• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modul 2 PERSPEKTIF PASAR BEBAS DALAM KEHUTANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Modul 2 PERSPEKTIF PASAR BEBAS DALAM KEHUTANAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Modul 2 ESDH 2019

Modul 2

P

ERSPEKTIF PASAR BEBAS DALAM KEHUTANAN

Kompetensi yang ditawarkan:

Setelah mempelajari Modul ini maka mahasiswa akan memiliki kompetensi tentang pengalokasian sumber daya hutan dalam konteks pasar bebas, kegagalan pasar, dan level optimum kerusakan lingkungan dalam pengelolaan hutan serta memiliki sifat dan perilaku yang bertanggung jawab dalam kehidupan sosial.

Rencana perkuliahan untuk pertemuan 3 dan 4:

Rencana Perkuliahan 2 x 120 menit Aktivitas Pertemuan 3 Langkah 1 10 menit

Aktivitas: menjelaskan kompetensi yang akan dicapai dan menyepakati perubahan yang diperlukan sesua hasil refleksi pembelajaran.

1. Menjelaskan hasil dan rekomendasi refleksi pembelajaran yang telah dilaksanakan; 2. Mereview materi modul 1dan hubungannya dengan modul 2.

Langkah 2 90 menit

Aktivitas: memahami konsep pasar bebas versus state property right.

1. Mahasiswa dibagi kedalam dua kelompok diskusi, yaitu kelompok pro pasar bebas dan kelompok state property right;

2. Berdiskusi tentang kasus perambahan hutan dan pendudukan kawasan Dongi-Dongi Taman Nasional Lore Lindu oleh masyarakat.

Langkah 3 20 menit

Aktivitas: membuat rangkuman hasil diskusi.

1. Masing-masing kelompok mengutarakan argumentasi procon mereka terhadap perambahan dan pendudukan kawasan hutan;

2. Melakukan analisis kualitatif terhadap berbagai argumentasi tersebut; 3. Menyusun kesimpulan diskusi.

Pertemuan 4 Langkah 1 100 menit

Aktivitas: menjelaskan argumentasi ilmiah bagi pasar bebas dalam memaksimumkan kesejahteraan masyarakat.

1. Mahasiswa dibagi kedalam sembilan kelompok diskusi sesuai jumlah kondisi yang dibutuhkan oleh sistem pasar bebas untuk memaksimumkan kesejahteraan masyarakat; 2. Setiap kelompok akan mendapatkan secarik kertas yang berisi ulasan singkat tentang

masing-masing kondisi termaksud;

3. Masing-masing kelompok mengenali dan mencatat semua kata kunci yang terdapat dalam ulasan;

4. Masing-masing kelompok mengembangkan kata – kunci tersebut serta mengembangkannya;

5. Masing-masing kelompok memaparkan secara ringkas pemahaman mereka tentang ulasan yang mereka kaji;

6. Masing-masing kelompok merumuskan informasi baru yang mereka dapatkan; 7. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pasar.

Langkah 2 10 menit

Aktivitas: membuat rangkuman.

Aktivitas ini dilakukan di luar kelas. Melalui kuliah daring menggunakan Zoom setiap kelompok memaparkan hasil rangkuman yang telah dipersiapkan.

Langkah 3 10 menit

Aktivitas: refleksi pembelajaran.

Mahasiswa secara bersama sama mengisi kusioner refleksi yang tersedia kemudian merumuskan rekomendasi perbaikan proses pembelajaran berikutnya.

(2)

Modul 2 ESDH 2019

Kehutanan berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan hutan. Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki berbagai fungsi diantaranya fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya serta pendidikan dan penelitian. Oleh sebab itu semua institusi formal dan non formal yang memiliki hubungan dengan hutan sebagai sumber daya yang multifungsi membentuk suatu sistem yang kompleks yang disebut kehutanan kendatipun kehutanan sebenarnya berhubungan dengan hutan sebagai barang publik yang seharusnya dikelola oleh pemerintah. Memang sebaikya hutan sebagai barang publik berada dalam kewenangan pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian (KLHK) pada pemerintah pusat dan Dinas Kehutanan pada pemerintah otonom. Namun persoalan kehutanan juga banyak dibicarakan oleh lembaga non pemerintah yang bertujuanuntukmemberikan masukan tentang pengelolaan hutan yang terbaik. Di negara-negara yang telah maju pembangunan kehutanannya bahkan sering mempertanyakan peranan pemerintah dalam hal pengelolaan hutan. Banyak pendapat yang mengemukakan bahwa sebaiknya pengelolaan hutan ditempatkan dalam kerangka pasar bebas (free market), bahkan beberapa kalangan dari kelompok ini memiliki pandangan yang ekstrim bahwa hutan negara seharusnya dijual kepada swasta dan kemudian intervensi pemerintah terhadap hutan milik diperkecil.

Pasar bebas (free market) merupakan sebuah tantangan, peluang, dan ancaman bagi perekonomian Indonesia. Pasar bebas merupakan hasil pemikiran ekonomi Smith sebagaimana telah diulas secara ringkas pada Modul sebelumnya. Teori Smith mengenai pasar bebas telah menunjukkannya sebagai bapak politik ekonomi karena teori tersebut berhasil sebagai pondasi pembangunan dan menggerakan terjadinya perubahan sosial. Ditambah lagi sebuah analisis bahwa pasar bebas merupakan sistem ekonnomi yang sangat sesuai dengan kondisi masyarakat moderen seperti kondisi masyarakat kita dewasa ini. Pasar bebas bukan merupakan sebuah sistem ekonomi ketat dan terpimpin yang memiliki tujuan tertentu yang harus dicapai. Ekonnomi pasar bebas tidak mengenal tujuan satu-satunya yang harus dicapai. Pasar bebas adalah sebuah tautan spontan, sebuah catalaxy, yang tidak pernah dapat dikendalikan oleh suatu tujuan tunggal. Pasar melayani beragam tujuan yang terpisah-pisah dan bahkan tidak dapat diperdamaikan atau ditrade off satu dengan lainnya. Dengan demikian, sementara sebuah ekonomi dalam pengertian yang sebenarnya adalah hasil rancangan manusia, pasar bebas bukanlah hasil racangan manusia walaupun disebabkan oleh tindakan manusia. Kalaupun ada tujuan akhir yang hendak diketahui atau dicapai maka tujuan tersebut tidak lain adalah kelestarian tatanan pasar bebas itu sendiri beserta segala sesuatu yang berada di dalamnya. Kalau pun ada tujuan tunggal, tujuan pasar bebas ini bukan merupakan sasaran langsung dari setiap pelaku ekonomi. Semua pelaku bahkan tidak tahu

(3)

Modul 2 ESDH 2019

tentang tujuan tadi karena tujuan akhir pasar bebas bukan berada dalam benak setiap individu, melainkan dalam benak alam.

Tugas utama sistem ekonomi pasar adalah menciptakan sebuah kerangka yang memungkinkan setiap individu secara bebas memutuskan bagi dirinya sendiri apa yang ingin dilakukannya sehingga kebutuhannya dapat terpuaskan. Dalam sistem seperti itu, keputusan tadi pada akhirnya akan menyumbang sebisa mungkin bagi perwujudan suatu organisasi yang lebih baik, lebih adil dan makmur, baik disadari maupun tidak.

