• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berperan dalam mengoreksi setiap penyimpangan sosial dan politik serta berani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. berperan dalam mengoreksi setiap penyimpangan sosial dan politik serta berani"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gerakan mahasiswa sangat identik dengan gerakannya yang massif dan berperan dalam mengoreksi setiap penyimpangan sosial dan politik serta berani membela rakyat yang tertindas atas dasar keadilan. Hal inilah yang memicu kuatnya identitas gerakan sosial pada gerakan mahasiswa sehingga dapat menjadi kekuatan pendobrak dalam proses perubahan di masyarakat. Sejarah telah mencatat bahwa gerakan mahasiswa memiliki andil yang sangat besar pada beberapa proses transisi di negara ini.

Jika kita melihat sejarah gerakan pemuda dan mahasiswa di Indonesia, kita akan melihat peran penting yang selalu dimainkannya ketika bangsa ini sedang mengalami keadaan yang kritis. Para pemuda dan mahasiswa adalah pencetus Sumpah Pemuda tahun 1928. Kemudian kita kembali melihat peran mereka dalam gerakan-gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan sebelum tahun 1940-an dan juga ketika revolusi kemerdekaan tahun 1945 dicetuskan. (Ingat, Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok untuk “dipaksa” membacakan Proklamasi Kemerdekaan bangsa ini pada tanggal 17 Agustus 1945). Mereka kemudian muncul lagi pada tahun 1966, dan yang juga menarik perhatian adalah mereka –meminjam istilah Arief Budiman- sebagai bintang lapangan dalam peristiwa reformasi 1998 dalam menggulingkan Rezim Soeharto (Arief Budiman dalam Sanit, 1999 : xii).

Peristiwa 1998 di saat barisan mahasiswa berhasil menumbangkan Presiden Soeharto dan menaklukkan Orba, semakin mengukuhkan kebenaran

(2)

2 predikat mahasiswa sebagai agent of change. Tumbangnya Soeharto merupakan buah estafet dari beberapa peristiwa gerakan mahasiswa, mulai angkatan 1974, 1977/1978, 1980-an dan 1990-an; yang didukung oleh elemen pro demokrasi lainnya. Masing-masing angkatan sedikit atau banyak memiliki kontribusi dalam perjuangan melengserkan Soeharto. Pada masa angkatan 1974, gerakan mahasiswa sudah muncul dengan mengoreksi kinerja pemerintahan Soeharto. Gerakan mahasiswa angkatan 1977/1978, sudah menyuarakan perlunya meminta tanggung jawab Soeharto sebagai Presiden (Lihat Budiyarso : 2000). Hanya saja, berbeda dengan angkatan 1998, gerakan mahasiswa sebelumnya tidak mampu mencari garis kemenangan karena kapasitas perlawanan mereka belum sebanding dengan kekuatan Orba. Oleh sebab itu, mahasiswa generasi 1998 sangat tepat jika disebut “generasi pemetik bunga” (A. Prasetantoko, Ign, dkk, 2001 : 75). Keberhasilan mereka dimungkinkan oleh pematangan situasi, yaitu didukung oleh krisis ekonomi, konflik politik elit dan delegitimasi rezim, serta dukungan yang luas dari hampir seluruh elemen rakyat.

Jatuhnya Soeharto bukanlah tujuan akhir perjuangan mahasiswa. Tapi karena Soeharto diyakini sebagai pusat segala persoalan, maka jatuhnya Soeharto berarti sebuah perintang utama mencapai perubahan telah disingkirkan. Gerakan mahasiswa sejak era transisi terus berlanjut, kendati gelombang pasang surut. Pada masa pemerintahan Habibie, resistensi mahasiswa masih berada dalam gelombang pasang. Meskipun begitu, skala keterlibatannya dalam aksi-aksi telah menyusut secara signifikan. Peran mahasiswa saat penggulingan Soeharto yang melibatkan seluruh eksponen mahasiswa di Indonesia. Yang tersisa kemudian

