BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang memuat paparan mengenai penelitian-penelitian sebelumnya dan penjelasan komprehensif mengenai landasan teori, yang relevan digunakan dalam penelitian ini. Terdapat dua (2) penelitian terdahulu yang dijadikan referensi, yaitu penelitian Muhammad Pujiono (2006), dan penelitian Bambang Wibawarta (2004).Terdapat persamaan landasan teori dalam kedua penelitian tersebut yang meliputi teori tentang unsur-unsur moral dan nilai-nilai religius, khususnya yang membahas tentang nilai-nilai moral dan nilai-nilai religius dalam sebuah karya sastra.
2.1 Penelitian-penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian lain terhadap cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke dan aspek moral atau aspek religius yang pernah dilakukan peneliti lain dapat penulis temukan sejumlah dua judul. Dua penelitian tersebut yang pertama adalah penelitian Muhammad Pujiono yang dimuat dalam kumpulan skripsi Universitas Sumatera Utara, yang menunjukkan bahwa dalam kumpulan cerpen karya Miyazawa Kenji mempunyai nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya. Yang kedua adalah penelitian Bambang Wibawarta yang mendeskripsikan moral tentang kehidupan manusia yang terdapat dalam cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke.
Penelitian Muhammad Pujiono yang dimuat dalam kumpulan skripsi Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa dalam kumpulan cerpen karya
Miyazawa Kenji mempunyai nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai religius tersebut adalah hubungan makhluk hidup dengan Tuhan, dijelaskan dalam penelitian Muhammad Pujiono, bahwa rasa syukur makhluk hidup terhadap Tuhan melalui doa, dimana makhluk hidup dengan ciptaan-Nya sangatlah erat hubungannya. Makhluk hidup mempunyai rasa sadar bahwa yang ada di alam raya ini ada yang menciptakannya. Hal ini tergambar dalam cerpen “Laba-laba, Lintah, dan Cerpelai” karya Miyazawa Kenji. Hubungan makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya, bentuk hubungan dengan sesama makhluk sesuai dengan nilai-nilai religius adalah saling menyayangi, saling menolong, dan menyuruh berbuat baik. Hal ini dapat dilihat dalam “Otsuberu dan Gajah Putih”, “Laba-laba, Lintah, dan Cerpelai”, dan “Matasaburo si Angin” karya Miyazawa Kenji. Hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya, mencintai lingkungan tempat menjalankan kehidupan yang dikaruniakan oleh Tuhan adalah salah satu bentuk nilai religius. Mencintai lingkungan berarti harus menjaga, merawat, dan jangan sampai mengotori. Kalau sungai tercemar dapat merugikan masyarakat luas, bahkan bisa berdampak pada kematian, ini dapat dilihat pada cerpen “Matasaburo si Angin” karya Miyazawa Kenji.
Pada dasarnya nilai religius dalam karya sastra bukan bermaksud menambah pemeluk agama, melainkan untuk memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Tuhan melalui pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam karya sastra. Tugas sebuah karya sastra bukanlah memberikan jawaban, tetapi memberikan
pernyataan sehingga pembaca karya itu mampu menemukan jawaban sendiri (Saridjo dalam Jassin, 1984:40).
Penelitian Bambang Wibawarta mendeskripsikan moral tentang kehidupan manusia yang terdapat dalam cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke. Menurut Bambang Wibawarta “Rashomon” menampilkan masalah egoisme dengan sangat menarik: betapa niat seseorang untuk hidup bermartabat dengan cepat berubah menjadi hidup bejat. Hal ini dialami oleh Genin, tokoh dalam “Rashomon” ini pada awalnya digambarkan sebagai orang yang terombang-ambing dan tidak peduli dengan keadaan sekitar. Setelah dipecat oleh majikannya ia tidak tahu harus berbuat apa dan terbesit di hatinya untuk menjadi pencuri, meskipun awalnya ia tidak memiliki keberanian.
Penelitian Bambang Wibawarta mendeskripsikan moral tentang kehidupan manusia yang terdapat dalam cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryunosuke. Menurut Bambang Wibawarta “Rashomon” menampilkan masalah egoisme dengan sangat menarik: betapa niat seseorang untuk hidup bermartabat dengan cepat berubah menjadi hidup bejat. Hal ini dialami oleh Genin, tokoh dalam “Rashomon” ini pada awalnya digambarkan sebagai orang yang terombang-ambing dan tidak peduli dengan keadaan sekitar. Setelah dipecat oleh majikannya ia tidak tahu harus berbuat apa dan terbesit di hatinya untuk menjadi pencuri, meskipun awalnya ia tidak memiliki keberanian.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur-Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra, termasuk cerpen. Unsur intrinsik cerpen terdiri atas tema, alur, penokohan, latar atau setting, dan sudut pandang.
