• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNSUR MORAL DAN NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM CERPEN “KUMO-NO ITO”「

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UNSUR MORAL DAN NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM CERPEN “KUMO-NO ITO”「"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

UNSUR MORAL DAN NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM

CERPEN “KUMO-NO ITO”「

「蜘蛛の糸

蜘蛛の糸

蜘蛛の糸

蜘蛛の糸」

KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Bahasa dan Sastra Jepang

Oleh :

MONDA MAULIDA MAHADEWI

NIM 13050111150007

PROGRAM STUDI STRATA 1

BAHASA DAN SASTRA JEPANG

(2)

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2013

HALAMAN PERNYATAAN

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi : Unsur Moral Dan Nilai-Nilai Religius Dalam Cerpen “Kumo-No Ito” 「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke

Nama Mahasiswa : Monda Maulida Mahadewi Nomor Induk Mahasiswa : 13050111150007

Program Studi : S1 Bahasa Jepang

Fakultas : Ilmu Budaya

Universitas : Diponegoro

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Redyanto Noor, M.Hum. Budi Mulyadi, S.Pd,M.Hum.

Mengetahui Ketua Program Studi Strata 1 Bahasa dan Sastra Jepang

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Unsur Moral Dan Nilai-Nilai Religius Dalam Cerpen “Kumo-No Ito” 「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke

Nama Mahasiswa : Monda Maulida Mahadewi Nomor Induk Mahasiswa : 13050111150007

Jurusan : S1 Bahasa dan Sastra Jepang

Fakultas : Ilmu Budaya

Universitas : Diponegoro

Diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Skripsi pada tanggal ...……….

Tim Penguji Skripsi

Ketua

……….. ………

Sekretaris

………. ………

Anggota

………. ………

Anggota

(5)
(6)

PRAKATA

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna mencapai gelar Sarjana Humaniora di Universitas Diponegoro. Judul skripsi ini adalah Unsur Moral Dan Nilai-Nilai Religius Dalam Cerpen “Kumo-No Ito” 「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke yang terdiri dari 4 Bab meliputi Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Tinjauan Pustaka, Bab 3 Pembahasan dan Bab 4 Penutup.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada

1. Dr. Redyanto Noor, M. Hum selaku dosen pembimbing I untuk program S1 Sastra Jepang Universitas Diponegoro;

2. Budi Mulyadi, S.Pd, M.Hum selaku dosen pembimbing II program S1 Sastra Jepang Universitas Diponegoro;

3. Nur Hastuti, S.S. M.Hum selaku dosen wali program studi S1 Sastra Jepang Universitas Diponegoro;

4. Seluruh Dosen, staff dan karyawan program studi S1 Sastra Jepang Universitas Diponegoro;

5. Teman-teman seangkatan program studi S1 Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro yang telah bersama-sama saling mendukung. 6. Sri Hartatik selaku kepala bagian CSO BCA KCU Semarang yang telah

(7)

7. Seluruh keluarga besar saya yang selalu memotivasi dan memberi dukungan materi.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kelemahan dan belum sempurna. Untuk itu, koreksi dan masukan dari semua pihak sangat diharapkan untuk perbaikan maupun penambah pengetahuan. Sekali lagi atas perhatian yang diberikan oleh semua pihak, tidak ada yang dapat penulis sampaikan selain ucapan terima-kasih dan satu hal yang pasti, skripsi ini tidak akan pernah terwujud tanpa ridho-Nya, maka sudah seharusnyalah penulis bersyukur, Alhamdulillahi robbil alamin.

Semarang, 18 Desember 2013

(8)

DAFTAR ISI 2.1 Penelitian Sebelumnya ... 10

(9)

2.2.6 Sudut Pandang ... 15

2.3 Unsur Ekstrinsik ... 16

2.4 Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra ... 17

2.4.1 Pengertian dan Hakekat Moral ... 17

2.4.2 Jenis dan Wujud Pesan Moral ... 18

2.5 Bentuk Penyampaian Pesan Moral ... 19

2.5.1 Bentuk Penyampaian Langsung ... 19

2.5.2 Bentuk Penyampaian Tidak Langsung ... 20

2.6 Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra ... 22

2.6.1 Nilai-Nilai Religius ... 22

2.6.2 Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra ... 24

BAB 3 NILAI-NILAI MORAL DAN RELIGIUS DALAM CERPEN “KUMO NO ITO” 「「蜘蛛の糸「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸」蜘蛛の糸」」」KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE 3.1 Unsur Intrinsik Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 26

... 3.1.1 Tema Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」... 26

3.1.2 Alur Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 26

(10)

3.1.5 Sudut Pandang... 33

3.2 Unsur Ekstrinsik “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 33

3.2.1 Akutagawa Ryunosuke... 33

3.2.2 “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 41

3.2.2.1 “The Brother Karamazov” karya Fyodor Dostoevsky (1821-1881) ... 41

3.2.2.2 “Konjaku Monogatari”「今昔物語」 ... 42

3.2.2.3 Sebuah Cerita yang Berjudul “Jaring Laba-Laba” 44 3.3 Pesan Moral yang Terdapat dalam “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 46 3.3.1 Moral Tokoh Utama ... 46

3.3.2 Prinsip Hukum Karma ... 48

3.3.3 Dampak Positif dari Kebaikan ... 49

3.4 Nilai-Nilai Religius yang Terdapat dalam “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 51

3.4.1 Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia ... 51

3.4.2 Hubungan Manusia dengan Sesama Makhluk-Hidup ... 52

3.4.3 Hubungan Manusia dengan Tuhan (Sang Pencipta) ... 53

BAB 4 PENUTUP 4.1 Simpulan ... 54

4.1.1 Unsur Moral Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 ... 54

4.1.2 Nilai-Nilai Religius Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 55 4.2 Saran ... 55

(11)

ABSTRACT

(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sastra adalah bentuk dan hasil karya seni kreatif yang berobjek manusia dan kehidupannya. Sastra sebagai karya seni kreatif menggunakan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan ide atau pemikiran tentang persoalan kehidupan manusia.Sebagai karya kreatif, sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia. Sastra menghadirkan gambaran kehidupan manusia. Dalam pengertian ini, kehidupan manusia mencakup hubungan antara masyarakat, individu, dan peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Gonda melalui Teeuw, 1984:23). Sastra menghadirkan gambaran kehidupan manusia.

(13)

Karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk. Ada pesan yang sangat jelas disampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga dapat dipakai sebagai media untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya. Dalam pengertian ini karya sastra dapat diibaratkan sebagai “potret” atau “sketsa” kehidupan(Budianta, 2002:19-20).

Salah satu genre karya sastra adalah cerpen. Cerpen adalah singkatan dari cerita pendek. Cerpen adalah cerita yang berbentuk prosa yang relatif pendek. Pengertian pendek sesungguhnya tidak begitu jelas ukurannya (Sumardjo dan Saini KM, 1991:30).Ada yang mengartikan pendek dapat dibaca selagi duduk dengan waktu yang kurang dari satu jam. Ada yang melihat dari jumlah kata yang terdapat di dalamnya (Notosusanto melalui Tarigan, 1984:1974 dan Jassin 1991:69) menulis yang lebih tepat dalam mengartikan pendek adalah berdasarkan adanya unsur-unsur intrinsik tertentu yang tidak kompleks. Dengan kata lain, cerpen memiliki karakter, plot, dan latar belakang yang terbatas (Pujiono, 2006:4-5)1.

