• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Islam merinci dan menjelaskan, melalui al-qur an al-karim bagian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Islam merinci dan menjelaskan, melalui al-qur an al-karim bagian"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merinci dan menjelaskan, melalui al-Qur’an al-karim bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, di samping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering terjadi akibat kekurang tahuan ahli waris mengenai hakikat waris dan cara pembagiannya. Kekurang pedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak dapat dipungkiri, bahkan Imam Qurtubi memberikan komentar : “Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang faraidh. Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meski demikian disayangkan kebanyakan manusia ( terutama masa kini ) mengabaikan dan melecehkannya.

Perdebatan mengenai penghapusan ayat wasiat dan ayat waris, waris muslim terhadap non muslim atau sebaliknya, kalalah dan waris 2 : 1, merupakan permasalahan yang tidak henti-hentinya menjadi perbincangan di kalangan fuqaha. Berkaitan dengan masalah terakhir, meskipun pembagian waris 2 ( dua ) berbanding 1 ( satu ) ditetapkan secara qath’I oleh nash al-Qur’an, namun dalam praktek pembagian waris model ini

(2)

sering diabaikan dan mendapat tantangan, utamanya dalam masyarakat yang menganut system kekerabatan matrilineal dan bilateral.1

Ada kecenderungan yang tidak bisa diingkari, bahwa masyarakat muslim sendiri banyak yang tidak menggunakan ketentuan-ketentuan pembagian warisan sebagaimana yang ada dalam hukum kewarisan Islam. Keengganan ini sebagian tercermin dalam bentuk pembagian harta oleh orang tua sebelum kematiannya, sebagian dalam bentuk hibah-wasiat, dan sebagian lagi dalam bentuk pembagian warisan oleh para ahli waris sendiri secara musyawarah. Barangkali karena adanya kecenderungan ini maka UU no. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama memberikan hak pilih kepada orang-orang Islam untuk mengajukan perkara kewarisannya ke Pengadilan Agama.2

Ketentuan-ketentuan yang sering dianggap tidak sejalan dengan rasa keadilan mereka antara lain adalah pembedaan bagian antara ( khususnya anak ) laki-laki dan perempuan. Dalam hukum Islam, bagian warisan yang berhak diperoleh anak laki-laki adalah dua kali bagian yang berhak diperoleh anak perempuan, satu ketentuan yang menjadi kesepakatan semua madzhab, karena didasarkan pada ayat al-Qur’an yang menurut para fuqaha bersifat qat’i. Ketentuan ini kini dianggap tidak lagi sejalan dengan rasa keadilan karena telah terjadi perubahan yang fundamental yang berkenaan dengan relasi dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, yang disebabkan faktor ruang dan waktu yang berbeda antara

1

Hasbi Hasan, Mahkamah Agung RI Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Pokja Perdata Agama MA RI, 2005), h. 85.

2

(3)

masyarakat arab pada waktu turunnya al-Qur’an dengan masyarakat muslim dibelahan lain pada era modern ini.

Ketidak adilan juga dirasakan berkenaan dengan garis kekerabatan. Dalam sistem hukum mereka, hubungan seseorang dengan pewaris sangat ditentukan oleh garis kekerabatan yang menghubungkan keduanya, terutama jika hubungan kekerabatan mereka tidak bersifat langsung melainkan dihubungkan oleh kerabat lain. Ahli waris yang hubungan kekerabatannya dengan pewaris melalui garis murni laki-laki mempunyai posisi lebih kuat dari pada yang melewati perempuan.3

Berbeda dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat saat ini, yang menunjukan fenomena bahwa kewarisan Islam sudah cenderung untuk dihindari oleh masyarakat, bahkan ditinggalkan. Berbagai macam kalangan, dari masyarakat awam maupun para ahli, mempunyai penilaian keadilan yang berbeda satu dengan yang lainnya.4 Perbedaan pendapat juga terdapat dikalangan para Tokoh NU di Kabupaten Brebes tentang penilaian keadilan dalam kewarisan Islam.

