• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kemampuan Literasi Sains Siswa Kelas X MBI Amanatul Ummah Menggunakan Instrumen NOSLiT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Kemampuan Literasi Sains Siswa Kelas X MBI Amanatul Ummah Menggunakan Instrumen NOSLiT"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Kemampuan Literasi Sains Siswa Kelas X MBI Amanatul

Ummah Menggunakan Instrumen NOSLiT

Ainur Rokhmah*, Widha Sunarno, Mohammad Masykuri

Magister Pendidikan Sains, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami No. 36A, Kentingan, Jebres, Surakarta 57126

*E-mail: ainur.rokh@gmail.com

Abstrak – Literasi sains merupakan kemampuan multidimensional yang harus dimiliki siswa dalam mempersiapkan

kehidupan setelah sekolah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kemampuan literasi sains siswa kelas X. Pengukuran literasi sains menggunakan instrumen Nature of Scientific Literacy Test (NOSLiT) yang dikembangkan oleh Wenning. Instrumen ini merupakan instrumen yang tidak terkait dengan rumpun pelajaran tertentu. Sampel penelitian adalah 36 siswa kelas X semester genap MBI Amanatul Ummah. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, persentase kemampuan literasi sains siswa adalah kemampuan observasional dan eksperimental dasar 26,39%, postulat ilmiah 40,28%, penamaan ilmiah 47,22%, disposisi ilmiah 48,61%, dan kaidah bukti saintifik 84,72%. Rata-rata kemampuan literasi sains siswa kelas X adalah 49,44 sedangkan rata-rata hasil uji coba NOSLiT yang dilakukan oleh Wenning adalah 58,80%. Perbedaan perolehan ini disebabkan karena karakteristik siswa berdasarkan kualitas pendidikan, tipe soal yang masih sangat baru untuk siswa serta pengetahuan umum siswa tentang sains.

Kata kunci: analisis, literasi sains, NOSLiT

Abstract – Scientific literacy defines as a multidimensional skills that student should have to prepare a life after school.

The aim of this research was to define scientific literacy of grade X student. The Nature of Scientific Literacy Test (NOSLiT) developed by Wenning was used as an assessment tool. This instrument was not associated with a particular subject in school. Thirty six students of grade X MBI Amanatul Ummah at even semester were examined as a research sample. The analysis of students scientific literacy were gain results as follows, the intellectual process skills was 26.39%, postulate of science was 40.28%, scientific nomenclature was 47.22%, scientific disposition was 48.61%, and the rules of scientific evidence was 84.72%. The average percentage of scientific literacy skills of students was 49.44%, while the average percentage of NOSLiT was 58.80%. The difference was raised due to the characteristic of students on their education quality, new type of questions, and student’s general knowledge of science.

Keywords: analysis, scientific literacy, NOSLiT

I. PENDAHULUAN

Studi mengenai literasi sains terus berlangsung dan berkembang. Upaya tersebut dilakukan untuk memberikan pemahaman yang tepat kepada semua orang tentang literasi sains. Definisi, atribut-atribut, dan karakteristik tentang kemampuan literasi sains yang harus dimiliki seseorang semakin berkembang sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh para pakar. Hal ini dilakukan karena literasi sains dirasa sangat penting dalam skala nasional maupun internasional sebagai alat bantu menyelesaikan tantangan yang dihadapi dunia global dalam memenuhi persediaan makanan dan minuman untuk warga dunia, menghambat pertumbuhan penyakit, pembangkitan energi alternatif, dan adaptasi terhadap perubahan iklim [1].

Merujuk kepada salah satu pakar, Wenning [2] mengung-kapkan literasi sains sebagai kemampuan multidimensional yang harus dimiliki siswa. Kemampuan tersebut meliputi pengetahuan (perbendaharaan kata, fakta, dan konsep), keterampilan proses (terampil dan intelektual), disposisi (sikap dan perilaku), hubungan yang baik antara sains-teknologi-masyarakat, dan sejarah serta hakikat sains. Proses pembelajaran dianjurkan

memperhatikan aspek-aspek tersebut agar siswa dapat menggunakan apa yang diperoleh di sekolah sebagai bekal terjun ke kehidupan bermasyarakat.

