21 Hestiyana
Balai Bahasa Kalimantan Selatan
Jalan Jenderal A.Yani Km 32, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70712
Pos-el: hestiyana21@gmail.com Abstrak
Ritual adat ngundang merupakan warisan budaya leluhur masyarakat Dayak Halong yang terus dipelihara dan dilaksanakan dalam setiap ritual. Pada masyarakat adat DayakHalong, terdapat beberapa ritual adat ngundang, yakni ngundang baharin malem manta, ngundang baharin malem mandruu,
ngundang wadian malem manta, ngundang wadian malem mandruu, ngundang palas kapateian, dan ngundang palas nimbuk. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pelestarian budaya daerah dalam
ritual adat ngundang Dayak Halong sebagai sarana menanamkan karakter bangsa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data penelitian ini berupa tuturan-tuturan lisan dalam tata ritual adat ngundang. Dalam pengumpulan data, digunakan teknik simak, catat, dan cakap. Penganalisisan dilakukan dengan pemahaman, interpretasi, dan pemaknaan, kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi. Dari hasil penelitian ditemukan pelestarian budaya daerah dalam ritual adat ngundang Dayak Halong sebagai sarana menanamkan karakter bangsa dilakukan melalui nilai-nilai sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) cinta tanah air, (6) peduli lingkungan, (7) peduli sosial, dan (8) tanggung jawab.
Kata kunci: ritual, ngundang, Dayak Halong, karakter bangsa, pelestarian
Ritual Ngundang Dayak Halong: Increasing Nation Characters and Preserving Regional Culture
Abstract
Ngundang traditional rituals are one cultural heritage of the Dayak Halong people which continues to be maintained and carried out in traditional ritual. In the Dayak Halong indigenous people, there are several traditional rituals: inviting, namely ngundang baharin malem manta, ngundang baharin malem mandruu, ngundang wadian malem manta, ngundang wadian malem mandruu, ngundang palas kapateian, and ngundang palas nimbuk.This study aims to describe the preservation of regional culture in traditional rituals ngundang Dayak Halong as a means of instilling national character. The method used in this study is a qualitative descriptive method. This research data in the form of oral speeches in traditional rituals ngundang. In collecting datatechniques used observing, recording, and interviewing. Analyzing is done with understanding, interpretation, and meaning, then they are presented in the form of description. From the results of the study, it is found that the preservation of regional culture in traditional rituals ngundang Dayak Halong as a means of instilling national character throughvalues as follows: (1) religious, (2) honest, (3) tolerance, (4) discipline, (5) love for the homeland, (6) care for the environment, (7) social care, and (8) responsibility.
Keywords: ngundang rituals, Dayak Halong, national character, preserving PENDAHULUAN
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang melekat sehingga tercermin dalam pola tingkah laku. Karakter ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan alam, serta kebangsaan yang tentunya berdasarkan pada norma agama, budaya,dan adat istiadat. Watak atau
karakter berasal dari kata Yunani
charassein, yang berarti barang atau alat
untuk menggores, yang kemudian dipahami sebagai stempel atau cap. Jadi, watak itu sebuah stempel atau cap, sifat-sifat yang melekat pada seseorang (Dumadi dalam Adisusilo, 2017: 76).
Pembentukan karakter dalam diri seseorang merupakan proses penting yang
22
berkelanjutan serta dapat mengarah pada pembangunan karakter bangsa yang terintegrasi dengan baik. Pembentukan karakter bangsa bisa dimulai dari tradisi lisan yang dimiliki setiap daerah. Tradisi lisan tidak hanya berbentuk cerita rakyat ataupun mitos saja, akan tetapi berkaitan juga dengan pengobatan tradisional, hukum adat, upacara keagamaan, dan upacara adat. Setiap daerah tentunya memiliki ritual adat yang menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya daerah.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan Finnegan dalam Hestiyana (2016: 208) bahwa karya dapat disebut sastra atau tradisi lisan dengan melihat ketiga aspeknya, yaitu komposisi, cara penyampaian, dan pertunjukkannya. Jadi, dalam tradisi lisan terdapat nilai-nilai yang mampu membentuk karakter masyarakat pendukungnya.
Perenungan pikiran atau pandangan hidup yang digali dari latar belakang sosial budaya masyarakat daerah itu akan menghasilkan bentuk-bentuk sastra yang bersifat kedaerahan (Saefuddin, 2016: 266). Kemudian, Danandjaja (2002: 22) menyatakan bahwa kajian terhadap sastra lisan bukan hanya dapat mengetahui perkembangan sastra itu saja yang merupakan khasanah budaya daerah dan nusantara, tetapi sekaligus dapat mengetahui kedudukan, fungsi, dan keadaan masyarakat sebagai pendukung sastra daerah atau sastra lisan tersebut.
