• Tidak ada hasil yang ditemukan

memunculkan persepsi mengenai adanya hubungan timbal balik antara peminta (pelaku ritual) dengan perantara (Kanjeng Eyang).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "memunculkan persepsi mengenai adanya hubungan timbal balik antara peminta (pelaku ritual) dengan perantara (Kanjeng Eyang)."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

memunculkan persepsi mengenai adanya hubungan timbal balik antara peminta (pelaku ritual) dengan perantara (Kanjeng Eyang).

Masyarakat percaya bahwa jika kita mengharapkan sesuatu akan lebih baik jika kita memberikan terlebih dahulu. Demikian juga dengan yang dilakukan oleh pelaku ritual selamatan. Mereka mempercayai bahwa semakin banyak yang mereka berikan akan semakin banyak pula yang mereka terima. Dengan pola pikir yang demikian, banyak pelaku ritual selamatan yang sebisa mungkin mengupayakan memberikan lebih banyak dan lebih baik kepada Kanjeng Eyang. Hal tersebut dilakukan selain sebagai bentuk penghormatan dan rasa berbakti juga karena adanya pola pikir yang demikian.

Dalam pelaksanaan kegiatan ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi, pelaku ritual menyiapkan segala uba rampe yang diminta dengan ikhlas. Hal ini secara tidak langsung terlihat dari aturan yang tidak tertulis dalam kegiatan tersebut. Sebelum pelaksanaan kegiatan ritual dimulai modin terlebih dahulu menanyakan kesiapan pelaku ritual. Kesiapan di sini meliputi kesiapan fisik, hati, dan kelengkapan persyaratan.

Dalam diri pelaku ritual, baik bagi yang telah datang berkali-kali maupun yang baru pertama kali, telah mengetahui segala hal yang dipersyaratkan. Hal ini selain karena telah banyak beredar cerita mengenai kegiatan tersebut, juga karena terdapat tempat tersendiri yang disediakan oleh panitia penyelenggara. Oleh karena itu, bagi yang merasa berkepentingan untuk mengikuti ritual ini maka dengan sungguh-sungguh akan mempersiapkan diri. Akan tetapi, bagi yang tidak

(2)

berkepentingan tidak diperkenankan masuk ke dalam pendopo pesarean ketika ritual ini sedang berlangsung.

Selain membawa segala uba rampe yang diwajibkan, dalam ritual juga disediakan baskom besar di samping makam. Baskom ini memiliki fungsi untuk meletakkan kemenyan yang dibawa oleh pelaku ritual. Setelah kegiatan ritual selesai dilaksanakan, kemenyan ini akan dibagikan kembali oleh modin kepada pelaku ritual. Sebagai ganti dari kemenyan yang diberikan, pelaku ritual memasukkan sejumlah uang ke dalam baskom tersebut. Uang yang dimasukkan tidak dibatasi besarannya. Akan tetapi, dalam diri pelaku ritual tertanam suatu kepercayaan bahwa untuk mendapatkan lebih banyak maka terlebih dahulu kita mengeluarkan lebih banyak. Untuk itu, pelaku ritual memasukkan uang biasanya dalam jumlah yang cukup banyak dengan harapan akan mendapatkan lebih dari yang mereka keluarkan tersebut.

Pemikiran tersebut sudah berlaku umum dalam kepercayaan masyarakat. Hal tersebut juga yang mendasari pelaku ritual membawa uba rampe dengan harga yang mahal. Akan tetapi, jumlah yang banyak tidak diwajibkan oleh panitia penyelenggara. Hal tersebut dikembalikan lagi kepada kemampuan dan kepercayaan pelaku ritual.

Dalam tuturan terlihat bahwa uba rampe yang dibawa ditujukan untuk memberi makan kepada Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Tidak ditemukan tuturan yang menyatakan bahwa segala uba rampe atau salah satunya yang ditujukan untuk Tuhan maupun yang lain. Hal ini memperlihatkan bahwa penghormatan yang diberikan kepada Kanjeng Eyang sebagai perantara dan

(3)

kepada Tuhan sebagai tujuan berbeda. Demikian juga dengan bahasa yang digunakan dalam menyampaikan permohonan. Tuturan yang disampaikan kepada Kanjeng Eyang menggunakan bahasa Jawa dan di dalamya terlihat berbagai uba rampe yang dibawa. Sementara itu, tuturan kepada Tuhan dengan menggunakan bahasa Arab karena adanya pengaruh agama Islam. Dalam agama Islam doa yang dituturkan dengan menggunakan bahasa Arab maknanya dirasakan lebih mendalam.

5.3.2 Modin

Kegiatan ritual selamatan dilaksanakan secara kelompok yang di dalamnya dipimpin oleh modin. Dalam kegiatan tersebut modin tidak memiliki harapan khusus atau permohonan yang sifatnya pribadi. Hal tersebut terbaca dari tuturan yang disampaikan, bahwa dalam kegiatan tersebut modin hanya sebagai penyampai permohonan dari pelaku ritual. Modin mendapat amanat atau kepercayaan untuk memimpin kegiatan ritual dan menyampaikan segala bentuk hajat pelaku ritual. Dengan adanya kepercayaan tersebut modin merasa memiliki tanggung jawab yang lebih banyak.

Melalui tuturan yang disampaikan oleh modin mengenai posisi dia dalam kegiatan ritual terlihat adanya tanggung jawab yang besar dalam diri modin. Termasuk dalam membacakan permohonan pelaku ritual yang disampaikan secara pribadi melalui tulisan. Pada bagian ini, modin melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Hal tersebut terlihat dari cara penyampaian permohonan yang langsung membaca dari tulisan pelaku ritual selamatan. Modin membaca dengan

(4)

hati-hati, tanpa mengurangi isi permohonan, dan tanpa mengubah bahasa yang digunakan.

Tanggung jawab modin untuk menghantarkan segala permohonan dari pelaku ritual sangat terasa melalui intonasi yang dia gunakan. Modin membaca tuturan yang berbahasa Jawa dengan lancar tetapi cukup berhati-hati. Demikian juga ketika modin menuturkan permohonan yang berbahasa Indonesia. Tuturan yang menggunakan bahasa Indonesia adalah tulisan dan permohonan dari pelaku ritual secara khusus, modin membacakannya dengan agak pelan karena menyesuaikan dengan bentuk tulisan dari pelaku ritual. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kesalahan yang akan berakibat pada kesalahan permohonan. Pola pikir yang demikian merupakan bentuk toleransi dan tanggung jawab modin selaku pemimpin dalam kegiatan yang dianggap sangat sakral ini.

Modin menutup ritual dengan pembacaan doa-doa yang berbahasa Arab. Di dalamnya juga terdapat permohonan yang bersifat umum. Sifat umum yang terkandung di dalamnya tidak mengurangi keseriusan modin dalam menyampaikan tuturannya. Hal tersebut karena doa berbahasa Arab ini merupakan rangkaian dari semua tuturan sehingga penuturan yang dilakukan juga penuh dengan keformalan. Selain itu, doa berbahasa Arab ini juga banyak mengandung unsure ketuhanan sehingga memiliki daya kekuatan yang dirasakan lebih mendalam. Dengan demikian, modin tetap menuturkan dengan intonasi pelan dan di akhir doa dengan intonasi yang merendah.

(5)

5.3.3 Rosulullah

Pelaku ritual sebagai pemohon dalam kegiatan ritual selamatan meminta modin untuk menyampaikan hajatnya. Karena pelaku ritual telah mewakilkan dan mempercayakan seluruh rangkaian kegiatan kepada modin maka pelaku ritual mengikuti segala yang disampaikan oleh modin. Modin menyampaikan hajat melalui beberapa perantara. Perantara yang pertama adalah Rosulullah dan kedua adalah Kanjeng Eyang.

Rosulullah dianggap sebagai perantara karena dalam kepercayaan Islam beliau adalah utusan Tuhan dan dianggap dekat dengan Tuhan. Dalam tuturan yang berbahasa Jawa ditemukan satu tuturan yang di dalamnya modin mengajak untuk berdoa kepada Rosulullah. Sementara itu, dalam tuturan yang berbahasa Arab ditemukan banyak tuturan yang memohon kepada Tuhan untuk memberikan salawat kepada nabi Muhammad. Permohonan salawat tidak hanya ditujukan kepada Rosulullah (nabi Muhammad) tetapi lebih dari itu. Dalam kepercayaan Islam, karena cinta kepada Rosul berarti juga cinta kepada seluruh keluaga dan sahabat serta para pengikutnya. Dengan demikina, permohonan salawat tidak hanya untuk Rosulullah, melainkan juga untuk seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.

Dalam kepercayaan agama Islam Rosul menduduki peran penting dalam setiap kegiatan berdoa. Hampir dalam setiap kegiatan berdoa dalam kepercayaan Islam selalu diawali dan diakhiri dengan permohonan salawat atas nabi. Demikian juga dengan doa yang disampaikan dalam kegiatan ritual selamatan ini. Adanya pengaruh Islam yang cukup kuat menjadikan beberapa pola doa dalam Islam

(6)

diadaptasi dalam kegiatan ritual selamatan ini. Perbedaan latar belakang agama dan bahasa dari pelaku ritual tidak menjadikan pola ini berubah dan berbeda.

Seperti terlihat dalam penggalan tuturan di bawah ini.

(77) Innallaha wa malaikatu yusholluna ‘alannabi, ya ayyu halladina amanu shollu ‘alaihi wassalimu taslima.

