• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hidup dengan Bencana: Lesson Learned dari Rehabilitasi dan Rekonstruksi Perumahan di Desa Pasir, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hidup dengan Bencana: Lesson Learned dari Rehabilitasi dan Rekonstruksi Perumahan di Desa Pasir, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Hidup dengan Bencana: Lesson Learned dari Rehabilitasi dan

Rekonstruksi Perumahan di Desa Pasir, Kecamatan Johan Pahlawan,

Meulaboh

Jika semua pihak memaksakan kehendak dan tidak mau belajar dari bencana yang terjadi, maka jerih payah rekonstruksi hanya akan menjadi

puing – puing kehancuran. Kekuatan alam bukan untuk dilawan, tinggal bagaimana langkah manusia mau menyesuaikan diri

dengan perubahan yang terjadi

(Hadi Wibawa – Laporan Akibat Terlalu Cepat “Melupakan” Kekuatan Alam, Meulaboh, 17 Mei 2007)

Gempa bumi sekitar 9,0 skala richter melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara, pada 26 Desember 2004. Pusat gempa berada di 150 kilometer sebelah selatan Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Fenomena alam ini merupakan gempa terkuat di dunia yang pernah terjadi dalam satu generasi terakhir. 2004 Indian Ocean Earthquake itu telah mengakibatkan kerusakan parah di sepanjang 800 kilometer garis pantai Barat dan Timur Provinsi NAD. Di Aceh, 132.000 orang dipastikan tewas dan 37.000 orang dilaporkan hilang. Sementara, 527.000 orang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa tinggal di tenda-tenda darurat maupun tempat-tempat penampungan sementara.

Gempa susulan yang mengikutinya menunjukkan bahwa gempa ini timbul akibat pergeseran lempeng India dan Burma di Patahan Sunda yang menimbulkan jurang di dalam laut. Analisa terhadap ciri-ciri gempa menunjukkan bahwa sekitar 1.200 km lempeng bawah laut patah dan tenggelam sehingga menimbulkan pergeseran sekitar 15 meter.1

Gelombang tsunami ini bergerak dengan kecepatan tinggi, hanya dalam waktu 45 menit untuk mencapai tempat-tempat sejauh 120 kilometer dari pusat gempa. Hanya dalam 2 jam, gelombang tsunami telah mencapai jarak 1.000 kilometer. Efek merusak dan menghancurkannya dirasakan oleh negara-negara lain yang juga porak poranda, yakni Thailand, Srilanka, India, Bangladesh dan negara-negara lain di Asia dan Afrika Timur.

1 Secara geologis, Pulau Sumatera dilalui oleh patahan aktif Sesar Semangko yang memanjang dari Banda Aceh di Utara hingga Lampung di Selatan. Patahan ini diperkirakan bergerak sekitar 11 sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa dan longsor. Sementara kerangka tektonik Provinsi NAD tidak terlepas dari konsep tektonik Pulau Sumatera secara keseluruhan. Nanggroe Aceh Darussalam terletak di busur kepulauan, di dekat jalur penunjaman berbentuk palung yang dalam, yang dihasilkan dari tumbukan dua lempeng besar, yakni Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia yang menghasilkan konfigurasi dan geologi struktur yang cukup rumit. Aceh sendiri dipotong oleh Sesar Besar Sumatera yang berarah Baratdaya-Timurlaut. Sesar atau patahan memiliki karakteristik sesar geser yang bergerak ke arah kanan (right lateral strike slip fault). Sedangkan di bagian Utara terbentuk struktur yang berarah Utara-Selatan akibat aktifitas Lempeng India dan Lempeng Mikro-Burma. (Sumber: Lampiran 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 bidang Tata Ruang dan Pertanahan, hal. II.1 – 1 – II.1 – 3)

(2)

Foto udara Banda Aceh sebelum dan sesudah tsunami 26 Desember 2004 (sumber: http://www.greatdreams.com/weather/tsunami_in_our_future.htm)