Pelestarian budaya daerah dapat dilihat dari bentuk-bentuk kebudayaan yang dipelihara dan terus dijaga. Ritual adat merupakan wujud pelestarian budaya yang masih dipraktikkan oleh suku Dayak Halong di lereng Pegunungan Meratus, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan.
Suku Dayak Halong disebut juga suku Dayak Balangan. Hal ini seperti yang diungkapkan Nabiring (2013: 16) bahwa suku Dayak Balangan lazim juga disebut Dayak Halong yang komunitas etniknya bermukim di wilayah Pegunungan Meratus. Kawasan pemukiman suku Dayak Balangan
tersebar di tiga puluh lima kampung di wilayah Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Nama Kecamatan Halong menjadi identitas nama suku bagi suku Dayak Balangan.
Iryanto (2015: 16) menjelaskan bahwa Dayak Meratus lebih populer dikenal dengan nama Dayak Halong, setelah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu wilayah yang kini dikenal dengan nama Desa Kapul danterjadinya pemekaran kabupaten. Sejak itu, mereka disebut dengan Dayak Halong Balangan merujuk pada Kabupaten Balangan.
Halong merupakan daerah unik yang mencerminkan kehidupan masyarakat berasas Pancasila. Ada lima agama dan aliran kepercayaan yang hidup berdampingan secara damai, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kepercayaan Kaharingan atau agama leluhur (Hartatik, 2017: 21).
Salah satu ritual adat yang masih dipraktikkan oleh suku Dayak Halong adalah ritual adat ngundang. Nabiring (2018: 39) menyatakan bahwa istilah
ngundang berasal dari kata undang yang
berarti meminta untuk datang supaya diketahui khalayak masyarakat atau memberikan warta yang disampaikan pelaksana adat (puhun) atau yang empunya rumah (hie-ampun lampau). Kemudian, Nabiring (2015: 30) menambahkan bahwa tata ritual adat ngundang dilakukan oleh kepala adat, tokoh adat, para wadian, tabib
dadukun, pahoyongan, tokoh masyarakat,
dan keluarga waris.
Wadian atau disebut juga balian
adalah orang-orang khusus yang memiliki keahlian berkomunikasi dengan roh-roh leluhur dan bisa memimpin suatu ritual adat.
Pahoyongan merupakan orang-orang yang
dapat menyampaikan pesan-pesan kepada roh leluhur pada saat ritual adat dilaksanakan. Tata ritual ini merupakan aturan hukum adat ngundang supaya pelaksanaan ritual menjadi tertata dan teratur sesuai ketentuan aturan adat warisan leluhur. Dalam ritual adat ngundang terdapat aturan-aturan penggunaan tata bicara yang
23 khas serta aturan yang harus ditaati, baik dari
pihak yang melaksanakan ngundang
ataupun tamu undangan. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini. Selain itu, penelitian yang khusus membahas Ritual Adat Ngundang Dayak Halong sebagai Sarana Menanamkan Karakter Bangsa dan dalam kaitannya melestarikan budaya daerah belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penting dilakukan kajian mengenai ritual adat
ngundang suku Dayak Halong.
Hasil penelitian yang terkait dengan nilai-nilai karakter bangsa pernah dilakukan Bandung (2013) yang berjudul “Pemodelan Nilai-Nilai Budaya dalam Naskah Cerita Rakyat sebagai Rujukan Pendidikan Karakter Bangsa”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa cerita-cerita rakyat memiliki sejumlah nilai-nilai budaya yang dapat dirumuskan dan menjadi suatu pemodelan nilai yang dapat dijadikan rujukan dalam pendidikan karakter bangsa.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang memfokuskan masalah pada cerita rakyat, fokus masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pelestarian budaya daerah dalam ritual adat ngundang Dayak Halong sebagai sarana menanamkan karakter bangsa.
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah adanya pemahaman akan pelestarian budaya daerah dalam ritual adat yang mampu menciptakan kehidupan yang damai, saling menghargai, serta cinta terhadap bangsa dan negara. Di samping itu, penelitian ini merupakan salah satu upaya memperkenalkan dan melestarikan ritual adat ngundang suku Dayak Halong.