Di setiap negara karya sastra selalu mengalami perkembangan sesuai dengan zamannya, tidak terkecuali di Jepang. Perkembangan karya sastra di Jepang menurut zamannya dibagi menjadi lima, yaitu: (1) kesusastraan zaman Joodai; (2) kesusastraan zaman Heian; (3) kesusastraan zaman Pertengahan; (4) kesusastraan

1

(14)

zaman Pramodern; dan (5) kesusastraan zaman Modern2

.Perkembangan kesusastraan Jepang zaman modern banyak dipengaruhi oleh kesusastraan dan dorongan kebudayaan yang berasal dari barat. Kesusastraan modern mencerminkan manusia yang hidup dalam masyarakat modern yang cenderung mempunyai sifat borjuis (kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas, biasanya dipertentangkan dengan rakyat jelata) yang menganut paham liberal dan demokrasi. Manusia modern berusaha menghilangkan perbedaan status sosial yang terdapat dalam masyarakat feodal (masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan) dan menyadari perlunya kebebasan3.Kebebasan itulah yang diusung oleh Akutagawa Ryunosuke dalam menulis cerpen-cerpennya. Akutagawa Ryunosuke adalah salah seorang penulis Jepang era Taisho (1912-1926) yang meraih pembaca di luar Jepang sangat banyak. Karya-karyanya, sebagaimana karya-karya Natsume Soseki dan Mori Ogai, banyak mengilhami para sastrawan Jepang modern. Hingga akhir hayatnya ia menulis lebih dari seratus cerpen (Wibawarta, 2004:2).

Untuk menciptakan sebuah karya, Akutagawa mengutamakan pengambilan bahan dari cerita yang berlatar-belakang sejarah atau cerita klasik, kemudian diolahnya dengan baik sehingga mampu melahirkan sebuah novel baru dengan penafsiran yang baru pula, diantaranya adalah “Rashoomon”「羅生門」, “Gesaku

2

Penjelasan mengenai perkembangan kesusastraan Jepang terdapat dalam Nihon Bungakushi yang ditulis oleh Isoji Asoo dkk, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1983 oleh Staf Pengajar jurusan Asia Timur Seksi Jepang Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang diterbitkan oleh UI-Press.

3

(15)

Zanmai”「戯作三昧」, “Karenoshoo”「枯野抄」, “Yabu no Naka”「藪の中」, dan “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」(Asoo, 1983:182). “Kumo no

Ito”「蜘蛛の糸」bercerita tentang seorang pendosa yang bernama Kandata.Kandata

masuk neraka karena selama hidupnya ia banyak sekali melakukan tindak kejahatan. Suatu ketika sang Budha menyaksikan Kandata yang sedang menggeliat-liat bersama para pendosa lainnya. Karena sang Budha mengingat bahwa Kandata pernah melakukan perbuatan baik saat masih hidup, sang Budha kemudian membantunya agar bisa lolos dari siksaan neraka. Sang Budha memberikan benang laba-laba agar Kandata bisa memanjat melalui benang tersebut. Namun, tidak hanya Kandata saja yang menggunakan tali tersebut untuk naik, tetapi juga para pendosa lainnya juga menggunakan tali tersebut. Kandata yang tidak ingin talinya putus jika dinaiki banyak orang, segera mengusir orang-orang yang mengikutinya naik melalui tali yang diberikan oleh sang Budha. Bukannya Kandata bisa lolos dari neraka tetapi yang terjadi adalah tali tersebut putus dan Kandata jatuh kembali ke neraka.

“Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」ditulis oleh Akutagawa Ryunosuke berdasarkan tiga buah cerita yang dibacanya4

. Tiga cerita yang menjadi sumber inspirasinya tersebut adalah:

1. Sebuah dongeng yang terdapat dalam The Brothers Karamazov karya Fyodor Dostoevsky (1821-1881) dari Rusia yang dibaca oleh Akutagawa Ryunosuke pada bulan Oktober 1916 sampai Juli 1917.

4Diunduh dari http://www.edogawa-u.ac.jp/~tmkelly/research_spider.html#rendnote3pada 8 Maret

(16)

2. Ilustrasi yang terdapat dalam Konjaku Monogatari「今昔物語」, yang menceritakan sejarah tentang iblis dan kejahatan dari zaman dahulu hingga zaman sekarang.

3. Sebuah cerita yang berjudul “Jaring Laba-Laba” di dalam Karma.

Jika melihat latar-belakang dari tiga cerita di atas, dapat diketahui bahwa tiga-tiganya memiliki lokasi penciptaan karya, kebudayaan, dan bahkan unsur agama yang berbeda.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana unsur moral dan nilai-nilai religius yang terungkap dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」.

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

(17)

penelitian ini dapat mempermudah pembaca dalam memahami unsur moral dan nilai-nilai religius dalam cerpen “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke serta memperkaya wawasan pembaca dalam bidang kesusastraan yang dikaji dari segi moral dan religius.

1.4Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, karena objek material penelitiannya berupa bahan pustaka, yaitu sebuah cerita pendek dari Jepang berjudul “Kumo no Ito”

「蜘蛛の糸」karya Akutagawa Ryuunosuke. Adapun objek formal dalam penelitian

ini adalah tentang aspek sosiologi sastra, yaitu unsur moral dan nilai-nilai religius dalam cerita pendek tersebut.Cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」dikaji berdasarkan unsur moral dan nilai-nilai religius yang terdapat di dalamnya.

1.5Landasan Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori moral dan religius sebagai teori pokok, yaitu teori yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai religius. 1. Secara umum moral menyarankan pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk

(18)

hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2012:320-321).

2. Religius bertugas untuk mengatur kehidupan orang sehari-hari agar selalu berada dalam bimbingan Tuhan sang pencipta (Bouman, 1992:80). Nilai-nilai religius dalam karya sastra bermaksud untuk memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Tuhan melalui pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam karya sastra.

Sebagai teori pendukung dalam penelitian ini penulis gunakan teori struktur cerita rekaan. Struktur cerita rekaan terdiri atas dua unsur yang pembangun, yaitu unsur intrinsik (intrinsic) dan unsur ekstrinsik (extrinsic). Unsur intrinsik (intrinsic) dalam sebuah cerita rekaan terbagi atas peristiwa, plot/alur, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang/point of view, dan lain-lain yang semuanya tentu saja juga bersifat imajiner (Nurgiyantoro, 1994:4). Uraian lebih rinci tentang teori moral, religius, dan teori struktural cerita rekaan (termasuk cerpen) akan penulis paparkan pada bab tersendiri, yaitu bab 2, subbab landasan teori.

1.6Metode Penelitian

(19)

bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2012:321).Teori moral adalah suatu teori yang menggambarkan karya sastra sebagai struktur yang kompleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagamaan (Subijantoro, 1989:123). Selain itu, sebagai metode penunjang penulis gunakan metode struktural. Metode struktural adalah metode penelitian sastra yang bertindak pada prinsip stukturalisme bahwa karya sastra dipandang sebagai peristiwa kesenian (seni bahasa) yang terdiri dari sebuah struktur (Wellek, 1983:159).Tujuan dari metode struktural adalah untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur-unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1991:135).Penggunaan metode-metode ini dimaksudkan sebagai langkah awal sebelum sampai pada pembahasan yang lebih rinci dan terstruktur.

1.7Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan. Bab ini memberikan gambaran secara umum tentang penelitian, bab ini terdiri dari tujuh (7) subbab yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

(20)

Bab 3 Pembahasan. Bab ini memaparkan tentang pembahasan penelitian yang penulis lakukan, yaitu analisis tentang unsur moral dan nilai-nilai religius dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang memuat paparan mengenai penelitian-penelitian sebelumnya dan penjelasan komprehensif mengenai landasan teori, yang relevan digunakan dalam penelitian ini. Terdapat dua (2) penelitian terdahulu yang dijadikan referensi, yaitu penelitian Muhammad Pujiono (2006), dan penelitian Bambang Wibawarta (2004).Terdapat persamaan landasan teori dalam kedua penelitian tersebut yang meliputi teori tentang unsur-unsur moral dan nilai-nilai religius, khususnya yang membahas tentang nilai-nilai moral dan nilai-nilai religius dalam sebuah karya sastra.

2.1 Penelitian-penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian lain terhadap cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke dan aspek moral atau aspek religius yang pernah dilakukan peneliti lain dapat penulis temukan sejumlah dua judul. Dua penelitian tersebut yang pertama adalah penelitian Muhammad Pujiono yang dimuat dalam kumpulan skripsi Universitas Sumatera Utara, yang menunjukkan bahwa dalam kumpulan cerpen karya Miyazawa Kenji mempunyai nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya. Yang kedua adalah penelitian Bambang Wibawarta yang mendeskripsikan moral tentang kehidupan manusia yang terdapat dalam cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke.