(3)

3 hanyalah sebagian kecil mahasiswa, yang tersebar di sejumlah kota di mana Jakarta paling dominan (Manan, 2005 : 179)

Kenyataan kemudian adalah semangat perjuangan mahasiswa pada era transisi menyurut padam. Gerakan mahasiswa mengalami disorientasi, fragmentasi, dan berkurangnya militansi. Disorientasi terjadi terutama disebabkan raibnya common enemy (Soeharto) yang sebelumnya mempersatukan mereka. Setelah Soeharto runtuh, gerakan mahasiswa kehilangan isu sentral untuk menjaga jalinan kebersamaan yang sudah terbangun.

Amien Rais menilai gerakan mahasiswa pascakejatuhan rezim Soeharto telah mengalami perubahan besar, perubahan yang justru tidak menuju ke arah yang baik. Gerakan mahasiswa kini seolah-olah mati suri. Aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan pemerintah tak lagi banyak digelar (Kompas 19 Desember 2005). Bila melihat informasi yang sering diberitakan di media, memang ada kecenderungan menurun bila dilihat dari kuantitas dan kualitas aksi mahasiswa. Berdasarkan penelurusan dokumentasi media, aksi-aksi mahasiswa sangatlah menyeruak menjelang reformasi. Kuantitas massa aksi antara 100 hingga 50.000 orang (penulusuran Kompas tahun 1998). Saat menjelang reformasi, masyarakat dan beberapa kalangan elite pun juga turut mendukung bahkan ikut turun ke jalan. Semisal aksi mahasiswa UI pada tanggal 25 Februari 1998 yang diikuti oleh sesepuh UI dan beberapa Guru Besar (Kompas, 26 Februari 1998). Juga Aksi mahasiswa Unair pada tanggal 28 Februari 1998 juga dihadiri oleh Guru Besar dan Pengajar di kampus tersebut (Kompas, 29 Februari 1998).

(4)

4 Pasca Reformasi, praktis terjadi penurunan jumlah massa aksi dan kualitas aksi itu sendiri. Berdasarkan penelurusan dokumentasi media antara edisi sesudah tahun 1998, jumlah massa aksi yang turut menjadi peserta hanya antara 50 (atau bahkan lebih sedikit dari itu) sampai 1500 orang. Secara kualitas aksi juga cenderung tidak didukung masyarakat, bahkan terkesan merugikan. Contohnya pemberitaan penyanderaan mobil tangki oleh oknum mahasiswa di Sulawesi sebagai aksi menolak kenaikan BBM pada 26 Januari 2002, malah dirasa merepotkan warga (Kompas, 27 Januari 2002). Bahkan sempat terjadi adanya aksi yang kontra produktif dengan awak media semisal adanya kasus penyekapan empat wartawan oleh oknum mahasiswa di Yogyakarta pada tanggal 29 Agustus 2002 (Kompas, 28 Agustus 2002).

Sebagai salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam proses reformasi 1998, bisa dimengerti bila Amien gelisah dengan perkembangan gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Kegelisahan atas menurunnya aktivisme gerakan mahasiswa dirasakan bukan hanya oleh tokoh-tokoh seperti Amien Rais atau para aktivis yang pernah terlibat langsung dalam menurunkan rezim Soeharto, tetapi juga oleh para aktivis gerakan mahasiswa yang masih terlibat aktif berorganisasi. Artinya, selain pihak “luar”, aktivis gerakan mahasiswa sendiri turut merasakan adanya penurunan elan vital aktivismenya. Indikator yang digunakan Amien Rais untuk menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa seolah-olah mati suri memang tertuju pada kuantitas aksi gerakan mahasiswa yang makin menurun pada era reformasi ini. Tidak hanya kuantitas, kualitas dari aksi-aksi yang digelar gerakan mahasiswa pun perlu dicermati. Sebab, bila indikator untuk menilai aktivisme gerakan mahasiswa hanya terkonsentrasi pada kuantitas demonstrasi yang

