan dana bagi Hasil bPHTb

a. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan obyek Pajak (NPoP). NPoP dapat berupa harga transaksi atau nilai pasar obyek pajak. Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Nilai pasar obyek pajak adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.

b. Harga transaksi digunakan untuk obyek pajak karena jual beli dan penunjukkan pembeli dalam lelang. Sedangkan nilai pasar obyek pajak digunakan dalam hal tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, pemisahan hak, perolehan hak karena putusan hakim, dan pemberian hak baru.

c. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara menaikkan tarif pajak dengan Nilai Perolehan obyek Pajak Kena Pajak (NPoPKP). NPoPKP adalah NJoP dikurang dengan NPoPTKP. Sehingga cara penghitungan pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

BPHTB terutang = NPOPKP x tarif

= (NPoP -NPoPTKP) x Tarif

= (NPoP -Rp. 30.000.000,00) x 5 %

d. Apabila dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah NJoP PBB, maka cara perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut:

BPHTB terutang = (NJOP PBB -Rp. 30.000.000,00) x 5%.

e. Besarnya NPoPTKP tersebut dapat diubah dengan peraturan pemerintah, dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan.

(2)

3.2.1.4. Dbh Cukai haSil tembakau (Dbh Cht)

DBH CHT merupakan amanat Pasal 66A undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 yang bersumber dari penerimaan cukai hasil tembakau yang diproduksi dalam negeri yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen). Dalam pengelolaan dan penggunaannya, gubernur menetapkan pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya. Pembagian DBH CHT dilakukan dengan persetujuan menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.

Dalam pelaksanaannya, gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing daerah. Adapun penggunaan DBH CHT diarahkan untuk mendanai kegiatan. undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tersebut juga mengamanatkan penggunaan DBH CHT kedalam 5 (lima) kelompok kegiatan utama, yaitu (1) Peningkatan bahan baku industri hasil tembakau, (2) Pembinaan industri hasil tembakau, (3) Pembinaan lingkungan sosial, (4) Sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan (5) Pemberantasan barang kena cukai ilegal. untuk menjabarkan lima kegiatan utama menjadi rincian kegiatan, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No 84/PMK.07/2008 sebagai berikut:

1) Peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau, yang meliputi: a) Standardisasi kualitas bahan baku;

b) Pembudidayaan bahan baku dengan kadar nikotin rendah;

c) Pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan metode pengujian;

d) Penanganan panen dan pascapanen bahan baku; dan/atau

(3)

2) Pembinaan industri hasil tembakau, yang meliputi:

a) Pendataan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (registrasi mesin/ peralatan mesin) dan memberikan tanda khusus;

(i) Jumlah mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau di setiap pabrik atau tempat lainnya;

(ii) Identitas mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (merek, tipe, kapasitas, asal negara pembuat);

(iii) Identitas kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau; dan

(iv) Perpindahan kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau.

b) Penerapan ketentuan terkait Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI); c) Pembentukan kawasan industri hasil tembakau;

d) Pemetaan industri hasil tembakau berupa kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan industri hasil tembakau di suatu daerah, meliputi : (i) Nama pabrik, Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC),

dan nomor izin usaha industri;

(ii) lokasi/alamat pabrik (jalan/desa, kota/kabupaten, dan provinsi); (iii) Realisasi produksi;

(iv) Jumlah tenaga kerja linting/ giling, tenaga kerja pengemasan, dan tenaga kerja lainnya;

(v) Realisasi pembayaran cukai; (vi) Wilayah pemasaran;

(vii) Jumlah, merek, tipe, dan kapasitas mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau;

(4)

f) Kemitraan usaha Kecil Menengah (uKM) dan usaha besar dalam pengadaan bahan baku;

g) Penguatan kelembagaan asosiasi industri hasil tembakau; dan/atau h) Pengembangan industri hasil tembakau dengan kadar tar dan nikotin rendah

melalui penerapan Good Manufacturing Practices (gMP).

3) Pembinaan lingkungan sosial, meliputi :

a) Pembinaan kemampuan dan ketrampilan kerja masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau;

b) Penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada Analisis Dampak lingkungan (AMDAl);

c) Penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum; dan/ atau

d) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok.

4) Sosialisasi ketentuan di bidang cukai berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai merupakan kegiatan menyampaikan ketentuan di bidang cukai kepada masyarakat yang bertujuan agar masyarakat mengetahui, memahami, dan mematuhi ketentuan di bidang cukai yang dilaksanakan dalam periode tertentu dan/atau secara insidentil.

5) Pemberantasan barang kena cukai ilegal, meliputi:

a) Pengumpulan informasi hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu di peredaran atau tempat penjualan eceran;

b) Pengumpulan informasi hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai di peredaran atau tempat penjualan eceran; dan

c) Pengumpulan informasi barang kena cukai berupa etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol yang ilegal di peredaran atau tempat penjualan

(5)

d) Apabila dalam pelaksanaan kegiatan pengumpulan informasi ditemukan indikasi adanya hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu, hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai, atau etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol yang ilegal di peredaran atau tempat penjualan eceran, gubernur/ bupati/walikota menyampaikan informasi secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Setelah mengevaluasi pelaksanaan ketentuan penggunaan DBH CHT tahun 2008 khususnya mengenai penggunaan DBH CHT, dan dengan mempertimbangkan usulan dari daerah, serta dalam rangka membantu program pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran maka ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 khususnya Pasal 1, Pasal; 3, Pasal 6 , Pasal 7, dan Pasal 9 disempurnakan melalui penetapan PMK Nomor 20/PMK.07/2009. Dalam PMK ini ditetapkan pemambahan 2(dua) butir kegiatan yang cukup memperluas penggunaan DBH CHT yaitu:

Butir e : Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja industri hasul tembakau, dan/atau

Butir f : Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi.

Keberhasilan pemanfaat DBH CHT sebagaimana diatur dalam PMK No 84/ PMK.07/2008 dan PMK No 20/PMK.07/2009 adalah tergantung dari bagaimana para gubernur/bupati/walikota menjabarkan lebih lanjut kegiatan-kegiatan penggunaan DBH CHT sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Penjabaran tersebut seyogyanya dituangkan dalam peraturan gubernur/Bupati/ Walikota yang

(6)

masing-1. What – kegiatan apa : Nama kegiatan yang akan didanai dari DBH CHT;

2. Which – kegiatan yang mana : Penjelasan kaitannya dengan salah satu kegiatan yang mana dari PMK No 84/PMK.07/2008 dan PMK No 20/PMK.07/2009

3. Why – mengapa perlu kegiatan tersebut : Penjelasan alasan perlunya, maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut bagaimana cara melaksanakannya, dilengkapi dengan data dan gambaran kasus-kasus yang telah terjadi sehingga mendorong perlunya solusi melalui kegiatan tersebut;

4. Who – siapa yang melaksanakan : penjelasan mengenai pelaksanan kegiatan antara lain SKPD, unit dibawah SKPD yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.

5. Whom – siapa penerima manfaat : penjelasan mengenai masyarakat yang akan menerima manfaat dari keluaran

6. Where – lokasi kegiatan : Penjelasan mengenai dimana kegiatan dilaksanakan dan dimana keluaran (output) kegiatan akan berada.

7. When – waktu kegiatan : penjelasan mengenai waktu mulai dan waktu selesai pelaksanaan kegiatan (lamanya), dengan tabel penjadualan pelaksanaan kegiatan rinci dan jelas.

