• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat, Toleran terhadap WSSV dan SPF (Specific Pathogen Free)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat, Toleran terhadap WSSV dan SPF (Specific Pathogen Free)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat,

Toleran terhadap WSSV dan SPF (Specific Pathogen Free)

Haryanti, Ida Komang Wardana, Gusti Ngurah Permana, Fahrudin, Sari Budi Moria dan

Ketut Mahardika

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol PO box 140 Singaraja 81101 – Bali

E-mail : haryanti@indosat.net.id

Abstract

Haryanti, Ida Komang Wardana, Gusti Ngurah Permana, Fahrudin, Sari Budi Moria and Ketut Mahardika. 2009. Selective breeding of black tiger shrimp Penaeus monodon: study on fast growth, WSSV tolerance and SPF (specific pathogen free) traits. Aquacultura Indonesiana, 10 (2): 75–84. Shrimp selective breeding research focused on fast growth, WSSV tolerance and SPF (Specific Pathogen Free) traits was important to develop better phenotypic and genotypic characters on black tiger shrimp spawners. The aim of research was to evaluate shrimp breeding to produce selected fry with fast growth, WSSV tolerance and SPF (Specific pathogen Free) traits. Selection method was initiated from breeding of wild shrimp spawners (F–0) applied with full sib mating, probiotics, biosecurity, and viral diseases diagnosis. Diagnosis was tested on 7 viruses (TSV, WSSV, IHHNV, YHV, BP, MBV, and HPV). Result showed that 9 families of the first generation (F–1) shrimp phenotypically was varied (big, regular and small size). First shrimp generation shrimp produced from phenotypic selection with fast growth was 37.67 % of the total fry population while regular and slow growths were 51.71% and 10.62% respectively. Genotypic performance of shrimp broodstock (F–0) and the first generation (F–1) showed different genetic variation. Heterozigosity values of shrimp broodstock (F–0) were 0.2872 (female) and 0.6091 (male) respectively, while on the first generation (F–1) with fast growth trait was 0.6633 and regular and slow growth was 0.6627 and 0.5820 respectively. Result of challenge test to WSSV infection with applied of deeping and feeding has shown different of tolerance effect on first generation shrimp fry.

Keywords: Fast growth; Genotype; Penaeus monodon; Phenotype; Selective breeding; WSSV tolerance

Abstrak

Riset selektif breeding dengan mengutamakan seleksi famili untuk karakter pertumbuhan, toleran terhadap WSSV dan bebas penyakit (SPF) menjadi prioritas agar diperoleh calon induk udang windu dengan karakter fenotype dan genotype yang lebih baik. Tujuan riset adalah mendapatkan Metode selektif breeding dan induk udang hasil seleksi famili dengan karakter tumbuh cepat, toleran terhadap WSSV serta bebas penyakit (SPF). Metode seleksi diawali dengan pembenihan menggunakan induk udang windu berasal dari alam (F–0) mengikuti kaidah full sib

mating, mengaplikasikan probiotik dalam pemeliharaan larva, biosecurity dan pemantauan infeksi virus. Diagnosis

bebas penyakit (SPF) dilakukan dengan pengujian 7 jenis virus (TSV, WSSV, IHHNV, YHV, BP, MBV, HPV). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 9 famili udang generasi pertama (F–1) memberikan keragaman fenotype yang bervariasi (ukuran besar, sedang/reguler dan kecil). Benih udang generasi pertama (F–1) hasil seleksi fenotype pertumbuhan cepat sebesar 37,67%, sedangkan pertumbuhan sedang/ regular dan lambat masing-masing sebesar 51,71% dan 10,62% dari populasi benih udang yang dihasilkan. Keragaman genotype induk udang (F–0) jantan dan betina dan generasi pertama (F–1) menunjukkan keragaman genetik yang berbeda. Nilai heterozigositas pada induk udang jantan dan betina (F–0) masing-masing sebesar 0,6091 dan 0,2872. Sementara, pada generasi pertama (F–1) pada udang dengan tumbuh cepat sebesar 0,6633, sedangkan tumbuh sedang/reguler dan lambat masing-masing 0,6627 dan 0,5512. Hasil uji tantang terhadap WSSV dengan perendaman maupun pemberian pakan menunjukkan adanya perbedaan toleransi pada benih udang turunan F–1.

(2)

Pendahuluan

Dengan keterpurukan bisnis udang windu Penaeus monodon di Indonesia oleh karena kegagalan budidaya, mengakibatkan volume eksport udang tersebut juga mengalami penurunan sangat tajam. Walaupun demikian beberapa praktisi masih melakukan kegiatan budidaya secara tradisional (Jawa Timur, Kalimantan dan Sulawesi Selatan), semi intensif (Kalimantan, Sulawesi Selatan) maupun intensif (Pulau Seram, Ambon). Bila ditelusuri, kegagalan budidaya udang windu banyak disebabkan oleh penurunan kualitas lingkungan, sehingga sangat rentan terhadap penyakit infeksi terutama virus (Gunarto et al., 2006). Menurut data dari FAO, produksi udang dari Indonesia estimasi pada tahun 2005 adalah 279.375 ton, sedangkan pada tahun 2007 sebanyak 234.000 ton dan pada tahun 2008 adalah 250.000 ton dengan perbandingan 70% udang vannamei dan 30% udang windu (FAO, 2005). Sementara pada tahun 2007 berubah menjadi 80% udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dan 20% udang windu, P. monodon (Permana, 2009).

