• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN KETAHANAN ALAMI KAYU SENGON TERHADAP JAMUR PELAPUK KAYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUJIAN KETAHANAN ALAMI KAYU SENGON TERHADAP JAMUR PELAPUK KAYU"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUJIAN KETAHANAN ALAMI KAYU SENGON

TERHADAP JAMUR PELAPUK KAYU

Schizophyllum commune, Pleurotus djamor DAN

Pleurotus ostreatus DENGAN METODE JIS K 1571-2004

UCIK AYUNITASARI ESTUPUTRI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENGUJIAN KETAHANAN ALAMI KAYU SENGON

TERHADAP JAMUR PELAPUK KAYU

Schizophyllum commune, Pleurotus djamor DAN

Pleurotus ostreatus DENGAN METODE JIS K 1571-2004

UCIK AYUNITASARI ESTUPUTRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

UCIK AYUNITASARI ESTUPUTRI. Pengujian Ketahanan Alami Kayu Sengon terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune, Pleurotus djamor dan

Pleurotus ostreatus dengan Metode JIS K 1571-2004. Dibimbing oleh ELIS

NINA HERLIYANA dan YUSUF SUDO HADI.

Jamur merupakan suatu organisme heterotrof yang memperoleh sumber energi dengan cara menyerap makanan dari bahan-bahan organik lain. Jamur pelapuk kayu hidup dari komponen kayu, seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin yang dirombak secara biokimia dengan bantuan enzim. Pohon yang kayunya dikenal dalam perdagangan sampai saat ini diperkirakan 400 jenis. Sekitar 80– 85% kayu Indonesia memiliki keawetan rendah yang mudah diserang oleh jamur pelapuk kayu. Contohnya adalah kayu Falcatria molucana, Acacia mangium dan

Pinus merkusii (Yunasfi 2008). Jamur pelapuk kayu yang berpotensi merusak

kayu di antaranya adalah Schizophyllum commune, Pleurotus ostreatus dan

Pleurotus djamor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tiga jenis

jamur pelapuk kayu terhadap kayu sengon dan mengetahui tingkat keawetan kayu terhadap serangan jamur pelapuk kayu berdasarkan metode JIS K 1571-2004.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga jenis jamur pelapuk kayu yang digunakan dalam pengujian ini memiliki potensi dalam menurunkan bobot kayu contoh uji. Jamur yang paling berpotensi dalam menurunkan bobot kayu sengon adalah S. commune dengan persentase penurunan bobot kayu sebesar 3,7%. Jamur

P. ostreatus dan P. djamor hanya memiliki potensi penurunan bobot

masing-masing sebesar 1,5 dan 1,1%. Jenis jamur berpengaruh nyata terhadap persentase penurunan bobot kayu, maka persentase penurunan bobot kayu yang didapat dari hasil uji laboratorium dijadikan sebagai parameter keawetan kayu. Dari penelitian ini maka kayu sengon masuk ke dalam kelas awet II (tahan), sedangkan menurut Seng (1990) kayu sengon masuk ke dalam kelas awet IV–V (tidak tahan) sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini belum berhasil. Ketidaksesuaian nilai hasil presentase penurunan bobot contoh uji kayu dengan literatur, diduga karena adanya hifa jamur yang masuk ke dalam contoh uji kayu sehingga mempengaruhi bobot akhir setelah contoh uji selesai diumpankan. Berdasarkan pengamatan visual beberapa ulangan menunjukkan miselium-miselium jamur belum menutupi seluruh permukaan kayu. Umumnya contoh uji kayu yang telah diserang jamur mengalami perubahan warna menjadi lebih terang (cokelat muda). Hal ini menunjukkan ketiga jenis jamur yang digunakan merupakan jamur pelapuk putih. Kata kunci: ketahanan alami sengon, Schizophyllum commune, Pleurotus djamor,

(4)

SUMMARY

UCIK AYUNITASARI ESTUPUTRI. Test of Natural Resistance of Sengon Wood with Wood Decay Fungi Schizophyllum commune, Pleurotus djamor and

Pleurotus ostreatus with JIS K 1571-2004 Methods. Under academic sepervision

of ELIS NINA HERLIYANA and YUSUF SUDO HADI.

Fungi is an organism heterotroft that obtains energy by absorbing food from other organic materials, one of which is wood. Wood destroying fungi lives off wood components, such as cellulose, hemicellulose and lignin which are biochemically overhauled with the help of enzymes. Well know wood in the trade to date approximately 400 types. Around 80–85% of Indonesian woods had low resistance class which it’s very easy attacked by wood decay fungi. For instance

Falcatria molucana, Acacia mangium dan Pinus merkusii (Yunasfi 2008). Kinds

of it which potentially most decaying off the woods are Schizophyllum commune,

Pleurotus ostreatus and Pleurotus djamor. This study aims to determine the

potential that three kinds on wood decay fungi and the potential quality of wood to three decay fungi based on JIS K 1571-2004 method.

The results showed that all three types of wood rot fungi used in this test has the potential to lower the weight of the wood sample. Fungi are the most potent in lowering weight sengon is S. commune with the percentage reduction in timber weight by 3,7%. P. ostreatus and P. djamor only have the potential to decrease the weight of each of 1,5 and 1,1%. Fungi significantly affect the percentage reduction in timber weight, the percentage weight loss of wood obtained from the results of laboratory tests the durability of wood used as a parameter. From these results it sengon wood into class II (resistant), while according to the Seng (1990) sengon wood balance to class IV–V (not resistance) so it can be said that this research has not succeeded. Discrepancy value of the percentage reduction in weight of wood sample with literature, because they suspected the existence of fungal hyphae into the sample wood so that hamper the final weight after the test sample is fed finished. Based on visual observations indicate multiple replication miselliums of fungi not full to close the wood. Ganerally the sample timber has been attacked fungal discoloration lighter (light brown). Its shows three types of fungi that is used is a white rot fungi.

Key words: natural durability of sengon, Schizophyllum commune, Pleurotus

djamor, Pleurotus ostreatus, sengon, the percentage decrease in

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengujian Ketahanan Alami Kayu Sengon terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum

commune, Pleurotus djamor dan Pleurotus ostreatus dengan Metode JIS K

1571-2004” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Ucik Ayunitasari Estuputri E44070038

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengujian Ketahanan Alami Kayu Sengon terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune, Pleurotus djamor dan Pleurotus ostreatus dengan Metode JIS K 1571-2004 Nama : Ucik Ayunitasari Estuputri

NIM : E44070038

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, MSi Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, MAgr NIP 19670421 199103 2 001 NIP 19521113 197803 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 1984031 1 009

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengujian Ketahanan Alami Kayu Sengon terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune, Pleurotus

djamor dan Pleurotus ostreatus dengan Metode JIS K 1571-2004”. Skripsi ini

merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang teknis pengujian kayu sengon terhadap tiga jenis jamur pelapuk kayu dengan metode JIS K 2004, serta keawetan kayu yang digunakan pada metode JIS K 1571-2004. Jamur merupakan suatu organisme yang tidak mengandung klorofil dan memperoleh sumber energi dengan cara menyerap makanan dari bahan-bahan organik lain. Jamur pelapuk kayu hidup dari komponen kayu, seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin yang dirombak secara biokimia dengan bantuan enzim. Kayu sengon digunakan untuk bahan bangunan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wool semen, kelom, dan barang kerajinan lainnya. Berat jenis kayu sengon rata-rata 0,3 dengan kelas awet IV–V dan kelas kuat IV– V.