8. How – bagaimana cara melaksanakannya : Penjelasan mengenai cara-cara mencapai keluaran, misalnya melaui proses pengadaan, melalui pengerahan tenaga kerja (padat karya), melalui koperasi dan sebagainya;

9. How much –berapa harga kegiatan : Penjelasan mengenai sumber dana dan besaran dana yang diperlukan, pengembangan dari butir how much ini adalah Rincian Anggaran Biaya (RAB).

(7)

3.2.2. dANA bAGi HAsil sUmbER dAYA AlAm

DBH SDA adalah dana yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam APBN yang dibagihasilkan kepada daerah dengan angka persentase tertentu didasarkan atas daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

DBH Sumber Daya Alam berasal dari penerimaan: a. Pertambangan Minyak Bumi;

b. Pertambangan gas Bumi; c. Pertambangan umum; d. Pertambangan Panas Bumi; e. Kehutanan; dan

f. Perikanan.

(8)

gambar 3.1 Skema Bagi Hasil SDA

Sumber: undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

Beberapa hal baru yang diatur dan ditegaskan dalam hal DBH Sumber Daya Alam oleh undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:

1) Adanya penambahan obyek dana bagi hasil sumber daya alam, yaitu:

Dana Reboisasi (sebelumnya DAK-DR). Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal dari kehutanan yakni semula Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH Dana Reboisasi (DBH-DR) SDA Panas Bumi.

(9)

2) Adanya penegasan mekanisme, yakni:

Penetapan alokasi dana bagi hasil sumber daya alam dilakukan berdasarkan daerah penghasil, dan dasar perhitungan.

Jadwal penetapan.

Penyaluran DBH SDA dilakukan secara triwulanan.

3) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan pertambangan minyak bumi kepada daerah yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 84,5%. Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 15,5%.

4) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan gas bumi kepada daerah yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 69,5%. Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 30,5%.

5) Tambahan DBH dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi untuk daerah sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar dan dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009.

Adapun pembagian porsi tambahan tersebut dibagikan dengan perincian: untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 0,1%.

untuk kabupaten/kota penghasil 0,2%; dan • • • • • • • – –

(10)

6) Realisasi penyaluran DBH dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan; dan apabila melebihi 130%, penyalurannya dilakukan melalui mekanisme formula DAu.

3.2.2.1. Dbh SDa Pertambangan minyak Dan gaS bumi (Dbh SDa migaS)

1. Pola Pembagian dana bagi Hasil migas

Dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan dimaksud diperlukan kegiatan-kegiatan yang meliputi penyusunan rencana (perkiraan) dan realisasi di bidang Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) Migas dari hasil kegiatan KKKS.

Terkait dengan perhitungan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan selanjutnya menghitung perkiraan alokasi maupun realisasi DBH SDA Migas sebagai dasar penyaluran DBH SDA Migas per provinsi/ kabupaten/kota.

Porsi pembagian DBH SDA Migas menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan adalah sebagai berikut :

a. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan minyak bumi dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :

3,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 6,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan

6,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang •

• •

(11)

b. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan minyak bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :

5,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan

10,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

gambar 3.2

Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi

c. DBH SDA gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan gas Bumi dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :

6,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 12,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan

12,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang •

• • •

(12)

d. DBH SDA gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan gas Bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai berikut :

10,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan

20,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

gambar 3.3

Porsi Pembagian DBH SDA gas Bumi

e. Pengecualian untuk Daerah otonomi Khusus yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua Barat, selain mendapatkan DBH Migas, daerah otonomi khusus tersebut mendapatkan tambahan DBH Migas yang merupakan bagian dari penerimaan pemerintah provinsi dengan ketentuan sebagai berikut :

Bagian dari pertambangan Minyak Bumi sebesar 55%; dan Bagian dari pertambangan gas Bumi sebesar 40%.

• •

• •

(13)

2. Penyusunan Perkiraan dbH sdA migas a. mekanisme Penyusunan

Perkiraan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota yang dihitung oleh Ditjen Perimbangan Keuangan selanjutnya akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil SDA Migas. Data-data yang digunakan sebagai dasar perhitungan perkiraan dan mekanisme perhitungannya sebagai berikut :

1) Data

a) Prognosa lifting per daerah penghasil berdasarkan Surat Keputusan Menteri

ESDM tentang Penetapan Daerah Penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas;

b) Surat Dirjen Anggaran-Kementerian Keuangan tentang Perkiraan PNBP Migas per KKKS.

2) Mekanisme

a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping KKKS berdasarkan data

Prognosa lifting dalam Surat Keputusan Menteri ESDM tentang penetapan

daerah penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data perkiraan PNBP per KKKS yang disampaikan Ditjen Anggaran. lifting yang tersusun perdaerah penghasil per KKKS pada data Ditjen migas dikonsolidasi dengan data lifting per KKKS

dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan data lifting per KKKS per daerah penghasil;

b) Data lifting per KKKS per daerah penghasil hasil grouping tersebut di

persentase-kan dengan total lifting per KKKS sehingga didapat rasio lifting

per KKKS per daerah penghasil. Rasio lifting dimaksud untuk mengetahui

(14)

tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS per daerah penghasil;

d) PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil;

e) PNBP per daerah penghasil dihitung porsi DBH-nya untuk bagian pemerintah pusat, daerah penghasil dan daerah pemerataan berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah;

f) Porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga didapat perkiraan alokasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota untuk selanjutnya ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan.

b. Penetapan

Proses penetapan perkiraan alokasi DBH SDA Migas sebagai berikut:

1) Penetapan besaran asumsi dasar berupa prognosa lifting, kurs Rupiah terhadap Dollar, dan harga minyak Indonesia (ICP) melalui penetapan asumsi makro APBN

antara Pemerintah dengan DPR;

2) Berdasarkan asumsi tersebut Menteri ESDM menetapkan daerah penghasil dan dasar perhitungan DBH SDA Migas. Ketetapan tersebut paling lambat 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya ketetapan tersebut disampaikan ke Menteri Keuangan. Dalam hal lapangan migas tersebut berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil berdasarkan pertimbangan menteri teknis paling lambat 60 hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis. Ketetapan Menteri Dalam Negeri tersebut menjadi dasar perhitungan lifting per daerah penghasil SDA Migas

oleh Menteri ESDM.

3) Bersamaan dengan proses tersebut, BP Migas melakukan perhitungan perkiraan

Cost Recovery, Gross Revenue, First Trance Petroleoum (FTP), dan Bagian Pemerintah

per KKKS;

(15)

DMo, Fee usaha Hulu Migas, PPN, PBB sektor pertambangan Migas, PDRD). Hasil

perhitungan PNBP SDA Migas per KKKS tersebut disampaikan kepada Dirjen Perimbangan Keuangan;

5) Berdasarkan Ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran tersebut, Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas yang kemudian diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan sebagai Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas paling lambat 30 hari setelah diterimanya ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran.

Diagram proses pelaksanaannya sebagai berikut: gambar3.4

Mekanisme Penetapan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas

3. Penyusunan Realisasi dbH sdA migas

(16)

Penghitungan realisasi DBH SDA Migas dilakukan setiap triwulan;

Dana yang dibagihasilkan adalah penerimaan negara dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan;

Mekanisme perhitungan realisasi DBH SDA Migas hampir sama dengan penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas, yang membedakannya adalah data yang dirasiokan yakni data Realisasi Gross Revenue, sedangkan pada

mekanisme penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas yang digunakan adalah data prognosa lifting. Hal ini dikarenakan Realisasi gross Revenue

sudah berbentuk satuan mata uang, sehingga perhitungan yang dihasilkan dianggap lebih mendekati dibanding jika menggunakan realisasi lifting;

Data yang disajikan baik oleh Ditjen Migas maupun Ditjen Anggaran dalam mekanisme penghitungan realisasi DBH SDA Migas ini merupakan kumulatif triwulanan, sehingga dikenal data realisasi triwulan I, realisasi s.d. triwulan II, realisasi s.d. triwulan III dan realisasi s.d. triwulan IV.