Posisi para kiai dan peranan kaum ulama dalam kancah gelanggang panjang pergerakan NU adalah sangat dominan dan menentukan. Dengan kata lain, para kiai dan ulama berfungsi dan berperan sebagai inspirator, motovator, stabilisator, dan dinamisator seluruh aktivitas sepak terjang pergerakan NU. Itulah sebabnya, karena posisi dan peran mereka yang

3

Diambil Dari Laporan Hasil Penelitian Individual, Persebaran Ahli Waris Dalam Hukum Kewarisan Islam ( Problem Derajat Kekerabatan Dan Pengganti Tempat ), Akhmad Jalaludin, h.2

4

Diambil Dari Jurnal Hukum Islam, Penilaian Keadilan Terhadap Kewarisan Islam (Tinjauan Psikologis), Esti Zaduqisti, h. 2.

(4)

spesial dan strategis itu, para kiai dan ulama ditempatkan di pucuk pimpinan teratas NU.5

Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jami’iyyah sekaligus gerakan diniyah Islamiyah dan ijtima’iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham ahlussunah wal jama’ah sebagai basis teologi. (dasar berakidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab : Hanafi, maliki, syafi’i dan hambali sebagai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikut empat mazhab fiqih ini, menunjukkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah) meskipun kenyataan keseharian para ulama NU menggunakan fiqih masyarakat indonesia yang bersumber dari mazhab syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab syafi’i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional berpaling ke mazhab lain. 6

Di Kabupaten Brebes warga NU banyak, ukuran banyak tidak ada batasannya. Diantara 99,7 % umat Islam di Kabupaten Brebes, kurang lebih ada 60 % warga NU di Kabupaten Brebes. Jadi jumlah jama’ah

5

Faisal Ismail, Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan DEPAG RI, 2004), h.15.

6

Sahal Mahfudh, Solusi Problematka Aktual Hukum Islam Kepetusan Muktamar Munas dan Kombes Nahdlatul Ulama (1926-2004), (Surabaya: Khalista, 2007), h. v.

(5)

terhadap ormas keagamaan NU, mayoritas diikuti oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Brebes.7

dengan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan di atas tadi, maka penulis memilih judul “ PERSPEKTIF TOKOH NU DI KABUPATEN BREBES TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN BERBASIS RELASI GENDER DALAM FIQIH MAWARIS MAZHAB SYAFI’I”

B. Rumusan Masalah

Dari latarbelakang diatas, dapatlah dirumuskan masalah yang penting untuk diteliti, rumusan masalah tersebut antara lain :

1. Bagaimana pendapat tokoh NU di Kab. Brebes tentang ketentuan pembagian waris 2 : 1 untuk laki-laki dan perempuan ?

2. Bagaimana pendapat tokoh NU di Kab. Brebes tentang corak patrilinial dalam fiqih mawaris madzhab syafi’i dan implementasinya? Selanjutnya agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tulisan ini, maka perlu kiranya membatasi pengertian dan menguraikan secara singkat “ PERSPEKTIF TOKOH NU DI KABUPATEN BREBES TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN BERBASIS RELASI GENDER DALAM FIQIH MAWARIS MAZHAB SYAFI’I ”.

Perspektif, merupakan pandangan.8

7

Atoillah, Ketua PC NU Kabupaten Brebes, Wawancara Pribadi, Brebes, 16 Agustus 2011. 8

(6)

NU, merupakan organisasi masyarakat yang mempunyai pedoman ahlus sunnah wal jama’ah.9

Jadi Perspektif Tokoh NU di Kabupaten Brebes adalah Pandangan tokoh organisasi masyarakat yang mempunyai pedoman ahlus sunnah waljama’ah di Kabupaten Brebes

Relasi, merupakan hubungan.10

Gender, merupakan suatu konsep yang digunakan untuk

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan.11

Jadi ketentuan berbasis relasi gender adalah ketentuan-ketentuan yang terjadi antara hubungan perbedaan laki-laki dan perempuan.

