• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkerasan Lentur Analisa Komponen AASHTO Austroads

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perkerasan Lentur Analisa Komponen AASHTO Austroads"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH SEMINAR

TUGAS AKHIR

ANALISA TEBAL PERKERASAN LENTUR

DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN, AASHTO 1993,

DAN AUSTROADS 1992

(STUDI KASUS: JALAN RUAS KM. 35 – PULANG PISAU)

Disusun Oleh:

06/198150/TK/32229

ADI SUTRISNO

JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

(2)

1 Naskah Seminar Tugas Akhir

ANALISA TEBAL PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE ANALISA

KOMPONEN, AASHTO 1993, DAN AUSTROADS 1992

(Studi Kasus: Jalan Ruas Km. 35 – Pulang Pisau Propinsi Kalimantan Tengah)

Oleh: Adi Sutrisno

1

2

Pembimbing: Dr. Ir. Latief Budi Suparma, M. Sc.

INTISARI

Jalan Km.35 – Pulang Pisau merupakan jalan yang menghubungkan Ibukota Kalimantan Tengah Palangkaraya dengan Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah. Panjang jalan dari km. 35 hingga Pulang Pisau adalah 41 Km. Jenis perkerasan yang digunakan adalah perkerasan lentur. Fungsi ruas jalan tersebut adalah sebagai jalan propinsi dan dapat digolongkan sebagai jalan kolektor.

Perkerasan lentur jalan Km. 35 – Pulang Pisau propinsi Kalimantan Tengah ini dianalisis dengan menggunakan 3 metode yaitu Analisa Komponen, AASHTO 1993, AUSTROADS 1992. Data yang diperlukan untuk analisis ini berupa data pengujian DCP, Curah Hujan, Lengkung Vertikal, dan Lalulintas. Data tersebut didapat dari Laporan Penyelidikan Tanah dan Laporan Perencanaan PT. Tribina Matra Carya Cipta.

Bahan lapis permukaan menggunakan aspal dengan modulus 2000 MPa atau Marshall Stability 800 kg. Bahan fondasi adalah material granular (butiran) dengan nilai CBR 70% atau modulus 27500 psi atau 190 MPa. Material tersebut digunakan untuk ketiga metode agar didapat pembanding tebal perkerasan yang setara. Untuk nilai CBR rencana tanah dasarnya adalah sebesar 3,25%. Dari hasil perhitungan tebal perkerasan didapat tebal lapis permukaan sebesar 11 cm untuk ketiga metode. Tebal fondasi metode Analisa Komponen adalah 36 cm yang terdiri dari fondasi atas 20 cm dan fondasi bawah 16 cm. Tebal fondasi metode AASHTO 1993 adalah 38 cm yang terdiri dari fondasi atas 20 cm dan fondasi bawah 18 cm. Tebal fondasi pada metode AUSTROADS 1992 adalah 38 cm yang terdiri dari 3 sub lapisan setebal 13 cm, 13 cm, dan 12 cm.

Kata Kunci: jalan Km.35 – Pulang Pisau, perkerasan lentur, dan tebal perkerasan

1

Disampaikan pada Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.

2

Mahasiswa S1 Reguler Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan NIM: 06/198150/TK/32229

(3)

2

A. Latar Belakang

Jalan merupakan salah satu prasarana transportasi yang paling vital dan paling lazim digunakan karena fleksibilitas moda transportasinya. Untuk transportasi jarak dekat dan menengah jalan raya merupakan prasarana transportasi yang paling optimal untuk saat ini. Pergerakan barang dan jasa dapat diakomodasi dengan mudah dengan jalan raya karena tidak memerlukan sarana pendukung yang terlalu banyak dan pergerakannya sangat bebas. Hal ini menjadikan transportasi jalan raya menjadi prasarana transportasi yang paling banyak digunakan dan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.

Seiring dengan pertumbuhan pergerakan barang dan jasa, maka diperlukan pembangunan sarana transportasi jalan raya yang memadai untuk mengakomodasinya. Pembangunan jalan baru sering menemui berbagai masalah. Selain itu, dampaknya juga harus diperhitungkan terlebih dahulu baik dari aspek sosial, ekonomi, aturan hukum, dan lain – lain agar tidak menimbulkan masalah yang lebih kompleks dikemudian hari.

Jalan yang telah ada pun harus terus dilakukan perawatan untuk menjaga kualitasnya. Dengan menurunnya kualitas jalan maka kenyamanan pengguna jalan akan terganggu dan kendaraan yang melintasi juga akan menurun produktifitasnya. Yang menjadi perhatian utama dengan turunnya kapasitas jalan maka pergerakan barang dan jasa akan terhambat yang menjadi suatu kerugian materi bagi banyak pihak. Akan lebih parah jika terjadi kerusakan jalan dan menimbulkan korban jiwa yang tidak bisa dinilai dengan materi.

Jalur Km.35 – Pulang Pisau merupakan jalan yang menghubungkan Ibukota Kalimantan Tengah Palangkaraya dengan Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah. Peta lokasi jalan dapat dilihat pada Gambar 1. Panjang jalan dari Km. 35 hingga Pulang Pisau adalah 41 Km. Fungsi ruas jalan tersebut adalah sebagai jalan propinsi dan dapat digolongkan sebagai jalan kolektor.

Gambar 1. Peta lokasi jalan Tujuan jalan ini antara lain:

1. Mendorong peningkatan pembangunan dan pemerataan ekonomi di pedesaan.

2. Mendorong percepatan laju pertumbuhan pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka pembangunan daerah Kalimantan Tengah.

3. Memberikan daya tarik bagi calon investor untuk menanam modal sesuai dengan karakteristik, spesifikasi dan potensi yang ada di wilayah – wilayah tersebut.

4. Membuka daerah atau desa – desa yang terisolir.

B. Data Perencanaan

Data untuk perencanaan tebal perkerasan lentur antara lain adalah sebagai berikut:

1. CBR tanah dasar

Data CBR tanah dasar didapatkan dari hasil uji DCP (Dynamic Cone Penetrometer). Data CBR dianalisa dengan metode grafis untuk mendapatkan nilai CBR rencana. Nilai CBR rencana adalah nilai persentase kumulatif 90%.

(4)

3 Nilai CBR diurutkan dari nilai terendah ke nilai tertinggi dan dihitung nilai CBR yang sama atau lebih besar. Setelah itu, dihitung nilai persentase CBR kumulatif yang sama atau lebih besar. Nilai CBR yang telah dianalisa tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai CBR kumulatif ruas Km. 35 – Pulang Pisau

Nilai CBR Jumlah Data Jumlah Nilai CBR Yang

Sama Atau Lebih Besar

% Nilai CBR Kumulatif 2 3 200 100 3 34 197 98,50 3,5 32 163 81,50 4 49 131 65,50 4,5 30 82 41,00 5 41 52 26,00 5,5 6 11 5,50 6 4 5 2,50 7,5 1 1 0,50

Tabel 1 dibuat grafik antara nilai % CBR kumulatif dengan nilai CBR yang sudah diurutkan dan dicari nilai CBR kumulatif 90%-nya. Nilai CBR tersebut digunakan sebagai nilai CBR rencana untuk perencanaan perkerasan lentur. Grafik hubungan antara nilai CBR dan % CBR kumulatif dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik hubungan antara CBR tanah dasar dan % CBR kumulatif

Berdasarkan Gambar 2 didapat nilai CBR pada percentile 90% sekitar 3,25%. Dengan demikian nilai CBR rencana ditetapkan sebesar 3,25%.

2. Alinemen vertikal

Kelandaian yang digunakan untuk perencanaan ruas jalan km. 35 – Pulang Pisau diambil dari perencanaan lengkung vertikalnya. Dari lengkung vertikal tersebut didapat kemiringan tertinggi sebesar 5,62%.

3. Hidrologi

Data curah hujan didapatkan dari stasiun hidrometri Mantaren (Pulang Pisau). Data curah hujan tersebut selama 10 tahun dari tahun 1996 sampai 2006. Data tersebut dalam satuan mm/bulan dan dijumlahkan untuk mendapatkan curah hujan tahunan. Data curah hujan diambil dari stasiun hirometri Mantaren (Pulang Pisau).

Data curah hujan yang digunakan dalam perencanaan adalah nilai curah hujan tahunan tertinggi. Curah hujan tahunan tertinggi terjadi pada tahun 1999 sebesar 3952 mm/tahun.

4. Lalulintas

Kendaraan dibagi kedalam 8 kelompok dalam perhitungan lalu lintas, mencakup kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor yang dapat dilihat pada Tabel 2.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2 3 4 5 6 7 8

%

k

u

mu

lat

if

CBR Tanah Dasar

3,25

(5)

4 Tabel 2. Kelompok jenis kendaraan dalam perhitungan lalulintas

Gol. Kelompok Jenis Kendaraan Ilustrasi Konfigurasi

Sumbu

GVW (ton)

1 Sepeda motor, skuter, dan

kendaraan roda tiga

2 Sedan, jeep, dan station wagon 1.1 2

3 Opelet, pick-up opelet, suburban, combi, dan mini bus

1.1 2

4 Pick-up, Mobil hantaran, Box 1.1 5,3

5a Bus kecil 1.2 8 5b Bus besar 1.2 14,2 6a Truk 2 sumbu (L) 1.2 8,3 6b Truk 2 sumbu (H) 1.2 15,1 7a Truk 3 sumbu 1.2.2 26 7b Truk gandengan 1.2.2-2.2 45 7c Truk semitrailer 1.2.2.2.2 45

8 Kendaraan tidak bermotor (sumber: BINA MARGA, 2007)

Besarnya GVW (Gross Vehicle Weight) menggunakan spesifikasi kendaraan yang beredar dipasaran. Data lalu lintas dicatat pada tahun 2007 dalam 2 arah (Km. 35 – Pulang Pisau dan Pulang Pisau – Km.35). Faktor pertumbuhan lalulintas ditetapkan sebesar 6,5% untuk semua jenis kendaraan dan tidak berubah selama umur perkerasan. Jalan direncanakan untuk dibuka pada tahun 2011 maka proyeksi data lalu lintas diproyeksikan dengan perhitungan sebagai berikut.

𝐿𝐻𝑅0= 𝐿𝐻𝑅 × (1 + 𝑖)𝑛

𝐿𝐻𝑅2011= 𝐿𝐻𝑅2007× (1 + 𝑖)𝑛

𝐿𝐻𝑅2011= 826 × (1 + 6,5%)4= 1063

dengan: LHR0

LHR = lalulintas harian rata – rata saat pengambilan data = lalulintas harian rata – rata pada awal umur rencana

i = faktor pertumbuhan lalulintas selama masa pelaksanaan (%)

n = jumlah tahun, sejak pengambilan data sampai dengan awal pelakasanaan Data lalulintas yang diperlukan perencanaan tebal lapis perkerasan ditunjukan pada Tabel 3. Tabel 3. Data lalulintas Km.35 – Pulang Pisau tahun 2007.