Ringkasan skala kerusakan yang memerlukan penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Nias menyebutkan kebutuhan perumahan mencapai 120.000 unit rumah baru dengan sebaran sepanjang 800 km dan total luas kerusakan mencapai 12.345 km.2 Fisiografi wilayah yang mengalami kerusakan tersebut pun berubah. Tanah di sejumlah lokasi tenggelam ditelan laut, mengalami penurunan dan penetrasi air laut atau menjadi peka bencana sehingga menjadi tidak cocok untuk digunakan kembali sebagai kawasan hunian. Hal ini menjadikan kebutuhan untuk lahan relokasi menjadi signifikan: mencapai 620 hektar untuk permukiman kembali di lahan baru, dari 915 hektar lahan yang disediakan oleh BRR (melalui mekanisme APBN), APBD maupun hibah.

Konsep dasar penataan ruang pembangunan kembali Aceh dan Nias adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan aman dari bencana. Untuk itu di setiap wilayah rawan bencana tsunami perlu memiliki fasilitas perlindungan yang dapat berupa bentuk alami maupun bangunan, dan jalur penyelamatan menuju ke tempat yang lebih aman.3 Konsep ini melahirkan ide berupa dinding pertahanan laut dan perintang air yang akan memungkinkan pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi perumahan dan pertanian yang bergantung kepada perlindungan terhadap pasang laut, meskipun ini tidak akan melindungi penduduk dari bahaya tsunami. Kritik terhadap efektifitas dinding pertahanan laut dan perintang air (yang juga disebut tanggul pemecah gelombang) membuat perhatian dialihkan kepada hutan bakau sebagai solusi.

Namun, di sisi lain, kebijakan dan strategi penataan ruang juga memberikan pilihan kepada warga untuk bermukim di tempat semula, menghormati aspirasi, harapan dan hak bermukim warga, serta pranata sosial setempat.4 Kenyataan ini menjadi “kartu truf” bagi warga yang sudah terlalu lama bertahan di barak-barak pengungsian tanpa kepastian akan

2 “Membangun Tanah Harapan: Laporan Kegiatan Satu Tahun Badan Pelaksana Rehabilitasi dna Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, April 2006”, halaman 30.

3 Lampiran 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005, Buku Utama

Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi hal. I.5–1 dan Buku Rinci Bidang Tata Ruang dan Pertanahan hal. II.2-1 sampai II.2-8

4 Lampiran 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005, Buku Utama

Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi hal. I.5–1 dan Buku Rinci Bidang Tata Ruang dan Pertanahan hal. II.2-1 sampai II.2-8

(3)

direlokasi kemana, dan menggunakan haknya untuk kembali ke permukiman semula.

Tersebutlah para penyintas yang berasal dari Desa Pasir, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat yang telah melewatkan setahun pertama pasca tsunami di barak-barak pengungsian, tanpa kepastian dari pihak pemerintah daerah menyangkut lahan relokasi yang akan disediakan untuk mereka. Pada Januari 2006, dilakukanlah sebuah diskusi publik dengan masyarakat Desa Pasir, musyawarah pimpinan daerah Kabupaten Aceh Barat, wakil dari militer, serta dihadiri oleh Kepala Badan Pelaksana BRR NAD-Nias untuk membahas penyelesaian terhadap berlarut-larutnya ketersediaan lahan bagi penyintas yang kehilangan tempat tinggalnya. Kepala Badan Pelaksana BRR NAD-Nias membolehkan masyarakat Desa Pasir untuk kembali ke tempat asal, namun upaya mitigasi bencana harus ditambahkan untuk melindungi warga terhadap kemungkinan-kemungkinan bencana. Afirmasi ini ditindaklanjuti oleh Caritas Switzerland yang akan membangun 197 unit rumah dan Re-KOMPAK yang berkomitmen untuk memfasilitasi pembangunan 30 unit rumah di desa tersebut.