Penelitian dilakukan penulis untuk mengetahui keawetan kayu sengon terhadap serangan jamur pelapuk kayu. Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi penulis, namun demikian semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, November 2012

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik oleh penulis tanpa adanya dukungan dan masukan dari dari beberapa pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, MSi dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, MAgr. atas segala bantuan, bimbingan dan arahan.

2. Ayahanda (Agung Samidin, SE) dan ibunda (Esti Gestiawati) tercinta serta alm. Adik tercinta Bimo Suci Estuputro, atas do’a, perhatian, dukungan moril maupun materil, dan kasih sayang yang begitu besar kepada penulis.

3. Ibu Tutin Suryatin, BScF selaku laboran di Laboratorium Penyakit Hutan atas bantuan, dukungan dan semangat selama melaksanakan penelitian.

4. Dra. Sri Rahaju, MSi atas bimbingan dan arahan yang diberikan.

5. Sahabat (Icha, Wiwit, Apri, Ipul, dan Hilman), teman satu bimbingan (Nifa dan Dian), teman satu Laboratorium Pathologi Hutan (Mba Ai, Pak Benny, Icha SVK45, Jawa SVK45, dan Imun SVK45) serta Bi Encah, Lilis SVK44, dan Eko SVK44, Gilang THH45, Oki SVK46 atas dukungan, bantuan, perhatian, dan semangat yang telah diberikan.

6. Teman-teman SVK 44 yang telah memberikan dukungan, bantuan, semangat dan perhatian yang sangat luar biasa kepada penulis.

7. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas do’a, dukungan, perhatian yang telah diberikan.

Kebaikan, semangat, dan dukungan pihak-pihak terkait sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Juni 1989 dari Ayah Agung Samidin, SE dan Ibu Esti Gestiawati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan formal yang telah ditempuh adalah Sekolah Menengah Atas di SMAN 87 Jakarta (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Departemen Silvikultur melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada bulan Juli 2009 di Cikeong-Burangrang, Jawa Barat. Pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2010, penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Gunung Walat dan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2011 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Amal Nusantara, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Penulis menyusun skripsi dengan judul “Pengujian Ketahanan Alami Kayu Sengon terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune, Pleurotus djamor dan Pleurotus ostreatus dengan Metode JIS K 1571-2004“. Penulisan skripsi ini dibimbing oleh Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, MSi dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, MAgr.

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Sengon (Falcataria molucana) ... 3

2.2 Mikroorganisme Perusak Kayu ... 3

2.2.1 Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune ... 4

2.2.2 Jamur Pelapuk Kayu Pleurotus ostreatus ... 5

2.2.3 Jamur Pelapuk kayu Pleurotus djamor ... 5

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jamur ... 5

2.4 Siklus Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Kayu ... 7

2.5 Proses Pelapukan Kayu ... 7

2.6 Komponen Kayu yang Digunakan Jamur ... 8

2.7 Pengaruh Serangan Pelapuk Kayu terhadap Sifat Kayu ... 9

2.8 Keawetan Kayu ... 9

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

3.2 Alat dan Bahan ... 11

3.2.1 Bahan ... 11

3.2.2 Alat ... 11

3.3 Metode Penelitian ... 12

3.3.1 Pengambilan Contoh Uji ... 12

3.3.2 Penyediaan Biakan Jamur ... 12

3.3.3 Pengujian Kayu ... 12

3.3.4 Perhitungan Persentase Penurunan Bobot ... 13

(11)

xi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengamatan Visual Kayu ... 14

4.2 Persentase Penurunan Bobot ... 16

4.3 Ketahanan Kayu terhadap Tiga Jenis Jamur Pelapuk Kayu... 19

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 21

5.2 Saran ... 21

DAFTAR PUSTAKA ... 22

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komponen kayu sengon ... 3 2 Kelas ketahanan kayu terhadap jamur ... 10 3 Rata-rata persentase penurunan bobot kayu sengon terhadap tiga

jenis jamur pelapuk kayu ... 16 4 Hasil analisis ragam persentase penurunan bobot contoh kayu uji

terhadap kayu uji dan jenis jamur pelapuk kayu ... 18 5 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata persentase penurunan bobot kayu

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Contoh kayu uji (kayu sengon). (a) sebelum diserang jamur pelapuk

kayu (kontrol), (b) setelah diserang jamur pelapuk kayu ... 14 2 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji. (a) jamur P.

ostreatus, (b) jamur P. djamor, (c) jamur S. commune ... 15 3 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji dalam botol yang

berisi media pasir kuarsa. (a) jamur P. ostreatus, (b) jamur P.

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Rata-rata KA (kadar air) awal, KA (kadar air) akhir, W1 (berat

awal), W2 (berat akhir) dan P (persentase penurunan bobot) pada

kayu sengon sebagai contoh uji kayu ... 25 2 Hasil sidik ragam ... 25 3 Hasil uji lanjut Duncan ... 25

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan kekayaan alam yang sangat penting bagi Indonesia. Hasil hutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan hutan non kayu. Salah satu hasil hutan non kayu adalah jamur. Jamur merupakan suatu organisme yang tidak mengandung klorofil dan memperoleh sumber energi secara heterotrof yaitu dengan cara menyerap (absorpsi) makanan dengan miselium dari bahan-bahan organik lain. Bahan organik tersebut salah satunya adalah kayu. Saat ini jamur banyak dikembangkan seiring banyaknya penelitian yang menyatakan bahwa jamur memiliki manfaat yang banyak. Jamur biasanya tumbuh di alam liar. Jamur banyak ditemukan pada awal musim hujan dan dapat hidup di tanah ataupun kayu pada suhu udara yang cukup lembab.

Jamur merupakan kelompok organisme yang paling umum menyebabkan kerusakan kayu dibandingkan dengan kelompok mikroorganisme yang lain seperti bakteri, virus, dan nematoda (Hadi 1984, 1991 dalam Herliyana 1994). Pada umumnya, jamur perusak berasal dari kelas Basidiomycetes yang dikenal sebagai jamur pelapuk kayu. Menurut Hunt dan Garratt (1986), jamur pelapuk kayu merupakan jamur yang merusak dinding-dinding sel kayu dan mengubah sifat-sifat fisik serta kimia kayu. Perusakan ini dapat meningkat sampai suatu kondisi yang disebut decay (kayu busuk).

Komponen-komponen kayu yang digunakan oleh jamur dapat berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang dirombak secara biokimia dengan bantuan enzim. Akibat dari perombakan ini maka sifat-sifat kayu mengalami perubahan (Nandika 1986).