Di Indonesia, kawasan hutan adalah hutan negara yang dikuasi oleh negara sehingga sistem pasar bebas belum berlaku. Sumber daya hutan dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk meningkatkan kesejahteraan segenab rakyat Indonesia melalui pembangunan nasional yang menyeluruh. Hutan negara tersebut merupakan hutan hujan tropis yangg mencakup luasan kurang lebih 109 juta hektar atau 56 persen dari luas daratan Indonesia. Hutan yang luas tersebut ditumbuhi oleh beragam jenis pepohonan. Di pulau Kalimantan sendiri diperkirakan terdapat 1.800 hingga 2.300 jenis pohon yang diameternya lebih dari 10 cm, dan sekitar 40 genus tanaman dan lebih banyak lagi spesies yang sifatnya endemis. Namun demikian legislasi nasional kita juga mengenal hutan milik, yaitu hutan yang dibebani hak milik yang disebut sebagai hutan rakyat. Selain itu juga dikenal hutan adat, yaitu hutan yang dalam pengelolaannya diberikan kepada lembaga adat lokal agar dapat memanfaatkan hutan adat tersebut demi menjaga kelestarian adat istiadat dan budaya yang ada, khususnya dalam hal pengelolaan hutan secara tradisional agar masyarakat adat dapat mendapatkan manfaat hutan melalui pola pengelolaan yang arif dan bijaksana.

Sejak tahun 1990 hak mutlak negara atas hutan sedikit terusik dengan istilah “milik bersama” atas hutan. Hal ini menimbulkan terjadinya ketegangan secara mendasar tentang kepemilikan lahan hutan di Indonesia serta hambatan yang ditimbulkan oleh pemahaman serta kebijaksanaan yang ada sekarang mengenai hak milik, peluang masuk kawasan hutan, hutan, dan pengendalian hutan terhadap pembaruan kebijakan kehutanan. Pada konteks itu kendatipun pemerintah memiliki wewenang serta yurisdiksi hukum tunggal atas kawasan hutan yang telah ditentukan, tetapi kawasan hutan tersebut juga merupakan “milik besama”, yaitu milik para perusahaan kayu besar hingga petani peladang berpindah-pindah serta penambang emas kecil-kecilan. “Peluang masuk terbuka” semacam itu merupakan perangsang kuat untuk menggunduli hutan dan merusak lahan sebab tidak satu pun pelaku ini mempunyai hak yang aman atas lahan hutan sehingga haknya dapat berfungsi sebagai perangsang untuk pengelolaan jangka panjang yang berkelanjutan serta tidak satu pun hak

(4)

Modul 2 ESDH 2019

seperti itu yang memiliki sarana yang praktis untuk menguasai atau menyingkirkan pihak lain, terutama di daerah terpencil.

Bukti kuatnya paham bahwa lahan hutan itu adalah “milik bersama” adalah pendudukan kawasan Taman Nasional Lore Lindu di wilayah Dongi-Dongi oleh masyarakat seluas kurang lebih empat ribu hektar serta penyerobotan Tahura (Taman Hutan Raya) oleh para penambang emas liar. Hingga kini penyerobotan tersebut perlu menemukan penyelesaian. Di taman nasional dan hutan lindung lainnya, peluang masuk yang terbuka merupakan hukum de fakto wilayah itu juga. Wilayah-wilayah yang dilindungi secara legal tidak boleh dilanggar bagi hampir semua pemukiman dan pemanfaatan sumber daya hutan. Namun pemerintah belum mempunyai sarana yang efektif untuk mengontrol penebangan liar, perladangan liar, permukiman liar, dan pertambangan liar di dalam kawasan lindung dan konservasi tersebut. Banyak kawasn yang telah dilindungi di Indonesia dengan demikian menjadi daya tarik untuk penggunaan kayu liar, perladangan berpindah dan tebas bakar, serta pengumpulan binatang liar.

Sistem “milik bersama” tersebut menimbulkan dua masalah. Pertama, karena terikat secara rangkap, baik perusahaan maupun masyarakat semuanya terpaksa melakukan pengrusakan hutan sebagaimana telah mereka lakukan dengan lebih hebat selama beberapa puluh tahun belakangan ini. Kedua, perusahaan konsesi hutan yang besar dengan nilai ekonnomi kurang lebih 4 miliar dolar AS per tahun akan berusaha memiliki pengaruh yang kuat terhadap berbagai kebijakan kehutanan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena alasan kedua itulah maka tahun-tahun belakangan ini, pemerintah telah meningkatkan penegakan peraturan pengelolaan konsesi dan mengusahakan cara-cara untuk mempertemukan hak-hak masyarakat setempat atas tanah dan sumber daya secara adil dengan penebangan dan kegiatan-kegiatan berskala besar lainnya di wilayah hutan. Tetapi karena industri perkayuan dan produk-produk hutan itu sangat penting bagi perekonomian nasional, para pembaharu di pemerintahan menjalankan peraturan pengelolaan konsesi tersebut dengan hati-hati.

Pada berbagai kesempatan para rimbawan serta berbagai kalangan, terutama dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) melakukan debat tentang bagaimana peranan pemerintah yang terbaik dalam hal pengelolaan sumber daya hutan. Desentralisasi pembangunan kehutanan dan otonomi daerah merupakan perangkat politik yang dijadikan acuan dalam perdebatan itu untuk melegalisasi hak-hak rakyat atas hutan, yang nota bene selama ini terabaikan. Beberapa produk ilmuan seperti agroforestri, perhutanan sosial, kehutanan

(5)

Modul 2 ESDH 2019

masyarakat, dan lain sebagainya dijadikan perekat untuk menumbuh-kembangkan suatu pola pengelolaan hutan yang berorientasi kepada penyelamatan sumber daya yang berkeadilan.

Untuk memahami persoalan tersebut dengan baik maka perlu dilihat bagaimana pasar bebas secara teori atau konsepsional dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial (social welfare) atau kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (well-being of people). Pendekatan ini akan memperlihatkan bagaimana teori welfare maximum tidak harus terjadi dalam pasar bebas serta bagaimana peranan pemerintah sehingga masyarakat dapat menjadi lebih baik kesejahteraannya (better off). Hal ini merupakan issu yang teramat penting bagi pembangunan kehutanan di Indonesia dewasa ini, dimana munculnya kebangkitan semangat masyarakat untuk melakukan pengelolaan hutan.

A welfare maximum is an elusive allocation of resources—land and natural resources, people, and capital—such that no reallocation could yield a net gain. Pada titik atau pilihan optimum ini menjelaskan bahwa kerugian yang diperoleh bila terjadi perubahan pilihan akan melebihi dari perolehan yang dapat dihasilkan oleh perubahan pilihan yang baru tersebut. Prinsip Pareto terjadi pada konteks ini sehingga welfare maximum disebut juga Pareto optimum. Prinsip ini memberikan kemerdekaan kepada pelaku ekonomi untuk menentukan sikap terhadap berbagai alternatif untuk memilih salah satu diantaranya yang tentunya merupakan alternatif yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan alternatif lainnya yang juga memungkinkan untuk dilakukan.

A. Pengalokasian Sumber Daya Hutan

Untuk memahami berbagai alasan yang melatar-belakangi pasar bebas yang tidak teratur dalam sektor kehutanan, maka perlu terlebih dahulu difahami berbagai kondisi yang mana ekonomi pasar secara teori dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan pembangunan yang dilaksanakan sesuai teori dan pemikiran ekonomi, termasuk ekonomi sosialis yang terpimpin. Bila kesejahteraan masyarakat tidak tercapai maka pada kasus ini terjadi kegagalan pasar (market failurers). Dengan demikian terdapat dua kondisi yang mempengaruhi tingkat alokasi sumber daya hutan.