Desa Pasir yang terletak di Kecamatan Johan Pahlawan memiliki wilayah administratif seluas 6 hektar dan terbagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun Zakaria, Dusun Bilal Gaek dan Dusun Nek Putih. Mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah nelayan.

Di saat pekerjaan konstruksi sedang berlangsung, pada Mei 2007, gelombang pasang dengan ketinggian dua hingga enam meter melanda hampir seluruh daerah pantai yang menghadap ke Samudera Hindia, yakni Banda Aceh (pesisir Pantai Barat-Selatan), Sumatera Barat (pesisir Pantai Barat), pesisir Pantai Selatan Jawa Barat (Kabupaten Cianjur, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi), Jawa Tengah (pesisir Pantai Selatan Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Purworejo), DI Yogyakarta (Kabupaten Bantul), Jawa Timur (Kabupaten Malang), dan Bali. Gelombang pasang ini mengakibatkan sejumlah kerusakan di tepi pantai, ribuan orang mengungsi, para nelayan berhenti melaut, dan di beberapa tempat, aktivitas wisata untuk sementara terhenti.

Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sendiri, gelombang pasang ini telah mengakibatkan 1.823 warga pesisir dari empat desa di Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, yakni Padang Serahet, Suak Indrapuri, Desa Pasir dan Kampung Belakang terpaksa mengungsi. Sementara itu, penduduk beberapa desa di Kecamatan Samatiga juga di Kabupaten Aceh Barat, yaitu desa Suak Ribee, Suak Sigadeng, Ujong Kalak, Kuala Bubon, Lhok Bubon dan Suak Pandang, terpaksa dievakuasi.

Sementara di Kabupaten Aceh Jaya, gelombang pasang telah memacetkan hubungan Calang – Banda Aceh akibat ratusan meter jalan di kawasan Krueng Pande, Desa Sawang dan Kuala Dho, Desa Lhok Geulumpang, keduanya di Kecamatan Setia Bakti, terendam air laut setinggi 70 cm dan tertimbun pasir.

(4)

Gelombang pasang merupakan fenomena alam akibat akumulasi “alun” atau hembusan angin yang terjadi di lokasi lain (swell) pada pergantian musim. Selain faktor meterological force tersebut, gelombang pasang juga terjadi akibat pergerakan benda-benda langit (astrological force). Bulan merupakan benda langit yang paling dekat dengan bumi yang menyebabkan hampir 70% efek pasang surut, sementara matahari memiliki pengaruh sebesar 30%5. Pada 17-18 Mei 2007 lalu, ada perbedaan tekanan

udara di Samudera Hindia sebelah Barat Australia yang tekanannya tinggi, dengan kondisi meteorologi di Selatan Jawa/Barat Sumatera dimana tekanan udaranya lebih rendah. Sementara itu di atas Samudera Hindia dekat Australia sedang terjadi cold front dengan kecepatan angin hingga 30 knot yang membangkitkan alun yang cukup besar.

Pada saat yang bersamaan, konjungsi bulan - matahari6 terjadi pada 17 Mei 2007 pukul 01:28 WIB, sementara perigee (posisi terdekat bulan dengan bumi) terjadi 27 jam sebelumnya dengan jarak bumi - bulan (centre to centre) 359.400 km. Konjungsi terjadi saat bulan berada dalam posisi perigee, dan disini terjadi spring tide (bulan mati), yang mengakibatkan timbulnya pasang yang tinggi, seperti halnya saat pasang purnama. Swell7

yang datang bersamaan dengan pasang tinggi ini menjadi faktor perusak yang dominan.