Jenis Kendaraan Km. 35 – Pulang Pisau Pulang Pisau – Km.35 LHR 2007 LHR 2011 Gol 2 & 3 385 441 826 1063 Gol 4 106 180 286 368 Gol 5a 22 22 44 57 Gol 5b 5 10 15 19 Gol 6a 202 130 332 427 Gol 6b 23 15 38 49 Gol 7a 13 10 23 30

Lalulintas Harian Rata – Rata (ADT) 1564 2012

C. Metode Analisa Komponen (SNI 1732-1989-F)

Metode Analisa Komponen SNI 1732-1989-F merupakan metode yang bersumber dari AASHTO 1972 yang disesuaikan dengan kondisi jalan di Indonesia. Selain itu, metode ini juga merupakan penyempurnaan dari Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya no. 01/PD/B/1983. Rumus dasar metode Analisa Komponen diambil dari AASHTO 1972 revisi 1981 dengan beberapa penyesuaian. Metode Analisa Komponen merupakan metode empirik yang dibuat berdasarkan penelitian terhadap jalan yang sudah ada. Faktor – faktor yang dipertimbangkan pada metode empirik juga dapat sangat bervariatif.

(6)

5

1. Lintas ekivalen rencana (LER)

Tahapan – tahapan perhitungan nilai lintas ekivalen rencana yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Lalulintas harian rata – rata (LHRt

LHR 2011 perlu dihitung untuk mendapat nilai LHR 2021 dalam memperkirakan lalu lintas harian rata – rata pada akhir umur perkerasan. Sebagai contoh untuk golongan 2 & 3 dihitung dengan persamaan:

𝐿𝐻𝑅𝑡= 𝐿𝐻𝑅0× (1 + 𝑖)𝑈𝑅

𝐿𝐻𝑅2021= 𝐿𝐻𝑅2011× (1 + 𝑖)𝑈𝑅

𝐿𝐻𝑅2021= 1063 × (1 + 6,5%)10= 1995

) tahun 2021 (akhir umur rencana)

dengan: LHRt LHR

= lalulintas harian rata – rata pada akhir umur rencana 0

i = faktor pertumbuhan lalulintas selama masa pelaksanaan (%) = lalulintas harian rata – rata pada awal umur rencana

UR = umur rencana (tahun)

Nilai Lalulintas harian rata-rata pada akhir umur rencana (LHRt

Tabel 4. Hasil perhitungan lalulintas harian rata – rata pada akhir umur rencana (LHR

) ditunjukan pada Tabel 4. t Jenis Kendaraan ) LHR 2011 (kend/hari/2 jurusan) Pertumbuhan Lalulintas (%) LHR 2021 (kend/hari/2 jurusan) Gol 2 & 3 1063 6,5 1995 Gol 4 368 6,5 691 Gol 5a 57 6,5 106 Gol 5b 19 6,5 36 Gol 6a 427 6,5 802 Gol 6b 49 6,5 92 Gol 7a 30 6,5 56

b. Koefisien distribusi kendaraan

Besarnya koefisien distribusi kendaraan (C) didasarkan pada jenis kendaraan, jumlah arah dan jumlah lajur. Jalan Km. 35 – Pulang Pisau terdiri dari 2 lajur dan 2 arah. Besarnya koefisien distribusi kendaraan (C) dapat dilihat pada Tabel

5.

Tabel 5. Koefisien distribusi kendaraan pada lajur (C)

Jumlah Lajur Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **)

1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah

1 Lajur 1,00 1,00 1,00 1,00 2 Lajur 0,60 0,50 0,70 0,50 3 Lajur 0,40 0,40 0,50 0,475 4 Lajur - 0,30 - 0,45 5 Lajur - 0,20 - 0,425 6 Lajur - 0,10 - 0,40 (Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987)

*) Berat total < 5 ton misalnya: mobil penumpang, pick up, sub urban dan minibus. **) Berat total ≥ 5 ton misalnya: bus, truk, traktor, semitrailler, trailler.

Sesuai dengan Tabel 5 maka besarnya koefisien distribusi kendaraan sebesar 0,5 untuk kendaraan ringan dan 0,5 untuk kendaraan berat.

c. Angka ekivalen (E) beban sumbu kendaraan

Angka ekivalen setiap jenis kendaraan berbeda – beda tergantung jumlah sumbu, beban, dan konfigurasi sumbunya. Angka ekivalen untuk setiap kelompok sumbu juga dapat dihitung dengan persamaan berikut dan sebagai contoh perhitungan untuk sumbu depan gol 2 & 3:

𝐸2&3 𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛= 𝑘 �𝑃8160𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 � 4

𝐸2&3 𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛= 1 �20008160� 4

= 0,00023

dengan: E = Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan P = Beban Sumbu (kg)

(7)

6 k = Koefisien Distribusi Beban Sumbu

tunggal = 1,0 tandem = 0,086 tridem = 0,021

Nilai total angka ekivalen adalah penjumlahan angka ekivalen sumbu depan dan belakang. Hasil perhitungan Angka Ekivalen untuk setiap jenis kendaraan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil perhitungan angka ekivalen (E) berdasarkan jenis kendaraan

Jenis Kendaraan

GVW (ton)

Konfigurasi Beban Angka Ekivalen

Total

Depan Belakang Lain Depan Belakang Lain

Gol 2 & 3 2 1 1 0,00023 0,00023 0,000451 Gol 4 5,3 1,8 3,5 0,00237 0,03385 0,036214 Gol 5a 8 2,7 5,3 0,01199 0,17797 0,189955 Gol 5b 14,2 4,8 9,4 0,11973 1,76097 1,880696 Gol 6a 8,3 2,8 5,5 0,01386 0,20639 0,220254 Gol 6b 15,1 5,1 10 0,15259 2,25548 2,40807 Gol 7a 26 6,5 19,5 0,40262 2,80463 3,207252

d. Lintas ekivalen permulaan (LEP)

Lintas ekivalen permulaan dihitung dengan menggunakan LHR pada awal umur rencana (LHR 2011). Contoh perhitungan LEP untuk golongan 2 & 3 adalah sebagai berikut:

𝐿𝐸𝑃 = 𝐿𝐻𝑅2011× 𝐶 × 𝐸

𝐿𝐸𝑃 = 1063 × 0,5 × 0,000451 = 0,239672 dengan: LEP = lintas ekivalen permulaan

LHR = lalulintas harian rata – rata pada awal umur rencana C = koefisien distribusi kendaraan

E = angka ekivalen beban sumbu kendaraan e. Lintas ekivaelen akhir (LEA)

Lintas ekivalen akhir dihitung dengan menggunakan LHR pada akhir umur rencana (LHR 2021). Contoh perhitungan LEA untuk golongan 2 & 3 adalah sebagai berikut:

𝐿𝐸𝐴 = 𝐿𝐻𝑅2021× 𝐶 × 𝐸

𝐿𝐸𝐴 = 1995 × 0,5 × 0,000451 = 0,4498979

Hasil perhitungan nilai Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dan Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil perhitungan lintas ekivalen permulaan dan lintas ekivalen akhir

Jenis Kendaraan LHR 2011 (kend/hari/2 jurusan) LHR 2021 (kend/hari/2 jurusan) Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Angka Ekivalen (E) Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) Lintas Ekivalen Akhir (LEA) Gol 2 & 3 1063 1995 0,5 0,000451 0,239672 0,4498979 Gol 4 368 691 0,5 0,036214 6,662105 12,505687 Gol 5a 57 106 0,5 0,189955 5,376154 10,09178 Gol 5b 19 36 0,5 1,880696 18,14589 34,062324 Gol 6a 427 802 0,5 0,220254 47,03603 88,293088 Gol 6b 49 92 0,5 2,40807 58,86012 110,48853 Gol 7a 30 56 0,5 3,207252 47,44925 89,068768 Total 183,7692 344,96007

f. Lintas ekivalen tengah (LET)

Nilai Lintas ekivalen tengah didapat dengan merata – ratakan nilai lintas ekivalen awal dan lintas ekivalen akhir. Nilai LET dihitung seperti berikut:

𝐿𝐸𝑇 =𝐿𝐸𝑃 + 𝐿𝐸𝐴2

𝐿𝐸𝑇 =183,7692 + 344,960072 = 264,36464

dengan: LET = lintas ekivalen tengah LEA = lintas ekivalen akhir LEP = lintas ekivalen permulaan

(8)

7 Nilai lintas ekivalen rencana dapat dihitung setelah nilai LET didapatkan. Nilai LER didapat dengan mengalikan LET dan faktor penyesuaian (FP). Faktor penyesuaian ditetapkan dengan menggunakan umur rencana (UR) 10 tahun adalah sebagai berikut:

𝐿𝐸𝑅 = 𝐿𝐸𝑇 × 𝐹𝑃 𝐿𝐸𝑅 = 𝐿𝐸𝑇 ×𝑈𝑅10

𝐿𝐸𝑅 = 264,36464 ×1010 = 264,36464

dengan: FP = faktor penyesuaian LER = lintas ekivalen rencana UR = umur rencana (tahun) LET = lintas ekivalen tengah

2. Daya dukung tanah (DDT)

Daya dukung tanah (DDT) adalah suatu skala yang dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar. Sementara ini dianjurkan untuk mendasarkan daya dukung tanah dasar hanya kepada pengukuran nilai CBR. Daya dukung tanah dapat dihitung dengan cara grafis dan analitis. Nilai DDT dapat ditentukan menggunakan nomogram dengan menarik garis lurus CBR terhadap DDT. Perhitungan nilai daya dukung tanah (DDT) dihitung dengan memasukan nilai CBR rencana yang sebelumnya telah dihitung sebesar 3,25% pada persamaan dari Bina Marga sebagai berikut:

𝐷𝐷𝑇 = 4,3 log 𝐶𝐵𝑅 + 1,7 𝐷𝐷𝑇 = 4,3 log 3,25 + 1,7 = 3,9

3. Indeks permukaan (IP)

Indeks permukaan (IP) adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan jalan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalulintas yang lewat. Nilai IP dan pengertiannya ditunjukan pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai indeks permukaan (IP)

IP Penjelasan

1,0 menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga mengganggu lalulintas kendaraan

1,5 Tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak putus) 2,0 Tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap

2,5 Permukaan jalan masih cukup stabil dan baik (Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987)