Data-data yang digunakan sebagai dasar penghitungan dan mekanisme penghitungan realisasi DBH SDA Migas adalah sebagai berikut :

1) Data

a) Realisasi lifting per daerah penghasil per KKKS berdasarkan berita acara

rekonsiliasi lifting yang disampaikan oleh Ditjen Migas;

b) Perkiraan Realisasi PNBP per KKKS yang disampaikan oleh Ditjen Anggaran. 2) Mekanisme

a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping KKKS berdasarkan data Realisasi Gross Revenue yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data

perkiraan realisasi PNBP per KKKS yang disampaikan Ditjen Anggaran. Gross Revenue yang tersusun per daerah penghasil per KKKS pada data Ditjen

migas dielaborasi dengan data Gross Revenue per KKKS dari Ditjen Anggaran

1. 2.

3.

(17)

b) Data Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil hasil grouping tersebut di

persentase-kan dengan total Gross Revenue per KKKS sehingga didapat rasio Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil. Rasio Gross Revenue dimaksud

untuk mengetahui porsi Gross Revenue yang dihasilkan KKKS pada daerah

penghasil tertentu;

c) Rasio Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil tersebut dikalikan dengan

PNBP per KKKS (sebagaimana yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS per daerah penghasil;

d) PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil;

e) Dihitung porsi DBH-nya dari PNBP per daerah penghasil untuk bagian pemerintah pusat, daerah penghasil dan daerah pemerataan berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah;

f) Porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga didapat realisasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota untuk selanjutnya disalurkan ke tiap-tiap daerah;

g) Sebelum disalurkan, realisasi DBH SDA Migas dikurangi terlebih dahulu dengan kelebihan salur tahun sebelumnya dan total DBH SDA Migas yang telah disalurkan pada triwulan sebelumnya pada tahun anggaran berjalan.

(18)

Diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut: gambar 3.5

Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas

b. Penyaluran

Setelah diketahui hasil perhitungan DBH SDA Migas yang akan disalurkan ke masing-masing provinsi/kabupaten/kota, maka dilakukan proses rekonsiliasi data antara pemerintah pusat (yang diwakili oleh BP Migas, Kemendagri, Ditjen Migas, Ditjen Anggaran, Ditjen Pajak dan Ditjen Perimbangan Keuangan) dengan daerah penghasil. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa perhitungan realisasi DBH SDA dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah penghasil. Hasil rekonsiliasi dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi yang kemudian menjadi dasar penyaluran DBH SDA Migas ke rekening umum kas provinsi/kabupaten/kota

(19)

Proses penyaluran DBH SDA Migas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Di awal tahun:

a) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan perkiraan Alokasi DBH SDA Migas, Dirjen Perimbangan Keuangan mengajukan Surat Permintaan Penerbitan DIPA Migas ke Dirjen Perbendaharaan;

b) Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharaan menerbitkan DIPA Migas untuk satu tahun anggaran.

2) Setiap triwulan penyaluran:

a) Berdasarkan DIPA dan Berita Acara Rekonsiliasi, Direktur Dana Perimbangan-Ditjen Perimbangan Keuangan mengajukan SPM Migas ke Perimbangan-Ditjen Perbendaharaan;

b) Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN-Ditjen Perbendaharaan menerbitkan SP2D;

c) Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari Rekening Kas Negara ke Rekening Kas pemda provinsi/kabupaten/kota.

Format Penyaluran DBH SDA Migas sudah mengalami beberapa perubahan sejalan dengan kebijakan Dirjen Perimbangan Keuangan. Penyaluran DBH Migas mulai dari tahun 2008 dilakukan secara triwulan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Penyaluran DBH Migas triwulan I dan triwulan II masing-masing dilaksanakan sebesar 20% dari pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. DBH SDA Migas triwulan I disalurkan pada bulan Maret dan triwulan II pada bulan Juni;

b. Penyaluran DBH Migas triwulan III memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas Desember s.d. Mei dikurangi penyaluran triwulan I dan triwulan II. DBH SDA Migas triwulan III disalurkan pada bulan September;

(20)

c. Penyaluran DBH Migas triwulan IV memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas Desember s.d. Agustus dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan III. DBH SDA Migas triwulan IV disalurkan pada bulan Desember;

d. Penyaluran DBH Migas rampung (Triwulan V) memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas Desember s.d. November (satu tahun anggaran) dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan IV dengan batas maksimal sebesar pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sisa rampung DBH SDA Migas tersebut disalurkan pada bulan Februari tahun anggaran berikutnya; e. Apabila penyaluran DBH SDA Migas terdapat kekurangan yakni pemerintah kurang

bayar, maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN dan/atau APBN-P tahun berikutnya;

f. Realisasi penyaluran DBH SDA Migas tidak boleh melebihi 130% dari asumsi dasar harga Minyak dan gas Bumi dalam APBN. Apabila melebihi maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan.

Adapun diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut: gambar 3.6

(21)

gambar 3.7

Penyaluran DBH SDA Migas

4. mekanisme Counter balance dana Penyaluran dbH migas

4.1. Prinsip dbH

Prinsip DBH secara umum meliputi : (1) harus ada PNBP-nya, (3) besarannya adalah persentase tertentu dari PNBP (migas 84,5% pusat, 15,5% daerah); (3) alokasinya dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP dalam satu tahun – dalam hal migas perkiraan tersebut sangat tergantung dari asumsi jumlah lifting, harga ICP, serta kurs Rp thd uS$ dalam APBN; (4) penyalurannya kepada daerah berdasarkan realisasi PNBP dalam satu tahun – dalam hal DBH Migas, waktu satu tahun tersebut dimulai dari Desember suatu tahun sampai November tahun berikutnya (tetap 12 bulan).

(22)

4.2. Waktu Perhitungan realisasi PNbP/dbH migas.

Penetapan segmen waktu tersebut semula dimaksudkan agar alokasi DBH SDA seluruhnya dapat tersalur ke daerah pada akhir tahun anggaran. Realisasi PNBP dihitung mulai dari Awal Desember sampai dengan Akhir November agar hasil perhitungan PNBP tersebut dapat disalurkan DBH-nya pada bulan Desember. Namun kenyataannya sampai dengan bulan Desember pihak penyedia data PNBP Migas belum siap menyediakan data , baru kemudian pada pertengahan Februari data realisasi PNBP satu tahun dapat disediakan yang berarti sudah melewati tahun anggaran. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri dalam penyaluran DBH Migas sehingga perlu diambil kebijakan penyaluran DBH Migas pada setiap tahunnya.

4.3. Kebijakan Pengalihan sisa Anggaran ke Rekening Cadangan

Pada bulan Desember data realisasi yang tersedia hanya sampai pada bulan Agustus, idealnya (yang menjadi harapan semula) sudah sampai pada bulan November. Dengan demikian pagu anggaran DBH Migas baru akan dibebani untuk membayar realisasi migas dari Desember sampai dengan Agustus atau 9 bulan, yang berarti masih tersia pagu anggaran 3 bulan. Sisa pagu ini akan hangus setelah akhir Desember apabila tidak direalisasikan. oleh karena itu perlu diambil kebijakan untuk mengalihkan sisa anggaran tersebut ke Rekening Cadangan Menteri Keuangan (atau biasa disebut dengan Escrow Account) pada Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Pengelola Rekening Kas Negara).