(22)

Miyazawa Kenji mempunyai nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai religius tersebut adalah hubungan makhluk hidup dengan Tuhan, dijelaskan dalam penelitian Muhammad Pujiono, bahwa rasa syukur makhluk hidup terhadap Tuhan melalui doa, dimana makhluk hidup dengan ciptaan-Nya sangatlah erat hubungannya. Makhluk hidup mempunyai rasa sadar bahwa yang ada di alam raya ini ada yang menciptakannya. Hal ini tergambar dalam cerpen “Laba-laba, Lintah, dan Cerpelai” karya Miyazawa Kenji. Hubungan makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya, bentuk hubungan dengan sesama makhluk sesuai dengan nilai-nilai religius adalah saling menyayangi, saling menolong, dan menyuruh berbuat baik. Hal ini dapat dilihat dalam “Otsuberu dan Gajah Putih”, “Laba-laba, Lintah, dan Cerpelai”, dan “Matasaburo si Angin” karya Miyazawa Kenji. Hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya, mencintai lingkungan tempat menjalankan kehidupan yang dikaruniakan oleh Tuhan adalah salah satu bentuk nilai religius. Mencintai lingkungan berarti harus menjaga, merawat, dan jangan sampai mengotori. Kalau sungai tercemar dapat merugikan masyarakat luas, bahkan bisa berdampak pada kematian, ini dapat dilihat pada cerpen “Matasaburo si Angin” karya Miyazawa Kenji.

(23)

pernyataan sehingga pembaca karya itu mampu menemukan jawaban sendiri (Saridjo dalam Jassin, 1984:40).

Penelitian Bambang Wibawarta mendeskripsikan moral tentang kehidupan manusia yang terdapat dalam cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke. Menurut Bambang Wibawarta “Rashomon” menampilkan masalah egoisme dengan sangat menarik: betapa niat seseorang untuk hidup bermartabat dengan cepat berubah menjadi hidup bejat. Hal ini dialami oleh Genin, tokoh dalam “Rashomon” ini pada awalnya digambarkan sebagai orang yang terombang-ambing dan tidak peduli dengan keadaan sekitar. Setelah dipecat oleh majikannya ia tidak tahu harus berbuat apa dan terbesit di hatinya untuk menjadi pencuri, meskipun awalnya ia tidak memiliki keberanian.

(24)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Unsur Intrinsik Cerpen

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur-Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra, termasuk cerpen. Unsur intrinsik cerpen terdiri atas tema, alur, penokohan, latar atau setting, dan sudut pandang.

2.2.1.1Tema

Tema menurut Stanton melalui (Nurgiyantoro 2012:67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Untuk menemukan tema sebuah karya sastra haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya (Nurgiyantoro, 2012:68).

2.2.1.2Alur dan Pengaluran

(25)

gagasan hingga menjadi satu kesatuan cerita yang utuh di dalam pengesahan cerita. Pengaluran dalam suatu cerita adalah pengaluran urutan penampilan peristiwa untuk memenuhi berbagai tuntutan sehingga peristiwa itu dapat tersusun dalam hubungan sebab akibat (Sudjirman dalam Pujiono, 2006:10).

Pengaluran adalah teknik menyusun alur. Pengaluran terdiri atas pengaluran mundur (flashback), pengaluran maju (kronologis), dan pengaluran gabungan antara pengaluran maju dan mundur (Sumardjo dan Saini melalui Pujiono, 2006:11).

2.2.1.3 Tokoh dan Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones melalui Nurgiyantoro, 2012:165). Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams melalui Nurgiyanotoro, 2012:165).

Pelukisan watak tokoh dalam cerita dapat digambarkan melalui ucapan-ucapannya, gambaran fisiknya, keterangan langsung yang ditulis oleh pengarang dan melalui perbuatannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam menghadapi situasi krisis5

.

5

(26)

2.2.1.4 Latar atau Setting

Latar atau setting disebut juga landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams melalui Nurgiyantoro, 2012:216). Berdasarkan wujudnya ada latar fisik dan latar sosial. Latar fisik dapat berupa latar tempat dan latar waktu. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas .Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Adapun Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Misalnya, tradisi, adat-istiadat, norma masyarakat, agama, hukum, dan sebagainya.

2.2.1.5 Sudut Pandang

(27)

dalam sebuah karya sastra kepada pembaca (Abrams melalui Nurgiyantoro, 2012:248).

Nurgiyantoro membedakan sudut pandang ke dalam tiga bentuk, yaitu (a) sudut pandang persona. “aku” terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai pencerita;(b) sudut pandang persona ketiga; dan(c) sudut pandang campuran antara persona pertama dengan ketiga (2012:256).

2.3 Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan (Nurgiyantoro, 2012:23-34).

(28)

Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya.

2.4 Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra6

2.4.1 Pengertian dan Hakikat Moral

Moral dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya sastra merupakan unsur isi. Ia merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat media cerita. Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1994).

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu

6

(29)

yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca (Kenny, 1966: 89).

2.4.2 Jenis dan Wujud Pesan Moral

Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah, yang boleh dikatakan, bersifat tidak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam tiga persoalan, yaitu hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alamm, dan hubungan manusia dengan Tuhannya.

Sebuah karya sastra tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral itu salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus, masing-masing dengan wujud detil khususnya. Namun, sama halnya dengan adanya beberapa tema dalam sebuah karya sastra yang terdiri dari tema utama (mayor) dan tema-tema tambahan (minor), pesan moral pun dapat digolongkan ke dalam yang utama dan yang sampingan itu. Persoalan yang dihadapi pembaca kemudian adalah: mampukah ia menemukan dan mengenali pesan-pesan moral itu, dan kalau mungkin mengambil hikmahnya.

(30)

dendam, kesepian, keterombang-ambingan antara beberapa pilihan, dan lain-lain yang lebih bersifat melibat ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu.

Pesan moral apakah yang ingin disampaikan kepada pembaca sehingga pembaca dapat menafsirkan secara berbeda, misalnya berupa mempertanyakan diri tentang mengapa kita merasa takut secara berlebihan yang justru merugikan diri sendiri, atau harus berusaha mengalahkan rasa takut pada diri sendiri misalnya, dengan memupuk rasa percaya diri.

2.4.3 Bentuk Penyampaian Pesan Moral

Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya sastra mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung. Namun, sebenarnya pemilihan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan yang bersifat agak langsung. Dalam sebuah novel sendiri mungkin sekali ditemukan adanya pesan yang benar-benar tersembunyi sehingga tak banyak orang yang dapat merasakannya, namun mungkin pula ada yang agak langsung dan seperti ditonjolkan.

2.4.3.1Bentuk Penyampaian Langsung

Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan,

(31)

pesan moral. Artinya, moral yang ingin disampaikan, atau diajarkan, kepada pembaca itu dilakukan secara langsung dan eksplisit. Pengarang, dalam hal ini, tampak bersifat menggurui pembaca.

Dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca, teknik penyampaian langsung tersebut komunikatif. Artinya, pembaca memang secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan. Pembaca tidak usah sulit-sulit menafsirkan sendiri dengan jaminan belum tentu pas. Gambar berikut mengandaikan pesan yang ingin disampaikan itu kurang ada hubungannya dengan cerita, ia lebih merupakan sesuatu yang diomprengkan pada cerita.

2.4.3.2Bentuk Penyampaian Tidak Langsung

(32)

Kalaupun ada yang ingin dipesankandan yang sebenarnya justru hal inilah yang mendorong ditulisnya cerita itu. Hal itu hanyalah lewat siratan saja dan terserah kepada penafsiran pembaca. Bukankah cara penyampaian yang demikian justru memaksa pembaca untuk merenungkannya, menghayatinya secara lebih intensif.

Jika dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini sejalan dengan teknik ragaan, showing. Yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa, konflik sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut, messages, pesan moral disalurkan. Sebaliknya, dilihat dari pembaca, jika ingin memahami dan atau menafsirkan pesan itu, haruslah ia melakukannya berdasarkan cerita, sikap dan tingkah laku para tokoh tersebut.

(33)

waktu ke waktu. Hal ini pulalah yang menyebabkan karya sastra sering tidak ketinggalan, sanggup melewati batas waktu dan kebangsaan.

