• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. belah pihak, baik menyangkut biaya pelayanan ataupun prosedur dan mutu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. belah pihak, baik menyangkut biaya pelayanan ataupun prosedur dan mutu"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsep managed care pada dasarnya bukan hal yang baru, tidak hanya terdapat di AS, tetapi juga di Negara lain, yang telah menyelenggarakan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat. Di Indonesia telah banyak dilakukan oleh berbagai perusahaan yang menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi karyawannya, melalui kerja sama dengan para dokter umum dan spesialis dengan syarat-syarat tertentu yang disetujui oleh kedua belah pihak, baik menyangkut biaya pelayanan ataupun prosedur dan mutu pelayanan.

Asuransi Kesehatan yang paling mutakhir adalah Managed Care, dimana sistem pembiayaan dikelola secara terintegrasi dengan sistem pelayanan. Sejak awal 1990-an, konsep ini mendapat banyak perhatian, ketika dunia (khususnya Negara maju) menghadapi masalah yang sama, yaitu meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, yang selama sekitar dua dasawarsa, khususnya di AS melampaui angka inflasi atau kenaikan barang konsumsi lainnya. Konsep ini, khususnya di AS telah berhasil menurunkan tingkat kenaikan biaya pelayanan kesehatan pada tahun1995.

Di lingkungan PT Askes Indonesiakonsep Manage Care atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKMB), ternyata telah dilaksanakan sejak

(2)

pertama, tarif paket RS, serta pelayanan dokter keluarga, serta system rujukan dalam pemberian pelayanan kesehatan pada peserta askes/BPDPK, yang kemudian berkembang menjadi konsep Total Capitation secara nasional yang dimulai pada tahun 1992.

Evolusi JPKMB akhirnya melahirkan undang-undang jaminan sosial, yaitu UU SJSN No.4/2004. Pada April 2011 sedang dibahas RUU Badan Pengelolaan Jaminan Sosial (BPJS), meliputi bahasan tentang badan yang akan melaksanakan amanat UU SJSN No.4/2004. Dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Harapannya semua penduduk Indonesia sudah menjadi peserta JKN pada tahun 2019.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi manage care ? 2. Apa ciri manage care?

3. Apa saja bentuk-bentuk dari managed care? 4. Bagaimana teknik-teknik manage care?

5. Apa perbendaan asuransi tradisional dengan managed care? 6. Bagaimana Mekanisme pembayaran provider?

7. Bagaimana implementasi di Indonesia berdasarkan UU SJSN dan UU JKN ?

1.3 Tujuan

1 Untuk mengetahui definisi manage care. 2 Untuk mengetahui ciri manage care.

3 Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari managed care 4 Untuk mengetahui teknik-teknik manage care.

(3)

7 Untuk mengetahui implementasi di Indonesia berdasarkan UU SJSN dan UU JKN.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Managed Care

Managed care adalah suatu konsep yang masih terus berkembang, sehingga belum mempunyai definisi yang satu dan universal. Namun secara

(4)

umum managed care dapat didefinisikan sebagai suatu sistem dimana pelayanan kesehatan terlaksana secara terintegrasi dengan sistem pembiayaan yang mempunyai lima elemen (Juanita, 2002), yaitu:

a) Penyelenggaraan pelayanan oleh provider tertentu b) Memiliki kriteria khusus untuk penetapan provider

c) Memiliki program pengawasan mutu dan manajemen utilisasi d) Penekanan pada upaya promotif dan preventif

e) Adanya financial insentive bagi peserta yang melaksanakan pelayanan sesuai prosedur.

Menurut International Foundation of Employee Benefit Plans (2003), managed care merupakan pengaturan perawatan/pelayanan kesehatan yang mencakup strategi biaya, alokasi risiko antara proses asuransi, penyedia dan pengusaha, serta klaim administrasi dan pelaporan. Tujuan dari pengaturan ini adalah untuk membantu masyarakat atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dalam pelayanan kesehatan.

Menurut WHO (2000), managed care adalah suatu sistem yang mencoba mengintegrasikan antara pembiayaan dan pemberian pelayanan kesehatan yang sesuai bagi anggotannya. Managed care merupakan pendekatan komprehensif yang melibatkan perencanaan, pendidikan, pemantauan, koordinasi, pengendalian kualitas, akses, pembiayaan, serta kontrol pemanfaatan terlibat.

Menurut (Henny, 2007) Managed care adalag suatu sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang disusun berdasarkan jumlah anggota yang terdaftar dengan kontrol mulai dari perencanaan pelayanan serta meliputi ketentuan :

a. Ada kontrak dengan penyelenggara pelayanan kesehatan untuk pelayanan yang komprehensif

b. Penekanan agar peserta tetap sehat sehingga utilitasi berkurang c. Unit layanan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan d. Ada program peningkatan mutu pelayanan

(5)

Perlu dikembangkannya asuransi kesehatan nasional dengan managed care sebagai bentuk operasional dengan cakupan asuransi yang akan semakin luas maka diperlukan juga jaringan pelayanan yang semakin luas pula. Akan semakin banyak tuntutan terhadap pelayanan yang berkualitas baik terhadap penyelenggaraan asuransi kesehatan maupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Adapun factor-faktor utama dalam managed care yaitu:

1. Mengelola pembiayaan dan pemberian jasa pelayanan kesehatan 2. Menggunakan teknik kendali biaya

3. Membagi risiko keuangan antara provider dan badan asuransi

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar pengertian managed care adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang menyelaraskan kendali mutu dan kendali biaya kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

2.2 Ciri-Ciri Managed Care

Managed care mempunyai ciri sebagai berikut:

a. Adanya kerjasama antara pemberi layanan jasa kesehatan (provider) dan lembaga penyelenggara asuransi.

b. Monitoring dan kontrol pelayanan yang diberikan.

c. Adanya pembatasan Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) atau Provider.

d. Menciptakan layanan kesehatan yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

e. Menekankan pada pemeliharaan peserta untuk mengurangi utilitas pelayanan.

f. Adanya program peningkatan mutu dan Utilization Review (UR).

g. Sistem reimbursement yang membuat sarana pelayanan kesehatan (dokter, puskesmas, rumahsakit dll) dapat mempertanggungjawabkan biaya dan kualitas layanan kesehatan.

(6)

2.3 Bentuk Manage Care

Managed care terdiri dari 3 bentuk yaitu, Health Maintenance Organization (HMO), Preferred Provider Organization (PPO), dan Point of Servie (POS).

1. Health Maintenance Organization (HMO)

HMI merupakan suatu bentuk managed care yang mempunyai ciri sebagai berikut:

a. Pembayaran premi didasarkan pada perhitungan kapitasi.