1. Kondisi yang dibutuhkan sehingga pasar bebas dapat memaksimalkan kesejahteraan. o Property right atas sumber daya hutan ditegakkan. Kepemilikan semua lahan dan

sumber daya hutan harus terdefinisikan dengan jelas sehingga tidak terjadi akses yang bebas terhadap kelangkaan sumber daya tersebut.

(6)

Modul 2 ESDH 2019

o Perusahaan dan konsumen dapat melakukan maksimalisasi kepuasan. Perusahaan akan selalu mencoba untuk memaksimalkan pendapatan bersihnya dan konsumen akan selalu memaksimalkan kepuasannya atas konsumsi barang yang dibelinya dari produsen. Baik perusahaan sebagai produsen maupun konsumen memiliki hak yang independen untuk memuaskan kepuasannya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.

o Kompetisi yang sempurna. Dimana pada kompetisi yang sempurna, perusahaan adalah price taker. Kurva permintaan yang horizontal terhadap produk yang ditawarkan perusahaan tidak dapat mempengaruhi harga pasar. Bila salah satu perusahaan menaikan harga produknya maka pembeli akan pergi ke perusahaan lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya.

o Bebasnya perusahaan baru untuk masuk. Bila terjadi rate of return yang sangat tinggi maka perusahaan baru dapat masuk dengan bebas untuk meningkatkan outputnya. o Informasi yang sempurna. Konsumen mengetahui informasi tentang semua output

yang tersedia beserta harganya, sedangkan perusahaan memiliki semua informasi tentang teknologi yang digunakan dalam proses produksi, input, dan harga semua input dan output.

o Mobilitas tenaga kerja dan kapital. Tenaga kerja tersedia pada berbagai tingkatan gaji yang dipersaingkan, dan kapital dapat tersedia dari berbagaisumber pada berbagai persaingan interest rate (bunga).

o Tidak ada efek samping negatif yang tak berharga. Polusi yang ditimbulkan oleh industri penggergajian misalnya harus memiliki harga. Demikian juga erosi tanah dan kerusakan keragaman hayati yang ditimbulkan oleh kegiatan logging. Harga-harga tersebut harus ditanggung oleh perusahaan yang menimbukan efek samping atau polusi tersebut.

o Input dan output memiliki harga. Semua produk, jasa dan sumber daya dapat dijual dengan harga tertentu sehingga terdapat insentif bagi pasar untuk menyediakan hal tersebut.

o Distribusi pendapatan yang memuaskan. Distribusi pendapatan dari pengelolaan hutan harus memuaskan semua warga negara pada kondisi sekarang dan yang akan datang.

(7)

Modul 2 ESDH 2019

2. Beberapa hasil yang diperoleh bila kesejahteraan dimaksimalkan.

o Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi. Konsumen akan mempertimbangkan dengan nilai uang untuk menerima output yang dihasilkan. Harga akan serendah mungkin, konsisten dengan rate of return yang dapat diterima.

o Konsumen memaksimalkan kepuasannya dengan berpegang pada Equi-Marginal Principle. Konsumen yang rasional akan membelanjakan uangnya sehingga rupiah terakhir yang dibelanjakan terhadap setiap unit barang dan waktu memberikan kepuasan yang sama.

o Kapital akan dialokasikan secara efisien. Investor akan membelanjakan atau menginvestasikan uangnya pada suatu usaha yang lebih menguntungkan.

o Tenaga kerja dan sumber daya lainnya dialokasikan secara efisien. Pegawai atau tenaga kerja akan berpindah kepada perusahaan yang dapat memberi mereka gaji yang lebih baik. Demikian juga dengan sumber daya, sebagai contoh hutan akan diberikan kepada perusahaan yang memiliki effort untuk membayar dengan harga yang lebih tinggi.

o Produsen akan mencari tingkat efisiensi dari output. Hal ini terjadi dimana pendapatan tambahan per unit output sama dengan ongkos tambahan.

o Lahan dialokasikan secara efisien. Lahan akan diberikan kepada pengusaha yang dapat mengusahakannya dengan keuntungan yang lebih banyak.

Bila semua kondisi tersebut di atas terjadi maka kesejahteraan akan termaksimumkan karena tidak ada lagi realokasi sumber daya yang dapat menghasilkan penerimaan bersih (net gain). Perlu digaris-bawahi bahwa ketentuan di atas tidak selamanya ada dalam sebuah realitas ekonomi pasar. Oleh sebab itu kesejahteraan tidak termaksimumkan dalam sebuah pasar persaingan sempurnah. Dan hal inilah yang akan dapat menimbulkan kegagalan pasar sehingga dalam kondisi seperti ini dibutuhkan peraturan dan intervensi pemerintah untuk meningkatkan kepuasan total di atas tingkat kepuasan yang ditimbulkan oleh pasar bebas. Di sinilah pentingnya lembaga-lembaga riset yang dimiliki oleh perguruan tinggi atau pemerintah untuk senantiasa melakukan kajian terhadap berbagai aktivitas perekonomian yang berada dalam sistem pasar bebas sehingga dapat memberikan masukan kepada pemerintah sehingga pembangunan ekonomi yang sementara berjalan dapat memaksimumkan kepuasan total masyarakat.

(8)

Modul 2 ESDH 2019

B. Kegagalan Pasar

Kegagalan pasar tidak hanya dapat terjadi pada perusahaan swasta, tetapi juga dapat terjadi pada berbagai aktivitas pemerintah. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar diantaranya dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

1. Property Right tidak Ditegakkan

Bila akses yang tidak terkendali atau yang tidak terbatas dibiarkan terjadi terhadap sumber daya hutan maka kesejahteraan tidak akan dapat tercapai. Point ini dapat menjelaskan dua hal. Pertama, open access seperti yang terjadi pada sumber daya laut dimana semua nelayan bebas melakukan penangkapan ikan pada wilayah laut yang ada tanpa ada aturan tentang kepemilikan wilayah. Konsekuensinya adalah tidak terdapat suatu effort untuk melakukan investasi yang menunjang kelestarian hasil, melainkan setiap nelayan akan berusaha memaksimalkan hasil tangkapannya dengan asumsi bahwa kalau ia tidak melakukannya, maka nelayan lain yang akan memaksimalkan tangkapannya. Demikian juga bila terjadi open acces terhadap wilayah hutan maka tidak ada satupun orang atau perusahaan yang mau menginvestasikan modalnya untuk suatu tujuan pengelolaan yang berkelanjutan. Hal kedua adalah pelanggaran terhadap state property right. Pada point ini kasus yang menarik adalah illegal logging dan penyerobotan Taman Nasional Lore Lindu di wilayah Dongi-Dongi. Telah terjadi bencana banjir dan tanah longsor yang menyebabkan kerusakan lahan-lahan pertanian dan jembatan sehingga mengganggu kelancaran aktivitas ekonomi yang menggunakan fasilitas transportasi jalan raya di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Gambar II-1 memperlihatkan perkembangan penyerobotan lahan hutan oleh masyarakat disekitar Taman Nasional Lore Lindu sejak tahun 1951 hingga 2001. Perilaku data yang memperlihatkan penambahan secara eksponensial bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, perilaku tersebut mengikuti perilaku pertambahan penduduk yang menyerupai pertumbuhan eksponensial pula. Semakin banyak jumlah penduduk yang disebabkan oleh kelahiran dan migrasi maka akan semakin banyak lahan baru yang dibutuhkan untuk menunjang aktivitas perekonomian mereka. Kedua, perilaku eksponensial tersebut merupakan pengaruh intrinsik dalam masyarakat sekitar kawasan hutan yang sangat tergantung kepada lahan dan sumber daya hutan untuk memenuhi berbagai keperluannya. Pengaruh instrinsik ini dapat berupa budaya atau cara hidup yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat secara turun temurun.