Fiqih, merupakan mengetahui sesuatu, memahami sesuatu sebagai hasil

usaha mempergunakan pikiran yang sungguh-sungguh.12

Mawaris, merupakan harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.13

Jadi fiqih mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang

9

Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Holve, 1997). h. 956.

10

Anton M Moeliono, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1988), h. 738. 11

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 35.

12

Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagi Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 5.

(7)

berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.14

Mazhab Syafi’i, merupakan mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i.15

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Menjelaskan bagaimana pendapat tokoh NU di Kab. Brebes tentang ketentuan pembagian waris 2 : 1 untuk laki-laki dan perempuan.

2. Menjelaskan bagaimana pendapat tokoh NU di Kab. Brebes tentang corak patrilinial dalam fiqih mawaris madzhab syafi’i dan implementasinya.

Adapun kegunaan diadakannya penelitian ini adalah : 1. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan wacana keilmuan dan pengetahuan khususnya bidang kewarisan yaitu tentang pentingnya ilmu waris.

14

Moh Muhibbin dan Abdul wahid, Hukum kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 7.

15

Diunduh pada tgl 16 Juli 2011 http://sentroclub.wordpress.com/2008/09/12/mazhab-syafi’i/

(8)

2. Secara teoritis

Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman dalam ruang lingkup yang lebih luas dalam bidang kewarisan.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam pembahasan skripsi tentang Perspektif Tokoh NU Di Kabupaten Brebes tentang ketentuan-ketentuan berbasis Relasi Gender Dalam Fiqih Mawaris Madzhab Syafi’i. Penulis menggunakan beberapa buku diantaranya :

Dalam bukunya, Ali Parman yang berjudul “ Kewarisan Dalam Al-Qur’an “ memuat tentang pengertian dan faktor-faktor terjadinya kewarisan serta asas-asas dan sistem kewarisan. Telah diuraikan bahwa kewarisan adalah berpindahnya harta milik seseorang yang masih hidup tanpa terjadi aqad lebih dahulu.16 Secara umum dapat dikatakan bahwa menurut al-Qur’an, setiap orang yang meninggal secara hukum dapat disebut sebagai pewaris. Baik bapak, ibu, anak, dan saudara. Demikian pula ahli waris menurut al-Qur’an adalah keluarga dekat dari pewaris, baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam buku “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun1989 Tentang Peradilan Agama “ dijelaskan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara di

16

(9)

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang. Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.17

Bidang kewarisan yang dimaksud ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.18

Dalam buku “ Mahkamah Agung RI Lingkungan Peradilan Agama “ dijelaskan apabila pewaris ( orang meninggal ) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian. Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan. apabila bersama anak sebagian ahli waris ada juga ashab al-furudh, seperti suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashab al-furudh. Setelah itu sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.19

Dalam jurnal yang ditulis oleh Esti Zaduqisti yang berjudul “ Penilaian Keadilan terhadap Kewarisan Islam “ dijelaskan penilaian keadilan prosedural yang merupakan penilaian keadilan terhadap prosedur

17

Hadi Setia Tunggal, UU RI No 3 Tahun 2006Tentang Perubahan Atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Harvarindo, 2006), h.18.

18

Hadi Setia Tunggal, UU RI No 3 Tahun 2006Tentang Perubahan Atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama... h. 56.

19

Hasbi Hasan, Mahkamah Agung RI Lingkingan Peradilan Agama, (Jakarta: Pokja Perdata Agama MA RI, 2005), h. 93.

(10)

yang ada dalam hukum kewarisan Islam, sangat dipengaruhi oleh penilaian keadilan distributif. Dalam hal ini distribusi ( pembagian ) harta waris yang telah diterima. Dinilai terlebih dahulu oleh subjek ( ahli waris ) dari pada menilai prosedur yang ada dalam hukum kewarisan Islam, sehingga subjek akan cenderung menilai bahwa prosedur yang ada dalam hukum kewarisan Islam adil apabila distribusi hasil ( pembagian ) yang diterima adalah memuaskan.