Kalau orang membaca Hamlet karya Shakespeare misalnya, sebuah karya yang ditulis sekian abad yang lalu, orang tetap merasakan adanya kebaruannya. Selain itu, mungkin pula ia akan menemukan tafsiran yang berbeda dengan penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya, termasuk dalam hal penafsiran unsur pesan. Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat.

2.5 Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra

2.5.1 Nilai-Nilai Religius

(34)

keduanya menyaran pada makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain, melihat aspek yang dilubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi (Mangunwijaya melalui Nurgiyantoro, 2012:326-327).

Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya, idealnya sekaligus religius, namun tidak demikian kenyataannya. Banyak penganut agama tertentu, misalnya seperti yang terlihat dalam KTP, namun sikap dan tingkah lakunya tidak religius.

Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia (Nurgiyantoro, 2012:327).Sosiolog memandang agama sebagai alat wadah alamiah yang mengatur pernyataan iman di forum terbuka atau dalam sistem sosial masyarakat dan manifestasinya dapat disaksikan dalam bentuk khotbah-khotbah, doa-doa, dan sebagainya (Hendropuspito, 1985:45).

(35)

keduanya merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu kehidupan pribadi dan kebersamaannya di tengah masyarakat (Mangunwijaya melalui Pujiono, 2006:15).

Suatu kritik, religiusitas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang beragama menjadi semakin intens. Semakin orang religius, hidup orang itu semakin nyata atau semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri (Moeljanto dan Sunardi melalui Pujiono, 2006:15). Bagi orang yang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Inilah yang disebut religiusitas sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada dalam lubuk hati dan sebagai getaran murni pribadi (Mangunwijaya melalui Pujiono, 2006:15-16).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas mempunyai peranan penting bagi kehidupan, sama halnya dengan ajaran agama, bahkan religiusitas lebih dari sekedar memeluk agama tertentu, melainkan mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi antara manusia dengan penciptanya dan dengan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari.

2.5.2 Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra

(36)

eksistensinya. Eksistensi itu bergerak menuju upaya penyucian diri dengan sendirinya. Dengan begitu, agama dan sastra bergabung dalam sikap pengarang ketika ia berusaha menyaksikan hal-hal duniawi sambil berorientasi ke unsur yang kekal (Takeda melalui Budiman, 2006:2).

Karya sastra sebagai struktur yang kompleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagamaan layak kita gali lebih dalam untuk diambil manfaatnya. Kehadiran sastra keagamaan di tengah-tengah masyarakat pasti mempunyai latar belakang tersendiri. Sebelum digali lebih dalam, terlebih dahulu harus diketahui kriteria-kriteria religius dalam sastra. Secara garis besar kriteria-kriteria religius dalam karya sastra berisi: (1) penyerahan diri, tunduk dan taat kepada Tuhan Y.M.E; (2) kehidupan yang penuh kemuliaan; (3) perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan; (4) perasaan batin yang ada hubungannya dengan rasa berdoa; (5) perasaan batin yang ada hubungannya dengan rasa takut; dan (6) pengakuan akan kebesaran Tuhan (Atmosuwito, 1989:123-124).

(37)

BAB 3

NILAI-NILAI MORAL DAN RELIGIUS DALAM CERPEN “KUMO NO ITO”

「「

「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」」KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE

3.1Unsur Intrinsik Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」蜘蛛の糸」」」

Suatu karya sastra, tak terkecuali cerpen memiliki dua unsur yang membangun di dalamnya yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」yang akan dibahas adalah tema, alur, penokohan, latar atau setting, dan sudut pandang.

3.1.1 Tema Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」」

Setelah membaca keseluruhan cerita “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」, dapat disimpulkan sebuah tema yaitu balasan yang diterima oleh manusia berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukannya. Perbuatan baik akan mendapat balasan yang baik dan perbuatan yang buruk akan mendapat balasan yang buruk di Neraka.

3.1.2 Alur Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」」

Alur yang terdapat dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」adalah alur maju dan mundur. Alur maju karena cerita berjalan sesuai urutan penampilan peristiwa, dan alur mundur karena terdapat peristiwa yang terjadi di masa lampau. Hal itu dibuktikan pada:

と申しますのは、ある時この男が深い林の中を通りますと、小さな蜘

(38)

さっそく足をあげて、踏み殺そうといたしましたが、「いや、いや、 kawaisouda.”to, kou kyuu ni omoi kaeshite, toutou sono kumo wo korosazuni tasuketeyatta kara de gozaimasu.

Ketika itu, pemuda ini sedang melintasi hutan yang lebat dan melihat seekor laba-laba kecil yang sedang merayap di tepi jalan. Di situ, Kandata segera mengangkat kakinya dan berniat menginjak laba-laba itu hingga mati, tetapi tiba-tiba Kandata berpikir, “Tidak. Tidak. Meski sekecil ini laba-laba tentunya juga punya nyawa. Sangat kasihan kalau nyawanya lepas begitu saja.”Akhirnya Kandata malahan menolong laba-laba itu dengan tidak membunuhnya.

Kejadian di atas merupakan kejadian yang terjadi di masa lampau, yaitu kejadian dimana Kandata masih hidup dan belum masuk neraka.

3.1.3 Tokoh dan Penokohan Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」」

3.1.3.1Kandata

Kandata dan Sang Budha adalah tokoh utama dalam “Kumo no

Ito”「蜘蛛の糸」karena ia terlibat dengan tema, paling banyak berhubungan dengan

(39)

Kandata menjadi tokoh antagonis dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」karena memiliki sifat yang jahat seperti suka membunuh, membakar rumah orang, dan melakukan berbagai tindakan jahat lainnya, dibuktikan pada:

この 陀多と言う男は、人を殺したり家に火をつけたり、いろいろ

悪事を働いた大泥坊でございますが、。。。。。

Kono Kandata to iu otoko ha, hito wo koroshitari, ie ni hi wo tsuketari, iroiro akuji wo hataraita daidorobou de gozaimasuga,...

Pemuda bernama Kandata ini adalah seorang maling besar yang pernah membunuh orang, membakar rumah, dan melakukan berbagai tindak kejahatan lainnya...

Selain mempunyai sifat jahat seperti di atas, Kandata juga mempunyai sifat ingin menang sendiri dan tidak ingin berbagi terhadap sesama manusia, dibuktikan pada: kotowarete, ochite shimaunoni chigaiarimasen. Sokode Kandata ha ookina koe wo dashite, “kora, zainin domo. Kono kumo no ito ha ore no mono dazo.Omaetachi ha ittai dare ni saite, nobotte kita. Oriro.Oriro.”To wamekimashita.

(40)

Namun demikian, dia mempunyai sifat baik yaitu peduli terhadap makhluk kawaisouda.”to, kou kyuu ni omoi kaeshite, toutou sono kumo wo korosazuni tasuketeyatta kara de gozaimasu.

Ketika itu, pemuda ini sedang melintasi hutan yang lebat dan melihat seekor laba-laba kecil yang sedang merayap di tepi jalan. Di situ, Kandata segera mengangkat kakinya dan berniat menginjak laba-laba itu hingga mati, tetapi tiba-tiba Kandata berpikir, “Tidak. Tidak. Meski sekecil ini laba-laba tentunya juga punya nyawa. Sangat kasihan kalau nyawanya lepas begitu saja.”Akhirnya Kandata malahan menolong laba-laba itu dengan tidak membunuhnya.

3.1.3.2Sang Budha

(41)

お釈迦様は地獄のようすをご覧になりながら、この 陀多には 蜘蛛を助けた事があるのをお思い出しになりました。そうしてそれだ けのよい事をした報には、できるなら、この男を地獄から救い出して やろうとお考えになりました。

Oshakasama ha jigoku no yousu wo goran ni narinagara, kono Kandata ni ha kumo wo tasuketa koto ga aru no wo oomoidashi ni narimashita. Soushite sore dake no yoi koto wo shita mukui ni ha, dekirunara, kono otoko wo jigoku kara sukui dashite yarouto okangae ni narimashita.

Sambil mengamati keadaan neraka, sang Budha teringat bahwa Kandata pernah menolong seekor laba-laba. Sebagai imbalan dari perbuatan baik yang pernah dilakukannya, sang Budha berpikir, kalau bisa ia akan menyelamatkan Kandata keluar dari neraka.