(9)

Modul 2 ESDH 2019

Gambar II-1. Penyerobotan lahan hutan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Lore Lindu.

Pengendalian terhadap kedua faktor penyebab pertumbuhan penyerobotan hutan di atas tidak mudah untuk dikendalikan. Apalagi bila keduanya secara bersamaan terdapat dalam masyarakat. Sesuatu yang intrinsik bisa saja akan tersembunyi dan nampak pada selang waktu tertentu dan kemudian tiba-tiba muncul pada saat memiliki pemicu sebagai alasan. Seperti itulah yang menyebabkan penyerobotan dan okupasi wilayah TNLL seluas empat ribu hektar pada tahun 2002 oleh masyarakat setempat yang perlu pembenahan dan penanganan agar menemui penyelesaian. Kendatipu bencana alam datang sesaat setelah penyerobotan kawasan tersebut namun hingga kini kawasan tersebut masih terokupasi, bahkan masyarakat yang bermukim di Dongi-Dongi tersebut telah meminta legalitas sebagai sebuah masyarakat dengan wilayah desa baru yang diakui oleh pemerintah.

2. Persaingan tidak Sempurna

Terdapat tiga hal yang dibahas dalam persaingan tidak sempurna yaitu monopoli, monopsoni, dan peranan pemerintah dalam memperbaiki persaingan. Monopoli dikatakan terjadi bila sebuah perusahaan menghasilkan semua output satu jenis produk atau jasa di pasar. Sebagai contoh, semua kebutuhan kayu gergajian di kota A disuplai oleh hanya satu perusahaan penggergajian. Gambar II-2 memperlihatkan suatu perusahaan yang berhadapan dengan kurva permintaan dengan kelerengan bersifat negatif. Bila perusahaan monopoli mengubah outputnya maka harga produk juga akan berubah. Kondisi ini menjelaskan bahwa perusahaan tersebut memiliki kekuatan pasar (market power) dan kondisi ini bertentangan dengan perusahaan kompetitif yang bersifat price taker dan berhadapan dengan kurva permintaan yang horizontal.

(10)

Modul 2 ESDH 2019

Gambar II-2. Output optimum monopoli vs sosial optimum.

Gambar di atas memperlihatkan margin perolehan perusahaan monopoli berada di bawah kurva permintaan, sebab kapan saja terjadi peningkatan output akan menyebabkan menurunnya harga yang berlaku kepada semua unit barang yang dijual. Perusahaan seperti itu cenderung memproduksi pada titik Q1 dan Q2 dimana margin perolehan sama dengan margin

ongkos. Tetapi output yang bersifat sosial optimum terjadi pada Q2 dan P2 pada titik A

dimana margin ongkos dari unit terakhir yang dipasarkan sama dengan harganya.

Biasanya monopoli sempurna sulit dijumpai dalam sistem perekonomian. Biasanya praktik monopoli yang memiliki kekuatan pasar dilakukan oleh beberapa perusahaan (oligopoli) dimana setiap perusahaan berhadapan dengan kurva permintaan dengan kelerengan negatif. Harga dan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan oligopoli lebih rendah bila dibandingkan dengan sistem ekonomi pada kondisi monopoli, tetapi lebih tinggi bila dibandingkan pada sistem pasar bebas.

Gambar II-3 memperlihatkan kondisi monopsoni dimana kegagalan pasar terjadi ketika sebuah input dijual hanya oleh satu perusahaan (monopsoni). Kurva yang menggambarkan margin produk perolehan pada perusahaan monopsoni akan memperlihatkan perolehan tambahan perusahaan tersebut untuk setiap unit input, sebagai contoh, input jam kerja atau meter kubik kayu pada industri penggergajian. Pada monopsoni, kurva permintaan tidak memperlihatkan kurva suplai yang horisontal seperti pada perusahaan yang berada pada sistem ekonomi pasar.

P1

P2

Harga (Rp/unit)

Unit output per unit waktu. Ch: volume stumpage atau jam kerja

A

Q1 Q2

Margin ongkos

Margin revenue

Kurva permintaan dalam monopoli

Optimum monopoli Optimum sosial

(11)

Modul 2 ESDH 2019

Gambar II-3. Input optimum monopsoni vs optimum sosial.

Oleh karena monopsoni hanya merupakan pembeli, maka ia berhadapan dengan kurva suplai input dengan kelerengan positif serta memperlihatkan kuantitas yang ditawarkan ke semua pasar pada berbagai harga yang berbeda. Sehingga pada kasus ini margin ongkos sumber daya berada di atas kurva suplai (atau di atas harga) sebab untuk meningkatkan suplai inputnya, perusahaan harus menawarkan harga yang lebih tinggi terhadap semua barang atau unit yang telah dibeli sebelumnya. Jadi monopsoni akan memaksimalkan keuntungannya dengan menggunakan Q1 pada Gambar II-3, dimana margin produk pendapatannya sama

dengan margin ongkos sumber daya, pada titik A, menghasilkan input dengan harga P1.

Menggunakan satu unit lebih input akan menimbulkan biaya bagi perusahaan melebihi dari unit yang dikontribusikan terhadap total pendapatan. Tetapi Q1 merupakan input sub optimal

secara sosial sebab unit terakhir input memperoleh sebuah harga (P1) kurang dari

kontribusinya terhadap total pendapatan perusahaan.

Monopsoni merupakan bayangan atau cermin dari monopoli. Monopoli merupakan penjual tunggal suatu barang, sedangkan monopsoni merupakan pembeli tunggal dari suatu input. Kasus ekstrim dari kekuatan pasar dalam membeli suatu sumber daya adalah monopsoni; yang lebih umum adalah oligopsoni, yaitu jumlah pembeli yang terbatas suatu sumber daya.

Harga Rp/unit

Unit input per unit waktu. Ch: volume stumpage atau jam kerja

A

Margin ongkos sumber daya

Kurva suplai pada monopsoni

Margin produk pendapatan pada monopsoni

P2

P1

Q1 Q2

Optimum monopsoni Optimum sosial

(12)

Modul 2 ESDH 2019

3. Program Pemerintah untuk Memperbaiki Persaingan

Kendatipun monopoli murni bukan merupakan persoalan pada industri kehutanan, beberapa persoalan oligopoli telah terjadi. Beberapa keadaan yang dapat melemahkan iklim kompetisi yang sehat adalah:

o kolusi antara perusahaan untuk meningkatkan harga produk; o kolusi untuk mengurangi harga input;

o diskriminasi harga; dan

o harga yang bersifat predator, atau memotong harga produk di bawah ongkos produksi dengan tujuan melindungi daya saing perusahaan untuk memasuki pasar.