Pohon yang kayunya dikenal dalam perdagangan sampai saat ini diperkirakan 400 jenis, tercakup dalam 198 marga (genus) dari 68 suku (famili). Selanjutnya berdasarkan pertimbangan persamaan ciri dan sifat kayu dari jenis- jenis pohon tersebut dikelompokkan kembali menjadi 186 kelompok (jenis). Tiga jenis pohon tersebut diantaranya adalah Falcataria molucana (sengon), Acacia

(16)

2

Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak yang datang dari luar kayu itu sendiri. Secara alami kayu mempunyai keawetan tersendiri dan berbeda untuk tiap jenis kayu. Keawetan kayu biasanya ditentukan oleh adanya zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayu tersebut (Muherda 2011). Sekitar 80–85% kayu-kayu Indonesia memiliki keawetan rendah yang mudah diserang oleh organisme perusak kayu (Yunasfi 2008). Jenis kayu yang memiliki keawetan rendah tersebut contohnya adalah sengon, mangium, dan tusam.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1). mengetahui potensi tiga jenis jamur pelapuk kayu terhadap kayu sengon berdasarkan metode JIS K 1571-2004; 2). mengetahui tingkat keawetan kayu terhadap serangan jamur pelapuk kayu berdasarkan metode JIS K 1571-2004.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat: 1). memberikan informasi tentang perbedaan teknis pengujian keawetan kayu terhadap tiga jenis jamur pelapuk kayu berdasarkan JIS K 1571-2004; 2). memberikan informasi tentang keawetan kayu yang digunakan pada metode JIS K 1571-2004.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu Sengon (Falcataria molucana)

Kayu sengon biasa disebut jeungjing di daerah Jawa Barat ini termasuk ke dalam famili Fabaceae. Memiliki warna teras dan gubalnya sukar dibedakan, warnanya putih abu-abu kecoklatan pucat. Teksturnya agak kasar, arah serat terpadu dan kadang-kadang lurus sedikit bercorak. Berat jenis kayu sengon rata-rata 0,3 dengan kelas awet IV–V dan kelas kuat IV–V. Kayu sengon ini digunakan untuk bahan bangunan, peti, papan partikel, papan serat, papan wool semen, kelom, dan barang kerajinan lainnya (Pandit 2008). Komponen kimia kayu sengon dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komponen Kayu Sengon (Martawijaya 1989) Komponen Kimia Kayu Persentase Kadar (%)

Selulosa Lignin Pentosa Abu Silika 49,4 26,8 15,6 0,6 0,2

Zat Ekstraktif Kayu Persentase Kadar Alkohol Benzena Air Dingin Air Panas NaOH 3,4 3,4 4,3 19,6

2.2 Mikroorganisme Perusak Kayu

Kayu biasa diserang oleh organisme yang secara kolektif terdiri atas cendawan perusak kayu dan bakteri. Media tempat mikroorganisme itu berkembang dan sifatnya yang saprofitis atau parasitis menyebabkan cendawan perusak kayu tumbuh pada kayu, mikroorganisme ini berbeda dengan tanaman hijau dalam hal bentuk dan cara makannya. Berlainan dengan tanaman hijau, mikroorganisme ini tidak dapat menghasilkan makanannya sendiri melainkan harus memperoleh makanannya dari bahan-bahan organik yang dihasilkan oleh

(18)

4

organisme hidup lainnya. Cendawan penyerang kayu memanfaatkan sebagai makanannya zat-zat yang tersimpan dalam rongga sel kayu atau dinding sel itu sendiri. Kebanyakan mikroorganisme menyerang kayu berbeda banyak dalam hal akibat yang ditimbulkan terhadap sifat-sifat kayu.

Mikroorganisme dibedakan menjadi empat golongan, tergantung pada sifat perkembangannya di dalam kayu dan tipe kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Golongan-golongan tersebut adalah cendawan perusak kayu, cendawan pewarna kayu, cendawan buluk, dan bakteri penyerang kayu. Golongan pertama adalah yang paling penting dan ini meliputi cendawan yang merusak dinding-dinding sel, dan mengubah sifat-sifat fisik dan kimia kayu itu. Cendawan pewarna, cendawan buluk, dan bakteri penyerang biasanya memakan senyawa-senyawa organik yang mudah dicerna yang tersimpan dalam kayu dan tidak menimbulkan efek yang berarti terhadap kekuatan kayu. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa cendawan buluk dan cendawan pewarna kayu dapat menyebabkan berkurangnya berat dan kekuatan, terutama pada kayu daun lebar. Cendawan pewarna menyebabkan perubahan warna yang dapat digolongkan sebagai cacat pada kayu gergajian dan barang-barang lainnya, cendawan dipermukaan kayu menyebabkan perubahan warna permukaan pada kayu. Bakteri penyerang kayu tidak memperngaruhi kenampakkan, tetapi merubah dengan nyata daya serap kayu terhadap cairan.

2.2.1 Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune

Jamur S. commune termasuk ke dalam kelas Basidiomycetes, dengan nama famili Schizophyllaceae dan tersebar luas di dunia atau kosmopolitan (Kuo 2006). Jamur ini dikenal dengan tanda tubuh buah tidak bertangkai, bagian bawah menyempit hingga berbentuk kipas, bagian atas berwarna putih keabu-abuan pada waktu muda dan setelah tua berwarna abu-abu, tersusun radial, ujung pecah ini melengkung, pada waktu segar S. commune liat dan kenyal, dan setelah kering menjadi kaku (Martawijaya 1965 dalam Eksanto 1996). Fungsi lamela tersebut adalah untuk memproduksi basidiospora pada permukaannya. Tidak seperti jamur lain, miseliumnya hanya memproduksi satu kumpulan tubuh buah pertahun yang

(19)

5

dapat mengering dan mendapatkan air kembali dan tetap berfungsi (Volk 2000

dalam Kurnia 2009).

2.2.2 Jamur Pelapuk Kayu Pleurotus ostreatus

Jamur P. ostreatus mempunyai tudung seperti tiram, seperti payung, permukaan bagian tengah berlekuk, warna abu-abu putih keruh. Konsistensi lunak dan berdaging. Pinggiran menggulung ke arah himenium (muda), lurus (tua), bergelombang-bergaris (tua). Daging tudung putih, tebal, setelah tua tidak kenyal. Lamela melanjut turun ke arah dasar tangkal. Habitat dan substrat, beberapa mengelompok atau serumpun pada serbuk gergaji campuran yang sudah lapuk (Herliyana 2007). Jamur tiram termasuk ke dalam jamur kayu, karena tumbuh pada substrat kayu yang telah lapuk maupun pada potongan pohon yang telah mati (Nurjayadi 2011).

2.2.3 Jamur Pelapuk Kayu Pleurotus djamor

Jamur P. djamor mempunyai tudung seperti tiram, seperti kipas, permukaaan bagian tengah berlekuk, tidak ada ornamentasi. Warna merah muda putih keruh. Konsistensi lunak dan berdaging. Pinggiran menggulung kearah himenium (muda), lurus (tua), bergelombang bergaris (tua). Daging tudung putih, tebal, kenyal (tua). Habitat dan substrat, beberapa mengelompok atau serumpun pada serbuk gergajian kayu campuran seperti mangium, jeunjing, kayu merah, karet dan sebagian yang sudah lapuk di tempat penggergajian (Herliyana 2007).

2.3 Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Jamur

Jamur pelapuk kayu untuk perkembangannya selain dipengaruhi oleh struktur dan komposisi kimia kayu, juga sangat dipengaruhi oleh faktor makanan atau nutrisi. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, konsentrasi hidrogen dan kelembaban juga mempengaruhi perkembangan jamur pelapuk kayu.

Tambunan dan Nandika (1989) dalam Shahnaz (2010) menyatakan bahwa, faktor yang mempengaruhi perumbuhan dan perkembangan jamur antara lain:

(20)

6

1. Temperatur

Jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar. Suhu optimum berbeda-beda untuk setiap jenis, tetapi pada umumnya berkisar antara 22°–35°C. Suhu maksimumnya berkisar antara 27°–39°C, dengan suhu minimum kurang lebih 5°C.

2. Oksigen

Oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang menghasilkan karbon dioksida (CO₂) dan air (H₂O). Tanpa adanya oksigen, tidak ada jamur yang dapat hidup.