‘Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya selalu bershalawat atas nabi, hai orang-orang yang beriman bershalawatlah selalu kalian semua atas nabi dan sampaikan salam sejahtera kepadanya’

Dalam penggalan tuturan di atas terlihat gambaran bahwa Tuhan “Allah” beserta para malaikat-Nya bersalawat atas nabi. Untuk itu, bagi orang-orang yang beriman seharusnya juga selalu bersalawat ke atas nabi. Hal ini dilakukan karena dalam kepercayaan agama Islam orang-orang yang selalu banyak bersalawat kepada nabi akan mendapatkan syafaat/pertolongan nabi nanti di hari akhir.

5.3.4 Konsepsi Mengenai Eyang Djoego dan Eyang Soedjo (Kanjeng Eyang Penembahan Berdua)

Pelaksanaan kegiatan ritual selamatan di Pesarean Gunung Kawi melibatkan dua lawan tutur. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, terdapat dua lawan tutur dalam wacana tuturan ritual selamatan, yakni Tuhan dan Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Kedua lawan tutur tersebut menempati peran dan fungsinya masing-masing dalam kegiatan tersebut.

Penggunaan kata “Tuhan” yang hanya sekali dalam wacana tuturan ritual memperlihatkan pola pikir bahwa Tuhan menjadi tempat memohon dan Tuhan adalah Maha Kuasa. Sementara itu, terdapat 14 kali penyebutan kata “Kanjeng Eyang Penembahan sekalian”. Penyebutan ini sedikit banyak didasari atas setting

(7)

ritual selamatan yang dilakukan di pesarean (tempat dimakamkannya kedua tokoh tersebut). Selain itu, juga didasari pengetahuan mereka mengenai tokoh-tokoh tersebut. Pengetahuan tersebut mereka dapatkan dari berbagai sumber dan cerita mengenai kebijaksanaan yang dimiliki kedua tokoh tersebut.

Keberadaan kedua tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut membawa dampak bagi perkembangan pola pikir dan pengetahuan masyarakat. Keberadaan makam itu telah menjadikan masyarakat berduyun-duyun ke tempat tersebut. Kedatangan mereka dengan membawa berbagai harapan tidak lepas dari konsepsi mereka terhadap dua tokoh tersebut, yakni Kanjeng Eyang Djoego dan Kanjeng Eyang Soedjo. Untuk itulah, dalam subbab ini diuraikan mengenai pola pikir yang terlihat dalam tuturan ritual selamatan mengenai kedua tokoh tersebut.

5.3.4.1 Kanjeng Eyang Penembahan Berdua sebagai Penghantar Hubungan dengan Tuhan

Ritual selamatan memang dianggap sebagai sarana dalam “pencarian” atau sarana untuk “bertemu” dengan Tuhan. Pelaku ritual hendak menyampaikan segala permohonan dan harapan mereka kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Akan tetapi, pelaku ritual juga meyakini bahwa untuk “bertemu” dengan Tuhan tidaklah mudah. Mereka percaya bahwa dibutuhkan sesuatu untuk dapat menghantarkan mereka supaya dapat “bertemu” dengan Tuhan. Untuk itulah mereka mencari cara atau hal lain yang dapat menghantarkan mereka “bertemu” dengan Tuhan. Kalaupun tidak sampai pada “bertemu”, mereka berharap permohonan dan harapan yang mereka sampaikan akan cepat sampai kepada Tuhan sehingga segera dapat dikabulkan.

(8)

Pencarian terhadap cara yang tersebut yang menghantarkan pelaku ritual sampai di tempat tersebut. Keputusan mereka untuk datang ke tempat tersebut tidak datang dengan sendirinya. Pelaku ritual mengaku pada awalnya hanya mendengar berbagai cerita dan kisah yang “menyenangkan” dari orang-orang yang pernah datang ke tempat tersebut. Cerita menarik yang dibawa terkait dengan banyak hal, antara lain tentang keberagaman pengunjung yang datang, beberapa ritual yang dapat diikuti, terdapatnya dua makam tokoh yang diyakini dapat membawa keberkahan, sampai pada mitos-mitos yang dipercayai.

Dua tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut itulah yang cukup menarik pengunjung untuk datang. Selain itu, keterkaitan antara dua makam dan beberapa ritual yang dijalani juga menarik pengunjung untuk dapat mengikuti ritual yang ada, salah satu ritual yang banyak diikuti adalah ritual selamatan. Dalam ritual selamatan banyak menyebut “Kanjeng Eyang Penembahan sekalian” yang merupakan dua tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut.

Dalam ritual tersebut, pelaku ritual menyampaikan segala bentuk permohonan. Pelaku ritual memanjatkan permohonannya kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Akan tetapi, pelaku ritual percaya bahwa memerlukan bantuan pihak lain supaya permohonan tersebut dapat segera dikabulkan. Untuk itulah kegiatan ritual ini ada, sebagai bentuk kreatifitas manusia dalam upaya mendekat kepada Tuhan.

Konsepsi atau pandangan mereka terhadap kebutuhan pihak lain inilah yang membawa mereka datang ke tempat ini. Pelaku ritual meyakini bahwa di tempat ini mereka akan menemukan pihak lain yang dapat menghantarkan

(9)

permohonan mereka lebih dekat dengan Tuhan. Keyakinan mereka tertuju kepada arwah dua tokoh yang disegani, yakni Kanjeng Eyang Djoego dan Kanjeng Eyang Soedjo. Keyakinan tersebut muncul didasari atas pola pikir mereka terhadap kebijaksanaan dan charisma yang dimiliki oleh kedua tokoh tersebut.

Pelaku ritual meyakini bahwa arwah dua tokoh tersebut mampu menjadi penghantar yang baik. Keduanya oleh pelaku ritual dalam wacana tuturan ritual selamatan disebut dengan Kanjeng Eyang Penembahan sekalian. Konsepsi tersebut terlihat melalui leksikon yang digunakan dalam tuturan ritual selamatan. Tuturan yang menyatakan peran Kanjeng Eyang Penembahan sekalian sebagai penghantar permohonan mereka seperti terlihat dalam penggalan tuturan berikut.

12) Saklebete reribetan ing penggalih, kulo nyaiji dumateng gusti ingkang maha kuwaos, lelantaran kanjeng eyang penembahan sekaliyan.

‘Dalam kerepotan di hati itu, saya memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa dengan perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Dalam penggalan tuturan di atas terlihat adanya kepasrahan pelaku ritual kepada Tuhan. Pelaku ritual merasakan kesusahan dan kerepotan dalam kehidupannya. Untuk itu, melalui ritual selamatan ini mereka memanjatkan doa kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Akan tetapi, dalam penggalan tersebut terlihat peran Kanjeng Eyang Penembahan sekalian, yakni sebagai perantara antara pelaku ritual dengan Tuhan.

(10)

Dalam pemikiran pelaku ritual kedua tokoh tersebut memiliki peran sebagai perantara hubungan mereka dengan Tuhan. Keduanya tidak memiliki kekuatan untuk mengabulkan doa mereka. Akan tetapi, pelaku ritual meyakini keduanya memiliki kekuatan untuk menghantarkan permohonan dan harapan mereka kepada Tuhan.

Tuturan di bawah ini juga menyampaikan mengenai posisi lawan tutur kedua dalam wacana tuturan ritual selamatan. Kanjeng Eyang Penembahan sekalian sebagai lawan tutur kedua dalam tuturan tersebut lenih banyak disebutkan dalam tuturan ritual. Pada tuturan di bawah ini kembali pelaku ritual menyampaikan beberapa permohonan mereka. Mereka memohon supaya hilang segala bahayanya, dijauhkan nafsunya (yang jahat), dan rezekinya mudah. Permohonan tersebut diharapkan dapat terkabul melalui (lelantaran) Kanjeng Eyang Penembahan sekalian.

20) Sageto ical sengkalane, tebiyo birahine, cepako rejekine, lelantaran kanjeng eyang penembahan sekaliyan.

‘Semoga bisa hilang bahayanya, jauhkan nafsunya, siap rejekinya, dengan perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Sementara itu, tuturan di bawah ini menjelaskan akan maksud kedatangan mereka di tempat ini. Dalam tuturan ini disampaikan bahwa kedatangan mereka ke tempat ini adalah untuk mengadakan selamatan. Selamatan tersebut diadakan dengan tujuan untuk meminta doa. Dalam tuturan di bawah ini ditegaskan kembali bahwa doa dipanjatkan melalui Kanjeng Eyang Penembahan sekalian. Dengan

(11)

demikian, pelaku ritual memosisikan Kanjeng Ejang Penembahan sekalian sebagai penghubung antara mereka dengan Tuhan.

21) Para wayah sedoyo ingkang sami wilujengan dalu meniko, sami nyuwun iji lelantaran kanjeng eyang penembahan sekaliyan.

‘Para cucu semua yang melaksanakan selamatan malam ini, sama-sama minta doa melalui kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Penggunaan kata “lelantaran” (melalui) sebagai bagian dari bentuk animism yang masih berlaku di dalam masyarakat. Meskipun tidak sepenuhnya, animism atau kepercayaan terhadap roh-roh atau arwah nenek moyang masih menjadi bagian dari sistem kepercayaan masyarakat. Dikatakan tidak sepenuhnya karena dalam pemikiran pelaku ritual masih terdapat keyakinan bahwa hanya Tuhan yang Maha Kuasa yang mampu memberikan segala yang diminta.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tuturan ritual selamatan terlihat pola pikir tersendiri mengenai Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Pola pikir ini terkait dengan posisi atau peran Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Pola pikir tersebut dapat dilihat melalui bentuk-bentuk tuturan yang terdapat dalam tuturan ritual selamatan. Melalui tuturan ritual yang disampaikan, terlihat adanya pandangan bahwa Kanjeng Eyang Penembahan berdua (Eyang Djoego dan Eyang Soedjo) merupakan perantara yang menghubungkan pelaku ritual dengan Tuhan. Kanjeng Eyang Penembahan berdua menjadi perantara permohonan yang mereka panjatkan supaya cepat sampai kepada Tuhan, sehingga cepat pula untuk dikabulkan.