Sedangkan para pesakitan dan seekor laba-laba Surga adalah tokoh tambahan

(42)

3.1.4 Latar atau Setting

Latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」adalah sebagai berikut :

3.1.4.1Tepi Kolam Teratai di Surga

ある日の事でございます。御釈迦様は極楽の蓮池のふちを、独りでぶ らぶら御歩きになっていらっしゃいました。

Aru hi no koto de gozaimasu.Oshaka sama ha gokuraku no hasuike no uchi wo hitori de burabura aruki ni natte irasshaimashita.

Pada suatu hari, sang Buddha tengah berjalan-jalan tanpa tujuan, sendirian di tepi kolam teratai di Surga.

3.1.4.2Hutan lebat

と申しますのは、ある時この男が深い林の中を通りますと、小さな蜘 蛛が一匹、路ばたをはって行くのが見えました。

Tomoushimasunoha, aru toki kono otoko ga fukai mori no naka wo tourimasuto, chiisana kumo ga ippiki, michibata wo hatte iku no ga miemashita.

(43)

3.1.4.3Chi no Ike7「「血の池「「血の池血の池血の池」」」」

Chi no Ike「血の池」berada di dasar Neraka. Disana banyak dijumpai para pendosa

yang sedang disiksa hingga berdarah-darah dan menjerit-jerit kesakitan. Latar Chi no

Ike「血の池」tersebut terdapat pada kalimat berikut:

こちらは地獄の底の血の池で、ほかの罪人と一しょに、浮いたり沈ん だりしていたでございます。

Kochira ha jigoku no soko no chi no ike de, hoka no zaiin to ishoni, uitari shizundarishiteita de gozaimasu.

Ini adalah Chi no Ike「血の池」di dasar Neraka, tempat timbul-tenggelamnya Kandata bersama para pendosa lain.

3.1.4.4Dasar Neraka, Terdapat Sanzu No Kawa「「三途「「三途の河三途三途の河の河の河」」」」dan Hari No orimasukara, suishou no youna mizu wo sukitoushite, sanzu no kawa ya hari no yama no keshiki ga, choudo nozoki megane wo miruyouni, hakkiri to mieru no de gozaimasu.

Karena tepat di bawah kolam teratai di Surga ini terdapat dasar Neraka, pemandangan Sanzu no Kawa8「三途の河」dan Hari No

7

Chi No Ike「血の池」yang berarti kolam darah adalah tempat penyiksaan bagi penghuni Neraka.

8

(44)

Yama9「針の山」dapat terlihat jelas seperti melihat melalui teropong, bening bagaikan keristal.

3.1.5 Sudut pandang

Sudut pandang yang dipakai dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」menggunakan sudut pandang orang ketiga, karena pengarang tidak terlibat langsung ke dalam cerita di dalamnya.

3.2 Unsur Ekstrinsik “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」蜘蛛の糸」」」

Unsur ekstrinsik yang menjadi bagian dari “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」 adalah biografi dan kehidupan Akutagawa Ryunosuke serta latar belakang dari cerpen “Kumo no Ito 「蜘蛛の糸」.

3.2.1 Akutagawa Ryunosuke10

Akutagawa Ryunosuke adalah seorang penulis Jepang era Taisho (1912-1926) yang meraih pembaca di luar Jepang sangat banyak. Karya-karyanya, sebagaimana karya-karya Natsume Soseki dan Mori Ogai, banyak mengilhami para sastrawan Jepang modern. Hingga akhir hayatnya ia menulis lebih dari seratus cerita pendek.

9

Hari No Yama「針の山」yang berarti Bukit Jarum adalah bukit tempat penyiksaan bagi penghuni Neraka.

10

(45)

Akutagawa lahir dengan nama Ryunosuke di Irifunecho, Tokyo pada 1 Maret 1892 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Irifunecho merupakan daerah tempat tinggal orang asing. Ketika itu hanya ada tiga rumah orang Jepang di sana, termasuk keluarga Ryunosuke. Kakak perempuan sulungnya yang bernama Hatsuko meninggal pada usia tujuh tepat setahun sebelum Ryunosuke lahir karena radang selaput otak. Oleh karena itu ketika Ryunosuke lahir ia hanya memiliki satu saudara perempuan bernama Hisako.

Karena lahir pada tahun dan jam Naga (sekitar jam delapan pagi),ia diberi nama Ryunosuke. Ryu dalam bahasa Jepang berarti naga.Ibunya bernama Fuku, dan ayahnya bernama Niihara Toshizo.Niihara Toshizo adalah seorang pengusaha peternakan sapi perah di Irifunecho dan daerah Shinjuku. Sekitar Sembilan bulan setelah Akutagawa lahir ibunya menjadi gila hingga kematiannya pada 1902.

Ketika Ryunosuke lahir ayahnya berusia 42 tahun dan ibunya 33 tahun, usia-usia sial menurut keercayaan Jepang. Untuk menghindari kemalangan yang akan menimpa, seharusnya Ryunosuke dibuang. Karena itulah kemudian diputuskan Ryunosuke seolah-olah dibuang dengan dipelihara oleh teman lama ayahnya bernama Matsumura Senjiro. Ibunya yang menjadi sakit jiwa juga dianggap sebagai bagian dari kesialan tersebut.

(46)

Ryunosuke menggunakan nama Akutagawa dua tahun setelah ibunya meninggal, yakni ketika berusia dua belas tahun.

Sejak kecil Akutagawa Ryunosuke banyak melahap karya-karya klasik Jepang dan Cina.Minatnya terhadap kesusatraan memang sudah tampak sejak ia duduk di sekolah dasar. Ia juga menyukai para penulis pertengahan zaman Meiji, seperti Ozaki Koyo dan Koda Rohan, dan akrab dengan karya-karya para sastrawan besar seperti Natsume Soseki dan Mori Ogai. Ia mengenal pula karya-karya para penulis Eropa seperti Maupassant, Balzac, Tolstoy, Anatole France, dan Dostoyevski sejak duduk di bangku sekolah menengah umum (SMU). Di bangku SMU ini pula ia sudah membaca buku-buku Eukendan Spinoza. Kebiasaannya yang lain adalah melihat pameran dan menghadiri diskusi sastra bersama teman sekolahnya bernama Tsuneto Kyo, serta membaca buku di perpustakaan umum atau perpustakaan keliling.

(47)

“Hana”「鼻」dipuji oleh Natsume Soseki. Beliau adalah empu sastra waktu itu, dan majalah sastra mulai melirik penulis muda ini.

Lulus dari universitas pada tahun 1916 Akutagawa kemudian mengajar bahasa Inggris di sekolah teknik kelautan di Yokosuka. Tahun 1919 ia berhenti sebagai pengajar karena ingin mencurahkan perhatian sepenuhnya pada dunia tulis menulis. Setelah berhenti mengajar, ia mengantungi kontrak yang aman untuk menulis fiksi di surat kabar “Osaka Mainichi”「大阪毎日」. Pada Maret 1921 Akutagawa dikirim ke Cina selama empat bulan oleh “Osaka Mainichi”「大阪毎日」, dan kesehatannya mulai memburuk sewaktu berada di Shanghai. Pada masa inilah ia menulis karya-karya seperti “Jigokuhen”「地獄変」 dan “Hokyonin no Shi”「奉教人の死」.

(48)

tulisan ini ia menyatakan sangat mengagumi sentuhan realisme Shiga yang begitu indah. Bagi Akutagawa, Shiga bahkan lebih unggul dibandingkan Tolstoy, karena ia memakai realisme dengan semangat puitis yang diambil dari tradisi ketimuran.

Selanjutnya ketika Akutagawa mencari gaya pengungkapan baru di luar cerpen seiring kesehatan fisik dan mentalnya yang semakin memburuk, popularitasnya menurun. Dalam masa ini ia menulis novel-novel yang didasarkan pada pengalaman pribadinya, atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada, seperti “Kappa”「河童」 (1927) dan “Seiho no Hito”「西方の人」(1927), dan esai

“Bungekiteki na”「文芸的な」, “Amarini Bungekiteki

na”あまりに文芸的な」(1927).

