• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNSUR MORAL DAN NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM CERPEN KUMO-NO ITO 蜘蛛の糸蜘蛛の糸 KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNSUR MORAL DAN NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM CERPEN KUMO-NO ITO 蜘蛛の糸蜘蛛の糸 KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

UNSUR MORAL DAN NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM

CERPEN “KUMO-NO ITO”「

「蜘蛛の糸

蜘蛛の糸

蜘蛛の糸

蜘蛛の糸」

KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Bahasa dan Sastra Jepang

Oleh :

MONDA MAULIDA MAHADEWI

NIM 13050111150007

PROGRAM STUDI STRATA 1

BAHASA DAN SASTRA JEPANG

(2)

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2013

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan sebenarnya penulis menyatakan bahwa skripsi ini disusun tanpa mengambil bahan hasil penelitian baik untuk suatu gelar sarjana yang sudah ada di suatu universitas maupun hasil penelitian lain. Sejauh yang penulis ketahui, skripsi ini juga tidak mengambil bahan dari publikasi atau tulisan orang lain kecuali yang sudah disebutkan dalam rujukan. Saya bersedia menerima sangsi jika terbukti melakukan penjiplakan.

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi : Unsur Moral Dan Nilai-Nilai Religius Dalam Cerpen “Kumo-No Ito” 「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke

Nama Mahasiswa : Monda Maulida Mahadewi Nomor Induk Mahasiswa : 13050111150007

Program Studi : S1 Bahasa Jepang

Fakultas : Ilmu Budaya

Universitas : Diponegoro

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Redyanto Noor, M.Hum. Budi Mulyadi, S.Pd,M.Hum.

Mengetahui Ketua Program Studi Strata 1 Bahasa dan Sastra Jepang

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Unsur Moral Dan Nilai-Nilai Religius Dalam Cerpen “Kumo-No Ito” 「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke

Nama Mahasiswa : Monda Maulida Mahadewi Nomor Induk Mahasiswa : 13050111150007

Jurusan : S1 Bahasa dan Sastra Jepang

Fakultas : Ilmu Budaya

Universitas : Diponegoro

Diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Skripsi pada tanggal ...……….

Tim Penguji Skripsi

Ketua ……….. ……… Sekretaris ………. ……… Anggota ………. ……… Anggota ………. ………

(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Ihave

Ihave

Ihave

Ihave learn

learn

learn silence

learn

silence

silence from the

silence

from the

from the

from the

talkative,

talkative,

talkative,

talkative, toleration

toleration

toleration

toleration from the intolerant

from the intolerant

from the intolerant

from the intolerant

and

and

and

and kindness from the unkind,

kindness from the unkind,

kindness from the unkind,

kindness from the unkind, yet strange,

yet strange,

yet strange,

yet strange,

I I

I

I

am

am

am

(6)

PRAKATA

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna mencapai gelar Sarjana Humaniora di Universitas Diponegoro. Judul skripsi ini adalah Unsur Moral Dan Nilai-Nilai Religius Dalam Cerpen “Kumo-No Ito” 「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke yang terdiri dari 4 Bab meliputi Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Tinjauan Pustaka, Bab 3 Pembahasan dan Bab 4 Penutup.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada

1. Dr. Redyanto Noor, M. Hum selaku dosen pembimbing I untuk program S1 Sastra Jepang Universitas Diponegoro;

2. Budi Mulyadi, S.Pd, M.Hum selaku dosen pembimbing II program S1 Sastra Jepang Universitas Diponegoro;

3. Nur Hastuti, S.S. M.Hum selaku dosen wali program studi S1 Sastra Jepang Universitas Diponegoro;

4. Seluruh Dosen, staff dan karyawan program studi S1 Sastra Jepang Universitas Diponegoro;

5. Teman-teman seangkatan program studi S1 Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro yang telah bersama-sama saling mendukung. 6. Sri Hartatik selaku kepala bagian CSO BCA KCU Semarang yang telah

(7)

7. Seluruh keluarga besar saya yang selalu memotivasi dan memberi dukungan materi.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kelemahan dan belum sempurna. Untuk itu, koreksi dan masukan dari semua pihak sangat diharapkan untuk perbaikan maupun penambah pengetahuan. Sekali lagi atas perhatian yang diberikan oleh semua pihak, tidak ada yang dapat penulis sampaikan selain ucapan terima-kasih dan satu hal yang pasti, skripsi ini tidak akan pernah terwujud tanpa ridho-Nya, maka sudah seharusnyalah penulis bersyukur, Alhamdulillahi robbil alamin.

Semarang, 18 Desember 2013

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PERNGESAHAN ... v

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... ix 要旨 要旨 要旨 要旨 ... xii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian... ... 6

1.5 Landasan Teori ... 6

1.6 Metode Penelitian ... 7

1.7 Sistematika Penulisan ... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1Penelitian Sebelumnya ... 10

2.2Landasan Teori ... 13

2.2.1 Unsur Intrinsik Cerpen ... 13

2.2.2 Tema... 13

2.2.3 Alur ... 13

2.2.4 Tokoh dan Penokohan ... 14

(9)

2.2.6 Sudut Pandang ... 15

2.3Unsur Ekstrinsik ... 16

2.4Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra ... 17

2.4.1 Pengertian dan Hakekat Moral ... 17

2.4.2 Jenis dan Wujud Pesan Moral ... 18

2.5Bentuk Penyampaian Pesan Moral ... 19

2.5.1 Bentuk Penyampaian Langsung ... 19

2.5.2 Bentuk Penyampaian Tidak Langsung ... 20

2.6Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra ... 22

2.6.1 Nilai-Nilai Religius ... 22

2.6.2 Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra ... 24

BAB 3 NILAI-NILAI MORAL DAN RELIGIUS DALAM CERPEN “KUMO NO ITO” 「「「蜘蛛の糸「蜘蛛の糸蜘蛛の糸」蜘蛛の糸」」KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE 」 3.1Unsur Intrinsik Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 26

... 3.1.1 Tema Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」... 26

3.1.2 Alur Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 26

3.1.3 Tokoh dan Penokohan Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 27

3.1.3.1Kandata ... 27

3.1.3.2Sang Budha ... 29

3.1.4 Latar atau Setting ... 31

3.1.4.1Tepi Kolam Teratai di Surga ... 31

3.1.4.2Hutan Lebat ... 31

3.1.4.3Chi no Ike「血の池」... 32

3.1.4.4Sanzuno Kawa「三途の河」dan Hari-No Yama「針の山」 ... 32

(10)

3.1.5 Sudut Pandang... 33

3.2Unsur Ekstrinsik “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 33

3.2.1 Akutagawa Ryunosuke... 33

3.2.2 “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 41

3.2.2.1“The Brother Karamazov” karya Fyodor Dostoevsky (1821-1881) ... 41

3.2.2.2“Konjaku Monogatari”「今昔物語」 ... 42

3.2.2.3Sebuah Cerita yang Berjudul “Jaring Laba-Laba” 44 3.3Pesan Moral yang Terdapat dalam “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 46 3.3.1 Moral Tokoh Utama ... 46

3.3.2 Prinsip Hukum Karma ... 48

3.3.3 Dampak Positif dari Kebaikan ... 49

3.4Nilai-Nilai Religius yang Terdapat dalam “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 51

3.4.1 Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia ... 51

3.4.2 Hubungan Manusia dengan Sesama Makhluk-Hidup ... 52

3.4.3 Hubungan Manusia dengan Tuhan (Sang Pencipta) ... 53

BAB 4 PENUTUP 4.1 Simpulan ... 54

4.1.1 Unsur Moral Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 54

4.1.2 Nilai-Nilai Religius Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 55 4.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56 LAMPIRAN – LAMPIRAN

(11)