Untuk mengutarakan persaingan yang tidak sempurna, pemerintah terkadang mengambil suatu langkah-langkah dengan melakukan partisi perusahaan besar menjadi beberapa perusahaan yang lebih kecil. Beberapa perusahan HPH yang berskala sangat besar dipartisi menjadi beberapa perusahaan yang berskala menengah. Demikian juga mengikutsertakan perusahaan-perusahaan kecil pada perusahaan pengelolaan hutan merupakan langkah pemerintah yang telah diambil sejauh ini.

4. Informasi yang Tidak Sempurna

Pasar tidak dapat berfungsi secara efisien bila konsumen tidak memiliki informasi yang memadai tentang produk dan harga, atau bila produsen memiliki pengetahuan yang tidak memadai tentang proses produksi atau tentang sumber daya beserta harganya. Sebagian besar konsumen menginginkan untuk memiliki informasi yang cukup tentang produk kayu serta produk hasil hutan lainnya sehingga mereka dapat menentukan pilihan-pilihan yang dapat memenuhi kepuasan mereka. Spesifikasi barang yang ditawarkan oleh produsen ke konsumen harus lengkap dan sesuai dengan kondisi barang sebab bila tidak maka akan menimbulkan kerugian bukan saja kepada pembeli tetapi juga kepada produsen.

5. Tenaga Kerja dan Kapital yang tidak dapat Dimobilisasi

Bila tenaga kerja atau kapital tidak dapat berpindah-pindah dimana mereka dapat memperoleh pendapatan yang lebih baik, maka kesejahteraan tidak dapat dimaksimalkan. Untuk persoalan ini, pemerintah seharusnya dapat menyediakan berbagai bantuan untuk menfasilitasi relokasi, pelatihan-pelatihan bagi tenaga kerja, asuransi pengangguran, serta berbagai aktivitas pembangunan ekonomi.

(13)

Modul 2 ESDH 2019

6. Efek Samping Negatif yang Tidak Diberi Harga

Contoh di sini adalah segala bentuk polusi seperti polusi air, udara, suara, dan penglihatan. Efek ini tidak diberi harga dan dalam jargon ekonomi, kerusakan seperti itu disebut eksternalitas negatif atau eksternalitas disekonomi.

Gambar II-4. Divergensi optimum sosial dan perusahaan pada kasus polusi air.

Gambar II-4 memperlihatkan kondisi permasalahan hipotesis industri kertas yang telah menyebabkan polusi atau pencemaran air. Dari sudut pandang perusahaan, titik optimum berada pada QP ton kertas per tahun, dimana margin ongkos produksi sama dengan margin

pendapatan atau harga per ton. Bila perusahaan kertas tersebut memproduksi kertas kurang dari QP , maka seharusnya terdapat insentif untuk meningkatkan output sebab perolehan

ekstra dari memproduksi satu atau lebih unit kertas seharusnya melebihi ongkos ekstra. Tetapi dari cara pandang sosial, bila ongkos polusi adalah Rp C per ton kertas, maka kondisi optimum sosial berada pada QS ton per tahun. Pada titik tersebut margin ongkos sosial sama

dengan margin perolehan perusahaan. Sehingga pada kasus ini, optimum sosial berada pada output kertas dan polusi yang lebih rendah dari pada optimum perusahaan. Melakukan produksi melebihi QS akan menimbulkan ongkos ekstra (termasuk ongkos kerusakan) yang

akan melebihi manfaat ekstra.

Pada pengelolaan sumber daya hutan, kegiatan logging dapat menyebabkan efek samping yang bersifat negatif, misalnya rusaknya keindahan fanorama alam yang diberikan oleh ekosistem hutan, kerusakan kondisi tanah dan air. Program pemerintah untuk memperbaiki hal-hal ini dapat dilakukan denga membuat suatu regulasi tentang standar kerusakan atau emisi yang diperbolehkan.

Margin ongkos sosial

Margin ongkos perusahaan

Margin pendapatan= harga per ton C= ongkos polusi/ton kertas QS Optimum sosial QP Optimum perusahaan Ton kertas/tahun Rp/ton 38 | P a g e

(14)

Modul 2 ESDH 2019

C. Level Optimum Kerusakan Lingkungan

Membahas efek samping yang bersifat negatif dalam konteks ekonomi seperti yang telah disinggung secara singkat di atas merupakan bagian dari ekonomi lingkungan, dan porsi itu berbeda dengan porsi ekonomi sumber daya. Namun dalam konteks ini, mengingat hutan merupakan suatu ekosistem maka terkadang dilakukan pembahasan tentang keduanya secara bersamaan. Hal ini juga disebabkan karena kerusakan ekosistem hutan yang diakibatkan oleh pola manajemen yang dilakukan dalam usaha untuk memperoleh keuntungan dari sumber daya hutan telah menjadi perhatian serius masyarakat internasional sebagaimana yang telah dilansir oleh berbagai publikasi ilmiah dan media massa. Menghadapi persoalan seperti ini, maka rimbawan tidak cukup sekedar menjelaskan kepada masyarakat luas apa yang ia lakukan dalam pengelolaan hutan. Tetapi lebih dari itu, rimbawan seharusnya dapat menjelaskan kerusakan atau dampak negatif yang diakibatkan oleh pengelolaan hutan dengan menggunakan teori ekonomi. Berfikiran ekonomi dalam membahas kerusakan lingkungan merupakan issu utama dalam pengelolaan hutan di abad ke 21 ini.

Perusahaan kehutanan yang menimbulkan dampak lingkungan yang merusak disebut “perusak lingkungan” atau “damager”, sedangkan mereka yang terkena dampak atau kerusakan disebut “korban” atau “victim”. Damager biasanya berupa perusahaan, termasuk diantaranya pemilik sumber daya, baik yang bersifat publik atau swasta/privat. Bila perusahaan HPH yang melakukan eksploitasi hutan menyebabkan mendangkalnya sungai serta tercemarnya air sungai oleh bahan bakar buangan kendaraan dan industri yang ada, maka yang akan menjadi korban adalah pemancing ikan dan termasuk ikan. Bila pemerintah mengeluarkan suatu regulasi yang mengharuskan perusahaan melakukan suatu upaya pengendalian polusi yang sangat mahal, maka perusahaan HPH tersebut juga dikategorikan sebagai korban; korban peraturan yang dibuat tanpa mempertimbangkan berbagai pihak yang terkait. Dan selanjutnya ikan dapat dikategorikan sebagai perusak. Pernyataan seperti ini mungkin agak kedengaran asing, tetapi dalam membuat suatu keputusan memang seharusnya mempertimbangkan semua pihak atau komponen yang terlibat.

Pertanggungjawaban korban atau victim liability dapat diawali dengan kerusakan yang masih dapat ditolerir. Mengkondisikan atau mengkaji apakah korban dapat bertanggung jawab terhadap pengurangan kerusakan dan menentukan apakah mereka bersedia untuk berpartisipasi atau membayar ongkos yang ditimbulkan oleh usaha untuk mengurangi kerusakan. Jadi prinsipnya disini adalah bahwa kerusakan lingkungan adalah tanggung jawab bersama.