TEORI
Karakter berarti sikap, pola perilaku, dan kebiasaan yang memengaruhi interaksi seseorang terhadap lingkungan. Karakter menentukan sikap, perkataan, dan tindakan. Hampir setiap masalah dan kesuksesan yang dicapai seseorang ditentukan oleh karakter yang dimilikinya (Ahsin, 2018: 99).
Karakter atau watak menurut Sharon Wisniewski dan Keneth Miller dalam
Sukowati (2016: 233) merupakan suatu hubungan timbal balik antara diri (self) dengan tiga hal yang pasti ada, yaitu: lingkungan internal (diri), lingkungan eksternal (orang lain dan lingkungan fisik), dan lingkungan spiritual (sesuatu yang lebih besar dan abadi dari diri).
Karakter bagian dari sikap yang dapat dibedakan menjadi dua jenis. Sikap yang baik disebut ‘karakter’, sebaliknya sikap yang buruk dapat dikatakan ‘tabiat’. Karakter merupakan kumpulan dari tingkah laku baik dari seorang anak manusia. Tingkah laku ini merupakan perwujudan dari menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya mengemban amanah dan tanggung jawab. Sebaliknya, tabiat mengindikasikan sejumlah perangai buruk seseorang (Sudewo dalam Defina, dkk, 2015: 894).
Foerster sebagai pencetus pertama pendidikan karakter pertama menyatakan bahwa karakter adalah sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi (Adisusilo, 2017: 77). Selanjutnya, Zuchdi (2008: 39) menjelaskan bahwa watak (karakter) sebagai seperangkat sifat-sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebijakan, dan kematangan moral seseorang. Tujuannya adalah mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab.
Muin (2011: 294) menyatakan tentang membangun karakter berarti proses membentuk karakter dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Beragam hasil cipta budaya digunakan dalam membangun karakter bangsa, salah satunya melalui pelestarian budaya daerah.
Sardiman dalam Soelistyarini dan Setyaningsih (2012: 188) mengemukakan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, akhlak mulia yang berakar pada ajaran agama, adat istiadat, dan nilai keindonesiaan dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter
24
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Dengan demikian, karakter mampu mengukur kualitas diri seseorang. Karakter seseorang dapat dibentuk dan dikembangkan dengan pendidikan nilai. Pendidikan nilai karakter akan membawa sebuah bangsa menuju masa depan yang maju. Dengan kata lain, salah satu kemajuan sebuah bangsa akan terwujud apabila mampu menguatkan karakter rakyatnya. Dengan adanya karakter religius, jujur, kerja keras, pantang menyerah, disiplin, tanggung jawab, terus-menerus memupuk persatuan, dan menjaga kebinekaan, sebuah bangsa akan mempunyai masa depan yang lebih baik.
Kehidupan individu dalam masyarakat tentunya tidak terlepas dari budayanya. Hal ini ditegaskan Belen, dkk. (dalam Sulistyorini, 2013: 258) yang mengemukakan bahwa nilai-nilai pengembangan karakter bangsa yang mengharuskan nilai budaya, antara lain: (1) religi, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, dan (17) peduli sosial. Selanjutnya, Barbara (dalam Sulistyorini, 2013: 258) mengemukakan adanya 10 pilar karakter, yaitu: (1) peduli, (2) sadar akan hidup berkomunitas, (3) mau bekerja sama, (4) adil, (5) rela memaafkan, (6) jujur, (7) menjaga hubungan, (8) hormat terhadap sesama, (9) bertanggung jawab, dan (10) mengutamakan keselamatan.
Nilai-nilai pembentuk karakter yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional terdiri dari 18 karakter, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli
lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab (Narwanti, 2011: 29).
Tujuan pendidikan karakter, antara lain: (1) memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, (2) mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian, dan (3) membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama (Kesuma, dkk, 2011: 9).
Pendidikan karakter bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan mana yang salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action) (Lickona dalam Suwandi, 2013: 3).
Karakter merupakan campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah (Novak dalam Lickona, 2015: 81). Selanjutnya, dijelaskan Lickona (2015: 82), karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik, kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan.