ABSTRACT

This thesis examines the moral and religious elements are present in the short story " Kumo no Ito " 「蜘蛛 の 糸」 . The purpose of this study was to determine the moral and religious elements delivered by Ryunosuke Akutagawa in a short story titled " Kumo no Ito " 「蜘蛛 の 糸」 . In this paper the data in the form of the short story " Kumo no Ito " 「蜘蛛 の 糸」 Ryunosuke Akutagawa 's work . The data were analyzed using sociological theory literature as the principal theory is a theory related to the elements of moral and religious values . As a supporter of the theory in this study the authors use the theory of the structure of fiksi.Struktur works of fiction consists of two elements builders , namely the intrinsic elements (intrinsic ) and extrinsic elements ( extrinsic ) . Conclusion of this research is a moral message delivered by Ryunosuke Akutagawa short story through " Kumo no Ito " (蜘蛛 の

糸) , namely : 1 . As bad as properties owned by a person , there is still a good trait

they possess; 2 . All actions performed by humans must be thanked . Good deeds are rewarded the good , the bad deeds are rewarded bad ; 3 . Good deeds that we do not only affect ourselves , but for others juga.Nilai impact - religious values contained in the short story " Kumo no Ito " (蜘蛛 の 糸) are : 1 . Human relationships with fellow human beings , humans should coexist with other people should help each other ; 2 . Relationships with fellow human beings , which is done in this case is to care for others God's creatures ; 3 . Man's relationship with God ( the Creator ) . Attitude is done in this case is that we must always be aware that wherever we are, God is always watching us and will give appropriate reply actions performed by humans .

(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sastra adalah bentuk dan hasil karya seni kreatif yang berobjek manusia dan kehidupannya. Sastra sebagai karya seni kreatif menggunakan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan ide atau pemikiran tentang persoalan kehidupan manusia.Sebagai karya kreatif, sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia. Sastra menghadirkan gambaran kehidupan manusia. Dalam pengertian ini, kehidupan manusia mencakup hubungan antara masyarakat, individu, dan peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Gonda melalui Teeuw, 1984:23). Sastra menghadirkan gambaran kehidupan manusia.

Danziger dan Johnson (melalui Budianta, 2002:7) melihat sastra sebagai suatu “seni bahasa”, yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.Dalam hal ini bisa dibandingkan dengan seni musik yang mengolah bunyi, seni tari yang mengolah gerak, dan seni rupa yang mengolah bentuk dan warna.Adapun Daiches (melalui Budianta, 2002:7-8) dengan mengacu pada Aristoteles melihat sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain”, yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya.

(13)

Karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk. Ada pesan yang sangat jelas disampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga dapat dipakai sebagai media untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya. Dalam pengertian ini karya sastra dapat diibaratkan sebagai “potret” atau “sketsa” kehidupan(Budianta, 2002:19-20).

Salah satu genre karya sastra adalah cerpen. Cerpen adalah singkatan dari cerita pendek. Cerpen adalah cerita yang berbentuk prosa yang relatif pendek. Pengertian pendek sesungguhnya tidak begitu jelas ukurannya (Sumardjo dan Saini KM, 1991:30).Ada yang mengartikan pendek dapat dibaca selagi duduk dengan waktu yang kurang dari satu jam. Ada yang melihat dari jumlah kata yang terdapat di dalamnya (Notosusanto melalui Tarigan, 1984:1974 dan Jassin 1991:69) menulis yang lebih tepat dalam mengartikan pendek adalah berdasarkan adanya unsur-unsur intrinsik tertentu yang tidak kompleks. Dengan kata lain, cerpen memiliki karakter, plot, dan latar belakang yang terbatas (Pujiono, 2006:4-5)1.

Di setiap negara karya sastra selalu mengalami perkembangan sesuai dengan zamannya, tidak terkecuali di Jepang. Perkembangan karya sastra di Jepang menurut zamannya dibagi menjadi lima, yaitu: (1) kesusastraan zaman Joodai; (2) kesusastraan zaman Heian; (3) kesusastraan zaman Pertengahan; (4) kesusastraan

1

Pujiono, Muhammad. 2006. Analisis Nilai-Nilai Religius dalam Cerita Pendek (Cerpen) Karya

(14)

zaman Pramodern; dan (5) kesusastraan zaman Modern2

.Perkembangan kesusastraan Jepang zaman modern banyak dipengaruhi oleh kesusastraan dan dorongan kebudayaan yang berasal dari barat. Kesusastraan modern mencerminkan manusia yang hidup dalam masyarakat modern yang cenderung mempunyai sifat borjuis (kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas, biasanya dipertentangkan dengan rakyat jelata) yang menganut paham liberal dan demokrasi. Manusia modern berusaha menghilangkan perbedaan status sosial yang terdapat dalam masyarakat feodal (masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan) dan menyadari perlunya kebebasan3.Kebebasan itulah yang diusung oleh Akutagawa Ryunosuke dalam menulis cerpen-cerpennya. Akutagawa Ryunosuke adalah salah seorang penulis Jepang era Taisho (1912-1926) yang meraih pembaca di luar Jepang sangat banyak. Karya-karyanya, sebagaimana karya-karya Natsume Soseki dan Mori Ogai, banyak mengilhami para sastrawan Jepang modern. Hingga akhir hayatnya ia menulis lebih dari seratus cerpen (Wibawarta, 2004:2).

Untuk menciptakan sebuah karya, Akutagawa mengutamakan pengambilan bahan dari cerita yang berlatar-belakang sejarah atau cerita klasik, kemudian diolahnya dengan baik sehingga mampu melahirkan sebuah novel baru dengan penafsiran yang baru pula, diantaranya adalah “Rashoomon”「羅生門」, “Gesaku

2

Penjelasan mengenai perkembangan kesusastraan Jepang terdapat dalam Nihon Bungakushi yang ditulis oleh Isoji Asoo dkk, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1983 oleh Staf Pengajar jurusan Asia Timur Seksi Jepang Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang diterbitkan oleh UI-Press.

3

Asoo, Isoji. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang (Nihon Bungakushi). Depok: UI-Press. Hal: 155 (Penulis menggunakan versi terjemahan dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Staf Pengajar jurusan Asia Timur Seksi Jepang Fakultas Sastra Universitas Indonesia)

(15)

Zanmai”「戯作三昧」, “Karenoshoo”「枯野抄」, “Yabu no Naka”「藪の中」, dan “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」(Asoo, 1983:182). “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」bercerita tentang seorang pendosa yang bernama Kandata.Kandata masuk neraka karena selama hidupnya ia banyak sekali melakukan tindak kejahatan. Suatu ketika sang Budha menyaksikan Kandata yang sedang menggeliat-liat bersama para pendosa lainnya. Karena sang Budha mengingat bahwa Kandata pernah melakukan perbuatan baik saat masih hidup, sang Budha kemudian membantunya agar bisa lolos dari siksaan neraka. Sang Budha memberikan benang laba-laba agar Kandata bisa memanjat melalui benang tersebut. Namun, tidak hanya Kandata saja yang menggunakan tali tersebut untuk naik, tetapi juga para pendosa lainnya juga menggunakan tali tersebut. Kandata yang tidak ingin talinya putus jika dinaiki banyak orang, segera mengusir orang-orang yang mengikutinya naik melalui tali yang diberikan oleh sang Budha. Bukannya Kandata bisa lolos dari neraka tetapi yang terjadi adalah tali tersebut putus dan Kandata jatuh kembali ke neraka.

“Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」ditulis oleh Akutagawa Ryunosuke berdasarkan tiga buah cerita yang dibacanya4

. Tiga cerita yang menjadi sumber inspirasinya tersebut adalah:

1. Sebuah dongeng yang terdapat dalam The Brothers Karamazov karya Fyodor Dostoevsky (1821-1881) dari Rusia yang dibaca oleh Akutagawa Ryunosuke pada bulan Oktober 1916 sampai Juli 1917.