Dengan kebijakan tersebut, status sisa anggaran yang ditampung di rekening cadangan sudah sebagai belanja dari rekening Kas Negara . Penyalurannya ke rekening kas daerah dilaksanakan setelah data realisasi PNBP Migas (per KKKS) diterima unit penyalur (DJPK) dan dihitung DBH-nya (per daerah). Dengan demikian realisasi PNBP Migas yang dibagikan ke daerah tetap meliputi waktu 12 bulan (misalnya Desember

(23)

2008 s/d Agustus 2009 yang disalurkan pada Desember 2009, dan September s/d November 2009 yang disalurkan pada Pertengahan Februari 2010).

Kebijakan ini akan dilakukan setiap tahun sepanjang unit penyedia data realisasi belum bisa menyediakan data selama 12 bulan pada akhir November, yang berarti terjadi selisih waktu antara realisasi dan penyaluran selama satu triwulan.

4.4. Kebijakan mekanisme Counter balance

Dari aspek pergeseran waktu penyaluran yang seharusnya selesai pada Bulan Desember menjadi bulan Februari memang jelas menunjukkan keterlambatan. Namun dari aspek jumlah bulan realisasi tetap meliputi waktu 12 bulan, yang bearti hak daerah atas DBH satu tahun tidak berkurang. Pengalihan penyaluran dari Desember menjadi Februari namun tetap berdasarkan data realisasi tahun yang bersangkutan biasa disebut dengan kebijakan Counter Balance. Sisa anggaran tersebut tetap membebani anggaran tahun lalu namun daerah mencatatn pendapatan sebagai penerimaan tahun betrikutnya (lihat skema Counter Balance)

gambar 3.8

(24)

4.5. Pola baru penyaluran dbH sdA

Sejak tahun 2008 Pemerintah melaksanakan penyaluran dana Transfer ke erah dengan pendekatan baru yang mengedepankan semangat untuk menjamin kepastian, kecepatan, akurasi, dan akuntabilitas. Semangat ini diwujudkan dengan penyaluran DBH Migas Triwulan I dan Triwulan II masing-masing 20% dari alokasi per daerah, disalurkan dalam bulan Maret dan bulan Juni . Maksud dari pola ini adalah agar daerah mendapatkan kepastian waktu dan ketepatan jumlah, tanpa menunggu perhitungan realisasi PNBP Migas. Selanjutnya Triwulan III disalurkan pada bulan September berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP yang disetor ke kas negara mulai Bulan Desember sampai dengan bulan Mei, yang datanya sudah dapat disediakan dalam bulan Agustus. Besarnya penyaluran Triwulan III adalah jumlah DBH suatu daerah berdasarkan hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I dan Triwulan II. Sedangkan Triwulan IV disalurkan dalam bulan Desember berdasarkan realisasi PBNP sampai dengan bulan Agustus.

Selanjunta realisasi sampai dengan Bulan November akan disalurkan ke daerah sebagai Triwulan V pada bulan Februari. Pemakaian terminologi Triwulan V dimaksudkan hanya untuk memudahkan adanya urutan yang baku bahwa penyaluran DBH Migas yang berasal dari realisasai PNBP Migas disalurkan sebanyak 5 kali. Alasan lain adalah agar terdapat perbedaan yang jelas antara Penyaluran Triwulan V pada bulan Februari dengan penyaluran Triwulan I pada bulan Maret.

4.5. Kebijakan Triwulan V

Pola penyaluran Triwulan I s/d Triwulan IV ditambah Triwulan V telah dilaksanakan secara rutin dan terpola. Pola yang direalisasikan secara urut sebenarnya adalah sebagai berikut:

(25)

Tabel 3.2

Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan gas Bumi

Waktu

(Triwulan) Periode realisasi Besaran Penyaluran PenyaluranWaktu

I Tidak mempertimbangkan

realisasi 20% dari perkiraan alokasi Maret II Tidak mempertimbangkan

realisasi 20% dari perkiraan alokasi Juni III Desember s/d Mei Realisasi dikurangi

penyaluran Tw I dan Tw II September IV Desember s/d Agustus Realisasi dikurangi

penyaluran Tw I s/d Tw III Desember V Desember s/d November Realisasi dikurangi

penyaluran Tw I s/d Tw IV Februari Sumber : Kementerian Keuangan

Dengan pola yang rutin dan tetap tersebut maka kebijakan counter balance dalam management penyaluran DBH Migas dapat dipersepsikan tidak ada keterlambatan penyaluran DBH Migas, dengan penjelasan : (1) hak yang dibagikan meliputi waktu 12 bulan; (2) besaran dana yang disalurkan sesuai realisasi; (3) pelaksanaan penyaluran dengan pola yang konsisiten. Pola ini dapat diacu oleh daerah dalam membukukan penerimaan yang bersumber dari DBH Migas, yaitu penerimaan yang masuk ke Kas Daerah dalam satu tahun, dibelanjakan pada tahun saya sama (dalam satu tahun anggaran Januari s/d Desember terdapat 5 kali penerimaan DBH Migas yang masuk ke Kas Daerah pada Februari, Maret, Juni, September dan Desember). Dari pola ini dapat dipersepsikan bahwa tidak ada keterlambatan dalam penyaluran DBH Migas.

5. Pemantauan dan Evaluasi

(26)

porsi DBH SDA Migas harus digunakan untuk sektor pendidikan dasar yang tata cara penggunaannya akan diatur lebih lanjut dalam PMK.

Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan dana tambahan anggaran pendidikan dasar tersebut. Pemantauan atas dana tambahan ini menyangkut apakah penggunaannya sesuai dengan peruntukannya.

Apabila hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka Menteri Keuangan meminta aparat pengawasan fungsional untuk melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengalokasian DBH SDA Migas untuk tahun anggaran berikutnya, yaitu daerah tersebut dapat dikenai sanksi administrasi berupa pemotongan penyaluran DBH SDA Migas untuk periode berikutnya.

3.2.2.2. Dbh SDa Pertambangan umum

Penerimaan negara bukan pajak dari sektor pertambangan umum terdiri dari iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (landrent). Kedua Iuran tersebut

ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen ESDM. Dalam peraturan tersebut, tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai uS $ per luas area eksploitasi/eksplorasi (hektar). Besarnya tarif dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak).

untuk Kuasa Pertambangan, tarif iuran tetap yang dikenakan pada kuasa pertambangan merupakan tarif satuan atas nilai rupiah per satuan luas eksploitasi/ eksplorasi (hektar) dan besarnya tarif juga dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak). Pemungutan iuran tetap, yang dikenakan di sektor pertambangan dilakukan setiap semester.

(27)

galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian. Royalty adalah pembayaran kepada Pemerintah berkenaan dengan produksi mineral yang berasal dari area penambangan. Royalti harus dibayar dalam satuan rupiah atau satuan lainnya yang disetujui bersama. Tarif royalti untuk pertambangan mineral dan batubara ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003, tarif royalti bersifat advalorem (dalam persentasi) dan dikenakan terhadap harga jual yang telah dikalikan dengan jumlah produksi.