Nilai Indeks permukaan perkerasan lentur dibagi menjadi dua yaitu pada awal umur rencana dan akhir umur rencana. Penentuan nilai indeks permukaan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Indeks permukaan awal umur rencana (IP0). Nilai IP0 ditentukan berdasarkan jenis lapis perkerasan yang digunakan. Nilai IP0

Tabel 9. Indeks permukaan awal umur rencana (IP

dapat dilihat pada Tabel 9. 0

Jenis Lapis Perkerasan

) IP0 Roughness (mm/km) LASTON ≥ 4 ≤ 1000 3,9 – 3,5 > 1000 LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000 3,4 – 3,0 > 2000 HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000 3,4 – 3,0 > 2000 BURDA 3,9 – 3,5 < 2000 BURTU 3,4 – 3,0 < 2000 LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000 2,9 – 2,5 > 3000 LATASBUM 2,9 – 2,5 BURAS 2,9 – 2,5 LATASIR 2,9 – 2,5 Jalan Tanah ≤ 2,4 Jalan Kerikil ≤ 2,4 (Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987)

(9)

8 Nilai IP0 ditentukan berdasarkan jenis lapis perkerasan yang digunakan. Karena jenis perkerasan yang digunakan ditetapkan dengan menggunakan aspal beton (Laston). Sesuai pada Tabel 9 maka besarnya IP0

b. Indeks permukaan akhir umur rencana (IP adalah ≥ 4.

t). Nilai IPt ditentukan berdasarkan nilai lintas ekivalen rencana (LER) dan klasifikasi kelas jalan. Nilai IPt

Tabel 10. Indeks permukaan akhir umur rencana (IP

dapat dilihat pada Tabel 10. t

LER = Lintas Ekivalen Rencana *)

) Klasifikasi Jalan

Lokal Kolektor Arteri Tol

< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -

10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -

100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -

> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5

(Sumber: SNI 1732-1989-F)

*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal

Catatan: Pada proyek – proyek penunjang jalan, JAPAT/jalan murah, atau jalan darurat maka IP dapat diambil 1,0

Berdasarkan perhitungan sebelumnya didapat LER sebesar 264,365 dan jalan termasuk kelas jalan kolektor. Oleh karena itu, dari Tabel 10 didapatkan nilai IPt

4. Faktor regional (FR)

sebesar 2,0.

Faktor regional (FR) adalah faktor setempat, menyangkut keadaan lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan.Nilai faktor regional ditentukan dengaan 3 parameter yaitu curah hujan, kelandaian dan persentase kendaraan berat. Nilai FR dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Faktor regional (FR) Curah Hujan

Kelandaian I (< 6 %) Kelandaian I (6-10 %) Kelandaian III (> 10 %)

% Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat

≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % Iklim I < 900 mm/th 0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5 Iklim I > 900 mm/th 1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5 (Sumber: SNI 1732-1989-F)

Catatan: Pada bagian jalan – jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian, atau tikungan tajam (jari – jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada derah rawa – rawa FR ditambah dengan 1,0

Berdasarkan data curah hujan didapat nilai 3952 mm/tahun sehingga > 900 mm/tahun. Perhitungan persentase kendaraan berat dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perhitungan persentase kendaraan berat. Jenis Kendaraan Berat Kendaraan

(ton)

Kategori Kendaraan*)

LHR Jumlah Persentase

Kendaraan

Gol 2 & 3 2 Ringan 826

1488 95,14% Gol 4 5,3 Ringan 286 Gol 5a 8 Ringan 44 Gol 6a 8,3 Ringan 332 Gol 5b 14,2 Berat 15 76 4,86% Gol 6b 15,1 Berat 38 Gol 7a 26 Berat 23 1564 1564 100%

*) Kendaraan Berat ≥ 13 ton

Kendaraan Ringan < 13 ton

Berdasarkan Tabel 12, didapat persentase kendaraan berat sebesar 4,86%. Kelandaian ditentukan berdasar alinemen vertikal-nya. Kemiringan terbesar adalah 5,62% sehingga dapat ditetapkan memiliki kelandaian < 6%. Dari data tersebut, sesuai dengan Tabel 11 maka nilai FR ditentukan sebesar 1,5.

(10)

9

5. Indeks tebal perkerasan (ITP)

Indeks tebal perkerasan (ITP) merupakan fungsi dari daya dukung tanah, faktor regional, lintas ekivalen rencana, dan indeks permukaan. Perkerasan tidak menggunakan metode konstruksi bertahap, maka nilai ITP dapat langsung dihitung. Dari perhitungan sebelumnya didapatkan IP0 ≥ 4 dan IPt 2,0. Nilai ini digunakan untuk menentukan nomogram yang digunakan. Kemudian nilai DDT (3,9) dan LER (264,365) digunakan untuk mendapatkan nilai ITP dan selanjutnya dikoreksi dengan FR 1,5 untuk mendapatkan ITP seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Ploting data pada nomogram IPt = 2 : IP0

Berdasarkan nomogram pada Gambar 3 didapat nilai ITP 9,2. Nilai ini yang digunakan sebagai penentu tebal masing – masing lapisan perkerasan.

≥ 4.

6. Tebal masing – masing lapis perkerasan

Tebal lapis perkerasan ditentukan berdasarkan bahan yang dipakai dan nilai ITP hasil ploting pada nomogram. Untuk masing – masing lapisan, tebalnya memiliki standar minimum yang berbeda ditentukan sesuai dengan nilai ITP.

a. Lapis permukaan. Berdasarkan bahan yang digunakan, tebal lapis permukaan minimum ditunjukan pada Tabel 13.

Tabel 13. Batas minimum tebal lapis permukaan

ITP Tebal Minimum (cm) Bahan

< 3,00 3,00 – 6,70 6,71 – 7,49 7,5 – 9,99 ≥ 10,00 5 5 7,5 7,75 10

Lapis Pelindung: (Buras/Burtu/Burda)

Lapen/aspal macadam, HRA, Lasbutag, Laston. Lapen/aspal macadam, HRA, Lasbutag, Laston. Lasbutag, Laston

Laston (Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987)

b. Lapis fondasi. Berdasarkan bahan yang digunakan, tebal lapis fondasi minimum ditunjukan pada Tabel 14.

Tabel 14. Batas minimum tebal lapis fondasi

ITP Tebal Minimum (cm) Bahan

< 3,00 3,00 – 7,49 7,5 – 9,99 15 20 *) 10 20 15

Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur.

Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur.

Laston atas.

Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, fondasi macadam.

(11)

10 10 – 12,24

≥ 12,25

20

25

Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, fondasi macadam, lapen, laston atas.

Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, fondasi macadam, lapen, laston atas.

(Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987)

*) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk fondasi bawah digunakan material berbutir kasar.

c. Lapis fondasi bawah

Tebal minimum bila menggunakan fondasi bawah, untuk setiap nilai ITP adalah 10 cm. Nilai koefisien kekuatan relatif ditunjukan Tabel 15.

Tabel 15. Koefisien kekuatan relatif (a)

Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan

Jenis Bahan a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg/cm2) CBR (%) 0,4 0,35 0,32 0,30 0,35 0,31 0,28 0,26 0,30 0,26 0,25 0,20 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 0,28 0,26 0,24 0,23 0,19 0,15 0,13 0,15 0,13 0,14 0,13 0,12 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 0,13 0,12 0,11 0,10 744 590 454 340 744 590 454 340 340 340 - - 590 454 340 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 22 18 22 18 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 100 80 60 70 50 30 20 Laston Labutag HRA Aspal Macadam Lapen (mekanis) Lapen (manual) Laston atas Lapen (mekanis) Lapen (manual) Stab. Tanah dengan Semen

Stab. Tanah dengan Kapur Batu Pecah (kelas A) Batu Pecah (kelas B) Batu Pecah (kelas C) Sirtu/pitrun (kelas A) Sirtu/pitrun (kelas B) Sirtu/pitrun (kelas C) Tanah/lempung kepasiran

(Sumber: SNI 1732-1989-F, 1987)

Perkerasan dengan menggunakan komposisi aspal (MS 800) untuk lapis permukaan, batu pecah CBR 70% untuk fondasi atas dan sirtu CBR 70% untuk fondasi bawah. Dengan nilai 𝐼𝑇𝑃����� 9,2 maka tebal minimum (Dmin

a. Lapis permukaan, tebal (D

) koefisien kekuatan relatif (a) setiap lapisan adalah sebagai berikut:

1) minimum 7,75 cm untuk laston (Tabel 13) dan koefisien kekuatan relatif (a1

𝑎1 = 0,14281 × ln(𝑀𝑆 × 2,205882) − 0,647

𝑎1 = 0,14281 × ln(800 × 2,205882) − 0,647 = 0,421

) untuk aspal MS 800 kg adalah sebesar 0,421 dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

dengan: a1

MS = Stabilitas Marshall (kg) = koefisien kekuatan relatif aspal

b. Lapis fondasi atas, tebal (D2) minimum 20 cm untuk batu pecah (Tabel 14) dan koefisien kekuatan relatif (a2) untuk batu pecah CBR 70% adalah sebesar 0,125 (Tabel 15).

(12)

11 c. Lapis fondasi bawah, tebal (D3) minimum 10 cm untuk semua 𝐼𝑇𝑃����� dan koefisien kekuatan

relatif (a3

Tebal lapisan perkerasan minimum tidak mencapai 𝐼𝑇𝑃����� yang syaratkan maka tebal masing – masing perkerasan disesuaikan agar memenuhi 𝐼𝑇𝑃����� yang disyaratkan. Lapis perkerasan ditetapkan 11 cm, fondasi atas ditetapkan 20 cm, dan fondasi bawah dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

𝐼𝑇𝑃

����� = 𝑎1𝐷1+ 𝑎2𝐷2+ 𝑎3𝐷3

9,2 = (0,421 × 11) + (0,125 × 20) + (0,13 × 𝐷3)

𝐷3=9,2 − [(0,421 × 11) + (0,125 × 20)]0,13 = 15,94836 𝑐𝑚 ≈ 16 𝑐𝑚

) untuk sirtu/pitrun CBR 70% adalah sebesar 0,13 (Tabel 15).

dengan: a1,a2,a3 D

= koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan 1,D2,D3

𝐼𝑇𝑃

����� dihitung kembali dengan nilai tebal masing – masing lapisan perkerasan yang digunakan menjadi:

𝐼𝑇𝑃

����� = 𝑎1𝐷1+ 𝑎2𝐷2+ 𝑎3𝐷3

𝐼𝑇𝑃

����� = (0,421 × 11) + (0,125 × 20) + (0,13 × 16) = 9,2067 = tebal masing – masing lapisan (cm)

Nilai 𝐼𝑇𝑃����� didapatkan sebesar 9,2067 maka perkerasan dapat diterima dengan tebal masing – masing lapisan sebagai berikut:

a. Lapis permukaan, menggunakan aspal MS 800 kg dengan tebal (D1) 11 cm dan koefisien kekuatan relatif (a1

b. Lapis fondasi atas, menggunakan batu pecah CBR 70% dengan tebal (D ) 0,421.

