• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Generasi Awal Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) Hasil Persilangan B-69 x Numbu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Generasi Awal Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) Hasil Persilangan B-69 x Numbu"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR

GENERASI AWAL SORGUM (

Sorghum bicolor

(L.) Moench)

HASIL PERSILANGAN B-69 X NUMBU

CATUR ATKLISTIYANTI

AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Generasi Awal Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) Hasil Persilangan B-69 x Numbu adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

CATUR ATKLISTIYANTI. Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Generasi Awal Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench) Hasil Persilangan B-69 x Numbu. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE dan TRIKOESOEMANINGTYAS.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan dan keragaman karakter agronomi galur-galur sorgum generasi awal yaitu 62 galur F3, 31 galur

BC1P1F2, dan 31 galur BC1P2F2. Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan

Leuwikopo, IPB, Darmaga, Bogor mulai bulan Februari sampai Juni 2013. Penelitian ini disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak augmented (Augmented RKLT) satu faktor dengan 12 ulangan. Data agronomi di analisis dengan membandingkan galur-galur sorgum dengan tetua B-69 dan Numbu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa galur-galur sorgum generasi awal memiliki perbedaan yang signifikan dengan tetua B-69 dan Numbu untuk karakter agronomi dan komponen hasil. Galur-galur BC1P2F2 dari generasi awal sorgum

memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi untuk diameter batang, tinggi tanaman dan bobot biomasa, dibandingkan dengan B-69 dan Numbu, sedangkan galur-galur BC1P1F2 memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan dengan

B-69 dan Numbu. Bobot malai dan bobot biji/malai tanaman memiliki nilai heritabilitas yang tinggi, sehingga memungkinkan untuk seleksi selajutnya.

Kata kunci: generasi awal, heritabilitas, sorgum

ABSTRACT

CATUR ATKLISTIYANTI. Evaluation of Agronomic Characters of Early Generation Lines of Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) from the Cross of B-69 X Numbu. Supervised by DIDY SOPANDIE and

TRIKOESOEMANINGTYAS.

The objectives of this experiment were to evaluate performance and variability of agronomic characters of 62 F3, 31 BC1P1F2 and 31 BC1P2F2 of early

generation lines of sorghum. This research was carried at Leuwikopo Experimental Farm, Bogor Agricultural University, Dramaga, Bogor from February to June 2013. The experiment was arranged in a randomized complete block design augmented with one factor genotype and 12 replications. The agronomic data was analyzed by comparing means of each line to the parental lines B-69 and Numbu. The results showed that the early generation lines showed significant difference with the parental lines, B-69 and Numbu for agronomic characters and yield components. The early generation lines from BC1P2F2 have

higher mean value for stem diameter, crop height and biomass weight, compared to B-69 and Numbu, while the BC1P1F2 lines have lower crop height compared to

B-69 and Numbu. The panicle weight and seed weight per plant have high heritability value, which allow for further selection.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

EVALUASI KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR

GENERASI AWAL SORGUM (

Sorghum bicolor

(L.) Moench)

HASIL PERSILANGAN B-69 X NUMBU

CATUR ATKLISTIYANTI

AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Generasi Awal Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) Hasil Persilangan B-69 x Numbu Nama : Catur Atklistiyanti

NIM : A24090104

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr Pembimbing I

Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Generasi Awal Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) Hasil Persilangan B-69 x Numbu. Skripsi ini merupakan karya ilmiah yang dibuat penulis setelah menyelesaikan penelitian selama enam bulan. Hasil penelitian ini diajukan untuk memperoleh gelar sarjana dari fakultas pertanian.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr sebagai dosen pembimbing I dan Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr Shinto W Ardie, SP MSi sebagai penguji/wakil urusan yang telah memberikan perbaikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Kedua orang tua Yadi Sutanto dan Mulyati, serta keluarga besar yang selalu memberikan motivasi dan doa untuk penulis.

4. Dr Ir Nurul Khumaida, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dalam melaksanakan tugas akademik.

5. Staf Laboratorium Penelitian Pemuliaan Tanaman IPB, Siti Marwiyah, SP, MSi, Pak Edi, dan mas Eki yang telah membantu selama proses penelitian baik dalam bentuk tenaga maupun saran yang telah diberikan.

6. Teman-teman satu tim penelitian sorgum, Af’idatus Sakina, Jorex Daniel M, Mayang Sari, dan Patricia S yang selalu memberikan kebersamaannya selama penelitian.

7. Teman-teman AGH 46 khususnya Akbar, Alif, Ana, Furi, Milda, Nani, Ragil, Reza, Yessy, Yoga dan Yudi yang selalu memberikan motivasi dan saran terhadap penelitian ini.

8. Serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tinjauan Pustaka 1

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Syarat Tumbuh 3

Pemanfaatan Sorgum 3

Pemuliaan Sorgum 4

METODE 5

Bahan dan Alat 5

Lokasi dan Waktu Penelitian 5

Prosedur Percobaan 6

Analisis Data 7

HASIL dan PEMBAHASAN 8

Kondisi Umum Penelitian 8

Keragaan Karakter Agronomi Galur-galur Sorgum 9

Keragaan Komponen Hasil Galur-galur Sorgum 16

Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Galur-galur Sorgum 23 Perbandingan Ragam Dalam Galur dan Ragam Antar Galur Sorgum 23

SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 31

(11)

DAFTAR TABEL

1 Keragaan karakter agronomi galur-galur F3 9

2 Keragaan karakter agronomi galur-galur BC1P1F2 11 3 Keragaan karakter agronomi galur-galur BC1P2F2 12

4 Keragaan komponen hasil galur-galur F3 16

5 Keragaan komponen hasil galur-galur BC1P1F2 18

6 Keragaan komponen hasil galur-galur BC1P2F2 19

7 Nilai duga ragam lingkungan, fenotipe, genotipe, dan heritabilitas 23 8 Ragam dalam galur dibandingan dengan ragam atar galur F3 24 9 Ragam dalam galur dibandingan dengan ragam atar galur BC1P1F2 25 10 Ragam dalam galur dibandingan dengan ragam atar galur BC1P2F2 26

DAFTAR GAMBAR

1 Pertumbuhan sorgum 8

2 Keragaan karakter tinggi tanaman galur-galur sorgum 13

3 Keragaan diameter batang galur-galur sorgum 14

4 Keragaan jumlah daun galur-galur sorgum 15

5 Keragaan bobot biomasa galur-galur sorgum 16

6 Keragaan panjang malai galur-galur sorgum 20

7 Keragaan bobot malai galur-galur sorgum 21

8 Keragaan bobot biji/malai galur-galur sorgum 21

9 Keragaan bobot 1000 butir galur-galur sorgum 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi varietas numbu 33

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan akan beras sebagai bahan pangan utama Indonesia cenderung terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan produksi beras nasional sangat tergantung pada padi sawah, sementara luas lahan sawah semakin menyusut akibat alih fungsi lahan ke non-pertanian. Alternatif yang dapat digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan yaitu dengan meningkatkan produktivitas tanaman pengan non-beras sebagai alternatif pangan di lahan sub-optimum (Sirappa 2003).

Beberapa pengganti karbohidrat yang potensial dikembangkan yaitu sorgum, ubi jalar, singkong, dan jagung. Menurut Hoeman (2011) sorgum memiliki posisi penting di dunia baik sebagai bahan pangan, pakan ternak, dan sebagai bahan bakar alternatif. Sorgum merupakan sumber karbohidrat yang potensial karena kandungan karbohidratnya tinggi, yaitu sekitar 73 g/100 g bahan yang dapat dimakan. Kandungan protein dan kalsium pada sorgum adalah 11.0 g/ 100 g bahan dan 28.0 mg/100 g bahan, sedangkan pada beras hanya 6.8 g/100 g bahan dan 6.0 mg/100 g bagian dapat dimakan, sehingga sorgum memiliki kandungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan beras dan jagung (DEPKES 1992). Sorgum memiliki kandungan gluten dan indeks glikemiks yang rendah sehingga sesuai untuk konsumen dengan kebutuhan gizi khusus (Schober et al. 2007)

Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang luas terutama pada lahan kering (Sirappa 2003; Borrel et al. 2006). Salah satu areal lahan yang potensial untuk pengembangan sorgum adalah lahan kering. Luas lahan kering di Indonesia mencapai 148 juta ha dan diperkirakan 102.8 juta ha merupakan lahan kering masam (Mulyani et al. 2009). Produktivitas rata-rata sorgum di Indonesia baru mencapai 1.14 ton ha-1, sehingga diperlukan perbaikan varietas melalui pemuliaan tanaman.