Tatacara penghitungan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) sebagai berikut:

Jumlah Produksi yang Terjual x Persentase Tarif (%) x Harga Jual (US$)

Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 ini juga memasukkan peraturan mengenai besarnya tarif royalti untuk bahan tambang batubara. Sebelumnya pengenaan royalti untuk batubara sudah termasuk dalam bagian pemerintah dari Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996. Dalam peraturan tersebut, pemerintah mendapat 13,5% dari produksi batubara (dana hasil produksi batubara/DHPB). Bagian pemerintah sebesar 13,5 persen tersebut sudah mencakup pembayaran royalti yang diestimasikan sebesar 3,3% dari 13,5% DHPB.

Iuran Tetap (landrent/deadrent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima

Negara sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan umum, Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu Wilayah Kuasa Pertambangan (dalam hal ini termasuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara).

(28)

Selanjutnya untuk perhitungan DBH SDA Pertambangan umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah dari landrent adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk Provinsi yang bersangkutan dan 64 persen untuk Kabupaten/Kota penghasil (lihat gambar 3.9). untuk bagian daerah dari royalti adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk Provinsi yang bersangkutan, 32 persen untuk Kabupaten/Kota penghasil dan 32 persen untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan.

gambar 3.9

Perhitungan DBH SDA Pertambangan umum

Tabel 3.3

Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan umum

JENIS DBH

PERTAMBANGAN UMUM

%

UNTUK

DAERAH

PORSI PRoV KAB/KoTA PENgHASIl KAB/KoTA lAIN DAlAM PRoV A. lAND RENT PENgHASIl KAB/KoTA 80% 16% 64%

-B. lAND RENT PENgHASIl PRoVINSI 80% 80% - -C. RoYAlTI PENgHASIl KAB/KoTA 80% 16% 32% 32%

(29)

3.2.2.3. Dbh SDa kehutanan

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor kehutanan terdiri: (1) Iuran Izin usaha Pemanfaatan Hutan (IIuPH), (2) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang merupakan royalti; dan (3) Dana Reboisasi.

Definisi masing-masing penerimaan adalah berikut :

a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang dikenakan

kepada Pemegang Izin usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan.

b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); adalah pungutan yang dikenakan sebagai

pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara, dan

c. Dana Reboisasi (DR); adalah dana yang dipungut dari pemegang Izin usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan

d. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang bersifat license fee (terkait dengan perizinan). Tarif IIuPH terakhir diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998. Di dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per satuan luas HPH (hektar). Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/ perpanjangan/ HPHTI). IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu berlakunya HPH (atau sekitar 20 tahun).

Tarif PSDH tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 859/Kpts-II/1999. Dalam peraturan tersebut, tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per m3, yang besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. PSDH dikenakan terhadap pemegang HPH, pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) (lihat undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 juga Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999). Pada HPH, untuk penyaluran produksi ke industri terkait

(30)

dilakukan oleh pemegang HPH pada saat pengangkutan. Pembayaran dilakukan setiap bulan atas dasar produksi bulan sebelumnya, disetor langsung ke Rekening Menteri Kehutanan dan Perkebunan.

Perhitungan jumlah kayu yang dikenai kewajiban untuk membayar PSDH dan Dana Reboisasi didasarkan dari laporan Hasil Penebangan (lHP). Sistem pelaporan produksi hasil hutan tersebut bersifat self assesment yaitu perusahaan pemegang HPH

mengisi volume produksi dan jenis tanaman. Setelah itu diterbitkan dokumen SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) yang sebelumnya disebut SAKo. Pengesahan lHP dilakukan setelah diadakan pengukuran sampling 10 persen dari area produksi oleh petugas kehutanan untuk menguji kebenaran pengisisan dokumen lHP. Jika terjadi penyimpangan volume <5%, lHP tetap disahkan, namun tidak berlaku untuk kesalahan pengisian jenis tanaman.

gambar 3.10

Perhitungan DBH SDA Kehutanan

Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal dari kehutanan yakni semula Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH

(31)

Negeri (WPoPDN) dan PPh Psl 21 masing-masing kabupaten/kota yang sebelumnya ditetapkan oleh gubernur mulai tahun 2006 ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam perkembangannya, realisasi DBH senantiasa menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan.

Tarif Dana Reboisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999. Tarif Dana Reboisasi merupakan tarif satuan uS $ per m3, dimana besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Menurut undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pungutan Dana Reboisasi ini dikenakan terhadap pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan.

Perhitungan bagian daerah akan ditetapkan berdasarkan rencana produksi hasil hutan dan rencana penerbitan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau usaha Pemanfaatan Hutan (uPH) dengan perhitungan sebagai berikut:

Perkiraan penerimaan IHPH/IIuPH, baik hutan alam maupun tanaman yang dihitung dari luas areal yg akan diterbitkan izin HPH/uPH dikalikan tarif IHPH yang berlaku

Perkiraan penerimaan PSDH yang dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dan bukan dan dikali tarif PSDH yang berlaku

Perkiraan Penerimaan PSDH dan yang bersumber dari tunggakan PSDH

3.2.2.4. Dbh SDa Perikanan

DBH Sumber Daya Alam Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Pengusahaan Perikanan, yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang memperoleh Izin usaha Perikanan (IuP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas

– –

(32)

perikanan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia. Pungutan Hasil Perikanan, yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang diperoleh.

Pungutan untuk sektor perikanan ini diatur dalam SK Menteri Pertanian Nomor 424/ Kpts/7/1977. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) bersifat license fee, dikenakan

satu kali pada saat pengajuan permohonan Surat Ijin Kapal Perikanan. Tarif PPP merupakan tarif nominal (uS $) dan didasarkan atas ukuran kapal penangkapan ikan (Dead weight Ton -DWT). Dalam hal ini tarif dikenakan atas dasar berat kosong

kapal. Adapun Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dikenakan pada hasil produksi sektor perikanan yang diekspor. Tarif yang dikenakan bersifat ad valorem (persentasi),

dimana besar tarif dibedakan menurut kelompok jenis ikan.

Perhitungan dbH sdA Perikanan

a. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) objek yang penting dalam penghitungan PPP adalah: Kapal Penangkapan Ikan.

Rumus yang dipakai untuk menghitung PPP adalah:

PPP = Tarif (US $) x Ukuran Kapal (DWT)

Data yang dibutuhkan untuk dapat menghitung PPP adalah: 1. Data Jumlah Surat Izin Kapal Perikanan yang dikeluarkan. 2. Daftar Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)

Tabel 3.4

Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)

No. Ukuran Kapal Tarif

1 <50 DWT uS $ 500

2 50-100 DWT uS $ 1000

Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977

(33)

b. Pungutan Hasil Perikanan (PHP)

objek dalam penghitungan PHP ini adalah: Hasil Produksi Sektor Perikanan yang diekspor, dengan rumus sebagai berikut:

PHP = Hasil Produksi (Ton) x Tarif (%)

atau yang diperlukan adalah:

1. Data Hasil Ekspor Produksi Sektor Perikanan. 2. Daftar Tarif PHP untuk setiap jenis ikan.

Dalam penghitungan ini hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah jumlah kapal dan volume hasil produksi perikanan yang akan diekspor.

Tabel 3.5

Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP)

No. Golongan Jenis Tarif (%)

1 udang 2

2 Ikan Tuna, Cakalang. 1.5

3 lain-lain yang tidak termasuk gol.1 dan 2 1 Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977

gambar 3.11

(34)

3.2.3. PENETAPAN AlOKAsi dbH sUmbER dAYA AlAm

Penetapan Alokasi DBH SDA diatur dalam PP 55 tahun 2005 pasal 27 sebagai berikut: a. Menteri Teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH

SDA paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri.

b. Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis.

c. Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud menjadi dasar penghitungan DBH sumber daya alam oleh menteri teknis.

d. Ketetapan Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan.

e. Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari menteri teknis.

f. Perkiraan alokasi DBH Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan/atau gas Bumi untuk masing-masing daerah ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima ketetapan dari menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perkiraan bagian pemerintah, dan perkiraan unsur-unsur pengurang lainnya.

