• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Nilai-Nilai Kemanusiaan Cerpen Tanah Air

Dalam dokumen Tanah Air (Halaman 52-59)

BAB IV PEMBAHASAN

4.2. Analisis Nilai-Nilai Kemanusiaan Cerpen Tanah Air

Suyitno (1986:28), mengungkapkan bahwa sastra dan tata nilai merupakan dua komponen sosial yang saling melengkapi dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya, baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang mempunyai penyodoran konsep baru.

Salah satu nilai yang dimaksud berdasarkan penjelasan tersebut adalah nilai kemanusiaan. Hal ini bertitik tolak pada keberadaan karya sastra itu sendiri yang memasuki lingkup nilai-nilai kemanusiaan secara utuh dan total, tidak hanya berkutat pada pada ruang serta nilai-nilai kehidupan personal semata.

Berdasarkan analisis pada cerpen Tanah Air karya Martin Aleida, peneliti mendapatkan data berupa nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat di dalamnya. Nilai-nilai tersebut antara lain, nilai hedonik, nilai artistik, nilai kultural, nilai etis, moral, dan religius, serta nilai praktis.

a. Nilai Hedonik

Suatu karya sastra dikatakan mengandung nilai hedonik jika karya sastra tersebut memberikan kesenangan secara

langsung kepada penikmatnya. Dalam cerpen Tanah Air karya Martin Aleida, nilai ini tampak pada kutipan dibawah ini:

(K.1) Ketika dia masih duduk di sekolah dasar, dengan susah-payah aku melerai kemarahannya terhadap ayah yang dia tuduh tidak bertanggung jawab, meninggalkannya. Menyia-nyiakan ibunya. Bersenang-senang di luar negeri sana.

Di meja makan. Menjelang tidur. Terkadang saat sedang belajar, kalau momennya kena, kukatakan bahwa ayahnya tidak bersalah. Tak bisa pulang membesarkan dan menyekolahkannya bukan pilihannya. Susah-payah aku menjelaskan kepadanya, bahwa ada kekuasaan yang begitu buruk rupanya, sehingga sampai hati memisahkan seorang anak tunggal dari ayahnya. (Aleida, 2017:87).

Dalam cerpen ini dikisahkan tentang perjuangan hidup yang disertai dengan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi saat itu. Kutipan diatas menggambarkan secara singkat awal permasalahan yang mereka derita dan bagaimana mereka menghadapinya. Selain itu, penyajian alur yang disampaikan oleh pengarang dalam cerita ini juga mengajak pembaca untuk merasakan betapa besar perjuangan seorang istri yang membesarkan dan merawat anaknya seorang diri, sekalipun harus mengorbankan segalanya demi itu semua.

b. Nilai Artistik

Suatu karya sastra dikatakan memiliki nilai artistik apabila karya sastra itu mencerminkan suatu seni atau keterampilan (kepiawaian) pengarang dalam meramu unsur-unsur cerita atau

karya sastra. Nilai ini dapat dilihat dari kutipan (2) dan (3) berikut ini:

(K.2) Hatiku teduh. Dia kelihatan tenang. Cuma matanya saja yang terus memandangiku dengan ganjil. Seakan aku ini siapa, bukan istrinya. Tadi, sambil duduk berdampingan menjuntaikan kaki di tubir tempat tidur, perlahan kupotongi kuku-kukunya yang panjang, hitam berdaki. Dari tangan sampai kaki. Gemertak pemotong kuku meningkahi angin pagi yang deras dan dingin memukuli jendela. (Aleida, 2017:81).

(K.3) Tanpa menatapku barang sekejap pun, seperti berbisik pada dedaunan di luar, lagi-lagi dia mengulangi igauan yang saban pagi, menjelang matahari terbit, diucapkannya seperti merapal mantra. Atau pesan yang aku tak tahu kepada siapa. “Setengah jam lagi. Begitu matahari terbit, mereka akan datang membebaskan kita,” desisnya dengan mata yang tetap saja liar, dan sepertinya aku entah di mana, tidak berada di seberang bahunya. (Aleida, 2017:81).

Kutipan di atas merupakan pengantar dari cerpen Tanah Air yang mampu menarik minat pembaca untuk menikmati setiap penggambaran yang di sampaikan pengarang dalam karyanya. Pemilihan diksi dan ungkapan-ungkapan tertentu yang digunakan pengarang memberikan daya tarik tersendiri bagi pembacanya untuk lebih mendalami keseluruhan cerpen tersebut.

c. Nilai Kultural

Nilai ini selalu terdapat dalam sebuah karya sastra yang menggambarkan kehidupan suatu masyarakat dan selalu terhubung dengan peradaban dan kebudayaan tertentu di

sekitarnya. Nilai tersebut dapat dilihat melalui kutipan (4) dan (5) berikut ini:

(K.4) Lantas dia keluarkan sebuah buntalan kecil dari saku celananya. Dibalut kain putih, di dalamnya segumpal tanah merah yang kering.

“Ciumlah … Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan terjadi dia akan mempertautkan kita,” katanya lamat-lamat seraya memegangi tanganku, merebahkan kepala di bahuku. Katanya, tanah itu dia bawa ketika meninggalkan Jakarta menuju Kairo dan kandas di Peking. (Aleida, 2017:85).

(5) Rumahnya agak di tepi Amsterdam. Masyarakatnya terdiri dari berbagai ras. Orang Suriname yang paling banyak. (Aleida, 2017:86).

Berdasarkan kutipan di atas, nilai kultural dalam cerpen ini menggambarkan kebudayaan tertentu yang berlaku dalam suatu masyarakat. Ini terlihat ketika salah seorang tokoh dalam cerpen yang membawa segumpal tanah merah yang berbalut kain putih.