Adanya penurunan produksi udang windu di tambak, maka kegiatan bisnis beralih pada budidaya udang L. vannamei. Diketahui bahwa induk udang L. vannamei diimport dari USA dan merupakan udang hasil selektif breeding. Dengan Keterbatasan karakter genetik pada udang tersebut, maka sulit untuk dikembangbiakan dalam jangka panjang, sehingga Ketergantungan import sangat tinggi. Akibat lanjut dari akivitas tersebut devisa negara akan mengalir sangat besar ke negara lain.

Dalam upaya mengembalikan kejayaan budidaya udang windu, maka langkah perbaikan dan antisipasi serta pencegahan terhadap faktor kegagalan terus dilakukan. Satu di antara upaya yang mendapatkan perhatian adalah penanganan terhadap karakter genetik udang windu. Diawali dengan pemetaan (mapping) keragaman genetik udang windu di perairan Indonesia (Benzie et al., 2002; Sugama et al., 2002), domestikasi induk udang dari perairan berbeda melalui pembenihan dan mengevaluasi benih turunannya (Moria et al., 2002; Moria et al., 2003), serta selektif breeding secara fenotip ataupun genotype pada udang windu (Haryanti et al., 2006; Haryanti dan Sugama, 2007).

Menurut Benzie (2000) dan Lester (1983) berpendapat bahwa pengemba ngan metode

domestikasi pada udang Penaeid dimaksudkan untuk mengantisipasi tekanan terhadap stock induk alam, sehingga telah direalisasikan perbaikan mutu udang melalui seleksi breeding dengan memerlukan hitungan variasi genetik yang tepat pada populasi induk. Hal ini mengingat bahwa perairan Indonesia mempunyai sumber keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia dan diperkirakan pada perairan tersebut juga mempunyai tingkat keragaman populasi P. monodon yang secara genetik juga besar, dengan keunggulan fenotip (ukuran udang besar) dan genotip (heterozigositas tinggi) (Klinbunga et al., 1998; Duda dan Palumbi, 1999; Benzie, 2000).

Skala prioritas dalam pembenihan untuk target keberhasilan budidaya adalah perbaikan mutu induk dan benih udang windu melalui selektif breeding. Benih yang dihasilkan dari induk udang windu hasil seleksi diharapkan akan menghasilkan kualitas benih yang baik secara genotip maupun fenotip. Beberapa riset terhadap benih dan induk udang telah difokuskan melalui teknik selektif breeding dengan mengedepankan sifat-sifat yang menguntungkan bagi budidaya (tumbuh cepat, toleran-resisten terhadap infeksi virus, reproduksi, dll). Penggunaan penciri gen untuk karakter tersebut di atas dalam seleksi (Marker Assisted Selection/MAS) akan sangat bermanfaat.

Dari beberapa hasil uji pendahuluan yang telah diperoleh dalam breeding pada udang windu yang bersifat SPF dengan pendeteksian terhadap 7 jenis infeksi virus, nampak bahwa calon induk udang turunan F-1 yang bersifat SPF dengan Metode pemeliharaan yang mengaplikasikan biosekuriti sebesar 85-90%. Sementara, untuk induk udang windu yang berasal dari alam, sifat SPF tersebut menunjukkan angka yang lebih kecil, oleh karena adanya infeksi virus selama penampungan di tempat pengumpul.

Riset selektif breeding melalui seleksi famili dengan mengutamakan karakter tumbuh cepat dan bebas penyakit (SPF) serta toleran terhadap infeksi WSSV menjadi pilihan mendesak untuk mendapatkan calon induk udang windu dengan sifat fenotype dan genotype yang lebih baik. Dari keberhasilan upaya tersebut diharapkan dapat memotivasi praktisi untuk menggunakan udang windu sabagai species andalan dalam bisnis budidaya per ikanan. Terobosan ini untuk mengantisipasi penurunan karakter genetik udang dan ketergantungan induk alam serta import induk udang dari luar negeri. Dampak lanjut adalah

(3)

memberikan peluang industri hatchery skala komersial untuk memasok kebutuhan benih bagi budidaya tambak.

Materi dan Metode

Keragaman Fenotip

Pelaksanaan riset dilakukan dalam 3 tahapan yaitu: pembenihan dengan menggunakan induk udang windu turunan F-0 yang berasal dari alam. Pembenihan mengacu pada kaidah full sib mating dengan ratio jantan : betina adalah 1:1 agar diperoleh benih dengan famili yang berbeda. Semua aktivitas pembenihan mengacu pada penggunaan induk dengan kondisi SPF yang dilakukan melalui Metode deteksi bebas penyakit terhadap 7 jenis patogen virus, yaitu: TSV, WSSV, IHHNV, YHV, BP, MBV dan HPV. Semua hasil pengujian tersebut harus bersifat negatif terhadap semua infeksi jenis virus. Di samping itu induk udang windu dievaluasi keragaan genetiknya, selanjutnya dipijahkan dengan perangsangan hormonal melalui ablasi tangkai mata. Dalam breeding ini induk udang windu diberikan pakan segar berupa cumi, cacing laut dan kerang sebanyak 15% dari berat total induk udang per hari. Larva udang windu dipelihara dengan pemberian pa kan berupa Chaetoceros ceratosporum, Skeletonema sp., Artemia sp. dan pakan buatan mikroencapsulasi. Kepadatan awal C. ceratosporum pada stadia awal larva sebanyak 5.000–20.000 sel/mL, sedangkan pada stadia lanjut diberikan Skeletonema sp. (25.000-35.000 sel/mL) dan Artemia sp. (5–15 naupli/larva). Sementara, dosis pakan buatan diberikan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam kemasan. Pergantian air dimulai saat stadia zoea–3 hingga stadia postlarva dengan tingkat yang berbeda (15–50%). Riset ini mengaplikasikan seleksi famili yang diperoleh melalui pemijahan induk betina secara terpisah dan benih yang dihasilkan dari masing-masing induk udang windu betina tersebut dipelihara dan diseleksi dengan memilih karakter pertumbuhan, sehat dan keragaan morfologi yang baik.