3. Kelembaban

Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, namun hampir semua jenis jamur dapat hidup tanpa substrat yang belum jenuh air. Kadar air substrat yang rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. Kayu dengan kadar air kurang dari 20% umumnya tidak diserang jamur perusak, sebaliknya kayu yang memiliki kadar air 35–50% sangat disukai dengan jamur perusak. 4. Konsentrasi Hidrogen

Pada umumnya jamur akan tumbuh baik pada pH kurang dari 7 (dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimum akan dicapai pada pH 4,5–5,3.

5. Bahan makanan

Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu seperti selulosa, lignin, dan zat isi sel lainnya. Selulosa, hemiselulosa dan lignin yang menyusun kayu terdapat sebagai mikromolekul yang terlalu besar dan tidak larut dalam air untuk diasimilasi langsung oleh cendawan.

Hunt dan Garrat (1986) menyatakan kondisi yang diperlukan untuk perkembangan cendawan pembusuk kayu ada empat yaitu (a) sumber-sumber energi dan bahan makanan yang cocok, (b) kadar air kayu di atas titik jenuh serat kayu, (c) persediaaan oksigen yang cukup dan (d) suhu yang cocok. Kekurangan dalam salah satu persyaratan ini, akan menghalangi pertumbuhan suatu cendawan, meskipun cendawan tersebut telah berada di dalam kayu. Selain itu, Hunt dan Garrett (1986) menambahkan bahwa, cendawan-cendawan pembusuk kayu sangat berbeda-beda dalam hal kebutuhan lembabnya, tetapi ada sedikit yang dapat

(21)

7

membusukkan kayu pada kadar air di bawah titik jenuh serat (kadar air 25–30% dari serat kayu pada kebanyakan daerah beriklim sedang).

2.4 Siklus Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Kayu

Umumnya siklus pelapukan oleh jamur pelapuk kayu dari kelas

Basidiomyetes adalah sebagai berikut. Basidiomycetes menempel pada permukaan

kayu karena terbawa udara, air, serangga atau bahan-bahan yang yang mudah terkena infeksi. Apabila keadaan lingkungan sesuai, Basidiomycetes tersebut akan berkecambah menjadi hifa atau miselium yang berinti sel satu yang haploid (misellium primer) (Tambunan dan Nandika 1989 dalam Herliyana 1997). Dua hifa miselium yang kompatibel akan mengadakan somatogami sehingga terjadi di karionasi (terjadinya hifa baru dengan tetap berinti dua), sehingga terbentuk miselium sekunder yang selanjutnya berinti dua yang masing-masing haploid (Buller 1924 dalam Herliyana 1997). Miselium sekunder ini berkembang secara khusus, yaitu setiap inti membelah tanpa mengadakan kariogami dalam sel baru, sehingga miselium sekunder tiap sel selalu berinti dua. Pembelahan tiap-tiap inti diikuti dengan terbentuknya suatu kait yang mengakibatkan terjadinya suatu struktur pada tiap antar dua sel yang lama dan baru yang biasa disebut sambungan apit (clamp connection) (Buller 1924 dalam Herliyana 1997). Setelah terbentuk miselium sekunder yang sel ke sel pada kayu melalui lubang pengeboran yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan anatara hifa itu dengan dinding sel atau melalui noktah-noktah dan dinding sel kayu.

2.5 Proses Pelapukan Kayu

Cartwright dan Findlay (1958) dalam Herliyana (1997) mendefinisikan pelapukan kayu sebagai berkurangnya kepadatan kayu, disebabkan terjadinya penguraian bahan dasar kayu oleh jamur. Jamur tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk bahan organik sendiri, maka bahan-bahan organik kompleks yang ada dalam kayu dirombak untuk dijadikan sebagai sumber energi. Hasil dari proses respirasi oleh jamur tersebut berupa karbondioksida sesuai dengan persamaan reaksi di bawah ini.

(22)

8

C6H₁₂O6 + 6O₂ → 6H₂O + 6CO₂

Jamur pelapuk kayu dapat berkembang dalam kondisi lingkungan yang cocok melalui perkecambahan spora atau pertumbuhan segmentasi hifa (misellium) yang berasal dari sumber-sumber yang terinfeksi disekitarnya. Hifa tumbuh sepanjang permukaan kayu dan melakukan penetrasi untuk pertama kali melalui dinding sel kayu atau lubang yang dibuat oleh hifa itu sendiri (Haygreen dan Bowyer 1982; Manion 1981 dalam Herliyana 1997). Menurut Khan (1954) dan Shigo (1979) dalam Herliyana (1997), kejadian tersebut merupakan awal dari proses pelapukan.

Kemampuan hifa menyerang sel-sel kayu ditentukan oleh kenormalan aktivitas pertumbuhan sel hifa yanga ada pada ujung hifa, yang dikenal sebagai zona sub-apikal hifa. Sel-sel pada ujung hifa selalu dapat mengadakan proses biokimia juga dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk mempercepat (katalisator) proses biokimia dalam rangka menembus dinding sel kayu serta perolehan zat makanan yang diperlukan hifa (Haygreen dan Bowyer 1982 dalam Herliyana 1997).

2.6 Komponen Kayu yang Digunakan Jamur

Pada prinsipnya bahan yang terkandung dalam kayu dapat dimanfaatkan oleh jamur. Holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) serta lignin yang secara bersama-sama membentuk zat kayu, dirombak oleh mikroorganisme menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana dengan bantuan enzim tertentu, sehingga dapat diabsorbsi dan dimetabolisme (Tambunan dan Nandika 1989 dalam Natalia 2010).

Nicholas (1987) dalam Herliyana (2007), mengatakan bahwa dalam kegiatan pelapukan kayu jamur memerlukan nitrogen dan mineral-mineral. Kandungan nitrogen yang tersedia pada kayu kurang lebih 0,03%–0,10%, sedangkan kandungan abu mineral tersebut mampu mendukung kegiatan pelapukan oleh jamur.

(23)

9

2.7 Pengaruh Serangan Pelapuk Kayu terhadap Sifat Kayu

Jamur pelapuk secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga, yaitu

brown rot fungi (jamur pelapuk coklat), white rot fungi (jamur pelapuk putih), dan soft rot fungi. Jamur pelapuk coklat merupakan jamur tingkat tinggi dari kelas Basidiomycetes. Jamur jenis ini mampu mendegradasi holoselulosa kayu dan

meninggalkan residu kecoklatan yang bnayak mengandung lignin. Jamur pelapuk putih merupakan jamur dari kelas Basidiomycetes yang mampu mendegradasi holoselulosa dan lignin sehingga menyebabkan warna kayu menjadi lebih muda daripada warna normal. Soft rot fungi merupakan jamur dari kelas Ascomycetes. Jamur ini mampu mendegradasi selulosa dan komponen penyusun dinding sel kayu sehingga menjadi lebih lunak (Fengel dan Wegener 1989 dalam Herliyana 2007).

Jamur pelapuk putih dapat dibedakan dengan jamur pelapuk coklat, salah satunya secara kimiawi dengan larutan “guacium” ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi biru pada media biakan jamur pelapuk putih, sedangkan pada media biakan jamur pelapuk coklat tidak menunjukan perubahan (Boyce 1961 dalam Herliyana 1997). Selain itu hampir semua jamur pelapuk putih memproduksi enzim oksidase, sedang jamur pelapuk coklat tidak memberikan reaksi oksidase (Khan 1954; Boyce 1961 dalam Herliyana 1997). Pengaruh jamur pelapuk putih terhadap sifat-sifat kayu di antaranya adanya perubahan struktur kayu dari yang normal, perubahan bau yang khas, kayu menjadi lebih lunak, kandungan air menjadi lebih tinggi, jaringan kayu menjadi lebih renggang, dan daya hantar panas meningkat (Khan 1954; Boyce 1961; Padlinurjaji 1979; Tambunan dan Nandika 1989 dalam Herliyana 1997).