(12)

5.3.4.2 Kanjeng Eyang Penembahan Berdua Sebagai Orang yang lebih Tua (Kakek/Eyang)

Dalam pelaksanaan ritual selamatan, pelaku ritual memandang posisi Kanjeng Eyang Penembahan berdua sebagai perantara hubungan mereka dengan Tuhan membuat pelaku ritual merasa dekat dengan keduanya. Kedekatan yang di maksud adalah kedekatan emosi, sehingga pelaku ritual dengan bebas menyatakan permohonan dan harapannya. Selain itu, pelaku ritual juga dengan leluasa bercerita mengenai kesusahan yang mereka hadapi.

Kesusahan itulah yang membuat pelaku ritual menjadi kreatif untuk menemukan cara supaya dapat segera keluar dari kesusahan tersebut. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah dengan mengadakan ritual selamatan untuk dapat memohon kepada Tuhan melalui Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Dalam kegiatan ini pelaku ritual menyampaikan semua kesusahannya dan menyampaikan semua harapannya.

Tujuan mereka datang ke makam tersebut selain untuk berziarah juga untuk mengadakan selamatan dengan cara memberikan makan dan membawa sesaji untuk diberikan kepada Kanjeng Penembahan berdua. Dalam pelaksanaannya, pelaku ritual membawa segala ubo rampe yang diharapkan dapat diterima dengan baik oleh keduanya. Setelah keduanya mau menerima dan memahami kekurangan pelaku ritual, mereka merasa keduanya akan memahami kesulitan yang mereka hadapi. Dengan begitu, pelaku ritual merasa leluasa berkeluh kesah kepada keduanya.

(13)

Keluh kesah yang mereka sampaikan terkait dengan kehidupan yang mereka jalani. Seperti yang terlihat dalam penggalan tuturan berikut.

22) Kajawi saking puniko, para wayah kolo rumiyin reribetan ing penggalih.

‘Kecuali dari itu, para cucu dulu berada dalam kerepotan dalam hati’.

Ketika seorang cucu meminta sesuatu kepada eyangnya, maka si cucu berharap permintaannya itu segera diberikan jawaban. Jawaban yang diminta tentunya dengan memberikan permintaan yang diminta. Demikian juga dengan pelaku ritual yang menyampaikan harapannya kepada Kanjeng Eyang Penembahan berdua yang telah dianggap sebagai eyang. Dalam beberapa tradisi, kasih sayang seorang eyang bahkan dapat melebihi kasih sayang orang tua. Dengan pertimbangan itulah, dengan menyampaikan harapan kepada ‘eyang’ maka diharapkan dapat lebih cepat dikabulkan. Dengan menyampaikan harapannya, pelaku ritual mengharapkan akan segera mendapatkan jawaban.

Melalui penggunaan leksikon para wayah ‘para cucu’ terlihat adanya pengakuan bahwa kedua orang yang dimakamkan di tempat tersebut dianggap sebagai eyang ‘kakek’. Selain melalui penggunaan leksikon tersebut, pengakuan atau anggapan bahwa keduanya dianggap sebagai eyang ‘kakek’ secara jelas juga ditemukan melalui penggunaan leksikon eyang itu sendiri.

Seperti yang terlihat dalam penggalan tuturan berikut.

23) Nderek dawuhipun kanjeng eyang penembahan sekaliyan, mugi kanjeng eyang penembahan sekaliyan paringono

(14)

dawuh ingkang nyata, iji ingkang ngerti, bade kacadong ingkang ngasto kaleh sakembut sak laminipun gesang.

“Mengikuti perintahnya kanjeng Eyang Penembahan berdua, semoga kanjeng Eyang Penembahan berdua member perintah yang nyata, doa yang dipahami, akan diberikan jatah yang membawa pesan selama hidup’.

Dalam penggalan tuturan di atas, tergambar pola pikir melalui tuturan ritual bahwa segenap orang yang hadir di tempat tersebut sangat menghormati keduanya. Pelaku ritual berusaha untuk mengikuti segala yang diperintahkan kepadanya. Untuk itu, diharapkan Kanjeng Eyang Penembahan berdua memberikan perintah yang nyata dan yang mudah dipahami, sehingga mudah untuk diikuti. Dengan adanya hal tersebut, pelaku ritual akan memberikan lagi segala yang menjadi hak keduanya.

Tuturan ritual selamatan yang mengungkapkan konsepsi mengenai pengakuan trehadap kanjeng eyang tidak hanya terdapat dalam tuturan di atas. Ditemukan terdapat lebih dari sepuluh tuturan yang menggunakan leksikon kanjeng eyang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui leksikon tersebut terbaca konsepsi bahwa kedua orang yang dimakamkan di tempat tersebut sebagai kakek bukan orang tua.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat mengenai pola pikir yang terlihat dalam tuturan ritual selamatan terhadap Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Selain sebagai perantara hubungan mereka dengan Tuhan, konsepsi lain terhadap Kanjeng Eyang Penembahan berdua adalah tentang perhatian keduanya terhadap

(15)

pelaku ritual (para wayah). Pelaku ritual menganggap Kanjeng Eyang Penembahan berdua sebagai orang yang lebih tua (eyang) tetapi bukan orang tua. Keduanya merupakan orang yang sangat disegani dalam kegiatan ritual tersebut. Oleh karena itu, dalam tuturan ritual selamatan menggunakan kata para wayah yang dapat diartikan sebagai “para cucu” dan juga menggunakan pronomina kanjeng eyang . Pemilihan leksikon tersebut akan membuat hubungan di antara pelaku ritual dengan Kanjeng Eyang Penembahan berdua lebih dekat. Kedekatan itulah yang membuat pelaku ritual leluasa untuk berkeluh kesah kepada keduanya. Dalam tuturan ritual selamatan tersebut banyak ditemukan penggunaan kata para wayah. Hal ini menandakan bahwa kedatangan mereka di tempat tersebut sama halnya dengan mengunjungi eyangnya. Penggunaan kata “para wayah” membuat pola pikir mereka terhadap Kanjeng Eyang Penembahan berdua menjadi lebih terarah. Dalam pemikiran mereka, dengan mengatakan bahwa mereka adalah para cucu, Kanjeng Eyang Penembahan berdua akan benar-benar menganggap mereka sebagai cucunya. Dengan demikian, hubungan antara eyang dengan cucunya akan menjadikan lebih leluasa menyampaikan permohonannya.

5.3.4.3 Kanjeng Eyang Penembahan Berdua sebagai Orang yang Dimuliakan dalam Kegiatan Ritual Selamatan

Dalam tuturan ritual selamatan banyak ditemukan penyebutan “Kanjeng Eyang Penembahan sekalian”. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Dalam tuturan ritual selamatan terdapat pemikiran tersendiri terhadap keduanya melalui penyebutan tersebut. Jika kata “Tuhan” hanya ditemukan sekali, sementara kata “Kanjeng Eyang Penembahan sekalian” ditemukan sebanyak 14 kali penyebutan.

(16)

Bukan berarti Tuhan tidak memiliki peranan penting dalam kegiatan tersebut, melainkan terdapat alasan lain yang menyebabkan penyebutan “Kanjeng Eyang Penembahan sekalian” menjadi lebih banyak.

Adanya pemikiran bahwa Kanjeng Eyang Penembahan berdua merupakan perantara hubungan antara mereka dengan Tuhan menjadikan penyebutannya terhadap keduanya lebih banyak dibandingkan dengan penyebutan diksi “Tuhan”. Untuk itulah, sudah selayaknya memperlakukan perantara tersebut dengan istimewa. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan supaya keduanya dapat menjadi perantara yang baik. Karena dengan perantara yang baik, permohonan akan dapat segera sampai dan segera dikabulkan.

Kata “lelantaran” menjadi cerminan dari pola pikir pelaku ritual yang menganggap Kanjeng Eyang Penembahan sekalian sebagai perantara. Pola pikir ini tidak membuat pandangan mereka terhadap Kanjeng Eyang Penembahan sekalian menjadi menurun. Justru sebaliknya, dengan pola pikir mereka yang menganggap keduanya sebagai perantara, membuat pelaku ritual semakin menghormati dan memperlakukan keduanya dengan istimewa. Pelaku ritual semakin berbakti kepada keduanya, dengan mendatangi makam keduanya dan melakukan ritual selamatan di tempat tersebut. Hal itu dilakukan supaya “pembawa pesan” permohonan mereka itu akan lebih baik dalam “menghantarkan” permohonan mereka.

Seperti terlihat dalam penggalan tuturan berikut.

20) Para wayah sedoyo sami ngabekti wonten pesareanipun kanjeng eyang penembahan sekaliyan

(17)

‘Para cucu semua pada bakti di makam kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Bentuk penghormatan mereka terhadap keduanya selain ditunjukkan dengan “ngabekti” datang ke makam tersebut, juga ditunjukkan melalui bahasa yang digunakan. Wacana tuturan ritual selamatan disusun dengan menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Pemilihan bahasa ini sebagai alah satu bentuk penghormatan dan “ngajeni” kepada orang yang mereka anggap sebagai perantara hubungan mereka dengan Tuhan.

Bentuk bahasa Jawa krama inggil yang digunakan dapat dilihat pada salah satu contoh penggalan tuturan berikut.

21) Para wayah sedoyo sageto mindak sandang lan drajatipun, sageto semulur kabegjanipun, sageto kedatengan lan kinabulan sedoyo panyuwunipun.