4Diunduh dari http://www.edogawa-u.ac.jp/~tmkelly/research_spider.html#rendnote3pada 8 Maret

(16)

2. Ilustrasi yang terdapat dalam Konjaku Monogatari「今昔物語」, yang menceritakan sejarah tentang iblis dan kejahatan dari zaman dahulu hingga zaman sekarang.

3. Sebuah cerita yang berjudul “Jaring Laba-Laba” di dalam Karma.

Jika melihat latar-belakang dari tiga cerita di atas, dapat diketahui bahwa tiga-tiganya memiliki lokasi penciptaan karya, kebudayaan, dan bahkan unsur agama yang berbeda.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana unsur moral dan nilai-nilai religius yang terungkap dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」.

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Bertolak dari rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah mengungkapkan unsur moral dan nilai-nilai religius yang terkandung dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」. Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis memberikan sumbangan pengetahuan khususnya dunia sastra Jepang, yaitu pemahaman unsur gagasan yang berhubungan dengan aspek moral dan religius dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke. Secara praktis

(17)

penelitian ini dapat mempermudah pembaca dalam memahami unsur moral dan nilai-nilai religius dalam cerpen “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke serta memperkaya wawasan pembaca dalam bidang kesusastraan yang dikaji dari segi moral dan religius.

1.4Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, karena objek material penelitiannya berupa bahan pustaka, yaitu sebuah cerita pendek dari Jepang berjudul “Kumo no Ito”

「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke. Adapun objek formal dalam penelitian

ini adalah tentang aspek sosiologi sastra, yaitu unsur moral dan nilai-nilai religius dalam cerita pendek tersebut.Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」dikaji berdasarkan unsur moral dan nilai-nilai religius yang terdapat di dalamnya.

1.5Landasan Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori moral dan religius sebagai teori pokok, yaitu teori yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai religius. 1. Secara umum moral menyarankan pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk

yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Unsur moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan

(18)

hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2012:320-321).

2. Religius bertugas untuk mengatur kehidupan orang sehari-hari agar selalu berada dalam bimbingan Tuhan sang pencipta (Bouman, 1992:80). Nilai-nilai religius dalam karya sastra bermaksud untuk memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Tuhan melalui pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam karya sastra.

Sebagai teori pendukung dalam penelitian ini penulis gunakan teori struktur cerita rekaan. Struktur cerita rekaan terdiri atas dua unsur yang pembangun, yaitu unsur intrinsik (intrinsic) dan unsur ekstrinsik (extrinsic). Unsur intrinsik (intrinsic) dalam sebuah cerita rekaan terbagi atas peristiwa, plot/alur, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang/point of view, dan lain-lain yang semuanya tentu saja juga bersifat imajiner (Nurgiyantoro, 1994:4). Uraian lebih rinci tentang teori moral, religius, dan teori struktural cerita rekaan (termasuk cerpen) akan penulis paparkan pada bab tersendiri, yaitu bab 2, subbab landasan teori.

1.6Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sosiologi sastra, yakni sosiologi teks karya sastra. Sebab, aspek yang diteliti adalah masalah sosial dalam teks, yaitu aspek moral dan religius. Oleh sebab itu, untuk menganalisis aspek moral dan religius penulis gunakan juga teori moral dan teori religius dalam karya sastra. Teori moral adalah suatu teori yang mencerminkan pandangan hidup pengarang yang

(19)

bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2012:321).Teori moral adalah suatu teori yang menggambarkan karya sastra sebagai struktur yang kompleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagamaan (Subijantoro, 1989:123). Selain itu, sebagai metode penunjang penulis gunakan metode struktural. Metode struktural adalah metode penelitian sastra yang bertindak pada prinsip stukturalisme bahwa karya sastra dipandang sebagai peristiwa kesenian (seni bahasa) yang terdiri dari sebuah struktur (Wellek, 1983:159).Tujuan dari metode struktural adalah untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur-unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1991:135).Penggunaan metode-metode ini dimaksudkan sebagai langkah awal sebelum sampai pada pembahasan yang lebih rinci dan terstruktur.

1.7Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan. Bab ini memberikan gambaran secara umum tentang penelitian, bab ini terdiri dari tujuh (7) subbab yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 Tinjauan Pustaka. Bab ini terdiri atas dua (2) subbab, yaitu penelitian sebelumnya dan landasan teori.

(20)

Bab 3 Pembahasan. Bab ini memaparkan tentang pembahasan penelitian yang penulis lakukan, yaitu analisis tentang unsur moral dan nilai-nilai religius dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」.

Bab 4 Penutup. Bab ini terdiri dari dua (2) subbab yaitu simpulan dan saran, yang diikuti oleh daftar pustaka.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang memuat paparan mengenai penelitian-penelitian sebelumnya dan penjelasan komprehensif mengenai landasan teori, yang relevan digunakan dalam penelitian ini. Terdapat dua (2) penelitian terdahulu yang dijadikan referensi, yaitu penelitian Muhammad Pujiono (2006), dan penelitian Bambang Wibawarta (2004).Terdapat persamaan landasan teori dalam kedua penelitian tersebut yang meliputi teori tentang unsur-unsur moral dan nilai-nilai religius, khususnya yang membahas tentang nilai-nilai moral dan nilai-nilai religius dalam sebuah karya sastra.

2.1 Penelitian-penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian lain terhadap cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke dan aspek moral atau aspek religius yang pernah dilakukan peneliti lain dapat penulis temukan sejumlah dua judul. Dua penelitian tersebut yang pertama adalah penelitian Muhammad Pujiono yang dimuat dalam kumpulan skripsi Universitas Sumatera Utara, yang menunjukkan bahwa dalam kumpulan cerpen karya Miyazawa Kenji mempunyai nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya. Yang kedua adalah penelitian Bambang Wibawarta yang mendeskripsikan moral tentang kehidupan manusia yang terdapat dalam cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke.

Penelitian Muhammad Pujiono yang dimuat dalam kumpulan skripsi Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa dalam kumpulan cerpen karya

(22)

Miyazawa Kenji mempunyai nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai religius tersebut adalah hubungan makhluk hidup dengan Tuhan, dijelaskan dalam penelitian Muhammad Pujiono, bahwa rasa syukur makhluk hidup terhadap Tuhan melalui doa, dimana makhluk hidup dengan ciptaan-Nya sangatlah erat hubungannya. Makhluk hidup mempunyai rasa sadar bahwa yang ada di alam raya ini ada yang menciptakannya. Hal ini tergambar dalam cerpen “Laba-laba, Lintah, dan Cerpelai” karya Miyazawa Kenji. Hubungan makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya, bentuk hubungan dengan sesama makhluk sesuai dengan nilai-nilai religius adalah saling menyayangi, saling menolong, dan menyuruh berbuat baik. Hal ini dapat dilihat dalam “Otsuberu dan Gajah Putih”, “Laba-laba, Lintah, dan Cerpelai”, dan “Matasaburo si Angin” karya Miyazawa Kenji. Hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya, mencintai lingkungan tempat menjalankan kehidupan yang dikaruniakan oleh Tuhan adalah salah satu bentuk nilai religius. Mencintai lingkungan berarti harus menjaga, merawat, dan jangan sampai mengotori. Kalau sungai tercemar dapat merugikan masyarakat luas, bahkan bisa berdampak pada kematian, ini dapat dilihat pada cerpen “Matasaburo si Angin” karya Miyazawa Kenji.

Pada dasarnya nilai religius dalam karya sastra bukan bermaksud menambah pemeluk agama, melainkan untuk memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Tuhan melalui pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam karya sastra. Tugas sebuah karya sastra bukanlah memberikan jawaban, tetapi memberikan

(23)

pernyataan sehingga pembaca karya itu mampu menemukan jawaban sendiri (Saridjo dalam Jassin, 1984:40).