Pada Juli 1927, di usia 35 tahun, Akutagawa agaknya benar-benar sudah tidak kuat lagi menanggung kelelahan mental dan fisik yang dipikulnya sehingga nekat bunuh diri dengan menelan obat tidur secara overdosis11. Foto terakhirnya yang diambil pada Juni 1927 menunjukkan wajahnya yang kurus, mata sayu, dahi berkeriput, dan dengan rokok di mulut yang menunjukkan ekspresi putus asa.

Hidup Akutagawa memang pendek, tapi karya-karyanya dinilai sangat luar biasa, sehingga ia dinobatkan sebagai raja cerpen dalam kesusastraan Jepang modern. Teman lama Akutagawa, Kikuchi Kan, mendirikan Penghargaan Akutagawa (Akutagawasho) pada tahun 1935 untuk mengenang Akutagawa. Sampai sekarang

11Dosis obat yang berlebihan

(49)

Akutagawasho menjadi penghargaan kesusastraan paling bergengsi bagi para penulis baru.

Karya-karya Akutagawa dapat digolongkan dalam beberapa kategori, yakni Edo-mono (cerita-cerita yang berlatar belakang masa Edo), Ocho-mono (cerita-cerita yang berlatar belakang masa Heian), Kirishitan-mono (cerita-cerita yang berkaitan dengan Kristen di Jepang era pramodern, yang semuanya berjumlah sekitar lima belas), dan

kaika-mono (cerita-cerita awal periode Meiji).

Periode setelah Akutagawa meninggalkan kedudukannya sebagai guru bahasa Inggris pada akademi kelautan di Yokosuka dan menjadi pegawai Koran Osaka Mainichi dan setahun sebelumnya yaitu tahun 1918, menikahi Tsukamoto Fumiko merupakan periode produktifnya. karya-karya yang turut mendongkrak popularitasnya, seperti “Mikan”「蜜柑」dan “Aki”「秋」, mendorong dia untuk mengalihkan perhatiannya kepada bahan-bahan modern.

Karya awal Akutagawa berupa sejumlah terjemahan France dan Yetas. Karya seperti “The Old Man” (1994) dan “Youth and Death” (1914) muncul dalam edisi ketiga majalah Shinshicho. Ketika ia mempublikasikan “Hana”「鼻」namanya langsung melejit karena mendapat pujian dari Natsume Soseki.

(50)

sosok Soseki. Karena itulah Akutagawa merasa kehilangan dengan meninggalnya Natsumei Soseki pada Desember 1916.

Para kritikus mengatakan adanya kesamaan antara karya-karya Soseki dan Akutagawa, yakni dalam hal mengangkat masalah egoism. Hal ini dapat dilihat pada salah satu karya Akutagawa yang terkenal, “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」.Dalam karya ini dikisahkan tentang seorang penyamun bernama Kandata yang setelah mati masuk neraka karena banyak berbuat kejahatan. Karena Kandata pernah satu kali menyelamatkan hidup seekor laba-laba, sang Budha yang pemaaf memberinya kesempatan lolos dari neraka dengan mengulurkan seutas benang laba-laba. Kandata pun mulai memanjatnya. Begitu melihat para pendosa lainnya mengikutinya, ia berusaha menghentikan mereka karena takut benang tersebut putus. Kandata merasa benang tersebut miliknya. Namun benang itu akhirnya putus dan menghempaskan Kandata dan mereka semua kembali ke neraka.

Para kritikus, baik yang bersimpati maupun yang tidak, mengakui kecerdasan dan kepiawaian Akutagawa dalam mengolah cerita. Ada yang menyatakan bahwa landasan karya-karya Akutagawa adalah kombinasi humor dan kecerdasan tanpa bersikap memihak. Walaupun ada yang mengatakan bahwa analisa Akutagawa terkadang gagal menjangkau hal-hal yang bersifat umum, tetapi umumnya mereka memuji integritas artistic dan gaya bahasa penulis yang khas.

(51)

Walaupun para kritikus menempatkan Akutagawa sebagai gambaran intelektual baru, neo-klasik, dan sebagainya. Akutagawa menolak pelabelan tersebut karena menurutnya hanya demi kenyamanan para kritikus itu sendiri.

Menjawab pertanyaan mengapa ia menulis, Akutagawa mengatakan tidak untuk uang maupun untuk public, melainkan karena ada sesuatu yang aneh dan kacau dalam dirinya yang mendorongnya untuk mengekspresikan sesuatu tersebut dalam bentuk dan pada waktu yang tepat. Menurutnya seni adalah ungkapan, dan ia menentang pandangan yang umum berlaku bahwa seorang penulis harus mulai dengan isi dan selanjutnya merangkainya dalam bentuk tertentu. Oleh karena itu, seakan-akan ada dua proses yang terpisah dan dapat dipisahkan. Menurut Akutagawa, bentuk tidak bersandar pada isi, dan sebaliknya. Orang yang tidak memahami hal yang mendasar ini akan membuat seni sebagai dunia yang lain.

Bagi Akutagawa, menganggap bentuk atau isi lebih unggul merupakan kesalahan. Ia menekankan bahwa mengutamakan bentuk sama buruknya dengan menekankan isi, dan dalam praktek bias menjadi lebih buruk. Dalam pandangan Akutagawa, seorang seniman harus senantiasa berusaha menyempurnakan karyanya. Jika tidak, pengabdiannya kepada seni tidak akan menghasilkan sesuatu.

(52)

menjadi sumber saduran ceritanya sampai pengagumnya, sastrawan Hori Tatsuo menyatakan, “Pada akhirnya ia berakhir tanpa karya asli. Dalam setiap karya utamanya tetap hidup bayangan abad-abad sebelumnya”.

3.2.2 “Kumo no Ito”「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」蜘蛛の糸」」」12

“Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」ditulis oleh Akutagawa Ryunosuke berdasarkan tiga cerita yang pernah dibacanya. Ketiga cerita yang menjadi sumber inspirasinya tersebut adalah The Brother Karamazov” karya Fyodor Dostoevsky (1821-1881), “Konjaku Monogatari”「今昔物語」, dan sebuah cerita yang berjudul “Jaring Laba-Laba”.

3.2.2.1The Brother Karamazov” karya Fyodor Dostoevsky (1821-1881)

“The Brother Karamazov” karya Fyodor Dostoevsky adalah sebuah dongeng dari Rusia yang dibaca oleh Akutagawa pada bulan Oktober 1916 sampai Juli 1917, yang isinya sebagai berikut:

Suatu ketika hiduplah seorang wanita yang sangat jahat. Ketika dia meninggal, dia tidak membawa perbuatan baik sedikitpun. Setan menangkapnya dan memasukkannya ke dalam Danau Api di neraka. Kemudian Malaikat pelindungnya mengingat sebuah kebaikan yang pernah dilakukan oleh wanita itu dan mengatakannya kepada Tuhan: “Suatu ketika dia pernah mencabut bawang di

12

(53)

kebunnya,” katanya, “dan memberikannya kepada seorang pengemis wanita.” Lalu Tuhan menjawab: “Cabutlah bawang yang sama, berikan padanya di danau dan tarik dia keluar. Jika kamu dapat menariknya keluar, biarkan dia masuk surga, tetapi jika bawang itu putus, wanita itu harus tetap tinggal di neraka.: Sang Malaikat segera pergi dan mengulurkan bawang kepadanya. “Ayo,” katanya, “pegang ini dan aku akan menariknya keluar. ”Lalu diapun menariknya. Sang malaikat hampir berhasil menarik wanita itu keluar ketika pendosa lain di danau mulai berpegangan padanya agar dapat ikut keluar bersamanya. Karena pada dasarnya wanita itu jahat, dia mulai menendang-nendang mereka.“Aku akan keluar, bukan kalian. Ini bawang milikku, bukan milik kalian.”Seketika dia mengatakan itu, bawang itupun putus dan menjatuhkan wanita itu ke dalam danau yang membakarnya hingga saat ini. Sang malaikat pun menangis dan berlalu dari situ.