Kapitasi adalah pembayaran terhadap penyelenggara pelayanan kesehatan berdasarkan jumlah sasaran anggota, biasanya didasarkan atas konsep wilayah dan bukan berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan.

b. Terikat pada lokasi tertentu.

c. Pembayaran out of pocket sangat minimal.

d. Mempunyai dua bentuk HMO, yaitu HMO merupakan badan penyelenggara merangkap sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan sehingga control lebih baik dan mengurangi utilisasi yang berlebihan. Kedua, HMO mengontrol penyelenggara pelayanan kesehatan.

e. Pilihan provider/penyelenggara pelayanan kesehatan adalah terbatas, diperlukan waktu untuk menukar provider.

f. Ada pembagian risiko dengan provider/pemnyelenggara pelayanan kesehatan.

g. Kendali biaya dan pemanfaatan tinggi. h. Ada kemungkinan mutu pelayanan rendah. Beberapa tipe HMO adalah:

(7)

a. Staff-model, dimana dokter secara langsung menjadi pegawai HMO dan diberikan imbalan dengan system gaji.

b. Group-model, dimana HMO mengontrak dokter secara kelompok dan biasanya didasarkan atas kapitasi.

c. Network-model, dimana HMO mengontrak lebih dari satu grup dokter.

d. Individual Practice Assosiation (IPA), dimana HMO mengontrak sejumlah dokter dari beberapa jenis praktik dan biasanya didasarkan pada fee for service

2. Preferred Provider Organization (PPO), dan Point of Servie (POS) Merupakan bentuk managed careyang memberikan jaminan pilihan PPK yang lebih luas kepada konsumen yaitu provider yang termasuk dalam jaringan dan provider yang tidak termasuk dalam jaringan pelayanan sehingga harus dibayar penuh. Ciri-ciri dari PPO dan POS adalah sebagai berikut:

a. Pelayanan bersifat komprehensif. b. Kebebasan memilih PPK.

c. Isentif untuk menggunakan PPK murah.

d. Pembayaran PPK berdasarkan fee for service dengan potongan harga.

e. Pengeluaran out of pocket sedang. f. Inflasi biaya relative masih tinggi. g. Ada kendali utilitas dan mutu. h. Tumbuh paling cepat.

Namun menurut Sulastomo (2000), konsep dasar bentuk-bentuk Managed Care Organization dapat dikenali sebagai berikut :

1. HMO (Health Maintenance Organization) adalah sistem pemeliharaan kesehatan yang terorganisir, yang bertanggung jawab atas pembiayaan

(8)

(the delivery of care) yang komprehensif, terhadap sekelompok masyarakat yang menjadi pesertanya (enrolled population) dengan pembayaran pradana praupaya (prepaid) dalam jumlah yang tetap (fixeed fee). Adapun prototipe dari HMO yang sering diperkenalkan adalah Kaiser Permanente Health Plant, dimana Kaiser Permanente Health Plan memiliki jaringan pelayanan kesehatan yang lengkap (RS, laboratorium, klinik, apotik, dan lain-lainnya), dengan dokter-dokter bekerja purna waktu (staf model) serta pembayaran berdasarkan berdasar kapitasi (capitation basis). Sekarang dikenal 7 (model) HMO dengan berbagai variasi karakteristik yang berbeda terhadap kepemilikan serta hubungan dengan jaringan PPK (Health Providers), sistem pembiayaan (financing of healthcare) dan sistem pemberian pelayanan kesehatan (the delivery care).

2. Preferred Providers Organization (PPO) adalah sebuah lembaga/organisasi dari sekelompok profesi/dokter dan institusi kesehatan yang menyelenggarakan perjanjian (contract arrangment) dengan perusahaan/Perusahaan Asuransi Kesehatan/HMO serta third party administration lainnya, pada sekelompok peserta sesuai dengan biaya yang disepakati bersama. Meskipun dokter-dokter tidak dalam posisi menanggung risiko seluruh pembiayaan kesehatan, dokter-dokter dapat memperoleh pembayaran atas dasar kapitasi, khususnya apabila terikat pada IPA model (Independent Practice Association). Peranan dari PPO dalam hubungan dengan pihak ketiga, misalnya MCO, adalah menetapkan/memilih PPK, negosiasi tarif pelayanan, melaksanakan program penjaga mutu dan pemanfaatan pelayanan (utilization review).

(9)

Meskipun demikian, dalam perkembangannya PPO juga memungkinkan peserta untuk memilih PPK lain dengan menerapkan prinsip cost sharing. 3. Independent Practice Association (IPA) juga sering dikenal sebagai

Individual Practice Association adalah sekelompok dokter (yang jumlahnya tidak besar) yang menyetujui untuk dapat melayani sekelompok peserta MCO. IPA dapat dalam bentuk not for profit maupun for profit organization, sekedar partnership dan lain sebagainya. Peranan IPA sering sangat penting dalam penyelenggaraan sebuah program MCO, baik dalam memberikan pelayanan kesehatan maupun menetapkan biaya pelayanan kesehatan, misalnya pelaksanaan konsep kapitasi adanya IPA, MCO juga dapat memperoleh garansi dalam pengendalian mutu pelayanan kesehatan (quality assurance programme) melalui (misalnya) program peer review dan bahkan penggunaan pelayanan kesehatan (utilization review).

4. Independent Practitioner Organization (IPO) adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh kalangan profesi dan masyarakat kedokteran untuk mengevaluasi kepersertaan mereka dalam program MCO, tetapi lebih berperan dalam kepesertaan seorang dokter dalam program MCO, tetapi lebih berperan sebagai semacam clearing house bagi anggotanya untuk memperoleh informasi tentang perkembangan MCO dan lain-lainya.

Dengan perkembangan sebagaimana yang dikemukakan diatas, managed care sesungguhnya lebih merupakan suatu pendekatan untuk mengendalikan biaya pelayanan kesehatan, melalui berbagai upaya pengembangan sistem pelayanan dan pembiayaan yang efisien dan effektif, untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal dan bermutu.

(10)

Salah satu bentuk paling mendasar mengenai managed care adalah Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) untuk memberikan perawatan dan pelayanan kesehatan kepada pasien. Sistem ini dilakukan secara terpadu mencakup satu atau lebih terhadap hal berikut ini:

a. Dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang ditunjuk sebagai Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) bagi pendaftar (pasien).

b. Standar yang jelas untuk memilih penyelenggara pelayanan kesehatan. c. Adanya program tinjauan pemanfaatan (utilization review) dan program

peningkatan kualitas.

d. Menekankan pada penanganan promotif dan preventif.

e. Adanya financial insentive untuk mendorong pasien menggunakan pelayanan kesehatan secara efisien serta Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) dapat mempertanggungjawabkan biaya dan kualitas layanan kesehatannya.

Sebuah survei yang diterbitkan oleh America’s Health Insurance pada tahun 2009 menyebutkan bahwa pasien yang tidak mendaftar sebagai anggota pelayanan kesehatan terkadang dikenakan biaya perawatan yang sangat tinggi dibandingkan yang telah mendaftar sebagai anggota. Terdapat beberapa teknik managed care yang dapat digunakan baik untuk program yang berbasis PPK dan yang bukan berbasis PPK. Berikut adalah teknik-teknik managed care : 1. Care and Disesase Management (C/DM)

C/DM adalah sebuah sistem intervensi kesehatan yang terkoordinasi diperuntukkan bagi pasien yang memerlukan upaya perawatan diri (self-care) yang signifikan. Menurut Green (2009), care management

(11)

merupakan suatu rancangan program kesehatan yang menangani pasien dengan kondisi kronis yang dianggap beresiko tinggi akibat kombinasi dari berbagai masalah kesehatan, sosial, dan fungsional. Sedangkan disease management merupakan program yang mengelola pasien dengan penyakit tertentu seperti diabetes atau hipertensi (Green, 2009). Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa care and disease management sangat cocok diperuntukkan bagi pasien yang mengalami masalah penyakit kronis seperti diabetes, gagal ginjal, gagal jantung, dan hipertensi.