3.3. dANA AlOKAsi UmUm

3.3.1. PENYUsUNAN fORmUlA dAN PERHiTUNGAN dAU

JDalam uu No.34/20004 porsi DAu ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAu adalah bagian 10 persen untuk provinsi dan bagian 90 persen untuk kabupaten/kota.

(35)

gambar 3.12

Kebijakan Jumlah Alokasi DAu Berdasarkan undang-undang Nomor 33/2004

Pengaturan terakhir pemerintah mengenai jumlah alokasi DAu ini secara tegas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa alokasi DAu sekurang-kurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Neto. Proporsi DAu antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Jika penentuan proporsi tersebut belum dapat dihitung secara kuantitatif, maka imbangan alokasi DAu antara provinsi

(36)

3.3.1.2. FOrmula Dau Dalam kerangka unDang-unDang nOmOr 33 tahun 2004

Bentuk umum formula alokasi DAu kepada masing-masing daerah secara formula dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini:

dAU = Ad + Cf

Dimana:

DAu = Dana Alokasi umum AD = Alokasi Dasar CF = Celah Fiskal Dimana

CF = KbF – KpF (celah fiskal merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal).

3.3.1.3. Variabel Dau

1. Variabel Alokasi Dasar adalah belanja pegawai yang dicerminkan oleh jumlah gaji PNSD.

2. Variabel kebutuhan fiskal terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayah darat dan

perairan, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. (sesuai undang-undang Nomor 33 Tahun 2004)

3. Variabel kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal

dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil SDA.

4. Secara Sistematika Penyusunan Formula DAu dapat digambarkan dalam Gambar 3.13 berikut ini :

(37)

gambar 3. 13

Formula umum Dana Alokasi umum Menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004

Rumusan tentang kebutuhan fiskal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut: KbF = TBR (α1IP + α2IW + α3IPM + α4IKK + α5iPdRb/kap)

Dimana:

TBR = Total Belanja Rata-rata APBD IP = Indeks Jumlah Penduduk IW = Indeks luas Wilayah

(38)

IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita

α1, α2, α3, α4, α5 = Bobot dari masing-masing indeks variable α1 + α2 + α3 + α4 + α5 = 100%

Sementara itu, terkait dengan daerah pemekaran baru, perhitungan alokasi DAu untuk daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.14.

gambar 3.14

Pembagian DAu bagi Daerah Pemekaran

Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, kebijakan dalam pengalokasian DAu tahun 2010 adalah sebagai berikut:

a. DAu ditetapkan 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Neto yang ditetapkan dalam APBN. Besaran alokasi per daerah sesuai dengan undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, dan ditetapkan dengan peraturan presiden.

(39)

b. Pengalokasian DAu kepada masing-masing daerah menggunakan formula DAu,

yaitu DAU dihitung berdasarkan formula atas dasar celah fiskal (CF) dan alokasi dasar (AD). CF suatu daerah merupakan selisih kebutuhan fiskal (KbF) dengan kapasitas fiskal (KpF), sedangkan AD dihitung berdasarkan jumlah gaji PNSD.

c. Alokasi dasar mengakomodir kebijakan kenaikan gaji pokok PNS sebesar 5 persen, mempertimbangkan formasi PNS dan gaji ke-13.

d. Variabel kebutuhan fiskal daerah meliputi (i) jumlah penduduk, (ii) luas wilayah,

(iii) indeks kemahalan konstruksi, (iv) produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, dan (v) indeks pembangunan manusia (IPM). Sedangkan variabel kapasitas

fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD, Dana

Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.

Pada tahun 2010, DAu ditetapkan sebesar Rp203.485,2 miliar, yang terdiri dari: a. DAu Murni Rp192.490,3 miliar; dan

b. DAu Tambahan untuk Tunjangan Profesi guru Rp10.994,9 miliar.

untuk mendapatkan alokasi DAu yang ditujukan dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (equalization grant) digunakan indikator koefisien

variasi dan indeks Williamson yang dapat menggambarkan tingkat pemerataan yang paling optimal, serta jumlah daerah yang mengalami penurunan DAu paling sedikit. Alokasi DAu tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut ini:

Tabel 3. 6

Alokasi DAu 2009 dan 2010

No. Tahun DAU

(miliar Rupiah)

Jumlah Daerah

1 2009

186.414,10 33 Provinsi Perpres Nomor 74 477 Kab/Kota

(40)

No. Tahun DAU (miliar Rupiah) Jumlah Daerah 2 2010 DAu Murni 31 Provinsi 192.490,3 Perpres Nomor 53 Tahun 2009 469 kab/kota Tambahan DAu untuk tunjangan

profesi guru 33 provinsi 10.994,9

PMK Nomor 223

Tahun 2009 477Kab/Kota

3.3.2. dAU dAERAH PEmEKARAN

Sejak dimulainya implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia

telah memberikan warna baru dengan adanya pemekaran daerah baik di tingkat provinsi serta terutama di tingkat kabupaten/kota. Pemekaran daerah memberi dampak terhadap jumlah DAu yang diterima oleh daerah pemekaran. Pembagian DAu pada daerah yang mengalami pemekaran dialokasikan pada daerah induk sebelum pemekaran, dan dibagi secara proporsional dengan menggunakan 3 variabel luas wilayah, jumlah penduduk, dan jumlah PNSD.

3.4. dANA AlOKAsi KHUsUs

Sesuai dengan Pasal 39 undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada pemerintah daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Sementara itu, Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah.

(41)

1. Diprioritaskan membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya relatif rendah, dalam rangka mendorong pencapaian SPM kepada masyarakat,

melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat;

2. Mendukung prioritas percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial, terutama dalam rangka perluasan akses pelayanan dasar masyarakat miskin;

3. Mendukung prioritas peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya dalam rangka meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, percepatan penurunan angka kematian ibu dan anak, perbaikan gizi masyarakat dan pengendalian penyakit, peningkatan jaminan pelayanan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan kepulauan, pemantapan revitalisasi program KB, dan peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata;

4. Mendukung prioritas pemantapan reformasi birokrasi dan hukum, serta pemantapan demokrasi dan kemanan nasional, terutama dalam rangka penguatan kapasitas pemerintahan daerah dan kualitas pelayanan publik;

5. Mendukung prioritas penguatan perekonomian domestik yang berdaya saing, yang didukung oleh pembangunan pertanian infrastruktur dan energi, khususnya dalam rangka peningkatan stabilitas harga dan pengamanan pasokan bahan pokok, peningkatan ketahanan pangan, revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan, perluasan akses pelayanan dasar masyarakat miskin, peningkatan pelayanan infrastruktur sesuai standar pelayanan minimal (SPM), dan dukungan infrastruktur bagi peningkatan saya saing sektor riil;

6. Mendukung prioritas peningkatan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, khususnya dalam rangka peningkatan pengelolaan sumber daya air, peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, dan peningkatan kualitas penataan ruang dan pengelolaan pertanahan.