3.2.2.2“Konjaku Monogatari”「「「「今昔物語今昔物語今昔物語今昔物語」」」」

(54)

Isinya berupa lebih dari seribu judul cerita dari tiga negara, India, Tiongkok, dan Jepang. Seluruhnya terdiri dari 31 volume yang tidak lengkap karena volume 8, 18, dan 21 tidak ada. Menurut perkiraan, volume yang tidak ada bukan disebabkan buku hilang atau rusak setelah selesai ditulis, melainkan mungkin belum selesai ditulis. Selain itu, sejumlah kalimat dan cerita yang ada di dalam buku ini juga tidak lengkap.

Dalam “Konjaku Monogatari”「今昔物語」terdapat indikasi bahwa penulisnya berusaha mencatat cerita-cerita seputar Perang Zenkunen dan Perang Gosannen yang merupakan perang besar di paruh kedua abad ke-11. Walaupun demikian, penulisannya terhenti pada judul-judul cerita sedangkan isi cerita tidak ada. Berdasarkan karakteristik tokoh dan peristiwa, “Konjaku Monogatari”「今昔物語」diperkirakan disusun setelah tahun 1120-an hingga tahun 1449. Literatur lain yang pertama kali menyebut tentang Konjaku Monogatari adalah buku harian biksu Kyōkaku berjudul “Kyōgaku

Shiyōshō”「驚愕使用賞」 dari tahun 1449.

(55)

masa Kaisar Shirakawa atau Kaisar Toba menjalankan pemerintahan dari balik biara.

“Konjaku Monogatari”「今昔物語」menceritakan sejarah tentang iblis dan kejahatan dari zaman dahulu hingga zaman sekarang.“Konjaku Monogatari”「今昔物語」juga menceritakan tentang kebaikan seorang miskin yang di kehidupan sebelumnya pernah menolong seekor laba-laba. Kebaikannya ini menyebabkan Sang Budha berkehendak membawanya keluar dari neraka.

3.2.2.3Sebuah cerita yang berjudul “Jaring Laba-Laba”

Diceritakan sebuah kisah tentang pencuri ulung bernama Kandata, yang meninggal tanpa sempat bertobat dan terlahir kembali menjadi setan di neraka, dimana dia menderita karena perbuatan jahatnya, penderitaan yang tidak terperikan. Dia telah berada di neraka selama beberapa Kalpa13 dan tidak dapat bangkit dari kondisinya yang lemah ketika Sang Budha datang ke bumi dan mencapai penerangan. Pada saat itu, secerah cahaya jatuh ke neraka dan memberikan kehidupan dan harapan kepada semua setan yang ada. Kandata pun berteriak “Oh Budha yang agung, kasihanilah aku! Aku sangat menderita, dan meskipun aku melakukan kejahatan, aku menginginkan berjalan dalam jalan kebenaran yang mulia. Aku tidak dapat membebaskan diriku dari penesalan. Tolong aku, Tuhanku’ kasihanilah aku!”

13

Kalpa adalah satuan waktu yang sangat panjang dalam

(56)

Hukum karma menunjukkan bahwa perbuatan jahat selalu membawa akibat menuju kehancuran dan perbuatan baik membawa kehidupan. Selain itu, ada akhir untuk setiap perbuatan yang dilakukan, tetapi tidak ada akhir untuk perbuatan baik. Perbuatan baik sekecil apapun akan menghasilkan buah yang mengandung benih kebaikan yang baru dan akan terus tumbuh, mereka terpelihara (jiwa dalam perpindahannya yang melelahkan, makhluk-makhluk yang menderita dalam lingkaran abadi Samsara14(kelahiran kembali) sampai mereka mencapai pembebasan akhir dari semua kejahatan di Nirwana15. Ketika sang Budha mendengar doa setan yang menderita itu di neraka, ia berkata, ”Kandata, apakah kamu pernah melakukan sebuah perbuatan baik? Aku akan datang kepadamu dan membantumu. Tetapi kamu tidak akan selamat kecuali penderitaan yang kamu alami sebagai konsekuensi dari perbuatan jahatmu telah mengikis keegoisanmu dan telah memurnikan jiwamu dari kesombongan, nafsu, dan iri.”

Dari cerita ketiga di atas Akutagawa mengambil nama tokoh utama (Kandata), pekerjaannya di masa lalu (penjahat, pencuri), tempat dia berada sekarang (neraka) dan keadaannya (menderita) dari cerita “Karma”. Motif penyelamatan, termasuk kegagalannya, diambil dari “The Brothers Karamazov”, lalu peran laba-laba berasal dari ilustrasi yang terdapat dalam “Konjaku Monogatari”「今昔物語」.

Meskipun “The Brothers Karamazov” mengandung unsur agama Kristen, Akutagawa mengubah cerita ini menjadi bernafaskan agama Budha dengan adanya

14

Samsara adalah serangkaian karma yang tidak putus dalam kehidupan.

15

(57)

unsur tokoh Budha, bunga teratai di surga, Sanzu no Kawa「三途の河」, Chi no

Ike「血の池」, dan Hari no Yama「針の山」yang terdapat dalam ajaran Budha.

Namun pada bagian imbalan atas perbuatan baik Kandata memungkinkan dirinya mendapat kesempatan keluar dari neraka dengan usahanya sendiri (Jiriki), yaitu memanjat naik ke atas, justru bertentangan dengan ajaran agama Budha. Budha mengajarkan bahwa keselamatan tidak dapat diraih dengan usaha sendiri.

Dalam ajaran Budha, keselamatan melalui usaha sendiri (Jiriki) bertentangan dengan ajaran yang tertulis dalam Hukum Akhir Zaman. Pada bagian ini tampak ada unsur agama Kristen dalam esensi cerita.

3.3 Pesan Moral yang Terdapat dalam “Kumo no Ito”「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」」

3.3.1 Moral Tokoh Utama

Seburuk-buruknya sifat yang dimiliki oleh seseorang, masih ada sifat baik yang dimilikinya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut:

するとその地獄の底に、 陀多と言う男が一人、ほかの罪人と

いっしょにうごめいている姿が、お眼に止まりました。この 陀多

と言う男は、人を殺したり家に火をつけたり、いろいろ悪事を働いた 大泥坊でございますが、。。。。。

Suruto sono jigoku no soko ni, Kandata to iu otoko ga hitori, hoka no zainin to isshoni ugomeiteiru sugata ga, ome ni tomarimashita. Kono Kandata to iu otoko ha, hito wo koroshitari, ie ni hi wo tsuketari, iroiro akuji wo hataraita daidorobou de gozaimasuga,...

(58)

membunuh orang, membakar rumah, dan melakukan berbagai tindak kejahatan lainnya...

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Kandata mempunyai sifat yang sangat buruk yaitu, dia merupakan seorang maling besar yang pernah membunuh orang, membakar rumah, dan melakukan berbagai tindak kejahatan lainnya. Namun demikian, Kandata masih mempunyai sifat baik yaitu menyayangi sesama makhluk hidup yang tampak dalam kutipan berikut :

と申しますのは、ある時この男が深い林の中を通りますと、小さな蜘 kawaisouda.”to, kou kyuu ni omoi kaeshite, toutou sono kumo wo korosazuni tasuketeyatta kara de gozaimasu.

Ketika itu, pemuda ini sedang melintasi hutan yang lebat dan melihat seekor laba-laba kecil yang sedang merayap di tepi jalan.Di situ, Kandata segera mengangkat kakinya dan berniat menginjak laba-laba itu hingga mati, tetapi tiba-tiba Kandata berpikir, “Tidak. Tidak. Meski sekecil ini laba-laba tentunya juga punya nyawa. Sangat kasihan kalau nyawanya lepas begitu saja.”Akhirnya Kandata malahan menolong laba-laba itu dengan tidak membunuhnya.

(59)

Kandata berpikir bahwa makhluk sekecil laba-laba pun juga mempunyai nyawa seperti halnya manusia.

Penyampaian moral di atas disampaikan secara langsung oleh pengarang kepada pembaca. Pengarang menyampaikan sifat buruk dan sifat baik yang dimiliki oleh seseorang (dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」diwakili oleh Kandata) secara langsung seperti dalam dua kutipan di atas.