Pada tahap kedua, benih (F-1) yang diperoleh dari hasil pemijahan induk F-0, diseleksi setelah mencapai stadia juvenil (berat sekitar 5-10 g) berdasarkan karakter pertumbuhan (tumbuh cepat, regular dan lambat). Karakter tersebut diindikasikan dari ukuran besar, sedang dan kecil. Pada waktu yang sama juga dilakukan penandaan (tagging)

menggunakan Visible Implants of fluorescent Elastomer (VIE). Benih yang tumbuh cepat dan regular serta bersifat SPF, dipelihara hingga mencapai ukuran calon induk dalam bak terkontrol dan dipertahankan dalam kondisi biosecure. Pemantauan adanya infeksi virus melalui deteksi secara berkala selalu dilakukan, untuk tindakan pencegahan infeksi. Setiap melakukan tahapan-tahapan tersebut di atas, penerapan Metode biosecurity menjadi bagian utama untuk mengkondisikan sarana dan prasarana hatchery dalam situasi bersih, yaitu melalui sterilisasi peralatan, penggunaan air melalui ultra membran filter, kebersihan hatchery, teknisi dan lain-lain.

Tahap selanjutnya adalah challenge test infeksi WSSV terhadap benih udang yang mempunyai variabilitas pertumbuhan. Pada tahapan tersebut udang diinfeksikan secara oral dan perendaman dalam waktu 96 jam. Penyediaan pakan dalam uji dimulai dengan menginfeksikan WSSV pada udang sehat secara kohabitasi. Udang yang mati digunakan sebagai pakan pada benih udang windu yang diujikan secara oral. Sementara, infeksi melalui perendaman, benih udang dengan variasi pertumbuhan direndam selama 2 jam pada air laut 30 L yang telah diinfeksikan inokulan WSSV. Pengamatan mortalitas dilakukan dengan interval waktu setiap 24 jam pemaparan.

Keragaman Genotip

Pengujian karakter genotip dilakukan dengan mengekstrasi total DNA induk udang windu (F-0) dan benih udang generasi pertama (F-1) ukuran besar, sedang dan kecil mengikuti Metode Ovenden (2000) dengan beberapa modifikasi. Purifikasi genome DNA dengan menggunakan Kit QIA quick Purification (Cat. No.28104 QIAGEN) dan metode mengikuti manual yang ada dalam kit (kemasan). Hasil purifikasi merupakan genom DNA yang murni dengan konsentrasi tinggi untuk amplifikasi PCR.

Amplifikasi DNA dengan speedy PCR dengan menggunakan kit Go taq polymerase (Promega). Primer yang digunakan adalah universal primer 2AAM2, AS-15, AS-14 dan LS-21 dengan kosentrasi 25 pmol. Reaksi PCR dengan total volume 10 µL digunakan 5x Buffer (2,0 µl); 0,2 µL dNTP mix (10 mM); 1,5 µL MgCl2 (25 mM); 1,0 µL Primer (25 pmol); 0,2 µL Taq polimerase; H2O sebanyak 4,1 µL dan genom DNA: 1.0 µL

(4)

(15–20 ng/µL). Thermocycle PCR sebanyak 35 siklus, dengan awal denaturasi 95ºC selama 120º detik, denaturasi dengan suhu 95ºC (5 detik), a nnealing 55ºC (10 detik) dan ekstensi 72ºC (30 detik), sedangkan ekstensi akhir 72ºC (120 detik). Lama amplifikasi PCR ini hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit.

Selanjutnya analisis genotip menggunakan metode SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism). Dalam analisis tersebut digunakan Gel polyacrilamid (Genegel Clean Excel 15/24) yang telah mengalami rehydration. Fragmentasi hasil amplifikasi PCR dielektroforesis dengan Genphore yang telah dimediasi oleh ddH2O agar gel t idak melekat langsung pa da chamber Genphore. Selanjutnya sampel uji dimasukkan ke dalam sumuran yang ada pada polyacrilamid gel sebanyak 6 uL. Arus listrik dialirkan dari negatip ke positip digunakan 2 lembaran blot paper yang berfungsi sebagai jembatan (bridge) buffer. Fragmentasi gen dala m polya crilamid gel dikondisikan pada suhu 15oC selama 45 menit.

Pada proses pewarnaan dengan kit metode silver staining, setiap tahap perendaman gel polyacrilamid menggunakan shaker agar larutan dapat merendam seluruh permukaan gel. Tahapan pewarnaan meliputi fixing (90 menit), pewarnaan (staining) selama 30 menit, developing (8-10 menit) dan penghentian proses pewarnaan (30 menit). Preservasi gel polyacrilamid dengan cara

dikering-anginkan pada suhu ruang dengan posisi vertikal. Setelah gel polyacrilamid kering, dilakukan penghitungan dan pembacaan pita (fragmen) DNA yang terekspresi.