Pengembangan sorgum ditujukan untuk menghasilkan varietas-varietas sorgum dengan potensi hasil yang lebih baik, mampu beradaptasi pada tanah masam, tinggi tanaman pendek berkisar antara 100-160 cm, tahan terhadap serangan hama penyakit, dan berdaya hasil tinggi. Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB melalui upaya persilangan varietas B-69 dan Numbu yang telah menghasilkan generasi F3, BC1P1F2 dan BC1P2F2, yang akan diseleksi untuk

mendapatkan generasi awal galur-galur sorgum dengan ragam dalam galur yang redah yang siap diuji daya hasil.

Tujuan Penelitian

(14)

2

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan keragaan karakter agronomis di antara galur-galur sorgum generasi awal.

2. Terdapat beberapa galur generasi awal yang memiliki karakter agronomi dan potensi hasil yang lebih baik dari kedua tetuanya.

3. Terdapat galur-galur dengan ragam dalam galur lebih rendah dibandingkan ragam antar galur.

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum (Sorghum bicolor (L.)Moench)

Sorgum merupakan tanaman pangan utama ke-5 di dunia setelah padi, gandum, jagung dan barley. Tanaman sorgum tumbuh dengan baik pada lahan semi-arid di daerah tropis dan subtropis. Pada daerah tertentu untuk hasil yang lebih baik sorgum memerlukan curah hujan yang tinggi pada masa tumbuhnya. Sorgum memiliki sifat fotoperiode sensitif, dimana pembentukan bunga terjdi pada setelah berakhirnya musim hujan dan biji sorgum akan mengisi pada musim kemarau (Doggett 1988).

Bentuk tanaman sorgum mirip seperti tanaman jagung atau serealia lainnya, tinggi tanaman sorgum berkisar anatar 1-1.5 meter, bahkan dapat lebih tinggi atau lebih pendek tergantung dengan varietas yang digunakan (Deptan 2008). Tanaman sorgum termasuk tanaman monokotil yang memiliki sistem perakaran serabut dan membentuk perakaran sekunder dua kali lipat dari jagung. Selain itu, sorgum memiliki batang yang beruas-ruas dan berbuku-buku, tidak bercabang dan pada bagian tengah batang terdapat seludang pembuluh yang diselubungi oleh lapisan keras (ICRISAT 1996). Doggett (1970) juga menjelaskan daun sorgum biasanya terdapat secara berselang dalam dua baris pada sisi-sisi batang yang berlawanan dan masing-masing terdiri atas suatu pelepah dan helaian. Ukuran daun meningkat dari bawah ke atas, umumnya sampai daun ketiga ataupun keempat kemudian menurun sampai daun bendera. Permukaan daun yang mengandung lapisan lilin dan sifat perakaran yang ekstensif, fibrous dan dalam, cenderung membuat tanaman sorgum efisien dalam absorpsi dan pemanfaatan air (Hoeman 2008).

(15)

3 1990). Kandungan tannin yang rendah merupakan salah satu indikator kualitas sorgum sebagai bahan pangan (Puspitasari 2011).

Syarat Tumbuh

Tanaman sorgum toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan sub-optimum, serta relatif tahan pada gangguan hama dan penyakit. Daerah asal tanaman sorgum baik spesies liar maupun spesies budidaya ditemukan di Afrika, hingga saat ini 90 % luas lahan pertanaman berada di wilayah Afrika dan Asia (Acquaah 2007). Tanaman sorgum memiliki banyak spesies, tetapi yang populer dan menjadi tanaman komersial di dunia adalah spesies Sorghum bicolor (L) Moench. Spesies tersebut tersebar hampir ke seluruh dunia dan dimanfaatkan sebagai tanaman pangan, pakan ternak dan bahan baku sebagai industri termasuk industri biofuel (bioetanol).

Sorgum di Indonesia biasa ditanam di daerah yang beriklim kering, musim hujan pendek, dan pada tanah yang kurang subur. Daerah penghasil sorgum secara tradisional adalah Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur dan sedikit di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Beti et al. 1990).

Sorgum relatif lebih dapat beradaptasi pada kisaran kondisi ekologi yang luas dan dapat berproduksi pada kondisi yang kurang sesuai bila dibandingkan dengan tanaman sereal yang lainnya dan sorgum memerlukan air yang relatif sedikit dalam pertumbuhannya (Sirappa 2003). Biasanya sorgum ditanam pada daerah yang panas dan kering, tetapi juga dapat tumbuh pada daerah yang bercurah hujan tinggi atau tempat-tempat yang bergenang. Menurut Laimeheriwa (1990) keadaan yang optimum untuk pertumbuhan sorgum yaitu dengan penyebaran hari hujan yang teratur terutama pada saar tanaman berumur 4-5 minggu, yaitu pada saat perkembangan perakaran sampai pada akhir pertumbuhan vegetatifnya. Curah hujan 50-100 mm per bulan pada 2-2.5 bulan sejak tanam, diikuti dengan periode kering, merupakan curah hujan yang ideal untuk keberhasilan produksi sorgum.

Suhu optimum untuk pertumbuhan sorgum berkisar antar 23-30 ºC dengan kelembaban relatif 20-40% (Sudaryono 1996). Sorgum dapat tumbuh dengan baik pada tanah berpasir, pada hampir seluruh jenis tanah, pada tanahh yang kurang subur dan dapat tumbuh pada pH tanah berkisar 5.0-7.5. Tanaman sorgum juga lebih toleran terhadap tanah salin dengan genangan air dibandingkan tanaman serealia lainnya (Irawan dan Sutrisna 2011). Pada daerah-daerah dengan ketinggian 800 m diatas permukaan laut dimana suhunya kurang dari 20 ºC, pertumbuhan tanaman akan terhambat. Selama pertumbuhan tanaman, curah hujan yang diperlukan berkisar antara 375-425 mm (Laimeheriwa 1990).

Pemanfaatan Sorgum

(16)

4

mengenal sorgum sebagai great millet (Doggett 1988). Di Indonesia sorgum juga memiliki banyak sebutan seperti gandrung di Jawa Tengah, gondem atau cantel di Jawa Timur dan ejalai di Sumatra Barat (Sirappa 2003).

Tanaman sorgum mempunyai banyak manfaat seperti bahan baku kertas, gula, nira, alkohol, monosodium glutamate (MSG), bahan baku pakan ternak dan bahan baku etanol (DEPTAN 2011). Pemanfaatan yang paling utama adalah sebagai bahan pangan, pakan dan industri. Menurut Doggett (1988) sorgum merupakan makanan pokok bagi banyak orang di seluruh dunia, di beberapa negara sorgum dimanfaatkan sebagai tepung untuk membuat biskuit atau roti. Mudjisihono dan Damardjati (1985) menambahkan bahwa bila dilihat dari segi kegunaanya, sebagian besar sorgum dapat dimanfaatkan sebagai makanan tradisional, makanan selingan, dan makanan ternak. Selain itu, limbah sorgum (daun dan batang segar) dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak. Nutrisi daun sorgum setara dengan rumput gajah dan pucuk tebu (Sirappa 2003). Menurut Beti et al. (1990) sorgum dapat mengganti seluruh jagung dalam ransum pakan ayam, itik, kambing, dan sapi tanpa menimbulkan efek samping.