Konsep dari C/DM adalah saling berbagi pengetahuan, membangun pengetahuan, tanggung jawab dan rencana perawatan dengan praktisi kesehatan atau kerabat dekat (keluarga, teman, pengasuh). Agar program ini efektif, diperlukan implementasi sistem secara menyeluruh dengan dukungan sosial masyarakat, profesional klinis selaku penyedia pelayanan kesehatan bersedia untuk bertindak sebagai mitra bagi pasien, serta sumberdaya yang memadai.

Secara keseluruhan, program C/DM berpotensi untuk mengurangi biaya perawatan kesehatan dengan mengurangi penggunaan pelayanan medis yang tidak perlu. Selain itu program C/DM telah mampu meningkatkan kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan bagi penderita penyakit kronis dengan cara mencegah atau meminimalkan efek dari penyakit melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, mengontrol gaya hidup untuk meminimalkan gejala penyakit, dan pemberian perawatan yang integratif. Jadi, manfaat yang diperoleh pasien dengan

(12)

teknik care and disease management (C/DM) adalah meskipun dengan biaya perawatan kesehatan yang minimal dan masa perawatan yang singkat namun pasien akan memperoleh hasil perawatan yang optimal. 2. Case management

Menurut Powell (1996) dalam tesis Kgasi (2010), case management adalah proses mendapatkan layanan yang tepat terhadap klien yang tepat. Artinya, sebuah proses kolaboratif yang menilai, merencanakan, mengimplementasikan, mengkoordinasi, memonitoring dan mengevaluasi pilihan dan layanan untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesehatan individu melalui komunikasi dan ketersediaan sumber daya. Proses pelayanan kesehatan ini betujuan untuk memberikan kualitas kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup klien dengan biaya yang minimal.

Case management mengembangkan sistem untuk mengidentifikasi dan menangani kasus beresiko tinggi dan berbiaya tinggi. Kasus beresiko tinggi yang ditangani dengan case management adalah kanker, HIV/AIDS, insiden pembuluh darah otak, transplantasi organ, luka bakar parah, kehamilan beresiko tinggi, neonatus resiko tinggi, luka bakar parah, cedera tulang belakang dan penyakit neuromuskular. Kasus beresiko tinggi ini telah meningkatkan potensi komplikasi medis dan masa perawatan di rumah sakit yang berkepanjangan sehingga meningkatkan biaya perawatan.

(13)

Menurut Applebaum dan Austin (1990) dalam Scharlach, et al. (2001), tujuan case management dapat dilihat berdasarkan client-oriented, administrative-oriented, dan system-oriented.

a) Client-oriented

Tujuan client-oriented adalah memastikan bahwa klien menerima layanan yang tepat yang mendukung perawatan secara informal, meningkatkan akses terhadap perawatan formal dan meningkatkan kesejahteraan individu dan keluarga.

b) Administrative-oriented

Administrative-oriented menyangkut biaya, penyediaan, dan pemanfaatan jasa dalam rangka meningkatkan pemanfaatan layanan dan pembatasan biaya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan biaya, mengurangi penggunaan layanan yang lebih mahal, atau meningkatkan atau menurunkan jumlah klien yang dilayani.

c) System-oriented

System-oriented bertujuan untuk mengatasi seluruh sistem pelayanan yang efisien dan berkualitas tinggi. Tujuan system-oriented mencakup hal lebih luas dan berfokus jangka panjang dari administrative-oriented, yaitu sistem pemberian perawatan berbasis masyarakat secara keseluruhan. Hal ini meliputi penyediaan rangkaian perawatan yang berkesinambungan, meningkatkan akses pelayanan, dan meningkatkan ketepatan waktu pelayanan.

(14)

Workplace wellness merupakan program kegiatan promosi kesehatan atau kebijakan organisasi yang dirancang untuk mendukung perilaku hidup sehat di tempat kerja dan untuk meningkatkan kesehatan pekerja. Workplace wellness terdiri dari berbagai kegiatan promosi kesehatan seperti pameran kesehatan, pendidikan kesehatan, pemeriksaan medis, pembinaan kesehatan, program kebugaran, serta program manajemen berat badan. Sedangkan kebijakan organisasi workplace wellness, mencakup penyediaan fasilitas kesehatan bagi pekerja, penyediaan dapur dan kantin, menawarkan pilihan makanan sehat, dan sebagainya. Workplace wellness telah diperluas sebagai budaya hidup sehat dalam lingkup tempat kerja.

Manfaat yang diperoleh dengan penerapan workplace wellness adalah peningkatan kesehatan bagi pekerja sehingga resiko cedera lebih rendah, ketidakhadiran pekerja rendah, dan ketahanan pekerja lebih besar.

4. Patient Education

Patient education adalah salah satu dari beberapa inisiatif yang bertujuan untuk membuat orang berpartisipasi dalam manajemen penyakit kronis mereka sendiri. Langkah yang dilakukan adalah memberikan kompetensi terhadap pasien yang memungkinkan mereka untuk mengelola penyakit kronis mereka menjadi lebih baik.

Menurut Olga (2010), patient education dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu clinical patient education (atau clinical teaching and learning) dan health education. Clinical patient education merupakan proses belajar-mengajar yang diberikan oleh penyedia layanan kesehatan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai seluruh tatacara klinis secara sistematis, sekuensial,

(15)

dan logis. Tujuan pengajaran dan pembelajaran klinis ini didasarkan pada penilaian pasien, evaluasi, diagnosis, prognosis, dan kebutuhan individu, serta persyaratan yang terkait dengan intervensi.

Proses health education mirip dengan clinical patient education. Namun, lebih berfokus pada kesehatan, pencegahan, dan promosi kesehatan. Selain itu, health education dapat diberikan kepada individu, kelompok, serta masyarakat. Fokus dasarnya adalah untuk mengubah dan meningkatkan perilaku kesehatan masyarakat dalam hal pendidikan klinis dan kesehatan; serta pengambilan keputusan terkait siapa yang mengambil peran yang lebih tepat dan aktif dalam perawatan kesehatan.

Manfaat dari penerapan patient education adalah meningkatkan keselamatan pasien dan kepatuhan terhadap intervensi serta kepuasan pasien. Bagi penyedia layanan kesehatan, manfaat yang diperoleh adalah menghasilkan hasil (outcome) yang lebih baik dan meningkatkan kualitas pelayanan.

5. Utilization Management (UM)

Utilization management merupakan proses evaluasi terhadap kesesuaian kebutuhan medis dan efisiensi prosedur layanan kesehatan dan fasilitas kesehatan, berdasarkan kriteria (pedoman) yang ditetapkan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku oleh National Committee of Quality Assurance (NCQA). Utilization management bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan untuk mempromosikan dan mendokumentasikan penggunaan yang tepat terhadap sumberdaya kesehatan. Dalam hubungannya dengan penyedia layanan kesehatan, UM membantu dalam memberikan perawatan yang tepat

(16)

kepada anggota yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam aturan yang sesuai.

6. Utilization Review (UR)

Utilization review merupakan suatu metode untuk memantapkan kualitas pelayanan dari penyedia layanan kesehatan yang berfokus pada kontrol biaya dengan mengkaji perlu atau tidaknya pelayanan secara medis diberikan, serta layak atau tidaknya jika dilihat dari segi biaya atau sumberdaya. UR digunakan pada kondisi medis yang rumit, serius, dan katastropik (penyakit berbiaya tinggi dan mengancam jiwa), misalnya kanker, AIDS, dan trauma hebat.