Kebiasaan seperti ini berlaku disebagian masyarakat Indonesia yang selalu membawa sesuatu ketika akan pergi merantau atau pergi ke suatu tempat untuk jangka waktu yang cukup lama.

Umumnya, benda-benda yang dibawa adalah sesuatu benda yang dapat mengingatkan mereka dengan daerah asal atau tanah kelahirannya, misalnya seperti tanah atau air sungai. Selain itu, budaya masyarakat yang beragam juga ditampilkan dalam cerpen tersebut, yakni daerah tempat tinggal mereka diluar

negeri sana yang terdiri dari dari masyarakat campuran dari berbagai ras.

d. Nilai Etis, Moral, dan Religius

Dalam cerpen Tanah Air karya Martin Aleida ini terlihat jelas keberadaan nilai-nilai moral dan etika didalamnya. Hal tersebut dapat dilihat melalui kutipan (6), (7) dan (8), sebagai berikut:

(6) “Ciumlah … Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan terjadi dia akan mempertautkan kita,” katanya lamat-lamat seraya memegangi tanganku, merebahkan kepala di bahuku. Semacam permintaan maaf atas tuduhan yang baru saja dia timpakan padaku. Katanya, tanah itu dia bawa ketika meninggalkan Jakarta menuju Kairo dan kandas di Peking. (Aleida, 2017:85).

(7) “Sudahlah . Dengarlah baik-baik. Tuduhan anakmu itu „kan kau dengar dari kawan-kawamu di Tiongkok

„kan? Sama seperti kau juga dengar bahwa aku menjual diri kepada lelaki lain. Aku tak mempedulikan omong-kosong orang. Kalau kumasukkan ke dalam hati, aku bisa gila. Dengarlah baik-baik. Selama Han bersama kita di sini, dia memanggilmu Papi. Papi…! Kau ingat

„kan? Tidakkah kau bisa menafsirkan sebutannya padamu itu sebagai tanda permintaan maaf. Bahwa kau adalah ayahnya yang baik. Bahwa kau tak pulang-pulang bukan lantaran kehendakmu”. (Aleida, 2017:88).

(8) Aku berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami yang kucintai. Orang yang sayangnya pada anakku membuat dia dikungkung ketegangan karena merasa bersalah tidak ikut membesarkannya. Tetangga, sanak-famili boleh acuh-tak-acuh, karena takut, namun gereja membukakan pintu untukku. Walau hanya bubungan gereja kecil. Di situlah aku tinggal sambil menunggu aba-aba keberangkatan yang akan datang dari daratan impian. (Aleida, 2017:86).

Berdasarkan kutipan di atas, terlihat jelas penggambaran nilai etika yang terdapat dalam cerpen tersebut. Hal ini nampak saat seorang tokoh dalam cerpen tersebut meminta maaf kepada istrinya, begitu juga sebaliknya saat sang istri menjelaskan permintaan maaf yang dilakukan oleh anak mereka kepada Ayahnya walaupun hal tersebut tidak disampaikan secara langsung. Meminta maaf atas perbuatan yang telah dilakukan merupakan kebiasaan yang berlaku dalam etika pergaulan masyarakat, ini merupakan nilai-nilai kesopanan yang paling mendasar.

Nilai-nilai moral yang mencakup hubungan antar sesama juga nampak dalam cerpen tersebut, terutama mengenai hubungan baik yang terjalin antara salah seorang tokoh dengan pihak gereja yang secara tulus membantunya menghadapi kesulitan-kesulitan hidup yang di deritanya.

e. Nilai Praktis

Sebuah karya sastra dikatakan mengandung nilai praktis jika karya tersebut memberikan sesuatu (manfaat) yang dapat dilaksanakan atau dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam cerpen ini, nilai tersebut terlihat dari kutipan (9) dan (10), sebagai berikut:

(9) Aku berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami yang ku cintai. Orang yang sayangnya pada

anakku membuat dia dikungkung ketegangan karena merasa bersalah tidak ikut membesarkannya. (Aleida, 2017:86).

(10) Apa pun aku akan dan harus menemaninya.

Sebagaimana aku harus membesarkan anakku, maka aku juga harus mendampinginya walau ajal menanti. (Aleida, 2017:86).

Dari kutipan di atas, pengarang ingin menyampaikan tentang makna kesetiaan yang dimiliki oleh salah seorang tokoh dalam cerpen tersebut. Segala sesuatu selalu menuntut pengorbanan yang besar dan sikap kerelaan hati demi tercapainya keinginan yang hendak dituju. Dalam cerpen ini, pengarang juga secara khusus menyelipkan sebuah amanat bagi para pembaca agar hendaknya selalu ikhlas dalam bertahan menjalani hidup di dunia ini, tanpa mengharapkan pamrih dan menuntut balasan atas pengorbanan yang telah dilakukan.

Selain nilai-nilai kemanusiaan tersebut, terdapat pula beberapa nilai kemanusiaan lain yang peneliti temukan diantaranya, nilai kasih sayang, tolong menolong, keyakinan, kejujuran, tenggang rasa, rela berkorban, tanggung jawab, dan kebijaksanaan. Dalam pengembangannya bagi pembelajaran sastra di SMA, nilai-nilai tersebut sangat tepat digunakan untuk membangun dan menumbuhkan karakter siswa.

4.3. Analisis Unsur Intrinsik Cerpen Tanah Air Karya Martin Aleida

Dalam dokumen Tanah Air (Halaman 52-59)

Dokumen terkait