• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA SEEKOR SINGA AFRIKA (Panthera leo) YANG MENDERITA PYOMETRA AULIYA INDIARTI ZEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA SEEKOR SINGA AFRIKA (Panthera leo) YANG MENDERITA PYOMETRA AULIYA INDIARTI ZEN"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PYOMETRA

AULIYA INDIARTI ZEN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Studi Kasus: Kajian Histopatologi pada Seekor Singa Afrika (Panthera leo) yang Menderita Pyometra” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

Auliya Indiarti Zen NIM B04070055

(3)

Lioness that Suffered with Pyometra. Under guidance of EVA HARLINA and WIWIN WINARSIH.

An African lioness (Panthera leo) was diagnosed with pyometra after it was found dead with purulent discharge from the vulva. The purpose of this study is to examine gross and histopathological changes of various organs of the lion to know the causes of the death. The organ sample of heart, lungs, liver, intestine, kidney, and uterus were made into histopathology slide with Haematoxilin-Eosin staining. Histopathological examination showed cardiomyopathy, emphysema and edema pulmonum, purulent enteritis, hepatopathy and passive liver congestion, and also chronic active nephritis. Uterus inflammation with purulent exudation indicated pyometra with cystic endometrial hyperplasia. Pyometra in the lion leads to sepsis that is characterized by hemorrhage and degeneration of parenchymal organs. Cardiomyopathy causes heart failure which leads to congestion of the entire organ. Lion’s death was caused by sepsis and heart failure.

(4)

Singa Afrika (Panthera leo) yang Menderita Pyometra. Dibimbing oleh EVA HARLINA dan WIWIN WINARSIH.

Seekor singa Afrika (Panthera leo) betina didiagnosa menderita pyometra setelah ditemukan mati dengan keluarnya eksudat purulen dari vulva. Studi kasus ini bertujuan untuk mengkaji perubahan patologi anatomi dan histopatologi dari berbagai organ singa sehingga diketahui kronologis penyakit yang menyebabkan kematiannya. Sampel organ singa meliputi jantung, paru-paru, hati, usus, ginjal, dan uterus dibuat preparat histopatologi dengan pewarnaan Haematoksilin-Eosin. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan singa mengalami kardiomiopati, emfisema dan edema pulmonum, enteritis purulenta, hepatopati dan kongesti pasif hati, serta nefritis kronik aktif. Uterus singa tampak membesar dan menebal dengan peradangan pada mukosa disertai eksudat purulen pada lumen uterus yang mengindikasikan adanya pyometra dengan hiperplasia sistik endometrial. Pyometra pada singa mengakibatkan sepsis yang dicirikan dengan hemoragi dan degenerasi organ-organ parenkim. Kardiomiopati menyebabkan kegagalan jantung yang kemudian mengakibatkan kongesti pada seluruh organ. Kematian pada singa ini disebabkan oleh sepsis dan gagal jantung.

(5)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(6)

PYOMETRA

AULIYA INDIARTI ZEN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(7)

NIM : B04070055

Program Studi : Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Disetujui:

Dr. drh. Eva Harlina, MSi., APVet. Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi., APVet. Pembimbing Skripsi I Pembimbing Skripsi II

Diketahui:

Drh. Agus Setiyono, MS, PhD., APVet. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

(8)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Studi Kasus: Kajian Histopatologi pada Seekor Singa Afrika (Panthera leo) yang Menderita Pyometra; merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Mama dan Papa tercinta atas kasih sayang, doa, nasihat, motivasi, dan tenaga yang tak ada habisnya diberikan kepada penulis.

2. Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet. dan Dr. drh. Wiwin Winarsih, M.Si, APVet. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala ilmu, bimbingan, saran, motivasi, waktu, dan tenaga yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas segala nasihat dan bimbingan dan sebagai orangtua kedua penulis selama menempuh perkuliahan.

4. Drh. Isdoni M.Biomed dan Drh. Rachmat Hidayat, M.Si selaku dosen penguji luar saat UASKH, serta Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD., APVet. selaku dosen penilai dan Ibu Rini Madyastuti Purwono, S.Si, M.Si, Apt. selaku dosen moderator saat seminar atas ilmu, masukan, dan saran untuk skripsi ini.

5. Seluruh tenaga kependidikan Bagian Patologi FKH IPB (Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang, dan Mbak Kiki) atas segala bantuannya.

6. Aidell Fitri Rachmawati, Risma Adelia, Cut Dara Permata Sari, dan Bagus Setiawan atas bantuan, dukungan, pertemanan, dan kebersamaan yang telah dan akan kita lalui.

7. Teman-teman satu laboratorium Astri, Tiwi, Gita, Endah, Kenyo, dan tim Habbatussauda atas segala bantuannya.

(9)

9. Keluarga Besar Uni Konservasi Fauna (UKF) terutama UKF angkatan 5 atas ilmu, dukungan, pengalaman, dan kebersamaan yang sangat berharga. 10. Teman-teman Pondok Purti Kenanga (Dilla, Kiki, Febi, Firda, Lila, Riska)

atas segala bantuan dan pertemanannya.

11. Saudara tercinta Arief dan Mirza serta Keluarga Besar Choesin dan Zen atas dukungan, semangat, tawa canda, serta kebersamaannya.

12. Seluruh civitas akademik Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

13. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa segala sesuatunya tidak ada yang sempurna. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Terima kasih.

Bogor, April 2012

(10)

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1989 di Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Erdius Zen dan Ibu Linda Damayanti Choesin.

Penulis memulai pendidikan dasar di SD Triguna Jakarta tahun 1995 hingga 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Labschool Kebayoran hingga tahun 2004. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat atas di SMA Labschool Kebayoran pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan. Penulis aktif dalam organisasi HIMPRO Satwaliar, sebagai anggota Divisi Eksternal (2008-2009), dan sebagai Ketua Cluster Herpetofauna (2009-2010). Penulis juga aktif sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna IPB (UKM UKF IPB) serta menjadi Sekretaris Bidang Keilmuan UKM UKF IPB (2009-2010). Selain itu, penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Patologi Sistemik II (2011).

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... ii

DAFTAR GAMBAR... iii

PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Singa Afrika... Perilaku dan Reproduksi... Habitat dan Distribusi... 3 4 5 Pyometra... Patogenesis... Gejala Klinis... Diagnosa... Penanganan... 6 7 10 11 11 BAHAN DAN METODE... 13

Waktu dan Tempat Penelitian... 13

Alat dan Bahan Penelitian... 13

Sampel Organ... 13

Pembuatan Preparat Histopatologi... 13

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin... 14

Pengamatan Histopatologi... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN... 15

SIMPULAN DAN SARAN... Simpulan... Saran... 34 34 34 DAFTAR PUSTAKA... 35

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Singa... 15 2 Perubahan Histopatologi Organ Singa... 28

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Morfologi singa jantan dan betina... 4 2 Skematis uterus yang normal dan uterus yang mengalami pyometra.... 6 3 Skema terjadinya kebuntingan dan patogenesis pyometra... 9 4 Emfisema alveolar yang dicirikan oleh robek dan menyatunya

dinding alveolar... 17 5 Alveol paru-paru singa yang mengalami edema, anthracosis di

interstitium dan fibrosis ringan... 17 6 Atrofi miokard dicirikan oleh serabut otot yang mengecil dan

merenggang... 19 7 Kardiomiopati yang ditandai dengan degenerasi hingga nekrosis

miokard dan fibrosis... 19 8 Enteritis mukopurulenta pada usus singa yang didominasi desquamasi

sel epitel penutup dan ditemukan potongan badan cacing pada

mukosa usus... 22 9 Enteritis mukopurulenta pada usus singa dengan sel radang eosinofil,

neutrofil, limfosit, makrofag, dan sel plasma... 22 10 Jaringan hati singa yang mengalami kongesti pasif menyebabkan

hepatosit atrofi dengan pola sentrolobular serta adanya endapan

protein di sinusoid... 24 11 Kongesti pasif pada jaringan hati singa menyebabkan hepatosit

mengalami degenerasi hidropis, nekrosis bahkan lisis. Tampak

sinusoid melebar penuh dengan eritrosit... 24 12 Ginjal singa mengalami nefritis tubulointerstitialis, yang dicirikan

oleh edema glomerulus, serta degenerasi, nekrosis dan adanya

endapan protein di lumen tubulus... 27 13 Nefritis tubulointerstitialis kronis yang dicirikan dengan adanya

fibrosis, pendarahan dan edema, serta tubulus distalis nekrosis yang dicirikan oleh inti piknotis serta epitel yang terlepas dari membran

basal... 27 14 Pyometra pada singa dicirikan oleh akumulasi eksudat pada

hiperplasia sistik endometrial... 29 15 Pyometra pada singa dicirikan oleh nekrosa miometrium dengan

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Singa merupakan satwa pemangsa yang termasuk dalam keluarga Felidae. Singa merupakan salah satu kucing besar selain harimau dan bahkan pemangsa terbesar di daratan benua Afrika. Selama dua dekade terakhir, singa di alam mengalami penurunan populasi sekitar 30%. Penyebab utama penurunan populasi singa antara lain disebabkan banyak manusia yang membunuh satwa ini sebagai usaha mempertahankan diri dan ternaknya, disertai dengan menurunnya jumlah mangsa. Pada tahun 2008, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) menggolongkan satwa ini ke dalam daftar satwa yang rentan terhadap kepunahan atau vulnerable (IUCN 2011).