Hasil pengamatan fenotip dan genotip dianalisis dengan menggunakan software genetic TFGPA (Tool for Genetic Population) serta analisa data secara deskriptif dan tabulasi.

Hasil dan Pembahasan

Keragaman Karakter Fenotip

Hasil pembenihan ya ng dilakukan menggunakan induk alam, berasal dari perairan Aceh (F-0) dengan panjang 25,09–25,60 cm dan berat 153,40–166,90 g pada induk betina dan 19,64–21,20 cm dan 69,68–82,0 g pada induk jantan, menunjukkan fekunditas telur dan laju penetasan telur (HR) yang bervariasi (Tabel 1). Induk udang sebanyak 35 pasang, setelah dilakukan ablasi pada induk betina, tidak semua induk udang betina memberikan respon kemata ngan gona d dan mengalami pemijahan serta menghasilkan fekunditas dan daya tetas telur yang tinggi. Seringkali induk udang tidak memijah dan gonad diserap kembali atau induk udang memijah secara partial, jumlah telur sedikit, telur tidak dibuahi (infertil) atau telur tidak dapat berkembang sempurna untuk menetas menjadi larva. Dari induk yang ada hanya 16 ekor yang memberikan respon kematangan gonad. Tabel 1.Hasil pemijahan induk P. monodon dan persentase penetasan telur menjadi nauplii pada tahap

pembenihan

Induk Pemijahan (telur) Jumlah Nauplii (ekor)

I II III I II III -1 370.666 278.666 (75%) -2 893.333 607.999 47.222 (7,77%) unhatch -3 549.333 673.333 411.999 (61,2 %) unhatch -6 648.000 326.666 (71,19%) -7 361.333 528 303.999(84 %) 333.333 ( 63%) -8 465.333 386 553.333 70.400(15,14%) unhatch unhatch -9 495.999 649.333 486.666 unhatch 193.333 (29,7%) 358.666 (73,7%) -11 454.666 unhatch -13 478.666 497.333 336.000 241.333(50,41%) 218.666 (43,96%) 89.333 (26,5 %) -14 307.999 822.666 321.200 (100%) unhatch -15 698.666 493.333 310.400 (44,42%) unhatch -16 626.666 717.333 unhatch unhatch -21 109.333 44.000 29.319 unhatch 2.666 (6,05 %) unhatch -19 481.333 567.999 711.999 406.666(84 %) 117.333 (20%) unhatch -22 321.333 unhatch -23 101.333 unhatch

(5)

Rata–rata fekunditas telur yang diperoleh antara 101.000–698.000 butir dengan daya tetas telur berkisar 7,7–100%.

Namun, hingga akhir pembenihan ternyata hanya 9 famili yang dapat menghasilkan benih hingga dilakukan seleksi pertumbuhan. Pada udang Penaeid, fekunditas telur sangat dipengaruhi oleh nutrisi, lingkungan dan proses hormonal pada tubuh udang. Induk udang dengan pemberian nutrisi yang baik dan seimbang serta lingkungan yang memadai, dimungkinkan akan menghasilkan fekunditas telur yang tinggi. Sementara, daya

teta s telur sangat dipengaruhi oleh pr oses perkembangan embrio dalam telur, ketersediaan energi untuk pembelahan.

Selektif breeding yang telah dilakukan terhadap sifat SPF pada udang P. monodon pada turunan F-1 melalui det eksi 7 virus (WSSV, TSV, YHV, BP, IHHNV, HPV, MBV ) menunjukkan udang bersifa t SPF. Dari sejumlah benih yang dihasilkan dan merupakan calon induk, dipelihara dengan aplikasi biosekuriti yang ketat dan penggunaan air melalui membran ultra filter (0,05 µm).

Tabel 2.Hasil analisis karakter SPF (Specific Pathogen Free) melalui deteksi tujuh jenis virus pada induk alam (F-0) dan benih generasi pertama (F-1) udang windu P. monodon

Sampel Deteksi Virus

BP HPV IHHNV MBV TSV WSSV YHV Induk (F-0) - 2 - - - -- 3 - - - --6 - - - -7 - - - --8 - - - --9 - - + - - - --13 - - - --14 - - - --15 - - -

-Benih generasi pertama F1

- 2 - - - -- 3 - - - --6 - - - --7 - - - --8 - - - --9 - - - --13 - - - --14 - - - --15 - - -

-Tabel 3. Prosentase populasi benih udang windu (P. monodon) generasi pertama (F-1) dengan perbedaan pertumbuhan dari hasil seleksi breeding

INDUK Ukuran Besar Ukuran Sedang Ukuran Kecil Jumlah ekor (%) size ekor (%) size ekor (%)

-2 185 (17,16%) 651 (60,39%) 242 (22,45%) 1.078 - 3 228 (50,11%) 189 (41,54%) 38 (8,35%) 455 -6 313 (33,12%) 529 (55,98%) 103 (10,90%) 945 -7 578 (49,23%) 516 (43,95%) 80 (6,81%) 1.174 -8 418 (42,52%) 490 (49,89%) 75 (7,63%) 983 -9 235 (37,36%) 348 (55,32%) 46 (7,31%) 629 -13 322 (33,47%) 527 (54,78%) 113 (11,75%) 962 -14 245 (43,21%) 261 (46,03%) 61 (10,76%) 567 -15 198 (32,83%) 374 (57,54%) 58 (9,61%) 630 Total 2.722 (37,67%) 3.885 (51,71%) 816 (10,62%) 7.423