2.5 Mekanisme Pembayaran Provider

Konsep yang diusung pemerintah Indonesia dalam rangka penerapan Universal Health Coverage (UHC) melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah kendali biaya, kendali mutu (managed care). Diharapkan dengan konsep ini, SJSN dapat menekan biaya pelayanan yang diikuti dengan peningkatan kualitas derajat kesehatan masyarakat. Berangkat dari konsep managed care tersebut, pemerintah berupaya menyusun mekanisme pembayaran kepada penyedia layanan kesehatan (health provider) yang sesuai dengan prinsip managed care.

Mekanisme pembayaran merupakan suatu cara untuk menetapkan insentif perilaku bagi pelaku pelayanan yang kompleks, yang mempengaruhi hubungan antara pelaku dan pembayar, baik pasien atau pihak ketiga. Mekanisme pembayaran ini menentukan jumlah dan aliran uang dari pembayar pihak ketiga atau pasien, atau keduanya, ke pelaku pelayanan dalam pemberian pelayanan.

(17)

Mekanisme pembayaran menetapkan baik unit atau kombinasi pelayanan yang merupakan dasar pembayaran pelaku maupun tarif yang harus dibayarkan untuk pemberian pelayanan (Patriajati, 2013).

Dalam pembayaran sistem asuransi terdapat beberapa jenis mekanisme pembayaran provider diantaranya yaitu :

2.5.1 Sistem Pembayaran Retrospektif

Sistem retrospektif membayar besaran biaya pelayanan kesehatan setelah pelayanan kesehatan selesai diberikan. Sistem ini merupakan sistem yang paling lazim dan banyak digunakan. Banyak yang menyebut sistem ini sebagai sebagai sistem "Fee For Service".

Menurut Permenkes No. 27 Tahun 2014, metode pembayaran retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas layanan yang diberikan, semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya yang harus dibayarkan.

Pada sistem ini, Penyedia pelayanan kesehatan akan menagih dengan rinci segala macam pelayanan, tindakan, obat-obatan, bahan habis pakai, ruangan dan lain sebagainya sesuai dengan apa yang diberikan dan atau diterima oleh konsumen yang dirawat. Total tagihan dari hal-hal tersebut lah yang biasa kita terima di akhir perawatan kesehatan, baik di klinik maupun di Rumah Sakit.

Kelemahan dari sistem pembayaran ini adalah dari segi pengendalian biaya. Baik kepada pasien yang bersangkutan ataupun Asuransi yang menjadi penanggungnya. Hal ini dikarenakan fasilitas kesehatan maupun dokter tidak punya insentif atau kepentingan untuk mengendalikan pembiayaan biaya kesehatan. justru dengan semakin banyak pelayanan

(18)

Kesulitan terbesar bagi konsumen untuk dapat meminimalisir hal tersebut adalah pada keterbatasan pengetahuan ataupun pemahaman masyarakat awam atas hal-hal yang dilakukan / tindakan pemberi jasa kesehatan. Pasien hanya pasrah saja terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan pemberi jasa kesehatan, sehingga tidak memahami apakah hal tersebut memang betul-betul perlu dilakukan.

2.5.2 Sistem Pembayaran Prospektif

Menurut Permenkes No. 27 Tahun 2014, metode pembayaran prospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Contoh pembayaran prospektif adalah global budge atau budget system, per diem, kapitasi dan case based payment atau diagnostic related group (DRG) . Jenis Pembayaran secara sistem Prospektif antara lain: 1. Global Budget atau Budget System

Pembayaran yang dilakukan berdasarkan anggaran/jumlah biaya yang tetap yang telah disepakati bersama. Dasar perhitungan biaya dapat melalui mekanisme penyusunan anggaran biaya secara riil diperlukan atau berdasar jumlah peserta (kapitasi).

2. Per Diem (Per hari rawat)

Metode pembayaran per diem merupakan metode pembayaran kepada provider yang didasarkan pada hasil negosisasi dan kesepakatan dimana jumlah pembayaran perawatan mengacu kepada jumlah hari rawat yang dilakukan, tanpa mengindahkan biaya yang digunakan oleh rumah sakit.

Misalnya: penanggung setuju membayar biaya rawat perhari sebesar Rp. 250.000 kepada RS Provider, tanpa mempertimbangkan

(19)

ruangan, obat, visite dokter, dll. Dengan demikian diharapkan rumah sakit dapat mengendalikan biaya perawatan dan memberikan pengobatan yang paling cost effective, pemeriksaan lab yang memang diperlukan, serta berbagai penghematan lainnya. Lebih spesifik lagi dapat dilakukan pembedaan besarnya tingkat pembayaran per diem berdasarkan penggolongan perawatan. misalnya perawatan operasi dan non operasi, dan lain sebagainya.

Metode lainnya adalah “Sliding scale per diem”, yaitu pembayaran per diem berdasarkan kuota jumlah hari rawat. Semakin banyak jumlah hari rawat, maka provider akan diberikan biaya per diem yang semakin rendah. Misalnya: Jika total hari rawat dalam setahun pada sebuah provider mencapai 5000 hari rawat, maka pembayaran per diem nya akan jadi lebih rendah (murah). Jika Jumlah hari rawat dapat ditekan menjadi misalnya 3000 hari rawat saja, dibayar dengan biaya per diem lebih tinggi. Jadi ada insentif bagi provider untuk meningkatkan efektifitas pelayanan dan bukannya sengaja memperbanyak jumlah hari perawatan.

3. Capitation (Kapitasi)

Pada Pola Kapitasi Penyedia jasa kesehatan (provider) diposisikan sebagai salah satu penanggung resiko, baik sebagian ataupun seluruhnya. Dengan hal ini maka diharapkan terjadi efisiensi dan efektifitas pembiayaan jasa pelayanan kesehatan.

Konsep sederhananya adalah Penyedia jasa pelayanan kesehatan diberikan dana fixed untuk melayani sejumlah peserta melalui basis per member per month (PMPM). Dengan demikian diharapkan pembiayaan dapat dikendalikan karena pihak provider juga

(20)

mempunyai kepentingan dalam hal tersebut.Langkah Menghitung Kapitasi sebagai berikut (Thabrany, 2001):

1) Menetapkan jenis pelayanan yang akan dicakup dalam pelayanan kapitasi.

2) Menghitung angka utilisasi dalam satuan jumlah pengguna per 1000 populasi yang akan dibayar secara kapitasi.

3) Mendapatkan rata-rata biaya per jenis pelayanan untuk suatu wilayah.

4) Menghitung biaya per kapita per bulan untuk tiap jenis pelayanan. 5) Menjumlahkan biaya per kapita per bulan untuk seluruh pelayanan.

Dalam penggunaan kapitasi perlu juga diwaspadai tindakan-tindakan para penyedia jasa pelayanan kesehatan (provider) dalam menyikapi pola pembiayaan kapitasi tersebut dalam memperoleh margin atau laba yang diinginkannya. Reaksinya dapat berupa hal yang positif, maupun negatif misalnya:

1. Hal positif

a) PPK memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, Diagnosis akurat, dan tepat tindakan agar peserta cepat sembuh dan tidak kembali berobat agar biaya lebih efektif.

b) PPK Memberikan pelayanan Preventif dan Promotif untuk meningkatkan kualitas kesehatan peserta. Dalam Jangka panjang hal ini akan menekan biaya pelayanan kesehatan.

c) Memberikan Pelayanan yang “Pas”. Tidak Over treatment ataupun under treatment.