Hampir semua mamalia betina termasuk singa, membatasi kopulasi pada periode waktu tertentu yaitu pada masa estrus dalam siklus seksualnya. Pada mamalia non-primata, estrus pada hewan betina adalah periode penerimaan untuk kopulasi yang terjadi sesaat sebelum dan setelah ovulasi. Selama masa perkembang-biakan, rentang waktu antara satu periode estrus ke periode berikutnya disebut dengan siklus estrus. Siklus estrus ini sangat dipengaruhi oleh berbagai hormon (Feldhamer et al. 1999).

Salah satu gangguan pada saat siklus estrus yang sering didiagnosa pada anjing dan kucing adalah pyometra. Pyometra, secara harfiah merupakan akumulasi nanah dalam lumen uterus. Secara umum, patogenesis pyometra berkaitan erat dengan aktivitas hormon progesteron. Namun, penyakit ini juga disebabkan oleh infeksi bakteri pada uterus yang dapat berakibat timbulnya bakterimia dan toksemia ringan sampai parah, dan dapat bersifat fatal (Feldman dan Nelson 2004). Lesio yang dihasilkan dari pyometra adalah hasil interaksi antara bakteri dengan hormon (Bigliardi 2004).

Berbagai informasi mengenai kasus pyometra pada anjing dan kucing telah banyak dilaporkan, namun belum banyak yang melaporkan kasus pyometra pada satwa liar. McCain et al. (2009) melaporkan sebelas kasus pyometra pada kucing besar di penangkaran antara lain pada singa Afrika, harimau, macan, dan

(15)

resiko terjadinya pyometra lebih tinggi pada spesies singa dibandingkan pada spesies lain.

Seekor singa Afrika mati yang berasal dari suatu penangkaran satwa liar telah dikirim ke Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi Patologi, FKH IPB. Anamnesa yang dilaporkan adalah dua hari sebelum kematian terlihat bahwa singa mengalami keputihan yang berulang dan kemudian ditemukan mati pada malam hari dengan keluarnya eksudat purulen dari vulva. Dari anamnesa yang dilaporkan, timbul dugaan diagnosa bahwa singa Afrika tersebut mengalami pyometra. Hal inilah yang mendasari dilakukannya studi kasus kejadian pyometra pada seekor singa Afrika. Studi kasus ini dilakukan dengan mengkaji perubahan patologi anatomi dan histopatologi pada berbagai organ dari singa yang didiagnosa menderita pyometra.

1.2 Tujuan Peneletian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan jaringan secara histopatologi dari seekor singa Afrika yang didiagnosa mengalami pyometra sehingga dapat diketahui kronologis kejadian penyakit yang menyebabkan kematian pada hewan tersebut.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran perjalanan kasus pyometra pada singa Afrika melalui lesio perubahan histopatologi pada berbagai organ serta upaya pencegahan terhadap penyakit tersebut sehingga usaha pelestarian satwa liar dapat direalisasikan secara optimal.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Singa Afrika

Singa (Panthera leo) termasuk dalam keluarga Felidae yaitu keluarga kucing-kucingan. Keluarga ini dapat dibedakan dari keluarga Canidae dengan karakteristik berupa moncong yang lebih pendek, gigi premolar atas terakhir

(carnassials) yang berkembang baik, serta gigi taring yang besar. Singa

merupakan anggota genus Panthera yang berarti kucing yang mengaum (Feldhamer et al. 1999).

Subspesies dari singa banyak diklasifikasikan berdasarkan distribusinya. Namun, berdasarkan analisis genetik oleh O’Brien et al. (1987) dan Dubach et al. (2005) dalam IUCN (2011) dinyatakan terdapat dua subspesies singa yaitu singa Afrika (Panthera leo leo) dan singa Asia (Panthera leo persica). Secara lengkap, klasifikasi dari singa Afrika adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Karnivora Famili : Felidae Genus : Panthera Spesies : Panthera leo

Subspesies : Panthera leo leo Linnaeus, 1758

Singa memiliki morfologi yang dapat dengan mudah dibedakan dari kucing besar lainnya seperti harimau, macan, dan jaguar yaitu dengan adanya surai pada leher individu jantan (Gambar 1). Surai ini berfungsi untuk melindungi daerah leher ketika mereka berkelahi, sedangkan individu betina tidak memiliki surai. Selain itu, kuncung yang berwarna hitam pada ujung ekor singa juga menjadi ciri khasnya (Grzimek 1970).

Warna rambut pada singa bervariasi mulai dari kuning terang hingga kuning kemerahan tanpa ada pola tertentu. Bagian perut dan bagian sebelah dalam dari ekstremitas memiliki warna yang lebih pucat. Surai pada individu jantan biasanya berwarna kuning, coklat, atau coklat kemerahan pada singa muda namun

(17)

cenderung menjadi lebih gelap mengikuti umur dan bahkan dapat berwarna hitam (Nowak 2005).

Tubuh singa jantan berukuran lebih besar dari singa betina dengan berat badan singa jantan berkisar antara 150-250 kg dan singa betina berkisar antara 120-180 kg. Panjang tubuh singa jantan adalah 170-190 cm dengan panjang ekor 90-105 cm, sedangkan untuk singa betina panjang tubuh berkisar 140-175 cm dengan panjang ekor 70-100 cm (Grzimek 1970).

Gambar 1 Morfologi singa jantan (kiri) dan betina (kanan) (Mazur 2008).

Perilaku dan Reproduksi

Singa termasuk ke dalam satwa karnivora yang berarti satwa pemakan daging dan sebagian besar dari ordo ini merupakan satwa pemangsa. Hewan yang biasa dijadikan mangsa oleh singa adalah hewan ungulata berukuran kecil sampai medium. Hayward dan Kerley (2005) meneliti lebih spesifik mengenai pemilihan hewan mangsa ini dan menyimpulkan bahwa singa biasanya memilih mangsa dengan kisaran bobot badan antara 190-550 kg dan bobot badan mangsa yang paling disukai adalah 350 kg. Hewan-hewan yang termasuk dalam kisaran bobot badan ini antara lain jerapah, zebra, banteng, bison, dan gemsbok.

Sebagian besar kucing hidup secara soliter, terkecuali pada saat berkembang biak dan membesarkan anak. Hanya singa yang hidup dengan membentuk kelompok sosial tertentu. Singa biasanya menetap pada satu kawasan yang disebut pride dan hidup secara berkelompok yang terdiri dari beberapa singa

(18)

jantan dewasa, singa betina dewasa, dan anakan singa. Besaran kelompok dapat bervariasi dari hanya beberapa ekor hingga mencapai 30 ekor, serta tidak terbatas pada satu keluarga saja. Menjelang dewasa, anak singa betina akan bergabung langsung dengan kelompoknya namun singa jantan akan meninggalkan pride. Beberapa singa jantan yang memiliki hubungan akan membentuk koalisi nomaden hingga dewasa. Koalisi ini akan membentuk kelompok baru atau merebut pride singa lain. Pada akhirnya, biasanya dalam waktu kurun tiga tahun, kekuasaan

pride akan tergantikan oleh singa jantan lainnya (Nowak 2005).

Perkawinan antar singa tidak mengikuti periode musim kawin tertentu. Namun, di Serengeti dan Taman Nasional Kruger dilaporkan bahwa perkawinan antar singa paling banyak terjadi antara bulan Maret hingga Juni. Singa di Afrika Barat paling banyak melakukan aktivitas kawin pada bulan November dan Desember. Singa betina termasuk hewan poliestrus yang berarti siklus estrus terjadi beberapa kali dalam satu tahun. Estrus pada singa berlangsung selama 4-8 hari (Grzimek 1970). Masa kehamilan singa selama 100-119 hari dan dapat melahirkan 1-6 anak dengan rata-rata 3-4 anak. Singa mencapai umur dewasa pada umur 3-4 tahun, namun pertumbuhan tetap berlangsung hingga usia 6 tahun (Nowak 2005).

Habitat dan Distribusi

Berbeda dengan harimau yang memiliki habitat dengan vegetasi yang padat, singa biasanya memilih wilayah berupa padang terbuka sebagai habitatnya. Habitat singa umumnya adalah savana, dataran berumput, hutan terbuka, dan semak belukar. Singa juga dapat memasuki kawasan semi-gurun dan bahkan pernah ditemukan di daerah pegunungan dengan ketinggian 5.000 meter. Kelompok singa yang menempati pride tertentu memiliki wilayah jelajah seluas 20-400 km2. Singa yang nomaden dapat memiliki luas jajahan mencapai 4.000 km2 dengan sebagian area tumpang tindih dengan wilayah jelajah singa lain (Nowak 2005).