Namun perlu diperhatikan juga seberapa besar kandungan tanin pada sorgum yang digunakan sebagai pakan ternak. Kandungan tannin dalam biji sorgum menjadi faktor pembatas untuk digunakan dalam ransum ayam karena rasanya kurang disukai ternak, disamping itu tannin mengandung zat anti tripsin yang dapat menghambat laju pertumbuhan ternak. Dogget (1988) menambahkan bahwa tanin pada sorgum biasanya dikaitkan dengan kandungan protein yang rendah. Seluruh jenis tanin termasuk dalam polifenol akan tetapi tidak semua polifenol pada sorgum adalah tanin. Kandngan polifenol yang tinggi pada sorgum dicirikan dengan perikarp berwarna coklat dan kulit biji yang berwarna. Pada jenis sorgum dengan perikarp berwarna merah dan tidak memiliki kulit biji kandungan polifenolnya cukup signifikan sedangkan pada biji sorgum yang berwarna kandungan polifenolnya sangat rendah. Keterkaitan antara pigmentasi biji sorgum dengan tanin yang dimiliki biji sorgum masih belum dapat dipastikan.

Pemuliaan Sorgum

Pemuliaan sorgum di Indonesia diarahkan untuk pangan, pakan dan bahan industri. Tujuan pemuliaan tanaman ialah berusaha untuk menghasilkan kombinasi genetika baru dan melalui seleksi menghasilkan peringkat tanaman yang mempunyai potensi lebih baik (Welsh 1991). Upaya pengembangan varietas sorgum guna mendapatkan hasil yang optimal telah banyak dilakukan oleh pemulia tanaman, salah satunya dengan metode persilangan.

Metode silang balik digunakan untuk memperbaiki varietas yang sudah mempunyai karakter agronomi dan adaptasi yang baik, tetapi kurang baik pada satu karakter atau beberapa karakter saja. Metode silang balik adalah menyilangkan turunannya dengan salah satu tetuanya (tetua recurrent) selama beberapa generasi untuk memindahkan gen dari tetua donor ke tetua recurrent (penerima).

(17)

5 baik pada tetua penerima diperlukan beberapa kali silang balik; 5) untuk memindahkan gen dominan dan karakter terekspresi sebelum pembungaan, seleksi dapat dilakukan langsung pada hasil silang balik; 6) untuk memindahkan gen resesif, seleksi dilakukan pada turunan hasil silang balik (Syukur et al. 2012).

Stoskopf et al. (1993) menjelaskan bahwa metode ini pertama kali disusun oleh Harlan dan Pope pada tahun 1922. Biasanya digunakan apabila:

a. Varietas unggul yang dimiliki kekurangan satu atau lebih sifat yang diharapkan

b. Tersedia varietas donor dengan sifat yang diinginkan, biasanya sifat ketahanan

c. Sifat yang akan dipindahkan mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi Persilangan antara tetua B-69 dan Numbu diharapkan dapat menghasilkan varietas yang memiliki sifat-sifat tertentu yang diwariskan oleh tetuanya seperti tanaman pendek, diameter batang besar dan warna biji putih, sehingga dapat memudahkan petani pada saat pemanenan, selain itu biji yang berwarna putih diduga memiliki kadar tanin yang rendah sehingga aman untuk dikonsumsi.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan dalam percobaan ini yaitu 124 galur sorgum generasi awal yang terdiri atas 62 galur F3, 31 BC1P1F2 dan 31 BC1P2F2, tetua

B-69 dan Numbu sebagai pembanding. B-B-69 adalah galur yang berasal dari varietas Durra yang diradiasi sinar gamma menggunakan dosis 300 Gy oleh Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) (Sihono 2008), sedangkan Numbu adalah hasil introduksi dari ICRISAT namun telah melalui tahapan proses pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi kemudian dilepas menjadi varietas unggul nasional oleh Departemen Pertanian (Sihono et al. 2010), deskripsi varietas Numbu dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan lain yang digunakan dalam percobaan ini antara lain pupuk urea 150 kg ha-1, SP-36 100 kg ha-1, dan KCl 100 kg ha-1, Karbofuran 3G, deltamethrin, dan mankozeb 80%. Peralatan yang digunakan yaitu cangkul, kored, tali, tugal, meteran, jangka sorong, sungkup, kertas label, dan timbangan analitik.

Lokasi dan Waktu Penelitian

(18)

6

Prosedur Percobaan

Pengolahan Lahan dan Penanaman

Persiapan lahan dilakukan satu minggu sebelum tanam. Persiapan lahan berupa pembersihan lahan, pengolahan tanah, dan pembuatan petakan. Penanaman dilakukan dengan jarak 70 cm x 10 cm dengan benih 2 butir/lubang, pestisida karbofuran 3G diberikan sebanyak 5 butir/lubang.

Pemupukan

Pemeliharaan tanaman meliputi pengairan, pengendalian gulma, pengendalian hama penyakit, pembumbunan, dan penyungkupan. Pengairan secara intensif dilakukan sampai tanaman berumur 3 MST. Pengendalian gulma dilakukan secara manual menggunakan alat pertanian sederhana. Pengendalian hama dan penyakit dengan cara penyemprotan menggunakan insektisida non-sistemik berbahan aktif deltamethrin dengan konsentrasi 2 ml L-1 dan fungisida berbahan aktif mankozeb 80% mulai 4 MST dan dilakukan sebanyak empat kali. Pembumbunan dilakukan pada 4 MST dan 8 MST. Penyungkupan malai sorgum dilakukan pada saat pengisian malai yaitu mulai 10 MST dengan tujuan untuk melindungi malai dari hama burung. Pada tanaman yang digunakan sebagai pemurnian tetua, penyungkupan dilakukan pada saat malai mulai muncul atau sebelum penyerbukan yaitu pada 8 MST atau 9 MST.

Pemanenan

Pemanenan yang dilakukan disesuaikan dengan umur panen masing-masing galur yang diuji sehingga panen yang dilakukan tidak serempak. Pemanenan dilakukan jika 80% tanaman dari 1 baris galur sudah masak atau biji sudah kering yang ditandai munculnya black layer dan biji keras ketika digigit. Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut tanaman.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap setiap galur yang terdiri atas 10 tanaman contoh. Peubah yang diamati meliputi:

1. Karakter agronomi:

a. Tinggi tanaman yang diukur dari pangkal batang di permukaan tanah hingga ujung malai pada saat panen

b. Diameter batang, diukur 10 cm diatas permukaan tanah saat vegetatif maksimum.

c. Jumlah daun yang dihitung jumlah daun pada saat vegetatif maksimum d. Bobot biomassa yaitu bobot total tanaman kering yang terdiri dari

(19)

7 2. Karakter komponen hasil:

a. Panjang malai yang diukur dari leher sampai pada ujung malai pada saat panen

b. Bobot malai per tanaman yang ditimbang setelah malai dikeringkan di bawah panas selama 3 hari

c. Bobot biji per malai, ditimbang setelah malai dikeringkan di bawah panas matahari selama 3 hari

d. Bobot 1000 butir

Analisis Data

Percobaan disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak Augmented (Augmented RKLT) dengan 12 ulangan untuk varietas pembanding dan satu faktor untuk genotipe. Data yang diperoleh dianalisis dengan membandingkan galur-galur sorgum generasi awal dengan tetua B-69 dan Numbu. Model linier yang digunakan adalah:

Yij = µ + αi + βj + ɛij

Yij: respon peubah sorgum varietas ke-i dan kelompok ke-j

µ : nilai tengah populasi

αi : Pengaruh galur ke-i, (i=1, 2, 3, 4, 5, 6)

βj : Pengaruh kelompok ke-j, (j=1, 2, 3)

ɛij : Pengaruh galat Penelitian pada galur ke-i dan kelompok ke-j

Perhitungan nilai tengah dan ragam karakter agronomi

Penghitungan nilai tengah dan ragam dilakukan untuk melihat keragaan dan keragaman masing-masing karakter serta melihat apakah terjadi perbaikan sifat pada galur-galur yang diuji melalui perbandingan nilai tengah galur dengan kedua tetua pembanding.