(5)

5 dilakukan dalam sebuah periode tertentu, realitas yang ada dalam dinamika gerakan mahasiswa tidak akan tertangkap seluruhnya. Konkretnya, ukuran banyaknya aksi bisa jadi bukan menggambarkan realitas sesungguhnya dari dinamika gerakan mahasiswa. Di era yang relatif semakin terbuka untuk menyuarakan pendapatnya, mengukur kondisi gerakan mahasiswa hanya pada kuantitas aksi demonstrasi bisa menghasilkan kesimpulan yang bias (Maulana, www.yusufmaulana.com/2009/03/senjakala-demonstrasi-gerakan

mahasiswa_31.html, akses 9 April 2013)

Lantas, menjadi menarik untuk mengkaji kembali tentang aktivisme gerakan mahasiswa pasca reformasi dalam konteks kekinian. Pernyataan Amien Rais yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa telah mati suri sepertinya perlu dikaji ulang. Atau bisa jadi, bentuk aksi kolektif gerakan mahasiswa berupa aksi demontrasi, sudah bereproduksi ke dalam bentuk-bentuk aksi kolektif lainnya, sekalipun demonstrasi tetap menjadi salah satu aksi kolektif yang dipertahankan. Mengingat gerakan mahasiswa saat ini sudah semakin jauh fragmentasinya, maka yang bisa dilakukan adalah meneliti lebih dalam salah satu kelompok yang pernah menjadi aktor reformasi 1998 yang bentuk organisasinya masih bisa dilacak hingga saat ini. Salah satu kelompok tersebut adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

KAMMI dijadikan sebagai obyek dalam penelitian mengingat ormas ini lahir dan bergerak pertama kalinya di masa reformasi dan pasca reformasi hingga saat ini masih terus berjalan dan berkembang. Yang menjadi menarik adalah KAMMI terkenal di masa reformasi dahulu sebagai ormas yang bermassa paling besar dalam aksi-aksi demonstrasi yang menguatkan jati diri sebagai suatu

(6)

6 gerakan mahasiswa yang layak diperhitungkan. Akan tetapi, mengikut fenomena menurunnya gerakan mahasiswa seperti yang diuraikan tadi, KAMMI pun tak luput dari sorotan. Oleh karena itu, menjadi relevan untuk dilakukan penelitian tentang gerakan KAMMI pasca reformasi.

B. Masalah Penelitian

Dari latar belakang di atas, dirumuskan masalah yang akan menjadi pembahasan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana variasi strategi gerakan KAMMI dalam menghadapi gejala melemahnya gerakan mahasiswa pasca reformasi?

2. Mengapa strategi tersebut menjadi pilihan?

3. Bagaimana implikasi dari strategi gerakan tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian tentang “Strategi KAMMI dalam Penguatan Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi” yaitu :

a. Menjelaskan strategi KAMMI dalam menerbarkan dan menguatkan ideologinya

b. Menjelaskan strategi KAMMI dalam memanfaatkan dan menciptakan peluang

c. Menjelaskan strategi KAMMI dalam membentuk dan memanfaatkan jaringan gerakan

d. Memaparkan wujud gerakan mahasiswa yang dilakukan KAMMI pada aksi-aksi kolektifnya

(7)

7 e. Mengetahui akar penyebab munculnya strategi gerakan KAMMI

f. Mengetahui implikasi yang ditimbulkan dari strategi gerakan tersebut

D. Tinjauan Pustaka

Gerakan mahasiswa adalah salah satu fenomena sosial yang menarik untuk dikaji. Diskursus tentang arah gerakan mahasiswa telah diperbincangkan oleh beberapa akademisi ilmu sosial. Salah satunya Arif Budiman (dalam Sanit, 1999) telah mempersoalkan tentang gerakan mahasiswa yang masuk pada wilayah politik praktis. Budiman menyayangkan ulah rekan-rekannya alumni gerakan 1966 yang terlihat memiliki “vested interest” setelah diberi kesempatan untuk diangkat menjadi anggota DPR mengisi kursi-kursi kosong yang ditinggalkan oleh bekas-bekas anggota PKI dan partai kiri lainnya yang dipecat atau dibunuh. Hal ini tentunya menodai gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral.