(42)

Berdasarkan arah kebijakan DAK tersebut, serta memperhatikan kemampuan keuangan negara, DAK tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp21.133,4 miliar, yang berarti turun sekitar 15 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut terutama terjadi pada penurunan DAK di bidang infrastruktur jalan, irigasi, air minum, dan sanitasi sekitar 37 persen, serta penurunan DAK bidang kesehatan sekitar 30 persen dari tahun sebelumnya. Sementara itu, untuk mendukung kebijakan 20 persen anggaran pendidikan di APBN, DAK Pendidikan ditetapkan sama dengan tahun sebelumnya.

Selain itu, pada tahun 2010 terdapat pemisahan bidang DAK, yaitu DAK Air Minum dan Sanitasi yang pada tahun 2009 masih berdiri dalam satu bidang, pada tahun 2010 sudah dipisah menjadi 2 bidang, yaitu DAK Air Minum dan DAK Sanitasi.

Selanjutnya, alokasi DAK dari tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.7 di bawah ini.

Tabel 3.7

Dana Alokasi Khusus Tahun 2003-2009 (miliar rupiah)

No Bidang DAK 2009 DAK 2009 %

1 Pendidikan 9.334.882.000.000,00 9.334.882.000.000,00 0,00% 2 Kesehatan 4.017.370.000.000,00 2.829.760.000.000,00 -29,56% a. Kesehatan Dasar 3.411.270.000.000,00 2.223.660.000.000,00 -34,81% b. Kesehatan Rujukan 606.100.000.000,00 606.100.000.000,00 0,00% 3 Jalan 4.500.916.800.000,00 2.810.207.000.000,00 -37,56% 4 Irigasi 1.548.980.000.000,00 968.402.000.000,00 -37,48% 5 Air Minum 1.142.290.000.000,00 357.231.500.000,00 -37,45% 6 Sanitasi - 357.231.500.000,00 7 Prasarana Pemerintahan 562.000.000.000,00- 386.253.000.000,00 -31,27%

8 Kelautan dan Perikanan 1.100.360.000.000,00 1.207.840.000.000,00 9,77%

9 Pertanian 1.492.170.000.000,00 1.543.633.000.000,00 3,45%

(43)

No Bidang DAK 2009 DAK 2009 %

12 Kehutanan 100.000.000.000,00 250.000.000.000,00 150,00%

13 Sarana dan Prasarana Perdesaan 190.000.000.000,00 300.000.000.000,00 57,89%

14 Perdagangan 150.000.000.000,00 107.322.500.000,00 -28,45%

Jumlah 24.819.588.800.000,00 21.133.382.500.000,00 -14,85%

Sumber : APBN 2010

3.4.1. fORmUlAsi KEbijAKAN dANA AlOKAsi KHUsUs

Formulasi yang berkaitan dengan alokasi DAK secara garis besar dapat dibagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu (1) penetapan program dan kegiatan, (2) penghitungan alokasi DAK, (3) arah dan penggunaan DAK, dan (4) administrasi pengelolaan DAK.

3.4.1.1. PenetaPan PrOgram Dan kegiatan

Sebagaimana disebutkan pada awal bab ini kegiatan khusus yang di danai dari DAK merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah. Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyatakan bahwa program yang menjadi prioritas nasional dimaksud dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun anggaran bersangkutan. Berdasarkan prioritas nasional sebagaimana tercantum dalam RKP tersebut, menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Selanjutnya, menteri teknis menyampaikan kegiatan khusus yang telahditetapkan tersebut kepada Menteri Keuangan.

Mekanisme penetapan program dan kegiatan dapat dilihat pada Gambar 3.15 berikut

(44)

gambar 3.15

Mekanisme Penetapan Program dan Kegiatan

Sumber: PP Nomor 55 Tahun 2005

3.4.1.2. Penghitungan alOkaSi Dak

Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu: 1. Penentuan daerah tertentu yang menerima alokasi DAK 2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.

Penentuan daerah tertentu yang mendapat alokasi DAK harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Sementara itu, penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan

(45)

Perhitungan alokasi DAK 2009 tetap berdasarkan pada ketentuan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan beberapa perubahan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Hal baru yang terdapat dalam pelaksanaan alokasi DAK 2009 adalah lebih dioptimalkannya kriteria teknis, baik dalam penentuan daerah tertentu maupun besaran alokasi masing-masing daerah. Hal tersebut ditujukan untuk meminimumkan terjadinya miss allocation, sekaligus mengoreksi berbagai kebijakan alokasi DAK

tahun-tahun sebelumnya. Implikasi dari itu semua adalah adanya beberapa daerah yang mengalami penurunan alokasi, namun di beberapa daerah lainnya justru mengalami kenaikan alokasi.

1. Kriteria Umum

Sesuai dengan pasal 40 undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai. Dalam bentuk rumus, kriteria umum tersebut dapat ditunjukkan pada beberapa persamaan di bawah ini:

Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD – Belanja Pegawai Daerah

Penerimaan Umum = PAD + DAU + (DBH – DBHDR) Belanja Pegawai Daerah = Belanja PNSD

Dimana:

PAD = Pendapatan Asli Daerah

APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DAu = Dana Alokasi umum

(46)

Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui indeks fiskal neto (IFN) tertentu yang

ditetapkan setiap tahun. Dalam tahun 2009, arah kebijakan umum DAK adalah untuk membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya relatif rendah. Hal ini diterjemahkan bahwa DAK dialokasikan untuk daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya berada di bawah rata-rata nasional atau IFN-nya kurang dari 1 (satu). Dalam hal ini, rata-rata kemampuan keuangan daerah secara nasional dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini.

Rata-rata Nasional Kemampuan Kauangan Daerah =

Total Kemampuan Keuangan Daerah secara Nasional

Jumlah Daerah

Selanjutnya, perhitungan IFN dilakukan dengan membagi kemampuan keuangan daerah dengan rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah. Jika IFN < 1, atau dengan kata lain daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka daerah tersebut mendapatkan prioritas dalam memperoleh DAK. Rumus IFN dapat dilihat di bawah ini.

Indeks Fiskal Netto Daerah Z = Kemampuan Keuangan Daerah Z Rata-rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah

2. Kriteria Khusus

Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah undang-undang yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah, Seperti undang-undang otonomi Khusus Papua. Seluruh daerah (kabupaten/kota) di Provinsi Papua akan diprioritaskan mendapatkan DAK.

Dalam tahun 2009, kriteria khusus yang dipergunakan dalam perhitungan alokasi DAK dapat dijelaskan sebagai berikut.

(47)

2. Karakteristik wilayah, meliputi:

a. Daerah pesisir dan/ atau kepulauan; b. Daerah perbatasan dengan negara lain; c. Daerah rawan bencana

d. Daerah yang masuk kategori ketahanan pangan, dan; d. Daerah pariwisata.

3. Kriteria Teknis

Kriteria teknis dirumuskan oleh kementerian negara/departemen teknis terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana-prasarana pada masing-masing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK.