Penelitian Bambang Wibawarta mendeskripsikan moral tentang kehidupan manusia yang terdapat dalam cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke. Menurut Bambang Wibawarta “Rashomon” menampilkan masalah egoisme dengan sangat menarik: betapa niat seseorang untuk hidup bermartabat dengan cepat berubah menjadi hidup bejat. Hal ini dialami oleh Genin, tokoh dalam “Rashomon” ini pada awalnya digambarkan sebagai orang yang terombang-ambing dan tidak peduli dengan keadaan sekitar. Setelah dipecat oleh majikannya ia tidak tahu harus berbuat apa dan terbesit di hatinya untuk menjadi pencuri, meskipun awalnya ia tidak memiliki keberanian.

Penelitian Bambang Wibawarta mendeskripsikan moral tentang kehidupan manusia yang terdapat dalam cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke. Menurut Bambang Wibawarta “Rashomon” menampilkan masalah egoisme dengan sangat menarik: betapa niat seseorang untuk hidup bermartabat dengan cepat berubah menjadi hidup bejat. Hal ini dialami oleh Genin, tokoh dalam “Rashomon” ini pada awalnya digambarkan sebagai orang yang terombang-ambing dan tidak peduli dengan keadaan sekitar. Setelah dipecat oleh majikannya ia tidak tahu harus berbuat apa dan terbesit di hatinya untuk menjadi pencuri, meskipun awalnya ia tidak memiliki keberanian.

(24)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Unsur Intrinsik Cerpen

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur-Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra, termasuk cerpen. Unsur intrinsik cerpen terdiri atas tema, alur, penokohan, latar atau setting, dan sudut pandang.

2.2.1.1Tema

Tema menurut Stanton melalui (Nurgiyantoro 2012:67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Untuk menemukan tema sebuah karya sastra haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya (Nurgiyantoro, 2012:68).

2.2.1.2Alur dan Pengaluran

Sudjiman (melalui Pujiono, 2006:10) mengatakan bahwa alur adalah struktur naratif bagi seluruh cerita dan harus dapat menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan

(25)

gagasan hingga menjadi satu kesatuan cerita yang utuh di dalam pengesahan cerita. Pengaluran dalam suatu cerita adalah pengaluran urutan penampilan peristiwa untuk memenuhi berbagai tuntutan sehingga peristiwa itu dapat tersusun dalam hubungan sebab akibat (Sudjirman dalam Pujiono, 2006:10).

Pengaluran adalah teknik menyusun alur. Pengaluran terdiri atas pengaluran mundur (flashback), pengaluran maju (kronologis), dan pengaluran gabungan antara pengaluran maju dan mundur (Sumardjo dan Saini melalui Pujiono, 2006:11).

2.2.1.3 Tokoh dan Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones melalui Nurgiyantoro, 2012:165). Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams melalui Nurgiyanotoro, 2012:165).

Pelukisan watak tokoh dalam cerita dapat digambarkan melalui ucapan-ucapannya, gambaran fisiknya, keterangan langsung yang ditulis oleh pengarang dan melalui perbuatannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam menghadapi situasi krisis5.

5

Sumardjo dan Saini dalam Pujiono, Muhammad. 2006. Analisis Nilai-Nilai Religius dalam Cerita

(26)

2.2.1.4 Latar atau Setting

Latar atau setting disebut juga landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams melalui Nurgiyantoro, 2012:216). Berdasarkan wujudnya ada latar fisik dan latar sosial. Latar fisik dapat berupa latar tempat dan latar waktu. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas .Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Adapun Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Misalnya, tradisi, adat-istiadat, norma masyarakat, agama, hukum, dan sebagainya.

2.2.1.5 Sudut Pandang

Sudut pandang adalah hubungan yang ada diantara pengarang dengan fiktif rekaannya, atau pengarang dengan pikiran dan perasaan para tokoh. Sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan (Tarigan melalui Pujiono, 2006:13). Ia merupakan cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita

(27)

dalam sebuah karya sastra kepada pembaca (Abrams melalui Nurgiyantoro, 2012:248).

Nurgiyantoro membedakan sudut pandang ke dalam tiga bentuk, yaitu (a) sudut pandang persona. “aku” terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai pencerita;(b) sudut pandang persona ketiga; dan(c) sudut pandang campuran antara persona pertama dengan ketiga (2012:256).

2.3 Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan (Nurgiyantoro, 2012:23-34).

Wellek & Warren (melalui Nurgiyantoro, 2012:24) mengatakan bahwa seperti halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri atas sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya.

(28)

Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya.

2.4 Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra6

2.4.1 Pengertian dan Hakikat Moral

Moral dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya sastra merupakan unsur isi. Ia merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat media cerita. Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1994).

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu

6

Untuk menjelaskan Unsur Moral dalam Karya Sastra, penulis menggunakan buku Burhan Nurgiyantoro. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 320-324 dan hal. 335-341.

(29)

yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca (Kenny, 1966: 89).

2.4.2 Jenis dan Wujud Pesan Moral

Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah, yang boleh dikatakan, bersifat tidak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam tiga persoalan, yaitu hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alamm, dan hubungan manusia dengan Tuhannya.

Sebuah karya sastra tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral itu salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus, masing-masing dengan wujud detil khususnya. Namun, sama halnya dengan adanya beberapa tema dalam sebuah karya sastra yang terdiri dari tema utama (mayor) dan tema-tema tambahan (minor), pesan moral pun dapat digolongkan ke dalam yang utama dan yang sampingan itu. Persoalan yang dihadapi pembaca kemudian adalah: mampukah ia menemukan dan mengenali pesan-pesan moral itu, dan kalau mungkin mengambil hikmahnya.

Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat intensitasnya. Hal itu tentu saja tidak lepas dari kaitannya dengan persoalan hubungan antarsesama dan dengan Tuhan. Ia dapat berhubungan dengan masalah-masalah seperti eksistensi diri, harga diri, rasa percaya diri, takut, maut, rindu,

(30)

dendam, kesepian, keterombang-ambingan antara beberapa pilihan, dan lain-lain yang lebih bersifat melibat ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu.

Pesan moral apakah yang ingin disampaikan kepada pembaca sehingga pembaca dapat menafsirkan secara berbeda, misalnya berupa mempertanyakan diri tentang mengapa kita merasa takut secara berlebihan yang justru merugikan diri sendiri, atau harus berusaha mengalahkan rasa takut pada diri sendiri misalnya, dengan memupuk rasa percaya diri.

2.4.3 Bentuk Penyampaian Pesan Moral

Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya sastra mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung. Namun, sebenarnya pemilihan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan yang bersifat agak langsung. Dalam sebuah novel sendiri mungkin sekali ditemukan adanya pesan yang benar-benar tersembunyi sehingga tak banyak orang yang dapat merasakannya, namun mungkin pula ada yang agak langsung dan seperti ditonjolkan.

2.4.3.1Bentuk Penyampaian Langsung

Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expository. Jika dalam teknik uraian pengarang langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh-tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampaian

(31)

pesan moral. Artinya, moral yang ingin disampaikan, atau diajarkan, kepada pembaca itu dilakukan secara langsung dan eksplisit. Pengarang, dalam hal ini, tampak bersifat menggurui pembaca.

Dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca, teknik penyampaian langsung tersebut komunikatif. Artinya, pembaca memang secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan. Pembaca tidak usah sulit-sulit menafsirkan sendiri dengan jaminan belum tentu pas. Gambar berikut mengandaikan pesan yang ingin disampaikan itu kurang ada hubungannya dengan cerita, ia lebih merupakan sesuatu yang diomprengkan pada cerita.