2.8 Keawetan Kayu

Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak yang datang dari luar kayu itu sendiri. Secara alami kayu mempunyai keawetan tersendiri, dan berbeda untuk tiap jenis kayu. Keawetan kayu biasanya ditentukan oleh adanya zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayu tersebut (Muherda 2011). Zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari suatu pohon dan bukan merupakan penyusun struktur kayu, namun zat ini cukup esensial dan

(24)

10

berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu termasuk ketahanan terhadap serangan serangga dan organisme pelapuk lainnya karena bersifat racun (Ediningtyas 1993

dalam Fitriyani 2010). Variasi keawetan kayu juga terdapat di dalam kayu teras.

Kayu teras bagian luar lebih awet dibandingkan dengan kayu teras bagian dalam. Kayu gubal memilki keawetan yang rendah karena kayu gubal tidak mengandung zat ekstraktif (Tobing 1997 dalam Fitriyani 2010).

Tim ELSSPAT (1997) dalam Fitriyani (2010) menyatakan umur pohon memilki hubungan yang positif dengan keawetan kayu. Pohon yang ditebang dalam umur tua, pada umumya lebih awet daripada ditebang ketika muda karena semakin lama pohon itu hidup maka semakin banyak zat ekstraktif yang dibentuk. Berdasarkan penurunan berat kayu oleh jamur pelapuk, penentuan ketahanan kayu dibagi ke dalam beberapa kelas awet.

Tabel 2 Kelas ketahanan kayu terhadap jamur (SNI 01-7207-2006) Kelas Ketahanan Penurunan Berat 9%) I Sangat Tahan ≤ 1

II Tahan 1 - 5 III Agak Tahan 5 - 10 IV Tidak Tahan 10 - 30 V Sangat Tidak Tahan > 30

Terdapat lima kelas awet kayu, mulai dari kelas awet I (yang paling awet) sampai kelas awet V (yang paling tidak awet). Kelas awet kayu didasarkan atas keawetan kayu teras karena bagaimanapun awetnya suatu jenis kayu, bagian gubalnya selalu mempunyai keawetan yang terendah (kelas awet V). Hal ini disebabkan pada bagian kayu gubal tidak terbentuk zat-zat ekstraktif seperti fenol, tanin, alkaloid, saponin, chinon, dan dammar. Zat-zat tersebut memilki daya racun terhadap organisme perusak kayu (Findlay dan Martawijaya 1962 dalam Padlinurjaji 1977).

(25)

11

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2011 sampai dengan Juni 2012. Bertempat di Laboratorium Pathologi Hutan, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan adalah isolat jamur pelapuk kayu S. commune (DB1), P. ostreatus (HO), P. djamor (EB9) dimana masing-masing jamur tersebut termasuk ke dalam jamur pelapuk putih. Ketiga isolat ini diperoleh dari koleksi Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi yang disimpan di Laboratorium Penyakit Hutan. Kayu yang digunakan adalah kayu P. falcataria (sengon). Ukuran yang digunakan adalah (2 × 2 × 1) cm³ dengan pemotongan arah serat cross section. Media ME (malt extract), glukosa, pepton, air suling, antibiotik kloramfenikol, pasir kuarsa, alkohol 70% dan spirtus.

3.2.2 Alat

Alat yang digunakan pada metode JIS K 1571-2004 adalah labu erlenmeyer, cawan petri, gelas ukur, botol uji berukuran antara 500 ml–1000 ml dengan tinggi 12–16,5 cm dan berdiameter 11 cm. Alat lainnya adalah batang pengaduk, neraca analitik, lampu pemanas, sudip, karet gelang, kapas, alumunium

foil, plastik tahan panas, desikator, autoklaf, laminar air flow, ruang inkubasi, alat

(26)

12

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengambilan Contoh Uji

Kayu contoh uji yang digunakan dalam metode ini berukuran (2 × 2 × 1) cm, dengan bentuk pemotongan arah serat cross. Contoh uji dikeringkan di dalam oven hingga mencapai kering tanur pada suhu 60˚C selama 2 hari.

3.3.2 Penyediaan Biakan Jamur

Kondisi pengujian keawetan kayu terhadap jamur harus dibuat lembab dengan menyediakan terlebih dahulu biakan jamur di dalam botol uji yang steril. Media biakan jamur yang digunakan adalah menggunakan pasir kuarsa yang telah dicampur dengan extra malt, pepton dan glukosa. Biakan jamur dibuat dengan mencampur 250 g pasir kuarsa, dengan 40 g glukosa, 3 g pepton dan 15 g extra

malt dalam 1000 ml air suling. Kemudian sebanyak 80 ml campuran tersebut

dimasukkan ke dalam botol uji dan ditutup dengan kapas. Toples tersebut yang telah berisi media biakan jamur disterilkan ke dalam autoklaf selama 30 menit pada tekanan 15 psi. Setelah proses sterilisasi, gelas tersebut diletakkan mendatar sehingga biakan berada di bagian bawah leher gelas. Jamur penguji diinokulasi sehari kemudian.

3.3.3 Pengujian Kayu

Contoh uji yang steril dan telah dihitung bobotnya dimasukkan ke dalam botol uji yang sudah ada biakan jamur penguji. Biakan jamur terkontaminasi harus diganti dengan biakan baru yang lebih baik. Pengamatan dilakukan setelah 12 minggu. Contoh uji dibersihkan dari miselium dan diamati kerusakan yang terjadi pada contoh uji. Penilaian kerusakan dapat dilakukan menurut kondisi contoh uji mulai dari utuh sampai hancur sama sekali. Contoh uji dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 60°C dan ditimbang. Presentase penurunan bobot dihitung atas dasar selisih bobot contoh uji sebelum dan sesudah diserang jamur.

(27)

13

3.3.4 Perhitungan Persentase Penurunan Bobot

Setelah masa pengumpanan selesai, contoh uji dikeluarkan dari botol uji dan dibersihkan dari jamur-jamur yang menempel di sekelilingnya, kemudian ditimbang bobot basahnya serta dikeringkan dengan oven. Setelah contoh uji dikeringkan dalam oven kemudian disimpan dalam desikator dan ditimbang untuk mengetahui bobot kering tanurnya. Besarnya serangan jamur pelapuk diperoleh dengan menghitung penurunan bobot, yaitu :

P = W1 – W2 × 100% W1

Keterangan:

P = persentase Penurunan Bobot (%)

W1 = bobot kering tanur contoh uji sebelum diumpankan (g) W2 = bobot kering tanur contoh uji setelah diumpankan (g)

3.4 Pengolahan Data

Penelitian ini menggunkan rancangan acak lengkap dengan pola satu faktor yaitu jenis jamur. Ulangan dilakukan sebanyak 9 kali pada setiap jenis perlakuan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Exel 2010 dan SAS 9.1.3 untuk mengetahui hubungan antara jenis jamur dan persentase penurunan bobot (weight loss) dari metode pengujian JIS berbeda nyata atau tidak, maka digunakan pengujianbeda nilai tengah (beda rata-rata). Nilai F-hitung yang diperoleh dibandingkan dengan F-tabel dengan selang kepercayaan 99% dengan kaidah keputusan :

1. Apabila F-hitung < F-tabel maka perbedaan dari kedua metode standar pengujian tersebut memberikan pengaruh tidak nyata atau sangat tidak nyata terhadap persentase penurunan bobot (weight loss) pada selang kepercayaan 99%.