Catatan kritis Budiman ini sangat mendukung buku yang ditulis Sanit (1999). Sanit menguraikan konsep gerakan moral yang menganggap gerakan mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam system politik kita dan membatasi gerakan mahasiswa untuk masuk ke wilayah politik yang lebih dalam karena keterbatasan yang ada pada mahasiswa, yakni bagaimanapun juga, tugas seorang mahasiswa adalah belajar dan menyelesaikan studinya. Mahasiswa merupakan sebuah kondisi peralihan.Mereka tidak bisa terus menerus menjadi politisi professional.Kalau mereka mau menjadi politisi professional, sebaiknya mereka berhenti menjadi mahasiswa dan secara penuh ke bidang politik. Sujito (dalam Sanit, 1999) juga

(8)

8 mengelu-elukan gerakan mahasiswa yang awalnya elitis (terutama ketika tahun 1966 ketika mahasiswa berkoalisi dengan militer dalam melakukan revolusi), berubah arah menjadi gerakan populis yang dikarenakan intensnya gerakan mahasiswa menjalin mitra dengan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan. Tak heran ketika mahasiswa menjadi aktor reformasi ’98, ada barisan masyarakat yang mendukung di belakangnya. Gerakan mahasiswa menjadi kuat karena seiring sejalan dengan masyarakat. Namun sayangnya, sangat minim referensi yang menjelaskan tentang bagaimana kondisi gerakan mahasiswa pasca reformasi, yang ternyata tidaklah seistimewa sebagaimana ketika di akhir masa orde baru

KAMMI muncul sebagai salah satu barisan gerakan mahasiswa di akhir orde baru menjelang reformasi. Penelitian tentang KAMMI sendiri sudah banyak dipublikasikan baik dalam bentuk buku teks maupun laporan penelitian (skripsi). Buku teks yang khusus membahas KAMMI ditulis oleh Andi Rahmat dan Muhammad Najib (1999). Di dalam buku ini lebih dijelaskan tentang kelahiran KAMMI, latar belakang kemunculannya, kiprahnya pada proses reformasi 1998 hingga terbentuknya KAMMI menjadi ormas. Sedangkan Siddiq (2003) juga menjelaskan profil KAMMI dari kelahiran hingga kiprahnya dalam perjuangan demokratisasi di tengah gelombang krisis nasional multidimensi. Sidiq meneruskan penjelasan tentang kiprah KAMMI dalam perjuangan demokratisasi hingga masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Sedangkan dalam skripsi Mustafiqon (2003), dijelaskan juga tentang kelahiran, ideologi dan aksi yang dilakukan oleh KAMMI antara tahun 1998 hingga 2003.

(9)

9 Ada pula sebenarnya beberapa referensi yang membahas KAMMI. Hanya saja di dalam beberapa referensi tersebut, KAMMI hanya dibahas sebagai subbab untuk menjelaskan tentang fase kelahiran Partai Keadilan (PK). Seperti dalam penjelasan Damanik (2002) dalam bukunya, menjelaskan tentang didirikannya KAMMI sebagai proses perkembangan gerakan tarbiyah di kampus. Sama halnya di dalam buku Muhtadi (2012), KAMMI dijelaskan di dalam fase perkembangan Partai keadilan Sejahtera. Kedua referensi ini bagi penulis dapat digunakan untuk mengeksplorasi tendensi KAMMI terkait dengan gerakan organisasi massa atau politik lain yang ada di Indonesia ataupun Internasional.