2) 20 cm dan koefisien kekuatan relatif (a2

c. Lapis fondasi bawah, menggunakan sirtu/pitrun CBR 70% tebal (D ) 0,125.

3) 16 cm dan koefisien kekuatan relatif (a3) 0,13.

Gambar 4. Susunan tebal lapis perkerasan dengan metode Analisa Komponen

D. Metode AASHTO 1993

Metode AASHTO 1993 termasuk metode empirik mekanistik merupakan perpaduan dari metode empirik dan mekanistik. Dengan metode ini faktor – faktor empiris masih diperhitungkan tetapi juga disesuaikan dengan persamaan dasar metode mekanistik.

1. Faktor Pertumbuhan

Besarnya pertumbuhan lalulintas telah ditetapkan sebesar 6,5 % untuk semua jenis kendaraan selama umur rencana. Pertumbuhan lalulintas dihitung dengan persamaan:

𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =(1 + 𝑔)𝑔𝑛− 1

𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =(1 + 0,065)0,06510− 1= 13,5 dengan: g = persentase pertumbuhan lalulintas (%)

n = umur rencana (tahun)

2. Tingkat Pelayanan

Tingkat pelayanan dibagi menjadi dua yaitu tingkat pelayanan awal (pi) dan tingkat pelayanan akhir (pt). Tingkat pelayanan awal berdasar AASHTO diharuskan sama atau lebih dari 4,0. Nilai tingkat pelayanan awal (pi

Angka PSI diperoleh dari pengukuran kekasaran (roughness), dan pengukuran kerusakan (distress) seperti retak – retak, amblas, alur, dan tipe kerusakan lain selama masa pelayanan. Angka PSI pada akhir umur rencana adalah angka yang masih dapat diterima sebelum dilakukannya pelapisan ulang (overlay). Angka antara 2,5 atau 3,0 adalah yang disarankan untuk digunakan pada jalan kelas tinggi, sedangkan angka 2,0 untuk jalan kelas rendah. Tetapi apabila pertimbangan ekonomi menjadi faktor yang berpengaruh maka nilai p

) yang direkomendasikan oleh AASHTO Road Test adalah 4,2.

(13)

12 Salah satu kriteria untuk menentukan tingkat pelayanan terendah pada akhir umur rencana (pt) dapat didasarkan dari volume lalulintas. Nilai pt

Tabel 16. Indeks pelayanan akhir berdasar volume lalulintas

berdasar volume lalulintas ditunjukan Tabel 16.

Volume lalulintas ADT Terminal Serviceability (pt)

High Volume > 10.000 3,0 – 3,5

Medium Volume 3.000 – 10.000 2,5 – 3,0

Low Volume < 3.000 2,0 – 2,5

(Sumber: MaineDOT/ACM Pavement Committe, 2007) Nilai indeks pelayanan akhir (pt

dengan: p

) ditetapkan berdasar volume lalulintas ADT = 2012 sebesar 2,0 (Tabel 16). Selanjutnya ∆PSI dapat dihitung dengan perhitungan sebagai berikut:

∆𝑃𝑆𝐼 = 𝑝𝑖− 𝑝𝑡

∆𝑃𝑆𝐼 = 4,2 − 2,0 = 2,2 i

p

= Indeks pelayanan pada awal umur rencana t

3. Standar Deviasi

= Indeks pelayanan pada akhir umur rencana

Standar deviasi keseluruhan (S0) adalah gabungan simpangan standar dari perkiraan lalulintas dan pelayanan perkerasan. Besarnya nilai standar deviasi keseluruhan pada AASHTO ini tergantung jenis perkerasan dan variasi lalulintas. Kisaran standar deviasi (S0) yang disarankan untuk perkerasan lentur adalah 0,35 – 0,45. Untuk perkerasan lentur dengan mempertimbangkan variasi lalulintas digunakan standar deviasi keseluruhan (S0

4. Faktor ESAL

) sebesar 0,45.

AASHTO menghitung angka ekivalen (Ex) sebagai perbandingan umur perkerasan akibat beban lalulintas standar (18 kips) terhadap umur perkerasan akibat beban lalulintas non standar (x kips), dan besarnya tergantung dari jenis sumbu, indeks pelayanan akhir (pt

Fungsi logaritma dari perbandingan antara kehilangan tingkat pelayanan dari p

), serta besarnya angka

structural number. Sebelum menghitung faktor ESAL, beban sumbu kendaraan diubah dari satuan

ton ke dalam kips terlebih dahulu.

0 sampai pt dengan kehilangan tingkat pelayanan p0 = 4,2 dan pt = 1,5 dinyatakan sebagai nilai G. Untuk menentukan Faktor ESA, nilai G dihitung dengan nilai pt

dengan: G = faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan

yang telah ditentukan sebelumnya yaitu sebesar 2. Nilai G dapat dilihat pada perhitungan berikut:

𝐺 = log �4,2 − 1,54,2 − 𝑝𝑡�

𝐺 = log �4,2 − 1,54,2 − 2 � = −0,08894

pt = indeks pelyanan (serviceability index) akhir (pt

Fungsi desain dan variasi beban sumbu kendaraan yang menyatakan jumlah perkiraan banyaknya sumbu kendaraan yang akan diperlukan sehingga permukaan perkerasan mencapai tingkat pelayanan = 1,5 dinyatakan sebagai β. Nilai SN yang telah disesuaikan dengan hasil perhitungan adalah 3,65181. Nilai SN digunakan untuk menghitung β

)

x dan β18. Contoh perhitungan βx

dengan: β = faktor desain dan variasi beban sumbu

dengan SN 3,65181 untuk kendaraan golongan 2 & 3 yang memiliki berat sumbu depan 2,2046 kips: 𝛽𝑥= 0,4 + �0,081 × (𝐿𝑥+ 𝐿2𝑥) 3,23 (𝑆𝑁 + 1)5,19× 𝐿 2𝑥3,23� 𝛽2,2046= 0,4 + �0,081 × (2,2046 + 1) 3,23 (3,65181 + 1)5,19× 13,23� = 0,401195 SN = structural number Lx L

= beban sumbu yang akan dievaluasi (kips) 18

L

= beban sumbu standar (18 kips) 2

1 = sumbu tunggal 2 = sumbu ganda 3 = sumbu tripel = notasi konfigurasi sumbu

(14)

13 𝛽18= 0,4 + �0,081 × (𝐿18+ 𝐿2𝑠) 3,23 (𝑆𝑁 + 1)5,19× 𝐿2𝑠3,23 � 𝛽18= 0,4 + � 0,081 × (18 + 1) 3,23 (3,65181 + 1)5,19× 13,23� = 0,774888

Nilai Wx/W18 dapat dihitung setelah nilai G, β18, dan βx

dengan: W = ekivalen beban sumbu standar (W= 18.000 lbs (80 kN))

diketahui. Sebagai contoh perhitungan Wx/W18 untuk kendaraan golongan 2 & 3 adalah sebagai berikut:

𝑊𝑥 𝑊18= � 𝐿18+ 𝐿2𝑠 𝐿𝑥+ 𝐿2𝑥� 4,79 �10 𝐺 𝛽𝑥 � 10𝐺�𝛽18� [𝐿2𝑥] 4,33 𝑊2,204623 𝑊18 = � 18 + 1 2,204623 + 1� 4,79 �10 −0,08894 0,401195 � 10−0,08894�0,774888� [1] 4,33= 3941,369

G = faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan Lx

L

= beban sumbu yang akan dievaluasi (kips) 18

L

= beban sumbu standar (18 kips) 2

1 = sumbu tunggal 2 = sumbu ganda 3 = sumbu tripel = notasi konfigurasi sumbu

Nilai faktor ESAL (LEF) dapat dihitung setelah Wx/W18

dengan: LEF = Faktor ESAL

diketahui. Sebagai contoh, LEF untuk kendaraan golongan 2 & 3 adalah sebagai berikut:

𝐿𝐸𝐹 =𝑊 1 𝑥 𝑊18 � 𝐿𝐸𝐹 =3941,369 = 0,0002541 𝑊𝑥

𝑊18 = perbandingan ekivalen sumbu x terhadap sumbu standar

Hasil perhitungan faktor ESAL (LEF) untuk sumbu depan dapat dilihat pada Tabel 17. Dan untuk sumbu belakang dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 17. Hasil perhitungan faktor ESAL (LEF) sumbu depan Jenis Kendaraan Beban Depan L2 β18 βx Wx/W18 LEF ton kips Gol 2 & 3 1 2,204623 1 0,774888 0,401195 3941,369 0,000254 Gol 4 1,8 3,968321 1 0,774888 0,404924 484,7479 0,002063 Gol 5a 2,7 5,952481 1 0,774888 0,414576 98,0899 0,010195 Gol 5b 4,8 10,58219 1 0,774888 0,475783 9,068086 0,110277 Gol 6a 2,8 6,172943 1 0,774888 0,416122 84,6215 0,011817 Gol 6b 5,1 11,24358 1 0,774888 0,490671 7,041489 0,142015 Gol 7a 6,5 14,33005 1 0,774888 0,587427 2,569496 0,389181

Tabel 18. Hasil perhitungan faktor ESAL (LEF) sumbu belakang Jenis Kendaraan Beban Belakang L2 β18 βx Wx/W18 LEF ton kips Gol 2 & 3 1 2,204623 1 0,774888 0,401195 3941,369 0,000254 Gol 4 3,5 7,716179 1 0,774888 0,430254 33,81654 0,029571 Gol 5a 5,3 11,6845 1 0,774888 0,501648 5,998353 0,166712 Gol 5b 9,4 20,72345 1 0,774888 0,977839 0,556113 1,798195 Gol 6a 5,5 12,12542 1 0,774888 0,51351 5,140955 0,194516 Gol 6b 10 22,04623 1 0,774888 1,099398 0,428801 2,332082 Gol 7a 19,5 42,99014 2 0,774888 1,046799 0,346794 2,883553

Nilai faktor ESAL yang telah didapat sebelemnya kemudian dijumlah untuk mendapat faktor ESAL total dari setiap jenis kendaraan. Contoh perhitungan faktor ESAL (LEF) sebagai berikut:

(15)

14 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝐸𝐹 = 0,000254 + 0,000254 = 0,000507

Hasil dari perhitungan total faktor ESAL (LEF) setiap jenis kendaraan dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil perhitungan total faktor ESAL (LEF)