2. Hal negatif

a) Sering melakukan rujukan agar waktu pelayanan lebih cepat, dapat melayani banyak orang, dan meminimalkan biaya yang harus dikeluarkannya. Biasanya terjadi pada pola kapitasi parsial, misalnya hanya menjamin rawat jalan dasar saja,

(21)

sementara untuk rawat jalan lanjutan ataupun rawat inap perlu dirujuk ke tempat lain.

b) Mempersingkat waktu layanan agar ada waktu lebih untuk melayani peserta non jaminan asuransi. Hal ini agar PPK dapat memperoleh income lebih dari pasien non peserta jaminan. c) PPK sengaja memberikanan pelayan yang tidak baik agar

peserta enggan datang ke PPK tersebut dan PPK tidak perlu mengeluarkan biaya lebih.

d) Cara mengevaluasi hal negatif PPK dapat berupa telaah utilisasi biaya, kepuasan pasien, dan lain sebagainya.

Menurut Permenkes RI No. 28 Tahun 2014, mekanisme pembayaran Kapitasi oleh BPJS Kesehatan didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di FKTP sesuai dengan data BPJS Kesehatan. Pembayaran kapitasi kepada FKTP dilakukan oleh BPJS Kesehatan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berjalan. Sebelum diundangkannya Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, pembayaran Dana Kapitasi oleh BPJS ke FKTP Pemerintah Daerah langsung ke Dinas Kesehatan Kab/Kota yang selanjutnya disetor ke Kas Daerah (KASDA) atau langsung dari BPJS Kesehatan ke Kas Daerah sebagai penerimaan

(22)

Sejak diundangkannya Perpres 32/2014 dan Permenkes 19/2014 dana Kapitasi langsung dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke FKTP milik Pemerintah Daerah.Mekanisme pembayaran klaim non Kapitasi pelayanan JKN oleh BPJS Kesehatan di FKTP milik Pemerintah Daerah dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Pembayaran klaim non kapitasi di FKTP milik Pemerintah Daerah meliputi:

a) Pelayanan ambulan.

b) Pelayanan obat program rujuk balik.

c) Pemeriksaan penunjang pelayanan program rujuk balik.

d) Pelayanan skrining kesehatan tertentu termasuk pelayanan terapi krio.

e) Rawat inap tingkat pertama.

f) Pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh bidan atau dokter.

g) Pelayanan KB berupa MOP/vasektomi.

4. Case Based Payment atau Diagnostic Related Group (DRG)

Menurut Permenkes No. 27 Tahun 2014, di Indonesia, metode pembayaran prospektif dikenal dengan Casemix (case based payment) dan sudah diterapkan sejak Tahun 2008 sebagai metode pembayaran pada program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sistem casemix adalah pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya perawatan yang mirip/sama, pengelompokan dilakukan dengan menggunakan software grouper. Sistem casemix saat ini banyak digunakan sebagai dasar sistem pembayaran kesehatan di negara-negara maju dan sedang dikembangkan di negara-negara berkembang.

(23)

Group). Implementasi pembayaran dengan INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 pada 15 rumah sakit vertikal, dan pada 1 Januari 2009 diperluas pada seluruh rumah sakit yang bekerja sama untuk program Jamkesmas.

Secara sederhana, DRG diartikan sebagai cara pembayaran pelayanan kesehatan dengan berdasarkan biaya satuan per diagnosis. Jadi pada sistem ini, pembayaran jasa pelayanan kesehatan bukan dihitung dari jenis pelayanan medis maupun non medis, ataupun lama rawat inap yang diterima oleh pasien dalam upaya penyembuhan suatu penyakit. Konsep DRG ini tidak mudah sehingga hanya dilaksanakan untuk beberapa diagnose yang terbatas.

Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari DRG (Indonesia Diagnosis Related Group) menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group) seiring dengan perubahan grouper dari 3M Grouper ke UNU (United Nation University) Grouper. Dengan demikian, sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013, pembayaran kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan dalam Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) menggunakan INA-CBG. Sejak diimplementasikannya sistem casemix di Indonesia telah dihasilkan 3 kali perubahan besaran tarif, yaitu tarif INA-DRG Tahun 2008, tarif INA-CBG Tahun 2013 dan tarif INA-CBG Tahun 2014. Tarif INA-CBG mempunyai 1.077 kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup/kelompok rawat inap dan 288 kode grup/kelompok rawat jalan, menggunakan sistem koding dengan ICD-10 untuk diagnosis serta ICD-9-CM untuk

(24)

prosedur/tindakan. Pengelompokan kode diagnosis dan prosedur dilakukan dengan menggunakan grouper UNU (UNU Grouper). UNU-Grouper adalah Grouper casemix yang dikembangkan oleh United Nations University (UNU).

Tarif INA-CBGs yang digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Januari 2014 diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan, dengan beberapa prinsip sebagai berikut :

a. Pengelompokan Tarif 7 kluster rumah sakit, yaitu : 1) Tarif Rumah Sakit Kelas A.

2) Tarif Rumah Sakit Kelas B.

3) Tarif Rumah Sakit Kelas B Pendidikan. 4) Tarif Rumah Sakit Kelas C.

5) Tarif Rumah Sakit Kelas D.

6) Tarif Rumah Sakit Khusus Rujukan Nasional. 7) Tarif Rumah Sakit Umum Rujukan Nasional.

Pengelompokan tarif berdasarkan penyesuaian setelah melihat besaran Hospital Base Rate (HBR) sakit yang didapatkan dari perhitungan total biaya pengeluaran rumah sakit. Apabila dalam satu kelompok terdapat lebih dari satu rumah sakit, maka digunakan Mean Base Rate.

(25)

Tarif terbagi atas 5 Regional yang didasarkan pada Indeks Harga Konsumen (IHK) dan telah disepakati bersama antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan/ c. Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA-CBGs

versi 4.0 untuk kasus – kasus tertentu yang masuk dalam special casemix main group (CMG), meliputi:

1) Special Prosedure. 2) Special Drugs. 3) Special Investigation. 4) Special Prosthesis.

5) Special Groups Subacute dan Kronis

Top up pada special CMG tidak diberikan untuk seluruh kasus atau kondisi, tetapi hanya diberikan pada kasus dan kondisi tertentu. Khususnya pada beberapa kasus atau kondisi dimana rasio antara tarif INA-CBGs yang sudah dibuat berbeda cukup besar dengan tarif RS. Penjelasan lebih rinci tentang Top Up dapat dilihat pada poin D.

d. Tidak ada perbedaan tarif antara rumah sakit umum dan khusus, disesuaikan dengan penetapan kelas yang dimiliki untuk semua pelayanan di rumah sakit berdasarkan surat keputusan penetapan kelas yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI.

e. Tarif INA-CBGs merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun non-medis. Untuk Rumah Sakit

(26)

yang belum memiliki penetapan kelas, maka tarif INA-CBGs yang digunakan setara dengan Tarif Rumah Sakit Kelas D sesuai regionalisasi masing-masing.

Penghitungan tarif INA CBGs berbasis pada data costing dan data koding rumah sakit. Data costing didapatkan dari rumah sakit terpilih (rumah sakit sampel) representasi dari kelas rumah sakit, jenis rumah sakit maupun kepemilikan rumah sakit (rumah sakit swasta dan pemerintah), meliputi seluruh data biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit, tidak termasuk obat yang sumber pembiayaannya dari program pemerintah (HIV, TB, dan lainnya). Data koding diperoleh dari data koding rumah sakit PPK Jamkesmas. Untuk penyusunan tarif JKN digunakan data costing 137 rumah sakit pemerintah dan swasta serta 6 juta data koding (kasus).