2.4.3.2Bentuk Penyampaian Tidak Langsung

Jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya, bentuk penyampaian pesan moral di sini bersifat tidak langsung. Pesan ini hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta-merta dan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita. Karya yang berbentuk cerita bagaimanapun hadir kepada pembaca pertama-tama haruslah sebagai cerita, sebagai sarana hiburan untuk memperoleh berbagai kenikmatan.

(32)

Kalaupun ada yang ingin dipesankandan yang sebenarnya justru hal inilah yang mendorong ditulisnya cerita itu. Hal itu hanyalah lewat siratan saja dan terserah kepada penafsiran pembaca. Bukankah cara penyampaian yang demikian justru memaksa pembaca untuk merenungkannya, menghayatinya secara lebih intensif.

Jika dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini sejalan dengan teknik ragaan, showing. Yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa, konflik sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut, messages, pesan moral disalurkan. Sebaliknya, dilihat dari pembaca, jika ingin memahami dan atau menafsirkan pesan itu, haruslah ia melakukannya berdasarkan cerita, sikap dan tingkah laku para tokoh tersebut.

Dilihat dari kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan dan pandangannya itu, cara ini mungkin kurang komunikatif. Artinya, pembaca belum tentu dapat menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang, paling tidak kemungkinan terjadinya kesalahan tafsir berpeluang besar. Namun, hal yang demikian adalah amat wajar, bahkan merupakan hal yang esensial dalam karya sastra yang salah satu sifat khasnya adalah berusaha mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Berangkat dari sifat esensi inilah sastra tampil dengan kompleksitas makna yang dikandungnya. Hal itu justru dapat dipandang sebagai kelebihan karya sastra, kelebihan dalam hal banyaknya kemungkinan penafsiran, dari orang seorang, dari

(33)

waktu ke waktu. Hal ini pulalah yang menyebabkan karya sastra sering tidak ketinggalan, sanggup melewati batas waktu dan kebangsaan.

Kalau orang membaca Hamlet karya Shakespeare misalnya, sebuah karya yang ditulis sekian abad yang lalu, orang tetap merasakan adanya kebaruannya. Selain itu, mungkin pula ia akan menemukan tafsiran yang berbeda dengan penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya, termasuk dalam hal penafsiran unsur pesan. Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat.

2.5 Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra 2.5.1 Nilai-Nilai Religius

Religius bertugas untuk mengatur kehidupan orang sehari-hari agar selalu berada dalam bimbingan Tuhan sang pencipta (Bouman, 1992:80). Istilah religius membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan. Namun, sebenarnya

(34)

keduanya menyaran pada makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain, melihat aspek yang dilubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi (Mangunwijaya melalui Nurgiyantoro, 2012:326-327).

Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya, idealnya sekaligus religius, namun tidak demikian kenyataannya. Banyak penganut agama tertentu, misalnya seperti yang terlihat dalam KTP, namun sikap dan tingkah lakunya tidak religius.

Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia (Nurgiyantoro, 2012:327).Sosiolog memandang agama sebagai alat wadah alamiah yang mengatur pernyataan iman di forum terbuka atau dalam sistem sosial masyarakat dan manifestasinya dapat disaksikan dalam bentuk khotbah-khotbah, doa-doa, dan sebagainya (Hendropuspito, 1985:45).

Agama lebih menitikberatkan pada kelembagaan yang mengatur tata cara penyembuhan manusia kepada penciptaannya dan mengarah pada aspek kuantitas, sedangkan religius lebih menekankan pada kualitas manusia beragama. Agama dan religiusitas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi, karena

(35)

keduanya merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu kehidupan pribadi dan kebersamaannya di tengah masyarakat (Mangunwijaya melalui Pujiono, 2006:15).

Suatu kritik, religiusitas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang beragama menjadi semakin intens. Semakin orang religius, hidup orang itu semakin nyata atau semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri (Moeljanto dan Sunardi melalui Pujiono, 2006:15). Bagi orang yang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Inilah yang disebut religiusitas sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada dalam lubuk hati dan sebagai getaran murni pribadi (Mangunwijaya melalui Pujiono, 2006:15-16).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas mempunyai peranan penting bagi kehidupan, sama halnya dengan ajaran agama, bahkan religiusitas lebih dari sekedar memeluk agama tertentu, melainkan mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi antara manusia dengan penciptanya dan dengan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari.

2.5.2 Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra

Kehadiran nilai religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya melalui Nurgiyantoro, 2012:326).Unsur agama dan sastra bertemu dalam pemikiran pengarang ketika mereka memperhatikan

(36)

eksistensinya. Eksistensi itu bergerak menuju upaya penyucian diri dengan sendirinya. Dengan begitu, agama dan sastra bergabung dalam sikap pengarang ketika ia berusaha menyaksikan hal-hal duniawi sambil berorientasi ke unsur yang kekal (Takeda melalui Budiman, 2006:2).

Karya sastra sebagai struktur yang kompleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagamaan layak kita gali lebih dalam untuk diambil manfaatnya. Kehadiran sastra keagamaan di tengah-tengah masyarakat pasti mempunyai latar belakang tersendiri. Sebelum digali lebih dalam, terlebih dahulu harus diketahui kriteria-kriteria religius dalam sastra. Secara garis besar kriteria-kriteria religius dalam karya sastra berisi: (1) penyerahan diri, tunduk dan taat kepada Tuhan Y.M.E; (2) kehidupan yang penuh kemuliaan; (3) perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan; (4) perasaan batin yang ada hubungannya dengan rasa berdoa; (5) perasaan batin yang ada hubungannya dengan rasa takut; dan (6) pengakuan akan kebesaran Tuhan (Atmosuwito, 1989:123-124).

Selain itu, ada juga kriteria sastra sebagaimana yang diungkapkan oleh Saridjo melalui Jassin, yaitu (1) karya sastra melukiskan konflik keagamaan;(2) karya sastra yang menitikberatkan pada hal-hal keagamaan sebagai pemecah sosial (1984:40).

(37)

BAB 3

NILAI-NILAI MORAL DAN RELIGIUS DALAM CERPEN “KUMO NO ITO”

「 「「

「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」」KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE

3.1Unsur Intrinsik Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」蜘蛛の糸」」

Suatu karya sastra, tak terkecuali cerpen memiliki dua unsur yang membangun di dalamnya yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」yang akan dibahas adalah tema, alur, penokohan, latar atau setting, dan sudut pandang.

3.1.1 Tema Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」

Setelah membaca keseluruhan cerita “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」, dapat disimpulkan sebuah tema yaitu balasan yang diterima oleh manusia berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukannya. Perbuatan baik akan mendapat balasan yang baik dan perbuatan yang buruk akan mendapat balasan yang buruk di Neraka.

3.1.2 Alur Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」

Alur yang terdapat dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」adalah alur maju dan mundur. Alur maju karena cerita berjalan sesuai urutan penampilan peristiwa, dan alur mundur karena terdapat peristiwa yang terjadi di masa lampau. Hal itu dibuktikan pada:

と申しますのは、ある時この男が深い林の中を通りますと、小さな蜘

(38)

さっそく足をあげて、踏み殺そうといたしましたが、「いや、いや、 これも小さいながら、命のあるものに違いない。その命をむやみにと るという事は、いくらなんでもかわいそうだ。」と、こう急に思い返 して、とうとうその蜘蛛を殺さずに助けてやったからでございます。

Tomoushimasunoha, aru toki kono otoko ga fukai mori no naka wo tourimasuto, chiisana kumo ga ippiki, michibata wo hatte iku no ga miemashita. Soko de Kandata ha sassoku ashi wo agete, fumi korosouto itashimashitaga, “iya, iya, kore mo chiisai nagara, inochi no aru mono ni chigainai. Sono inochi wo muyami ni toruto iu koto ha, ikura nandemo kawaisouda.”to, kou kyuu ni omoi kaeshite, toutou sono kumo wo korosazuni tasuketeyatta kara de gozaimasu.