Beberapa waktu lalu, koran harian Jawa Pos [3] memuat sebuah artikel yang mengungkapkan hasil pengukuran kemampuan literasi sains siswa Indonesia yang dilakukan oleh Program for International Student

Assessment (PISA). Indonesia berada di peringkat ke-69

di antara 76 negara peserta tes. Asesmen ini dilakukan pada rentang usia 15 tahun. Selain itu, Trends in

International Mathematics and Science Study (TIMSS)

juga melakukan pengukuran untuk mengetahui tingkat pencapaian siswa dalam konteks pendidikan matematika dan sains pada rentang usia kelas IV SD dan kelas VIII SMP. Hasil yang diperoleh pada tahun 2011, Indonesia berada pada peringkat 40 dari 45 negara peserta dengan skor 406 (skor rata-rata ideal 500) [4]. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah instrumen yang digunakan oleh lembaga tersebut bersifat universal karena diterapkan di berbagai negara, sehingga siswa Indonesia mengalami kesulitan jika soal yang dihadapi tidak sesuai dengan konteks atau pembelajaran yang dilakukan di Indonesia. Namun demikian, hal ini juga

(2)

harus disikapi dengan baik agar siswa Indonesia dapat bersaing di level internasional. Oleh karena itu diperlukan kemampuan literasi sains yang harus ditingkatkan.

Usaha perbaikan sistem pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan mencanangkan Kurikulum 2013 yang menekankan kepada sinkronisasi kemampuan multidimensional meliputi kompetensi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Sesuai dengan definisi yang telah diberikan Wenning [2], jika keempat kompetensi tersebut disajikan guru dalam pembelajaran, tidak menutup kemungkinan literasi sains siswa juga akan meningkat. Namun sayangnya penerapan pembelajaran sains yang dilakukan di sekolah masih bersifat sebagai transfer pengetahuan saja.

Hal ini harus menjadi perhatian bagi pekerja di bidang pendidikan, khususnya guru dan kepala sekolah. Pekerja bidang pendidikan diharapkan memiliki komitmen kuat untuk melakukan pembelajaran yang memfasilitasi kompetensi sesuai Kurikulum 2013. Mengingat studi pengukuran literasi sains yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian pada rentang usia 10 sampai 15 tahun, maka peneliti memandang perlu untuk melakukan penelitian serupa pada rentang usia yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan tujuan dapat memberikan informasi mendalam mengenai kemampuan literasi sains siswa serta memberikan masukan untuk meningkatkan hasil yang diperoleh.

Instrumen pengukuran literasi sains yang digunakan adalah Nature of Scientific Literacy Test (NOSLiT) yang dikembangkan oleh Wenning [2]. NOSLiT dirasa sebagai instrumen yang paling sesuai karena komponen NOSLiT bersesuaian dengan pembelajaran yang dilakukan di sekolah. NOSLiT dikembangkan dengan tujuan mengukur pemahaman siswa terhadap hakikat sains untuk mencapai keberhasilan literasi sains serta digunakan pada jenjang siswa sekolah menengah atas. II. LANDASAN TEORI

Berdasarkan Bybee [5], James Bryant Conant menggunakan istilah literasi sains pada tahun 1952 dalam tulisannya tentang ”General Science in Education”. Tulisan tersebut belum memberikan definisi yang jelas mengenai pengetahuan yang harus diketahui seseorang, keahlian yang perlu dimiliki, dan cara pikir serta sikap yang dibutuhkan agar orang dapat dikatakan memiliki literasi sains yang berkembang.

Hasil kerja Conant menginisiasi Paul DeHart Hurd untuk mendefinisikan literasi sains. Hurd dalam Holbrook dan Rannikmae [6] mengartikan literasi sains pertama kali pada tahun 1958 sebagai memahami sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat.Studi terus berlangsung hingga Chiappetta dan Fillman [7] dalam penelitiannya mengung-kapkan bahwa meningkatkan literasi sains melalui pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan untuk memanfaatkan pengetahuan ilmiah dalam menyelesaikan masalah sehari-hari. Chiappetta dan Fillman [7] menggunakan empat indikator literasi sains, yaitu 1) sains sebagai batang tubuh pengetahuan, 2) sains sebagai cara

penyelidikan, 3) sains sebagai cara berpikir, dan 4) interaksi antara sains, teknologi, dan masyarakat.