‘Para cucu semua semoga bisa naik rezeki dan derajatnya, semoga bisa merambah keberuntungannya, semoga bisa kesampaian dan terkabul semua permintaannya’.

22) Wilujengo anggenipun saget gesang ing bebriyo, wilujengo sak keluargonipun sedoyo.

‘Semoga selamat dalam hidup berkeluarga, semoga selamat semua keluarganya’.

(18)

Bahasa yang digunakan dalam tuturan-tuturan di atas merupakan bentuk bahasa Jawa krama inggil. Krama inggil merupakan tingkat tutur yang dipakai jika seseorang bertutur dengan lawan tutur yang dihormati. Dalam hal ini, pelaku ritual sangat menghormati kedua tokoh tersebut, sehingga dalam berbahasa cukup berhati-hati. Kehati-hatian tersebut tercermin dari bentuk bahasa dan pronominal yang dipilih dan kata-kata yang disampaikan. Pemakain bentuk sapaan untuk menyatakan tingkat tutur dalam suatu bahasa mengacu pada dua pola. Pola pertama hendak meninggikan mitra tutur dan pola yang kedua merendahkan diri penutur (Wilian, 2006;35).

Dengan konsepsi tersebut, muncul konsepsi lain yang dapat dilihat melalui tuturan ritual selamatan terhadap Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Kanjeng Eyang Penembahan berdua merupakan orang atau sosok yang layak untuk dimuliakan dan dihormati. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa keduanya menjadi alasan atas pelaksanaan kegiatan ritual di tempat ini. Karena tanpa kehadiran keduanya bisa saja ritual selamatan tidak dilaksanakan di tempat tersebut. Akan tetapi, dengan kehadiran kedua tokoh tersebut maka setting dalam ritual tersebut di pesarean Gunung Kawi. Dalam tuturan ritual selamatan tersebut ditemukan penjelasan mengenai alasan kedatangan mereka di tempat tersebut.

Seperti yang terlihat dalam penggalan tuturan berikut.

23) Mawi wilujengan motong kambing lan ayam sekol suci. ‘Dengan mengadakan selamatan pototng kambing dan ayam serta nasi gurih’.

(19)

24) Ugi wilujengan mawi sekul tumpeng. ‘Juga selamatan dengan nasi tumpeng’.

25) Sedoyo wau kagem caos dhahar kanjeng eyang penembahan sekaliyan.

‘Semua itu untuk memberi makan kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Alasan mereka datang ke tempat tersebut adalah untuk mengadakan selamatan dengan memotong kambing dan ayam. Kambing dan ayam merupakan lauk pauk untuk melengkapi nasi gurih yang dibawa. Selain selamatan dengan memotong kambing dan ayam, selamatan juga dilakukan dengan membawa nasi tumpeng. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberi makan kepada Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Selamatan yang dilakukan dengan membawa segala perlengkapan yang dipersyaratkan dilakukan sebagai upaya memuliakan kedua tokoh tersebut.

Upaya memuliakan keduanya selain dengan mengadakan selamatan potong kambing dan ayam juga dilakukan dengan berbakti kepada keduanya. Bentuk bakti pelaku ritual salah satunya adalah dengan datang ke makam tersebut untuk melakukan ziarah dan mendoakan keduanya. Selain itu, bentuk memuliakan yang lain adalah dengan berbahasa yang sopan dan bagus saat bertutur dengan keduanya. Dengan menggunakan bahasa yang menunjukkan kesantunan diharapkan dapat lebih mendekatkan hubungan di antara pelaku ritual dengan kedua tokoh tersebut. Modin juga memilih menggunakan intonasi yang tepat

(20)

sebagai bentuk mengikuti aturan tidak tertulis dalam menyampaikan tuturan jenis doa.

Bentuk bahasa yang digunakan oleh penutur kepada lawan tutur dapat menjadi cerminan siapa penutur dan siapa lawan tutur. Demikian juga dengan tuturan ritual selamatan ini. Penutur adalah pelaku ritual yang membahasakan dirinya sebagai para cucu (para wayah). Di sisi lain, yang menjadi lawan tuturnya adalah tokoh yang dihormati dan dianggap suci, yakni Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Dengan demikian, untuk berkomunikasi digunakan bahasa Jawa krama inggil. Pemilihan bahasa ini sebagai upaya untuk memuliakan keduanya.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat beragam pola pikir mengenai Tuhan dan Kanjeng Eyang Penemabahan berdua yang terlihat melalui tuturan ritual selamatan. Dapat dilihat adanya pola pikir yang terkaitan dengan pelaksanaan kegiatan ritual selamatan. Terdapat anggapan bahwa Kanjeng Eyang Penembahan berdua sebagai orang yang dihormati dalam kegiatan tersebut. Hal itu terlihat melalui beberapa hal. Pertama, ditemukan banyak penyebutan “Kanjeng Eyang Penembahan sekalian” dalam wacana tuturan ritual selamatan, yakni sebanyak 14 kali. Kedua, penjelasan mengenai alasan kedatangan mereka ke tempat tersebut. Adapun alasan mereka adalah untuk melakukan selamatan dengan memotong kambing dan ayam serta nasi gurih. Semua itu dilakukan tujuannya untuk memberi makan Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Sementara itu, yang ketiga terlihat melalui penggunaan bahasa dalam wacana tuturan ritual selamatan. Bahasa yang digunakan dalam wacana tersebut adalah bahasa Jawa krama inggil.

(21)

Berdasarkan uraian mengenai pola pikir yang ditemukan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan. Melalui tuturan ritual selamatan, terlihat bahwa permohonan atau bentuk tindak tutur direktif pada dasarnya disampaikan kepada Tuhan. Dalam tuturan ritual selamatan segenap bentuk permohonan ditujukan kepada Tuhan. Melihat hal tersebut, tergambar pola pikir melalui tuturan ritual selamatan mengenai konsepsi Tuhan sebagai wujud tertinggi. Tuhan yang Maha Kuasa menjadi tempat utama untuk memohon.

Permintaan yang ditujukan kepada Tuhan disampaikan melalui perantara. Untuk itulah, dalam tuturan ritual selamatan terlihat adanya pola pikir mengenai konsepsi perantara. Dalam ritual selamatan yang berperan sebagai perantara antara pelaku ritual dengan Tuhan adalah Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Melalui tuturan ritual selamatan terlihat pandangan terhadap keberadaan Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Dalam tuturan ritual selamatan tersebut tergambar pandangan bahwa Kanjeng Eyang Penembahan berdua dianggap sebagai perantara antara pelaku ritual selamatan dengan Tuhan, sebagai orang yang lebih tua (sebagai eyang), dan sebagai orang yang dimuliakan dalam kegiatan ritual selamatan.

5.3.5 Konsepsi Mengenai Wujud Tertinggi, yakni Tuhan

Dalam bab IV telah diuraikan mengenai peran atau posisi Tuhan dalam wacana tuturan ritual selamatan. Tuhan menjadi tujuan utama dalam kegiatan ritual selamatan tersebut. Alasan yang mendasari interpretasi tersebut adalah ditemukannya leksikon “Tuhan” dalam salah satu penggalan tuturan modin. Selain penggunaan leksikon “Tuhan” juga ditemukannya leksikon “Rosulullah”

(22)

dalam tuturan ritual selamatan. Rosulullah merupakan utusan Tuhan dan dalam kepercayaan Islam dipercaya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan.

Tuturan yang menggunakan leksikon ‘Tuhan’ terdapat dalam tuturan (12) berikut ini.

12) Saklebete reribetan ing penggalih, kula nyaiji dhumateng Gusti ingkang maha kuwaos, lelantaran Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan.

‘Dalam kerepotan di hati itu, saya memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa dengan perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Kata “Tuhan” masih disebutkan meskipun hanya terdapat dalam satu penggalan tuturan dalam ritual selamatan. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat pengakuan terhadap Tuhan oleh para pelaku ritual. Tuhan sebagai wujud tertinggi yang mereka mintai pertolongan dan tempat memohon.

Kegiatan ritual yang dilaksanakan secara kolektif dengan beragam latar belakang agama pelaku, membuat penyebutan Tuhan dirasakan lebih umum. Ritual secara umum memang merujuk kepada Tuhan sebagai acuan yang utama. Permohonan dihaturkan sepenuhnya kepada Tuhan karena dalam pemikiran pelaku ritual Tuhan merupakan zat yang paling utama dan berkuasa. Meskipun demikian, ritual selamatan tetap merupakan kegiatan yang melibatkan hal-hal yang lain.

Penyebutan atau pengakuan Tuhan (Allah) sebagai wujud tertinggi juga sangat terlihat dalam tuturan penutup yang berisi doa-doa dengan menggunakan bahasa Arab. Dalam tuturan tersebut terdapat banyak pujian yang disampaikan untuk Tuhan. Tidak hanya pujian yang disampaikan, bahkan segala permohonan untuk memberikan ampunan dan rahmat juga disampaikan kepada Tuhan. Di

(23)

dalam tuturan penutup juga ditemukan banyak tindak tutur direktif yang artinya memohon kepada Tuhan, bahkan untuk memberikan rahmat dan ampunan yang khusus ditujukan untuk diberikan kepada Eyang Soedjo dan Eyang Djoego. Tuturan tersebut menandakan Tuhan menepati posisi sebagai wujud tertinggi dalam pelaksanaan kegiatan ritual selamatan tersebut.