2. Apabila F-hitung > F-tabel maka perbedaan dari kedua metode standar pengujian tersebut memberikan pengaruh nyata atau sangat nyata terhadap persentase penurunan bobot (weight loss) pada selang kepercayaan 99%.

(28)

14

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengamatan Visual Kayu

Pengamatan visual kayu merupakan pengamatan yang dilakukan untuk melihat dampak yang terjadi pada kayu yang diumpankan pada jamur selama 3 bulan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, dapat dilihat pada Gambar 1 bahwa contoh uji kayu yang telah diserang jamur mengalami perubahan warna menjadi lebih terang (cokelat muda).

Gambar 1 Contoh kayu uji (kayu sengon): (a) sebelum diserang jamur pelapuk kayu (kontrol), (b) setelah diserang jamur pelapuk kayu

Perubahan warna ini terjadi pada contoh uji kayu yang diserang oleh jamur pelapuk putih seperti pada serangan S. commune, P. ostreatus, dan P. djamor. Jamur pelapuk putih lebih banyak merombak lignin sehingga warna kayu yang ditinggalkan menjadi lebih terang dari warna kayu awal.

Dari hasil pengujian yang dilakukan contoh uji kayu terhadap tiga jenis jamur, dapat dilihat dari berkembangnya miselium tiga jenis jamur pelapuk kayu yang menempel pada permukaan masing-masing jenis kayu. Jamur S. commune memilki miselium yang lebih tebal dibandingkan dengan jamur pelapuk kayu lain sehingga diduga jamur tersebut mampu mendegradasi kayu lebih cepat (Gambar 2).

(29)

15

Gambar 2 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji: (a) jamur P.

ostreatus, (b) jamur P. djamor, (c) jamur S. commune

.

Perbedaan serangan jamur pelapuk kayu terhadap kayu contoh uji juga dapat dilihat pada botol uji yang berisi media pasir kuarsa. Dalam botol uji sangat terlihat jelas bahwa jamur pelapuk kayu yang lebih banyak menyerang kayu contoh uji adalah jamur S. commune. Hal ini terlihat dari penutupan miselium yang terjadi pada botol uji yang berisi jamur S. commune dengan kayu contoh uji, miselium jamur penuh menutupi kayu contoh uji. Pada jamur P. djamor miselium yang menutupi kayu contoh uji sangat sedikit dan terlihat sangat tipis. Pada jamur

P. ostreatus miselium yang menutupi kayu contoh uji terlihat sangat tidak merata

atau hanya sebagian dari bagian kayu contoh uji (Gambar 3).

(a) (b)

(c)

(30)

16

Gambar 3 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji dalam botol yang berisi media pasir kuarsa: (a) jamur P. ostreatus, (b) jamur P.

djamor, (c) jamur S. commune

4.2 Persentase Penurunan Bobot

Parameter yang digunakan dalam uji keawetan kayu terhadap tiga jenis jamur pelapuk kayu ini dapat dilihat dari nilai persentase penurunan bobot contoh uji (weight loss) yang diperoleh dari hasil penelitian di laboratorium. Persentase penurunan bobot merupakan nilai dari pengurangan contoh uji kayu terhadap jamur pelapuk kayu yang dilakukan selama 12 minggu sehingga contoh uji mengalami penurunan bobot. Persentase penurunan bobot contoh uji kayu akibat seragan jamur pelapuk kayu ini digunakan sebagai patokan terhadap keawetan kayu.

Pengujian yang telah dilakukan diperoleh nilai rata-rata penurunan bobot contoh uji kayu sengon oleh tiga jenis jamur pelapuk kayu berkisar antara 1,1– 3,7%. Persentase penurunan bobot kayu yang disebabkan oleh serangan jamur pelapuk kayu nampak bervariasi meskipun contoh uji kayu berjenis sama dan hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata persentase penurunan bobot kayu sengon terhadap tiga jenis jamur pelapuk kayu

Jenis jamur Penurunan Bobot pada Kayu Sengon (%)

Schizophyllum commune 3,7

Pleurotus ostreatus 1,5

Pleurotus djamor 1,1

(31)

17

Penurunan bobot kayu yang terjadi pada contoh uji kayu merupakan gambaran dari serangan jamur pelapuk kayu terhadap contoh uji kayu yang digunakan dalam pengujian ini. Untuk mendapatkan besar nilai penurunan bobot kayu, contoh uji kayu dibiarkan dalam media dimana jamur pelapuk kayu akan menyerang kayu uji dalam waktu 12 minggu. Jamur pelapuk kayu mempunyai kemampuan merombak komponen kayu seperti selulosa dan lignin dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana sehingga dapat diabsorpsi dan dimetabolisme oleh jamur sebagai makanan.

Jamur P. ostreatus menurunkan bobot kayu sengon sebesar 1,5%. Nilai kehilangan bobot pada sengon tersebut masuk ke dalam kelas awet II yang berarti kayu sengon tersebut tahan. Menurut Seng (1990), sengon termasuk ke dalam kelas awet V yang berarti memilki keawetan sangat rendah. Berdasarkan hasil yang didapat, kelas awet yang diperoleh dari hasil pengujian tidak sesuai dengan pernyataan Seng (1990). Dapat dikatakan bahwa pengujian tersebut belum berhasil.

Jamur P. djamor hanya mampu menurunkan bobot contoh uji yaitu kayu sengon sebesar 1,1%. Dari nilai penurunan bobot kayu sengon yang didapat maka termasuk ke dalam kelas awet II yang berarti tahan. Pengujian ini belum dikatakan berhasil karena menurut Seng (1990) kayu sengon termasuk ke dalam kelas awet V. Begitupula dengan jamur S. commune yang mampu menurunkan bobot contoh uji kayu sengon sebesar 3,7%. Sama halnya dengan jamur P. djamor dan juga jamur P. ostreatus, jamur S. commune juga termasuk dalam kelas awet II dan ini tidak sesuai dengan Seng (1990) yang mengatakan bahwa kayu sengon termasuk dalam kelas awet IV–V. Berdasarkan pengujian contoh uji kayu sengon terhadapat tiga jenis jamur belum dikatakan berhasil.

Data di atas menunjukan bahwa kelas keawetan kayu sengon hasil penelitian di laboratorium tidak sesuai dengan literatur yang diperoleh. Hal ini diduga karena adanya hifa jamur yang masuk ke dalam kayu sengon. Hifa jamur yang masih tertinggal di dalam contoh uji akan mempengaruhi bobot akhir contoh uji setelah diumpankan. Selain itu, ukuran dan arah serat dari standar JIS K 1571-2004 yang mengharuskan contoh uji berukuran (2 × 2 × 1) cm³ dan memilki arah serat cross section. Arah serat cross section memilki kemungkinan yang besar

(32)

18

untuk masuknya hifa ke dalam kayu karena arah serat cross section memiliki pori-pori yang lebih besar sehingga hifa jamur lebih mudah masuk ke dalam kayu.

Hasil analisis ragam dengan menggunakan selang kepercayaan 99%, dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang sangat nyata antara jenis jamur, dan contoh uji kayu terhadap persentase penurunan bobot kayu, artinya jamur pelapuk kayu dan kayu contoh uji sangat berpengaruh terhadap persentase bobot kayu serta kayu contoh uji sangat mempengaruhi tingkat persentase penurunan bobot yang berbeda dengan menggunakan tiga jenis jamur pelapuk kayu. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai Fhit < 0,01.