National Science Education Standards (NSES) [2]

mendefinisikan literasi sains sebagai pengetahuan dan pemahaman konsep dan proses sains yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan, keikutsertaan dalam bermasyarakat, berbudaya, dan berekonomi. Secara singkatnya, literasi sains mengharapkan seseorang dapat menemukan dan menyelidiki keingintahuannya tentang pengalaman sehari-hari yang dijumpai. NSES mengemukakan indikator literasi sains meliputi 1) sains sebagai penyelidikan, 2) konten sains, 3) sains dan teknologi, 4) sains dalam perseorangan dan perspektif sosial, 5) sejarah dan hakikat sains, serta 6) penyatuan antara konsep dan proses.

Carl J. Wenning [2], koordinator pada Program Pendidikan Fisika di Illinois State University, USA, mengembangkan sebuah intrumen khusus untuk mengukur literasi sains siswa SMA di Amerika Serikat yang disebut dengan Nature of Scientific Literacy Test (NOSLiT). Selain bertujuan mengukur literasi sains, NOSLiT berfungsi untuk mengidentifikasi kelemahan siswa dalam memahami, memperbaiki proses pembelajaran, dan menentukan keefektifan suatu program. Instrumen ini diujikan kepada 386 siswa SMA di wilayah Illinois selama bulan Februari 2006. Soal terdiri dari 35 soal berisi tentang fenomena sehari-hari. Indikator literasi sains atau kerangka kerja NOSLiT yang digunakan oleh Wenning [2] meliputi 1) penamaan ilmiah, 2) keterampilan observasional dan eksperimental dasar, 3) kaidah bukti saintifik, 4) postulat sains, 5) disposisi ilmiah, dan 6) miskonsepsi umum tentang sains. Instrumen tes yang disusun berdasarkan kerangka kerja di atas merupakan instrumen yang bebas materi. Artinya instrumen tes ini tidak melibatkan materi ajar yang diberikan kepada siswa sehingga instrumen ini dapat digunakan secara fleksibel untuk mengukur kemampuan literasi sains siswa.

Peneliti mengadaptasi instrumen ini dan hanya mengambil 5 indikator literasi sains. Indikator miskonsepsi umum tentang sains tidak disertakan karena membutuhkan kajian tersendiri. Setiap indikator diwakili oleh 2 soal dengan tipe soal pilihan ganda dan empat pilihan jawaban. Hal ini dilakukan dengan dua pertimbangan. Pertama, beberapa soal bersifat kontekstual atau berhubungan dengan kondisi wilayah negara asal pengembang soal. Soal-soal ini tidak relevan jika diikutsertakan dalam tes. Kedua, tipe soal merupakan tipe yang sangat baru bagi siswa. Hampir semua soal menuntut siswa untuk menganalisis pernyataan-pernyatan mengenai sains secara umum. Dari 35 soal NOSLiT, hanya 10 soal saja yang diujikan.Siswa diharapkan lebih bersungguh-sungguh dan cermat dalam memahami soal, sehingga diperoleh hasil jawaban yang merepresen-tasikan pemahaman siswa tentang literasi sains.

III. METODE PENELITIAN/EKSPERIMEN

Penelitian ini menggunakan metode tes. Tes terdiri dari 10 soal literasi sains yang diadaptasi dari instrumen

(3)

NOSLiT. Data yang diperoleh diolah menggunakan analisis statistik deskriptif. Jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah diberi nilai 0. Setiap indikator diwakili oleh dua soal sehingga total skor jawaban benar pada kedua soal dijumlahkan kemudian dibagi dengan total skor maksimal dikalikan seratus persen. Hasil analisis literasi sains dipersentasekan dengan menghitung jumlah siswa yang menjawab benar dan membaginya dengan jumlah total siswa dikali seratus persen.

Tabel 1. Indikator NOSLiT.