Singa Afrika tersebar di wilayah sub-sahara Afrika dengan sebagian besar populasi tersebar di wilayah Afrika Timur dan Afrika Selatan. Negara-negara yang termasuk wilayah ini antara lain Angola, Botswana, Kamerun, Kongo,

(19)

Etiopia, Uganda, dan Somalia. Populasi singa Asia terisolasi hanya pada Taman Nasional Hutan Gir India dan penangkaran satwa liar. Populasi singa Afrika belum dapat dipastikan karena wilayah penyebarannya yang sangat luas. The

African Lion Working Group (ALWG) menduga populasi singa Afrika saat ini

adalah sebanyak 23.000 ekor dengan kisaran 16.500-30.000 ekor (IUCN 2011).

Pyometra

Pyometra merupakan infeksi pada uterus yang dapat bersifat akut maupun kronis dengan adanya akumulasi pus (nanah) pada lumen uterus (Gambar 2). Terjadinya pyometra berawal dari adanya gangguan pada masa diestrus yang dipengaruhi oleh aktivitas hormon progesteron yang tinggi. Progesteron mengakibatkan perubahan patologis pada uterus sehingga tercipta lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri sebagai infeksi sekunder.

Gambar 2 Skematis uterus yang normal (kiri) dan uterus yang mengalami pyometra (kanan) (Gilshenan 2003)

Umumnya bakteri yang teridentifikasi dari hasil ulasan uterus anjing yang mengalami pyometra adalah bakteri yang normal ditemukan pada uterus anjing sehat. Pada pyometra, bakteri tersebut menjadi patogen dan menginfeksi uterus

(20)

akibat faktor hormonal yang menyebabkan perubahan struktur pada uterus. Bakteri yang biasanya terkait dengan pyometra adalah Eschericia coli, namun bakteri lain seperti Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas,

Proteus, Haemophilus, Pasteurella, dan Serratia juga pernah diisolasi dari uterus

anjing yang mengalami pyometra (Feldman dan Nelson 2004).

Pyometra pada anjing paling sering didiagnosa 4 hingga 8 minggu setelah estrus sedangkan pada kucing umumnya pyometra berkembang 1 hingga 4 minggu setelah estrus, walaupun kejadian pyometra pada kucing lebih sedikit ditemukan (Kennedy 2008). Menurut Agudelo (2005), umur rata-rata kucing yang mengalami pyometra adalah 7 tahun. Terjadinya pyometra tidak memiliki korelasi dengan umur kebuntingan pertama kucing tersebut ataupun jumlah anak yang dilahirkan. Namun, telah diamati adanya korelasi antara pyometra dengan adanya corpus luteum pada ovarium dimana corpus luteum ditemukan pada 40-70% dari kasus pyometra yang dilaporkan.

Patogenesis

Siklus estrus pada mamalia dipengaruhi oleh berbagai hormon. Pada awal siklus estrus, follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) akan menstimulasi perkembangan folikel ovarium. Setiap folikel membungkus satu sel telur. Sel-sel folikular yang mengelilingi telur kemudian mensekresikan hormon estrogen yang menyebabkan penebalan endometrium, mempengaruhi kelanjutan perkembangan folikel, dan menghambat produksi FSH. Ketika sel telur telah matang, akan terjadi ovulasi yang diinduksi oleh kadar LH yang tinggi.

Saat ovulasi, folikel akan meletus dan melepaskan sel telur. Sel telur kemudian akan melalui oviduk yaitu tempat terjadinya fertilisasi apabila bertemu dengan sperma. Apabila tidak terjadi fertilisasi, maka sel telur akan masuk ke uterus dan berdegenerasi. Bagian dari folikel yang robek saat ovulasi akan diisi oleh sel folikular berwarna kuning yang disebut corpus luteum. Corpus luteum ini akan menghasilkan progesteron, yaitu hormon yang akan meningkatkan proliferasi endometrium (Feldhamer et al. 1999).

Corpus luteum akan mengalami regresi apabila tidak terjadi fertilisasi sehingga sintesis dan pelepasan progesteron berhenti secara mendadak. Regresi

(21)

corpus luteum pada akhir fase luteal disebabkan oleh substansi luteolitik yang disekresikan oleh uterus, yaitu prostaglandin (Nalbandof 1990). Apabila terjadi fertilisasi, maka corpus luteum akan persisten pada awal masa kebuntingan. Hal ini dikarenakan progesteron dibutuhkan dalam mempersiapkan uterus untuk implantasi embrio. Corpus luteum akan beregresi setelah fungsi produksi progesteron digantikan oleh plasenta.

Pada kasus pyometra, corpus luteum tetap persisten dalam waktu yang lama walaupun tidak terjadi kebuntingan. Hal ini dikarenakan adanya infeksi uterus yang mengganggu mekanisme luteolisis sehingga corpus luteum tidak beregresi. Corpus luteum persisten juga sering dihubungkan dengan infeksi uterus yang timbul karena retensi sisa-sisa plasenta akibat kebuntingan (Hunter 1995). Dalam laporan McCain et al. (2009), pemeriksaan histopatologi yang ditemukan pada singa, harimau, dan macan yang menderita pyometra menunjukkan adanya satu ataupun beberapa corpus luteum pada ovarium.

Corpus luteum yang persisten menyebabkan hormon estrogen dan progesteron terus diproduksi (Gambar 3). Progesteron mengakibatkan perubahan patologis pada uterus sehingga tercipta lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Perubahan patologis yang dialami uterus adalah penebalan endometrium secara terus-menerus, peningkatan sekresi kelenjar uterus, dan penurunan kontraksi miometrium (Smith 2006).

Progesteron mengakibatkan penebalan dinding endometrium dengan meningkatkan ukuran dan jumlah kelenjarnya sehingga mengakibatkan peningkatan sekresi kelenjar. Hiperplasia endometrium yang progresif dapat menjadi sistik dan menghasilkan hiperplasia sistik endometrial (Feldman dan Nelson 2004). Penurunan kontraksi miometrium didasari oleh perubahan permeabilitas ion dari sel miometrium yang disebabkan oleh progesteron dan perubahan ketersediaan kalsium interseluler (Austin dan Short 1984).

Kontaminasi bakteri pada uterus adalah hal yang normal terjadi pada masa proestrus atau estrus. Pada kedua fase dalam siklus estrus ini, serviks berdilatasi dan terbuka sehingga kemungkinan besar kontaminasi bakteri pada uterus terjadi saat fase ini berlangsung. Bakteri yang paling mungkin menginfeksi uterus merupakan flora normal pada vagina. Bakteri ini memiliki kemampuan

(22)

melakukan perpindahan secara ascenden ke dalam uterus melalui serviks yang terbuka selama masa proestrus dan estrus. Namun infeksi uterus oleh bakteri jarang terjadi karena kontaminasi bakteri selama siklus estrus dapat dikontrol dan secara cepat dibersihkan. Oleh karena itu patogenesis dari pyometra tidak dapat dijelaskan hanya dari bakteri pada uterus (Feldman dan Nelson 2004).

Selama masa kehamilan, progesteron berfungsi untuk melindungi fetus dari kekebalan tubuh induk. Progesteron menghambat sel T-mediated sehingga tidak terjadi penolakan terhadap fetus di dalam uterus (Hansen 1998). Pada penelitian lain dilaporkan bahwa progesteron yang dihasilkan oleh plasenta induk memiliki sifat imunosupresif yang dibuktikan dengan efek anti-inflamasi secara lokal serta penghambatan aktivasi dan proliferasi limfosit dan sel T-killer (Siiteri dan Stites 1982). Pada kasus pyometra, terhambatnya aktivasi leukosit sebagai respon sistem imun di uterus oleh progesteron akan semakin mendukung pertumbuhan bakteri.

Gambar 3 Skema terjadinya kebuntingan (kiri) dan patogenesis pyometra (kanan).

(23)

Pyometra juga dapat terjadi akibat rangsangan dari luar tubuh. Pemakaian estrogen dari luar sebagai terapi untuk mencegah kebuntingan serta terapi progesteron untuk mengurangi estrus pada hewan dapat meningkatkan resiko terjadinya pyometra (Smith 2006). Oleh sebab itu, berbagai faktor yang berkontribusi dalam perkembangan pyometra antara lain keberadaan bakteri, konsentrasi progesteron yang tinggi pada saat diestrus, dan pemakaian progesteron dan estrogen dari luar (Feldman dan Nelson 2004).