Menurut Permenkes RI No. 28 Tahun 2014, mekanisme pembayaran pelayanan kesehatan dengan menggunakan sistem INA CBGs terhadap FKRTL berdasarkan pada pengajuan klaim dari FKRTL baik untuk pelayanan rawat jalan maupun untuk pelayanan rawat inap. Klaim FKRTL dibayarkan oleh BPJS Kesehatan paling lambat 15 hari setelah berkas klaim diterima lengkap. Pengaturan lebih lanjut tentang sistem paket INA CBGs di atur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis INA CBGs. Sedangkan mekanisme pembayaran pelayanan kesehatan dengan menggunakan sistem di luar paket INA CBGs terhadap FKRTL

(27)

5. Cost-Sharing

Konsep iuran biaya adalah suatu konsep pemberian imbalan jasa pada PPK, dimana sebagian biaya pelayanan kesehatan dibayar oleh pengguna jasa pelayanan kesehatan (user’s fee).Mekanisme pembayaran iuran peserta kepada BPJS Kesehatan disesuaikan dengan kepesertaan yang terdaftar di BPJS Kesehatan.

a. Iuran bagi peserta PBI dibayarkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.

b. Iuran bagi peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah dibayarkan oleh Pemerintah Daerah dengan besaran iuran minimum sama dengan besar iuran untuk peserta PBI.

c. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Pemberi kerja memungut iuran dari pekerja dan membayar iuran yang menjadi tanggung jawab pemberi kerja kemudian iuran disetorkan ke BPJS Kesehatan.

2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai pemberi kerja menyetorkan iuran kepada BPJS Kesehatan melalui rekening kas negara dengan tata cara pengaturan penyetoran dari kas negara kepada BPJS Kesehatan sebagaimana diatur oleh Kementerian Keuangan.

d. Iuran bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja dibayarkan oleh peserta sendiri kepada BPJS Kesehatan sesuai dengan kelas perawatannya.

e. Iuran bagi penerima pensiun, veteran, dan perintis kemerdekaan dibayar oleh pemerintah kepada BPJS Kesehatan.

(28)

Menurut Permenkes No. 27 Tahun 2014, perbedaan antara mekanisme pembayaran retrospektif dan prospektif terletak pada kelebihan dan kekurangan yang dimiliki keduanya.

Kelebihan Kekurangan

Provider

Risiko keuangan sangat kecil

Tidak ada intensif untuk yang member Preventif Care Pendapatan Rumah

Sakit tidak terbatas Suply induced deman

Pasien

Waktu tunggu yang lebih singkat

Jumlah pasien di klinik sangat banyak, Overcrowded clinics Lebih mudah mendapat pelayanan dengan teknologi terbaru Kualitas pelayanan kurang Pembayaran Mudah mencapai kesepakatan dengan provider Biaya administrasi tinggi untuk proses klaim

Meningkatkan resiko keuangan

Tabel 2.1 Kelebihan Dan Kekurangan Metode Pembayaran Retrospektif

Kelebihan Kekurangan

Provider

Pembayaran lebih adil sesuai dengan kompleksitas pelayanan Kurangnya kualitas coding akan menyebabkan ketidak sesuaian proses grouping (pengelompokan kasus) Proses klaim lebih

cepat

Pasien Kualitas pelayanan baik

Pengurangan kuantitas pelayanan

(29)

pelayanan terbaik lain

Pembayaran

Biaya administrasi

lebih rendah Memerlukan

monitoring pasca klaim Mendorong

peningkatan sistem informasi

Tabel 2.3 Kelebihan Dan Kekurangan Metode Pembayaran Prospektif

2.6 Perbedaan Antara Asuransi Ganti Rugi Tradisional dengan Managed Care

Asuransi Tradisional Managed Care

Tidak ada batasan untuk memilih provider

Mendorong atau mensyaratkan penggunaan provider yang ditentukan Menawarkan cara pembayaran fee for

service kepada provider

Membayar berdasar tariff negosiasi kepada provider

Fungsi asuransi terpisah dari sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan

Mengintegrasikan pembiayaan dengan sistem pelayanan

Menanggung semua resiko keuangan Berbagi resiko finansial dengan provider

Menawarkan insentif keuangan untuk mengendalikan biaya

Menciptakan insentif keuangan bagi provider maupun tertanggung untuk mengendalikan biaya

Tidak tertarik untuk mengukur mutu dan kelayakan pelayanan

Ikut serta aktif dalam metode pengukur kualitas dan memantau kelayakan pelayanan

Tidak memiliki ketentuan biaya yang riil, semata-mata “kalau sudah selesai, bayar”

Sebagian besar sudah menetapkan anggaran biaya pelayanan, prabayar dengan premi yang tetap.

(30)

Ada beberapa perbedaan mendasar antara operasional dan tujuan asuransi ganti rugi tradisional dengan pelayanan managed care salah satu perbedaan utama adalah kaitannya dengan akses peserta terhadap pelayanan kesehatan. Dalam program asuransi ganti rugi tradisoinal peserta bebas memilih dokter atau rumah sakit untuk kebutuhan perawatan medis mereka. Sebaliknya program managed care membuat kontrak dengan beberapa provider yang dipilih dan peserta dirujuk kepada jaringan provider tersebut.

Fitur lain yang membedakan asuransi tradisional dengan managed care adalah pembagian resiko (risk sharing ) antara asuradur dengan provider. Pada asuransi ganti rugi tradisional, resiko yang diasuransikan yaitu biaya perawatan medis akibat sakit atau kecelakaan ditanggung oleh peserta dan asuradur. Semakin sering seseorang tertanggung mendapatkan pelayanan medis semakin besar uang yang harus dibayar tertanggung dan asuradur untuk provider. Dokter atau rumah sakit yang merawat tertanggung tidak mempunyai resiko financial apapun dari penyakit atau kecelakaan yang dialami oleh tertanggung. Dokter atau rumah sakit yang dibayar setiap kali tertanggung menggunakan layanan tersebut. Dengan demikian, semakin sering seseorang tertanggung mengunjungi provider yang menurut asuransi tradisional dibayar dengan fee for service semakin besar keuntungan financial yang diperoleh oleh provider.

Pada managed care penyebaran resiko financial diperluas dengan mengikut sertakan provider. Filosofi dari program ini adalah bahwa provider harus turut berbagi resiko finansial dari kondisi kesehatan tertanggung yang buruk dan provider tidak boleh mengambil keuntungan dari pengguna jasa yang

(31)

diberikan dengan biaya yang efisien. Risk sharing ini dilakukan dengan menerapkan berbagai metode pembayaran dan kontrak yang mendorong provider melakukan perawatan dengan biaya efisien.

Ciri lain yang membedakan managed care dengan asuransi ganti rugi tradisional adalah diterapkannya manajemen utilisasi ( utilization management), yaitu suatu proses yang dilakukan untuk memastikan tertanggung menerima pelayanan yang diperlukan, sesuai kebutuhan medis dan berkualitastinggi dengan biaya yang efisien.