Heritabilitas dan koefisien keragaman genetik

Heritabilitas digunakan untuk melihat besarnya pengaruh keragaman genetik terhadap keragaman fenotipe dalam populasi (Syukur et al. 2012). Diperlukan ragam lingkungan, ragam fenotipe, dan ragam genetik untuk menduga heritabilitas suatu populasi. Ragam tersebut dapat dihitung menggunakan rumus:

Ragam = ∑

Ragam lingkungan (σ²e) =

Ragam fenotipe (σ²p) = ragam generasi F3, BC1P1F2, dan BC1P2F2

Ragam genotipe (σ²g) = σ²p - σ²e

(20)

8

Keterangan:

h²bs = Heritabilitas arti luas

σ²g = Ragam genetik σ²p = Ragam fenotipe

Kriteria heritabilitas terbagi menjadi tiga yaitu tinggi (h²bs > 50%), sedang

(20 ≤ h²bs ≤ 50%), dan rendah (h²bs < 20%) (Syukur et al. 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Penelitian

Suhu rata-rata di Leuwikopo, Dramaga pada bulan Februari hingga Juni 2013 adalah 27.0 °C, kelembapan relatif sebesar 84.3 %. Data tersebut dihimpun berdasarkan data rata-rata harian Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG 2013) (Lampiran 2). Tanaman sorgum dapat tumbuh baik pada kisaran suhu 20-30 °C (Beti et al. 1990; Dicko et al. 2006), oleh karena itu suhu penelitian ini sesuai dengan syarat tumbuh sorgum sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tersebut.

Rata-rata curah hujan per bulan selama percobaan ini sebesar 289.8 mm, dan lama penyinaran sebesar 62.8 % sehingga pada fase vegetatif awal dilakukan penyiraman. Perubahan fase pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 1. Kondisi tanaman pada awal pertumbuhan menunjukkan vegetatif yang lambat (Gambar 1.a), namun setelah dilakukan pemupukan kedua pada 4 minggu setelah tanam (MST) tanaman mulai menunjukkan pertumbuhan yang baik (Gambar 1.b).

Gambar 1 Fase pertumbuhan sorgum. (a) vegetatif lambat, (b) vegetatif cepat, (c) generatif

Penyungkupan (Gambar 1.c) mulai dilakukan pada saat tanaman memasuki umur 10 MST dengan tujuan untuk mengurangi kehilangan hasil akibat serangan hama burung pada saat pengisian biji. Rata-rata tanaman berbunga 50% pada umur 65 hari setelah tanam (HST) untuk tetua B-69, 68 HST untuk tetua Numbu, 70 HST untuk kelompok galur F3, 67 HST untuk kelompok galur BC1P1F2, dan 66

HST untuk kelompok galur BC1P2F2. Tanaman mengalami kerebahan pada saat

pengisian biji, yaitu pada 11 MST. Kerebahan terjadi akibat curah hujan yang tinggi pada bulan Mei yaitu sebesar 399.3 mm yang disertai dengan angin kencang. Kerebahan dapat mempengaruhi translokasi hasil fotosintat dari batang

(21)

9 ke malai, sehingga kerebahan pada saat pengisian biji pada tanaman sorgum dapat mengurangi hasil.

Pertumbuhan tanaman selama percobaan mengalami gangguan yang disebabkan oleh hama dan penyakit yang terjadi mulai 4 MST. Hama yang menyerang yaitu belalang dan larva Chilo partellus menyerang tanaman pada saat fase vegetatif. Hama penggerek batang (Basiola fusca) dan bakteri Erwinia chrysanthemii menyerang pada saat fase vegetatif dan fase generatif. Tanaman yang terserang bakteri Erwinia chrysanthemii menunjukkan gejala kerdil pada fase vegetatif awal hingga vegetatif akhir selain itu, ciri-ciri tanaman yang terkena bakteri tersebut yaitu batang bagian batang bawah dan akar berwarna merah-ungu tua, terdapat bercak merah pada bagian batang dan pucuk ditandai dengan busuknya bagian tanaman seperti pada pucuk dan batang. Serangan oleh hama penggerek batang menyebabkan tanaman menjadi patah pada bagian batang dan tangkai malai.

Keragaan Karakter Agronomi Galur-galur Sorgum

Pertumbuhan tanaman dapat diukur dengan berbagai cara diataranya adalah dengan mengukur karakter agronomi. Karakter agronomi yang diamati pada percobaan ini antara lain tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan bobot kering biomasa. Hasil analisis ragam pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa galur yang dievaluasi tidak berbeda nyata untuk tinggi tanaman dan jumlah daun namun berbeda nyata untuk karakter diameter batang dan bobot kering biomasa.

(22)
(23)

11 Tabel 2 Keragaan karakter agronomi galur-galur BC1P1F2

Galur

(24)

12

Tabel 3 Keragaan karakter agronomi galur-galur BC1P2F2

Galur

Angka yang diikuti oleh simbol * = berbeda nyata lebih besar dengan tetua Numbu, sedangkan + = berbeda nyata lebih kecil dengan tetua Numbu berdasarkan uji t pada taraf 1 % dan taraf 5 %.

Tinggi tanaman

(25)

13 kisaran 132.5-213.0 cm. Terdapat 22 galur F3 yang memiliki nilai tengah tinggi

tanaman yang lebih rendah dari tetua Numbu. Galur-galur BC1P1F2 memiliki nilai

tengah sebesar 213.0 cm dengan kisaran 160.7-257.5 cm. Terdapat 13 galur sorgum BC1P1F2 yang memiliki nilai tengah tinggi tanaman yang lebih rendah

dari tetua Numbu. Galur-galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah sebesar 241.1 cm

dengan kisaran antara 190.5-272.5 cm. Terdapat 3 galur sorgum BC1P2F2 yang

memiliki nilai tengah tinggi tanaman yang lebih rendah dari tetua Numbu, yaitu galur galur B-69/N/P2-26, B-69/N/P2-29 dan B-69/N/P2-37.

Menurut deskripsi varietas Balai Penelitian Tanaman Serealia (2012) Numbu memiliki tinggi tanaman ± 187 cm, sedangkan pada penelitian ini tinggi tanaman sorgum mencapai ± 200 cm. Hal ini menunjukkan bahwa sorgum memiliki sifat toleransi pada tanah masam. Menurut Roesmarkam et al. (1985) ciri-ciri varietas unggul yang dikehendaki pada pemuliaan sorgum bukanlah tanaman yang tinggi melainkan tanaman dengan tinggi berkisar antara 100-140 cm. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pada saat pemeliharaan, pengamatan, dan pemanenan.

Perbandingan karakter tinggi tanaman antar kelompok galur (Gambar 2) menunjukkan bahwa Kelompok galur BC1P2F2 memiliki tinggi tanaman yang

paling tinggi dari galur-galur lain, sedangkan kelompok galur BC1P1F2 dan F3

memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah dari B-69 dan Numbu.

Gambar 2 Keragaan karakter tinggi tanaman galur-galur sorgum

Kriteria seleksi tinggi tanaman yang diinginkan yaitu kurang dari atau setinggi 160 cm. Kelompok galur yang memiliki tinggi tanaman sesuai dengan kriteria tersebut yaitu BC1P1F2 dan F3 karena dilakukan silang balik kepada tetua

B-69, tetapi tidak terdapat pada BC1P2F2. Tinggi tanaman sorgum berkisar antara

1-1.5 m, bahkan dapat lebih tinggi atau lebih pendek tergantung dengan varietas yang digunakan (Deptan 2008), tinggi tanaman yang rendah diharapkan selain memudahkan pada saat pemeliharaan dan pemanenan serta dapat meminimalisasi tingkat kerebahan karena angin. Sungkono (2010) menjelaskan bahwa petani menempatkan tingkat kerebahan sebagai seleksi pertama yang berarti petani tidak akan menanam sorgum yang mudah rebah.

(26)

14

Diameter batang

Karakter diameter batang merupakan karakter yang penting untuk diperbaiki dalam program pemuliaan tanaman karena tanaman yang tinggi akan lebih tahan rebah jika mempunyai diameter batang yang besar. Nilai tengah karakter diameter batang tetua B-69 sebesar 13.0 mm dengan kisaran 12.0-13.9 mm, Numbu sebesar 13.2 mm dengan kisaran 12.0-15.5 mm, dan galur-galur F3 memiliki nilai tengah

sebesar 12.5 mm dengan kisaran 7.1-16.9 mm. Terdapat 11 galur F3 yang memiliki nilai tengah diameter batang yang lebih besar dari tetua B-69. Galur-galur BC1P1F2 sebesar 13.3 mm dengan kisaran 10.2-16.5 mm. Terdapat 19 galur

BC1P1F2 yang memiliki nilai tengah lebih besar dibandingkan dengan tetua B-69.