(6)

Hasil analisis terhadap karakter SPF pada induk udang windu (F-0) pada saat akan dipijahkan dan benih udang windu generasi pertama (F-1) yang dihasilkan terhadap 7 jenis virus (BP, HPV, IHHNV, MBV, TSV, WSSV, YHV) menunjukkan bahwa induk -9 terinfeksi IHHNV. Namun bila dilihat dari hasil deteksi pada benih genera si per tama (F-1) turunan induk betina -9 terlihat negatif terinfeksi IHHNV (Tabel 2). Hal ini nampaknya bahwa induk–induk F-0 yang terinfeksi IHHNV tidak menularkan pada generasi pertama (F-1). Terlihat bahwa benih udang windu generasi pertama (F-1) tidak ada infeksi virus, sehingga dapat dikatakan bahwa benih bersifat SPF

Adanya hasil deteksi positip terinfeksi virus IHHNV kemungkinan disebabkan oleh kontaminasi dan bukan adanya replikasi copy DNA virus pada sel udang. Kontaminasi virus pada tubuh udang seringkali terjadi pada promoter yang tidak dapat dikode oleh DNA sel udang atau DNA virus, sehingga tidak terjadi replikasi copy DNA virus. Sementara, bila terjadi replikasi, maka DNA virus akan mengkode promoter DNA sel udang sehingga akan menghasilkan sejumlah copy DNA virus yang eksponensial dalam waktu tertentu.

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa populasi udang stadia juvenil dengan pertumbuhan cepat sebesar 37,67%, sedangkan udang dengan pertumbuhan lambat sebesar 10,62% dan udang dengan pertumbuhan sedang/reguler sebesar 51,71%. Dengan kenyataan populasi udang tumbuh cepat relatif rendah, maka seleksi breeding yang dilakukan harus menghasilkan banyak famili, sehingga jumlah individu udang berukuran besar dapat terkumpul lebih banyak. Dari hasil seleksi tahap pertama tersebut, maka pemeliharaan juvenil udang selalu dipant au kara kter SPF dan pertumbuhannya serta dilakukan penandaan (tagging) menggunakan VIE.

Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan udang generasi F-1 udang windu hasil seleksi menunjukkan berat dan panjang rata-rata antara 18,80–27,9 g dan 12,9–15,5 cm untuk ukuran besar, sedangkan untuk ukuran sedang diperoleh berat dan panjang antara 10,2–16,2 g dan 10,1–13,4 cm. Udang berukuran kecil ha sil seleksi hanya menunjukkan berat 4, 6–6,9 g dan panjang 4,6–6,9 cm. Nampak bahwa calon induk udang generasi pertama (F-1) dari semua turunan induk betina (F-0) menunjukkan pertumbuhan yang pesat kecuali induk -2. Hal ini sangat berhubungan

dengan persentase hasil seleksi yang diperoleh pada awal dimulainya seleksi. Induk udang dengan kode -2, memberikan persentase pertumbuhan cepat sebesar 17,16% dalam populasi keseluruhan udang yang dipelihara dalam bak yang sama. Dengan indikator keragaan fenotipe yang tercermin dari besar persentase tumbuh cepat tersebut, maka terlihat kecenderungan bahwa generasi pertama (F-1) berpotensi membawa karakter genotipe dengan pertumbuhan cepat.

Pertumbuhan calon induk hasil seleksi terlihat meningkat tajam mulai bulan ke dua pemeliharaan. Kondisi ini kemungkinan berhubungan dengan dila kukan seleksi secara berkala, sehingga kepadatan udang dalam bak pemeliharaan semakin berkurang, menyebabkan persaingan pakan, ruang dan lingkungan menjadi sedikit.

Hasil uji tantang terhadap infeksi WSSV pada udang generasi F-1 yang tumbuh cepat, sedang dan lambat menunjukkan hasil yg relatif berbeda, seperti tertera pada Tabel 4. Terlihat bahwa uji tantang WSSV melalui oral memberikan efek mortalitas yang lebih tinggi dari pada perendaman. Pada pemaparan 72 jam, benih ukuran besar mengalami mortalitas 12–80%, sedangkan mortalitas benih ukuran sedang dan kecil masing-masing sebanyak 42–82% dan 28–72%. Hanya benih udang dari turunan induk -20 mortalitas tinggi pada infeksi oral terlihat pada pemaparan 96 jam. Sementara pada perendaman hampir semua benih udang ukuran besar, sedang dan kecil mengalami mortalitas pada pemaparan WSSV selama 96 jam, walaupun juga diperoleh benih udang yang bertahan hidup hingga akhir waktu pemaparan secara oral. Hal ini diduga dengan jumlah copy DNA virus dalam tubuh benih udang yang dapat ditoleransi secara individual, sehingga infeksi WSSV hanya bersifat latent. Disamping itu, diduga benih udang hasil seleksi breeding ada yang mempunyai gen pengontrol terhadap toleransi terhadap WSSV. Menurut pendapat Silverstein (2005) bahwa dalam populasi ikan yang diinfeksikan dengan jenis penyakit tertentu yang mematikan, maka ada beberapa individu yang bertahan hidup. Bila dilakukan analisa molekuler (AFLP/microsatelit) maka terekspresi gen tertentu pengontrol ketahanan terhadap infeksi penyakit (Dong et al., 2008).