Karakter bangsa dapat digali dari hasil pengetahuan kebudayaan masyarakat pendukungnya. Menurut Sibarani (2012: 497), jenis pengetahuan yang dapat digali dari tradisi lisan sebagai warisan leluhur dapat berupa: (1) usage (cara-cara), yakni berkaitan dengan cara melakukan sesuatu seperti cara makan, cara berpakaian, cara menari, cara mendongeng, cara bermantra, cara berpantun, cara bertutur adat, cara melakukan upacara, dan cara melaksanakan
25 ritual; (2) folksways (kebiasaan), yakni
berkaitan dengan sejumlah kebiasaan yang dilakukan masyarakat seperti kebiasaan menghormati orang yang lebih tua; (3)
mores atau ethics (moral atau etika), yakni
berkaitan dengan sejumlah perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang dalam kehidupan bermasyarakat; (4) norms
(norma), yakni berkaitan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat; (5)
custom (adat istiadat), yakni berkaitan
dengan adat yang harus diketahui dan ditaati oleh setiap individu dalam masyarakat; (6)
skill (keterampilan), yakni berkaitan dengan
keterampilan melakukan produk tradisional; dan (7) competence (kompetensi), yakni berkaitan dengan kemampuan tentang sesuatu terutama yang datangnya dari masa lalu.
Ritual adat ngundang sebagai wujud pelestarian budaya daerah mampu menjadi rujukan dalam membangun karakter bangsa. Dalam ritual adat ngundang, banyak terkandung nilai-nilai kebaikan serta sarat akan pesan moral yang dapat membentuk karakter seseorang.
Dengan demikian, penelitian ini akan menganalisis nilai-nilai pembentuk karakter yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana diungkapkan Narwanti (2011: 29) dalam ritual ngundang
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Endraswara (2004: 5) menyatakan metode yang paling cocok bagi fenomena sastra adalah penelitian kualitatif karena memaparkan data secara deskriptif.Hal ini didukung oleh pendapat Ratna (2006: 46) yang mengatakan bahwa metode kualitatif memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan data dalam bentuk deskripsi.
Data penelitian ini berupa tuturan-tuturan lisan dalam tata ritual adat ngundang suku Dayak Halong di lereng Pegunungan Meratus, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan.Dalam pengumpulan data digunakan
teknik simak, catat, dan cakap.Penyimakan dilakukan dengan menyimak tuturan-tuturan lisan dalam ritual adat ngundang.
Setelah melakukan penyimakan, teknik yang digunakan selanjutnya adalah teknik catat.Teknik catat merupakan teknik lanjutan yang dilakukan ketika menerapkan metode simak. Selanjutnya, teknik cakap dilakukan dengan wawancara/cakap kepada masyarakat suku Dayak Halong yang terlibat langsung dalam ritual adat ngundang. Penganalisisan dilakukan dengan pemahaman, interpretasi, dan pemaknaan, kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa ritual adat ngundang dalam masyarakat adat Dayak Halong Balangan, yakni: ngundang baharin malem manta,ngundang baharin malem mandruu, ngundang wadian malem manta, ngundang wadian malem mandruu, ngundang palas kapateian, dan ngundang palas nimbuk.
Ritual adat ngundang baharin malem
manta merupakan ritual yang dilakukan
setelah acara makan bersama. Dalam pelaksanaannya, puhun (pelaksana adat) meminta para undangan naik ke Balai Aruh. Kemudian, dilakukan sidang adat untuk mencari ahli waris yang terkena ngundang pada malem manta. Apabila ahli warisnya sudah ditemukan, dia lah yang akan melaksanakan ritual ngundang. Akan tetapi, apabila pihak ahli waris tidak bisa maka ia dapat meminta kepala adat untuk melakukannya.
Ritual adat ngundang baharin malem
mandruu merupakan ritual adat yang
dilakukan seperti pada adat ngundang
baharin malem manta, yakni puhun
memanggil tamu undangan untuk berkumpul di Balai Aruh. Kemudian, dilakukan sidang adat untuk mencari ahli waris yang terkena ngundang. Ritual adat
ngundang baharin malem mandruu ini
adalah puncak acara aruh baharin. Ritual adat ngundang wadian malem manta merupakan sidang adat untuk menentukan wadian pada malem manta, sedangkan
26
merupakan sidang adat untuk menentukan wadian pada malem mandruu.
Selanjutnya, ngundang palas kapateian (kematian), merupakan ritual ngundang yang dilakukan setelah mengantar
jenazah ke pemakaman. Setelah itu dilakukan sidang adat untuk menentukan waris yang terkena ngundang. Kemudian,
ngundang palas nimbuk merupakan ritual
yang dilakukan keluarga yang meninggal dengan mengantar nisan dan batur ke pemakaman. Pelaksanaan ritual adat ini dilakukan setelah selesai makan bersama lalu dilanjutkan dengan sidang adat mencari ahli waris yang terkena ngundang palas
nimbuk.