Tabel 4 Hasil analisis ragam persentase penurunan bobot contoh uji kayu terhadap kayu uji dan jenis jamur pelapuk kayu

Sumber DF Jumlah Nilai

Tengah

F Pr>F

Jumlah faktor 2 35,7 17,8 18,9 <0,01***

Total 26 58,3

*** berbeda sangat nyata pada uji F taraf 0,01

Tabel 5 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata persentase penurunan bobot kayu pada tiga jenis jamur pelapuk kayu

Faktor pengaruh Nilai Tengah Jumlah

Ulangan Perlakuan Jenis Jamur Persentase penurunan bobot kayu 3,7*** 9 S. commune Persentase penurunan bobot kayu 1,5 9 P. ostreatus Persentase penurunan bobot kayu 1,1 9 P. djamor

*** nilai persentase penurunan bobot kayu tertinggi

Untuk mengetahui adanya hubungan antara kayu contoh uji dengan ketiga jenis jamur yang mempengaruhi persentase penurunan bobot kayu contoh uji, maka dilakukan uji Duncan untuk mengetahuinya. Pada uji Duncan juga dapat diketahui jenis jamur pelapuk kayu yang memiliki pengaruh terbesar dalam menurunkan bobot kayu contoh uji. Perlakuan yang menggunakan jamur S.

(33)

19

commune menunjukkan nilai tengah yang lebih besar dibandingkan dengan

perlakuan yang menggunakan jamur P. ostreatus dan juga jamur P. djamor. Nilai tengah merupakan hasil dari persentase penurunan bobot kayu yang terjadi pada kayu contoh uji terhadap masing-masing jamur pelapuk kayu. Perbedaan penggunaan jenis jamur sangat berpengaruh pada persentase penurunan bobot. Hal tersebut dapat dilihat pada faktor pengaruh yang menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara jenis jamur yang digunakan dengan persentase penurunan bobot kayu. Jenis jamur pelapuk kayu yang berbeda mempengaruh besarnya persentase penurunan bobot yang terjadi pada kayu contoh uji.

4.3 Ketahanan Kayu terhadap Tiga Jenis Jamur Pelapuk Kayu

Kemampuan jamur dalam melapukan kayu sangat bervariasi tergantung dari karakteristik jenis kayu dan jenis jamur yang menyerang. Berdasarkan hasil pengujian dapat dijelaskan bahwa untuk kayu sengon serangan jamur pelapuk kayu tertinggi terjadi pada S. commune sebesar 3,7% dan yang terendah terjadi pada serangan jamur P. djamor sebesar 1,1%. Sebelum contoh uji kayu digunakan dalam pengujian, contoh uji mengalami masa penyimpanan dalam oven selama (4–6 bulan). Dari hasil pengujian dapat dikatakan bahwa jamur S. commune mempunyai kemampuan mendegradasi kayu yang lebih baik dibandingkan dengan P. djamor dan P. ostreatus. Menurut Hunt dan Garratt (1986), cendawan pembusuk kayu sangat berbeda-beda dalam hal kebutuhan lembabnya, tetapi ada sedikit yang dapat membusukkan kayu pada kadar air di bawah titik jenuh serat.

Dari hasil pengujian, dapat dilihat interaksi yang kuat ditunjukkan dengan adanya persentase penurunan bobot contoh uji kayu tertinggi pada biakan S.

commune sebesar 3,7%. Pengujian ini masih dikatakan belum berhasil karena dari

hasil pengujian kayu sengon termasuk dalam kelas awet II, sedangkan menurut Martawijaya (1989) bahwa sengon termasuk kelas awet IV yang berarti memilki keawetan rendah. Untuk interaksi terlemah dari pengujian ini terjadi pada contoh uji kayu dan jamur P. djamor sebesar 1,1% dan dikatakan belum berhasil karena tidak sesuai dengan literatur yang ada. Ketidaksesuaian nilai hasil presentase penurunan bobot contoh uji kayu dengan literatur, diduga akibat adanya hifa

(34)

20

jamur yang masuk ke dalam contoh uji kayu sehingga memperngaruhi bobot akhir setelah contoh uji selesai diumpankan.

Kayu sengon termasuk dalam kelas awet IV–V dan kelas kuat IV–V. Berdasarkan ketahanannya terhadap jamur pelapuk kayu, kayu sengon termasuk dalam kelas II–IV yang berarti kayu sengon ini sangat tidak tahan terhadap serangan organisme perusak kayu. Setiap kayu memilki zat-zat ekstraktif seperti fenol, tanin, alkaloid, saponin, chinon, dan damar. Findlay dan Martawijaya (1962) dalam Padlinurjaji (1977) menyatakan bahwa zat-zat ekstraktif memilki daya racun terhadap organisme perusak kayu.

Ediningtyas 1993 dalam Fitriyani 2010, menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari suatu pohon dan bukan merupakan penyusun struktur kayu, namun zat ini cukup esensial dan berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu termasuk ketahanan terhadap serangan serangga dan organisme pelapuk lainnya karena bersifat racun. Jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu mennetukan keawetan alami suatu jenis kayu. Zat ekstraktif seperti tanin dan senyawa-senyawa phenolik yang memilki sifat racun dan dalam jumlah yang cukup dapat mencegah kerusakan kayu oleh faktor perusak. Keawetan alami kayu didasarkan pada keawetan kayu teras, terdapat perbedaan ketahanan antara kayu gubal dan kayu teras. Tobing (1977) dalam Fitriyani (2010) menyatakan bahwa kayu gubal memilki keawetan rendah karena kayu gubal tidak mengandung zat ekstraktif.

Hubungan berat jenis terhadap keawetan kayu menurut Seng (1990), berat jenis kayu tidak berpengaruh terhadap keawetan kayu. Namun, ada hubungan antara berat jenis dan keawetan dalam batas-batas keawetan yang khusus dari suatu genus atau famili, kayu-kayu yang lebih berat kebanyakan lebih awet daripada kayu yang lebih ringan. Besarnya berat jenis kayu sengon adalah 0,33.

(35)

14

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Ketiga jenis jamur yang digunakan pada pengujian ini memiliki potensi dalam menurunkan bobot kayu contoh uji. Jamur yang paling berpotensi menurunkan bobot kayu sengon adalah S.commune dengan nilai persentase penurunan bobot kayu sebesar 3,7%, sedangkan untuk jamur P. ostreatus dan P. djamor hanya memiliki potensi persentase penurunan bobot kayu hanya sebesar 1,5% dan 1,1%.

2. Analisis statistik dengan selang kepercayaan 99% terhadap persentase penurunan bobot kayu menerangkan bahwa terjadi perbedaan sangat nyata antara kayu contoh uji dengan jenis jamur.

3. Pengujian keawetan dengan menggunakan metode JIS K 1571-2004 jamur pelapuk kayu diketahui bahwa pengujian ini belum berhasil karena adanya ketidaksesuaian kelas awet kayu sengon dari hasil pengujian (kelas awet II) dengan kelas awet kayu sengon yang berasal dari literatur (kelas awet IV–V).

5.2 Saran

1. Dalam persiapan penelitian perlu dilakukan pengovenan dan penimbangan terhadap contoh uji kayu untuk mendapatkan nilai berat kering contoh uji sebelum pengujian.