(15)

Modul 2 ESDH 2019

Pertanggungjawaban perusak atau damager liability dapat diawali dengan prinsip bahwa tidak ada kerusakan yang dibiarkan tanpa kompensasi, dan menempatkan pertanggungjawaban terhadap perusak untuk memberikan kompensasi terhadap komponen-komponen lingkungan yang rusak. Kompensasi dapat merupakan pembayaran berupa uang yang minimum korban mau terima sebagai keinginan untuk menerima kerusakan yang menimpanya. Dengan adanya kompensasi maka korban dapat merasa puas sebagaimana yang mereka rasakan sebelum ada kerusakan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana menentukan besaran nilai kompensasi bila, katakanlah korbannya adalah kelompok masyarakat yang memiliki nilai keinginan untuk menerima kompensasi sangat bervariasi. Sebab bila hal ini tidak dikaji dengan baik, maka keputusan yang diambil oleh perusak atas nilai atau besaran kompensasi justru dapat menimbulkan ongkos sosial yang baru.

Ada dua jenis property rights yang berhubungan dengan ketentuan di atas, yaitu private property rights dan amenity right. Private property rights berhubungan dengan hak pribadi untuk melakukan apa saja yang ia inginkan, dan hal ini dapat berbenturan dengan hak masyarakat umum untuk merasakan kenyamanan lingkungan (amenity right).

1. Solusi Optimal dengan Kerusakan Moneter

Gambar II-5a dan b menjelaskan konsep kerusakan lingkungan yang optimal pada suatu perusahaan. Sumbu horizontal menggambarkan jumlah unit kerusakan yang dapat berupa jumlah (unit) sedimen yang terjadi per bulan pada sebuah sungai sebagai akibat dari eksploitasi hutan di sekitar aliran sungai tersebut. Tebang pilih sebagai pendekatan yang digunakan dalam mengeksploitasi hutan alam pun akan menimbulkan kerusakan ligkungan. Penelitian terhadap efek eksploitasi hutan primer di Mentawai misalnya, dengan menggunakan sistem tebang pilih, menujukkan bahwa sistem tersebut rerata mengeksploitasi kayu sebesar 8% dan mengakibatkan 19% pohon rusak yang tumbang ke permukaan tanah, 20% yang mengalami kerusakan parah namun masih berdiri, dan 7% yang rusak ringan serta sisanya sebesar 46% berada pada kondisi baik. Eksploitasi hutan seperti itu akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah yang gembur sehingga mengakibatkan peningkatan resiko erosi air hujan yang secara bebas jatuh ke permukaan tanah. Tanah yang gembur akan mudah larut oleh air hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah tersebut dalam jumlah yang banyak dan kemudian air hujan yang telah melarutkan butir-butir tanah akan mengalir ke sungai dan selanjutnya tersedimentasi pada bagian-bagian tertentu sungai, misalnya di daerah hilir atau muara sungai. Sedimentasi ini selanjutnya menimbulkan berbagai resiko lingkungan, baik terhadap daya tampung sungai maupun terhadap berbagai

(16)

Modul 2 ESDH 2019

biota sungai. Tanah hutan yang tererosi dan daerah hilir yang tersedimentasi akan memiliki kondisi tanah yang sama buruknya. Pada tanah hutan akan tersisa bebatuan yang miskin hara karena tanah organik yang kaya akan mineral telah terangkut ke wilayah hilir. Namun tanah mineral tersebut di daerah hilir bisa saja sulit tersedia bagi pengembangan pertanian oleh karena telah tertimbun oleh bebatuan yang juga berasal dari lahan hutan.

Gambar II-5a (atas) dan b (bawah). Hubungan ongkos kerusakan lingkungan dan keuntungan perusahaan (a) serta optimalisasi kerusakan (b) dengan penekanan pada property right.

Gambar II-5a, XP adalah keuntungan maksimum perusahaan dalam kondisi tidak ada kontrol kerusakan lingkungan pada X unit. Kurva dengan garis terputus-putus menunjukkan keuntungan perusahaan pada berbagai tingkat pengurangan kerusakan. Selisih antara XP dengan keuntungan merupakan total ongkos yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengontrol kerusakan yang ditimbulkan oleh industrinya pada setiap tingkat kerusakan. Kurva dengan garis tidak terputus-putus adalah ongkos kerusakan total yang dialami oleh korban, dalam bentuk kehilangan pendapatan. Jarak antara kurva keuntungan perusahaan dengan kurva kerusakan merupakan perolehan sosial bersih (net social revenue). Sehingga

T am ba ha n R p/ uni t ke rus aka n O p tim u m

Unit kerusakan per satuan waktu

r. ke l. = WTP untuk menghindari kerusakan

r. ke l. = Kerugian perusahaan per unit reduksi kerusakan Perolehan sosial bersih maksimum Ongkos kerusakan total bagi korban (lost income) Keuntungan perusahaan maksimum dengan reduksi kerusakan Keuntungan perusahaan maksimum tanpa kontrol kerusakan X R p /u n it w ak tu

Unit kerusakan per satuan waktu P

D

D X

(17)

Modul 2 ESDH 2019

dengan demikian tingkat kerusakan optimal berada pada D dimana perolehan sosial bersih termaksimalkan.

Gambar II-5b, memulai dengan kerusakan yang tidak terkontrol (X) dan berpindah dari kanan ke kiri (r to l). Kurva berupa garis terputus-putus adalah kerugian perusahaan yang diakibatkan oleh pengeluaran dalam upaya pengurangan kerusakan (marginal cost) dan merupakan slope atau kelerengan dari kurva berupa garis putus-putus pada Gambar II-5a. Kurva berupa garis tidak terputus-putus pada Gambar II-5b merupakan perolehan tambahan yang diterima oleh korban dari setiap unit pengurangan kerusakan, atau maksimum keinginan untuk membayar (WTP) untuk menghindari terjadinya setiap unit terakhir kerusakan. Mengurangi kerusakan sampai dengan titik D, peningkatan pendapatan bagi korban akan melebihi ongkos tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Mengurangi kerusakan hingga di bawah titik D, maka perolehan ekstra bagi korban tidak akan cukup untuk menutupi ongkos tambahan pemulihan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Kesimpulannya adalah titik D merupakan tingkat kerusakan optimal. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa tanpa negosiasi untuk mencari kesepakatan antara korban dengan perusahaan maka pasar bebas cenderung memproduksi sangat banyak kerusakan lingkungan.

2. Solusi Optimal dengan Kerusakan Non moneter

Kerusakan lingkungan tidak selalu berdampak terhadap penurunan pendapatan korban yang terkena dampak kerusakan lingkungan tersebut, namun demikian kerusakan lingkungan dapat menimbulkan kerugian yang bersifat non-moneter seperti penurunan kualitas udara, rusaknya keindahan lingkungan alam, atau hilangnya lokasi-lokasi yang biasanya digunakan sebagai tempat rekreasi pemancingan, dan lain sebagainya. Dikatakan kerugian yang bersifat non-moneter karena akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan tersebut bukan dalam bentuk uang, misalnya nilai uang pada penurunan pendapatan. Namun demikian nilai kerusakan tersebut tentunya dapat diukur melalui metode valuasi ekonomi sehingga nilai moneternya dalam bentuk nilai bayangan dapat diestimasi. Sekarang kita akan membahas kerusakan non-moneter tersebut dengan asumsi tidak ada kerusakan non-moneter yang ditimbulkan, misalnya pengurangan pendapatan.