Managed care, yang mengintegrasikan pembayaran dan penyediaan pelayanan kesehatan mempunyai pengaruh kuat terhadap pasar. Pengguna/pembeli pelayanan kesehatan sekarang ini menuntut control yang lebih besar atas biaya yang telah dikeluarkan, kualitas pelayanan yang lebih baik, tanggung jawab provider, dan dihubungkan dengan pajak, administrasi yang efisien.

2.7 Implementasi UU SJSN dan UU BPJS di Indonesia

Implementasi Asuransi Kesehatan di Indonesia adalah penerapan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. SJSN berupaya untuk memberikan jaminan sosial kepada warga yang berada di wilayah Negara Indonesia. Setiap warga Negara Indonesia maupun warga asing yang bekerja di Indonesia minimal selama 6 bulan wajib terdaftar sebagai peserta SJSN.

(32)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur keseluruhan tentang SJSN. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau disebut juga asuransi kesehatan sosial adalah suatu program pemerintah dan masyarakat/rakyat dengan tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Peserta yang terakhir ini disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Harapannya semua penduduk Indonesia sudah menjadi peserta JKN pada tahun 2019.

2.7.1 Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Adapun tujuan Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional

1. Menjamin accesability masyarakat ke faskes yang memadai 2. Mewujudkan pemerataan pelayanan kesehatan

(33)

5. Mendorong standar mutu pelayanan kesehatan yang rasional

Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI), Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).

Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 menetapkan Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. 5 Program jaminan dalam JKN yaitu:

1. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Penyelenggara: BPJS Kesehatan 2. Jaminan Kecelakaan Kerja

3. Jaminan Kematian

4. Jaminan Tunjangan Hari Tua

5. Jaminan Pensiun. Penyelenggara: BPJS Ketenagakerjaan 2.7.2 Prinsip-prinsip Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Adapun prinsip-prinsip jaminan kesehatan nasional ialah 1. Kepesertaan Bersifat Wajib bagi Seluruh Rakyat

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN.

2. Menerapkan Prinsip Managed Care

Suatu sistem dimana pelayanan kesehatan dan pembiayaannya (pelayanan kesehatan) diselenggarakan dan tersinkronisasi dalam

(34)

kerangka kendali mutudan biaya, sehingga menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu dandengan biaya yang efisien.Fitur Managed Careyang diterapkan dalam JKN ialah :

a) Gatekeeper Concept (Primary Care)

Memfungsikan pelayanan primer sebagai “gate keeper”

1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer: (gate keeper) pilih satu Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)

a) Puskesmas b) Klinik swasta

2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lanjut a) Rumah sakit umum daerah

b) Rumah sakit pusat c) Rumah sakit BUMN d) Rumah sakit swasta

Peserta harus ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan PPK 1/primer dulu, bila berobat (kecuali darurat) dengan tujuan untuk memberikan pelayanan yang optimal, sehingga

rujukan sangat selektif.

b) Quality Assurances (Credentialing & Recredentialing)

Fasilitas kesehatan (Faskes) yang akan digunakan dalam pelaksanaan JKN adalah semua fasilitas kesehatan yang saat ini menjadi provider Jamkesmas, JPK Jamsostek, TNI, Polri dan Askes PNS, untuk itu akan dibuat kontrak/perjanjian kerja sama yang baru antara Faskes dan BPJS Kesehatan. Untuk memperluas akses pelayanan kesehatan kepada peserta JKN, akan dibuka kesempatan provider baru yang ingin bergabung dalam JKN dan telah disiapkan proses kredensialing dan selanjutnya dibuat Perjanjian Kerja Sama antara provider dengan BPJS Kesehatan.

Provider JKN melalui kesepakatan kontraktual (credentialing), antara lain memperhatikan:

1) Aspek legal/perijinan

2) Kelengkapan fasilitas pelayanan sesuai yang dibutuhkan 3) SDM yang memadai/sertifikasi (kuantitas dan kualitas)

(35)

4) Terakreditasi oleh badan akreditasi independen (mutu layanan yang jelas)

5) Profile dokter & pelayanan (kunjungan, rasionalitas pengobatan, lama tunggu, length of stay, dll)

6) Bersedia mengikuti sistem penjamin (managed care-cashless) 7) Aksesibility informasi pasien

8) Aksesibility bagi peserta, wilayah cakupan c) Benefit Komprehensif (Benefit-UKP)

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional terdiri atas 2 jenis, yaitu manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif atau luas, masih ada manfaat yang tidak dijamin, meliputi:

1) Tidak sesuai prosedur.

2) Pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS.

3) Pelayanan bertujuan kosmetik. 4) Pengobatan alternative

5) Pengobatan untuk mendapatkan keturunan 6) Pelayanan kesehatan saat bencana

7) Pasien bunuh diri/narkoba d) Fokus pada Promotif dan Preventif

Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:

1) Penyuluhan kesehatan perorangan; 2) Imunisasi dasar;

3) Keluarga berencana; dan 4) Skrining kesehatan.

(Pasal 21 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013) e) Sistem Rujukan Berjenjang

(36)

Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, atau dokter keluarga yang tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan Anda. Apabila memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua atau fasilitas kesehatan sekunder.

Pelayanan kesehatan di tingkat ini hanya bisa diberikan jika mendapat rujukan dari fasilitas primer. Rujukan ini hanya diberikan jika pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik dan apabila fasilitas kesehatan primer tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan karena keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan atau ketenagaan. Jika pasien masih belum dapat tertangani di fasilitas kesehatan sekunder, maka dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier simana mendapatkan penanganan dari dokter sub-spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialistik.

Namun ada pengecualian untuk pasien yang dalam keadaan gawat darurat bisa langsung dibawa ke rumah sakit tanpa harus ke pelayanan kesehatan primer.

Gambar 2.1 Model Sistem Pelayanan Kesehatan BPJS f) Drugs Formularium

(37)

Rencana Kebutuhan Obat (RKO) nasional untuk fasilitas kesehatan primer dan rujukan tahun 2014 telah disusun secara bottom-up sejak Agustus 2013. Mengenai ketersediaan obat, Instalasi Farmasi Kab/Kota dan Instalasi Farmasi RS telah menyusun rencana pengadaan untuk kebutuhan 1 tahun (tahun 2014) sejak bulan Oktober 2013. Pelayanan obat mengacu pada Formularium Nasional berdasarka SK Menkes No. 328/Menkes/SK/VIII/2013 tgl 19 September 2013.

g) Sistem Pembayaran yang Efektif

Penyelenggaraan BPJS menganut prinsip Payment ke Provider atau Prospective Payment (Pasal 39 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013) dengan menggunakan system kapitasi untuk fasilitas kesehatan pelayanan primer. Untuk provider rumah sakit dengan metode case base diagnosa group (INA-CBG yang penetapan tarifnya oleh Kemenkes (casemix center) dan penyesuaian tarif di tinjau ulang setiap 2 tahun sekali.

h) Utilization Review(Prospektif, Konkuren dan retrospektif)

Utilization review merupakan suatu metode untuk menjamin mutu pelayanan terkait penghematan biaya. Mekanisme pengendalian biaya utilization review dengan memeriksa apakah pelayanan secara medis perlu diberikan dan apakah pelayanan diberikan secara tepat. Utilization review memiliki keuntungan yang jelas dan telah dipraktekkan untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan pelayanan kesehatan agar menghilangkan dan mengurangi hal-hal yang tidak perlu serta resiko potensial pasien.