Keberhasilan pemeliharaan spesies udang akan langsung berhubungan dengan potensinya beradaptasi terhadap lingkungan. Demikian pula adanya spesifik pathogen dapat juga menginfeksi

(7)

semua populasi bila terjadi homogenitas genetik pada kondisi yang memadai, sehingga dapat terjadi tidak ada individu yang resisten terhadap penyakit (Gitterle et al., 2005a)

Nampak dari hasil perhitungan heterozigositas, bahwa udang generasi pertama (F-1) dengan pertumbuhan cepat mempunyai nilai yang lebih tinggi (0,6633) yang tidak berbeda nyata dengan benih F-1 ukuran sedang (0,6627) sedangkan

benih ukur an kecil sebesar 0,5512. Nilai heterosigositas generasi pertama yang lebih tinggi dari pada induk F-0, dimungkinkan adanya segregasi gen pada turunan F-1 yang terekspresi secara jelas dalam analisis. Selain itu, mengingat adanya perkawinan udang dalam kondisi random mating dan masal, sehingga peluang terjadinya mating antara jantan dan betina dengan genotipe berbeda sangat besar, akibatnya akan menghasilkan turunan Tabel 5. Genotip dan allel frekuensi pada lokus yang terdeteksi pada induk (F-0) dan generasi pertama

(F-1) udang P. monodon hasil seleksi famili

Generasi udang N Genotipe Frekuensi Allel Heterosigositas

B C D E F-0 14 B 0,5185 0,0000 0,0000 0,0000 8 C 0,0000 0,2963 0,0000 0,0000 0,6091 5 D 0,0000 0,0000 0,1852 0,0000 F-0 1 B 0,0323 0,0000 0,0000 0,0000 26 C 0,0000 0,8387 0,0000 0,0000 0,2872 2 D 0,0000 0,0000 0,0645 0,0000 2 E 0,0000 0,0000 0,0000 0,0645 F-1 besar 5 B 0,3571 0,0000 0,0000 0,0000 1 C 0,0000 0,0714 0,0000 0,0000 0,6633 6 D 0,0000 0,0000 0,4286 0,0000 2 E 0,0000 0,0000 0,0000 0,1429 F-1 sedang 4 C 0,0000 0,3077 0,0000 0,0000 5 D 0,0000 0,0000 0,3846 0,0000 0,6627 4 E 0,0000 0,0000 0,0000 0,3077 F-1 kecil 1 C 0,0714 0,0000 0,0000 0,0000 6 D 0,0000 0,4286 0,0000 0,0000 0,5512 7 E 0,0000 0,0000 0,5000 0,0000

Tabel 4. Mortalitas komulatif (%) udang windu P.monodon setelah diuji tantang dengan WSSV melalui infeksi oral.

No.Family Ukuran benih Mortalitas (%)

24 H 48 H 72 H 96 H

Oral Rendam Oral Rendam Oral Rendam Oral Rendam

-1 Besar 10 10 46 38 68 72 - -Sedang 6 0 56 24 82 36 - 62 Kecil 26 10 48 28 60 34 - 52 -2 Besar 4 0 36 6 52 14 - 44 Sedang 8 0 54 10 70 22 - 42 Kecil 20 8 60 28 72 52 - _ -3 Besar 16 2 64 8 80 20 - 68 Sedang 10 2 60 8 76 28 - 78 Kecil 0 0 56 44 82 84 - --4 Besar 4 6 10 26 12 38 46 52 Sedang 10 4 40 12 56 12 72 40 Kecil 2 6 18 28 28 40 50 52 -5 Besar 4 4 36 32 68 60 - 72 Sedang 22 4 36 46 42 74 - -Kecil 12 22 66 50 70 64 -

(8)

-yang mempunyai heterosigositas lebih bervariasi. Dengan demikian akan terjadi benih turunan generasi pertama F-1 yang mempunyai keragaman genetik lebih baik atau menyerupai induk udang F-0. Dari Tabel 5 terlihat bahwa heterosigositas benih generasi pertama (F-1) tumbuh cepat, regular dan lambat nampak tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dimengerti bahwa kemungkinan ada aliran gen yang dominan dari F-0 jantan mengingat induk jantan mempunyai heterosigositas yang tinggi

dibandingkan induk betina. Namun demikian, genotipe induk udang betina (F-0) dan benih F-1 yang tumbuh cepat lebih variatif dibandingkan induk jantan (F-0) dan benih F-1 tumbuh regular dan lambat.

Keragaan genetik udang P. monodon terlihat jauh lebih baik bila dibandingkan dengan keragaan genetik udang L. vannamei, mengingat udang ini belum mengalami selektif breeding. Dari beberapa sumber induk yang telah dipetakan secara genetik

Gambar 1. Genotype udang windu, P. monodon generasi pertama (F-1) ukuran besar (A), sedang (B) dan kecil (C) yang dianalisis dengan menggunakan Metode SSCP

(9)

(Sugama et al., 2002), maka induk yang berasal dari perairan Aceh dan Timika (Papua) mempunyai heterozigositas yang tinggi. Hal ini sebenarnya sangat menguntungkan bagi aktifitas seleksi, baik individu atau famili. Walaupun pada turunan F-1, benih udang sudah mengalami penur unan heterozigositas sebesar 26,5% (Imron et al., 1999). Terbukti pula bahwa keragaan genetik pada udang P. monodon dengan perbedaan pertumbuhan, ternyata ukuran besar pada calon induk udang mempunyai heterozigositas yang tinggi. Hal ini sangat menguntungkan bagi selektif breeding, sementara induk yang bersifat homozigot cenderung menghasilkan benih yang berukuran kecil.