Bahwa masyarakat lebih mementingkan kepuasan pribadi untuk menilai sebuah objek, bukan prosedurnya dulu yang dinilai. Dari hasil ini pun bisa disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap hukum kewarisan Islam, masih jauh dari yang diharapkan oleh syari’ah Islam, yang sudah jelas menerangkan bahwa hukum yang telah dibuat oleh Allah adalah adil.20

Dalam bukunya, Hasbiyallah yang berjudul “ Belajar Mudah Ilmu Waris “ dijelaskan bahwa terdapat hikmah kenapa dalam syariat Islam bagian laki-laki dua bagian perempuan, yaitu perempuan dicukupi kebutuhannya. Maka ia wajib diberi nafkah oleh putranya / ayahnya / atau saudara lelakinya atau para kerabat lainnya. Wanita tidak dibebani untuk menafkahi seseorang. Sebaliknya laki-laki diwajibkan menafkahi keluarga dan para kerabat lainnya. Nafkah yang dikeluarkan laki-laki lebih banyak dan kewajiban-kewajiban keuangannya lebih besar, maka kebutuhannya kepada harta lebih banyak dari pada perempuan. laki-laki memberi mahar

20

Diambil Dari Jurnal Hukum Islam, Penilaian Keadilan Terhadap Kewarisan Islam ( Tinjauan Psikologis ), Esti Zaduqisti, h..14.

(11)

kepada perempuan dan diwajibkan mengeluarkan biaya, tempat tinggal, makanan dan pakaian bagi istri dan anaknya. Biaya sekolah dan pengobatan bagi istri dan anak-anaknya dibayar oleh laki-laki, bukan perempuan.21

Dalam bukunya, Sajuti Thalib yang berjudul “ Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia “ di jelaskan bahwa Pokok-pokok pemikiran dalam kewarisan patrilinial adalah selalu memberikan kedudukan yang lebih baik dalam perolehan harta peninggalan kepada pihak laki-laki. Dalam hubungan ini termasuk juga perbandingan perolehan antara ibu dengan bapak atas harta peninggalan anaknya. Urutan keutamaan berdasarkan ushbah dan laki-laki. Ushbah atau usbah ialah anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah sesamanya berdasarkan hubungan garis keturunan laki-laki atau patrilinial. Istilah-istilah khusus mengenai kewarisan dalam al-Qur’an mungkin disamakan dengan istilah biasa dalam bahasa sehari-hari atau istilah hukum adat dalam masyarakat arab.22

Dalam bukunya, Muhammad Jawad Mughniyah yang berjudul “ Fiqih Lima Mazhab Ja’fari Hanafi Maliki Syafi’i Hambali “ dijelaskan bahwa terdapat perbedaan dikalangan para ulama mazhab pada hak waris beberapa kerabat, yang oleh syafi’i dan maliki dianggap sebagai tidak berhak menerima waris sama sekali sehingga keadaan mereka persis orang luar. Mereka adalah anak laki-laki dari anak-anak wanita, anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan, anak-anak perempuan dari saudara

21

Hasbiyallah, Belajar mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 10. 22Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 112.

(12)

laki, anak laki-laki dari saudara seibu, saudara perempuan ayah dari semua jalur, paman seibu ( saudara laki-laki ayah yang seibu ), paman dan bibi dari jalur ibu, anak-anak perempuan paman, dan kakek dari jalur ibu ( ayahnya ibu ). Kalau ada seseorang meninggal dunia tanpa ada kerabat lain kecuali salah satu seorang diantara kerabat-kerabat yang disebutkan tadi, maka harta peninggalannya menjadi hak Bait al-mal, dan menurut imam syafi’i dan imam maliki, tidak ada seorang pun diantara mereka itu yang memperoleh warisan, sebab mereka itu bukanlah orang-orang yang menerima bagian tetap ( dzaw al-furud ) dan tidak pula termasuk kelompok orang menerima ashabah.