3.3.2 Prinsip Hukum Karma

Setiap perbuatan yang sengaja kita lakukan, pada suatu saat nanti akan kembali kepada diri sendiri. Perbuatan baik akan mendapat balasan yang baik, sebaliknya perbuatan buruk akan mendapatkan balasan yang buruk.Balasan perbuatan baik yang terdapat dalam “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」 :

お釈迦様は地獄のようすをご覧になりながら、この 陀多には

蜘蛛を助けた事があるのをお思い出しになりました。そうしてそれだ けのよい事をした報には、できるなら、この男を地獄から救い出して やろうとお考えになりました。

Oshakasama ha jigoku no yousu wo goran ni narinagara, kono Kandata ni ha kumo wo tasuketa koto ga aru no wo oomoidashi ni narimashita. Soushite sore dake no yoi koto wo shita mukui ni ha, dekirunara, kono otoko wo jigoku kara sukui dashite yarouto okangae ni narimashita.

(60)

Berdasarkan kutipan di atas, perbuatan baik yang dilakukan oleh Kandata adalah menolong seekor laba-laba, dan balasan yang didapat oleh Kandata atas perbuatan baiknya tersebut adalah, sang Budha bersedia mengeluarkan Kandata dari Neraka.

Perbuatan buruk yang dilakukan oleh Kandata adalah dia merupakan seorang maling besar yang pernah membunuh orang, membakar rumah, dan melakukan berbagai tindak kejahatan lainnya. Oleh karena itu, sebagai balasan atas perbuatan buruknya tersebut Kandata masuk neraka beserta para pendosa lainnya.

Penyampaian moral di atas disampaikan secara langsung. Pembaca tidak perlu menafsirkan maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang, karena pengarang sudah menuliskannya ke dalam cerpen “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」.

3.3.3 Dampak Positif dari Kebaikan

Dalam cerpen “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」, perbuatan baik yang dilakukan oleh Kandata adalah menolong seekor laba dengan tidak menginjaknya ketika laba-laba tersebut sedang merayap di pinggir jalan. Kandata beranggapan bahwa makhluk sekecil laba-laba juga mempunyai nyawa seperti halnya manusia. Sebagai balasan atas perbuatan yang dilakukan oleh Kandata, sang Budha bersedia mengeluarkan Kandata dari neraka melalui benang laba-laba, seperti dalam kutipan berikut :

(61)

糸をそっとお手にお取りになって、玉のような白蓮の間から、はるか 下にある地獄の底へ、まっすぐにそれをおおろしなさいました。

Saiwai, soba wo mimasuto, hisui no you na iro wo shita hasu no ha no ue ni, gokuraku no kumo ga ippiki, utsukushii gin’iro no ito wo kakete orimasu. Oshakasama ha sono kumo no ito wo sotto ote ni tori ni natte, tama no you na shirahasu no aida kara, haruka shita ni aru jigooku no soko he, massugu ni sore wo ooroshinasaimashita.

Sangat kebetulan, saat ia menoleh ke samping ada seekor laba-laba surga sedang menjulurkan benang keperakan yang indah di atas daun teratai berwarna hijau yang laksana batu giok. Sang Buddha dengan perlahan mengambil benang laba-laba itu dan memindahkan ke tangannya lalu menurunkannya dari celah di antara bunga-bunga teratai yang putih seputih mutiara, ke dasar Neraka nan jauh di bawah.

Benang yang diberikan oleh sang Budha digunakan oleh Kandata sebagai alat untuk membantunya keluar dari neraka. Tetapi yang bisa menggunakan benang tersebut tidak hanya Kandata seorang, melainkan para pendosa lainnya pun ikut menggunakannya, seperti dalam kutipan cerpen “Kumo no Ito”

「蜘蛛の糸」berikut:

ところがふと気がつきますと、蜘蛛の糸の下の方には、数限もない罪 人たちが、自分ののぼった後をつけて、まるで蟻の行列のように、や はり上へ上へ一心によじのぼって来るではございませんか。

Tokoroga futo ki ga tsukimasuto, kumo no ito no shita no hou ni ha, kazukagi mo nai akujintachi ga, jibun no nobotta ato wo tsukete, maru de ari no gyouretsu no youni, yahari ue he ue he isshin ni yoji nobotte kuru de ha gozaimasenka.

(62)

Penyampaian pesan moral di atas, disampaikan secara tidak langsung oleh pengarang, karena pembaca terlebih dahulu harus menafsirkan maksud dari kutipan-kutipan cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」di atas.

3.4 Nilai-nilai Religius yang Terdapat dalam “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」

3.4.1 Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia

Sesama manusia hendaklah kita saling tolong menolong, namun hal itu tidak tergambar dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」. Kandata yang memperoleh bantuan dari Budha malah mempergunakannya seorang diri tanpa peduli dengan orang lain, seperti dalam cuplikan berikut ini.

今の中にどうかしなければ、糸はまん中から二つに断れて、落ちてし

まうのに違いありません。そこで 陀多は大きな声を出して、

「こら、罪人ども。この蜘蛛の糸は己のものだぞ。お前たちは一体誰 に尋いて、のぼって来た。下りろ。下りろ。」と喚きました。

Ima no naka ni doukashinakereba, kumo ha mannaka kara futatsu ni kotowarete, ochite shimaunoni chigaiarimasen. Sokode Kandata ha ookina koe wo dashite, “kora, zainin domo. Kono kumo no ito ha ore no mono dazo.Omaetachi ha ittai dare ni saite, nobotte kita. Oriro.Oriro.”To wamekimashita.

Jika ia tidak segera berbuat sesuatu, benang ini niscaya akan putus di tengah, menjadi dua, dan ia pun pasti akan ikut jatuh. Kandata seketika itu lalu berteriak nyaring, “Hei, para pesakitan! Benang laba-laba ini milikku! Sapa yang mengizinkan kalian memanjatnya? Turun! Ayo, turun!”.

(63)

3.4.2 Hubungan Manusia dengan Sesama Makhluk-Hidup

Sebagai manusia yang hidup di dunia ini, pasti kita berdampingan dengan makhluk lain, seperti hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu sebaiknya kita saling peduli satu sama lain dan saling tolong menolong. Hal tersebut tergambar dalam cuplikan berikut ini: kawaisouda.”to, kou kyuu ni omoi kaeshite, toutou sono kumo wo korosazuni tasuketeyatta kara de gozaimasu.

Ketika itu, pemuda ini sedang melintasi hutan yang lebat dan melihat seekor laba-laba kecil yang sedang merayap di tepi jalan. Di situ, Kandata segera mengangkat kakinya dan berniat menginjak laba-laba itu hingga mati, tetapi tiba-tiba Kandata berpikir, “Tidak. Tidak. Meski sekecil ini laba-laba tentunya juga punya nyawa. Sangat kasihan kalau nyawanya lepas begitu saja.”Akhirnya Kandata malahan menolong laba-laba itu dengan tidak membunuhnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kitab al-Barzanj i terdapat pesan moral religius yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini, banyak unsur-unsur pesan moral yang terkandung didalam kitab tersebut yang

Jadi dapat disimpulkan bahwa dari analisis nilai- nilai religius tokoh utama ini maka dapat dketahui adanya gambaran keterkaitan antara hasil suatu karya sastra dengan

Nilai moral merupakan ajaran tentang baik dan buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang dapat dikatakan bermoral jika memiliki kesadaran moral yaitu dapat

Prasetyo dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah” dalam hasil penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan struktur yang membangun, nilai pendidikan moral parah

Hasil penelitian ini dapat direlevansikan sebagai bahan pembelajaran sastra di jenjang SMA dengan KD 7.2 sebab dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini terdapat nilai-nilai pendidikan

SIMPULAN Nilai-nilai religius novel ‘Hadiah Kecil dari Tuhan’ karya Adi Rustandi memiliki pesan- pesan yang mendidik sebagai pelajaran dalam kehidupan sehari-hari, terutama nilai

Dalam mengkaji nilai moral tersebut peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra karena sangat cocok untuk meneliti nilai moral yang terdapat dalam karya sastra, khususnya novel

Hasil penelitian nilai-nilai religius dalan novel Buya Hamka karya Ahmad meliputi: 1 nilai religius yang berwujud nilai keyakinan sebanyak 11 data, berupa data tentang iman kepada