Jenis Kendaraan GVW (ton) LEF Total LEF

Depan Belakang Lain

Gol 2 & 3 2 0,000254 0,000254 0,000507 Gol 4 5,3 0,002063 0,029571 0,031634 Gol 5a 8 0,010195 0,166712 0,176907 Gol 5b 14,2 0,110277 1,798195 1,908472 Gol 6a 8,3 0,011817 0,194516 0,206334 Gol 6b 15,1 0,142015 2,332082 2,474098 Gol 7a 26 0,389181 2,883553 3,272735

5. Lalulintas Rencana ESAL

LHR pada awal jalan dibuka yaitu LHR tahun 2011. Lalulintas rencana dikali dengan faktor ESAL total untuk mendapatkan lalulintas rencana dalam ESAL. Contoh perhitungan:

𝐿𝑎𝑙𝑢𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 = 𝐿𝐻𝑅 × 𝐺𝐹 × 365

𝐿𝑎𝑙𝑢𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 = 1063 × 13,5 × 365 = 5233903 𝐿𝑎𝑙𝑢𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝐸𝑆𝐴𝐿 = 𝐿𝑎𝑙𝑢𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 × 𝐿𝐸𝐹 𝐿𝑎𝑙𝑢𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝐸𝑆𝐴𝐿 = 5233903 × 0,000507 = 2655,881

Hasil dari perhitungan total lalulintas rencana ESAL dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil perhitungan lalulintas rencana ESAL

Jenis Kendaraan LHR 2011 GF Lalulintas Rencana Faktor ESAL Lalulintas Rencana ESAL Gol 2 & 3 1063 13,5 5233903 0,000507 2655,881 Gol 4 368 13,5 1812223 0,031634 57328,33 Gol 5a 57 13,5 278804 0,176907 49322,34 Gol 5b 19 13,5 95047 1,908472 181393,9 Gol 6a 427 13,5 2103699 0,206334 434064,1 Gol 6b 49 13,5 240785 2,474098 595725,3 Gol 7a 30 13,5 145738 3,272735 476962,5 Total 1797452

Jumlah nilai lalulintas rencana ESAL selanjutnya dikali dengan faktor distribusi arah dan lajur. Nilai DD biasanya ditentukan sebesar 0,5 (50%) pada kebanyakan jalan. Pembuktian telah menunjukan bahwa DD dapat bervariasi dari 0,3 sampai 0,7 tergantung pada arah yang “terisi beban” dan yang “tidak terisi beban”. Sedangkan DL

Tabel 21. Distribusi kendaraan berdasarkan jumlah lajur

ditentukan berdasarkan jumlah lajur seperti ditunjukan pada Tabel 21.

Jumlah Lajur Tiap Arah % 18-kips ESAL Desain

1 2 3 4 atau lebih 100 80 – 100 60 – 80 50 – 75 (Sumber: AASHTO, 1993)

Faktor distribusi arah ditetapkan sebesar 0,5 dan faktor distribusi lajur sebesar 1 untuk mendapatkan lalulintas rencana kumulatif (w18

dengan: D

). Perhitungannya adalah sebagai berikut: 𝑤18= 𝐷𝐷× 𝐷𝐿× 𝑤� 18

𝑤18= 0,5 × 1 × 1797452 = 898726,2

D D

= faktor distribusi berdasarkan arah L

𝑤� = nilai kumulatif prediksi ESAL 18

= faktor distribusi berdasarkan jumlah lajur

6. Reliabilitas

Reliabilitas adalah nilai profitabilitas dari kemungkinan tingkat pelayanan yang dipandang dari sudut pemakai jalan. Dapat juga diartikan sebagai cara menggabungkan beberapa tingkat

(16)

15 kepastian pada proses perencanaan untuk memastikan bahwa berbagai alternatif rencana akan bertahan pada periode analisa. Tingkat reliabilitas yang disarankan untuk berbagai klasifikasi jalan sesuai dengan fungsinya ditunjukan pada Tabel 22.

Tabel 22. Tingkat reliabilitas berdasarkan fungsi jalan

Fungsi Jalan Tingkat Keandalan (R) Dalam Persen

Urban Rural Jalan Tol Arteri Kolektor Lokal 85 – 99,9 80 – 99 80 – 95 50 – 80 80 – 99,9 75 – 95 75 – 95 50 – 80 (Sumber: AASHTO, 1993)

Tingkat reliabilitas berdasar pada nilai rencana ESAL dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Tingkat reliabilitas berdasarkan nilai rencana ESAL

Nilai Rencana ESAL (106) Reliabilitas

< 0,1 0,1– 5,0 5,0 – 10,0 > 10,0 75 85 90 95 (Sumber: Alberta Transport and Utilities, 1997)

Korelasi antara nilai deviasi standar normal (ZR Tabel 24. Deviasi standar normal (Z

) dan reliabilitas (R) ditunjukan pada Tabel 24. R

Reliabilitas (R)

) yang mewakili tingkat reliabilitas (R) Deviasi Standar Normal (ZR Reliabilitas (R) ) Deviasi Standar Normal (ZR) 50 60 70 75 80 85 90 91 92 -0,000 -0,253 -0,524 -0,674 -0,841 -1,037 -1,282 -1,340 -1,405 93 94 95 96 97 98 99 99,9 99,99 -1,476 -1,555 -1,645 -1,751 -1,881 -2,054 -2,327 -3,090 -3,750 (Sumber: AASHTO, 1993)

Berdasarkan Tabel 22 untuk jalan kolektor pada daerah rural, maka nilai reliabilitas berkisar antara 75 – 95 %. Dengan pendekatan nilai rencana ESAL antara 898726,2 sesuai Tabel 23 nilai reliabilitas dapat ditetapkan sebesar 85 %. Untuk nilai reliabilitas 85% sesuai pada Tabel 24 maka nilai ZR

7. Modulus resilient tanah dasar

sebesar -1,037.

Karakteristik mutu tanah dasar pada perencanaan perkerasan lentur ditentukan oleh nilai

resilient modulus (MR). Resilient Modulus adalah nilai hubungan dinamis antara tegangan dan regangan yang mempunyai karakteristik nonlinear. Dari hasil perhitungan kumulatif 90 % sebelumnya, didapat nilai CBR rencana sebesar 3,25%. Dengan menggunakan persamaan dari

Heukelom and Klomp (1962) korelasi antara nilai CBR Corps of Engineer dan nilai resilient modulus (MR

dengan: M

) dihitung seperti berikut: 𝑀𝑅(𝑝𝑠𝑖) = 1500 × 𝐶𝐵𝑅

𝑀𝑅(𝑝𝑠𝑖) = 1500 × 3,25 = 4875 𝑝𝑠𝑖

R

CBR = california bearing ratio = resilient modulus

8. SN rencana

SN yang sebelumnya digunakan untuk menentukan faktor ESAL (LEF) dimasukan pada persamaan dasar AASHTO untuk menentukan SN rencana. Apabila tidak memenuhi maka nilai SN ditentukan ulang dari SN yang digunakan untuk menentukan faktor ESAL (LEF). Pembuktian nilai SN memenuhi persamaan dasar AASHTO dengan memasukan nilai dan asumsi yang telah ditentukan sebelumnya adalah sebagai berikut:

(17)

16 log𝑤18= 𝑍𝑅× 𝑆0+ 9,36 log(𝑆𝑁 + 1) − 0,20 + log�4,2−1,5∆𝑃𝑆𝐼� 0,40+(𝑆𝑁+1)5,191094 + 2,32 log(𝑀𝑅) − 8,07 log 898726,2 = −1,037×0,45+9,36×log3,65181+1−0,2+log2,24,2−1,50,4+10943,65181+15,19+2,32×log4875−8,07 5,95363 = (−0,46665) + (6,04894) + �−0,08894 0,775024� +(0,486101) 5,95363 = 5,95363 dengan: w18 Z

= perkiraan nilai kumulatif ekivalen beban kendaraan dari aplikasi ESAL

(Equivalent Single Axle Load) R

S

= deviasi normal yang mewakili nilai relialibilitas (R) 0

SN = Structural number, Nilai korelasi total suatu tebal perkerasan yang dibutuhkan = gabungan kesalahan baku dari perkiraan beban lalulintas dan kinerja suatu

perkerasan jalan

∆PSI = selisih antara indeks pelayanan awal dan akhir MR

Nilai SN 3,65181 memenuhi persamaan dasar AASHTO maka nilai tersebut dapat digunakan sebagai nilai SN rencana.

= resilient modulus (psi)

9. Tebal masing – masing lapisan perkerasan

Menurut AASHTO 1993 nilai tebal minimum setiap lapis perkerasan ditunjukan Tabel 25. Tabel 25. Tebal minimum lapis perkerasan

Volume Lalulintas ESAL Beton Aspal (inch) Fondasi Agregat (inch) < 50.000 50.001 – 150.000 150.001 – 500.000 500.001 – 2.000.000 2.000.001 – 7.000.000 > 7.000.000 1,0 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4 4 4 6 6 6 (Sumber: AASHTO, 1993)

Material yang digunakan oleh setiap lapisan antara lain adalah sebagai berikut:

a. Lapis permukaan menggunakan aspal beton (AC) 2000 MPa dengan tebal minimum 3” sesuai Tabel 25 (Volume lalulintas ESAL 898726,2) dan koefisien kekuatan relatif 0,4 menurut

Siegfried & Rosyidi (2007).

b. Fondasi atas menggunakan bahan butiran (granular) dengan CBR 70% (modulus sekitar 27500 psi) dengan tebal minimum 6” sesuai Tabel 25 (Volume lalulintas ESAL 898726,2) dan ditetapkan memiliki nilai koefisien drainasi (m2) 1,0 serta koefisien kekuatan relatif (a2) sebesar 0,13 seperti ditunjukan pada plot nomogram pada Gambar 5.