Ketika itu, pemuda ini sedang melintasi hutan yang lebat dan melihat seekor laba-laba kecil yang sedang merayap di tepi jalan. Di situ, Kandata segera mengangkat kakinya dan berniat menginjak laba-laba itu hingga mati, tetapi tiba-tiba Kandata berpikir, “Tidak. Tidak. Meski sekecil ini laba-laba tentunya juga punya nyawa. Sangat kasihan kalau nyawanya lepas begitu saja.”Akhirnya Kandata malahan menolong laba-laba itu dengan tidak membunuhnya.

Kejadian di atas merupakan kejadian yang terjadi di masa lampau, yaitu kejadian dimana Kandata masih hidup dan belum masuk neraka.

3.1.3 Tokoh dan Penokohan Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」 3.1.3.1Kandata

Kandata dan Sang Budha adalah tokoh utama dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」karena ia terlibat dengan tema, paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, dan paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

(39)

Kandata menjadi tokoh antagonis dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」karena memiliki sifat yang jahat seperti suka membunuh, membakar rumah orang, dan melakukan berbagai tindakan jahat lainnya, dibuktikan pada:

この 陀多と言う男は、人を殺したり家に火をつけたり、いろいろ

悪事を働いた大泥坊でございますが、。。。。。

Kono Kandata to iu otoko ha, hito wo koroshitari, ie ni hi wo tsuketari, iroiro akuji wo hataraita daidorobou de gozaimasuga,...

Pemuda bernama Kandata ini adalah seorang maling besar yang pernah membunuh orang, membakar rumah, dan melakukan berbagai tindak kejahatan lainnya...

Selain mempunyai sifat jahat seperti di atas, Kandata juga mempunyai sifat ingin menang sendiri dan tidak ingin berbagi terhadap sesama manusia, dibuktikan pada:

今の中にどうかしなければ、糸はまん中から二つに断れて、落ちてし

まうのに違いありません。そこで 陀多は大きな声を出して、

「こら、罪人ども。この蜘蛛の糸は己のものだぞ。お前たちは一体誰 に尋いて、のぼって来た。下りろ。下りろ。」と喚きました。

Ima no naka ni doukashinakereba, kumo ha mannaka kara futatsu ni kotowarete, ochite shimaunoni chigaiarimasen. Sokode Kandata ha ookina koe wo dashite, “kora, zainin domo. Kono kumo no ito ha ore no mono dazo.Omaetachi ha ittai dare ni saite, nobotte kita. Oriro.Oriro.”To wamekimashita.

Jika ia tidak segera berbuat sesuatu, benang ini niscaya akan putus di tengah, menjadi dua, dan ia pun pasti akan ikut jatuh. Kandata seketika itu lalu berteriak nyaring, “Hei, para pesakitan! Benang laba-laba ini milikku! Sapa yang mengizinkan kalian memanjatnya? Turun! Ayo, turun!”.

(40)

Namun demikian, dia mempunyai sifat baik yaitu peduli terhadap makhluk hidup yang terdapat pada:

と申しますのは、ある時この男が深い林の中を通りますと、小さな蜘 蛛が一匹、路ばたをはって行くのが見えました。そこで 陀多は さっそく足をあげて、踏み殺そうといたしましたが、「いや、いや、 これも小さいながら、命のあるものに違いない。その命をむやみにと るという事は、いくらなんでもかわいそうだ。」と、こう急に思い返 して、とうとうその蜘蛛を殺さずに助けてやったからでございます。

Tomoushimasunoha, aru toki kono otoko ga fukai mori no naka wo tourimasuto, chiisana kumo ga ippiki, michibata wo hatte iku no ga miemashita. Soko de Kandata ha sassoku ashi wo agete, fumi korosouto itashimashitaga, “iya, iya, kore mo chiisai nagara, inochi no aru mono ni chigainai. Sono inochi wo muyami ni toruto iu koto ha, ikura nandemo kawaisouda.”to, kou kyuu ni omoi kaeshite, toutou sono kumo wo korosazuni tasuketeyatta kara de gozaimasu.

Ketika itu, pemuda ini sedang melintasi hutan yang lebat dan melihat seekor laba-laba kecil yang sedang merayap di tepi jalan. Di situ, Kandata segera mengangkat kakinya dan berniat menginjak laba-laba itu hingga mati, tetapi tiba-tiba Kandata berpikir, “Tidak. Tidak. Meski sekecil ini laba-laba tentunya juga punya nyawa. Sangat kasihan kalau nyawanya lepas begitu saja.”Akhirnya Kandata malahan menolong laba-laba itu dengan tidak membunuhnya.

3.1.3.2Sang Budha

Sang Budha merupakan sang pencipta yang tinggal di surga. Sang Budha digambarkan sebagai sang pencipta yang murah hati dan suka menolong. Sang Budha memiliki sifat tulus karena ia tidak perduli orang yang ditolongnya tersebut memiliki sifat baik ataupun buruk, asalkan orang itu pernah melakukan perbuatan baik walaupun hanya sekali, yang terdapat pada:

(41)

お釈迦様は地獄のようすをご覧になりながら、この 陀多には 蜘蛛を助けた事があるのをお思い出しになりました。そうしてそれだ けのよい事をした報には、できるなら、この男を地獄から救い出して やろうとお考えになりました。

Oshakasama ha jigoku no yousu wo goran ni narinagara, kono Kandata ni ha kumo wo tasuketa koto ga aru no wo oomoidashi ni narimashita. Soushite sore dake no yoi koto wo shita mukui ni ha, dekirunara, kono otoko wo jigoku kara sukui dashite yarouto okangae ni narimashita.

Sambil mengamati keadaan neraka, sang Budha teringat bahwa Kandata pernah menolong seekor laba-laba. Sebagai imbalan dari perbuatan baik yang pernah dilakukannya, sang Budha berpikir, kalau bisa ia akan menyelamatkan Kandata keluar dari neraka.

Sedangkan para pesakitan dan seekor laba-laba Surga adalah tokoh tambahan atau Perifental dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」karena dimunculkan hanya di bagian awal dan akhir cerita. Para pesakitan adalah sebutan bagi para penghuni neraka yang tidak terhitung jumlahnya. Mereka berperan sebagai tokoh tambahan dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」karena hanya dimunculkan pada bagian akhir cerita. Selain itu, seekor laba-laba Surga juga berperan sebagai tokoh tambahan dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」karena laba-laba itu penghasil benang keperakan yang indah di atas daun teratai berwarna hijau yang laksana batu giok. Benang laba-laba Surga itu yang digunakan oleh Kandata (tokoh utama) dan para pesakitan untuk bergelayutan naik agar keluar dari Neraka.

(42)

3.1.4 Latar atau Setting

Latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」adalah sebagai berikut :

3.1.4.1Tepi Kolam Teratai di Surga

ある日の事でございます。御釈迦様は極楽の蓮池のふちを、独りでぶ らぶら御歩きになっていらっしゃいました。

Aru hi no koto de gozaimasu.Oshaka sama ha gokuraku no hasuike no uchi wo hitori de burabura aruki ni natte irasshaimashita.

Pada suatu hari, sang Buddha tengah berjalan-jalan tanpa tujuan, sendirian di tepi kolam teratai di Surga.

3.1.4.2Hutan lebat

と申しますのは、ある時この男が深い林の中を通りますと、小さな蜘 蛛が一匹、路ばたをはって行くのが見えました。

Tomoushimasunoha, aru toki kono otoko ga fukai mori no naka wo tourimasuto, chiisana kumo ga ippiki, michibata wo hatte iku no ga miemashita.