No. Indikator No. Soal 1 Penamaan ilmiah 1, 2 2 Keterampilan observasional dan

eksperimental dasar

3, 4 3 Kaidah bukti saintifik 5, 6 4 Postulat sains 7, 8 5 Disposisi ilmiah 9, 10 * dari ref [2]

Sampel penelitian adalah dua kelas X MBI Amanatul Ummah yang berjumlah 36 siswa pada semester genap. Hasil analisis data dikelompokkan berdasarkan indikator literasi sains sesuai dengan instrumen NOSLiT yang disajikan pada Tabel 1.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang diperoleh dari penelitian disajikan dalam Gambar 1.

Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa siswa memiliki kemampuan literasi terendah pada indikator kedua, yaitu kemampuan observasional dan eksperimental dasar yang diwakili soal nomor 3 dan 4 sebesar 26,39%. Pertanyaan pada nomor 3 dan 4 menyajikan fakta dan hubungan antar konsep. Sebesar 73,61% siswa masih kurang cermat dalam memahami uraian tersebut sehingga tidak dapat menyimpulkan hasil observasi dan eksperimental dengan benar. Hal ini bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh Odja dan Payu [8] yang menyimpulkan

bahwa hasil tes literasi sains siswa yang ada pada kategori konseptual dan multidimensional masih bernilai 0%. Odja dan Payu [8] menggunakan pengkategorian literasi sains yang diungkapkan oleh Soobard dan Rannikmae [9]. Kategori konseptual mengharapkan siswa dapat memahami masalah, membenarkan jawaban dengan benar informasi dari teks, grafik, atau tabel. Kategori dimensional mengharapkan siswa memahami keterkaitan antar konsep dalam kehidupan, mengerti keterkaitan antara ilmu, teknologi, dan masyarakat serta menunjukkan pemahaman pengetahuan.

Indikator literasi sains yang memperoleh persentase terendah kedua adalah postulat ilmiah yang diwakili oleh soal nomor 7 dan 8 sebesar 40,28%. Postulat ilmiah merupakan pandangan tentang sains yang dijalankan dari dulu hingga sekarang. Postulat tersebut menjadi dasar para ilmuwan dalam mempelajari, mengkaji, dan meneliti sesuatu dalam sains. Wenning [2] mengungkapkan delapan aspek postulat ilmiah yaitu a) semua hukum sains bersifat universal, b) ada konsistensi dari segi waktu dan tempat, c) tidak ada efek yang muncul tanpa sebab alami, d) saintis tidak menerima penjelasan yang tidak ada tesnya, e) sains mengakui adanya observasi yang diulang, f) pengetahuan sains bersifat lama namun tentatif, g) sains tidak menyediakan kepastian yang absolut, h) sains bukan masalah pribadi yang menyangkut kepentingan saintis sendiri. Dari hasil tes, masih banyak siswa yang belum memahami delapan aspek postulat ilmiah tersebut.

Indikator terendah ketiga adalah penamaan ilmiah yang diwakili oleh soal nomor 1 dan 2 sebesar 47,22%. Penamaan ilmiah merupakan daftar istilah-istilah yang sering digunakan dalam sains. Wenning [2] mendaftar dua puluh empat istilah tersebut. Dari dua istilah yang dikeluarkan dalam soal, masih banyak yang belum memahami dengan persentase jawaban salah 52,78%. Kedua istilah tersebut adalah ”prediksi” dan ”teori”. Pada soal nomor 1, siswa masih bingung membedakan antara prediksi dan hipotesis. Sedangkan pada nomor 2, siswa kurang cermat dalam memahami istilah ”teori”. Hal ini dapat dikarenakan minimnya pembelajaran yang melibatkan kegiatan penyelidikan.

Indikator literasi sains yang memperoleh skor terendah keempat adalah disposisi ilmiah yang diwakili oleh soal nomor 9 dan 10 sebesar 48,61%. Disposisi ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki oleh ilmuwan dalam mempelajari sains. Sikap tersebut di antaranya adalah rasa ingin tahu dan skeptis, objektif dan tidak dogmatis, kreatif dan logis, jujur dan dapat dipercaya. Berdasarkan hasil tes, siswa mampu untuk memahami bahwa seorang ilmuwan harus mencari pengetahuan saintifik, bahkan saat pengetahuan yang ditemukan berbeda dengan keyakinan atau anggapan mereka. Namun, hampir semua siswa belum memahami bahwa ilmuwan dapat kreatif melakukan penelitian secara induksi maupun deduksi. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya indikator kelima literasi sains.