(18)

17 c. Fondasi bawah menggunakan bahan butiran (granular) dengan CBR 70% (modulus sekitar 18500 psi) dan ditetapkan memiliki nilai koefisien drainasi (m3) 1,0 serta koefisien kekuatan relatif (a3) sebesar 0,13 seperti ditunjukan pada plot nomogram pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil plot nomogram kekuatan relatif dengan bahan butiran untuk fondasi bawah (a3

Tebal lapis perkerasan ditetapkan sebesar 4,330709” (11 cm), fondasi atas 7,874016” (20 cm) dan fondasi bawah dihitung seperti berikut:

𝑆𝑁 = 𝑆𝑁1+ 𝑆𝑁2+ 𝑆𝑁3

𝑆𝑁 = 𝑎1𝐷1+ 𝑎2𝐷2𝑚2+ 𝑎3𝐷3𝑚3

3,65181 = (0,4 × 4,330709) + (0,13 × 7,874016 × 1) + (0,13 × 𝐷3× 1)

𝐷3=3,65181 − [(0,4 × 4,330709) + (0,13 × 7,874016 × 1)]0,13 = 6,891573

)

dengan: SN = Structural number, Nilai korelasi total suatu tebal perkerasan yang dibutuhkan ai

D

= koefisien kekuatan relatif lapis ke-i i

m

= tebal lapis ke-i (inch) i

Besarnya nilai D

= koefisien drainasi lapis ke-i

3 minimum adalah 6,891573” atau 17,5046 cm maka digunakan D3

Tebal masing – masing lapis perkerasan dapat diterima karena SN perkerasan lebih besar dari SN rencana. Tebal masing – masing lapisan perkerasan yaitu:

sebesar 18 cm atau 7,086614” kemudian SN perkerasan dihitung kembali seperti berikut:

𝑆𝑁 = 𝑎1𝐷1+ 𝑎2𝐷2𝑚2+ 𝑎3𝐷3𝑚3

𝑆𝑁 = (0,4 × 4,330709) + (0,13 × 7,874016 × 1) + (0,13 × 7,086614 × 1) 𝑆𝑁 = 1,732283 + 1,023622 + 0,92126 = 3,677165

a. Lapis permukaan menggunakan bahan aspal beton (AC) 2000 MPa dengan tebal 11 cm (4,330709”) dan koefisien kekuatan relatif 0,4.

b. Fondasi atas menggunakan bahan butiran (granular) dengan CBR 70 % (modulus sekitar 27500 psi) dengan tebal 20 cm (7,874016”) dan memiliki nilai koefisien drainasi (m2) 1,0 serta koefisien kekuatan relatif (a2

c. Fondasi bawah menggunakan bahan butiran (granular) dengan CBR 70% (modulus sekitar 18500 psi) dengan tebal 18 cm (7,086614”) dan memiliki nilai koefisien drainasi (m

) sebesar 0,13.

2) 1,0 serta koefisien kekuatan relatif (a2

Gambar susunan tebal masing – masing lapisan perkerasan dengan menggunakan metode AASHTO dapat dilihat pada Gambar 7.

(19)

18 Gambar 7. Susunan tebal lapis perkerasan dengan metode AASHTO

E. Metode AUSTROADS 1992

Metode Austroads merupakan metode mekanistik yang dikembangkan berdasarkan teori matematis dari regangan pada setiap lapis perkerasan akibat beban berulang dari lalulintas. Metode mekanistik yang banyak digunakan biasanya berdasarkan teori elastik yang membutuhkan modulus elastisitas dan rasio poisson dari setiap bahan lapis perkerasan.

1. Faktor ESA (ESA factor)

Lapisan terikat berupa aspal terdapat pada perencanaan perkerasan ini, maka perhitungan faktor ESA dihitung sebagai berikut.

a. Aspal

Contoh perhitungan faktor ESA untuk tingkat beban golongan 2 & 3 sumbu depan dalam pengaruh kerusakan pada aspal adalah sebagai berikut:

𝐹𝐴𝑖𝑗�𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐹𝐶𝑖𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐹𝑆𝑖𝑗� = �𝐿𝐿𝑖𝑗 𝑆𝑖� 𝐸𝑋𝑃 𝐹𝐴𝑖𝑗 = �𝐿𝐿𝑖𝑗 𝑆𝑖� 5 𝐹𝐴 𝐷 2&3 = �5,31 � 5 = 0,000239 dengan: Lij L

= tingkat beban ke-j pada jenis sumbu i Si

EXP = pangkat yang terdapat dalam hubungan antara batasan regangan dan regangan repetisi yang menjelaskan kinerja aspal, bahan bersemen, atau tanah dasar saat digunakan. Nilai pangkat 5 (aspal), 18 (bahan bersemen), dan 7,14 (tanah dasar) didapat dari kriteria kinerja.

= tingkat beban standar pada jenis sumbu i dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Beban sumbu yang mengakibatkan kerusakan sama Konfigurasi Sumbu Tunggal Tunggal Tunggal Ganda Tandem Ganda Tripel Ganda Beban (kN) 53 80 135 181 (Sumber: AUSTROAD, 1992)

Faktor ESA sumbu depan dan belakang yang telah dihitung, selanjutnya dijumlahkan untuk mendapatkan faktor ESA jenis kendaraan tersebut. Hasil perhitungan faktor ESA dari persamaan diatas dapat dilihat pada Tabel 27.

Tabel 27. Hasil perhitungan faktor ESA aspal Jenis

Kendaraan

GVW (ton)

Konfigurasi Beban Faktor ESA

Total

Depan Belakang Lain Depan Belakang Lain

Gol 2 & 3 2 1 1 0,000239 0,000239 0,000478 Gol 4 5,3 1,8 3,5 0,004518 0,125592 0,13011 Gol 5a 8 2,7 5,3 0,034311 0,127623 0,161935 Gol 5b 14,2 4,8 9,4 0,609294 2,239697 2,848991 Gol 6a 8,3 2,8 5,5 0,041154 0,15359 0,194744 Gol 6b 15,1 5,1 10 0,825033 3,051758 3,876791 Gol 7a 26 6,5 19,5 2,774517 6,28788 9,062397 b. Tanah Dasar

Contoh perhitungan faktor ESA untuk tingkat beban golongan 2 & 3 sumbu depan dalam pengaruh kerusakan pada tanah dasar adalah sebagai berikut:

𝐹𝑆𝑖𝑗 = �𝐿𝐿𝑖𝑗 𝑆𝑖�

(20)

19 𝐹𝑆 2&3 = �5,31 �

7,14

= 0,0000067

Nilai Lij adalah beban sumbu kendaraan dan LSi

Tabel 28. Hasil perhitungan faktor ESA tanah dasar

berdasarkan pada Tabel 26. Setelah dihitung faktor ESA sumbu depan dan belakang, selanjutnya dijumlahkan untuk mendapatkan faktor ESA jenis kendaraan tersebut. Hasil perhitungan faktor ESA dari persamaan diatas dapat dilihat pada Tabel 28.

Jenis Kendaraan

GVW (ton)

Konfigurasi Beban Faktor ESA

Total

Depan Belakang Lain Depan Belakang Lain

Gol 2 & 3 2 1 1 0,0000067 0,0000067 0,000013 Gol 4 5,3 1,8 3,5 0,0004480 0,0516792 0,052127 Gol 5a 8 2,7 5,3 0,0081023 0,0528770 0,060979 Gol 5b 14,2 4,8 9,4 0,4928704 3,1627901 3,65566 Gol 6a 8,3 2,8 5,5 0,0105046 0,0688854 0,07939 Gol 6b 15,1 5,1 10 0,7598386 4,9196872 5,679526 Gol 7a 26 6,5 19,5 4,2940951 13,8122369 18,10633

2. Faktor pertumbuhan (growth factor)

Faktor pertumbuhan ditetapkan sebesar 6,5 % pertahun untuk semua jenis kendaraan dan nilainya konstan setiap tahun. Nilai 6,5% dalam umur rencana 10 tahun dihitung dengan persamaan dasarnya karena nilai 6,5% tidak tercantum pada tabel yang tersedia pada AUSTROADS. Nilai faktor pertumbuhan kumulatif (GF) adalah sebagai berikut:

𝐺𝐹 =(1 + 0,01𝑅)0.01𝑅𝑃− 1 𝐺𝐹 =�1 + (0,01 × 6,5)�

10

− 1

(0,01 × 6,5) = 13,5

dengan: R = persentase pertumbuhan lalulintas (%) P = umur rencana (tahun)

3. Lalulintas Rencana (design traffic)

Berbedanya faktor ESA untuk aspal dan tanah dasar menyebabkan nilai ESA untuk tanah dasar dan aspal pun menjadi berbeda. LHR yang digunakan adalah pada awal jalan dibuka yaitu LHR tahun 2011. Nilai ESA harian awal umur perkerasan selanjutanya dihitung dengan persamaan:

𝑁𝑆𝑖= 𝐿𝐻𝑅2011× 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐸𝑆𝐴

𝑁𝑆𝐴= 1063 × 0,000478 = 0,508194

Nilai ESA dihitung dengan Hasil perhitungan nilai ESA untuk aspal (NSA) dan nilai ESA untuk tanah dasar (NSS

Tabel 29. Nilai ESA harian untuk aspal dan tanah dasar ) dapat dilihat pada Tabel 29. Jenis Kendaraan LHR 2011 Faktor ESA Aspal Faktor ESA Tanah Dasar NSA NSS Gol 2 & 3 1063 0,000478 0,000013 0,508194 0,014324 Gol 4 368 0,13011 0,052127 47,87132 19,17916 Gol 5a 57 0,161935 0,060979 9,166231 3,451706 Gol 5b 19 2,848991 3,65566 54,97697 70,54326 Gol 6a 427 0,194744 0,07939 83,17653 33,908 Gol 6b 49 3,876791 5,679526 189,5197 277,6477 Gol 7a 30 9,062397 18,10633 268,1448 535,7433 Total 653,3638 940,4875

Perhitungan nilai ESA untuk aspal dan tanah dasar adalah sebagai berikut:

a. Aspal (aspalt). Besarnya faktor pertumbuhan (GF) untuk 10 tahun telah dihitung sebesar 13.5. Kemudian nilai rencana ESA dihitung seperti berikut:

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝐸𝑆𝐴𝑠 = 𝑁𝑆𝐴× 365 × 𝐺𝐹

(21)

20 Kedua lajur diasumsi memiliki lalulintas yang sama besar (50% - 50%). Nilai rencana ESA untuk setiap lajur adalah sebagai berikut:

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝐸𝑆𝐴𝑠 = 3218120 × 50% = 1609060 dengan: NS

GF = faktor pertumbuhan kumulatif

= lalulintas harian rata – rata tahunan awal

b. Tanah Dasar (subgrade). Besarnya faktor pertumbuhan (GF) untuk 10 tahun telah dihitung sebesar 13,5. Kemudian nilai rencana ESA dihitung seperti berikut:

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝐸𝑆𝐴𝑠 = 𝑁𝑆𝑆× 365 × 𝐺𝐹

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝐸𝑆𝐴𝑠 = 940,4875 × 365 × 13,5 = 4632337 (2 lajur) 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝐸𝑆𝐴𝑠 = 4632337 × 50% = 2316169

4. Lalulintas Rencana Disesuaikan (modified design traffic)

a. Kondisi perkerasan awal dan akhir

Prosedur perencanaan untuk perkerasan lentur baru berdasar pada dasar pemikiran bahwa kekasaran perkerasan saat akhir dari periode rencana akan menjadi sekitar 150 counts/km dengan anggapan kekasaran awal adalah sekitar 50 counts/km.Perubahan ini hanya digunakan pada kasus dimana kriteria tekanan tanah dasar menentukan.

b. Pengali usia perkerasan (pavement life multipliers)

PLM (pavement life multipliers) digunakan untuk memasukan dalam perhitungan dampak dari perbedaan suhu dan gambaran beban lalulintas pada perkerasan granular dengan permukaan aspal. Harus diingat bahwa PLM tidak dapat digunakan pada perkerasan yang terdiri dari bahan bersemen.