Gejala Klinis

Gejala klinis yang umum terlihat pada anjing yang mengalami pyometra antara lain berkurangnya nafsu makan, depresi, polidipsia, lethargi, dan pembesaran pada abdominal. Pyometra dapat disertai dengan keluarnya nanah dari vagina (pyometra terbuka) ataupun tanpa keluarnya nanah (pyometra tertutup). Nanah yang keluar dari vagina dapat bersifat purulen, sanguinopurulen, mucoid, atau dapat juga bercampur dengan darah ketika sudah parah (Smith 2006). Menurut Kenney et al. (1987), dari 183 kucing yang didiagnosa mengalami pyometra, gejala klinis yang umum terdeteksi adalah adanya nanah yang keluar dari vagina, anorexia, dan lethargi. Sebagian besar kucing menunjukkan adanya leukositosis dengan ciri left shift yaitu banyak ditemukan leukosit yang belum matang dalam darah sebagai kompensasi kebutuhan leukosit dalam jumlah banyak.

Hasil pemeriksaan total sel darah putih pada anjing dengan pyometra dapat bervariasi, namun peningkatan total sel darah putih (leukositosis) umumnya ditemukan pada kasus pyometra terbuka. Temuan pemeriksaan darah berupa anemia juga sering terlihat sebagai akibat dari septisemia dan toksemia yang terkait dengan pyometra. Pyometra dapat menekan kerja sumsum tulang sehingga terjadi anemia non-regeneratif. Hiperproteinemia dan hiperglobulinemia umumnya terjadi akibat proses dehidrasi dan stimulasi antigen yang berlangsung lama (Feldman dan Nelson 2004).

(24)

Diagnosa

Pyometra merupakan salah satu diagnosa pembanding apabila ada anjing atau kucing dalam masa diestrus terlihat sakit, terutama jika disertai gejala polidipsia, poliuria, atau muntah. Menurut Agudelo (2005), diagnosa pyometra dapat ditegakkan melalui anamnesa pemilik, status siklus estrus, dan gejala klinis. Selain itu pemeriksaan vaginoscopy, sitologi vagina, profil biokimia dan urinalisis dapat dilakukan untuk mendukung diagnosa.

Menurut Bigliardi (2004), diagnosa untuk kasus pyometra paling baik dilakukan melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan radiografi. Pemeriksaan USG dapat mengungkapkan adanya eksudat dalam uterus dan hiperplasia sistik endometrial. Selain itu, melalui pemeriksaan USG dapat dengan jelas mengevaluasi integritas endometrium, variasi ketebalan dinding rahim, dan distensi uterus.

Secara normal, uterus hanya dapat teridentifikasi melalui radiografi saat ukurannya membesar akibat kebuntingan. Apabila uterus dapat teridentifikasi pada saat tidak terjadi kebuntingan, maka dapat dicurigai terjadi sesuatu yang abnormal. Hasil radiografi uterus dengan pyometra terlihat sebagai struktur tabung atau pipa berisi cairan dengan diameter yang lebih besar dari usus halus dan terletak di ventrocaudal abdomen (Feldman dan Nelson 2004).

Penanganan

Feldman dan Nelson (2004) membagi penanganan pyometra menjadi dua yaitu melalui bedah dan perawatan medis. Perawatan medis dilakukan pada anjing atau kucing yang masih ingin dikembangbiakkan yaitu dengan pemberian prostaglandin. Prostaglandin memberikan efek kontraksi miometrium sehingga dapat mengeluarkan eksudat dalam lumen secara paksa. Selain itu, pemberian prostaglandin menghambat sirkulasi progesteron dengan cara melisiskan corpus luteum sehingga mengurangi stimulus proliferasi endometrium dan sekresi kelenjar uterus. Penanganan dengan prosedur bedah yang biasa dilakukan adalah ovariohisterektomi dan drainase uterus. Drainase uterus dilakukan melalui kateter yang dimasukkan ke dalam uterus melalui vagina dan serviks untuk mengaspirasi

(25)

eksudat purulen dan membasuh uterus dengan cairan antiseptik selama beberapa hari.

Ovariohisterektomi (OH) merupakan penanganan yang paling dipilih pada kasus pyometra. Sebelum melakukan OH, kondisi cairan tubuh, elektrolit, dan keseimbangan asam basa harus dikembalikan normal. Infus cairan dan antibiotik berspektrum luas harus diberikan, serta eksudat uterus harus dikeluarkan untuk menghilangkan infeksi bakteri (Agudelo 2005, Feldman dan Nelson 2004). OH pada kasus pyometra umumnya berhasil dengan kesembuhan yang cepat dan dapat meminimalkan resiko pengulangan pyometra. Resiko neoplasia pada ovarium atau uterus juga dapat terhindarkan. Mortalitas post-operasi OH pada anjing yang mengalami pyometra diperkirakan sekitar 5% (Wheaton et al. 1989).

(26)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Oktober 2011 di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi antara lain gelas objek, gelas penutup, tissue cassette, cetakan blok parafin, Sakura

Automatic Tissue Processor, Sakura Tissue Embedding Console, inkubator,

mikrotom, mikroskop cahaya Olympus BHI, dan Digital Eye Piece Camera. Bahan-bahan yang digunakan adalah Buffered Neutral Formalin 10%, xylol, alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%), alkohol absolut, lithium karbonat, air hangat dan pewarna Mayer Haematoksilin-Eosin.

Sampel Organ

Sampel organ berasal dari seekor singa Afrika betina milik suatu lembaga konservasi satwa liar yang ditemukan mati dan dikirim ke Bagian Patologi FKH IPB dengan nomor kasus P/209/07 untuk dilakukan prosedur rutin nekropsi dan diagnosa histopatologi. Sampel organ terdiri dari jantung, trakea, paru-paru, hati, usus, limpa, ginjal dan uterus.

Pembuatan Preparat Histopatologi

Pembuatan preparat histopatologi diawali dengan fiksasi berbagai organ dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%. Kemudian jaringan melalui proses dehidrasi dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I dan II). Selanjutnya adalah proses clearing yaitu penjernihan jaringan dalam larutan xylol I dan II, masing-masing selama dua jam.

Proses selanjutnya adalah embedding yaitu penanaman jaringan ke dalam parafin cair. Jaringan yang berada di dalam blok parafin yang telah membeku kemudian dipotong dengan ketebalan 5-6 µm. Kemudian potongan jaringan yang

(27)

berbentuk pita diletakkan di atas air hangat, lalu diangkat dan diletakkan di atas gelas objek. Selanjutnya dikeringkan dalam inkubator bersuhu 60°C selam 24 jam. Sediaan yang telah melekat sempurna pada gelas obyek kemudian siap diwarnai dengan teknik pewarnaan Haematoksilin-Eosin (HE).

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin

Pewarnaan diawali dengan mencelupkan sediaan ke dalam larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 1 menit. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam alkohol dimulai dari konsentrasi tinggi ke rendah yaitu dari alkohol absolut, alkohol 96%, dan alkohol 70% masing-masing selama 1 menit. Setelah itu sediaan dicuci dengan air mengalir. Berikutnya, sediaan diwarnai dengan pewarna Mayer Haematoksilin selama 8 menit dan dibilas dengan air mengalir. Pada tahap selanjutnya, sediaan dicelupkan ke dalam lithium karbonat sebanyak 3 kali dan dibilas kembali dengan air mengalir. Lalu sediaan kembali diwarnai dengan pewarna Eosin selama 2-3 menit dan dibilas dengan air mengalir. Setiap pembilasan dengan air mengalir dilakukan selama 30 detik.

Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat dimulai dari 70%, 80%, dan 96% sebanyak 10 kali celupan serta alkohol absolut sebanyak 15 kali celupan. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam larutan xylol I, II, III, dan IV masing-masing selama 1 menit. Tahap terakhir adalah mengeringkan sediaan, meneteskan perekat, dan menutup sediaan dengan gelas penutup. Setelah tertutup rapat, preparat siap diamati di bawah mikroskop.

Pengamatan Histopatologi

Pengamatan preparat dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran obyektif 4x, 10x, dan 40x. Pengamatan dilakukan untuk mengidentifikasi lesio mikroskopik pada setiap organ sehingga dapat dideskripsikan secara jelas sebagai suatu kronologis kejadian penyakit. Pengambilan gambar pada jaringan yang mengalami perubahan histopatologi dilakukan dengan menggunakan Digital Eye Piece Camera.

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seekor singa Afrika betina milik suatu penangkaran satwa liar ditemukan mati dengan anamnesa adanya keputihan dari vulva dua hari sebelum kematiannya. Secara umum, kondisi gizi singa tersebut masih baik namun mukosa terlihat pucat. Pemeriksaan patologi anatomi (PA) dilakukan pada berbagai organ yaitu jantung, trakea, paru-paru, hati, usus, limpa, ginjal dan uterus. Eksudat purulen bercampur darah dengan volume  3L ditemukan pada lumen uterus. Pemeriksaan pada lambung dan usus memperlihatkan adanya infestasi cacing

Acantocephala sp. dalam jumlah banyak (Bagian Patologi KRP-FKH IPB 2007).

Hasil pemeriksaan PA pada berbagai organ disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Singa

Sistem Organ Organ Perubahan Respirasi Trakea Hiperemia.