Di kehutanan, pemanenan atau eksploitasi hutan dan industri pengolahan kayu dapat menimbulkan kerusakan seperti yang telah disebutkan tadi. Proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat (korban) juga diperlukan seperti pada kasus kerusakan yang bersifat moneter agar supaya diperoleh suatu kesepakatan tentang solusi kerusakan optimal. Namun dalam kasus kerusakan yang bersifat non-moneter, terkadang sulit

(18)

Modul 2 ESDH 2019

mencapai solusi optimum, terutama bila kondisi sosial ekonomi masyarakat (korban) tidak mapan sehingga WTP (willingness to pay) mereka untuk mengurangi kerusakan sering lebih rendah dari kompensasi yang mereka terima untuk memikul kerusakan yang sejenis. Bahkan pada masyarakat yang sangat miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk membayar ongkos pengurangan kerusakan lingkungan, mereka tetap menginginkan adanya kompensasi terhadap kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan oleh perusahaan.

Kesulitan akan teramat sangat bila berhubungan dengan fungsi hutan dalam penyelamatan keragaman hayati. Nilai keberadaan hutan dalam konteks tersebut akan dapat bernilai sangat mahal dan tentunya akan tidak mudah mengukurnya. Lebih tragis lagi adalah bahwa baik perusahaan, masyarakat sekitar hutan, bahkan pemerintah sendiri belum mengetahui dan atau belum memiliki kesadaran yang memadai terhadap konsep nilai keberadaan tersebut.

Gambar II-6 mendemonstrasikan optimasi kerusakan yang bersifat non moneter. Gambar ini memperlihatkan kurva yang sama dengan Gambar II-5a dan b, tetapi pada Gambar II-6 terlihat bahwa kurva denga garis terputus-putus (l ke r) yang merupakan kurva konvensasi terhadap korban berada di atas kurva yang tidak terputus-putus yang merupakan WTP (r ke l). Jadi terlihat bahwa kerusakan yang bersifat non-moneter dengan penekanan kepada hak-hak atas kenyamanan memberikan tingkat kerusakan optimal yang lebih rendah (D’) dibandingkan dengan penekanan kepada hak-hak kepemilikan pribadi (D). Hal ini mengandung suatu pemahaman bahwa bila kita secara inisial membiarkan terjadinya kerusakan non-moneter dan kemudian kita mencoba mencari suatu solusi optimum dengan cara menanyakan kepada masyarakat tentang WTP mereka untuk mengurangi kerusakan, maka hal ini akan lebih sulit apalagi bila kerusakan itu belum benar-benar mempengaruhi kenyamanan masyarakat. Namun demikian yang dapat dilakukan adalah menyusun skenario-skenario dengan baik tentang kerusakan dan dampaknya kemudian dijelaskan kepada masyarakat sehingga mereka dapat melakukan justifikasi dan menentukan pada tingkatan mana mereka mendapatkan kesejahteraan yang maksimum.

(19)

Modul 2 ESDH 2019

Gambar II-6. Optimasi kerusakan non moneter: liabilitas korban dan perusahaan (damager).

Kerusakan non-moneter seperti yang telah dibahas di atas menunjukkan bahwa sumber daya hutan memiliki fungsi yang kompleks dan memiliki nilai ekonomi yang tidak hanya berasal dari kayu saja, tetapi juga fungsi-fungsi lainnya yang kemungkinan justru lebih penting. Hutan bila dilihat dari aspek fungsional, moral, dan estetika memiliki berbagai fungsi diantaranya fungsi produksi, fungsi penyangga kehidupan, dan fungsi pengawetan. Oleh sebab itu peranan pemerintah dalam pengelolaan hutan menjadi sangat penting.

Dewasa ini fungsi hutan dalam menjaga kualitas lingkungan, baik pada skala regional maupun pada skala global semakin mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Banjir dan tanah longsor yang menyebabkan korban jiwa sudah sering kita dengar terjadi di berbagai daerah di Indonesia, demikian juga di negara-negara lain. Naiknya suhu atmosfir dunia menyebabkan terjadinya gangguan atau perubahan iklim dunia. Permukaan laut menjadi lebih tinggi sehingga menimbulkan bencana di berbagai kawasan pantai di dunia. Bahkan beberapa kawasan daerah pantai dan pulau-pulau kecil disinyalir terancam tenggelam.

r ke l = kerugian perusahaan per unit pengurangan k k r ke l = WTP untuk menghindari kerusakan 1 ke r = kebutuhan kompensasi korban per unit kerusakan 1 ke r = keuntungan

tambahan

perusahaan per unit penghindaran pengurangan D’ D Kerusakan rendah Kerusakan tinggi

Unit kerusakan disebabkan per unit waktu

Mulai di sini untuk liabilitas perusahaan ( damager liability) Mulai di sini untuk liabilitas korban ( victim liability) Optimum ? 44 | P a g e

(20)

Modul 2 ESDH 2019

D. Etika Moral dalam Pasar Bebas

Telah dibahas sebelumnya bagaimana persoalan-persoalan ekonomi sumber daya dan persoalan-persoalan ekonomi lingkungan antara “perusak” dengan “korban”. Hal tersebut telah membawa kita bahwa ada dua argumen pokok dalam ekonomi pasar bebas, yaitu argumen ekonomi yang menekankan pada efisiensi dan pertumbuhan, serta argumen moral yang terutama menekankan pada aspek-aspek moral dari ekonomi pasar bebas. Kedua argumen tersebut saling tumpang tindih, namun pada bagian akhir modul ini menempatkan argumen moral secara khusus sehingga kita dapat memahami dasar moral pasar bebas serta mengetahui mengapa Smith beserta pendukungnya mempertahankan sistem ini.

Sudah diutarakan juga dalam modul ini bahwa dalam dunia nyata juga sebenarnya teramat sulit untuk menemukan sistem monopoli murni. Namun monopoli itu dapat berupa hasil evolusi dari sistem kapitalisme yang dapat tumbuh dengan baik dalam sistem pasar bebas. Oleh sebab itu argumen pokok ekonomi murni serta argumen moral ekonomi dalam pasar bebas bukan saja dimiliki oleh para pelaku pasar tetapi juga harus dimiliki oleh pemerintah yang seharusnya dapat memonitor tingkat dinamisasi kesejahteraan atau kepuasan masyarakat secara keseluruhan dalam sistem ekonomi. Dalam konteks ekonomi negara, memang harus disadari untuk memberikan pengakuan yang kuat terhadap sistem nilai negara seperti nilai-nilai Pancasila bagi Indonesia. Dengan demikian sistem ekonomi Indonesia tidak hanyut dan tak terkendali oleh sistem ekonomi dunia yang teramat sulit diprediksi. Sebaliknya justru ekonomi Indonesia memiliki strategi tersendiri dan juga merupakan keunggulan dan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia sehingga mampu dan memiliki kepercayaan diri dalam perkembangan sistem pasar bebas dunia dewasa ini.

Mugkin tidak lama lagi perangkat perekonomian asing akan dengan bebasnya masuk ke sektor kehutanan nasional. Mobilisasi modal dan tenaga kerja asing akan masuk dan keluar dengan bebasnya ke dalam sektor pembangunan kehutanan kita. Manajemen hutan sistem REDD+ yang sementara dipersiapkan merupakan peluang untuk terjadinya kondisi tersebut karena memang sistem manajemen hutan REDD+ harus melibatkan negara lain, yaitu negara maju baik dari segi finansial maupun teknologi kehutanan. Masih teramat sedikit contoh baik sistem pengelolaan hutan yang telah kita kenal di Indonesia, dan kini kita diperhadapkan kepada sistem baru yang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. REDD+ merupakan wujud kesadaran masyarakat dunnia terhadap peranan hutan tropis dalam mitigasi perubahan iklim. Kesadaran akan bahaya pemanasan global pada awalnya dimiliki oleh negara-negara maju dan oleh karena itu hal ini telah menjadi perhatian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan membentuk UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change)

(21)

Modul 2 ESDH 2019

pada tahun 1992. Dalam perjalannnya negara-negara maju yang terdapat dalam Annex 1 Kyoto Protocol mengajak negara-negara berkembang pemiliki hutan tropis untuk menumbuh-kembangkan kesadaran yang sama akan dampak pemanasan global terhadap segala aspek kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Hasilnya sejak tahun 2008 REDD berkembang menjadi REDD+ dan untuk mempersiapkan implementasi kebijakan terrsebut maka PBB membentuk sebuah program yang disebut UNREDD (United Nation Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation).