Perkerasan diasumsikan dengan batasan ketahanan (fatigue) ditentukan pada aspal, maka tidak perlu penyesuaian lalulintas untuk kekasaran (roughness). Namun, faktor pengali usia perkerasan tetap perlu diperhitungkan karena tidak terdapat bahan bersemen (cemented material). Faktor PLMN dan PLMD

Tabel 31. Nilai faktor PLM

ditetapkan dari data di wilayah Australia Utara (Barrow Creek) yang terdapat pada Tabel 31.

D dan PLMN Kota

sesuai ketebalan aspal untuk wilayah Australia Utara Tebal Aspal ≤ 50 mm 75 mm ≥ 100 mm PLMD PLMN PLMD PLMN PLMD PLMN Barrow Creek Daly Waters Darwin Katherine Tennant Creek 4,60 5,00 5,00 5,00 5,00 0,25 0,51 2,66 0,75 0,43 4,60 5,00 5,00 5,00 5,00 0,86 1,10 2,66 1,32 1,09 4,60 5,00 5,00 5,00 5,06 1,39 1,55 2,66 1,75 1,62 (sumber: AUSTROADS, 1992)

Tabel 32. Nilai suhu perkerasan rata – rata tahunan yang diberatkan (weighted mean annual

pavement temperature) untuk daerah Australia Utara

Kota WMAPT Barrow Creek Daly Waters Darwin Katherine Tennants Creek 37,8 40,1 40,7 40,7 39,8 (sumber: AUSTROADS, 1992)

Berdasar pada Tabel 32, wilayah tersebut memiliki gambaran lalulintas dan suhu sekitar 37,8°C yang relatif mendekati dengan wilayah Kalimantan Tengah (36,1°C). Besarnya persentase lalulintas dalam ESA pada siang hari (PD) ditetapkan sebesar 90 % dari total kendaraan yang lewat. Contoh perhitungan nilai PLM untuk tebal perkerasan ≤ 50 mm adalah sebagai berikut:

𝑃𝐿𝑀 = 𝑃 100

𝐷

𝑃𝐿𝑀𝐷+ 100 − 𝑃 𝐷

(22)

21

𝑃𝐿𝑀 = 90 100

4,6 +100 − 900,25

= 1,678832

dengan: PLM = pavement life multipliers lalulintas total PD

PLM

= % ESAs selama siang (pukul 7.00 – 21.00) D

PLM

= faktor PLM untuk siang hari N

Hasil perhitungan nilai PLM dapat dilihat pada Tabel 33. = faktor PLM untuk malam hari

Tabel 33. Hasil perhitungan PLM

Tebal Perkerasan ≤ 50 mm 75 mm ≥ 100 mm

PLMD 4,60 4,60 4,60

PLMN 0,25 0,86 1,36

PLM 1,678832 3,205835 3,736996

Tebal aspal direncanakan lebih dari 100 mm, maka nilai PLM yang digunakan adalah sebesar 3,736996. Kemudian nilai lalulintas rencana disesuaikan (modified design traffic) dapat dihitung seperti berikut: Aspal 𝑁𝐴=𝑃𝐿𝑀𝑁 𝑁𝐴=3,736996 = 430575,771609060 Tanah dasar 𝑁𝑆=𝑃𝐿𝑀𝑁 𝑁𝑆=3,736996 = 619794,32316169

dengan: N = beban lalulintas normal (dalam ESAs) NA

PLM = Pavement Life Multiplier lalulintas total = beban lalulintas disesuaikan (dalam ESAs)

5. Parameter Elastis (elastic parameter)

Nilai parameter elastis yang digunakan pada perkerasan ini antara lain adalah sebagai berikut: a. Tanah dasar

CBR rencana yang digunakan adalah sebesar 3,25 %. Nilai parameter – parameter elastis: Modulus vertikal

𝐸𝑉= 10 × 𝐶𝐵𝑅

𝐸𝑉= 10 × 3,25 = 32,5 𝑀𝑃𝑎

dengan: EV

CBR = nilai CBR rencana (%) = modulus vertikal (MPa) Angka poisson vertikal

𝑣𝑉 = 0,45 Modulus horizontal 𝐸𝐻= 0.5 × 𝐸𝑉 𝐸𝐻= 0,5 × 32,5 = 16,25 𝑀𝑃𝑎 dengan: EV E

= Modulus vertikal (MPa) H

Angka poisson horizontal 𝑣𝐻 = 0,45

= Modulus horizontal (MPa)

Modulus geser 𝑓 =(1 + 𝑣𝐸𝑉

𝑉)

𝑓 =(1 + 0,45) = 22,41 𝑀𝑃𝑎32,5 dengan: f = Modulus geser (MPa)

EV V

= Modulus vertikal (MPa) V

b. Bahan butiran

= Rasio Poisson vertikal

Nilai parameter – parameter elastis bahan butiran adalah sebagai berikut: Modulus vertikal

𝐸𝑉= 190 MPa

Angka poisson vertikal 𝑣𝑉 = 0,35

Modulus horizontal

𝐸𝐻 = 0,5 × 190 = 95 𝑀𝑃𝑎

Angka poisson horizontal 𝑣𝐻= 0,35

Modulus geser 𝑓 =(1 + 𝑣𝐸𝑉

𝑉)

(23)

22 c. Aspal Modulus horizontal 𝐸𝐻 = 2000 MPa Angka poisson 𝑣𝑉= 0,4 6. Regangan vertikal (vertical strain)

Setiap beban lalulintas dihitung sebagai beban berbentuk lingkaran yang memberi tekanan pada setiap lapisan perkerasan untuk menghitung regangan vertikal. Sesuai dengan standar ESA, jarak antar roda adalah 330 mm dan diameter lingkaran tersebut dihitung dengan persamaan berikut:

𝑅 = 2523𝑝−0,5

𝑅 = 2523(750)−0,5= 92,127 𝑚𝑚

dengan: R = jari – jari (mm)

p = tekanan vertikal (tekanan roda) nilainya antara 500 – 1000 kPa. Untuk jalan raya dapat ditetapkan 750 kPa

Parameter – parameter yang sebelumnya telah dihitung dan diasumsikan, dimasukan pada program CIRCLY seperti yang diisyaratkan pada AUSTRODS 1992. Program CIRCLY yang digunakan pada analisis ini adalah versi 5.0. Dampak dari besarnya beban repetisi dalam ESA untuk tanah dasar dan aspal yang berbeda, maka perlu dihitung faktor pengalinya sebagai berikut: Aspal 𝑁𝐴= 430575,77 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑙𝑖 (𝑚𝑢𝑙𝑡𝑖𝑝𝑙𝑖𝑒𝑟𝑠) = 1 Tanah dasar 𝑁𝑆= 619794,3 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑎𝑙𝑖 =430575,77619794,3 = 1,44

Tebal perkerasan harus ditentukan dengan trial and error (percobaan). Tebal masing – masing lapisan percobaan adalah aspal 11 cm dan bahan butiran 380 cm. Input pada CIRCLY dapat dilihat pada lampiran J. Regangan kritis dari hasil CIRCLY dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hasil output program CIRCLY Aspal

με = - 439,07 microstrain (tarik) Tanah dasar με = 946,29 microstrain (tekan)

7. Nilai sumbu standar yang diijinkan (allowable number of Standard Axles)

Batasan standar regangan untuk tanah dasar ditunjukan oleh persamaan berikut: 𝑁 = �8511𝜇𝜀 �7,14

𝑁 = �946,298511 �7,14 = 6475127

dengan: N = Jumlah repetisi yang diijinkan (ESA) sebelum tingkat yang tidak dapat diterima dari kerusakan alur terbentuk.

με = vertical compressive strain (microstrain) didapat dari hasil program CIRCLY 𝐷𝑎𝑚𝑎𝑔𝑒 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =619794,36475127 = 0,095719

Persen volume bitumen perlu diperkirakan terlebih dahulu sebelum menentukan batasan repetisi pada aspal. Untuk itu menggunakan nomogram Van der Poer dan Bonnaure yang ditujukan pada Gambar 9. dan Gambar 10.

(24)

23 Waktu lintasan beban

𝑡 = 1 𝑣�

𝑡 = 1 60� = 0,01667 dengan:

t = waktu lintasan beban (time of

loading) dalam detik

v = kecepatan kendaraan dalam Km/jam

T800pen

dengan:

dikurangi suhu operasional 𝑇 = 𝑇800𝑝𝑒𝑛− 𝑇𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔

𝑇 = 64°𝐶 − 36°𝐶 = 28°𝐶

T = suhu pada nomogram

T800pen T

= suhu saat (64°C) operating = suhu operasional

Gambar 9. Plot nomogram perkiraan kekakuan bitumen

(25)

24 Kekakuan campuran dengan kriteria Shell diperkirakan memiliki VB

dengan: N = Jumlah repetisi yang diijinkan (ESA)

14,08 % untuk modulus 2000 MPa dari hasil plot nomogram – nomogram pada Gambar 9 dan Gambar 10. Hubungan umum antara regangan tarik maksimum di aspal yang dihasilkan oleh beban khusus dan jumlah repetisi yang diijinkan dari beban tersebut (Shell, 1978) adalah sebagai berikut:

𝑁 = �6918(0,856𝑉𝐵+ 1,08) 𝑆𝑚𝑖𝑥0,36𝜇𝜀 � 5 𝑁 = �6918(0,856 × 14,08 + 1,08)20000,36 × 437,95 � 5 = 433624,4 με = vertical compressive strain (microstrain)

didapat dari hasil program CIRCLY VB

S

= persentase volume bitumen di aspal mix

Nilai ESA ijin lebih besar dari nilai repetisi ESA rencana maka perkerasan dapat diterima. Dan karena Damage Factor aspal lebih tinggi, maka asumsi bahwa lapisan aspal yang menentukan perkerasan juga sesuai. Sehingga tidak memerlukan penyesuaian untuk kekasaran (roughness) dan hanya disesuaikan oleh PLM (Pavement Life Multipliers).