Paru-paru Kongesti, emfisema, anthracosis.

Sirkulasi Jantung Hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan, serous atrofi lemak koroner disertai perdarahan, degenerasi miokard, endokarditis nodularis valvularis.

Limforetikuler Limpa Peradangan.

Digesti Usus Infestasi cacing Acantocephala sp. dalam jumlah banyak pada lambung dan usus, infestasi ringan cacing pita pada ileum, gastritis ulceratif hemoragika, enteritis mukopurulenta.

Hati Degenerasi, fibrosis multifokal, nekrosis dan perdarahan multifokal.

Reproduksi Uterus Membesar disertai penebalan, beberapa bagian menipis dan nekrosis, mukosa uterus mengalami peradangan purulen disertai perdarahan, pada lumen ditemukan eksudat purulen bercampur darah dengan volume  3L. Urinaria Ginjal Kongesti.

Sumber: Bagian Patologi KRP-FKH IPB 2007.

Hasil pemeriksaan histopatologi organ paru-paru menunjukkan emfisema pulmonum. Emfisema pada kasus ini terjadi karena rupturnya dinding alveol sehingga ruang alveolar saling bergabung dan membesar. Emfisema pulmonum pada hewan umumnya bersifat sekunder karena selalu terjadi setelah adanya gangguan aliran udara. Berdasarkan daerah paru-paru yang terpengaruh, emfisema diklasifikasikan menjadi emfisema alveolar dan emfisema interstitial. Emfisema

(29)

alveolar dikarakteristikkan dengan distensi dan rupturnya dinding alveolar, sehingga membentuk gelembung udara dengan berbagai ukuran di parenkim paru-paru. Emfisema interstitial terjadi saat akumulasi udara menembus dinding alveolar dan dinding bronkhioli kemudian masuk ke jaringan ikat interlobular, sehingga menyebabkan distensi dari septa interlobular (McGavin dan Zachary 2001). Ditemukannya dinding alveolar yang ruptur dan membesar pada jaringan paru-paru singa secara mikroskopik menunjukkan adanya emfisema alveolar (Gambar 4).

Pada hewan, emfisema umumnya terjadi sebagai lesio sekunder akibat terhambatnya aliran udara atau sebagai lesio pada saat hewan mati. Emfisema akibat kerusakan pulmonal umumnya terjadi pada hewan yang menderita bronkopneumonia. Adanya eksudat pada bronkopenumonia menyumbat bronkus dan bronkiolus sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara udara yang masuk dan keluar dari paru-paru (McGavin dan Zachary 2001). Pada pemeriksaan histopatologi paru-paru singa tidak ditemukan adanya eksudat maupun sel radang pada bronkiolus sehingga emfisema yang ditemukan pada kasus ini diduga merupakan lesio yang terjadi ketika hewan dalam keadaan moribun (sekarat).

Pada jaringan interstitium paru ditemukan pigmen karbon, yang menunjukkan singa menderita anthracosis (Gambar 5). Anthracosis merupakan akumulasi pigmen karbon yang masuk ke paru-paru melalui jalur inhalasi. Umumnya hewan yang menderita anthracosis hidup di lingkungan yang berpolusi. Secara mikroskopik, pigmen karbon terlihat sebagai bercak-bercak berwarna hitam yang ditemukan di dinding alveolar atau fokus hitam pada peribronkial (McGavin dan Zachary 2001).

Gangguan sirkulasi yang teramati pada jaringan paru-paru adalah kongesti, hiperemia dan edema. Kongesti dan hiperemia terlihat dengan berkumpulnya darah di kapiler-kapiler intersitium paru-paru. Kongesti paru seringkali disebabkan oleh kegagalan jantung, dan bila berjalan lama akan berlanjut menjadi edema pulmonum yang terlihat dengan adanya endapan protein dalam alveolar (Gambar 5). Menurut McGavin dan Zachary (2001), kongesti yang berjalan lama juga dapat menyebabkan penebalan jaringan interstitial sehingga menimbulkan fibrosis interstitial ringan.

(30)

a

b

c

Gambar 4 Emfisema alveolar (panah) yang dicirikan oleh robek dan menyatunya dinding alveolar. Pewarnaan HE, bar 200 µm.

Gambar 5 Alveol paru-paru singa yang mengalami edema (a), anthracosis di interstitium (b) dan fibrosis ringan (c). Pewarnaan HE, bar 100 µm.

(31)

Pada pemeriksaan PA epikard jantung ditemukan lemak jantung yang mencair atau disebut serous atrofi. Serous atrofi lemak terjadi pada hewan yang mengalami anoreksia atau kondisi kelaparan, sehingga depo lemak tubuh dimetabolisme untuk dijadikan sumber energi (McGavin dan Zachary 2001). Hasil pemeriksaan PA jantung singa didiagnosa mengalami hipertrofi ventrikel kiri dan dilatasi ventrikel kanan. Namun pada pemeriksaan histopatologi ditemukan filamen otot jantung yang mengecil dan merenggang, yang menandakan adanya atrofi miokard (Gambar 6). Pada bagian lain dari miokard terlihat adanya proliferasi jaringan ikat dan sebagian sel-sel otot jantung mengalami degenerasi hingga nekrosis (Gambar 7). Sitoplasma sel otot jantung yang mengalami degenerasi terlihat berwarna lebih pudar dengan inti sel yang masih baik. Nekrosis miokard ditandai oleh sel-sel otot yang berwarna lebih merah, filamen yang mengecil sehingga memberi jarak satu dengan yang lain disertai inti yang piknosis. Jaringan ikat atau jaringan parut terbentuk sebagai pengganti sel-sel otot yang nekrosis. Menurut McGavin dan Zachary (2001), ciri-ciri nekrosis miokard antara lain inti yang piknosis dan serabut otot yang berjarak. Jaringan ikat pada daerah nekrosis seringkali tampak membengkak dan berwarna hipereosinofilik. Atrofi dan nekrosis miokard dapat disebabkan oleh berbagai kausa diantaranya defisiensi nutrisi, bahan toksik kimia maupun tanaman, iskemia, gangguan metabolisme, dan trauma fisik (Ross et al. 2003).

Pemeriksaan PA katup jantung menunjukkan adanya penebalan katup disertai pembentukan nodul. Katup jantung secara histopatologi tampak menebal dan mengalami degenerasi yang terlihat dari pudarnya serabut katup dan inti sel piknosis. Beberapa lesio penyakit seperti kalsifikasi dan fibrosis dapat menyebabkan degenerasi katup sehingga menyebabkan gangguan fungsi jantung akibat insufiensi dan stenosis lubang katup (Ross et al. 2003).

Secara keseluruhan, perubahan-perubahan yang terjadi pada jantung singa didiagnosa sebagai kardiomiopati. Istilah kardiomiopati digunakan untuk berbagai kelainan pada miokard baik yang bersifat idiopatik maupun akibat kausa yang telah diketahui. Perubahan yang biasanya ditemukan pada kardiomiopati adalah kardiomegali yang disebabkan oleh dilatasi umum dan fibrosis (Jubb et al. 1992b).

(32)

a

b

Gambar 6 Atrofi miokard dicirikan oleh serabut otot yang mengecil dan merenggang. Pewarnaan HE, bar 50 µm.

Gambar 7 Kardiomiopati yang ditandai dengan degenerasi hingga nekrosis miokard (a) dan fibrosis (b). Pewarnaan HE, bar 100 µm.

(33)

Hasil pemeriksaan histopatologi organ limpa menunjukkan adanya deplesi pada folikel limfoid, yang terlihat dari renggangnya daerah pulpa putih sehingga terbentuk ruang-ruang kosong. Bagian pulpa merah terlihat mengalami kongesti yang ditandai dengan akumulasi eritrosit serta ditemukan infiltrasi sel radang limfosit, makrofag, dan neutrofil. Hal ini menandakan limpa mengalami peradangan atau splenitis. Akumulasi makrofag dan pigmen hemosiderin pada pulpa merah menunjukkan adanya kongesti kronis di limpa yang dapat terjadi akibat gangguan sirkulasi. Deplesi folikel limfoid pada limpa singa menunjukkan kondisi imunosupresi yaitu terjadinya pengurangan pembentukan sel-sel pertahanan (Jubb et al. 1992 a). Menurut McGavin dan Zachary (2001), peradangan pada limpa atau splenitis dapat terjadi akibat kondisi septisemia atau bakterimia dimana bakteri yang masuk ke pulpa merah limpa akan difagosit oleh makrofag. Splenitis terlihat dari membesarnya ukuran limpa atau splenomegali sebagai akibat dari kongesti akut limpa dan infiltrasi sel radang neutrofil.