Dari hasil penelitian,ditemukan melalui nilai-nilai karakter bangsa sebagai berikut:
1. Religius
Nilai karakter religius terdapat dalam adat ngundang wadian malem mandruu, yakni:
Udi iro hambula na here nyarahan ta’un nie ba ta’am pawadianan, tabib barataan, ta’un iya adak nie leh lain nyarahan here ba ta’am barataan, hi pertama here nyarahakan lako hampee akan ba datu huang lampau lako hampee-akan ba Datu Dada Gagah Hundangan, Datu
Rontokan, Dada Halaman hujung
tangkaran, hujung banua lako hampee-ba karamat, ba taluk ha rantau ha gunung pahajatan lako hampee-akan.
Terjemahan:
Mereka menyerahkan tahun aruh, tabib semua tahu, letaknya saja yang lain. Semuanya diserahkan pada kita, yang pertama meminta disampaikan ke Datu dalam rumah, ke Datu Gagah Hundangan, Datu Rontokan, Dada Halaman, ujung pemandian, ujung kampung, disampaikan ke keramat, teluk, rantau, dan gunung tempat bernazar, tolong disampaikan.
Dalam ritual adat ngundang wadian
malem mandruu ditemukan nilai karakter
religius. Nilai religius ini tampak ketika ritual tersebut disampaikan kepada Datu Gagah Hundangan, Datu Rontokan, Dada
Halaman hingga ujung pemandian, ujung kampung, disampaikan ke keramat, teluk, rantau, gunung tempat bernazar. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Dayak Halong selalu ingat dengan segala penjaga alam semesta.
Ritual adat ngundangwadian malem
mandruu ini merupakan bentuk pelestarian
budaya yang masih terus dijaga dan dipelihara suku Dayak Halong di Kabupaten Balangan.
2. Jujur
Nilai karakter jujur terdapat dalam
ngundang baharin malem mandruu, yaitu: Udiiro hambula biasa nie wadian ikuling ruweh pangulilingan hampe tengok panguliling biasa mandak laka sambarang mandak, mandak nie ngantane brita, yawe wawei-yan nie huwah jamak huwah hiyang jari patatie tarang atei pila lela lako tuwing akan lako surak suka ramaikan pakarjaan Baharin here diya pamanderan nie.
Terjemahan:
Sesudah itu, wadian mengitari puja dua putaran kemudian berhenti, tetapi bukan sembarang berhenti, melainkan menanyakan berita, siapa wanitanya yang kena jamak dan kena hiyang (puja-puji) menjadi patatie yang terang hati dan ringan lidah untuk menjawabnya, mohon disorak-soraikan dengan meriah pekerjaan aruh baharin ini.
Dalam ritual adat ngundang baharin
malem mandruu, ditemukan nilai karakter
jujur. Hal ini tampak dari tuturan lisan yang disampaikan, yakni wanita yang pantas menjadi patatie yang terang hati dan ringan lidah untuk menjawabnya. Dengan kata lain, nilai kejujuran ditanamkan ketika ritual adat
ngundang baharin malem mandruu. Selain
itu, siapa pun yang pantas menjadi patatie harus mempunyai jiwa yang bersih.
Ritual adat ngundang baharin malem
mandruu ini merupakan bentuk pelestarian
budaya yang masih terus dijaga dan dipelihara suku Dayak Halong di Kabupaten Balangan.
27 3. Toleransi
Nilai karakter toleransi terdapat dalam
ngundang palas kapateian, yaitu:
Udi ari kambula bahwa kariwe hunie tarengei eyau agung, ambarita akan bahwa naan warga taam hi narin, lalu takumpul taam sama an ngulah wadah, lembah ngulah wadah, lalu hae ni narin na na andrus na solok na pakaian ni, lembah na pakaian ni lalu na uat ba huang wadah haot na uat huang wadah, hampe pada andrau ana huni Tarawa. Lalu taam mehe’an ni ma onsak narak kayuu, lalu bidang laki an nie ngutuh manu bagi na sarah here lalu na karaja akan
ngutuh manu, waweiyan nie lalu
nyangkandru pamadian nie.
Terjemahan:
Tadi pagi, terdengar bunyi gong diberitakan ada warga yang meninggal, berkumpul kita di rumah ini. Lalu kita sama-sama membuat peti jenazah, setelah selesai yang meninggal dimandikan dan dikenakan pakaian, selanjutnya dimasukkan ke dalam peti, sampai pagi tadi, sebagian kita memasak nasi dan sayur, laki-laki yang diserahi tugas mengadakan ritual di tangga atau ngutuh manu (ayam dikorbankan di tangga).Para wanita mengerjakan kelengkapan ritual ke makam.