Hanafi dan hambali berpendapat bahwa mereka itu dapat menerima waris dalam keadaan-keadaan tertentu, yaitu manakala tidak ada lagi ahli waris yang menerima bagian tetap dan ashabah. Sementara itu, imamiyah mengatakan bahwa mereka dapat menerima waris tanpa adanya ketentuanketentuan diatas.23

Dalam laporan hasil penelitian individual yang ditulis oleh Akhmad Jalaludin yang berjudul “ Persebaran Ahli Waris Dalam Hukum Kewarisan Islam ( Promlem Derajat Kekerabatan Dan Pengganti Tempat ) “ dijelaskan bahwa fuqaha menjadikan derajat kekerabatan sebagi salah satu faktor yang menentukan apakah seseorang berhak memperoleh warisan ataukah tidak, tetapi tidak dikemukakan dalil yang shar’i baik dari al-Qur’an maupun hadits nabi saw yang mendasarinya. Dalil tekstual yang

23

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Ja’fari Hanafi Maliki Syafi’i Hambali, (Jakarta: Lentera, 2000), h. 540-541.

(13)

dijadikan pegangan hanyalah pendapat zayd bin Tsabit yang menyatakan bahwa anak dari anak laki-laki tidak berhak memperoleh waris sepanjang ada anak laki-laki.

Selain dalil tekstual berupa pendapat Zayd ini, fuqaha juga mengemukakan argumen kebahasaan, tetapi kebahasaan ini lemah dan ditolak oleh sebagian fuqaha. Lebih dari itu, dengan memperhatikan hadits shahih dimana rasul saw memberikan hak waris kepada cucu perempuan dari anak laki-laki padahal bersamanya ada anak perempuan, maka dijadikannya derajat kekerabatan sebagai penghalang meneriama waris dinilai lemah24

Penelitian diatas ada korelasinya dengan hasil penelitian yang telah dikemukakan diatas. Namun, dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitiannya adalah pendapat tokoh NU di Kabupaten Brebes.

E. Kerangka Teori

Syari’ah Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, tidak mempersoalkan apakah ia laki-laki ataukah perempuan. Syari’at Islam juga menetapkan hak pemindahan pemilikan seseorang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya dari seluruh kerabat dan nasabnya. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun.

24

Diambil Dari Laporan Hasil Penelitian Individual, Persebaran Ahli Waris Dalam Hukum Kewarisan Islam ( Problem Derajat Kekerabatan Dan Pengganti Tempat ), Akhmad Jalaludin, h. IV-V.

(14)

Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai dengan kedudukan nasab terhadap waris, apakah ia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, bahkan hanya sekedar saudara seayah atau seibu.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pembagian mengenai waris secara detail telah ditentukan oleh nash al-Qur’an, termasuk pembagian mengenai anak laki-laki mendapat 2 ( dua ) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat 1 ( satu ) bagian.25

Hukum kewarisan islam sebagai bagian dari hukum Islam merupakan produk pemikiran manusia ( fuqaha / mujtahid ) yang dihasilkan dari dalil-dali tafsili. Dalam epistemologi hukum Islam, hukum tidaklah diciptakan / ditetapkan, melainkan dicari dan ditemukan. Upaya pencarian dan penemuan itu dilakukan dengan menggunakan petunjuk-petunjuk ( dalil-dalil / imarah / alamah ) yang telah diberikan oleh Tuhan, baik berupa nash ataupun metode-metode tertentu.26

Menurut Ali As-Shabunni bahwa terdapat hikmah kenapa dalam syariat islam bagian laki-laki dua bagian perempuan, yaitu sebagai berikut : Perempuan itu dicukupi kebutuhannya, maka ia wajib diberi nafkah oleh putranya atau ayahnya atau saudaranya atau lelakinya atau para kerabat lainnya.