3.1. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup Kegiatan dAK Pendidikan Indikator Teknis untuk bidang pendidikan meliputi :

a. Jumlah Sekolah Dasar (SD)/Sekolah luar Biasa (SlB) b. Jumlah ruang kelas SD rusak

c. Jumlah SD/SlB yang belum memiliki perpustakaan d. Jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP)

e. Jumlah ruang kelas SMP rusak ringan f. Jumlah ruang kelas SMP rusak sedang g. Jumlah ruang kelas SMP rusak berat h. Jumlah ruang kelas SMP susut

i. Jumlah SMP yang belum memiliki perpustakaan j. Rasio siswa dengan ruang kelas

(48)

m. Alat Pembelajaran Matematika

n. Alat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) o. Alat Kesenian

p. Alat olah Raga

Indikator teknis ini ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Adapun ruang lingkup kegiatan DAK Pendidikan dalam tahun 2010 diarahkan juga untuk kegiatan di tingkat SMP. Selanjutnya, ruang lingkup kegiatan DAK Pendidikan meliputi:

a. SD/SDlB:

Pembangunan perbaikan ruang perpustakaan Perabot pendukung perpustakaan

Pengadaan sarana peningkatan mutu pendidikan meliputi alat peraga, kit multimedia, buku pengayaan, buku referensi, ICT pendidikan, dan alat elektronik pendidikan

b. SMP

Pembangunan ruang kelas baru

Pembangunan ruang perpustakaan/pusat sumber belajar beserta perabotnya Pemenuhan kebutuhan buku referensi, pengayaan dan panduan sesuai standar BNSP

Pemenuhan kebutuhanalat-alat peraga dan pembelajaran bagi sekolah yang belum mempunyai alat tersebut, yaitu alat lab bahasa, lab IPA, dan alat matematika • • • • • • •

(49)

3.2. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup Kegiatan dAK Kesehatan

Dalam tahun 2010, DAK Kesehatan dibagi menjadi dua, yaitu sarana pelayanan kesehatan dasar, dan pelayanan kesehatan rujukan. Pada DAK Kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar diperuntukkan untuk pelayanan dasar dan pengadaan obat.

Indikator teknis DAK Kesehatan terdiri dari: 1. Indikator Pelayanan Kesehatan Dasar:

a. Indeks Jumlah penduduk; b. Indeks luas Wilayah; c. Indeks Wilayah Khusus;

d. Indeks Kemiskinan Masyarakat. 2. Indikator Pelayanan Kesehatan Rujukan

a. Indeks Instalasi gawat Darurat Rumah Sakit (IgDRS) 1) Kelas RS;

2) Jumlah Tempat Tidur RS; 3) Jenis RS;

4) Jenis Menu;

5) Alokasi Tahun Sebelumnya. b. Indeks Tempat Tidur Kelas III

1) Bed Occupancy Rate (BoR) kelas III;

2) Jumlah Tempat Tidur RS; 3) Jumlah Tempat Tidur Kelas III; 4) Jenis Menu;

5) Alokasi Tahun Sebelumnya.

c. Indeks Pelayanan obstetri Neo-natal Emergensi Komprehensif (PoNEK) RS 1) Jumlah Tenaga SpA;

(50)

3) Pelayanan Darah; 4) Jenis Menu;

5) Alokasi Tahun Sebelumnya. d. Indeks PoNEK RS : Bobot uTDRS

e. Indeks Balai latihan Kerja (BlK) Provinsi : Bobot labkes f. Indeks Jumlah Penduduk : Jumlah Penduduk

g. Indeks Human Poverty Index (HPI): Data Kemiskinan Masyarakat Adapun ruang lingkup kegiatannya mencakup :

a. Pelayanan Dasar:

1. Pembangunan Pos Kesehatan Desa;

2. Pembangunan Puskesmas, Puskesmas perawatan;

3. Melengkapi puskesmas perawatan mampu Pelayanan obstetri Neo-natal Emergensi Dasar (PoNED) minimal 4 puskesmas perawatan kab/kota melalui pengadaan alat medis;

4. Pengadaan roda 2 utk petugas dan bidan desa; 5. Pengadaan pusling perairan dan roda 4;

6. Pengadaan sarana pendukung penyimpanan vaksin/obat di instansi farmasi; dan

7. Pengadaan obat generik . b. Pelayanan Rujukan:

1. Peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III RS;

2. Pemenuhan peralatan unit Transfusi Darah (uTD) RS; 3. Pemenuhan peralatan Instalasi gawat Darurat (IgD) RS;

4. Pembangunan sarana prasarana dan pemenuhan peralatan PoNEK RS; dan 5. Pemenuhan peralatan kultur untuk Microbacterium Tuberculosis (M.Tbc) di

(51)

3.3. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK infrastruktur Indikator teknis DAK untuk infrastruktur meliputi:

1. Bidang Infrastruktur Jalan a. luas Wilayah;

b. Jumlah Penduduk; c. Total Panjang Jalan; dan d. Kondisi Jalan.

2. Bidang Infrastruktur Irigasi a. luas Wilayah;

b. Jumlah Penduduk; c. luas Daerah Irigasi; dan

d. luas Daerah Irigasi Kondisi Rusak. 3. Bidang Infrastruktur Air Minum

a. luas Wilayah; b. Jumlah Penduduk;

c. Jumlah Penduduk Miskin; dan d. Jumlah Desa Rawan Air Bersih. 4. Bidang Infrastruktur Sanitasi

a. Jumlah Penduduk; b. luas Wilayah;

c. luas Kawasan Kumuh Perkotaan; dan d. Kondisi Sanitasi.

Adapun ruang lingkup untuk DAK Infrastruktur adalah sebagai berikut: 1. Bidang Infrastruktur Jalan

(52)

2. Bidang Infrastruktur Irigasi

Ditujukan untuk peningkatan, rehabilitasi, dan pembangunan jaringan irigasi 3. Bidang Infrastruktur Air Minum

Ditujukan untuk penyempurnaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) eksisting, pembangunan SPAM baru, dan perluasan jaringan dan peningkatan sambungan rumah untuk masyarakat miskin.

4. Bidang Infrastruktur Sanitasi

Ditujukan untuk penyempurnaan Sistem dan Pelayanan Eksisting (air limbah, persampahan, dan drainase), pengembangan Pelayanan Sistem dan layanan Baru (air limbah, persampahan, dan drainase), perluasan jaringan dan peningkatan sambungan pelayanan air limbah untuk masyarakat miskin dan /atau kumuh melalui pengembangan sistem air limbah komunal, dan dukungan pada kegiatan 3 R (reduce, reuse, recycle).

3.4. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK Kelautan dan Perikanan Indikator Teknis untuk bidang kelautan dan perikanan mempertimbangkan: a. Produksi Perikanan;

b. Kapal Berlabuh; c. luas lahan Budi Daya; d. Saluran Tambak; e. Tenaga Kerja; f. Pokmaswas; g. luas KKlD; h. Pasar Ikan;

i. unit Pengolah Ikan; dan j. Penyuluh Perikanan.

Gambar

gambar 3.1  Skema Bagi Hasil SDA
Diagram proses pelaksanaannya sebagai berikut:
Diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

• Menganalisis kebijakan-kebijakan pemerintah yang masuk dalam scope fungsi pengawasan (oversight function) DPR RI untuk membantu DPR dalam mengawasi efisiensi dan

Iklan tersebut hanya mampu memenuhi jalur dari consumer decision model (CDM) tanpa dapat membentuk perilaku impulse buying dari pesan iklan ke pembelian nyata

UMUM BUMN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA” Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak, maka pada kesempatan ini

Hasil ini didapatkan dengan mewawancarai mereka dengan menanyakan beberapa pertanyaan seperti perusahaan apa yang pertama kali ada dalam benak mereka

Pada umumnya perubahan nilai authoritycentrality pada pengujian skenario pembobotan ketiga ini juga cenderung menurun.Hanya beberapa user saja yang mengalami

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konseling kelompok dengan pendekatan rational emotive behavior therapy (REBT) terhadap perilaku hedonis pada siswa

untuk mengatasi hambatan yang dilakukan oleh pihak Bank Syariah Mandiri Cabang Medan, antara lain, menerapkan prinsip kehati-hatian seperti melakukan BI Checking

Diagnostik peritoneal lavage merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk mengidentifikasi cedera intra-abdomen setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi atau tidak