Dalam ritual adat ngundang palas
kapateian, ditemukan nilai karakter
toleransi. Pada masyarakat adat Dayak Halong, baik laki-laki ataupun perempuan apabila ada warga yang meninggal dunia, mereka berkumpul untuk mengurus jenazah. Pihak laki-laki akan membantu keluarga yang meninggal melakukan ritual ngutuh
manu, sedangkan pihak perempuan
mempersiapkan kelengkapan ritual ke makam. Biasanya, masyarakat nonmuslim juga ikut membantu dalam ritual adat
ngundang palas kapateian ini.
Ritual adatngundang palas kapateian ini merupakan bentuk pelestarian budaya yang masih terus dijaga dan dipelihara suku Dayak Halong di Kabupaten Balangan. 4. Disiplin
Nilai karakter disiplin terdapat dalam
ngundang baharin malem mandruu, yaitu: Mandak tarung taam huang balai ina, baik wawei, baik laki, baik muda baik matueh. De sebab aku ngamandak, taam na undang here puhun, aruh pekerjaan baharin, hi ri’et na ambai na pander, hi lawit lalu alap here handu harta lampau sasanggan jajanang banua.
Terjemahan:
Berhenti, jangan ada yang berbicara dalam balai ini, apakah dia perempuan, laki-laki, yang muda atau dewasa.Mengapa menghentikan pembicaraan, kita diundang yang punya pekerjaan aruh baharin, yang dekat diundang naik ke dalam rumah untuk diundang lalu disampaikan undangan dengan bicara langsung, yang jauh diambil dengan harta berupa sasanggan jajanang
banua (harta keturunan bernilai sangat
tinggi).
Dalam ngundang baharin malem
mandruu, terdapat nilai karakter disiplin,
yakni ketika puhun mengatakan bahwa ketika ritual adat mulai dilaksanakan jangan ada lagi yang berbicara, baik itu laki-laki ataupun perempuan.Dijelaskan dalam tuturan ritual tersebut bahwa yang melaksanakan aruh baharin mengundang untuk melakukan ritual tersebut. Nilai karakter disiplin dengan tidak berbicara lagi tampak ketika tamu undangan mengetahui ritual akan dimulai.
Ritual adat ngundangbaharin malem
mandruuini merupakan bentuk pelestarian
budaya yang masih terus dijaga dan dipelihara suku Dayak Halong di Kabupaten Balangan.
5. Cinta Tanah Air
Nilai karakter cinta tanah air terdapat dalam ngundang baharin malem mandruu, yaitu:
Udi ari hambula bahasa tuehan nie bahari sikau bangkau tetei rantau soal jawab kampung lain, soal gantang kampung lain, na insing boleh na bongkar laka bulih, yawe ambongkar balai here ina iharaga
28
danda Balai 120 real danda angunan gaduhan 24 real.
Terjemahan:
Ada peribahasa orang tua zaman dulu,
sikau bangkau, tetei rantau bilah yang ada
pada atap rumbia dan menapaki jalan datar di rantauan dekat sungai, jika ada soal-jawab kampung lain dibawa boleh tetapi dibongkar atau dibicarakan tak boleh. Siapa yang membicarakan dikenakan denda adat, denda balai 120 real dan angunan gaduhan 24 real. Dalam ritual adat ngundang baharin
malem mandruu, terdapat nilai karakter cinta
tanah air. Hal ini terlihat dari tuturan yang disampaikan pelaksana adat bahwa dalam peribahasa masyarakat Dayak Halong sikau
bangkau, tetei rantau bilah yang ada pada
atap rumbia dan menapaki jalan datar di rantauan dekat sungai, jika ada soal-jawab kampung lain dibawa boleh tetapi dibongkar atau dibicarakan tak boleh.
Dengan kata lain, masyarakat Dayak Halong selalu berusaha menciptakan lingkungan yang damai, meskipun mereka hidup berdampingan dengan masyarakat Banjar yang berbeda suku dan keyakinan. Dengan adanya sikap masyarakat Dayak Halong yang selalu menjaga kebinekaan, hal ini berarti menunjukkan nilai karakter cinta tanah air.
Ritual adat ngundang baharin malem
mandruu ini merupakan bentuk pelestarian
budaya yang masih terus dijaga dan dipelihara suku Dayak Halong di Kabupaten Balangan.
6. Peduli Lingkungan
Nilai karakter peduli lingkungan terdapat dalam ngundang wadian malem
manta, yaitu:
Jari arti nie ta’am pawadianan nie, apa na harap nampe akan ta’un here ba gunung, ba rantau, ba taluk ba pertapaan, apa lako hanjalan akan lako hampeakan jiwari intang ari, paguguran katumbuhan, udi iro hambula hampe wadianan nie ta’am ikuliling, apabila na’an babuahan apa lako hajangan.