KAMMI juga menjadi bahan kajian beberapa penelitian dalam bentuk skripsi di Perguruan Tinggi. Salah satunya adalah Musfiqon (2003) dalam skripsinya menjelaskan tentang sejarah kelahiran KAMMI, proses ideologisasinya hingga aksi-aksinya pada rentan waktu antara tahun 1999 hingga tahun 2003. Lingkup obyek penelitian skripsi tersebut pada KAMMI Daerah Yogyakarta secara umum. Sementara Anwar (2010) meneliti tentang KAMMI, yang lebih spesifik lagi di sini adalah KAMMI Komisariat UGM 1998-2008, dalam sejarahnya dari aksi hingga menguasai (hegemoni) lembaga-lembaga kemahasiswaan di kampus.

Sebagian besar penelitian tentang KAMMI tersebut, lebih banyak mengkaji dalam aspek gerakan politik moral ataupun pendidikan politiknya. Sementara penguatan gerakan KAMMI pada era tahun terakhir belum banyak dikaji, di mana ada kecenderungan bagi gerakan KAMMI dalam meningkatkan

(10)

10 variasi gerakannya. Variasi gerakan KAMMI pada era tahun terakhir menjadi menarik untuk dikaji dan dipaparkan dalam penelitian ini.

E. Kerangka Konseptual

Gerakan mahasiswa merupakan salah satu kategorisasi dari gerakan sosial. Menurut Cohen (1983 : 432), gerakan sosial terjadi bila sekelompok individu terlibat dalam suatu usaha yang terorganisir baik untuk merubah ataupun mempertahankan unsur tertentu dari masyarakat yang lebih luas. Gerakan sosial berbeda dengan bentuk-bentuk perilaku kolektif elementer karena gerakan sosial ini jauh terorganisir dan memiliki usia jauh lebih panjang. Perilaku kolektif yang dilakukan mahasiswa secara formal dapat dikategorikan sebuah gerakan sosial.Gerakan sosial pada mulanya lahir sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap keadaan. Kelahiran KAMMI sebagai suatu kesatuan aksi untuk menentang otoritarianisme Rezim Orde baru adalah gejala dari suatu gerakan sosial yang ingin melakukan perubahan pada sebuah sistem yang dirasa tidak sesuai dengan suatu kondisi yang ideal.

Sebuah gerakan sosial akan mudah dikenali dan teridentifikasi manakala dalam warna dan corak gerakannya ditemukan ciri atau karakter khas yang menandai sebuah gerakan sosial. Banyak para ahli sosial yang mengklasifikasikan karakteristik gerakan sosial dalam beberapa penafsiran. Menurut Ritzer (dalam Haryanto, 1989 : 8), ada lima karakteristik yang melekat pada gerakan sosial, yaitu:

1. Gerakan sosial melibatkan sebagian besar individu yang berusaha memprotes suatu keadaan. Agar dapat dikategorikan sebagai suatu

(11)

11 gerakan sosial, maka usaha sejumlah individu tadi harus memiliki persyaratan dari suatu organisasi

2. Suatu gerakan sosial harus mempunyai skope yang relatif luas. Gerakan tersebut berawal dari skope yang kecil, tetapi akhirnya harus mampu mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat

3. Gerakan sosial tadi dapat menggunakan berbagai macam taktik untuk mencapai tujuannnya. Taktik-taktik tersebut bervariasi dari yang sifatnya tidak menggunakan kekerasan sampai dengan yang menggunakan kekerasan

4. Meskipun demikian, gerakan sosial didukung oleh individu-individu tertentu, namun tujuan akhir dari gerakan tersebut adalah merubah kondisi yang ada pada masyarakat.

5. Gerakan sosial tersebut merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan untuk mengadakan perubahan sosial, dan bagi mereka yang terlibat di dalamnya mungkin tidak menyadari segala tindakannya tetapi mereka tetap mengetahui tujuan utama dari gerakan tadi.