Berdasarkan hasil pemeriksaan PA, pada usus dan lambung singa terjadi infestasi cacing Acantocephala sp. dalam jumlah banyak. Acantocephala sp. merupakan kelompok parasit obligat yang memanfaatkan arthropoda sebagai inang perantara dan vertebrata sebagai inang definitif. Cacing ini memiliki probosis yang bertanduk yang berfungsi untuk mengaitkan diri pada usus inang vertebrata. Morfologi cacing ini berbentuk silindris dan tidak bersegmen (Near 2002). Singleton et al. (1993) melaporkan kejadian infestasi berat cacing

Acantocephala sp. pada tupai. Hasil pemeriksaan mikroskopik saluran digesti

tupai menunjukkan enteritis yang dicirikan oleh infiltrasi limfosit, makrofag, sel plasma, dan eosinofil pada mukosa dan submukosa usus. Area perlekatan cacing tersebut pada dinding usus halus ditandai dengan atrofi sel epitel dan infiltrasi eosinofil, neutrofil, dan sel plasma.

Pemeriksaan histopatologi usus singa menunjukkan epitel penutup vili yang mengalami desquamasi dan vili-vili yang tampak memendek. Pada bagian mukosa usus ditemukan potongan badan cacing (Gambar 8). Keberadaan cacing

Acantocephala sp. pada usus singa selain mengakibatkan desquamasi epitel

penutup juga menyebabkan peradangan mukosa yang terlihat dari adanya infiltrasi sel radang. Sel-sel radang yang teridentifikasi pada mukosa usus adalah sel

(34)

plasma, makrofag, limfosit, neutrofil, dan eosinofil. Desquamasi epitel penutup dapat terjadi karena cacing Acantocephala sp berada pada lumen usus dan pada lapis inilah cacingmelekatkan probosis bertanduknya. Selain itu, kripta usus pada lapis mukosa terlihat mengalami nekrosis, dan sebagian sel goblet aktif menghasilkan mukus. Hasil pemeriksaan PA menunjukkan usus singa ini mengalami enteritis dengan tipe eksudat mukopurulen yang ditunjukkan dengan eksudat yang bersifat kental dan keruh dengan warna kekuningan. Menurut Cheville (2006), eksudat purulen umumnya bercampur dengan fibrin dan mukus. Secara mikroskopik, eksudat purulen akan penuh dengan sel radang neutrofil. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologi usus singa yang banyak mengandung sel radang neutrofil. Eksudat purulen yang bercampur dengan mukus pada usus singa diakibatkan oleh rangsangan cacing.

Pemeriksaan histopatologi jaringan hati singa menunjukkan hati mengalami hepatopati, yang ditunjukkan dengan hepatosit yang mengalami degenerasi lemak, degenerasi hidropis, dan ditemukan nekrosis multifokus dengan pola nekrosis sentrolobular (Gambar 10, 11). Sinusoid hati tampak meluas dan dipenuhi endapan protein yang berwarna merah dengan pewarnaan HE (Gambar 10). Selain itu ditemukan pula fokus-fokus nekrosis dengan hepatosit yang sudah lisis serta banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati mengalami kongesti pasif (Gambar 11). Kongesti pada sinusoid mengakibatkan sel hepatosit tergencet sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang tidak beraturan. Degenerasi hidropis pada hepatosit ditandai dengan adanya kekeruhan pada sitoplasma, sedangkan degenerasi lemak ditandai dengan adanya vakuola yang kecil dan jernih. Pada kedua jenis degenerasi tersebut inti masih terlihat baik. Degenerasi lemak hati terjadi akibat kondisi hipoksemia sehingga sel kekurangan oksigen. Proses degenerasi lemak terjadi akibat terhambatnya kerja enzim pada retikulum endoplasmik yang berfungsi sebagai katalisator oksidasi asam lemak sehingga mendukung sintesis dan akumulasi trigliserida. Pada hipoksemia hati, daerah yang lebih dulu terpengaruh dan mengalami degenerasi lemak adalah zona sentrolobular yaitu zona yang terdekat dengan vena sentralis (Cheville 2006). Degenerasi hidropis hepatosit dapat disebabkan oleh hipoksia, berbagai toksin, tumor, dan akumulasi pigmen empedu.

(35)

b

a

Gambar 8 Enteritis mukopurulenta pada usus singa yang didominasi desquamasi sel epitel penutup (a) dan ditemukan potongan badan cacing pada mukosa usus (b). Pewarnaan HE, bar 200 µm.

Gambar 9 Enteritis mukopurulenta pada usus singa dengan sel radang eosinofil (a), neutrofil (b), limfosit (c), makrofag (d), dan sel plasma (e). Pewarnaan HE, bar 10 µm.

a

b

e

d

(36)

Sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis tampak membesar dengan sitoplasma yang bervakuola dan inti sel yang terdorong ke tepi (Jubb et al. 1992 a). Mekanisme terjadinya degenerasi hidropis umumnya melibatkan kerusakan pada membran sel, kegagalan sel untuk menghasilkan energi, atau gangguan enzim yang mengatur pompa ion natrium-kalium pada membran sel. Hipoksia pada sel mengakibatkan berkurangnya produksi energi atau ATP sehingga homeostatis sel terganggu. Pada keadaan ini, natrium dan air masuk ke dalam sel akibat kerusakan pompa ion pada membran sel dan menyebabkan tekanan osmotik meningkat sehingga sel membesar. Cisternae dari retikulum endoplasmik menjadi membesar, ruptur, kemudian membentuk vakuola-vakuola yang akhirnya sel mengalami degenerasi hidropis (McGavin dan Zachary 2001).

Nekrosis hepatosit dicirikan oleh sitoplasma hepatosit yang berwarna lebih gelap dan inti sel yang piknosis hingga lisis. Menurut McGavin dan Zachary (2001), nekrosis hepatosit dikarakteristikkan dengan sitoplasma yang membesar, organel sel hancur dan robeknya membran plasma. Nekrosis pada sel hepatosit biasanya diikuti dengan reaksi fibrosis jika peradangan bersifat kronis. Respon hati lainnya terhadap peradangan adalah regenerasi dan hiperplasia buluh empedu.

Nekrosis hepatosit yang terjadi pada jaringan hati singa ini membentuk nekrosis pola sentrolobular. Menurut Jubb et al. (1992 a), degenerasi maupun nekrosa hati dapat membentuk pola nekrosis periasinar atau sentrolobular, midzonal, periportal, parasentral, maupun nekrosa yang difus. Pada pola nekrosis sentrolobular, sebagian besar nekrosis terjadi pada hepatosit yang berada di zona sentrolobular yaitu zona yang mengelilingi vena sentralis. Zona sentrolobular merupakan daerah yang terjauh dari arteri maupun vena portal, sehingga merupakan zona terakhir yang mendapatkan oksigen dan nutrisi sehingga hepatosit rentan terhadap hipoksia. Nekrosis sentrolobular umumnya disebabkan oleh gangguan jantung yang menyebabkan kongesti pasif. Kongesti terlihat dari adanya akumulasi eritrosit baik pada vena sentralis, venula maupun sinusoid. Kongesti pasif yang berlangsung lama menyebabkan hepatosit mengalami degenerasi lemak dan sinusoid meluas berisi eritrosit yang dikenal dengan hati biji pala (Carlton dan McGavin 1995).

(37)

a

b

c

Gambar 10 Jaringan hati singa yang mengalami kongesti pasif menyebabkan hepatosit atrofi dengan pola sentrolobular serta adanya endapan protein di sinusoid. Pewarnaan HE, bar 100 µm.

Gambar 11 Kongesti pasif pada jaringan hati singa menyebabkan hepatosit mengalami degenerasi hidropis (a), nekrosis (b) bahkan lisis (c). Tampak sinusoid melebar penuh dengan eritrosit. Pewarnaan HE, bar 50 µm.

(38)

Hasil pemeriksaan histopatologi ginjal singa menunjukkan adanya perubahan baik pada parenkim maupun interstitium. Glomerulus ditemukan mengalami edema yang ditandai oleh adanya endapan protein di glomerular tuft hingga ke ruang Bowman (Gambar 12). Selain itu ditemukan pula beberapa glomerulus yang mengalami nekrotik, yang terlihat dari inti kapiler yang piknotis. Di banyak lapang pandang ditemukan tubulus yang mengalami degenerasi hidropis dan nekrosis. Nekrosis tubulus ditunjukkan dengan epitel sitoplasma yang berwarna eosinofilik dan inti yang piknosis. Pada tubulus yang mengalami nekrosis, terlihat epitel tubulus terlepas dari membran basalnya (Gambar 13).

Degenerasi hidropis pada epitel tubulus ginjal merupakan bentuk lanjut dari pembengkakan sel secara akut akibat cairan yang masuk ke dalam sitoplasma (Cheville 2006). Perubahan lain pada tubulus singa adalah adanya endapan protein di lumennya, namun hanya ditemukan pada beberapa tubulus saja (Gambar 12). Endapan protein menunjukkan adanya gangguan reabsorpsi protein oleh tubulus. Kerusakan epitel tubulus dapat berasal dari infeksi yang terbawa sirkulasi darah, infeksi ascending, toksin, dan iskemia (McGavin dan Zachary 2001).