2. Kayu yang digunakan dalam penelitian ini memilki masa pengovenan 4–6 bulan sehingga perlu dilakukan uji lanjut terhadap penelitian dengan menggunakan masa pengovenan kayu yang standar.

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Eksanto EJ. 1996. Pengaruh Peredaman Air Belerang dan Minyak Tanah Terhadap Sifat Mekanis Tiga Jenis Kayu Melalui Uji Serangan Jamur Pelapuk (Schizophyllum commune Fr.) [skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Fengel D, Wegener G. 1985. KAYU: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo dan Soenardi Prawiroatmojo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Fitriyani I. 2010. Pengujian Keawetan Alami Kayu Karet (Hevea barasiliensis Muell. Arg.) dan Sugi (Cryptomeria japonica (L. f,) D. Don) Terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fr [skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Herliyana EN. 1997. Potensi Schizophyllum commune dan Phanerochaete

chrysosporium untuk Pemutihan Pulp Kayu Acacia mangium dan Pinus mrkusii [thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Herliyana EN. 2007. Potensi Lignolitik Jamur Pelapuk Kayu Pleurotoid [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Hunt G, Garrat GA. 1986. Pengawetan Kayu. Diterjemahkan Jusuf M. Akademika Pressindo. Jakarta.

Iswanto AH. 2008. SIFAT FISIS KAYU: Berat Jenis dan Kadar Air Pada Beberapa Jenis Kayu [karya tulis]. Sumatera: Departemen Kehutanan. Fakultas Pertanian USU.

[JIS] Japan Industrial Standar. 2004. Test Methods for Determining The Effectiveness of Wood Preservativeness of Wood Preservatives and Their Performance Requirement. JIS K 1571-2004.

Kurnia A. 2009. Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, Duku Terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk [skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Mandang YI, Pandit IKN. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan Prosea.

Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SH, Kadir K. 1989. Atlas

Indonesia Jilid II. Bogor: Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan.

Muherda. 2011. Keawetan Kayu. [terhubung berkala].

http://muherda.blogspot.com/2011/03/keawetan-kayu.html. [11 Juli 2011]

Nandika D, Soenaryo, Saragih A. 1996. Kayu dan Pengawetan Kayu. Jakarta: Dinas Kehutanan DKI Jakarta.

(37)

23

Natalia DA. 2011. Jamur Tiram Sebagai Jamur Uji Keawetan Alami Kayu Karet dan Sengon dengan Metode Standar Nasional Indonesia dan Standar Industri Jepang [skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan IPB.

Nurjayadi MY, Martawijaya EI. 2011. Sukses Bisnis Jamur Tiram di Rumah

Sendiri. Bogor: IPB Press.

Padlinurjaji IM. 1997. Rendaman Dingin Larutan Wolmanit terhadap Lima Jenis Kayu pada Berbagai Tingkat Konsentrasi dan Waktu Rendam. Fakultas Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Pandit IKN, Kurniawan D. 2008. Struktur Kayu Sifat Kayu sebagai Bahan Baku

dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor: Fakultas

Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Seng OD. 1990. Berat Jenis dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian

Berat Kayu untuk Keperluan Praktek. Terjemahan Soewarno P.H.

Pengumuman Nr. 13. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Shahnaz N. 2010. Pengembangan Fumigasi Amonia Sebagai Metode Pewarnaan Beberapa jenis Kayu Rakyat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Uji Ketahanan dan Produk Kayu Terhadap Organisme Perusak Kayu. SNI 01-7207-2006.

Suprapti S, Djarwanto, Hudiansyah. 2004. Ketahanan Lima Jenis Kayu Terhadap Beberapa Jamur Perusak Kayu. Bogor: Jurnal Penelitain Hasil Hutan. 22 (3): 239-246.

Yunafsi. 2008. Fungi at Eucalyptus urophylla S.T. Blake in Log Yard (TPK) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Kabupaten Toba Samosir North Sumatera. Sumatera: Jurnal Hutan dan Masyarakat. 3 (1): 001-110.

Winkler D. 2008. Mushrooming Hawaii. [terhubung berkala].

http://www.danielwinkler.com/mushrooming_hawaii_2008.htm [11 Juli

(38)

LAMPIRAN

Lampiran 2. Hasil Uji Lanjut Duncan

(39)

25

Lampiran 1 Rata-rata KA (kadar air) awal, KA (kadar air) akhir, W1 (berat awal), W2 (berat akhir) dan P (persentase penurunan bobot) pada kayu sengon sebagai contoh uji kayu

Jenis Jamur KA awal (%) W1 (g) KA akhir (%) W2 (g) P (%)

Schizophyllum commune 1,5 1,3 2,2 1,3 3,7

Pleurotus ostreatus 1,5 1,4 2,7 1,3 1,5

Pleurotus djamor 1,5 1,3 2,5 1,3 1,1

Lampiran 2 Hasil sidik ragam

Penurunan bobot

Source DF Squares Mean Square F Value Pr>F

Model 2 35,69 17,84 18,93 <0,01***

Error 24 22,62 0,94

Corrected Total 26 58,31 *** berbeda sangat nyata pada uji F taraf 0,01

Source DF Type I Mean Square F Value Pr > F

treat 2 35,69 17,84 18,93 <0,01

Source DF Type III SS Mean Square F Value PFr >

treat 2 35,69 17,84 18,93 <0,01

Lampiran 3 Hasil uji lanjut Duncan

Duncan Grouping Mean N treat

A 3,74*** 9 S. commune B 1,51 9 P. ostreatus B B 1,14 9 P. djamor

Gambar

Tabel 2  Kelas ketahanan kayu terhadap jamur (SNI 01-7207-2006)  Kelas                           Ketahanan                               Penurunan Berat 9%)  I                                 Sangat Tahan                                          ≤ 1
Gambar 1  Contoh kayu uji (kayu sengon): (a) sebelum diserang jamur pelapuk    kayu (kontrol), (b) setelah diserang jamur pelapuk kayu
Gambar 2  Miselium  yang  menempel  pada  kayu  contoh  uji:  (a)  jamur  P.
Gambar 3  Miselium  yang  menempel  pada  kayu  contoh  uji  dalam  botol  yang  berisi  media  pasir  kuarsa:  (a)  jamur  P
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan algoritme RUSBoost dan UnderBagging untuk penanganan masalah kelas tidak seimbang pada data mahasiswa SPs IPB program

Faktor terjadinya retinopati diabetikum: lamanya menderita diabetes, umur penderita, kontrol guladarah, faktor sistematik (hipertensi, kehamilan). Nefropati diabetikum yang

Demikian untuk mengatasi masalah pendidikan di daerah kecamatan Nanggung, pihak perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) telah memberikan

Ada beberapa hal yang bisa kita analisis terhadap prinsip maskulinitas yang terinternalisir dalam diri feminisme dominan, diantaranya; feminisme liberal

Untuk itu suatu organisasi yang berkecimpung dalam teknologi Internet yaitu Internet Engineering Task Force (IETF) telah mengembangkan protokol baru yang

Audit Tahun Sebelumnya, Leverage Dan Pertumbuhan Perusahaan Tehradap Penerimaan Opini Audit Going Concern (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEI

Alhamdulillahirabbil’alamin , syukur alhamdulillah senantiasa penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah- Nya yang tiada

Dalam kasus anak penderita autisme, komunikasi antarpribadi digunakan sebagai alat untuk membantu agar anak-anak dengan gangguan spektrum autisme secara perlahan-lahan