Ritual selamatan merupakan salah satu kegiatan yang seringkali diidentikkan dengan hal-hal mistis. Terkadang kegiatan ritual juga dikaitkan dengan keberadaan hal-hal lain dalam pelaksanaannya. Hal-hal lain tersebut dapat berupa kepercayaan terhadap arwah leluhur yang telah meninggal. Melihat hal tersebut, tidak jarang kita jumpai dalam kegiatan ritual terdapat benda-benda yang dihadirkan untuk ditujukan kepada arwah yang dipercayai tersebut.

Kegiatan ritual selamatan memang telah ada sejak zaman dahulu dan masih ada sampai sekarang. Proses pelaksanaannya dari waktu ke waktu masih mengikuti aturan-aturan yang sama. Beberapa perlengkapan sebagai persyaratan juga masih terdapat kesamaan. Hal-hal yang terkait dengan kepercayaan terhadap hal-hal lain atau adanya kekuatan lain di luar diri mereka juga terlihat masih sama. Hal yang sama terlihat pada pelaksanaan ritual selamatan yang dilaksanakan di Pesarean Gunung Kawi. Ritual ini dilaksanakan oleh banyak orang dengan dipimpin oleh pemimpin ritual yang disebut modin. Ritual selamatan ini dilaksanakan di tempat yang dikenal oleh banyak orang sebagai tempat ”keramat”. “Kekeramatan” ini salah satunya disebabkan oleh adanya dua makam yang merupakan makam dari tokoh yang dianggap suci. Meskipun dilaksanakan di tempat yang dianggap “keramat” dan dilaksanakan dengan

(24)

menghadap makam, terlihat dalam wacana bahwa pelaku ritual tidak sepenuhnya menggantungkan harapan kepada arwah dua tokoh tersebut. Dalam tuturan ritual yang disampaikan masih terlihat keyakinan adanya sesuatu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tokoh suci tersebut. Sesuatu yang lebih tinggi tersebut adalah Tuhan yang merupakan tempat meminta paling sempurna.

Kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh pelaku menandakan adanya kepercayaan animisme yang masih dipegang. Akan tetapi, wujud dari animisme tersebut tidak sepenuhnya, karena sandaran utama mereka masih terhadap Tuhan. Tuhan masih tetap menjadi yang utama dalam sistem kepercayaan. Kepercayaan kepada Tuhan tersebut terejawantahkan dalam kalimat-kalimat doa yang terucap. Sementara itu, kepercayaan animisme yang mereka pegang dapat terejawantahkan dalam bentuk sesaji.

Dalam ritual yang dilaksanakan tersebut, Tuhan masih menjadi rujukan utama dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari kalimat-kalimat yang dituturkan. Meskipun demikian, terdapat hal lain yang menjadi “penyambung” antara mereka dengan Tuhan. Kaitannya dengan konsepsi mereka terhadap Tuhan, akan diuraikan dalam subbab ini.

5.3.5.1 Tuhan yang Maha Kuasa dan Tempat Memohon

Pelaksanaan ritual selamatan telah banyak dilakukan di berbagai tempat dengan tujuan dan ragam yang bervariasi. Ritual selamatan yang dilaksanakan di Pesarean Gunung Kawi dilaksanakan dengan beragam tujuan pula, baik yang bersifat individu maupun kolektif. Tujuan yang berupa permohonan banyak ditemukan dalam tuturan yang disampaikan oleh modin. Tuturan yang berupa

(25)

permohonan disampaikan ke dalam berbagai bahasa yang telah dijelaskan pada bab IV mengenai penggunaan bahasa.

Beragam permohonan disampaikan dalam kegiatan ritual tersebut. Permohonan tersebut meliputi permohonan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Permohonan yang bersifat umum merupakan bentuk permohonan yang ditujukan untuk seluruh pelaku ritual. Sementara itu, permohonan yang bersifat khusus ditujukan untuk diri pribadi dan keluarganya. Perbedaan keduanya terlihat dengan adanya penyebutan nama dari pemohon.

Dalam tuturan yang disampaikan, terlihat adanya konsepsi bahwa Tuhan merupakan tempat memohon. Hal itu dilandasi karena Tuhan adalah dzat yang maha kuasa. Terdapat leksikon yang merupakan pengakuan akan kemahakuasaan Tuhan. Dengan kemahakuasaan tersebut, Tuhan menjadi tempat memohon dari segala permohonan.

Berikut tuturan yang mendasari adanya konsepsi mengenai Tuhan. 12) Saklebete reribetan ing penggalih, kulo nyaiji dumateng gusti

ingkang maha kuwaos, lelantaran kanjeng eyang penembahan sekaliyan.

‘Dalam kerepotan di hati itu, saya memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa dengan perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Penggalan tuturan (12) di atas menggambarkan bahwa pada dasarnya ritual ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memohon kepada Tuhan. Pelaku ritual sebenarnya masih “menggantungkan” harapan, permohonan, dan doa kepada Tuhan. Dalam pelaksanaan ritual masih terdapat pengakuan atas kekuasaan

(26)

Tuhan. Mereka berpikir hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan lebih yang akan mampu memberikan segala yang diharapkan.

Dalam tuturan ritual selamatan, pelaku ritual esensinya menghaturkan permohonan kepada Tuhan. Sementara kegiatan ritual selamatan yang dilaksanakan ini merupakan bentuk dari aktivitas riual manusia. Sementara itu, Tuhan merupakan pusat dari aktivitas ritual manusia. Dalam kegiatan ini, manusia bersikap kreatif dalam “mencari” Tuhan (Endraswara; 2008). Pelaku ritual mencoba mencari keberadaan “Tuhan” melalui kegiatan ritual selamatan tersebut.

Pelaku ritual menganggap bahwa ritual selamatan ini sebagai sebuah sarana untuk “bertemu” dengan Tuhan. “Pertemuan” dengan Tuhan memang dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Akan tetapi, menurut pelaku ritual mereka berupaya mencari cara untuk dapat menyampaikan permohonan kepada Tuhan di tempat yang “dianggap” diberkahi. Keberkahan tempat tersebut datang dari adanya orang-orang suci yang “menempati” tempat tersebut. Hal itu yang membuat pelaku ritual melakukan ritual selamatan di tempat tersebut.

Tuhan menjadi tempat menyampaikan segala permohonan karena pelaku ritual memiliki anggapan bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan lebih. Pelaku ritual menempatkan Tuhan dalam posisi yang tinggi, karena hanya dia yang maha kuasa. Dengan kekuasaan-Nya, Tuhan akan mampu menghilangkan segala kesusahan dan kerepotan yang mereka alami. Hal tersebut disampaikan dalam bahasa Jawa dan bahasa Arab.

(27)

Hal tersebut terbaca dari penggalan tuturan wacana berikut.

11) Kajawi saking puniko, para wayah kolo rumiyin reribetan ing penggalih,

‘Kecuali dari itu, para cucu dulu berada dalam kerepotan dalam hati’.

12) Saklebete reribetan ing penggalih, kulo nyaiji dumateng gusti ingkang maha kuwaos, lelantaran kanjeng eyang penembahan sekaliyan.

‘Dalam kerepotan di hati itu, saya memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa dengan perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Dalam penggalan tuturan (11) dan tuturan (12) di atas, tergambar bahwa pelaku ritual (para wayah ‘para cucu’) mengakui segala kerepotan dan kesusahan hidup yang mereka alami. Dalam kerepotan yang mereka hadapi itulah pelaku ritual memanjatkan doanya kepada Tuhan. Meskipun kata “Tuhan” hanya hadir dalam satu penggalan tuturan, namun itu sudah cukup mewakili pola pikir yang masih menyandarkan harapan dan permohonannya kepada Tuhan.

Permohonan yang menggunakan bahasa Arab

(78) Allahummashali’alasayidina Muhammad, wa’ala alihi sayidina Muhammad.

‘Ya Allah berilah shalawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad beserta keluarganya’

(79) Minal awalina wal akhirina wasalisiwarodiyallahuta’ala.

‘Mulai dari generasi yang pertama dan terakhirnya serta pertengahannya’ (80) Ankuli shahabati rosulillahi ajmain.

(28)

(81) Allahummasholi wasalim ‘ala sayidina Muhammad wa ‘ala alihi sayidina Muhammad.

‘Ya Allah limpahkanlah shalawat dan kesejahteraan kepada junjungan kita Nabi Muhammad beserta keluarganya’

(82) Allahummaghfirlahum, warkhamhum, wa’afihim, wa’fu’anhum. ‘Ya Allah ampunilah mereka, kasihanilah mereka, sejahterakanlah mereka

dan ampunilah dosa dan kesalahan mereka’

Tuturan yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Arab di atas memperlihatkan permohonan yang bersifat umum. Permohonan tersebut tidak untuk pribadi, tetapi untuk Rosulullah yang merupakan tokoh mulia yang dihormati dalam kepercayaan Islam. Hal ini mencerminakn bahwa dalam pelaksanaan ritual selamatan tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi. Selain itu, permohonan salawat atas nabi lazim dilakukan dalam setiap doa umat Islam. Karena pengaruh Islam yang cukup kuat, maka dalam pelaksanaan kegiatan ritual permintaan salawat ke atas nabi beserta keluarga dan pengikutnya juga disampaikan.

Pada tuturan (83) sampai (90) juga berupa permohonan yang sifatnya lebih umum atau tidak untuk pribadi pelaku ritual. Tuturan ini juga disampaikan oleh modin sebagai penutup ritual sehingga permohonan yang disampaikan juga terkait dengan simpulan atau harapan umum. Seperti pada tuturan (83) yang memohon kepada Allah untuk mendapatkan rahmat dan ampunan. Dilanjutkan dengan tuturan (84) dan (85) yang memohonkan rahmat dan ampunan supaya khusus diberikan kepada Kanjeng Eyang Djoego dan Kanjeng Eyang Raden Mas Imam Soedjono. Sementara itu, tuturan (86) permohonan supaya Allah memberikan

(29)

rahmat dan ampunan serta melipatgandakan kebaikan atas diri mukminin dan mukminat. Meskipun menggunakan diksi “mukminin dan mukminat” tetapi permintaan ini pada dasarnya lebih umum untuk semua orang termasuk pelaku ritual.