Terjemahan:
Kita diharapkan menyampaikan tahun aruh ke gunung, rantau, teluk, ke pertapaan, meminta dipersembahkan dan disampaikan
peguguran ketumbuhan, sudah itu sampai
waktunya mengelilingi puja, apabila ada barang yang disampaikan supaya dipersembahkan.
Dalam ritual adat ngundang wadian
malem manta ,terdapat nilai karakter peduli
lingkungan. Hal ini tampak dari tuturan yang disampaikan pelaksana adat bahwa aruh yang dilakukan tersebut disampaikan ke gunung, rantau, teluk, pertapaan.Sikap masyarakat Dayak Halong yang senantiasa menjaga kelestarian alam, seperti gunung dan hutan menunjukkan peduli terhadap lingkungan.
Ritual adat ngundang wadian malem
mantaini merupakan bentuk pelestarian
budaya yang masih terus dijaga dan dipelihara suku Dayak Halong di Kabupaten Balangan.
7. Peduli Sosial
Nilai karakter peduli sosial terdapat dalam ngundang baharin malem manta, yaitu:
Pertama ta’am hadap here andu empa, mandru nahi tarakayu, hadap here nahi tarakayu, udi ari kambula lambik here patah lalu sarah here adat, lalu hampe kapada aku, undang waris, lalu pertama, kan here ina nyarahakan ta’un pekerjaan ba ta’am barataan, baik pemuda laki wawei muda matu’eh, laka bapidi lako bantu pekerjaan kan here ina.
Terjemahan:
Pertama kita dihadapkan dengan penginangan, memasak nasi dan sayur dan menghidangkannya, setelah itu, mereka menghamparkan tikar lalu menyerahkan pada adat dan sampailah pada saya undang waris. Mereka menyerahkan tahun aruh adat kepada kita, baik para pemuda, laki, wanita, muda, dan dewasa, tidak memilih orang tapi meminta bantuan kepada kita untuk pekerjaan aruh baharin ini.
29 Dalam ngundang baharin malem
manta, terdapat nilai karakter peduli sosial,
yakni ketika ada masyarakat Dayak Halong yang melakukan ritual adat, baik itu aruh
baharin, palas kapateian, dan palas nimbuk
mereka saling membantu. Kepedulian sosial ini tampak, ketika laki-laki bergotong royong mempersiapkan ritual adat dan perempuan memasak nasi dan sayur untuk dihidangkan dalam ritual adat.
Ritual adat ngundangbaharin malem
mantaini merupakan bentuk pelestarian
budaya yang masih terus dijaga dan dipelihara suku Dayak Halong di Kabupaten Balangan.
8. Tanggung Jawab
Nilai karakter tanggung jawab terdapat dalam ngundang palas nimbuk, yaitu:
Udi arie hambula hawi ti hung harung na herau mambai na kuman akan jua, lalu lembah na kuman akan naan pamanderan huang lampau tunjang ba tunjang waris sasar-basasar hampe ba aku here lako undang akan undang palas lalu pertama here lako warta akan mengenai pakarjaan here ina pertama yawe tadapat muali andrau itimula bangkak binsul batan laku na ina palas nie.
Terjemahan:
Setelah datang dari pemakaman, mereka dipanggil naik ke rumah dan makan. Setelah selesai makan, timbullah pembicaraan di dalam rumah ini, tunjang menunjang pembicaraan lalu sampai kepada waris-waris hingga sampai pada saya. Mereka minta saya melakukan undang palas
nimbuk, yang pertama mereka minta
diwartakan mengenai pekerjaan mereka, mulai dari hari pertama jika ada terdapat bengkak bisul dan luka, ini palasnya.
Dalam ritual adat ngundang palas
nimbuk, terdapat nilai karakter tanggung
jawab, yakni tampak dari tuturan ketika ada terdapat bengkak bisul dan luka, ini palasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pihak keluarga yang meninggal akan bertanggung
jawab apabila selama proses pemakaman ataupun ritual ada terluka atau sakit.
Ritual adat ngundangpalas nimbuk ini merupakan bentuk pelestarian budaya yang masih terus dijaga dan dipelihara suku Dayak Halong di Kabupaten Balangan. PENUTUP
Pada masyarakat adat Dayak Halong Balangan terdapat beberapa ritual adat
ngundang, yakni ngundang baharin malem
manta,ngundang baharin malem
mandruu,ngundang wadian malem manta,
ngundang wadian malem mandruu,
ngundang palas kapateian, dan ngundang palas nimbuk.