= Kekakuan campuran (modulus) dalam MPa 𝐷𝑎𝑚𝑎𝑔𝑒 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =430571,77433624,4 = 0,99297

8. Parameter elastis sublapisan – sublapisan lain pada bahan butiran

Sub lapisan tidak diperlukan dan modulus dapat ditentukan secara langsung untuk bahan butiran yang diletakan langsung pada fondasi dasar bersemen kaku,. Namun, untuk bahan butiran yang diletakkan langsung pada tanah dasar diperlukan sub lapisan. Pokok permasalahannya yaitu ketebalan sub lapisan harus berada pada kisaran antara 50 – 150 mm. Rasio modular (R) sub lapisan yang berbatasan tidak boleh mencapai 2. Jumlah dari sub lapisan dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Jumlah sub lapisan bahan butiran

Ketebalan dari bahan butiran 𝐸𝑇𝑜𝑝 𝐸𝑆𝑢𝑏𝑔𝑟𝑎𝑑𝑒 < 2 2 – 3.9 4 – 7.9 8 – 15.9 16 – 30 100-150 151-300 301-450 451-600 601-750 751-900 901-1050 1 2 3 4 5 6 7 2 2 3 4 5 6 7 3 3 3 4 5 6 7 - 4 4 4 5 6 7 - - 5 5 5 6 7 (sumber: AUSTROADS, 1992)

Penentuan jumlah sub lapisan pada bahan butiran tak terikat perlu memperhitungankan terlebih dahulu perbandingan modulus bahan butiran dengan tanah dasar seperti berikut:

=𝐸 𝐸𝑇𝑜𝑝

𝑠𝑢𝑏𝑔𝑟𝑎𝑑𝑒

=32,5 = 5,846190

Tebal bahan butiran ditetapkan sebesar 380 mm. Sesuai dengan Tabel 34 maka jumlah sub lapisan sebanyak 3 sublapisan. Setelah didapat jumlah sub lapisan, nilai rasio modular setiap lapisan dan parameter elastis sub lapisan dapat dihitung. Contoh perhitungan:

𝑅 = �𝐸𝐸𝑡𝑜𝑝 𝑜𝑓 𝑏𝑎𝑠𝑒 𝑠𝑢𝑏𝑔𝑟𝑎𝑑𝑒 � 1 𝑛� 𝑅1= �𝐸 𝐸𝑇𝑜𝑝 𝑠𝑢𝑏𝑔𝑟𝑎𝑑𝑒� 𝐷1 𝐷𝐵 �

(26)

25 𝑅1= �32,5190�

130380

= 1,8296

dengan: R = rasio modular n = jumlah sub lapisan

Etop of base = modulus vertikal fondasi (MPa) D1 E

= Tebal sub lapisan 1 subgrade = modulus vertikal tanah dasar (MPa) DB

𝐸𝑉1= 32,5 × 1,8296 = 59,461MPa

𝐸𝐻1= 𝐸𝑉1× 0,5

= Tebal fondasi material granular

𝐸𝑉1= 𝐸𝑉𝑆× 𝑅

𝐸𝐻1= 59,461 × 0,5 = 29,7306 MPa

Hasil perhitungan parameter elastis untuk setiap sub lapisan dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Hasil perhitungan parameter elastis untuk setiap sublapisan

Sub lapisan D1 R VV = VH EV EH

1 13 1,829576 0,35 59,46121 29,7306

2 13 1,829576 0,35 108,7888 54,39438

3 12 1,746504 0,35 190 95

9. Tebal masing – masing lapisan perkerasan

Berdasarkan hasil perhitungan susunan tebal masing – masing lapisan perkerasan adalah: a. Lapis permukaan menggunakan aspal dengan modulus vertikal/horizontal 2000 MPa, VB b. Lapis fondasi menggunakan bahan butiran yang dibagi menjadi 3 sub lapisan masing – masing

setebal 13 cm, 13 cm, dan 12 cm dengan modulus vertikal puncak 190 MPa dan angka poisson 0,35 serta tebal total 38 cm.

14,08 % dan angka poisson 0,4 serta tebal 11 cm.

Susunan tebal masing – masing lapisan perkerasan dengan menggunakan metode AUSTROADS dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Susunan tebal masing – masing lapisan perkerasan metode AUSTROADS.

F.

Perbandingan Perencanaan

Perbandingan perencanaan dengan menggunakan metode Analisa Komponen, AASHTO, dan AUSTROADS dapat dilihat pada Tabel 36.

Tabel 36. Perbandingan perencanaan metode Analisa Komponen, AASHTO Dan AUSTROADS

Analisa Komponen AASHTO AUSTROADS

Faktor Beban Sumbu Angka Ekivalen Beban Sumbu

Kendaraan.

- Beban sumbu (kg) - Jenis sumbu

Faktor ESAL

- Beban sumbu (kips) - Jenis sumbu

- SN (faktor tebal perkerasan) - p0 & pt

Faktor ESA

(indeks pelayanan)

- Beban sumbu (kN)

- Jenis sumbu dan jumlah roda per sumbu - Material Faktor Pertumbuhan = (1 + 𝑖)𝑛 dengan: i = persentase pertumbuhan lalulintas (%)

n = umur rencana (tahun)

=(1 + 𝑔)𝑔𝑛− 1 dengan:

g = persentase pertumbuhan lalulintas

n = umur rencana (tahun)

𝐺𝐹 =(1 + 0,01𝑅)0,01𝑅𝑃− 1 dengan:

R = persentase pertumbuhan lalulintas (%)

P = umur rencana (tahun) Lalulintas Rencana

Lintas Ekivalen Rencana (LER) - Lalulintas awal

- Lalulintas akhir - Angka ekivalen

Design traffic ESAL

- Lalulintas akhir - Faktor ESAL - Faktor pertumbuhan

Design traffic ESA

- Lalulintas akhir - Faktor ESA

(27)

26 - Faktor pertumbuhan

Analisa Komponen AASHTO AUSTROADS

Faktor Penyesuaian Faktor regional (FR) - Curah hujan - % kendaraan berat - kelandaian Reliabilitas (R) - Fungsi jalan - facility

Standar deviasi keseluruhan - Jenis perkerasan

- Variasi lalulintas

Pengali usia perkerasan (PLM) - Suhu

- Gambaran lalulintas - Material yang menentukan

kriteria kelelahan (fatique

criterion)

Faktor Kondisi Perkerasan (Awal dan Akhir) Indeks pelayanan awal

- Jenis perkerasan - Kekasaran

Indeks pelayanan akhir - Klasifikasi jalan

- Lintas ekivalen rencana

Indeks pelayanan awal - Jenis perkerasan Indeks pelayanan akhir

- % masyarakat yang menerima - Facility

Kekasaran (Roughness) - Kelas fungsi jalan

- Material yang menentukan kriteria kelelahan (fatique

criterion)

Tanah Dasar Daya dukung tanah (DDT)

- CBR rencana (%) - CBR rencana (%) Modulus Resilient (psi) - CBR rencana (%) Parameter elastis (MPa) Penentu tebal perkerasan

Nomogram ITP

- Indeks pelayanan awal - Indeks pelayanan akhir - Faktor regional

- Lintas ekivalen rencana - Daya dukung tanah

Persamaan dasar AASHTO - Standar deviasi keseluruhan - Indeks pelayanan awal - Indeks pelayanan akhir - Reliabilitas

- Modulus Resilient tanah dasar - SN

Lalulintas Rencana ESA untuk masing – masing lapisan - Lalulintas rencana - Material

- PLM (bila sesuai) - Roughness (bila sesuai) Tebal perkerasan rencana

ITP (Indeks Tebal Perkerasan) - Koefisien kekuatan relatif(ai - Tebal lapisan perkerasan (Di)

SN (Structural Number) )

- Koefisien lapis perkerasan (ai

- Tebal lapisan perkerasan (D) i - Koefisien drainasi (mi )

fatigue criterion

)

- Regangan vertikal (microstrain) - Parameter elastis (MPa)

- % volume bitumen dalam campuran untuk aspal Hasil perencanaan Lapis permukaan - Aspal MS 800 kg - a1 - Tebal 11 cm 0,421 Tebal Fondasi 36 cm Fondasi atas - Batu pecah CBR 70 % - a2 - Tebal 20 cm 0,125 Fondasi bawah - Batu pecah CBR 70 % - a3 - Tebal 16 cm 0,13 Lapis permukaan

- Aspal Modulus 2000 MPa - a1 - Tebal 11 cm 0,40 Tebal Fondasi 38 cm Fondasi atas - Granular CBR 70% - a2 - m2 0,13 - Tebal 20 cm 1,0 Fondasi bawah - Granular CBR 70% - a3 - m3 0,13 - Tebal 18 cm 1,0 Lapis permukaan

- Aspal Modulus 2000 MPa - Angka poisson 0,4 - VB

- Tebal 11 cm 14,08 % Tebal Fondasi 38 cm

Sub lapisan 1

- Granular modulus vertikal 59,5 MPa

Tebal 13 cm Sub lapisan 2

- Granular modulus vertical 108,8 MPa

- 13 cm Sub lapisan 3

- Granular modulus vertikal 190 MPa

Gambar

Gambar 1.  Peta lokasi jalan  Tujuan jalan ini antara lain:
Tabel 1 dibuat grafik antara nilai % CBR kumulatif dengan nilai CBR yang sudah diurutkan  dan dicari nilai CBR kumulatif 90%-nya
Tabel 3.  Data lalulintas Km.35 – Pulang Pisau tahun 2007.
Tabel 6.  Hasil perhitungan angka ekivalen (E) berdasarkan jenis kendaraan  Jenis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepala program studi memiliki tampilan seperti Gambar 5.2 dengan menu Beranda, Proposal (Pengajuan Judul, Pend. Sidang Proposal, Sidang Proposal, Revisi Proposal),

Penilaian disfungsi/gagal organ pada anak menggunakan beberapa sistem penilaian, antara lain, Pediatric Multiple Organ Dysfunction Score (P-MODS), Pediatric Logistic Organ

Pada siklus I siswa belum mengaitkan materi dengan pengalaman nyata sehari-hari, siswa masih malu untuk bertanya dan menjawab pertanyaan guru, siswa belum

Merujuk pada kerangka berfikir, maka hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Kuat lemahnya budaya organisasi berpengaruh positif terhadap tingkat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan audit terkait audit delay pada perusahaan dimana bukti empiris tersebut dapat

[r]

Dari penegasan istilah tersebut, maka konsep puasa dalam agama Islam dan Protestan dapat diartikan sebagai: suatu rancangan atau pengertian dalam ranah konseptual (pengertian

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai probabilitas atau signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000, maka H 0 ditolak dan H a diterima hal ini menunjukkan bahwa model