Perusahaan kehutanan dalam melakukan pengelolaan hutan melalui implementasi teknik-teknik kehutanan seperti pembersihan, pemupukan, pemangkasan, penjarangan, pemanenan, pembukaan wilayah hutan, inventarisasi hutan akan menimbulkan gangguan dengan intesitas tertentu terhadap ekosistem alami hutan. Oleh sebab itu pengelolaan hutan harus berada pada posisi yang berkeseimbangan dalam perspektif sumber daya dan perspektif lingkungan. Kepentingan ekonomi pembangunan kehutanan dan kepentingan lingkungan hidup dimana hutan memegang peranan yang teramat penting pada konteks multi skala (multiscale) harus dapat berjalan secara harmonis dalam koridor pembangunan berkelanjutan karena prinsip-prinsip dan tata nilai pembangunan berkelanjutan inilah yang dianut oleh semua bangsa-bangsa di dunia. Pertimbangan pembangunan berkelanjutan itulah maka sistem pengelolaan hutan kita juga disebut dengan pengelolaan hutan berkelanjutan seperti yang diutarakan pada Gambar I-1.

Berbagai turunan pengelolaan hutan lestari yang telah dikenal oleh para rimbawan, baik yang mereka pelajari ketika masih menempuh pendidikan di bangku perkuliahan maupun yang mereka kenal atau praktikkan ketika bekerja sesuai dengan tuntutan profesionalisme mereka. Telah diketahui pula bahwa pada konteks etika moral profesi kehutanan, terutama ketika pembangunan kehutanan berada pada konteks ekonomi pasar bebas, maka argumen moral akan membawa kita kepada sistem pengelolaan hutan multi nilai (multi values forest management).

Etika moral yang harus dijunjung oleh profesional kehutanan dalam konteks pasar bebas adalah konsep pengelolaan hutan multi nilai. Sebuah paradigma baru kehutanan setelah kurang lebih dua ratus tahun paradigma pengelolaan hutan tidak pernah berubah. Perbedaan antara paradigma multi nilai dengan konsep yang baru-baru saja kita dengar, yaitu multi kegunaan (multi uses) atau multi tujuan (multi puroses) adalah bahwa multi kegunaan akan berorientasi kepada komoditi seperti kayu, buah, getah, dan seterusnya. Sebaliknya multi nilai berorientasi kepada komunitas dimana komunitas tidak berarti sempit yaitu manusia tetapi juga komunitas hutan beserta habitatnya. Sehingga pada pendekatan multi kegunaan maka

(22)

Modul 2 ESDH 2019

pertanyaan yang akan sering diutarakan adalah, misalnya apa kegunaan barang yang dihasilkan hutan tersebut. Sementara pada konteks multi nilai, pertanyaan yang penting adalah nilai apa yang hadir secara intrinsik di dalam hutan.

Dengan demikian maka persyaratan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi kegagalan pasar dalam konteks pasar bebas seperti informasi yang sempurna serta penegakan hak kepemilikan dapat terpenuhi dalam argumentasi moral multi nilai pengelolaan hutan.

Soal Latihan

1.Jelaskan pengertian pasar bebas?

2.Jelaskan bagaimana cara memaksimumkan kesejahteraan dalam konteks pasar bebas. 3.Jelaskan bagaimana distorsi kesejahteraan maksimum dalam persaingan tidak

sempurna.

4.Bagaimana perbedaan antara memaksimumkan kesejahteraan dengan mempertimbangkan dampak negatif kerusakan yang besifat moneter dan yang bersifat non moneter.

5.Jelaskan peranan argumen etika moral dalam persaingan bebasekonomi kehutanan dan lingkungan.

Rangkuman: 1. Petunjuk:

Berikut tersedia kata-kata kunci yang diambila dari modul/bahan kuliah.

a. Kata kunci:

1. Pasar bebas 4. Kondisi yang dibutuhkan oleh pasar bebas

2. Kegagalan pasar 5. Peran pemerintah 3. Level optimum kerusakan

lingkungan

6. Kesejahteraan

b. Buatlah bagan alir yang menggambarkan tata hubungan antara kata kunci tersebut:

(23)

Modul 2 ESDH 2019

2. Merujuk kepada aktivitas 1a dan 1b di atas, tuliskan rangkuman anda ke dalam kotak rangkuman berikut: ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 48 | P a g e

(24)

Modul 2 ESDH 2019

Refleksi Pembelajaran

No Deskripsi/Pertanyaan Jawaban

SS CS RR B SB

1. Capaian pembelajaran yang ditawarkan

2. Antusiasme mahasiswa mengikuti kuliah di dalam kelas

3. Core content yang diberikan 4. Proses perkuliahan

5. Metode evaluasi perkuliahan

6. Tingkat kehadiran mahasiswa dalam perkuliahan

Keterangan: SS: sangat sempurna CS: cukup sempurna RR: ragu-ragu B : buruk SB: sangat buruk Rekomendasi perbaikan: ... .... ... ... ... ... ... ... ... ... Vidio: https://www.youtube.com/watch?v=iFmH_Q0kEFw 49 | P a g e

Gambar

Gambar II-1. Penyerobotan lahan hutan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Lore  Lindu
Gambar II-2. Output optimum monopoli vs sosial optimum.
Gambar II-3. Input optimum monopsoni vs optimum sosial.
Gambar II-4. Divergensi optimum sosial dan perusahaan pada kasus polusi air.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam memberikan asuhan keperawatan keluarga sehat adalah sebagai tujuan utamanya dengan cara meningkatkan status kesehatan keluarga agar keluarga dapat

Untuk bisa mencapai indikator sasaran strategis tersebut di atas, maka Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset Teknologi dan

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Analisis dan Desain Sistem

Dengan mengaktualisasikan nilai-nilai dasar ANEKA pada tahapan kegiatan membuat video tutorial bentuk dan cara penggunaan alat yang sudah dimodifikasi untuk mata

Dalam pembuatan mobile aplikasi tabung wakaf untuk mencapai tujuan peningkatan jumlah partisipan dan transaksi wakaf maka harus memperhatikan tentang bagaimana menghubungkan

ayah terima kasih telah menjadi ayah yang baik, sangat sayang sama uni dan sebaliknya uni sangat sangat sayang sekali sama ayah, terima kasih telah mengajarkan apa arti hidup,

antara lain menggunakan teknologi sumberdaya yang efisien untuk mengurangi permintaan terhadap sumberdaya alam; mengurangi konsumsi dengan meningkatkan kualitas

Pemerintah Aceh di bidang penegakan pelaksanaan Qanun dan Syariat Islam, ketentraman, ketertiban umum, perlindungan masyarakat serta hubungan antar lembaga, ayat