1. Wanita tidak dibebani menafkahi seseorang sebaliknya laki-laki diwajibkan menafkahi keluarga dan para kerabat lainnya.

25

Hasbi Hasan, Mahkamah Agung RI Lingkungan Perdilan Agama, (Jakarta: Pokja Perdata Agama MA RI, 2005), h. 86.

26

Diambil Dari Laporan Hasil Penelitian Individual, Persebaran Ahli Waris Dalam Hukum Kewarisan Islam ( Problem Derajat Kekerabatan Dan Pengganti Tempat ), Akhmad Jalaludin, h. 7.

(15)

2. Nafkah yang dikeluarkan laki-laki lebih banyak dan kewajiban-kewajiban keuangannya lebih besar, maka kebutuhannya kepada harta lebih banyak dari pada perempuan.

3. Laki-laki memberi mahar kepada perempuan dan diwajibkan mengeluarkan biaya, tempat tinggal, makan dan pakaian bagi istri dan anak-anaknya.

4. Biaya-biaya sekolah dan pengobatan bagi istri dan anak-anaknya dibiayai oleh laki-laki bukan perempuan.

Demikian, syariat Islam justru memberikan kesejahteraan dan kenikmatan kepada perempuan, karena ia ikut mendapat bagian dalam waris tanpa memikul tanggung jawab. Wanita mengambil bagiannya dan tidak memberi apa-apa. Ia mendapat hasil dan tidak wajib mengeluarkan biaya penghidupan. Syariat Islam tidak mewajibkan atas wanita untuk menafkahkan sebagian hartanya bagi dirinya atau anak-anaknya sekalipun ia orang berada karena suami dibebani untuk menafkahinya serta anak-anaknya.27

Tetapi realitasnya sekarang perempuan itu harus bisa berdiri sendiri. Apabila perempuan itu belum menikah tetapi dia sudah menjadi pewaris, tidak mungkin dicukupi kebutuhannya oleh suaminya. Apabila perempuan itu sudah menjadi janda lalu dia menjadi pewaris sedang dia tidak mempunyai anak laki-laki dan saudara laki-lakinya maka tidak mungkin perempuan itu dinafkahi oleh anak laki-lakinya dan saudara laki-lakinya.

27

Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2007), h. 10-11.

(16)

Maka perempuan harus bisa berdiri sendiri, karena zaman sekarang adanya kesetaraan gender dimana laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama.

Penamaan kewarisan patrilinial terhadap hukum kewarisan yang dianut oleh pengikut imam Syafi’i dan beberapa ahli hukum islam lainnya adalah suatu penamaan berdasarkan kesimpulan atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ajaran tersebut mengenai soal-soal yang menyangkut dengan kewarisan. Sebenarnya sejauh ketentuan kewarisan yang ada penentuannya secara tegas dalam al-Qur’an, selalulah ketentuan itu dianut oleh golongan ini dengan sepenuhnya. Artinya ialah pihak laki-laki mendapatkan warisan dan pihak perempuan mendapat warisan. Hal itu juga berarti bahwa seorang laki-laki mewariskan harta peninggalannya dan juga seorang perempuan mewariskan harta peninggalannya. Penamaan sistem kewarisan patrilinial tersebut tidak pula dapat diartikan sistem kewarisan patrilinial penuh sepenuh sistem kewarisan patrilinial yang bisa kita temui dalam masyarakat patrilinial di indonesia. Tetapi patrilinial ajaran tersebut adalah semacam sistem pengutamaan kepada pihak laki-laki dimana terdapat kesempatan untuk menetapkan demikian, tetapi tetap memberikan warisan kepada kaum wanita yang tertentu yang tegas-tegas ditunjuk menjadi ahli waris menurut ayat-ayat al-Qur’an.