Sela ma proses pembenihan dapat menyebabkan hilangnya beberapa alel penting yang disebabkan oleh adanya penghanyutan gen dan frekuensi alel secara gradual dalam populasi yang kecil (Kenway et al., 2006). Demikian pula nilai heterosigositas yang berfluktuasi akan berpengaruh terhadap pola pertumbuhan dan bentuk tubuh (asymetry) serta terdapat korelasi yang positip antara rata-rata heterozigositas dengan keragaman morfologi (Gitterle et al., 2005). Data dari 97 spesies krustasea yang ada, menunjukkan bahwa level polimorfisme kelompok tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok ikan yang mempunyai nilai heterozigositas rata-rata lebih tinggi.

Proses terjadinya bottleneck dari material genetik harus dipertimbangkan, yaitu dengan adanya pengurangan porsi total genetic pool yang tersedia pada populasi alam dan populasi induk yang ada dari hasil pemeliharaan. Di samping itu juga masalah dalam proses domestikasi melalui selektif breeding, yaitu peningkatan tingkat kekerabatan antar individu. Dalam jangka panjang effek ini dapat memberikan perbedaan nyata terhadap reduksi genetik diversitas pada stok kultur (Anonymous, 2003).

Dengan diketahui adanya perbedaan ekspresi gen pada analisis SSCP maka nampak bahwa fragment DNA pada udang yang tumbuh cepat lebih banyak dan mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan fragment DNA pada udang yang tumbuh regular maupun lambat. Perbedaan berat molekul pada udang tumbuh cepat antara 430–450 bp, sedangkan pada udang tumbuh lambat hanya sekitar 200–265 bp (Gambar 1). Setelah dilakukan cluster terlihat bahwa ada beberapa pasangan basa yang tidak terlihat pada udang tumbuh lambat. Hal ini dimungkinkan bahwa pertumbuhan cepat

dikontrol oleh gen yang dapat digunakan sebagai penanda genetik dalam selektif breeding.

Hingga kini domestikasi untuk perbaikan mutu genetik pada udang P. monodon melalui selektif breeding masih berlangsung, dengan proporsi produksi masih rendah dari stok domestikasi (< 5%). Dengan demikian belum memberikan dampak nyata pada produksi. Sementara, pada udang L. vannamei, semua produksi di Asia dan Amerika merupakan hasil dari stock domestikasi, pada saat sekarang mencapai kisaran 50-80%. Namun demikian, stok domestikasi merupakan derivat dari perbaikan lines (galur) sedangkan perbaikan genetic belum direalisasikan hingga pada rantai penyediaan benih unggul. Upaya merealisasikan pengontrolan karakter genetik induk P. monodon melalui selektif breeding untuk mengantisipasi ketergantungan eksploitasi di alam terus dilakukan. Keterpaduan institusi riset, perekayasa dan pembudidaya harus ditingkatkan untuk mendukung keberhasilan penyediaan induk melalui selektif breeding.

Kesimpulan

1. Seleksi famili udang windu (P. monodon) dari induk alam (F-0) menghasilkan 9 famili benih generasi pertama (F1) dengan keragaaan fenotype tumbuh cepat dan bersifat SPF sebanyak 2.722 ekor dengan rata-rata panjang 12,9–15,5 18,8–27,9 cm dan berat tubuh 18,8–27,9 g.

2. Keragaan genotip induk udang (F-0) jantan dan betina mempunyai heterozigositas masing-masing sebesar 0,6091 dan 0,2872. Benih generasi pertama (F-1) tumbuh cepat, sedang/ regular dan lambat mempunyai heterozigositas masing-masing sebesar 0,6633; 0,6627 dan 0,5512.

3. Penanda gen untuk tumbuh cepat dengan fingerprinting ditunjukkan pada gen dengan berat molekul 430–450 bp serta susunan sequence DNA yang berbeda bila dibandingkan pada penanda gen udang tumbuh lambat.

Ucapan Terima Kasih

Kepa da reka n-rekan teknisi litka yasa kelompok Bioteknologi BBRPBL Gondol, diucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama dan bantuannya dengan penuh tanggung jawab sehingga riset ini dapat terlaksana dengan baik.

(10)

Daftar Pustaka

Anonymous. 2003. Genetic improvement of Litopenaeus

vannamei in Brazil. Global Aquaculture Advocate, (February): 27–28.

Benzie, J.A.H. 2000. Population genetic structure of penaeid prawns. Aquaculture.Res., 31: 95–119. Benzie, J.A.H., E. Ballment, A.T. Forbes, N.T.

Dementriades, K. Sugama, Haryanti and S.B. Moria. 2002. Mt DNA variation in Indo-Pacific populations of the giant tiger prawn, Penaeus

monodon. Molecular Ecology, 11: 2553–2569.

Dong, S., J. Kong, X. Meng, Q. Zhang, T. Zhang and R. Wang. 2008. Microsatellite DNA markers associated with resistance to WSSV in Penaeus (Fenneropenaeus) chinensis. Aquaculture, 282: 138–141.