Ketika itu, pemuda ini sedang melintasi hutan yang lebat dan melihat seekor laba-laba kecil yang sedang merayap di tepi jalan.

(43)

3.1.4.3Chi no Ike7「「血の池「「血の池血の池血の池」」」

Chi no Ike「血の池」berada di dasar Neraka. Disana banyak dijumpai para pendosa

yang sedang disiksa hingga berdarah-darah dan menjerit-jerit kesakitan. Latar Chi no Ike「血の池」tersebut terdapat pada kalimat berikut:

こちらは地獄の底の血の池で、ほかの罪人と一しょに、浮いたり沈ん だりしていたでございます。

Kochira ha jigoku no soko no chi no ike de, hoka no zaiin to ishoni, uitari shizundarishiteita de gozaimasu.

Ini adalah Chi no Ike「血の池」di dasar Neraka, tempat timbul-tenggelamnya Kandata bersama para pendosa lain.

3.1.4.4Dasar Neraka, Terdapat Sanzu No Kawa「「「三途「三途三途三途の河の河の河の河」」」」dan Hari No Yama「「「「針の山針の山針の山」針の山」

この極楽の蓮池の下は、丁度地獄の底に当って居りますから、水晶の ような水を透き徹して、三途の河や針の山の景色が、丁度覗き眼鏡を 見るように、はっきりと見えるのでございます。

Kono gokuraku no hasuike no shita ha, choudo jigoku no soko ni atatte orimasukara, suishou no youna mizu wo sukitoushite, sanzu no kawa ya hari no yama no keshiki ga, choudo nozoki megane wo miruyouni, hakkiri to mieru no de gozaimasu.

Karena tepat di bawah kolam teratai di Surga ini terdapat dasar Neraka, pemandangan Sanzu no Kawa8「三途の河」dan Hari No

7

Chi No Ike「血の池」yang berarti kolam darah adalah tempat penyiksaan bagi penghuni Neraka.

8

Sanzu No Kawa「三途の河」yang berarti sungai tiga aliran adalah sungai yang

(44)

Yama9「針の山」dapat terlihat jelas seperti melihat melalui teropong, bening bagaikan keristal.

3.1.5 Sudut pandang

Sudut pandang yang dipakai dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」menggunakan sudut pandang orang ketiga, karena pengarang tidak terlibat langsung ke dalam cerita di dalamnya.

3.2 Unsur Ekstrinsik “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」蜘蛛の糸」」

Unsur ekstrinsik yang menjadi bagian dari “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」 adalah biografi dan kehidupan Akutagawa Ryunosuke serta latar belakang dari cerpen “Kumo no Ito 「蜘蛛の糸」.

3.2.1 Akutagawa Ryunosuke10

Akutagawa Ryunosuke adalah seorang penulis Jepang era Taisho (1912-1926) yang meraih pembaca di luar Jepang sangat banyak. Karya-karyanya, sebagaimana karya-karya Natsume Soseki dan Mori Ogai, banyak mengilhami para sastrawan Jepang modern. Hingga akhir hayatnya ia menulis lebih dari seratus cerita pendek.

9

Hari No Yama「針の山」yang berarti Bukit Jarum adalah bukit tempat penyiksaan bagi penghuni Neraka.

10

Wibawarta, Bambang. 2004. Akutagawa Ryunosuke : Terjemahan danPembahasan. Jakarta: Kalang. Hal: 2-10

(45)

Akutagawa lahir dengan nama Ryunosuke di Irifunecho, Tokyo pada 1 Maret 1892 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Irifunecho merupakan daerah tempat tinggal orang asing. Ketika itu hanya ada tiga rumah orang Jepang di sana, termasuk keluarga Ryunosuke. Kakak perempuan sulungnya yang bernama Hatsuko meninggal pada usia tujuh tepat setahun sebelum Ryunosuke lahir karena radang selaput otak. Oleh karena itu ketika Ryunosuke lahir ia hanya memiliki satu saudara perempuan bernama Hisako.

Karena lahir pada tahun dan jam Naga (sekitar jam delapan pagi),ia diberi nama Ryunosuke. Ryu dalam bahasa Jepang berarti naga.Ibunya bernama Fuku, dan ayahnya bernama Niihara Toshizo.Niihara Toshizo adalah seorang pengusaha peternakan sapi perah di Irifunecho dan daerah Shinjuku. Sekitar Sembilan bulan setelah Akutagawa lahir ibunya menjadi gila hingga kematiannya pada 1902.

Ketika Ryunosuke lahir ayahnya berusia 42 tahun dan ibunya 33 tahun, usia-usia sial menurut keercayaan Jepang. Untuk menghindari kemalangan yang akan menimpa, seharusnya Ryunosuke dibuang. Karena itulah kemudian diputuskan Ryunosuke seolah-olah dibuang dengan dipelihara oleh teman lama ayahnya bernama Matsumura Senjiro. Ibunya yang menjadi sakit jiwa juga dianggap sebagai bagian dari kesialan tersebut.

Ryunosuke kemudian diadopsi oleh kakak ibunya yang bernama Akutagawa Michiaki. Bibinya ini merawatnya dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya seperti anak sendiri. Kakak perempuan ibunya yang tidak menikah bernama Fuki tinggal bersama mereka. Fuki juga sangat menyayangi Ryunosuke. Secara resmi

(46)

Ryunosuke menggunakan nama Akutagawa dua tahun setelah ibunya meninggal, yakni ketika berusia dua belas tahun.

Sejak kecil Akutagawa Ryunosuke banyak melahap karya-karya klasik Jepang dan Cina.Minatnya terhadap kesusatraan memang sudah tampak sejak ia duduk di sekolah dasar. Ia juga menyukai para penulis pertengahan zaman Meiji, seperti Ozaki Koyo dan Koda Rohan, dan akrab dengan karya-karya para sastrawan besar seperti Natsume Soseki dan Mori Ogai. Ia mengenal pula karya-karya para penulis Eropa seperti Maupassant, Balzac, Tolstoy, Anatole France, dan Dostoyevski sejak duduk di bangku sekolah menengah umum (SMU). Di bangku SMU ini pula ia sudah membaca buku-buku Eukendan Spinoza. Kebiasaannya yang lain adalah melihat pameran dan menghadiri diskusi sastra bersama teman sekolahnya bernama Tsuneto Kyo, serta membaca buku di perpustakaan umum atau perpustakaan keliling.

Pada 1913 ia masuk Jurusan Sastra Inggris Universitas Tokyo. Bersama Kume Masao dan Kikuchi Kan, ia menghidupkan kembali majalah sastra universitas “Shinshicho”「新思著」(Aliran Pemikiran Baru), yang sudah mati dan mulai menerbitkan karyanya di majalah tersebut. Ia memulai debutnya dengan menerjemahkan karya France, “Balthasar”. Karya aslinya yang pertama yang muncul di “Shinshicho”「新思著」berjudul “Ronen”「炉年」(1914). Setahun kemudian yaitu tahun 1915, ia meluncurkan “Rashomon” 「羅生門」, salah satu cerpennya

yang terbaik dan menjadi judul kumpulan cerpennya yang pertama. Tahun 1916 tercatat sebagai tahun kesuksesannya, yakni ketika cerpennya yang berjudul

(47)

“Hana”「鼻」dipuji oleh Natsume Soseki. Beliau adalah empu sastra waktu itu, dan majalah sastra mulai melirik penulis muda ini.

Lulus dari universitas pada tahun 1916 Akutagawa kemudian mengajar bahasa Inggris di sekolah teknik kelautan di Yokosuka. Tahun 1919 ia berhenti sebagai pengajar karena ingin mencurahkan perhatian sepenuhnya pada dunia tulis menulis. Setelah berhenti mengajar, ia mengantungi kontrak yang aman untuk menulis fiksi di surat kabar “Osaka Mainichi”「大阪毎日」. Pada Maret 1921 Akutagawa dikirim ke

Cina selama empat bulan oleh “Osaka Mainichi”「大阪毎日」, dan kesehatannya

mulai memburuk sewaktu berada di Shanghai. Pada masa inilah ia menulis karya-karya seperti “Jigokuhen”「地獄変」 dan “Hokyonin no Shi”「奉教人の死」.