Perolehan tertinggi dicapai siswa pada indikator kaidah bukti saintifik yang diwakili oleh nomor soal 5 dan 6 sebesar 84,72%. Uraian fenomena yang disediakan pada

(4)

soal nomor 5 dan 6 dapat dijawab siswa dengan benar disertai alasan yang tepat. Hal ini dapat dikarenakan fenomena yang disajikan dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa serta sesuai dengan alur berpikir atau logika yang dimiliki siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Arief dan Utari [10] juga menjelaskan bahwa indikator literasi menjelaskan fenomena ilmiah mengalami peningkatan dengan mencapai skor yang tinggi.

Rata-rata skor keseluruhan yang diperoleh adalah 49,44%. Sedangkan rata-rata skor NOSLiT yang diujikan oleh Wenning adalah 58,80%. Hasil yang diujikan oleh Wenning memperoleh skor yang lebih tinggi dibandingkan hasil yang diperoleh peneliti. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kualitas pendidikan antara negara asal instumen NOSLiT dikembangkan, yaitu United States dengan Indonesia. Kualitas pendidikan yang dimiliki United States sebagai negara maju jauh lebih baik dibandingkan negara berkembang. Berdasarkan hasil PISA 2015, skor literasi sains United States adalah 496. Skor ini di atas skor rata-rata yaitu 493, sedangkan Indonesia hanya memperoleh skor 403 [11].

Kedua, soal literasi sains yang digunakan merupakan tipe soal yang sangat baru bagi siswa. Hampirsemua tipe soal yang dikembangkan merupakan domain analisis yang termasuk dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi. Siswa masih belum terbiasa untuk berpikir analitis, atau secara umum berpikir tingkat tinggi. Hal ini dibuktikan oleh penelitian dari Fayakun & Joko [12] yang mengungkapkan bahwa masih terdapat tiga indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi yang memperoleh skor rendah meskipun telah diajarkan menggunakan model pembelajaran aktif. Ketiga, pengetahuan umum siswa tentang sains masih kurang. Pengetahuan tentang sains merupakan wawasan mengenai bagaimana ilmu sainsdiperoleh. Oleh karena itu, pengetahuan umum tentang sains akan dapat dimengerti oleh siswa jika siswa terlibat aktif dalam belajar.

Perolehan skor pada kelima indikator belum merata. Selisih antara skor terendah dan tertinggi mencapai 58,33%. Ketimpangan skor sebesar 50% lebih ini harus menjadi bahan evaluasi untuk menyelenggarakan pembelajaran yang memfasilitasi kemampuan literasi sains. Berlakunya Kurikulum 2013 di semua satuan pendidikan dapat dimanfaatkan oleh guru untuk mengintegrasikan kemampuan literasi sains. Hal ini bersesuaian dengan sasaran Kurikulum 2013 yang menganjurkan pelaksanaan pembelajaran menggunakan model-model yang berpusat siswa, seperti inkuiri terbimbing, pembelajaran berbasis masalah, project

based learning, dan sebagainya.Dengan demikian,

diharapkan literasi sains siswa dapat mengalami peningkatan dan penyetaraan di setiap indikatornya. V. KESIMPULAN

Persentase kemampuan literasi sains siswa dari rendah ke tinggi secara berturut-turut adalah kemampuan observasi-onal dan eksperimental dasar 26,39%, postulat ilmiah 40,28%, penamaan ilmiah 47,22%, disposisi

ilmiah 48,61%, dan kaidah bukti saintifik 84,72%. Rata-rata kemampuan literasi sains siswa kelas X adalah 49,44% sedangkan rata-rata hasil uji coba NOSLiT yang dilakukan oleh Wenning adalah 58,80%.

Perbedaan perolehan ini disebabkan karena karakteristik siswa berdasarkan kualitas pendidikan, tipe soal yang masih sangat baru untuk siswa serta pengetahuan umum siswa tentang sains.Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi semua guru, khususnya di MBI Amanatul Ummah untuk meningkatkan kemampuan literasi sains siswa melalui penyelenggaraan pembelajaran yang inovatif sesuai dengan anjuran Kurikulum 2013.