5.3.5.2 Tuhan sebagai Tempat Berlindung

Dalam kepercayaan Islam, Tuhan “Allah” adalah tujuan utama dalam kegiatan berdoa. Selain itu, Tuhan juga menjadi pelindung bagi manusia atas semua bencana dan musibah. Untuk itu, dalam setiap kegiatan berdoa selalu diawali dengan memohon perlindungan kepada Allah. Hal tersebut juga berlaku dalam kegiatan ritual selamatan. Pada bagian penutup yang menggunakan bahasa Arab tuturan diawali dengan memohon perlindung kepada Allah dari segala godaan dari setan yang terkutuk. Setan merupakan representasi dari salah satu bentuk musibah dan bencana yang dihadapi oleh manusia. Untuk itu, dalam setiap kegiatan terutama berdoa, manusia memohon supaya dihindarkan dari godaan setan. Bentuk permohonan perlindungan yang dilakukan adalah dengan selalu menyebut nama Tuhan (Allah) yang memiliki sifat pengasih dan penyayang.

Anggapan bahwa Tuhan adalah tempat berlindung terbaca dalam tuturan di bawah ini.

(77) Audzubillahiminasyitonirrajim

‘Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk’ (78) Bismillahirrahmanirrahim.

‘Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang’

(30)

5.3.5.3 Tuhan yang Layak Dipuji

Dalam penggunaan bahasa Arab banyak ditemukan adanya pujian kepada Tuhan. Seperti terlihat dalam tuturan di bawah ini.

(79) Alhamdulillahirabbil’alamin.

‘Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam’

(77) Khamdansyakirin, khamdan na’imin, khamdan yuwafini’amahu, wayukafiumazidatan.

‘Pujian yang paling banyak bersyukur, pujian yang banyak memberi nikmat. Dengan pujian yang sesuai dengan nikmat-nikmat-Nya dan memadahi dengan penambahannya’

(78) Ya Rabbana lakalkhamdu kama yambaghilijalali wajhikal’adzimi sultonik.

‘Wahai Tuhan kami, hanya bagimu segala puji, sebagaimana pujian itu patut terhadap kemuliaan-Mu dan keagungan-Mu’

(79) Subhana rabbika rabbil ‘izati ‘ammayasifun. Was alamun ‘alalmursalin. Walkhadulillahirabbil’alamin.

‘Maha suci Engkau, Tuhan segala kemulaiaan. Suci dari segala apa yang disifatkan (dikatakan) oleh orang-orang kafir. Semoga kesejahteraan atas para rosul dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam’

Pada tuturan-tuturan di atas terbaca pola pikir dari masyarakat mengenai Tuhan. Bagi masyarakat, hanya Tuhan yang berhak menerima segala bentuk pujian. Hal itu karena Tuhan sebagai penguasa atas seluruh alam. Selain itu, Tuhan juga akan memberikan lebih banyak nikmat bagi manusia yang banyak memuji dan bersyukur kepada Tuhan. Tuhan yang berhak atas segala pujian karena Tuhan yang memiliki segala kemuliaan dan keagungan. Beberapa hal tersebut selalu diulang dalam beberapa tuturan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam pemikiran masyarakat terbentuk sebuah kepercayaan bahwa hanya Tuhan yang berhakn mendapatkan segala bentuk pujian.

(31)

Berdasarkan analisis yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, terdapat beberapa simpulan. Simpulan ini akan sekaligus memperlihatkan hasil atau temuan dalam penelitian ini. Proses penarikan simpulan didasarkan atas rumusan masalah yang disampaikan. Untuk itu, simpulan ini digunakan untuk menjawab pertanyaan yang ada.

Berikut simpulan atas uraian di atas adalah sebagai berikut.

6.1.1 Struktur Wacana Tuturan Ritual Selamatan di Pesarean Gunung Kawi

Wacana tuturan ritual selamatan di pesarean Gunung Kawi memiliki struktur yang baku. Dikatakan sebagai struktur baku karena berdasarkan beberapa ritual selamatan yang diikuti tidak ditemukan inovasi pada strukturnya. Struktur wacana tuturan ritual selamatan terdiri atas tiga bagian, yakni bagian pembuka, bagian inti/isi, dan bagian penutup. Ketiga bagian tersebut memiliki ketarkaitan dan saling melengkapi. Untuk setiap bagian terbantuk atas beberapa unsur.

Pada bagian pembuka terbentuk atas unsur ajakan, unsur permohonan, unsur penegasan, dan unsur tujuan. Unsur-unsur tersebut terlihat melalui tuturan yang disampaikan. Seluruh tuturan yang terdapat pada bagian pembuka merupakan tuturan baku yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Tuturan tersebut berasal dari pihak yayasan penyelenggara. Modin maupun pelaku ritual tidak berwenang untuk mengubah tuturan dalam bagian pembuka.

(32)

Bagian inti atau isi juga terbentuk atas beberapa unsur, yakni unsur permohonan dan unsur pemberitahuan. Di antara kedua unsur pembentuk tersebut yang lebih banyak ditemukan adalah unsur permohonan. Untuk itu, bagian ini dikategorikan sebagai bagian inti. Adapun permohonan yang disampaikan adalah permohonan yang bersifat individu dengan menyebutkan nama pemohon dan jenis permohonannya secara terperinci. Selain itu, terdapat tujuh struktur ungkapan permohonan yang ditemukan dalam bagian inti. Struktur permohonan yang ditulis oleh pemohon terdiri atas nama, jenis usaha, alamat usaha, alamat tinggal, dan jenis permohonannya. Meskipun demikian, struktur permohonan ini bukan merupakan bentuk baku. Pada kesempatan lain sangat dimungkinkan strukturnya akan berubah sesuai dengan pelaku ritual yang berbeda. Hal ini dikarenakan tidak ada struktur baku yang disampaikan oleh pihak yayasan penyelenggara.

Bagian ketiga dalam wacana tuturan ritual selamatan adalah bagian penutup. Dalam bagian penutup ini juga dibentuk oleh unsur yang beragam. Unsur pembentuk dalam bagian penutup dibedakan atas bahasa yang digunakan. Dalam bagian penutup digunakan dua bahasa, yakni bahasa Jawa dan bahasa Arab. Untuk bagian penutup yang menggunakan bahasa Jawa dibentuk oleh unsur pemberitahuan, unsur tujuan, dan unsur permohonan. Sementara itu, untuk bagian penutup yang menggunakan bahasa Arab dibentuk oleh unsur pernyataan dan unsur permohonan. Permohonan yang dituturkan dengan menggunakan bahasa Arab merupakan permohonan umum, yang di dalam salah satu tuturan ditemukan permohonan untuk mengampuni dan memberikan rahmat khusus kepada Kanjeng Eyang Djoego dan Kanjeng Raden Mas Imam Soedjono.

(33)

Pada bagian pembuka, inti, dan penutup sama-sama dibentuk oleh unsur permohonan. Akan tetapi, terdapat perbedaan sifat permohonan yang dituturkan. Permohonan yang disampaikan pada bagian pembuka dan penutup adalah jenis permohonan yang bersifat umum. Di dalamnya tidak terdapat indikasi kekhususan untuk siapa dan dari siapa permohonan tersebut disampaikan. Hal ini karena tuturan yang membentuk bagian pembuka dan penutup selalu sama meskipun pelaku ritualnya berbeda. Hal yang berbeda terjadi pada permohonan yang membentuk bagian inti. Permohonan yang disampaikan bersifat khusus karena di dalamnya terdapat nama pemohon, alamat pemohon, dan jenis permohonan yang terperinci.

6.1.2 Penggunaan Bahasa dalam Wacana Tuturan Ritual Selamatan

Tuturan ritual selamatan yang dituturkan oleh modin menggunakan bahasa yang beragam. Keberagaman ini memiliki fungsi dan alasan masing-masing. Terdapat tiga bahasa yang digunakan dalam tuturan ritual selamatan, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab.

Bahasa Jawa ditemukan pada bagian pembuka, sebagian kecil pada bagian inti, dan pada bagian penutup. Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawab krama inggil jawa timuran. Penggunaan bahasa Jawa mendominasi dalam tuturan ritual selamatan ini. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi penggunaan bahasa Jawa ini.

Alasan penggunaan bahasa Jawa antara lain adalah faktor lokasi dan lawan tutur dalam kegiatan ritual selamatan ini. Kegiatan ritual selamatan dilaksanan di Gunung Kawi yang terletak di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Provinsi

(34)

ini terletak di pulau Jawa yang mayoritas penduduknya menggunakan bahasa Jawa. Untuk itu, bahasa yang digunakan dalam tuturan ritual adalah bahasa Jawa.

Selain karena faktor lokasi, alasan lain menggunakan bahasa Jawa adalah karena faktor penghormatan. Orang yang dimakamkan di tempat tersebut adalah Eyang Djoego dan Eyang Soedjo. Menurut silsilah keduanya merupakan keturan dari keraton Surakarta dan Yogyakarta. Di lingkungan keraton tersebut bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Untuk alasan penghormatan itulah dalam tuturan ritual selamatan digunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan juga memilih diksi yang memang untuk tujuan penghormatan. Beberapa contoh diksi yang digunakan adalah kata dhahar ‘makan’, ical ‘hilang’, bebriya ‘berkeluarga’, dan beberapa diksi yang lain.