Perubahan pada intersitium ginjal berupa pendarahan, kongesti, edema dan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis yang ditemukan sepanjang korteks dan medulla (Gambar 13). Kongesti dan hemoragi ditemukan hampir di seluruh kapiler ginjal, sedangkan edema ditemukan di sekitar tubulus distalis yang nekrosis. Hemoragi merupakan lesio yang bersifat akut yang umum terjadi, selain edema dan peradangan. Selain itu ditemukan multifokus fibrosis di sekitar tubulus distalis (Gambar 13) serta di bagian medula ginjal. Hasil pemeriksaan ginjal juga memperlihatkan adanya infiltrasi sel radang antara lain limfosit, makrofag, dan sel plasma. Hal ini mengindikasikan ginjal singa mengalami peradangan kronis. Namun adanya pendarahan pada radang kronis ginjal menandakan telah terjadi peradangan akut pada ginjal tersebut. Dengan demikian ginjal singa didiagnosa mengalami nefritis interstitialis kronis aktif, karena selain ditemukan fibrosis ditemukan juga pendarahan di interstitiumnya.

Menurut McGavin dan Zachary (2001), nefritis interstitial kronis ditandai dengan meningkatnya jaringan ikat pada interstitium ginjal serta menghilangnya

(39)

tubulus ginjal akibat atrofi. Nefritis interstitial kronis sering dijumpai pada hewan domestik seperti anjing dan kucing sebagai proses penuaan. Saat nefritis interstitial kronis sudah berlangsung parah, lesio ini dapat dimanifestasikan secara klinis sebagai kegagalan ginjal kronis atau uremia. Adanya sindrom uremia pada singa diketahui dengan terbentuknya gastritis ulceratif et hemoragika pada lambung yang teramati pada pemeriksaan PA. Menurut Stone et al. (1988), pada pemeriksaan biopsi ginjal 27 ekor anjing yang menderita pyometra menunjukkan prevalensi tinggi terjadinya nefritis tubulointerstitialis dengan lesio pada glomerulus yang tidak spesifik. Hal ini menguatkan diagnosa nefritis tubulointerstitialis yang dialami singa ini dapat disebabkan oleh pyometra.

Hasil pemeriksaan histopatologi endometrium uterus singa menunjukkan kelenjar uterus yang berdilatasi dan sebagian kelenjar membentuk sistik yang berisi eksudat. Epitel kelenjar yang membentuk sistik mengalami hiperplasia sehingga terlihat sel epitel yang saling menumpuk (Gambar 14). Pada pemeriksaan PA ditemukan eksudat purulen di lumen uterus. Eksudat ini berasal dari sekresi kelenjar yang membentuk sistik, kemudian sistik tersebut pecah dan eksudatnya menggenangi lumen uterus. Hiperplasia sistik endometrial yang ditemukan pada uterus singa ini serupa dengan bentuk hiperplasia sistik yang pernah dilaporkan pada kasus pyometra, baik pada individu singa lain maupun pada spesies mamalia lain. Migliorisi et al. (2010) melaporkan kasus hiperplasia sistik endometrial pada seekor singa Afrika berusia 13 tahun. Sistik endometrial yang dilaporkan oleh Agnew et al. (2004) pada spesies gajah juga menunjukkan bentuk yang serupa yaitu kelenjar yang mengalami sistik dikelilingi epitel yang berlapis. Tipe epitel pada kelenjar adalah epitel kuboid sampai epitel silindris rendah. Perubahan patologi pada kasus pyometra dugong juga ditemukan pembesaran uterus dengan eksudat berwarna coklat kehijauan. Mukosa uterus menunjukkan bercak hemoragi dengan pus yang menutupi mukosa (Chansue et al. 2006).

(40)

a

c

b

d

Gambar 12 Ginjal singa mengalami nefritis tubulointerstitialis, yang dicirikan oleh edema glomerulus (a), serta degenerasi (b), nekrosis (c) dan adanya endapan protein di lumen tubulus (d). Pewarnaan HE, bar 50 µm.

Gambar 13 Nefritis tubulointerstitialis kronis yang dicirikan dengan adanya fibrosis, pendarahan dan edema (panah), serta tubulus distalis nekrosis yang dicirikan oleh inti piknotis serta epitel yang terlepas dari membran basal. Pewarnaan HE, bar 50 µm.

(41)

Lesio lain yang teramati pada endometrium uterus selain pendarahan adalah ditemukannya sel radang limfosit, makrofag, sel plasma, dan neutrofil. Sel radang ini juga ditemukan pada bagian perimetrium dan miometrium. Adanya infiltrasi sel radang dan pendarahan menunjukkan peradangan pada uterus yang bersifat kronik aktif. Keberadaan sel radang neutrofil menandakan adanya infeksi bakteri pada uterus. Beberapa bagian dari miometrium mengalami nekrosa dengan inti sel yang piknosis. Pada daerah yang nekrosa, telah terjadi proliferasi jaringan ikat yang mengisi di antara serabut otot miometrium (Gambar 15). Miometrium juga mengalami hemoragi dan kongesti. Adanya bagian miometrium yang mengalami nekrosis menyebabkan uterus mudah ruptur.

Hasil pemeriksaan histopatologi dinding uterus berupa penyimpangan struktur mukosa dengan adanya hiperplasia kelenjar dan proliferasi jaringan ikat. Makrofag, limfosit, dan sel plasma ditemukan di sekitar proliferasi jaringan ikat, sedangkan neutrofil ditemukan seiring dengan kongesti vena uterus. Adanya akumulasi eksudat bercampur darah pada lumen uterus dan terbentuknya hiperplasia sistik endometrial menandakan singa mengalami pyometra.

Hasil pemeriksaan histopatologi sampel organ singa secara keseluruhan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perubahan Histopatologi Organ Singa

Sistem Organ Organ Perubahan

Respirasi Paru-paru Emfisema pulmonum, edema pulmonum, anthracosis

Sirkulasi Jantung Kardiomiopati Limforetikuler Limpa Peradangan

Digesti Usus Enteritis mukopurulenta Hati Hepatopati, kongesti pasif Reproduksi Uterus Pyometra

(42)

a

b

Gambar 14 Pyometra pada singa dicirikan oleh akumulasi eksudat pada hiperplasia sistik endometrial. Pewarnaan HE, bar 200 µm. (Gambar inset: Hiperplasia epitel kelenjar uterus, bar 25 µm).

Gambar 15 Pyometra pada singa dicirikan oleh nekrosa miometrium (a) dengan proliferasi jaringan ikat dan infiltrasi sel-sel radang (b). Pewarnaan HE, bar 100 µm.

(43)

Ovulasi pada singa diinduksi oleh rangsangan kopulasi selama masa estrus, namun terkadang dapat terjadi secara spontan. Oleh karena itu, ovulasi pada singa bukanlah ovulasi spontan melainkan ovulasi refleks seperti halnya pada kucing domestik (Schramm et al. 1994). Pada hewan dengan tipe ovulasi yang diinduksi oleh kopulasi, kebuntingan palsu (pseudopregnancy) dapat terjadi saat sel telur tidak berhasil difertilisasi atau terjadi kopulasi steril. Saat kebuntingan palsu terjadi, corpus luteum berkembang dan persisten sehingga fase progestasional atau fase luteal dalam masa estrus berlanjut walaupun tidak terjadi fertilisasi (Paape et al. 1975). Selama fase ini, kadar progesteron yang diproduksi meningkat dan endometrium menunjukkan perubahan praimplantasi yang sama seperti saat terjadi kebuntingan yang sesungguhnnya (Verhage et al. 1976). Progesteron mempengaruhi endometrium dengan meningkatkan ukuran dan jumlah kelenjar endometrium serta meningkatan sekresinya. Akibatnya kelenjar endometrium berdilatasi dan mengalami hiperplasia epitel. Sekresi kelenjar yang berlebihan mengakibatkan terbentuknya kista sehingga menjadi hiperplasia sistik endometrial (Feldman dan Nelson 2004).

Perubahan uterus berupa hiperplasia sistik endometrial merupakan salah satu predisposisi timbulnya infeksi sekunder pada uterus yang mengarah pada pyometra. Berbagai rute infeksi pada uterus telah dilaporkan yaitu secara hematogenik, limfogenik, dan rute ascenden. Pernah dilaporkan juga bahwa peradangan pada vesika urinaria berkorelasi dengan timbulnya pyometra (Fransson 2003). Disamping itu progesteron juga memiliki aktivitas sebagai imunosupresan dengan menghambat proliferasi sel limfosit dan sel T-killer, sehingga mendukung pertumbuhan bakteri di uterus. Setelah terjadi hiperplasia sistik endometrial yang disertai dengan adanya infeksi sekunder, maka uterus mengalami peradangan berupa endometritis purulenta kronis dengan akumulasi pus di lumen uterus yang disebut pyometra (Fransson 2003). Keberadaan sel radang di uterus singa pada kasus ini menunjukkan adanya peradangan uterus atau endometritis, dan sel radang neutrofil yang ditemukan mengkonfirmasi peradangan disebabkan oleh adanya infeksi bakteri.