PUSTAKA

[1] Organisation for Economic Co-operation and Development,PISA 2012 Draft Science Framework. Website:

https://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/Draft%20PISA% 202015%20Science%20Framework%20.pdf, diakses tanggal 3 April 2016.

[2] C. J. Wenning, Assessing nature-of-science literacy as one component of scientific literacy,Journal of Physics

Teacher Education, vol. 3, no. 4, 2006, pp. 3-14.

[3] Pembelajaran Matematika Salah Konsep, Jawa Pos, 22 Oktober 2016.

[4] A. I. P. Ariyanti, Pengembangan Asesmen Modifikasi

Nature of Scientific Literacy Test (NOSLiT) untuk

Mengukur Literasi Sains Siswa SMA, Tesis Magister

Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2016.

[5] R. W. Bybee, Scientific literacy, environmental issues, and PISA 2006: The 2008 Paul F-Brandweinlecture,Journal of Science Education and

Technology, 17, 2008, pp. 566-585.

[6] J. Holbrook, M. Rannikmae,The Meaning of Scientific Literacy. International Journal of Environmental and

Science Education, vol. 4, no. 3, 2009, pp. 275-288.

[7] E. L. Chiappetta, D. A.Fillman, Analysis of Five High School Biology Textbooks Used in United States for Inclusion of the Nature of Sciences. International Journal

of Science Education, vol. 29, no. 15, 2007, pp.

1847-1868.

[8] A. H. Odja, C. S. Payu, Analisis Kemampuan Awal Literasi Sains Pada Konsep IPA, Prosiding Seminar

Nasional Kimia Jurusan Kimia FMIPA Unesa, 2014, pp.

40-47.

[9] R. Soobard, M. Rannikmae, Assessing student’s level of scientific literacy using interdisciplinary scenarios.

Science Education International, vol. 22, no. 2, 2011, pp.

133-144.

[10] M. K..Arief, S. Utari, Implementation of Levels of Inquiry on Science Learning to Improve Junior High School Student’s Scientific Literacy. Jurnal Pendidikan Fisika

Indonesia, vol. 11, no. 2, 2015, pp. 117-125.

[11] Organisation for Economic Co-operation and Development,PISA 2015 Result in Focus. Website: https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf, diakses tangga 13 Maret 2017.

[12] M. Fayakun, P. Joko. Efektivitas Pembelajaran Fisika Menggunakan Model Kontekstual (CTL) dengan Metode Predict, Observe, Explain terhadap Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, vol 11, no. 1, 2015, pp. 49-58.

(5)

TANYA JAWAB Anonim

Saran yang realistis untuk meningkatkan literasi sains?

Ainur Rokhmah /UNS

Menerapkan kurikulum 2013 dengan optimal, baik dan benar

.

Gambar

Tabel 1. Indikator NOSLiT.

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan awal literasi sains siswa yang terdiri atas empat kategori yaitu nominal, fungsional, prosedural

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan literasi sains siswa pada materi ekosistem dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah menghasilkan nilai rata-rata

43 Berdasarkan analisis angket yang digunakan dalam penelitian mengungkap faktor- faktor yang mempengaruhi kemampuan literasi sains siswa meliputi: (1) minat terhadap sains, (2)

Prioritas penilaian PISA 2012 dalam literasi sains tertuju pada beberapa aspek kompetensi sains, yaitu: mengidentifikasi isu ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan literasi sains siswa SMP pada aspek kompetensi sains. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Sampel

Berdasarkan gambar 4.1 menunjukkan perbedaan rata-rata nilai siswa yang berdampak terhadap peningkatan rata-rata kemampuan literasi sains siswa pada kelas yang

Adapun saran yang disampaikan dalam penelitian pengembangan instrumen literasi sains dan hasil belajar IPA ini, yaitu sebagai berikut, 1 Kepala Sekolah agar memfasilitasi guru dalam

Sehingga dapat disimpulkan bahwa media video pembelajaran fisika berbasis powtoon pada materi gelombang bunyi untuk meningkatkan kemampuan literasi sains siswa kelas XI sangat menarik