Rose (1977 : 535) menambahkan beberapa komponen lain yang dimiliki oleh gerakan sosial adalah ideologi, program atau seperangkat tujuan, taktik dan pemimpin. Ideologi menjadi komponen utama penggerak aktivitas dan peran serta mahasiswa dalam gerakan. Ideologi menjadi sebuah perangkat cita-cita tentang kehidupan masyarakat dan Negara yang diidealkan. Dalam level perjuangan mahasiswa, ideologi menjadi pengarah bagi operasionalisasi aktifitas mahasiswa. Sumber ideologi bisa saja dari seorang penggagas yang dikemas secara sistemik seperti marxisme, komunisme dan ada pula yang bersumber dari agama (Sanit,

(12)

12 1989 : 32). Dari ideologi inilah kemudian dibuat tujuan-tujuan khusus yang berkaitan dengan usaha-usaha perubahan dan perbaikan masyarakat. KAMMI sebagai suatu gerakan memiliki ideologi yang bersumber dari agama Islam. Ideologi yang didasarkan agama, menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia di dalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasan tertinggi (Sanit, 1999 : 38). Oleh karena itu, bila dilihat dari visinya, KAMMI memiliki cita-cita untuk mewujudkan Indonesia yang Islami sehingga tidak heran jika tujuan-tujuan khusus yang berkaitan dengan usaha-usaha perubahan dan perbaikan masyarakat hingga merumuskan strategi dan taktik perjuangan, berada dalam bingkai nilai-nilai Islami. Dalam hal ini, dikenal adanya konsep pembingkaian (framing) aksi kolektif sebagai salah satu pendekatan dalam gerakan sosial.

Adanya kesempatan politik juga sangat mempengaruhi munculnya gerakan sosial. Aksi-aksi kolektif gerakan sosial akan sukar atau bahkan tidak bisa dilakukan manakala sistem politik yang ada sangat tertutup. Dalam hal ini, para sarjana gerakan sosial sering menggunakan perspektif struktur kesempatan politik (Political Opportunities System) untuk menjelaskan gejala gerakan sosial. Dalam teori struktur kesempatan politik ini ditekankan mobilisasi di luar kelompok. Namun demikian, Eisinger (American Political Science Review, Vol.67, No.1, Maret 1973 : 15) menyatakan bahwa protes lebih dimungkinkan muncul, di dalam sistem politik yang dicirikan oleh campur baur antara faktor-faktor keterbukaan dan ketertutupan.

(13)

13 Dalam masa transisi menuju demokrasi, sistem politik tidak sepenuhnya terbuka, kapasitas rezim dalam melakukan represi masih ada, dan sisa-sisa anasir atau kroni kekuatan rezim lama masih menumpang institusi-institusi baru demokrasi. Namun pada waktu yang sama, keterbukaan politik yang baru bersemi belum terlembaga dengan baik, kinerja lembaga-lembaga negara belum maksimal, tidak aspiratif dan partisipatoris. Pada masa transisi, masyarakat mengalami inflasi rasa percaya diri dengan melakukan aksi dan menuntut hak-haknya. Tapi negara justru mengalami defisit kepercayaan diri untuk menegakkan hukum dan aturan karena takut dituduh represif dan melanggar HAM. Kapasitas rezim untuk menekan gerakan protes telah berkurang secara signifikan, sehingga membuka kesempatan bagi lahirnya aksi-aksi kolektif (Muhtadi, 2012 : 94). Sebagai gerakan sosial, KAMMI seharusnya dapat memanfaatkan peluang ini dalam rangka melakukan mobilitas sumber daya yang akhirnya membuahkan aksi-aksi kolektif.