Sejak pulang dari Cina kesehatannya terus merosot. Dalam surat yang ditulis kepada salah seorang temannya pada akhir tahun 1922, ia mengeluh bahwa dirinya sedang menderita kelelahan syaraf, kejang-kejang perut, sakit kantung kemih, dan punya masalah jantung. Surat ini juga mendaftar berbagai penyakit ringan yang diderita oleh istrinya, kedua anaknya, dan orang tua asuhnya. Karya-karya yang ditulis pada masa ini sangat berbeda dengan karya-karya awalnya. “Torokko”「トロッコ」misalnya, lebih merupakan cerita anak-anak. Banyak yang mengatakan bahwa karya ini mirip dengan “Manazuru”「真鶴」(1920) karya Shiga Naoya. Akutagawa memang mengakui bahwa ia mengagumi sastrawan tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam “Bungeiteki na”「文芸的な」(1927). Dalam

(48)

tulisan ini ia menyatakan sangat mengagumi sentuhan realisme Shiga yang begitu indah. Bagi Akutagawa, Shiga bahkan lebih unggul dibandingkan Tolstoy, karena ia memakai realisme dengan semangat puitis yang diambil dari tradisi ketimuran.

Selanjutnya ketika Akutagawa mencari gaya pengungkapan baru di luar cerpen seiring kesehatan fisik dan mentalnya yang semakin memburuk, popularitasnya menurun. Dalam masa ini ia menulis novel-novel yang didasarkan pada pengalaman pribadinya, atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada, seperti “Kappa”「河童」 (1927) dan “Seiho no Hito”「西方の人」(1927), dan esai

“Bungekiteki na”「文芸的な」, “Amarini Bungekiteki

na”あまりに文芸的な」(1927).

Pada Juli 1927, di usia 35 tahun, Akutagawa agaknya benar-benar sudah tidak kuat lagi menanggung kelelahan mental dan fisik yang dipikulnya sehingga nekat bunuh diri dengan menelan obat tidur secara overdosis11. Foto terakhirnya yang diambil pada Juni 1927 menunjukkan wajahnya yang kurus, mata sayu, dahi berkeriput, dan dengan rokok di mulut yang menunjukkan ekspresi putus asa.

Hidup Akutagawa memang pendek, tapi karya-karyanya dinilai sangat luar biasa, sehingga ia dinobatkan sebagai raja cerpen dalam kesusastraan Jepang modern. Teman lama Akutagawa, Kikuchi Kan, mendirikan Penghargaan Akutagawa (Akutagawasho) pada tahun 1935 untuk mengenang Akutagawa. Sampai sekarang

11

(49)

Akutagawasho menjadi penghargaan kesusastraan paling bergengsi bagi para penulis baru.

Karya-karya Akutagawa dapat digolongkan dalam beberapa kategori, yakni Edo-mono (cerita-cerita yang berlatar belakang masa Edo), Ocho-Edo-mono (cerita-cerita yang berlatar belakang masa Heian), Kirishitan-mono (cerita-cerita yang berkaitan dengan Kristen di Jepang era pramodern, yang semuanya berjumlah sekitar lima belas), dan kaika-mono (cerita-cerita awal periode Meiji).

Periode setelah Akutagawa meninggalkan kedudukannya sebagai guru bahasa Inggris pada akademi kelautan di Yokosuka dan menjadi pegawai Koran Osaka Mainichi dan setahun sebelumnya yaitu tahun 1918, menikahi Tsukamoto Fumiko merupakan periode produktifnya. karya-karya yang turut mendongkrak popularitasnya, seperti “Mikan”「蜜柑」dan “Aki”「秋」, mendorong dia untuk

mengalihkan perhatiannya kepada bahan-bahan modern.

Karya awal Akutagawa berupa sejumlah terjemahan France dan Yetas. Karya seperti “The Old Man” (1994) dan “Youth and Death” (1914) muncul dalam edisi ketiga majalah Shinshicho. Ketika ia mempublikasikan “Hana”「鼻」namanya langsung melejit karena mendapat pujian dari Natsume Soseki.

Akutagawa adalah pengagum Soseki sejak masih menjadi siswa SMU. Pada awal bulan Desember 1915 ia dan temannya, novelis Kume Masao (1891-1952), menghadiri salah satu sesi diskusi regular antara Soseki dan murid-muridnya. Sejak saat itu Akutagawa sering hadir dan ia mengakui bahwa ia begitu terhipnotis oleh

(50)

sosok Soseki. Karena itulah Akutagawa merasa kehilangan dengan meninggalnya Natsumei Soseki pada Desember 1916.

Para kritikus mengatakan adanya kesamaan antara karya-karya Soseki dan Akutagawa, yakni dalam hal mengangkat masalah egoism. Hal ini dapat dilihat pada salah satu karya Akutagawa yang terkenal, “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」.Dalam karya ini dikisahkan tentang seorang penyamun bernama Kandata yang setelah mati masuk neraka karena banyak berbuat kejahatan. Karena Kandata pernah satu kali menyelamatkan hidup seekor laba-laba, sang Budha yang pemaaf memberinya kesempatan lolos dari neraka dengan mengulurkan seutas benang laba-laba. Kandata pun mulai memanjatnya. Begitu melihat para pendosa lainnya mengikutinya, ia berusaha menghentikan mereka karena takut benang tersebut putus. Kandata merasa benang tersebut miliknya. Namun benang itu akhirnya putus dan menghempaskan Kandata dan mereka semua kembali ke neraka.

Para kritikus, baik yang bersimpati maupun yang tidak, mengakui kecerdasan dan kepiawaian Akutagawa dalam mengolah cerita. Ada yang menyatakan bahwa landasan karya-karya Akutagawa adalah kombinasi humor dan kecerdasan tanpa bersikap memihak. Walaupun ada yang mengatakan bahwa analisa Akutagawa terkadang gagal menjangkau hal-hal yang bersifat umum, tetapi umumnya mereka memuji integritas artistic dan gaya bahasa penulis yang khas.

Kritikus lainnya menemukan satu tema utama dalam karya-karya Akutagawa, yakni rasa cemas yang tidak terelakkan tetapi tetap ada secerah harapan di baliknya.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, nilai religius dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra untuk SMA pada kurikulum

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan dan melihat nilai yang lebih dominan yang

Penelitian ini dapat memberikan pemahaman baru dalam pembelajaran sastra, khususnya pada nilai-nilai moral dan religius yang terdapat dalam novel “Ayah” karya Andrea

Jenis atau wujud nilai moral terdapa dalam karya sastra bergantung pada keyakinan,keinginan,dan pesan yang mau disampaikan oleh pengarang yang mau disampaikan oleh

Objek dari penelitian ini adalah nilai pendidikan moral (tinjauan struktural sastra) yang terkandung dalam naskah Suluk Suksmalelana karya Raden Ngabehi

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa Analisis Nilai-Nilai Moral Dalam Novel Bintang Anak Tuhan Karya Kirana Kejora terdapat 60 nilai moral dari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam puisi karya Ahmad yang terdapat dalam antologi puisi Tegalan ‘Jukung Tua’ terdapat nilai religius yang berupa hubungan manusia dengan Tuhan,

Adapun pembahasan hasil penelitian nilai religius akhlak dalam cerpen Juragan Haji karya Helvy Tiana Rosa terdiri dari dua indikator a Terdapat karakter tokoh yang menggambarkan akhlak