2.2.1.1Tema
Tema menurut Stanton melalui (Nurgiyantoro 2012:67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Untuk menemukan tema sebuah karya sastra haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya (Nurgiyantoro, 2012:68).
2.2.1.2Alur dan Pengaluran
Sudjiman (melalui Pujiono, 2006:10) mengatakan bahwa alur adalah struktur naratif bagi seluruh cerita dan harus dapat menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan
gagasan hingga menjadi satu kesatuan cerita yang utuh di dalam pengesahan cerita. Pengaluran dalam suatu cerita adalah pengaluran urutan penampilan peristiwa untuk memenuhi berbagai tuntutan sehingga peristiwa itu dapat tersusun dalam hubungan sebab akibat (Sudjirman dalam Pujiono, 2006:10).
Pengaluran adalah teknik menyusun alur. Pengaluran terdiri atas pengaluran mundur (flashback), pengaluran maju (kronologis), dan pengaluran gabungan antara pengaluran maju dan mundur (Sumardjo dan Saini melalui Pujiono, 2006:11).
2.2.1.3 Tokoh dan Penokohan
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones melalui Nurgiyantoro, 2012:165). Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams melalui Nurgiyanotoro, 2012:165).
Pelukisan watak tokoh dalam cerita dapat digambarkan melalui ucapan-ucapannya, gambaran fisiknya, keterangan langsung yang ditulis oleh pengarang dan melalui perbuatannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam menghadapi situasi krisis5
.
5
Sumardjo dan Saini dalam Pujiono, Muhammad. 2006. Analisis Nilai-Nilai Religius dalam Cerita endek (Cerpen) Karya Miyazawa Kenji. USU Repository. Hal:11-12. (tidak terbit)
2.2.1.4 Latar atau Setting
Latar atau setting disebut juga landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams melalui Nurgiyantoro, 2012:216). Berdasarkan wujudnya ada latar fisik dan latar sosial. Latar fisik dapat berupa latar tempat dan latar waktu. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas .Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Adapun Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Misalnya, tradisi, adat-istiadat, norma masyarakat, agama, hukum, dan sebagainya.
2.2.1.5 Sudut Pandang
Sudut pandang adalah hubungan yang ada diantara pengarang dengan fiktif rekaannya, atau pengarang dengan pikiran dan perasaan para tokoh. Sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan (Tarigan melalui Pujiono, 2006:13). Ia merupakan cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita
dalam sebuah karya sastra kepada pembaca (Abrams melalui Nurgiyantoro, 2012:248).
Nurgiyantoro membedakan sudut pandang ke dalam tiga bentuk, yaitu (a) sudut pandang persona. “aku” terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai pencerita;(b) sudut pandang persona ketiga; dan(c) sudut pandang campuran antara persona pertama dengan ketiga (2012:256).
2.3 Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan (Nurgiyantoro, 2012:23-34).
Wellek & Warren (melalui Nurgiyantoro, 2012:24) mengatakan bahwa seperti halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri atas sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya.
Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya.
2.4 Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra6
2.4.1 Pengertian dan Hakikat Moral
Moral dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya sastra merupakan unsur isi. Ia merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat media cerita. Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1994).
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu
6
Untuk menjelaskan Unsur Moral dalam Karya Sastra, penulis menggunakan buku Burhan Nurgiyantoro. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 320-324 dan hal. 335-341.
yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca (Kenny, 1966: 89).
2.4.2 Jenis dan Wujud Pesan Moral
Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah, yang boleh dikatakan, bersifat tidak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam tiga persoalan, yaitu hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alamm, dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Sebuah karya sastra tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral itu salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus, masing-masing dengan wujud detil khususnya. Namun, sama halnya dengan adanya beberapa tema dalam sebuah karya sastra yang terdiri dari tema utama (mayor) dan tema-tema tambahan (minor), pesan moral pun dapat digolongkan ke dalam yang utama dan yang sampingan itu. Persoalan yang dihadapi pembaca kemudian adalah: mampukah ia menemukan dan mengenali pesan-pesan moral itu, dan kalau mungkin mengambil hikmahnya.
Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat intensitasnya. Hal itu tentu saja tidak lepas dari kaitannya dengan persoalan hubungan antarsesama dan dengan Tuhan. Ia dapat berhubungan dengan masalah-masalah seperti eksistensi diri, harga diri, rasa percaya diri, takut, maut, rindu,
dendam, kesepian, keterombang-ambingan antara beberapa pilihan, dan lain-lain yang lebih bersifat melibat ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu.
Pesan moral apakah yang ingin disampaikan kepada pembaca sehingga pembaca dapat menafsirkan secara berbeda, misalnya berupa mempertanyakan diri tentang mengapa kita merasa takut secara berlebihan yang justru merugikan diri sendiri, atau harus berusaha mengalahkan rasa takut pada diri sendiri misalnya, dengan memupuk rasa percaya diri.
2.4.3 Bentuk Penyampaian Pesan Moral
Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya sastra mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung. Namun, sebenarnya pemilihan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan yang bersifat agak langsung. Dalam sebuah novel sendiri mungkin sekali ditemukan adanya pesan yang benar-benar tersembunyi sehingga tak banyak orang yang dapat merasakannya, namun mungkin pula ada yang agak langsung dan seperti ditonjolkan.
2.4.3.1Bentuk Penyampaian Langsung
Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan,
expository. Jika dalam teknik uraian pengarang langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh-tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampaian
pesan moral. Artinya, moral yang ingin disampaikan, atau diajarkan, kepada pembaca itu dilakukan secara langsung dan eksplisit. Pengarang, dalam hal ini, tampak bersifat menggurui pembaca.
Dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca, teknik penyampaian langsung tersebut komunikatif. Artinya, pembaca memang secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan. Pembaca tidak usah sulit-sulit menafsirkan sendiri dengan jaminan belum tentu pas. Gambar berikut mengandaikan pesan yang ingin disampaikan itu kurang ada hubungannya dengan cerita, ia lebih merupakan sesuatu yang diomprengkan pada cerita.
2.4.3.2Bentuk Penyampaian Tidak Langsung
Jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya, bentuk penyampaian pesan moral di sini bersifat tidak langsung. Pesan ini hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta-merta dan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita. Karya yang berbentuk cerita bagaimanapun hadir kepada pembaca pertama-tama haruslah sebagai cerita, sebagai sarana hiburan untuk memperoleh berbagai kenikmatan.
Kalaupun ada yang ingin dipesankandan yang sebenarnya justru hal inilah yang mendorong ditulisnya cerita itu. Hal itu hanyalah lewat siratan saja dan terserah kepada penafsiran pembaca. Bukankah cara penyampaian yang demikian justru memaksa pembaca untuk merenungkannya, menghayatinya secara lebih intensif.
Jika dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini sejalan dengan teknik ragaan, showing. Yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa, konflik sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut, messages, pesan moral disalurkan. Sebaliknya, dilihat dari pembaca, jika ingin memahami dan atau menafsirkan pesan itu, haruslah ia melakukannya berdasarkan cerita, sikap dan tingkah laku para tokoh tersebut.
Dilihat dari kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan dan pandangannya itu, cara ini mungkin kurang komunikatif. Artinya, pembaca belum tentu dapat menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang, paling tidak kemungkinan terjadinya kesalahan tafsir berpeluang besar. Namun, hal yang demikian adalah amat wajar, bahkan merupakan hal yang esensial dalam karya sastra yang salah satu sifat khasnya adalah berusaha mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Berangkat dari sifat esensi inilah sastra tampil dengan kompleksitas makna yang dikandungnya. Hal itu justru dapat dipandang sebagai kelebihan karya sastra, kelebihan dalam hal banyaknya kemungkinan penafsiran, dari orang seorang, dari
waktu ke waktu. Hal ini pulalah yang menyebabkan karya sastra sering tidak ketinggalan, sanggup melewati batas waktu dan kebangsaan.
Kalau orang membaca Hamlet karya Shakespeare misalnya, sebuah karya yang ditulis sekian abad yang lalu, orang tetap merasakan adanya kebaruannya. Selain itu, mungkin pula ia akan menemukan tafsiran yang berbeda dengan penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya, termasuk dalam hal penafsiran unsur pesan. Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat.
2.5 Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra 2.5.1 Nilai-Nilai Religius
Religius bertugas untuk mengatur kehidupan orang sehari-hari agar selalu berada dalam bimbingan Tuhan sang pencipta (Bouman, 1992:80). Istilah religius membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan. Namun, sebenarnya
keduanya menyaran pada makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain, melihat aspek yang dilubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi (Mangunwijaya melalui Nurgiyantoro, 2012:326-327).
Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya, idealnya sekaligus religius, namun tidak demikian kenyataannya. Banyak penganut agama tertentu, misalnya seperti yang terlihat dalam KTP, namun sikap dan tingkah lakunya tidak religius.
Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia (Nurgiyantoro, 2012:327).Sosiolog memandang agama sebagai alat wadah alamiah yang mengatur pernyataan iman di forum terbuka atau dalam sistem sosial masyarakat dan manifestasinya dapat disaksikan dalam bentuk khotbah-khotbah, doa-doa, dan sebagainya (Hendropuspito, 1985:45).
Agama lebih menitikberatkan pada kelembagaan yang mengatur tata cara penyembuhan manusia kepada penciptaannya dan mengarah pada aspek kuantitas, sedangkan religius lebih menekankan pada kualitas manusia beragama. Agama dan religiusitas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi, karena
keduanya merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu kehidupan pribadi dan kebersamaannya di tengah masyarakat (Mangunwijaya melalui Pujiono, 2006:15).
Suatu kritik, religiusitas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang beragama menjadi semakin intens. Semakin orang religius, hidup orang itu semakin nyata atau semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri (Moeljanto dan Sunardi melalui Pujiono, 2006:15). Bagi orang yang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Inilah yang disebut religiusitas sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada dalam lubuk hati dan sebagai getaran murni pribadi (Mangunwijaya melalui Pujiono, 2006:15-16).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas mempunyai peranan penting bagi kehidupan, sama halnya dengan ajaran agama, bahkan religiusitas lebih dari sekedar memeluk agama tertentu, melainkan mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi antara manusia dengan penciptanya dan dengan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari.
2.5.2 Nilai-Nilai Religius dalam Karya Sastra
Kehadiran nilai religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya melalui Nurgiyantoro, 2012:326).Unsur agama dan sastra bertemu dalam pemikiran pengarang ketika mereka memperhatikan
eksistensinya. Eksistensi itu bergerak menuju upaya penyucian diri dengan sendirinya. Dengan begitu, agama dan sastra bergabung dalam sikap pengarang ketika ia berusaha menyaksikan hal-hal duniawi sambil berorientasi ke unsur yang kekal (Takeda melalui Budiman, 2006:2).
Karya sastra sebagai struktur yang kompleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagamaan layak kita gali lebih dalam untuk diambil manfaatnya. Kehadiran sastra keagamaan di tengah-tengah masyarakat pasti mempunyai latar belakang tersendiri. Sebelum digali lebih dalam, terlebih dahulu harus diketahui kriteria-kriteria religius dalam sastra. Secara garis besar kriteria-kriteria religius dalam karya sastra berisi: (1) penyerahan diri, tunduk dan taat kepada Tuhan Y.M.E; (2) kehidupan yang penuh kemuliaan; (3) perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan; (4) perasaan batin yang ada hubungannya dengan rasa berdoa; (5) perasaan batin yang ada hubungannya dengan rasa takut; dan (6) pengakuan akan kebesaran Tuhan (Atmosuwito, 1989:123-124).
Selain itu, ada juga kriteria sastra sebagaimana yang diungkapkan oleh Saridjo melalui Jassin, yaitu (1) karya sastra melukiskan konflik keagamaan;(2) karya sastra yang menitikberatkan pada hal-hal keagamaan sebagai pemecah sosial (1984:40).
BAB 3
NILAI-NILAI MORAL DAN RELIGIUS DALAM CERPEN “KUMO NO ITO” 「
「「
「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」」KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE
3.1Unsur Intrinsik Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」蜘蛛の糸」」」
Suatu karya sastra, tak terkecuali cerpen memiliki dua unsur yang membangun di dalamnya yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam cerpen “Kumo no Ito” 「蜘蛛の糸」yang akan dibahas adalah tema, alur, penokohan, latar atau setting, dan sudut pandang.
3.1.1 Tema Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」」
Setelah membaca keseluruhan cerita “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」, dapat disimpulkan sebuah tema yaitu balasan yang diterima oleh manusia berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukannya. Perbuatan baik akan mendapat balasan yang baik dan perbuatan yang buruk akan mendapat balasan yang buruk di Neraka.
3.1.2 Alur Cerpen “Kumo no Ito” 「「「「蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸蜘蛛の糸」」」」
Alur yang terdapat dalam “Kumo no Ito”「蜘蛛の糸」adalah alur maju dan mundur.