Para pakar juga sering menggunakan pendekatan teori mobilisasi sumber daya (Resource Mobilization Theory) untuk membedah gejala gerakan sosial. Mereka medefinisikan teori mobilisasi sumber daya sebagai sarana atau wahana kolektif, baik formal maupun informal, di mana orang-orang dimobilisasi dan terlibat aktif di dalam aksi kolektif (McAdam, McCarthy dan Zald, 1996 : 3). Charles Tilly (2005 : 61) menekankan salah satu sumber daya yang paling penting dalam gerakan sosial adalah jejaring informal dan formal yang menghubungkan individu-individu dan organisasi-organisasi gerakan. Istilah jejaring merujuk kepada struktur sosial, yaitu serangkaian hubungan sosial yang mendorong atau menghambat perilaku, sikap, dan kemugkinan seseorang melakukan aksi

(14)

14 (Campbell, 2005 : 61). Oleh sebab itu, KAMMI perlu memanfaatkan sumber daya berupa jejaring dan pendanaan dalam membangun aksi-aksi kolektifnya.

Adanya aksi-aksi kolektif yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi tertentu adalah wujud dari menguatnya identitas sebagai gerakan sosial. McAdam dan Snow (1997 : xxiv) berpendapat bahwa gerakan sosial adalah sebentuk aksi kolektif. Klandermans (1997 : 2) menekankan bahwa gerakan sosial dilakukan oleh “individu-individu yang memiliki cita-cita bersama dan identitas kolektif yang terkait di dalam aksi-aksi yang bersifat kolektif.” McAdam dan Snow (1997 : xxiv) menambahkan bahwa karakteristik aksi kolektif adalah aksi bersama untuk mencapai tujuan publik (umum). Ciri-ciri aksi kolektif yang lain adalah bukan kategori abstrak, tapi nyata, gerakan yang visible¸ suatu “produk”, dan pesan-pesannya sangat jelas ditujukan pada lawan-lawannya atau khalayak luas (Dieter Rucht dalam Mc Adam dan Snow, 1996 : 186). Dengan nada yang sama, Olzak (1989 : 124 – 126) menetapkan definisi minimal tentang aksi kolektif, yaitu (1) bersifat kolektif (melibatkan lebih daripada satu orang), dan (2) terdiri atas rangkaian interaksi berkelanjutan melawan pihak-pihak luar dan otoritas terkait.

Berdasarkan perspektif integrasi gerakan sosial di atas, penelitian ini menunjukkan strategi KAMMI dalam penguatan gerakan mahasiswa pasca reformasi yang terdiri dari : (1) Strategi menyebarkan dan menguatkan ideologi dengan pendekatan pembingkaian (framing) gerakan sosial; (2) Strategi memanfaatkan dan menciptakan peluang dengan pendekatan struktur kesempatan politik; (3) Strategi membentuk dan memanfaatkan jaringan dengan pendekatan teori mobilisasi sumberdaya; (4) Menjelaskan wujud dari tiga strategi gerakan sosial tersebut berupa aksi-aksi kolektif yang dilakukan oleh KAMMI.

(15)

15 F. Metode Penelitian

1. Obyek Penelitian

Sejak kemunculan KAMMI ketika menjelang reformasi ’98 dan kemudian disahkannya KAMMI sebagai ormas pada Muktamar I, KAMMI mengalami pengembangan organisasi, di mana cabang-cabang KAMMI muncul di berbagai daerah di Indonesia, hingga membuka cabangnya dalam bentuk komisariat di kampus-kampus. Berkembangnya organisasi KAMMI hingga ke kampus-kampus diharapkan mampu menguatkan gerakan mahasiswa. Studi ini fokus pada kajian tentang strategi KAMMI dalam menguatkan gerakan mahasiswa di wilayah Yogyakarta, dengan mengambil cakupan struktur pada KAMMI Komisariat UGM, KAMMI Daerah Kabupaten Sleman dan KAMMI Wilayah Propinsi Yogyakarta.