Gejala klinis pyometra tidak terbatas hanya pada saluran reproduksi saja. Gejala klinis yang paling sering dilaporkan termasuk anoreksia, lethargi,

(44)

polidipsia, poliurinaria, dan keluarnya nanah dari vagina. Umumnya, bakteri yang menginfeksi uterus pada pyometra adalah Escherichia coli namun pernah juga diisolasi bakteri lain seperti Klebsiella, Streptococci, Staphylococci, dan

Pseudomonas. E. coli dan bakteri gram negatif lainnya menghasilkan endotoksin

atau lipopolisakarida. Lipopolisakarida merupakan komponen dinding sel bakteri yang dapat dilepas saat bakteri tumbuh maupun saat bakteri mati (Fransson dan Ragle 2003). Bakteri di uterus ataupun toksin yang dihasilkannya dapat masuk ke pembuluh darah dan ikut bersikulasi ke seluruh tubuh. Interaksi sistemik antara mikroorganisme dan produknya (toksin) dengan sel inang menghasilkan sindrom klinis yang disebut dengan sepsis. Terlepas dari kausa yang spesifik, sepsis mengakibatkan beberapa gangguan sistemik termasuk gangguan homeostatis, suhu tubuh abnormal, hipoksia pada sel-sel, koagulasi intravaskular atau

disseminated intravascular coagulation (DIC), kegagalan fungsi berbagai organ,

dan kematian (McGavin dan Zachary 2001).

Berbagai kerusakan organ singa pada kasus ini disebabkan oleh sepsis yang ditimbulkan oleh bakteri yang mengakibatkan pyometra. Diagnosa sepsis diindikasikan oleh adanya hemoragi pada hampir seluruh organ yang diperiksa secara histopatologi yaitu paru-paru, hati, ginjal, limpa dan uterus. Hemoragi dapat terjadi karena ketidaknormalan fungsi atau keutuhan dari satu atau lebih faktor yang mempengaruhi homeostatis yaitu endotel, pembuluh darah, trombosit, dan faktor koagulasi. Gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan hemoragi dapat terjadi akibat trauma, endotoksemia dan bakterimia. Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) dan gangguan fungsi trombosit juga menyebabkan hemoragi. Selain itu, hemoragi juga dapat disebabkan oleh DIC yang merupakan hasil dari pembekuan darah secara luas pada arteri dan kapiler. DIC dapat diinisiasi akibat kerusakan endotel sehingga terjadi peningkatan dalam penggunaan trombosit. Penyakit-penyakit yang disertai dengan DIC antara lain endotoksemia, infeksi virus hepatitis pada anjing, dirofilariasis, dan penyakit neoplastik tertentu seperti hemangiosarkoma atau leukimia (McGavin dan Zachary 2001). Lesio DIC pada berbagai organ singa terlihat dari adanya trombus yang berupa plasma darah dan fibrin pada kapiler-kapiler maupun pembuluh darah lain.

(45)

Salah satu organ yang rentan terhadap sepsis adalah jantung. Menurut Merx dan Weber (2007), sepsis menyebabkan disfungsi pada miokard dengan mekanisme penurunan kontraktilitas dan terganggunya penyesuaian miokard. Disfungsi miokard terjadi akibat beberapa faktor seperti iskemia secara luas dan beredarnya substansi kimia dalam darah yang masuk ke jantung seperti toksin. Kerusakan pada miokard dapat mengarah kepada gagal jantung kongestif. Kardiomiopati pada jantung singa kasus ini menyebabkan kegagalan jantung baik pada jantung kanan maupun kiri.

Gagal jantung dapat terjadi akibat penyakit pada jantung (akibat kongenital, kerusakan pada miokard atau vaskular) ataupun akibat beban kerja yang berlebihan karena adanya penyakit pada paru-paru, ginjal, dan vaskular. Kelainan paru-paru seperti emfisema pada kasus ini menyebabkan darah balik dari paru-paru yang masuk ke jantung menjadi sedikit. Hal ini mengakibatkan penurunan daya kontraksi jantung yang selanjutnya menyebabkan berkurangnya aliran darah ke berbagai organ melalui arteri dan tertahannya darah yang seharusnya kembali ke jantung melalui vena sehingga terjadi kongesti. Kongesti pada berbagai organ seperti paru-paru, hati, ginjal yang disebabkan oleh kegagalan jantung mengakibatkan iskemia pada sel-sel parenkim. Sel yang mengalami iskemia selanjutnya akan mengalami degenerasi hingga nekrosa.

Kegagalan fungsi jantung, hemoragi, dan DIC menyebabkan hipoksia dan iskemia jaringan secara sistemik sehingga terjadi kegagalan organ umum. Organ yang sangat sensitif terhadap efek ini meliputi jantung, otak, ginjal, paru-paru, dan hati. Sel yang rusak akibat iskemia memproduksi energi secara anaerobik (glikolisis), mengakibatkan glikogen habis secara cepat, akumulasi asam laktat, dan kekurangan ATP. Tanpa ATP yang cukup, pompa ion pada membran sel gagal untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, integritas membran, dan sintesis protein. Masuknya natrium dan air ke dalam sel menyebabkan sel membengkak dan mengalami penurunan fungsi (McGavin dan Zachary 2001).

Gagal jantung kiri mengakibatkan kongesti dan edema pulmonar, sedangkan gagal jantung kanan menyebabkan kongesti dan edema pada hati dan limpa (McGavin dan Zachary 2001). Menurut Jubb et al. (1992 b), gagal jantung kanan mengakibatkan hati membesar dan kongesti dengan perubahan mikroskopik

(46)

meliputi dilatasi sinusoid dan atrofi atau degenerasi hingga nekrosa jaringan parenkim hati di sekitar vena sentralis. Perubahan ini sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologi hati singa sehingga menguatkan diagnosa terjadinya gagal jantung pada singa.

Kematian singa pada kasus ini disebabkan oleh kegagalan jantung akibat adanya kerusakan pada miokard berupa nekrosa miokard atau kardiomiopati. Sepsis dan gagal jantung menyebabkan kegagalan berbagai organ parenkim seperti paru-paru, hati, dan ginjal yang terlihat dengan adanya kongesti, edema, dan nekrosa sel-sel parenkim. Kerusakan pada berbagai organ ini menyebabkan peningkatan beban kerja jantung untuk menyalurkan darah. Kompensasi dari kelebihan kerja pada jantung terlihat dari jantung yang mengalami dilatasi dan hipertrofi.

(47)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Hasil pemeriksaan histopatologi organ-organ singa yang menderita pyometra menunjukkan anthracosis, emfisema dan edema pulmonum, kardiomiopati, enteritis mukopurulenta, hepatopati dan kongesti pasif hati, nefritis tubulointerstitialis kronis aktif dan pyometra.

2. Pyometra mengakibatkan sepsis yang dibuktikan dengan adanya hemoragi dan degenerasi pada organ-organ parenkimatosa.

3. Kematian singa pada kasus ini disebabkan oleh sepsis dan kegagalan jantung.

Saran

1. Perlu dilakukan analisis bakteriologi untuk mengetahui kuman penyebab pyometra untuk menguatkan diagnosa.

2. Perlu peningkatan manajemen pemeliharaan terutama menajemen breeding pada satwa liar di penangkaran atau badan konservasi lainnya sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan reproduksi seperti pyometra.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini di peroleh balita yang tidak ASI Eksklusif dan perkembangan motorik yang menyimpang sebanyak 15 anak (26,8%), balita yang tidak ASI Eksklusif dan

Proses kegiatan pengabdian yang dilakasanakan oleh tim pengabdian adalah berupa pelatihan dengan memberikan pengetahuan kepada ibu PKK dalam memanfaatkan limbah kain

kelancaran saat menghafal, makharijul hurufnya dan tajwidnya. Apabila dia berhasil menghafalkan tanpa ada kesalahan pada putaran sebelumnya, maka lanjut ke putaran

Berbagai upaya yang dapat ditempuh untuk menumbuhkembangkan kewirausahaan di kalangan mahasiswa adalah: (1) dicantumkan mata kuliah kewirausahaan dalam kurikulum

Penyimpanan dan pengamanan barang bukti hasil tindak pidana illegal logging di Pengadilan Negeri Semarang dapat dibedakan seperti yang berwenang dalam melakukan penyimpanan

Interaksi Sosial - Dalam artikel kali ini akan dibahas secara detail tentang Interaksi Sosial, Pengertian Interaksi Sosial, Syarat Terjadinya Interaksi Sosial, Ciri-Ciri

Praktik perjanjian jaminan fidusia dalam pembelian kendaraan bermotor antara debitor dengan kreditor hanya dilakukan di bawah tangan tanpa adanya peran

No part of this thesis may be reproduced by any means without the permission of at least one of the copyright owners or the English Teacher Education