Pelestarian budaya daerah dalam ritual adat ngundang Dayak Halong sebagai sarana menanamkan karakter bangsa dilakukan melalui nilai-nilai sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) cinta tanah air, (6) peduli lingkungan, (7) peduli sosial, dan (8) tanggung jawab. Apabila tradisi ini terus berlangsung, nilai-nilai karakter bangsa dapat dilestarikan. DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. (2017). Pembelajaran
Nilai-Karakter Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan
Pembelajaran Afektif.Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Ahsin, M. N. (2018). “Peran Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik”.Prosiding SEMAI (Seminar
Masyarakat Ilmiah), April 2018, 97—
102.
Bandung, AB. Takko. (2013). “Pemodelan Nilai-Nilai Budaya dalam Naskah Cerita Rakyat sebagai Rujukan
Pendidikan Karakter
Bangsa”.ProsidingFolklor dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern Kesatuan dan Keberagaman,
30
Danandjaja, James. (2002). Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti Press.
Defina, dkk.(2015). “Pendidikan Karakter dalam Keluarga melalui Film Kartun: Film Adit, Jarwo dan Sopo”. Prosiding Daya Literasi dan Industri Kreatif Digitalisasi Bahasa, Sastra,
Budaya, dan Pembelajarannya,
892—901.
Endraswara, Suwardi. (2004). Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Widyatama.
Hartatik. (2017). Jejak Budaya Dayak
Meratus dalam Persfektif Etnoreligi.
Yogyakarta: Ombak.
Hestiyana.(2016). “Fungsi Tradisi Lisan Banjar Surung Kupak”.Telaga Bahasa, 4 (2), 207—218.
Iryanto, Ignatius. (2015). “Setali Hantaran untuk Komunitas Dayak Halong Balangan”. Dalam Pustaka Komunitas
Dayak Halong Balangan Merawat
Tradisi Leluhur Menjaga yang
Tersisa, 9—17. Jakarta: YABN.
Kesuma, Dharma, dkk. (2011). Pendidikan
Karakter Kajian Teori dan Praktek di
Sekolah. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Lickona, Thomas. (2015). Educating for
Character Mendidik untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Muin, Fatchul. (2011). Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoritik dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Nabiring, Eter. (2013). Kamus Populer
Dayak Balangan. Balangan: Dewan
Adat Dayak Balangan.
---.(2015). “Tata Ritual Adat
Ngundang Dayak Halong
Balangan”.Dalam Pustaka Komunitas
Dayak Halong Balangan Merawat
Tradisi Leluhur Menjaga yang
Tersisa, 30—43. Jakarta: YABN.
---. (2018). Ritual Adat dan
Cerita Rakyat Dayak Halong. Malang:
Kota Tua.
Narwanti, Sri. (2011). Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Familia.
Ratna, Nyoman Kutha. (2006). Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pusat Pelajar.
Saefuddin.(2016). “Fungsi Sastra Lisan Madihin dalam Masyarakat Banjar.”Telaga Bahasa, 4 (2), 265— 280.
Sibarani, Robert. (2012). “Tradisi Lisan sebagai Sumber Kearifan Lokal:
Sebuah Pemahaman
Metodologis”.Prosiding Seminar Internasional Tradisi Lisan VIII.
Tanjung Pinang.
Soelistyarini Titien D dan Setyaningsih.(2012). “Bercerita tanpa Menggurui: Gaya Bahasa dalam Buku Cerita Anak untuk Membangun Karakter.” Atavisme, 15 (2), 187— 196.
Sukowati, Ida. (2016). “Karya Sastra Berbasis Karakter sebagai Media Pembangun Mental Berbangsa
Tantangannya Kini dan
Nanti”.Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Bahasa dan Sastra
sebagai Media Revolusi Mental Generasi Masa Depan, September
2016, 231—238.
Sulistyorini, Dwi. (2013). “Pemanfaatan Cerita Rakyat sebagai Penanaman Etika untuk Membentuk Pendidikan Karakter Bangsa”.ProsidingFolklor
31
Modern Kesatuan dan Keberagaman,
256—262.
Suwandi, Sarwiji. (2013). “Peran Guru Bahasa Indonesia yang Inspiratif untuk Mewujudkan Peserta Didik Berkarakter”.Proceeding Seminar Internasional Pengembangan Peran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter,
September 2013, 1—10.
Zuchdi, Darmiyati. (2008). Humanisasi