5 Rovicky, 21 Mei 2007, “Gelombang Pasang akibat Astronomical Force dan Meteorological

Force” sebagaimana bisa diakses di http://rovicky.wordpress.com/2007/05/21/gelombang-pasang-astronomi/

6 Peristiwa dimana matahari dan bulan nampak berimpit bila dilihat dari bumi. Saat konjungsi sudut fase bulan tepat 180º dengan elongasi bulan–matahari bernilai di bawah 5º. Sumber: Rovicky, 22 Januari 2008, “Mengintip (Meramal) Gempa dan Banjir Berikutnya dari Peredaran Bulan” sebagaimana bisa diakses di http://rovicky.wordpress.com/2007/11/29/mengintip-gempa/

7 Swell merupakan gelombang panjang yang mirip tsunami sehingga sulit diredam batimetri setempat, namun memiliki periode jauh lebih kecil (T ~ 10 detik) dibandingkan dengan tsunami (T 10 menit – 2 jam dan panjang gelombang lebih dari 500 km). Sebagai pembanding, gelombang laut biasa (karena angin) memiliki periode 5 – 20 detik dengan panjang gelombang 100 – 200 meter menurut NOAA. Karena periodenya yang lebih pendek, secara teoritis energi swell sudah terkuras dalam perjalannya, sehingga daya rusaknya pun relatif lebih kecil. Sebagai pembanding, saat tsunami melanda Pantai Suwuk di Puring, Kebumen pada 17 Juli 2006 lalu, tinggi gelombangnya hanya 1,3 meter namun menghempas hingga sejauh 300 meter ke daratan dengan daya rusak yang sungguh luar biasa. Sementara swell meski tingginya mencapai 7 meter, namun hempasannya ‘hanya’ sejauh 200 meter saja. Sumber: Rovicky, 21 Mei 2007, “Gelombang Pasang akibat Astronomical Force dan

Meteorological Force” sebagaimana bisa diakses di

(5)

Konstruksi dalam Pengerjaan (KDP) rumah bantuan bagi masyarakat Desa Pasir, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh saat dilanda gelombang pasang pada 17 Mei 2007 lalu (Foto oleh HadiWibawa) Kali ini, ada pelajaran yang terbetik bahwa kekuatan alam tidak bisa dilawan, namun manusia harus menjadi subyek yang mampu mengelola pengalaman dan pengetahuannya untuk hidup berdampingan dengan bencana. Pada 20 September 2007, lewat surat bernomor 400/1502/I/2007 perihal Zona Larangan Bangun di Desa Pasir, Bupati Aceh Barat menyatakan sikap sebagai berikut:

“Pemerintah Kabupaten Aceh Barat sepenuhnya melarang

pembangunan kembali rumah masyarakat korban tsunami terutama di lokasi merah sesuai dengan peta terlampir, namun jika ada masyarakat yang bersikeras tetap meminta rumahnya dibangun di lokasi merah tersebut, maka harus mengajukan permohonan kepada Bupati Aceh Barat yang diketahui kepala desa dan camat dan hanya berlaku bagi rumah yang sudah mulai dibangun saat dikeluarkannya surat ini.”

Surat tersebut tak lupa ditembusi kepada pimpinan DPR Kabupaten Aceh Barat, Kepala Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air Aceh Barat, Kepala Kantor BRR Perwakilan Wilayah V, Sekretariat Bersama Aceh Barat, Camat Johan Pahlawan dan Kepala Desa Pasir. Hal ini menjadi pelengkap dari “kepingan puzzle” kewajiban pemangku kepentingan terkait yang dulu abai dilakukan yakni bahwa pemerintah daerah perlu memberi informasi, peraturan, termasuk sarana perlindungan dan penyelamatan bagi warga

(6)

yang ingin tinggal di zona berpotensi tidak aman. Sistem politik yang mensyaratkan pengalokasian nilai-nilai yang bersifat paksaan atau dengan kewenangan yang mengikat masyarakat sebagai suatu keseluruhan, memberikan pemerintah fungsi otoritatif untuk memaksakan sebuah sikap yang sifatnya adalah bagi kemaslahatan publik. Dalam kasus ini, terkait dengan pemaksaan agar rehabilitasi dan rekonstruksi dilaksanakan sembari mengindahkan karakteristik wilayah yang rawan bencana.8

Caritas Switzerland pun terpaksa merelokasi 112 penerima manfaat ke Blang Beurandang, karena gelombang pasang telah mengakibatkan Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP) rumah-rumah tersebut tidak mungkin dilanjutkan. Hanya pembangunan 85 unit rumah yang tetap dilanjutkan di Desa Pasir, yakni yang tidak berada di zona merah.