Galur-galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah sebesar 14.1 mm dengan kisaran

12.3-16.5 mm. Terdapat 17 galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah diameter batang yang

lebih besar dari Numbu. Hal ini terjadi karena galur BC1P2F2 merupakan hasil

backcross dengan tetua Numbu sehingga memiliki bentuk yang cenderung mengarah pada Numbu.

Perbandingan karakter diameter batang antar kelompok galur disajikan pada Gambar 3, hasil menunjukkan bahwa nilai tengah diameter batang kelompok galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah diameter batang yang lebih besar dari galur-galur

lain.

Gambar 3 Keragaan diameter batang tanaman galur-galur sorgum

Diameter batang yang besar diharapkan dapat menopang tanaman dengan baik, sehingga dapat mengurangi tingkat kerebahan yang dapat mengurangi potensi hasil. Menurut Okiyo et al. (2010) diameter batang yang kecil cenderung mudah rebah dan dapat menyebabkan berkurangnya hasil. Seleksi untuk karakter diameter batang yang besar dapat diperoleh dari kelompok galur BC1P2F2 yang

merupakan hasil silang balik dengan tetua Numbu.

Karakter diameter batang dan tinggi tanaman dapat menunjukkan kemampuan tanaman dalam mengalokasikan fotosintat dan tegakan tanaman (Brown 1985). Batang yang memiliki bobot dan lebar batang yang tinggi akan sangat dibutuhkan untuk menopang tinggi tanaman agar tidak rebah juga mampu menghasilkan bioethanol yang banyak dari nira batang (Sungkono 2010), sehingga potensi pengembangan sorgum kearah bioethanol semakin baik. Semakin besar diameter batang maka akan berpengaruh terhadap tingginya hasil produksi (Sari 2013), karena diduga memiliki akumulasi fotosintat yang besar sebagai sumber pembentukan biji. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sitanggang (2013) menunjukkan bahwa tinggi tanaman tidak berkolerasi terhadap

(27)

15 diameter batang. Hal ini menunjukkan bahwa diantara galur-galur sorgum akan dapat diperoleh tanaman yag pendek dengan diameter yang besar.

Jumlah daun

Karakter jumlah daun merupakan karakter yang penting untuk diamati karena sebagian besar fotosintesis terjadi di daun. Nilai tengah karakter jumlah daun tetua B-69 sebesar 8.8 helai, Numbu sebesar 10.1 helai. Rataan galur yang diuji memiliki jumlah daun yang lebih besar dari kedua tetua B-69 dan Numbu (Gambar 4). Kelompok galur F3 memiliki nilai tengah sebesar 11.7 helai dengan

kisaran 9.8-13.8 helai, kelompok galur BC1P1F2 sebesar 10.5 helai dengan kisaran

8.2-12.8 helai, kelompok galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah sebesar 11.6 helai

dengan kisaran 10.3-13.0 helai.

Gambar 4 Keragaan jumlah daun galur-galur sorgum

House (1985) mengemukakan bahwa jumlah daun sorgum yang beradaptasi baik dengan lingkungannya berkisar antara 6-12 helai. Pada galur-galur BC1P2F2

ditemukan tanaman yang memiliki jumlah daun sampai 16.5 helai. Jumlah daun yang besar memungkinkan tanaman dapat melakukan fotosintesis secara optimal sehingga fotosintat yang dihasilkan meningkat.

Bobot biomasa

Karakter bobot biomasa merupakan karakter yang penting untuk diamati karena mencerminkan kemampuan tanaman untuk mengakumulasi pertumbuhan tanaman. Nilai tengah karakter bobot biomasa tetua B-69 sebesar 210.1 g dengan kisaran 161.8-246.0 g, Numbu sebesar 224.8 g dengan kisaran 191.8-292.8 g, kelompok galur F3 memiliki nilai tengah sebesar 164.9 g dengan kisaran

38.8-282.7 g, kelompok galur BC1P1F2 sebesar 174.5 g dengan kisaran sebesar

110.5-271.8 g, kelompok galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah sebesar 227.4 g dengan

kisaran 149.2-319.6 g.

Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat 7 galur F3 yang memiliki nilai tengah

bobot biomasa yang lebih besar dari Numbu. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat 7 galur BC1P1F2 yang memiliki nilai tengah yang lebih besar dari B-69,

dan Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat 17 galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah

(28)

16

Gambar 5 Keragaan bobot biomasa tanaman galur-galur sorgum

Hasil percobaan menunjukkan bahwa kelompok galur BC1P2F2 memiliki

nilai tengah bobot biomasa yang lebih besar dari galur-galur lain. Kelompok galur BC1P2F2 merupakan hasil silang balik terhadap tetua P2 sehingga karakter yang

dimiliki cenderung mengarah kepada Numbu. Hasil fotosintesis akan ditranslokasikan keseluruh bagian tanaman untuk pembentukan organ tanaman dan sebagian akan tersimpan sebagai bahan kering (Turmudi 2004), sehingga bobot biomasa yang besar diduga dapat menunjukkan produksi hasil yang tinggi. Selain itu, bobot biomasa besar dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak (Hoeman 2007) dan juga merupakan karakter yang menentukan produktivitas bioethanol sebagai sumber dari nira batang (Dermawan 2011).

Keragaan Komponen Hasil Galur-galur Sorgum

Keragaan komponen hasil merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam pemuliaan tanaman khususnya untuk seleksi tanaman. Karakter komponen hasil yang diamati yaitu panjang malai, bobot malai, bobot biji per malai, dan bobot seribu butir. Hasil analisis ragam (Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6) menunjukkan bahwa galur yang dievaluasi tidak berbeda nyata untuk tinggi tanaman dan jumlah daun namun berbeda nyata untuk karakter diameter batang dan bobot kering biomasa.

(29)
(30)

18

Tabel 5 Keragaan karakter komponen hasil galur-galur BC1P1F2 Galur

(31)

19 Tabel 6 Keragaan karakter komponen hasil galur-galur BC1P2F2

Galur

Angka yang diikuti oleh simbol * = berbeda nyata lebih besar dengan tetua Numbu, sedangkan + = berbeda nyata lebih kecil dengan tetua Numbu berdasarkan uji t pada taraf 1 % dan taraf 5 %.

Panjang malai

Karakter panjang malai merupakan karakter yang penting untuk diperbaiki dalam program pemuliaan tanaman, karena tanaman yang memiliki panjang malai yang tinggi dapat membentuk jumlah spikelet yang besar sehingga dapat mempengaruhi potensi hasil tanaman. Nilai tengah karakter panjang malai tetua B-69 sebesar 17.3 cm dengan kisaran 15.9-19.5 cm, Numbu sebesar 18.0 cm dengan kisaran 17.0-19.1 cm, kelompok galur F3 memiliki nilai tengah sebesar

(32)

20

dengan kisaran 17.0-23.8 cm dan kelompok galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah

sebesar 19.8 cm. Hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat 12 galur F3 yang memiliki nilai tengah panjang malai yang lebih besar dari tetua B-69 dan terdapat 12 galur F3 yang memiliki nilai tengah panjang malai yang lebih besar dari tetua Numbu, Sedangkan kelompok galur BC1P1F2 memiliki nilai

tengah yang berbeda nyata lebih besar dengan tetua 69, kecuali galur B-69/N/P1-20, B-69/N/P1-24, dan B-69/N/P1-46 (Tabel 5) dan 22 galur kelompok

galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah yang lebih besar dari Numbu (Tabel 6).

Perbandingan karakter panjang malai antar kelompok galur disajikan pada Gambar 6, hasil menunjukkan bahwa kelompok galur hasil persilangan memiliki panjang malai yang lebih besar dari tetua B-69 dan Numbu. Kelompok galur BC1P1F2 dan BC1P1F2 memiliki nilai yang lebih tinggi diantara galur-galur yang

diuji.