Pokok-pokok pikiran dalam kewarisan patrilinial adalah :

1. Selalu memberikan kedudukan yang lebih baik dalam perolehan harta peninggalan kepada pihak laki-laki. Dalam hubungan ini termasuk juga

(17)

perbandingan perolehan antara ibu dengan bapak atas harta peninggalan anaknya.

2. Urutan keutamaan berdasarkan ushbah dan laki-laki. Ushbah atau usbah ialah anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah sesamanya berdasarkan hubungan garis keturunan laki-laki atau patrilinial.

3. Istilah-istilah khusus mengenai kewarisan dalam al-Qur’an mungkin disamakan dengan istilah biasa dalam bahasa sehari-hari atau istilah hukum adat dalam masyarakat arab.28

Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terdiri atas hubungan kekerabatan. Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang mewarisi dengan yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan adanya hak mempusakai yang paling kuat karena kekerabatan merupakan unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.29

Kekerabatan terjadi karena adanya hubungan keturunan yang sah antara dua orang, baik keduanya berada dalam satu titik hubungan ( satu jalur ) seperti ayah keatas atau anak kebawah, maupun pada jalur yang memunculkan orang ketiga, yaitu saudara-saudara para paman dari ayah dan ibu. Keturunan yang sah ( syar’i ) mencakup pernikahan yang sah dan percampuran subhat, sedangkan perkawinan tidak bisa terjadi kecuali dengan adanya akad yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para

28

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 111-112.

29

(18)

ulama madzhab, bahwa mereka berdua salinga mewarisi. Perbedaan justru terdapat pada hak waris beberapa kerabat, yang oleh syafi’i dan maliki di anggap sebagai tidak berhak menerima waris sama sekali sehingga keadaan mereka persis orang luar. Mereka adalah anak laki-laki dari anak-anak wanita, anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara seibu, saudara perempuan ayah dari semua jalur, paman seibu ( saudara laki-laki ayah yang seibu ), paman dan bibi dari jalur ibu, anak-anak perempuan paman, dan kakek dari jalur ibu ( ayahnya ibu ). Kalau ada seseorang meninggal dunia tanpa ada kerabat lain kecuali salah satu seorang diantara kerabat-kearabat yang disebutkan tadi, maka harta peninggalannya menjadi hak Bait al-mal, dan menurut imam syafi’i dan imam maliki, tidak ada seorangpuan diantara mereka itu yang memperoleh warisan, sebab mereka itu bukanlah orang-orang yang menerima bagian tetap ( dzaw al- furud ) dan tidak pula termasuk kelompok orang yang menerima ashabah.

Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa mereka itu dapat menerima waris dalam keadaan-keadaan tertentu, yaitu manakala tidak ada lagi ahli waris yang menerima bagian tetap dan ashabah. Sementara itu, imamiyah mengatakan bahwa mereka dapat menerima waris tanpa adanya ketentuan-ketentuan di atas.30

30

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Ja’fari Hanafi Maliki Syafi’i Hambali, (Jakarta: Lentera, 2000), h. 540-541.

(19)

F. Metode Penelitian

Sebagai penelitian ilmiah, maka penelitian ini menggunakan seperangkat metode penelitian kualitatif mempersiapkan, menunjang dan membimbing serta mengarahkan penelitian ini sehingga memperoleh target yang dituju secara ilmiah pula.

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di kabupaten brebes dengan mengumpulkan dan menganalisis data.

2. Metode Penelitian

Penulis menggunakan pendekatan kualitatif, dilihat dari jenis studi, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan, karena berusaha mengumpulkan dan menganalisis data-data mengenai pendapat tokoh NU di Kabupaten Brebes tentang pembagian waris 2 : 1 dan garis kekerabatan (patrilinial).

3. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah lapangan dengan cara meneliti dan mempelajari pendapat tokoh NU di Kabupaten Brebes tentang pembagian waris 2 : 1 dan garis kekerabatan (patrilinial) kemudian mendiskripsikan secara rinci yang menjadi pokok permasalahan di dalam penelitian ini.