8 Lampiran 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005, Buku Utama

Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi hal. I.5–16 mengenai arahan pemanfaatan ruang Kabupaten Aceh Barat menyebutkan bahwa pola pemanfaatan ruang kawasan sepanjang pantainya harus berdasarkan zonasisebagai berikut:

1) Zona N1, yakni zona di tepi muka air pasang berjarak minimal 100 meter dari pasang laut tertinggi dimanfaatkan untuk membangun fasilitas perlindungan (buffer zone) dengan hutan tanaman bakau, waru laut dan tanaman penyangga lainnya sesuai karakteristik pantai.

2) Zona N2, yakni zona yang dicapai oelh gelombang tsunami dengan ketinggian lebih dari 1 MDPL, dengan pemanfaatan ruang sebagai lahan budidaya perkebunan atau taman kota dengan tanaman penyangga yang dapat difungsikan sebagai buffer zone dengan bangunan terbatas dan kepadatan wilayah terbangun rendah (TPI, permukiman nelayan, dan sebagainya) yang dilengkapi dengan

disaster mitigation plan.

3) Zona B1, yaitu zona antara yang dicapai gelombang tsunami kurang dari 1 MDPL dengan zona aman, dengan pemanfaatan ruang untuk kegiatan jasa dan perdagangan serta permukiman kepadatan rendah sampai sedang.

4) Zona B2, yaitu zona yang aman dari terpaan gelombang tsunami dengan pemanfaatn ruang sebagai pusat kegiatan bisnis (Center of Business Development atau CBD), pelayanan sosial dan permukiman perkotaan dengan kepadatan tinggi disesuaikan dengan kondisi daya dukung lahan setempat dan pemanfaatan ruang yang ada.

Gambar

Foto udara Banda Aceh sebelum dan sesudah tsunami 26 Desember 2004  (sumber: http://www.greatdreams.com/weather/tsunami_in_our_future.htm)

Referensi

Dokumen terkait

Linked to developments in the methodologies for in vivo neurochemical brain imaging studies, important new possibilities for investigations on the pathophysiology of

Raja Ampat, akhirnya proses penghitungan suara tidak dapat dilanjutkan lagi, kemudian pada tanggal 23 April 2014 yang difasilitasi oleh Kapolres Kabupaten Raja

Pada ransum yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai berat jenis yang setara, akan tetapi mempunyai nilai kadar air dan ukuran partikel yang berbeda,

Materi Mata Kuliah Gambar Teknik yang terdapat di DPTM FPTK UPI maupun materi Mata Pelajaran Produktif Gambar Teknik khususnya pada Program Keahlian Teknik

Ber dasar kan hal-hal ter sebut di atas, maka Panitia Pengadaan Jasa Konsultansi Dinas Tata Kota Bandar Lampung mengumumkan pemenang dan pemenang cadangan penyedia jasa

Kegiatan pengabdian kepada Masyarakat tentang “Pelatihan Pembuatan Proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bagi Guru-Guru SDN Dalangan 01 dan SDN Dalangan 02

Sehari setelah diadakan acara Serah Terima Hunian Tetap kepada para penerima manfaat di Desa Botteng, Caritas Indonesia mengadakan evaluasi atas pelaksanaan Program

(3) Untuk perusahaan penanaman modal dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bidang usahanya merupakan kewenangan pemerintah provinsi dan/atau pemerintah