Penggunaan pronomina juga menunjukkan adanya tujuan kesantunan dalam tuturan ritual selamatan tersebut. dalam tuturan ritual selamatan digunakan pronominal kanjeng, eyang, maupun penembahan untuk menganggap orang yang dimakamkan di tempat tersebut adalah orang yang dihormati. Ditambahkan dengan ‘Kanjeng Eyang Penembahan’ menjadikan bentuk penghormatan lebih terasa. Hal itu karena keduanya masih ada keterikatan dengan keluarga keraton.

Penggunaan bahasa Indonesia ditemukan pada sebagain besar bagian inti atau isi. Pada bagian inti hanya sedikit yang menggunakan bahasa Jawa, yakni pada sebagian kecil tuturan (50). Bagian ini berisi permohonan yang berasal langsung dari pelaku ritual. Untuk itu, permohonan yang disampaikan adalah hasil tulisan dari pelaku ritual secara langsung. Pelaku ritual yang beragam dan kemampuan menggunakan bahasa yang beragam menjadi alasan penggunaan

(35)

bahasa Indonesia pada bagian ini. Beberapa pelaku ritual yang tidak dapat menggunakan bahasa Jawa diperbolehkan menuliskan permohonan mereka ke dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, bagi pelaku ritual yang dapat menggunakan bahasa Jawa juga diperbolehkan menuliskan permohonannya ke dalam bahasa Indonesia. Untuk itulah, penggunaan bahasa Indonesia ini dapat dikatakan untuk menjembatani pelaku ritual yang tidak dapat menggunakan bahasa Jawa.

Pada bagian penutup, selain tersusun atas bahasa Jawa juga tersusun atas bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab pada bagian penutup ini diikuti dengan bacaan ‘amin’ oleh seluruh pelaku ritual secara lirih. Alasan munculnya penggunaan bahasa Arab dalam pelaksanaan ritual selamatan ini lebih karena tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut. Kedua tokoh yang dimakamkan secara latar belakang adalah penganut agama Islam. Untuk itu, ritual selamatan ini tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahasa Arab. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengaruh Islam sangat terlihat dalam kegiatan ini. Hal ini mengindikasikan bahwa peninggalan lama yang diadaptasi ke dalam bentuk kegiatan yang lebih baru. Selain itu, penggunaan bahasa Arab ini juga mengindikasikan bahwa doa yang ditambahkan dengan bahasa Arab dirasakan lebih memiliki nilai atau daya magis yang kuat.

Bahasa Arab yang digunakan dalam tuturan ritual selamatan adalah bacaan yang umum ditemukan. Bacaan-bacaan tersebut dapat ditemukan pada beberapa doa di dalam agama Islam. Selain itu, bacaan tersebut juga digunakan dalam pelaksanaan ritual di beberapa tempat yang lain. Beberapa bacaan yang umum

(36)

ditemukan adalah bacaan taawudz, basmalah, hamdalah, shalawat untuk nabi beserta keluarganya, doa untuk kaum muslimin dan muslimat, serta doa dunia akhirat.

6.1.3 Keberagaman Pola Pikir dalam Tuturan Ritual Selamatan

Kegiatan ritual yang dilaksanakan secara kolektif dengan beragam latar belakang agama pelaku, membuat penyebutan Tuhan dirasakan lebih umum. Ritual secara umum memang merujuk kepada Tuhan sebagai acuan yang utama. Permohonan dihaturkan sepenuhnya kepada Tuhan karena dalam pemikiran pelaku ritual Tuhan merupakan zat yang paling utama dan berkuasa. Meskipun demikian, ritual selamatan tetap merupakan kegiatan yang melibatkan hal-hal yang lain.

Ritual selamatan disampaikan dalam tiga bahasa, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Hal tersebut memungkinan munculnya keberagaman pola pikir yang terlihat melalui bahasa yang digunakan. Pola pikir yang terlihat melalui tuturan berbahasa Jawa akan berbeda dengan pola pikir yang terlihat melalui tuturan yang menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Demikian juga sebaliknya, pola pikir yang terlihat dari penggunaan bahasa Arab berbeda dengan pola pikir yang terlihat melalui penggunaan bahasa Jawa dan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan meskipun di antara bahasa-bahasa yang digunakan menyusun satu wacana utuh tetapi pola pikir yang muncul beragam dan saling melengkapi.

(37)

Pola pikir yang terlihat melalui penggunaan bahasa Jawa meliputi kepercayaan kepada hal yang ghoib yakni tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut. Manusia percaya terdapat kekuatan lain di luar dirinya yang mampu menjadi perantara hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan kepercayaan tersebut manusia berusaha memberikan segala yang dipersyaratkan untuk menghormati tokoh tersebut. Hal tersebut yang membuat manusia mengupayakan segala yang dipersyaratkan secara lebih baik. Selain itu, tertlihat juga adanya pola pikir bahwa manusia harus memberikan sesuatu yang lebih baik untuk mendapatkan yang lebiha baik. Segala hal yang dipersyaratkan ditujukan hanya untuk Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Hal tersebut menunjukkan pola pikir bahwa manusia sangat menghormati tokoh yang dipercaya sebagai perantara.

Pola pikir lain yang terlihat adalah adanya kesadaran akan kebutuhan kelompok. Hal tersebut muncul karena permohonan yang disampaikan dalam tuturan berbahasa ditujukan untuk umum. Tidak ditemukan permohonan yang bersifat pribadi. Untuk itu, dalam kegiatan ritual tersebut terlihat adanya kebutuhan kelompok yang dimunculkan dalam permohonan.

Pola pikir yang terlihat melalui tuturan berbahasa Indonesia juga beragam. Jika dalam tuturan yang berbahasa Jawa terlihat kebutuhan yang sifatnya kelompok maka dalam tuturan berbahasa Indonesia terlihat kebutuhan secara pribadi. Meskipun demikian, terlihat kebutuhan manusia yang secara umum sama. Dalam tuturan berbahasa Indonesia terlihat pola pikir manusia mengenai kehidupan dunia atau yang bersifat material. Dalam permohonan-permohonan yang disampaikan terlihat manusia lebih mementingkan kebutuhan duniawi yang

(38)

terkait dengan kesehatan, kelancaran rezeki, kesejahteraan, sampai pada kebahagiaan hidup.

Tuturan yang menggunakan bahasa Arab ditemukan pada bagian penutup wacana juga memperlihatkan pola pikir yang beragam. Jika dalam tuturan berbahasa Indonesia terlihat pola pikir yang sifatnya keduniawian dan bersifat individu, hal sebaliknya terlihat dalam tuturan yang menggunakan bahasa Arab. Dalam tuturan berbahasa Arab ditemukan pola pikir yang sifatnya kepasrahan kepada Tuhan. Pola pikir yang muncul juga terkait dengan sifat manusia yang tidak mementingkan diri sendiri. Dalam tuturan berbahasa Arab permohonan banyak ditujukan untuk Rosul, keluarganya, pengikutnya, dan untuk seluruh umat muslimin dan muslimat. Dengan permohonan yang demikian dapat diinterpretasikan bahwa manusia tidak hanya memikirkan diri sendiri ketika melakukan ritual.

Penggunaan bahasa Arab yang ditemukan pada bagian penutup juga mencerminkan adanya pola pikir mengenai kehidupan selanjutnya. Kehidupan ini terkait dengan keberadaan surga dan neraka. Dalam tuturan berbahasa Arab kehidupan keagamaan manusia terlihat. Manusia lebih mementingkan memohon ampunan, kebahagiaan di dunia dan akhirat, dihindarkan dari siksa api neraka, sampai pada permohonan diberikan hidayah supaya selalu mengingat Tuhan.

Dalam tuturan ritual selamatan ditemukan pola pikir umum terkait dengan pelaku ritual, modin, Rosulullah, Tuhan, dan Kanjeng Eyang Penembahan sekaliyan (Kanjeng Eyang Djoego dan Eyang Soedjo). Pola pikir yang terlihat terkait dengan pelaku ritual adalah adanya pemikiran bahwa untuk mendapatkan

(39)

sesuatu terlebih dahulu harus memberikan sesuatu. Hal ini yang membuat pelaku ritual memenuhi persyaratan berupa uba rampe dengan beragam jenis. Persyaratan dibawa dengan tujuan untuk memberi makan Kanjeng Eyang Penembahan sekaliyan. Uba rampe yang dibawa justru tidak ada yang ditujukan untuk Tuhan karena Kanjeng Eyang dianggap sebagai perantara antara pelaku ritual dengan Tuhan. Selain itu, pelaku juga percaya bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang besar harus memberikan sesuatu yang lebih besar terlebih dahulu. Untuk itulah pelaku ritual membawa uba rampe yang lengkap dan memasukkan uang ke dalam baskom dalam jumlah yang besar.

Pola pikir yang terkait dengan modin adalah dalam kegiatan tersebut modin tidak memiliki harapan atau permohonan secara pribadi. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuat modin menjadi tidak serius dalam memimpin kegiatan ritual. Karena kegiatan ritual ini merupakan kegiatan yang formal dan tidak semua orang dapat terpilih menjadi modin, maka modin yang memimpin ritual merasa memiliki tanggung jawab yang besar. Dengan pemikiran tersebut menjadikan modin lebih serius, bertanggung jawab, dan berlaku jujur dalam memimpin kegiatan ritual.

Pemikiran selanjutnya terkait dengan keberadaan Rosulullah dalam tuturan ritual selamatan. Rosulullah dianggap sebagai orang yang dekat dengan Tuhan. Untuk itulah, Rosulullah dianggap dapat menjadi perantara dekat dengan Tuhan. Jika untuk perantara yang berupa sosok atau tokoh yang dimakamkan di tenpat tersebut pelaku ritual membawakan segala uba rampe lengkap, maka berbeda dengan yang dibawa untuk Rosulullah. Dalam tuturan tersebut terdapat

(40)

permohonan supaya Allah memberikan salawat ke atas nabi, keluarga, dan seluruh sahabat serta pengikutnya.

Dalam tuturan ritual selamatan juga terdapat anggapan yang terkait dengan keberadaan Tuhan dan Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Tuhan ditempatkan pada posisi tertinggi, dianggap sebagai wujud tertinggi dan yang Maha Kuasa. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan untuk memberikan segala yang diminta. Dalam pemikiran pelaku ritual, Tuhan adalah Maha Kuasa dan menjadi tempat memohon. Meskipun penyebutan kata “Tuhan” tidak banyak ditemukan, namun pelaku ritual masih meyakini dan memanjatkan permohonannya kepada Tuhan.

Penyebutan atau pengakuan Tuhan (Allah) sebagai wujud tertinggi juga sangat terlihat dalam tuturan penutup yang berisi doa-doa dengan menggunakan bahasa Arab. Dalam tuturan tersebut terdapat banyak pujian yang disampaikan untuk Tuhan. Tidak hanya pujian yang disampaikan, bahkan segala permohonan untuk memberikan ampunan dan rahmat juga disampaikan kepada Tuhan. Di dalam tuturan penutup juga ditemukan banyak tindak tutur direktif yang artinya memohon kepada Tuhan, bahkan untuk memberikan rahmat dan ampunan yang khusus ditujukan untuk diberikan kepada Eyang Soedjo dan Eyang Djoego. Tuturan tersebut menandakan Tuhan menepati posisi sebagai wujud tertinggi dalam pelaksanaan kegiatan ritual selamatan tersebut.

Dalam ritual yang dilaksanakan tersebut, Tuhan masih menjadi rujukan utama dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari kalimat-kalimat yang dituturkan. Meskipun demikian, terdapat hal lain yang menjadi “penyambung” antara mereka dengan Tuhan. Terlihat melalui tuturan

(41)

ritual selamatan yang menjadi penyambung adalah Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Kanjeng Eyang Penembahan berdua dipandang sebagai perantara hubungan pelaku ritual dengan Tuhan. Pola pikir ini muncul didasari atas penggunaan kata “lelantaran” dalam wacana tersebut.

Pola pikir lain terkait keberadaan kedua tokoh tersebut adalah memandang mereka sebagai orang yang lebih tua yang layak untuk dihormati, atau lebih tepatnya sebagai eyang atau simbah. Karena posisinya sebagai eyang maka keduanya menjadi tempat yang tepat untuk berkeluh kesah. Pola pikir ini terbaca dari penggunaan kata “para wayah”. Pola pikir terakhir yang terlihat melalui tuturan ritual selamatan adalah pelaku ritual meganggap keduanya sebagai orang yang dimuliakan dalam ritual tersebut. Hal ini terlihat dari penggalan-penggalan tuturan yang menyatakan mereka berbakti kepada Kanjeng Eyang Penembahan sekalian, mereka datang untuk mengadakan selamatan dengan memotong kambing atau ayam, sampai pada penggunaan bahasa Jawa krama inggil.

Bentuk bahasa yang digunakan oleh penutur kepada lawan tutur dapat menjadi cerminan siapa penutur dan siapa lawan tutur. Demikian juga dengan tuturan ritual selamatan ini. Penutur adalah pelaku ritual yang membahasakan dirinya sebagai para cucu (para wayah). Di sisi lain, yang menjadi lawan tuturnya adalah tokoh yang dihormati dan dianggap suci, yakni Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Dengan demikian, untuk berkomunikasi digunakan bahasa Jawa krama inggil. Pemilihan bahasa ini sebagai upaya untuk memuliakan keduanya.

(42)

Berdasarkan uraian di atas, terdapat beragam pola pikir mengenai Tuhan dan Kanjeng Eyang Penemabahan berdua yang terlihat melalui tuturan ritual selamatan. Dapat dilihat adanya pola pikir yang terkaitan dengan pelaksanaan kegiatan ritual selamatan. Terdapat anggapan bahwa Kanjeng Eyang Penembahan berdua sebagai orang yang dihormati dalam kegiatan tersebut. Hal itu terlihat melalui beberapa hal. Pertama, ditemukan banyak penyebutan “Kanjeng Eyang Penembahan sekalian” dalam wacana tuturan ritual selamatan, yakni sebanyak 14 kali. Kedua, penjelasan mengenai alasan kedatangan mereka ke tempat tersebut. Adapun alasan mereka adalah untuk melakukan selamatan dengan memotong kambing dan ayam serta nasi gurih. Semua itu dilakukan tujuannya untuk memberi makan Kanjeng Eyang Penembahan berdua. Sementara itu, yang ketiga terlihat melalui penggunaan bahasa dalam wacana tuturan ritual selamatan. Bahasa yang digunakan dalam wacana tersebut adalah bahasa Jawa krama inggil sebagai bentuk penghormatan atau kesantunan terhadap lawan tutur.

Melalui tuturan ritual selamatan, terlihat bahwa permohonan atau bentuk tindak tutur direktif pada dasarnya disampaikan kepada Tuhan. Dalam tuturan ritual selamatan segenap bentuk prmohonan ditujukan kepada Tuhan. Melihat hal tersebut, tergambar pola pikir melalui tuturan ritual selamatan mengenai konsepsi Tuhan sebagai wujud tertinggi. Tuhan yang Maha Kuasa menjadi tempat utama untuk memohon.

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disampaikan beberapa pola pikir yang ditemukan melalui tuturan yang disampaikan. Pertama, menyangkut keberadaan wujud tertinggi. Dalam tuturan tersebut yang dianggap sebagai wujud tertinggi

(43)

adalah Tuhan. Tuhan adalah dzat yang Maha Kuasa dan wujud tertinggi yang menjadi tempat memohon. Kedua, menyangkut keberadaan Eyang Djoego dan Eyang Soedjo dalam tuturan ritual selamatan. Terkait dengan keberadaan Eyang Djoego dan Eyang Soedjo, terdapat tiga konsepsi yang menyangkut keduanya. Pertama, dalam tuturan ritual selamatan terlihat adanya anggapan mengenai Kanjeng Eyang Penembahan berdua, yakni sebagai penghantar atau perantara hubungan dengan Tuhan. Apabila permohonan yang disampaikan dilewatkan melalui Kanjeng Eyang maka dapat segera dikabulkan. Keduan, selain sebagai penghantar, Kanjeng Eyang juga dianggap sebagai orang yang lebih tua. Hal tersebut terlihat melalui penggunaan diksi eyang. Dengan menganggap Kanjeng Eyang sebagai simbah proses atau kegiatan ritual ini akan berjalan secara kekeluargaan. Selain itu, sebagai orang yang lebih kecil atau lebih muda, sudah sepantasnya meminta bantuan orang yang lebih tua. Ketiga, Kanjeng Eyang Penembahan dianggap sebagai orang yang dimuliakan dalam kegiatan ritual tersebut. Hal tersebut terlihat dari pronomina yang digunakan, yakni menyebut keduanya dengan ‘Kanjeng Eyang Penembahan sekaliyan’. Penyebutan tersebut sebagai bentuk penghormatan atau kesantunan karena telah meminta pertolongan keduanya. Selain itu, berbagai ubo rampe yang dibawa pada saat kegiatan ritual selamatan ditujukan untuk memberikan makanan Kanjeng Eyang Penembahan berdua.

(44)

6.2 SARAN

Penelitian ini merupakan langkah awal untuk penelitian selanjutnya dalam kajian linguistik antropologi. Perlu disadari bahwa antara linguistik dan antropologi memiliki keterikatan yang erat. Untuk itu, masih diperlukan penelitian-penelitian selanjutnya yang akan mengkaji keterikatan tersebut. Dengan demikian, pengembangan keilmuan ini akan semakin baik dan memberikan manfaat baik bagi linguistik, antropologi, maupun keduanya.

Terkait dengan lokasi penelitian, disarankan untuk dapat dipromosikan lebih luas lagi. Tidak hanya terkait dengan mitos-mitos yang ada, melainkan dijadikan wisata religi yang akan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Keberagaman dan kerukunan antarmasyarakat yang ada di tempat tersebut sudah selayaknya dikenal secara luas, sehingga dapat dijadikan contoh bagi masyarakat lain yang juga tinggal di lingkungan yang beragam.

Referensi

Dokumen terkait

Nama :  ANDI RISNAWATI, S.Pd..

Chen and Liu, (2013) suggested an increase in student learning outcomes after using media such as games (board games) which was used as a learning facility could assisted students

perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja yang.. dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu bagi hubungan

Hasil penelitian menyebutkan bahwa kelompok wanita yang menganut pola makan tinggi lemak tidak jenuh dan vitamin E memiliki resiko paling rendah terhadap kejadian kanker

Tindakaan tersebut sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia.Salah satu usaha yang dilakukan untuk dapat membantu memberikan oksigen yang

Tabel 4.5 Hubungan Anatara Konsep Diri dengan Keterampilan Sosial Anak Kelompok B Taman Kanak-kanak Kecamatan Sukasari Kota Bandung

Karena itu, sangat tepat fatwa yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga fatwa di dunia Islam, seperti fatwa MUI yang mengharamkan rokok, begitu juga Dewan Fatwa Arab Saudi yang

Berdasarkan analisis hasil penelitian, model Problem Based Learning (PBL) dengan menggunakan model penilaian Assessment for Learning (AfL) berbatuan smartphone dan