Gambar 6 Keragaan panjang malai galur-galur sorgum

Malai merupakan tempat terbentuknya biji, semakin panjang malai maka jumlah biji semakin banyak (Sungkono 2010). Ukuran malai ditentukan oleh jumlah spikelet yang sangat dipengaruhi oleh ukuran tanaman dan laju penimbunan bahan kering selama tahapan pembentukan malai (Mutiah 2013), sehingga faktor abiotik selama percobaan dapat berpengaruh terhadap pembentukan malai.

Bobot malai

Keragaan karakter bobot malai tetua B-69 sebesar 46.3 g dengan kisaran 41.1-58.9 g, Numbu sebesar 66.1 g dengan kisaran 47.68-80.1 g, Kelompok galur F3 memiliki nilai tengah sebesar 46.7 g dengan kisaran 11.2-84.4 g. Galur-galur

BC1P1F2 sebesar 50.5 g dengan kisaran 30.1-73.1 g. Galur-galur BC1P2F2

memiliki nilai tengah sebesar 58.1 g dengan kisaran 37.6-86.0 g. Terdapat 10 galur F3 yang memiliki nilai tengah bobot malai yang lebih besar dari tetua B-69, dan terdapat 7 galur F3 yang memiliki nilai tengah bobot malai yang lebih besar dari tetua Numbu. Terdapat 17 galur BC1P1F2 yang memiliki nilai tengah yang

lebih besar dari B-69. Terdapat 5 galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah diameter

batang yang lebih besar dari Numbu.

Perbandingan antar kelompok galur disajikan pada Gambar 7 hasil percobaan menunjukkan bahwa kelompok galur hasil persilangan berbeda nyata dengan Numbu. Diantara galur-galur yang diuji, kelompok galur BC1P2F2

memiliki nilai tengah yang mendekati tetua Numbu yaitu sebesar 58.1 g.

(33)

21

Gambar 7 Keragaan bobot malai galur-galur sorgum

Pengamatan pada bobot malai penting untuk mengetahui kemampuan setiap genotipe tanaman sorgum mempertahankan potensi hasil (Dermawan 2011), bobot malai yang besar diharapkan dapat menghasilkan jumlah biji yang banyak. Hasil penelitian Sitanggang (2013) menunjukkan bahwa karakter bobot malai berkolerasi positif dengan karakter bobot biji per malai, hal ini berarti semakin bertambah bobot malai maka basil bobot biji per malai akan semakin besar.

Bobot biji per malai

Karakter bobot biji per malai merupakan komponen penting dalam yang diamati karena dapat menentukan hasil produksi. Nilai tengah karakter bobot biji per malai Tetua B-69 sebesar 43.1 g dengan kisaran 36.0-48.9 g, Numbu 55.5 g dengan kisaran 39.7-67.7 g, kelompok galur F3 memiliki nilai tengah sebesar 40.3

g dengan kisaran 9.4-71.1 g. Terdapat 9 galur yang memiliki nilai tengah yang lebih besar dari tetua B-69, dan terdapat 6 galur F3 yang memiliki nilai tengah bobot biji per malai yang lebih besar dari Numbu. Galur-galur BC1P1F2 sebesar

41.1 g. Terdapat 13 galur BC1P1F2 yang memiliki nilai tengah yang lebih besar

dari B-69. Kelompok BC1P2F2 memiliki nilai tengah sebesar 48.0 g dengan

kisaran 30.1-70.8 g. Terdapat 6 galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah bobot biji per

malai yang lebih besar dari Numbu.

Gambar 8 Keragaan karakter bobot biji/malai galur-galur sorgum

Perbandingan antar kelompok galur menunjukkan bahwa kelompok galur hasil persilangan memiliki bobot biji per malai yang lebih besar dari kedua tetua. Namun, diantara galur-galur yang diuji, kelompok galur BC1P2F2 memiliki nilai

tengah bobot biji per malai yang tinggi. Karakter bobot biji per malai merupakan

(34)

22

komponen hasil yang berhubugan dengan potensi hasil tanaman karena dapat menentukan produktivitas tanaman dan nilai ekonomis.

Bobot biji per malai mewakili akumulasi pertumbuhan dan perkembangan fase generatif sehingga menjadi karakter yang penting dalam penentuan hasil biji (Sungkono 2010). Penelitian sebelumnya oleh Sitanggang (2013) menunjukkan bobot biji per malai Numbu sebesar 46.7 g. Galur BC1P2F2 merupakan hasil

backcross dengan tetua Numbu sehingga memiliki bobot yang cenderung mengarah atau lebih besar dari Numbu. Karakter panjang malai berkolerasi positif dan nyata dengan bobot malai dan bobot biji per malai (Sitanggang 2013; Mutiah 2013). Hubungan ini menunjukkan bahwa secara linear peningkatan panjang malai dan bobot malai akan selalu diikuti dengan peningkatan bobot biji per malai. Karakter ini dapat dijadikan sebagai karakter seleksi pada program pemuliaan tanaman sorgum untuk mendapatkan produktivitas biji yang tinggi.

Bobot 1000 butir

Keragaan nilai tengah karakter bobot 1000 butir Tetua B-69 sebesar 29.9 g, Numbu 35.7 g, dan galur-galur F3 memiliki nilai tengah sebesar 28.6 g dengan

kisaran 10.0-43.5 g. Galur F3-383 memiliki nilai tengah bobot 1000 butir yang

lebih besar dari Numbu, dan terdapat 13 galur yang memiliki nilai tengah yang lebih besar dari B-69. Galur-galur BC1P1F2 sebesar 31.9 g dengan kisaran

26.1-37.9 g. Terdapat 12 galur BC1P1F2 yang memiliki nilai tengah yang lebih besar

dari B-69, sedangkan kelompok galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah sebesar 33.2

g dengan kisaran 26.8-42.6 g. Terdapat 7 galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah

bobot 1000 butir yang lebih besar dari Numbu yaitu galur B-69/N/P2-5,

B-69/N/P2-10, B-69/N/P2-18, B-69/N/P2-24, B-69/N/P2-28, B-69/N/P2-41, dan

B-69/N/P2-46.

Gambar 9 Keragaan karakter bobot 1000 butir galur-galur sorgum

Perbandingan antar kelompok galur pada Gambar 8 menunjukkan bahwa kelompok galur BC1P2F2 memiliki nilai tengah bobot 1000 butir yang lebih besar

dari F3 dan BC1P1F2. Bobot 1000 butir yang tinggi menunjukkan bahwa tanaman

memiliki ukuran biji yang besar, sedangkan bobot 1000 butir yang ringan menunjukkan bahwa tanaman memiliki ukuran biji yang kecil. Bobot 1000 butir yang tinggi menunjukkan kemampuan galur dalam mengakumulasi fotosintat ke sink (Dermawan 2011). Biji yang berukuran besar ditunjukkan dengan bobot biji yang berat dan umumnya dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan karena kulit bijinya lebih mudah disosoh dibandingkan dengan biji yang berukuran kecil, sedangkan untuk pakan ternak digunakan biji yang ukuran kecil (Yusro 2001).

(35)

23 Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Galur-galur Sorgum

Hasil pendugaan komponen ragam dan heritabilitas galur-galur sorgum ditunjukkan pada Tabel 7. Galur-galur sorgum generasi awal memiliki nilai duga heritabilitas arti luas yang tergolong tinggi untuk karakter diameter batang, tinggi tanaman, panjang malai, bobot malai, dan bobot biji per malai, sedangkan nilai heritabilitas yang tergolong sedang hanya dimiliki oleh karakter bobot biomasa. Heritabilitas adalah perbandingan antara besaran ragam genotipe dengan besaran total ragam fenotipe dari suatu karakter, nilai duga heritabilitas digunakan untuk mengetahui proporsi ragam genetik dibandingkan dengan ragam lingkungannya (Syukur et al. 2012).