Duda Jr., T.F. and S.R. Palumbi. 1999. Population structure of the black tiger prawn, Penaeus

monodon among Western Indian Ocean and

Western Pacific populations. Mar. Biol., 134: 705–710.

FAO. 2005. Yearbook of Fisheries Statistics, Fishery commodities.

Gitterle, T., M. Rye, R. Salte, J. Cock, H. Johansen, C. Lozano, J.A. Suarez and B. Djerde. 2005. Genetic (co)variation in harvest body weight and survival in Penaeus (Litopenaeus) vannamei under standard commercial conditions. Aquaculture, 243: 83–92.

Gitterle, T., R. Salte, B. Gjerde, J. Cock, H. Johansen, M. Salazar, C. Lozano and M. Rye. 2005a. Genetic (co)variation in resistance to white spot syndrome virus (WSSV) and harvest weight in Penaeus (Litopenaeus) vannamei. Aquaculture, 246: 139–149.

Gunarto, Muslimin, Muliani dan Sahabuddin. 2006. Analisa kejadian serangan white spot syndrome virus (WSSV) dengan beberapa parameter kualitas air pada budidaya udan g windu men ggun akan sistim tan don dan pr obiotik. Jurnal Riset Akuakultur, 1(2): 255–270.

Haryanti, I.G.N. Permana, I.K. Wardana, A. Muzaki dan Fachrudin. 2006. Selektif breeding SPF (Specifik Pathogen Free) untuk udang windu, Penaeus

monodon F-1. Laporan Teknis Balai

Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol. 11 hlm.

Haryanti dan Sugama. 2007. Perbaikan mutu dan genetika udang. Kumpulan makalah Bidan g Riset

Perikanan Budidaya. Simposium Kelautan dan Perikanan Hotel Bidakara Jakarta, 7 Agustus 2007: 8 hlm.

Imron, K. Sugama, K. Sumantadinata and K. Soewardi. 1999. Genetic variation in cultured stocks of tiger shr imp (Penaeus monodon) in Indonesia.

Indonesian Fisheries Research Journal, 5(1):

10–18.

Kenwey, M., M. Macbeth, M. Salmon, C. McPhee, J. Benzie, K. Wilson and W. Knibb. 2006. Heritability and genetic correlations of growth and survival in black tiger prawn P. monodon reared in tanks.

Aquaculture, 259: 138–145.

Klinbunga, S., D.J. Penman, B.J. Mc Andrew, A. Tassanakajon and P. Jarayabhand. 1998. Genetic variation, population differentiation, and gen flow of the giant tiger shrimp (Penaeus monodon) inferred from mtDNA-RFLP data. In Flegel, TW. (Ed.), Advances in Shrimp Biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok, pp. 51–59.

Lester, L.J. 1983. Developing a selective breeding pr ogr am for pen aeid shrimp maricultur e.

Aquaculture, 33: 41–50.

Moria, S.B., Haryanti, I.G.N. Permana dan K. Sugama. 2002. Mar kah gen etik un tuk var iabilitas pertumbuhan udang windu, Penaeus monodon dari sumber induk berbeda melalui analisa mt-DNA RFLP. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 8(5): 1–9.

Moria, S.B., I.G.N. Permana dan Haryanti. 2003. Analisa mt-DNA dari benih asal induk udang windu,

Penaeus monodon dari perairan yang berbeda. Aquaculture Indonesia, 4(1): 19–27.

Ovenden, J. 2000. Development of restriction enzyme markers for red snapper (Lutjanus erythropterus and Lutjanus malabaricus) stock discrimination using genetic variation in mitochondria DNA. Molecular Fisheries Laboratory, Southern Fisheries Centre. 20 pp.

Permana. 2009. Analisa sifat toleran udang Litopenaeus

vannamei terhadap infeksi taura syndrome virus

(TSV). Thesis Magister Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang . 65 hlm.

Silverstein, J.T. 2005. Gen etic impr ovemen t aquaculture. Global Aquaculture Advocate, 6(1): 50–53.

Sugama, K., Haryanti, J.A.H. Benzie and E. Ballment. 2002. Genetic variation and population of the giant tiger prawn, Penaeus monodon, in Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

FAST ( Framework for The Application of Sistem Thinking ) adalah salah satu metode yang dapat digunakan dalam analisis berbagai kebutuhan dan persyaratan sebuah sistem

Selama proses pendampingan keluarga Bapak Jero Madri terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh penulis yaitu sebagai berikut. a) Sulitnya bertemu dengan kepala keluarga karena

Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “

Dari kegiatan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa Perpustakaan dan Arsip (BPA) Kota Pekanbaru hadir sebagai salah satu wujud keseriusan Pemerintah Kota

Taggart yang terdiri dari perencanaan (plan), pelaksanaan dan observasi (action and observation), dan refleksi (reflection) yang diterapkan. Model tersebut diterapkan

• Perbedaan antara proses dengan thread tunggal dengan proses dengan thread yang banyak adalah proses dengan thread yang banyak dapat mengerjakan lebih dari satu tugas pada satu

Sangat terhambat, tanah dengan konduktivitas hidrolik sangat rendah dan daya menahan air sangat rendah, tanah basah secara permanen dan tergenang untuk waktu yang cukup lama sampai

– Stakeholder proyek akan dapat lebih memahami apa yang mereka butuhkan hanya setelah memeriksa iterasi awal dari perangkat lunak.. – Banyak hal yang berubah begitu cepatnya