(38)

Prospective review merupakan UR yang digunakan untuk menentukan kebutuhan pelayanan kesehatan yang dilakukan sebelum pelayanan kesehatan diberikan, utamanya untuk penggunaan pelayanan di rumah sakit. Beberapa cara kajian jenis ini adalah case management, preadmission certification, outpatient presertification, referral authorization and second opinion. Concurrent review merupakan UR yang dilakukan ketika pelayanan diberikan kepada pasien. Tekniknya yang digunakan adalah menilai Length of stayed (LOS), Discharge planning dan continued stay Review. Retrospective review adalah UR yang dilakukan setelah pelayanan diberikan kepada pasien. Retrospective review umumnya dilakukan dengan claim review dan pattern review. Claim review merupakan kajian terhadap klaim:apakah klaim sesuai dengan paket manfaat yang disepakati atau apakah ada kekeliruan pada klaim. Pattern review melakukan kajian terhadap pola pemanfaatan pelayanan kesehatan sehingga diperoleh pola pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh peserta dan PPK serta pembiayaan pada msing-masing unit Penyedia Pelayanan Kesehatan. Salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan dalam UR adalah kepuasan pasien.

i) Dewan Pertimbangan Medik (Medical Advisory Board)

DPM atau Dewan Pertimbangan Medik adalah tim ahli yang memberikan masukan bagi peningkatan mutu pelayanan secara efisien. DPM dibentuk oleh BPJS Kesehatan dan didukung oleh BPJS Kesehatan. DPM adalah lembaga independen yang terdiri dari para pakar dalam ilmu kedokteran yang memberikan saran dan

(39)

pertimbangan medis terhadap kasus-kasus pelayanan kesehatan dalam bentuk second opinion, medical judgement, dan claim investigation. Second Opinion digunakan apabila pelaksanaan pembayaran klaim yang sepenuhnya tidak dapat dipenuhi. Tindakan ini meminta bantuan dari Dewan Pertimbangan Medik. Claim investigation digunakan apabila pelaksanaan pembayaran klaim yang lebih besar dari yang dipertanggungkan. Claim investigation adalah dilakukannya verifikasi ke PPK yang bersangkutan. Medical judgement untuk menilai apakah tindakan medis yang dilakukan seorang dokter sesuai dan tidak berlebihan.

3. “Cashless” bagi peserta saat menggunakan provider.

Cashless adalah salah satu metode klaim asuransi kesehatan dengan menunjukkan kertu keanggotaan, maka klien tidak perlu membayar DP dan biaya rumah sakit. Cashless merupakan proses dimana perusahaan asuransi mengalihkan pembayaran kalim rumah sakit kepada pihak ketiga. Artinya ada perusahaan lain ditengah-tengah, antara klien dan perusahaan asuransi (Tripartid)

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan system pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan, kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Kendali mutu dan biaya JKN difasilitasi oleh BPJS kesehatan. Aktivitas dalm kendali mutu dan biaya meliputi evaluasi mutu pelayanan kesehatan, audit medis, dan sosialisasi & pembinaan etika disiplin profesi.

(40)

Dalam Perpres No 12 Tahun 2013, pelayanan kesehatan kepada peserta Jaminan Kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien serta efisiensi biaya. Penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan dilakukan secara menyeluruh meliputi pemenuhan standar mutu fasilitas kesehatan, memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai standar yang ditetapkan, serta pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta. Ketentuan mengenai penerapan sistem kendali mutu pelayanan Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan BPJS. 2.7.3 Penyelenggaraan Kendali Mutu dan Kendali Biaya (Managed Care)

BPJS

Penyelenggaraan kendali mutu BPJS berlandaskan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan social nasional pada pasal 24 alenia (3) “Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan”, dan pada Peraturan Presiden Nomer 12 Tahun 2013 Pasal 42 “Pelayanan kesehatan kepada peserta Jaminan Kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien serta efisiensi biaya”, “Penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan dilakukan secara menyeluruh meliputi pemenuhan standar mutu fasilitas kesehatan, memastikan proses pelayanan

(41)

kesehatan berjalan sesuai standar yang ditetapkan, serta pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta”. Ketentuan mengenai penerapan sistem kendali mutu pelayanan Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan BPJS.

Proses penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya (Managed Care) oleh Badan Pelaksanaan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berdasarkan Rancangan Permenkes RI Turunan Perpres No 12 Tahun 2013 dilakukan melalui:

a. Pemenuhan standar mutu Fasilitas Kesehatan b. Pemenuhan standar proses pelayanan kesehatan c. Pemantauan terhadap luaran kesehatan Peserta

Dalam rangka penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya, BPJS Kesehatan membentuk tim kendali mutu dan kendali biaya yang terdiri dari unsur organisasi profesi, akademisi, dan pakar klinis.

Tim kendali mutu dan kendali biaya dapat melakukan:

1. sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi;

2. utilization review dan audit medis; dan/atau

3. pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.

Pada kasus tertentu, tim kendali mutu dan kendali biaya dapat meminta informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan. Peserta dalam bentuk salinan/fotokopi rekam medis kepada Fasilitas Kesehatan sesuai kebutuhan.

BAB 3 PENUTUP

(42)

1. Managed care adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang menyelaraskan kendali mutu dan kemdali biaya kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

2. Metode tradisional yang menerapkan asuransi ganti rugi swasta yang berasaskan fee for service terbukti tidak efektif dalam mengendalikan biaya pelayanan kesehatan yang terus berubah.

3. Perusahaan, konsumen dan pemerintah berupaya mencari jalan pemecahan terhadap semakin meningkatnya biaya pelayanan kesehatan dan memperluas akses kepada pelayanan kesehatan.

4. Pengembangan konsep-konsep managed care yang mengintegrasikan pembiayaan dengan penyelenggaraan pelayanan merupakan satu cara mengemukakan perlunya perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan.

5. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 6. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. 7. BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan

program jaminan sosial yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

(43)

Gambar

Tabel 2.1 Kelebihan Dan Kekurangan Metode Pembayaran Retrospektif
Tabel 2.3 Kelebihan Dan Kekurangan Metode Pembayaran Prospektif
Gambar 2.1 Model Sistem Pelayanan Kesehatan BPJS f) Drugs Formularium

Referensi

Dokumen terkait

Desa Ngemplak dalam menjalankan pelaksanaan pelayanan administrasi kependudukan masih bersifat manual menggunakan program Microsoft excel dan Microsoft word. Ada pula

Security screening shall include, but not be limited to, verification of current home address, telephone number, and prior work experience (See Section I, Part D.

Peluang emprik merupakan rasio dari hasil yang dimaksud dengan semua hasil yang mungkin pada suatu eksprimen lebih dari satu.Dalam suatu percobaan dimana setiap hasil memunyai

Efek berkelanjutan (multilier effect) dari pembentukan karakter positif anak akan dapat terlihat, seperti yang digambarkan oleh Jan Wallander, “Kemampuan sosial dan emosi pada

Flash card is a set visual media, in this case is asset of cards bearing information, as words or numbers, on either or both sides, used in classroom drills or

Teknik pencarian yang digunakan adalah teknik PARSING, yaitu memanfaatkan source code dari situs yang digunakan sebagai sumber dan memilah-milah hasil yang didapat untuk

(1) how lexical density progresses among and within the selected English textbooks, (2) how lexical variation progresses among and within the selected English

7 Untuk itu, bank harus dapat memberikan perlindungan hukum terhadap nasabahnya dalam menggunakan produk barang atau jasa yang diberikan oleh pihak perbankan kepada konsumen