Tabel 7 Nilai duga ragam lingkungan, fenotipe, genotipe, dan heritabilitas

Karakter σ2e σ2p σ2g h2BS Kriteria

Diameter batang 0.42 3.34 2.92 87.52 Tinggi

Tinggi tanaman 122.93 825.83 702.9 85.11 Tinggi

Bobot biomasa 1630.21 3124.33 1494.12 47.82 Sedang

Panjang malai 1.23 4.8 3.57 74.31 Tinggi

Bobot malai 106.06 248.18 142.12 57.26 Tinggi

Bobot biji/malai 85.08 172.62 87.54 50.71 Tinggi

Faktor genetik pada karakter diameter batang, tinggi tanaman, panjang malai, bobot malai, dan bobot biji/malai berpengaruh terhadap penampakan fenotipe dibandingkan faktor lingkungan, sehingga peluang diturunkannya karakter-karakter tersebut pada generasi selanjutnya menjadi lebih besar. Nilai heritbilitas yang tinggi menunjukkan bahwa keragaman suatu populasi diakibatkan karena faktor keragaman genetik terhadap keragaan fenotipe agronomi di lapang (Gandhi 2012). Kelompok galur sorgum generasi awal memiliki keragaman genetik yang tinggi karena merupakan hasil persilangan dari B-69 dan Numbu. Dimana untuk kelompok galur F3 merupakan hasil persilangan tetua B-69 dan Numbu, kelompok galur BC1P1F2 merupakan hasil silang balik

dengan tetua B-69 dan kelompok galur BC1P2F2 merupakan hasil silang balik

dengan tetua Numbu, sehingga nilai keragaman genetik yang besar dapat digunakan untuk seleksi pada generasi selanjutnya.

Heritabilitas digunakan sebagai dasar untuk menentukan karakter seleksi, karakter seleksi yang biasanya digunakan adalah bobot biji per malai tetapi jika memungkinkan dapat digunakan karakter seleksi dari yang lebih mudah diamati. Hasil dari kolerasi menunjukkan bahwa karakter panjang malai berkolerasi positif dan nyata dengan bobot malai dam bobot biji per malai, selain itu karakter panjang malai memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi sehingga karakter panjang malai dapat dijadikan sebagai karakter seleksi.

Perbandingan Ragam Dalam Galur dan Ragam Antar Galur Sorgum Generasi Awal

(36)

24

digunakan untuk menduga potensi hasil dari masing-masing galur. Hasil perbandingan ragam dalam galur dan ragam antar galur disajikan pada Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabel 8 Ragam dalam galur dibandingkan ragam antar galur F3

Galur Karakter galur

Tinggi tanaman (cm) Panjang malai (cm) Bobot biji/malai (g)

(37)

25 Tabel 9 Ragam dalam galur dibandingkan ragam antar galur BC1P1F2

(38)

26

Tabel 10 Ragam dalam galur dibandingkan ragam antar galur BC1P2F2

Galur

memiliki nilai ragam dalam galur yang lebih rendah dari ragam antar galur pada karakter tinggi tanaman, terdapat 32 galur F3 yang memiliki nilai ragam dalam

(39)

27 Hasil perbandingan ragam dalam galur dengan ragam antar galur pada galur sorgum generasi awal BC1P1F2 menunjukkan bahwa terdapat 22 galur

BC1P1F2 yang memiliki nilai ragam dalam galur yang lebih rendah dari ragam

antar galur pada karakter tinggi tanaman, terdapat 7 galur BC1P1F2 yang memiliki

nilai ragam dalam galur yang lebih rendah dari ragam antar galur pada karakter panjang malai, dan terdapat 10 galur BC1P1F2 yang memiliki nilai ragam dalam

galur yang lebih rendah dari ragam antar galur pada karakter bobot biji per malai. Galur-galur yang memiliki tinggi tanaman, panjang malai dan bobot biji per malai yang lebih rendah dari ragam antar galur yaitu 69/N/P1-14, 69/N/P1-22, B-69/N/P1-46, B-69/N/P1-62, dan B-69/N/P1-64.

Hasil perbandingan ragam dalam galur dengan ragam antar galur pada galur sorgum generasi awal BC1P2F2 menunjukkan bahwa terdapat 15 galur

BC1P2F2 yang memiliki nilai ragam dalam galur yang lebih rendah dari ragam

antar galur pada karakter tinggi tanaman, terdapat 5 galur BC1P2F2 yang memiliki

nilai ragam dalam galur yang lebih rendah dari ragam antar galur pada karakter panjang malai, dan terdapat 3 galur BC1P1F2 yang memiliki nilai ragam dalam

galur yang lebih rendah dari ragam antar galur pada karakter bobot biji per malai. Nilai keragaman dalam galur yang lebih rendah dari ragam antar kelompok menunjukkan bahwa galur-galur tersebut sudah seragam, sehingga memungkinkan untuk dilakukan uji daya hasil lebih awal. Galur-galur yang masih beragam untuk karakter tinggi tanaman, panjang malai dan bobot biji per malai sorgum perlu diseleksi individu terbaik dalam galur untuk generasi F4 dan BC1P1F3.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Galur-galur generasi awal memiliki keragaan yang berbeda antara galur-galur yang diuji dengan pembanding B-69 dan Numbu pada karakter agronomi dan komponen hasil. Diameter batang, bobot kering biomasa, bobot malai dan bobot biji/malai yang paling tinggi dimiliki oleh kelompok galur BC1P2F2.

Kelompok galur BC1P1F2 memiliki panjang malai lebih tinggi dan tinggi tanaman

yang lebih rendah dari tetua B-69 dan Numbu terdapat pada kelompok galur F3

dan kelompok galur BC1P1F2. Bobot malai dan bobot biji/malai tanaman memiliki

nilai heritabilitas yang tinggi, sehingga memungkinkan untuk seleksi selajutnya. Beberapa galur-galur generasi awal sudah menunjukkan keseragaman, sehingga dapat dilakukan uji daya hasil lebih awal.

Saran

(40)

28

DAFTAR PUSTAKA

Acquaah G. 2007. Principles of Plant Genetics and Breeding. United Kingdom (GB): Blackwell.

Agustina K. 2011. Fisiologi adaptasi sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moech) terhadap toksisitas aluminium dan defisiensi fosfor di tanah masam [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Data Iklim (ID):BMKG.

Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2012. Varietas sorgum [Internet]. http:// balitseral.litbang.deptan.go.id.database-gandum-dan-sorgum. [diunduh 20 November 2013]

Beti YA, Ispandi A, Sudaryono. 1990. Sorgum. Monografi No. 5. Malang (ID): Balai Penelitian Tanaman Pangan.

Borrell A, Oosterom EV, Hammer G, Jordan D, Douglas A. 2006. The Physiology of “stay-green” in Sorghum. Hermitage Research Station, University of Queensland. Brisbande.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Gizi. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta (ID): Penerbit Bhratara. [Departemen Pertanian] Deptan. 2008. Sorgum. [Internet] http://tanamanpangan.

deptan.go.id/doc_upload/sorgum.pdf [diunduh 28 November 2012] Dermawan R. 2011. Respon galur sorgum terhadap pemupukan P pada berbagai

taraf kejenuhan aluminium di tanah masam [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Dicko MH, Gruppen H, Traore AS, Voragen AGJ, Van BWHJ. 2006. Sorghum grain as human food in Africa, relevance of content of starch and amylase activities. African J of Biotechnology 5(5):384-395

Doggett H. 1970. Sorghum. Longmans Green and CO. Ltd. London. 403p. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. In A. Adimihardja, Mappaona dan A. Saleh (Eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Deptan Bogor. Bogor. hal 1-34.

Doggett H. 1988. Sorghum 2nd ed. London: Longman Scientific and Technical. Dwijosepoetro D. 1984. Pengantar fisiologi tumbuhan. Gramedia.

Gandhi EL. 2012. Uji daya hasil sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di kebun percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.

Hoeman S. 2007. Peluang dan potensi pengembangan sorgum manis. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta Hoeman S. 2008. Prospek dan potensi sorgum sebagai bahan baku bioetanol.

[Internet] http://energi.bsl-online.com/archive/1.html. [diunduh 03 Desember 2012]

Hoeman S. 2011. Riset dan pengembangan sorgum dan gandum untuk ketahanan pangan. Jakarta Selatan (ID): BATAN.