4. Sumber data

a. Sumber data primer, data yang diperoleh secara langsung dari responden atau nara sumber. Sumber data yang diperoleh dalam

(20)

penelitian ini adalah dari pandangan para tokoh NU di Kabupaten Brebes mengenai pembagian waris 2 : 1 dan garis kekerabatan (patrilinial).

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang dapat mengungkapkan landasan teori dalam pembahasan ini baik al-Qur’an, kitab-kitab, buku-buku, hasil-hasil penelitian, jurnal dan pendapat-pendapat tokoh yang berhubungan dengan judul penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data a. Metode Wawancara

Wawancara yaitu proses menggali informasi secara mendalam melalui percakapan langsung antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya oleh peneliti, dan masalah tersebut diarahkan pada masalah penelitian. Metode wawancara juga disebut interview, yaitu sebuah dialog/tanya jawab yang dilakukan oleh interviewer untuk memperoleh informasi dari wawancara tersebut.31

Wawancara secara langsung dengan tokoh NU di Kabupaten Brebes tentang ketentuan 2 : 1 dan corak patrilinial.

31

(21)

b. Metode Observasi

Yaitu pengumpulan data dengan pengamatan dan pencatatan secara langsung oleh peneliti terhadap objek penelitian dengan mengamati situasi dari berbagai hal. Observasi juga diartikan dengan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan terhadap objek, baik secara langsung maupun tidak langsung.32

c. Metode Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan data verbal yang berbentuk tulisan.

6. Analisis Data

Perolehan data dianalisis secara kualitatif.

Menghasilkan data deskriptif analisis setelah data terkumpul kemudian diuraikan dengan cara metode induktif, yaitu analisis terhadap data-data yang khusus untuk dibawa pada kesimpulan umum.

G. Sistematika Penelitian

Untuk mempermudah penelitian, maka dalam penelitian ini digunakan struktur penelitian sebagai berikut :

1) Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penelitian.

32

(22)

2) Bab II, Tinjauan umum Tentang Kewarisan Mdzhab Syafi’i, meliputi pengertian kewarisan, sumber-sumber hukum kewarisan, sebab-sebab mewarisi, syarat-syarat mewarisi halangan memperoleh warisan, macam-macam ahli waris dan hak masing-masing, biografi imam syafi’i.

3) Bab III, Tinjauan umum tokoh NU di Kabupaten Brebes tentang ketentuan-ketentuan berbasis relasi gender, Sekilas tentang NU di Kabupaten Brebes, Pendapat-pendapat tokoh NU di Kabupaten Brebes tentang ketentuan pembagian waris 2 : 1 dan Pendapat-pendapat tokoh NU di kabupaten Brebes tentang garis kekerabatan (patrilinial)

4) Bab IV Analisis data, berisi analisis terhadap pendapat-pendapat tokoh NU di kabupaten brebes tentang ketentuan pembagian waris 2:1 dan garis kekerabatan ( patrilinial )

Referensi

Dokumen terkait

Bedasarkan faktor-faktor tersebut, maka ketiadaan hubungan paparan debu terhirup dengan kapasitas vital paru pada pekerja penyapu pasar Johar kota Semarang, tidak

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

Agar penyeleksian karyawan dapat dilakukan dengan lebih efisien serta menghindari subyektifitas keputusan yang dihasilkan, diperlukan suatu Sistem Penunjang Keputusan (SPK)

Sub Bidang Evaluasi dan Pelaporan pada jabatan pekerjaan penyusun laporan memiliki nilai FTE yang tinggi akan tetapi jumlah pegawai yang ada melebihi nilai perhitungan

Ketentuan Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 14 Tahun 2010 tentang Retribusi Rumah Potong

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Hasil penelitian untuk faktor permintaan secara simultan ada pengaruh nyata antara tingkat pendapatan, selera, jumlah tanggungan dan harapan masa yang akan datang

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Fatimah Zahrah, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Pengaruh Diversifikasi Perusahaan dan Praktik Manajemen Laba terhadap