2. Kebutuhan Data

Adapun data yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Struktur Kelembagaan, karakteristik tokoh dan anggotanya, kebijakan dan

program kerjanya

b. Isu-isu sosial politik yang dipergunakan sebagai saluran petisi, protes, demokrasi dan perlawanan

c. Mimbar dan jaringan komunikasi yang dipergunakan untuk memberi makna dan menunjukkan gerakan mahasiswa

(16)

16 d. Keyakinan, simbol, ritual, dan tindakan yang dikemas untuk mempertegas siapa kawan/lawan, membangun persamaan persepsi, dan mempengaruhi opini publik.

3. Sumber Data

Sumber data untuk penelitian ini diperoleh dari 2 sumber utama, yakni :

a. Informan yang terdiri dari Pimpinan, Pengurus Harian dan anggota KAMMI baik yang tercatat sebagai mahasiswa maupun alumni

b. Dokumentasi yang diambil dari Koran dan majalah yang memberitakan tentang aksi-aksi serta agenda yang diselenggarakan oleh KAMMI, Buku dan karya ilmiah hasil studi terkait dengan gerakan KAMMI ataupun tentang gerakan tarbiyah yang menjadi cikal bakal KAMMI, serta Dokumen dan arsip KAMMI yang berupa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) dan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pengurus KAMMI.

4. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan teknik:

a. Melakukan wawancara mendalam kepada Pimpinan, Pengurus Harian dan anggota KAMMI baik yang tercatat sebagai mahasiswa maupun alumni terkait strategi gerakan KAMMI

(17)

17 b. Mengumpulkan laporan-laporan resmi tentang yang dilakukan KAMMI,

liputan media massa (koran dan majalah), serta analisis yang disampaikan dalam bentuk makalah atau artikel.

c. Mengumpulkan dan mendalami analisis dari peneliti atau penulis Buku-buku dan laporan penelitian tentang KAMMI, sehingga menjadi bahan bagi peneliti untuk menganalisis KAMMI

d. Mengumpulkan dan mendalami Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) dan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pengurus KAMMI sebagai bahan keterangan tentang identitas dan kegiatan KAMMI

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data terkumpul dari berbagai sumber data, maka penelitian melakukan pengolahan dan analisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Melakukan reduksi data yang terdiri dari proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.

b. Memberikan deskripsi yang komperhensif dari hasil penelitian dan mengurai data yang ada sehingga didapatkan informasi tentang konteks sesuatu tindakan, intensitas, dan maknanya yang mengorganisasikan tindakan yang dilakukan oleh obyek penelitian

c. Melakukan verifikasi data dan menarik kesimpulan akan konsep-konsep yang saling terkait dari proses analisis data

Referensi

Dokumen terkait

Jika ditinjau dari fakt*r pen)ebab kecelakaan kerja, pen)ebab dasar kecelakaan kerja adalah human err*r( Dalam hal ini, kesalahan terletak pada *perat*r kran(

(3) Bidang-bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas melaui Sekretaris..

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk memperoleh biaya transportasi yang optimal dalam pendistribusian keramik di Kota Palu dengan menggunakan

Hal ini disebabkan meningkatnya konsentrasi ion logam, proses penyerapan yang terjadi pada sampel akan berkurang dan jumlah ion logam dalam larutan tidak akan sebanding

Untuk mendapatkan respon ternormalisasi oleh bobot maka digunakan metode AHP dengan standar penilaian mutu tablet yang terdiri atas tingkat kekerasan, daya keregasan

Supervisi kepala sekolah merupakan proses yang dirancang secara khusus untuk membantu para guru dalam mempelajari tugas sehari-hari di sekolah agar dapat

Berdasarkan latar belakang diatas maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui titik impas atau Break Event Point (BEP) usahatani tamanan Ketepeng cina pada

perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemikdan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut. Akibatnya bahkan dapat memusnahkan beberapa spesies primer