House LR. 1985. A guide to Sorghum Breeding 2nd ed. India: ICRISAT

(41)

29 Irawan B dan Sutrisna N. 2011. Prospek Pengembangan Sorgum di Jawa Barat

Mendukung Diversifikasi Pangan. Bandung (ID): BPPT Jawa Barat. Laimeheriwa J. 1990. Teknologi Budidaya Tanaman Sorgum. Irian Jaya (ID):

Balai Informasi Pertanian.

Mudjisihono R, Damardjati DS. 1985. Masalah dan Hasil Penelitian Pasca Panen Sorgum. Makalah pada “Hasil Penelitian Jagung, Sorgum dan Terigu”. Bogor (ID): Puslitbangtan.

Mulyani A, Rachman A, Dairah A. 2009. Penyebaran Lahan Masam Potensi dan Ketersediaannya untuk Pengembangan Pertanian. Bogor (ID): Badan Penelitian Tanah

Mutiah Z. 2013. Uji daya hasil sorgum (Sorghum bicolor (l.) Moench) di tanah masam, Jasinga [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.

Puspitasari W. 2011. Pendugaan parameter genetik dan seleksi karakter agronomi dan kualitas sorgum di lahan masam (tesis). Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.

Roesmarkam S, Subandi dan Muchlis E. 1985. Hasil penelitian pemuliaan sorgum. Risalah Rapat Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hal 155-160.

Sari M. 2013. Kompatibilitas persilangan antar berbagai genotipe sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench) [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor

Schober TJ, Bean and Boyle. 2007. Gluten-free sorghum bread improved by sourdough fermentation: biochemical, rheologichal and microstructural background. J Agricultural Food. Chem. 55:5137-5146.

Sihono, Wijaya M, Human S. 2010. Perbaikan kualitas sorgum manis melalui teknis mutasi untuk bioethanol. Prosiding Pekan Serealia Nasional: Maros (ID)

Sihono. 2008. Penampilan sifat agronomi galur mutan sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench) di Kabupaten Bogor. J. Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 5(1):31-42

Sitanggang PA. 2013. Keragaan galur sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di tanah masam Lampung Selatan [skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sirappa MP. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industri. J. Litbang Pertanian Vol.22 (4).

Stoskopf NC, Tomes DT, Christie BR. 1993. Plant Breeding Theory and Practice. San Francisco (US): Westview Press, Inc.

Sudaryono. 1996. Prospek sorgum di Indonesia: Potensi, peluang dan tantangan pengembangan agribisnis. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 25−38.

(42)

30

Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Turmudi E. 2004. Respon pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum (Sorghum bicolor) terhadap frekuensi dan dosis pupuk nitrogen. [Internet] http:// respon-tanaman-sorgum-terhadap-pemupukan-n.[diunduh 4 Januari2014] Welsh JR. 1991. Dasar-Dasar Genetika Pemuliaan Tanaman. Jakarta: Erlangga Yusro. 2001. Pengelompokan varetas/galur sorgum (Sorghum bicolor (L.)

(43)

31

(44)
(45)

33 Lampiran 1 Deskripsi varietas Numbu

Karakteristik Numbu

Tanggal lepas 22 Oktober 2001

Asal India

Umur berbunga 50% 69 hari

Panen 100-105 hari

Tinggi tanaman 187 cm

Sifat tanaman Tidak beranak Kedudukan tangkai di pucuk

Bentuk daun Pita

Jumlah daun 14 helai

Sifat malai Kompak

Bentuk malai Ellips

Panjang malai 22-23 cm

Sifat sekam Menutup sepertiga bagian biji

Warna sekam Coklat muda

Bentuk/sifat biji Bulat lonjong, mudah rontok Bobot 1000 biji 36-37 g

Rata-rata hasil 3.11 t/ha Potensi hasil 4.0-5.0 t/ha

Kerebahan Tahan rebah

Kadar protein 9.12%

Kadar lemak 3.94%

Kadar karbohidrat 84.58%

Daerah sebaran Dapat ditanam di lahan tegalan sawah

Pemulia Sumarny Singgih, Muslimah Hamdani, Marsum Dahlan, Roslina Amir, Syahrir Mas’ad

a

(46)

34

Lampiran 2 Data iklim wilayah Dramaga Bulan Temperatur

(°C)

Curah hujan (mm)

Kelembapan udara (%)

Lama penyinaran matahari (%)

Februari 26.5 406.2 84.6 49.6

Maret 26.8 289.8 83.7 62.8

April 27.2 216.0 85.4 60.9

Mei 27.1 399.3 85.4 63.3

Juni 27.3 62.3 82.5 63.1

Rata-rata 27.0 274.7 84.3 59.9

a

(47)

35

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 1 Februari 1991 dari ayah Yadi Sutanto dan ibu Mulyati. Penulis adalah putri keempat dari empat bersaudara. Tahun 2006 penulis masuk SMA Negeri 1 Pandeglang dan menyelesaikan studi pada tahun 2009, lalu penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Dasar-dasar Hortikultura, Dasar Pemuliaan Tanaman, dan Ilmu Tanaman Perkebunan pada tahun akademik 2012/2013 dan menjadi asisten praktikum Dasar-dasar Agronomi dan Ekologi Pertanian pada tahun akademik 2013/2014.

Penulis aktif diberbagai organisasi diantaranya Komisi Pengawas BEM-A (KPB 3) Dewan Perwakilan Mahasiswa 2010/2011, Staff Riset dan Edukasi Forum for Scientice Studies (FORCES) 2010/2011, Staff PSDM Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura (HIMAGRON) 2011/2012. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti kegiatan departemen dan IPB seperti panitia Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) 47 tahun 2010, panitia Masa Perkenalan Departemen (MPD) 2010, Komisi pengawas Masa Perkenalan Fakultas Pertanian 2010, panitia Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah (PPKI) 2010, panitia Gebyar Inovasi Pemuda Indonesia (PIMPI) 2011, panitia Festival Bunga dan Buah Nusantara (FBBN) 2013, dan panitia Kongres dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Hortikultura Indonesia (PERHORTI) 2013.

Gambar

Tabel  1 Keragaan karakter agronomi galur-galur F3   Galur     Keragaan galur     Tinggi  tanaman (cm)  Diameter  batang (mm)  Jumlah  daun (helai)  Bobot kering biomasa (g)  F3-94  215.3+  12.3++  12.5*  141.5+  F3-96  242.7*  13.6**  12.0*  210.8+  F3-98
Tabel  3 Keragaan karakter agronomi galur-galur BC1P2F2
Gambar 4 Keragaan jumlah daun galur-galur sorgum
Tabel  4 Keragaan karakter komponen hasil galur-galur F3  Galur  Keragaan galur  Panjang  malai (cm)  Bobot  malai (g)  Bobot biji malai (g)  Bobot  1000 (g)  F3-94  20.9*  44.6+  36.0+  29.0  F3-96  22.5*  39.2+  41.0+  35.1**  F3-98  18.1**  21.0+  16.2+
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi konsep diri mantan penderita kusta mencakup dua hal, antara lain persepsi dalam dirinya (in self) yang berkaitan dengan bagaimana

Meskipun strategi lebih sering digunakan dalam bidang militer yang didalamnya tersimpan sederet cara untuk mencapai kemenangan. Begitu juga pada proses pendidikan

Hasil penelitian ditemukan bahwa: (1) Program supervisi akademik kepala sekolah disusun merujuk pada identifikasi permasalahan yang dihadapi guru berdasarkan hasil

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnnya, maka terdapat tujuan tugas akhir adalah untuk membuat game yang dapat mengenalkan kesenian sunda menggunakan

Anita Puspita Sari, A 220070047, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014. Tujuan

Sedangkan hipotesis kedua bahwa Tangibility of Assets mempunyai pengaruh yang paling dominan terhadap Struktur Modal pada perusahaan Farmasi yang go publik di Bursa Efek

Selanjutnya Rangkuti (2008:39), mendefinisikan ekuitas merek sebagai sekumpulan asset yang terkait dengan nama, merek atau symbol, sehingga dapat disimpulkan bahwa ekuitas

Metode penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan model Kurt Lewin yang terdiri dari dua siklus dengan empat tahapan yaitu, (1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan,