• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cerpen Tanah Air Ditinjau Dari Aspek Bahasa,

Dalam dokumen Tanah Air (Halaman 81-87)

BAB IV PEMBAHASAN

4.3. Analisis Unsur Intrinsik Cerpen Tanah Air

4.4.2. Cerpen Tanah Air Ditinjau Dari Aspek Bahasa,

pertanyaan dan penugasan bagi para siswa, atau hanya sekedar penegasan di akhir pembelajaran dari guru atas bahan pembelajaran tersebut.

4.4.2. Cerpen Tanah Air Ditinjau Dari Aspek Bahasa, Psikologi Siswa,

nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan cerpen yang dibaca. Berikut ini adalah hasil analisis cerpen Tanah Air karya Martin Aleida berdasarkan ketiga aspek tersebut.

a. Aspek Bahasa

Bahasa yang digunakan dalam cerpen ini adalah Bahasa Indonesia dengan kosakata yang sederhana dan mudah dipahami, sehingga tidak menimbulkan kesulitan bagi siswa dalam mempelajari dan membacanya. Akan tetapi, diperlukan kejelian dan ketelitian dalam penangkapan isi makna, hal ini dimaksudkan bagi para siswa untuk lebih berhati-hati agar tidak terkecoh dalam menggali makna cerpen tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

(K.67) Aku sama sekali tak tahu bagaimana awal kesengsaraan yang kini membelenggunya, membuat dia tidak berada dalam tubuhnya sendiri, sebagaimana dia yang kukenal sejak lebih setengah abad lalu.

Dari seorang wartawan olahraga koran sore yang terpandang. Yang katanya sering mengintipku dari gerbang Tjandra Naja, dekat Jakarta Kota, saat aku pulang sekolah naik sepeda. Laki-laki peranakan yang bermata tidak sesipit mataku, tapi hatinya sungguh lapang. Dan aku merasa tersanjung, juga bingung, ketika dalam surat pertama yang dia selipkan ke dalam tasku, memuji betisku setengah mati. (Aleida, 2017: 82).

(K.68) Menurut cerita kawan-kawannya itu pula, ketika Revolusi Kebudayaan membanjir di seluruh daratan Tiongkok, dia acapkali termenung, tak percaya akan apa yang dia saksikan. Dia dengar di seluruh

negeri itu seorang manusia sedang dipuja melebihi dewi Kwan Im. Suatu pagi dia terperanjat. Gemetar melihat puluhan pemuda dan tentara bertopi segi-lima, syal merah, yang sedang konferensi di satu hotel bertingkat, semuanya berdiri di beranda hotel di tingkat ke sekian, menghadap ke timur. Mereka bukannya memuja matahari, melainkan memuliakan sang penyelamat yang sedang duduk entah di mana. Lewat pengeras suara, mereka bersenandung, seperti hendak menggelontorkan matahari:

“di langit tiada dewa di bumi tiada raja

gunung-gunung menyingkirlah aku datang ...” (Aleida, 2017: 83).

Martin Aleida menuliskan cerita dengan bahasa yang lugas dengan menggunakan tokoh utama sebagai narator untuk menggambarkan peristiwa atau kejadian yang terjadi di dalam cerita. Pengarang juga menggunakan kalimat yang sederhana yang umumnya digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga memudahkan pembaca untuk menangkap arti dan maksud yang terkandung di dalamnya.

Dalam pembelajaran apresiasi sastra, guru juga dapat memanfaatkan gaya bahasa dalam cerpen Tanah Air ini sebagai materi pembelajaran kebahasaan lainnya, seperti penggunaan kosakata, struktur kalimat, dan lain sebagainya.

b. Aspek Psikologi Siswa

Rahmanto (1987), menjelaskan bahwa pada umumnya siswa SMA berada pada masa peralihan antara tahap realistik ke tahap generalisasi, anak tidak lagi berminat pada hal-hal praktis saja, tetapi juga berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena.

Siswa diharapkan memiliki minat untuk menemukan nilai-nilai kehidupan, menganalisis permasalahan-permasalahan yang tedapat dalam cerpen Tanah Air, dan menemukan penyebab serta jalan keluar dari permasalah tersebut. Melalui kegiatan membaca cerpen Tanah Air ini, diharapkan agar para siswa memperoleh hikmat dari tokoh Aku dan selalu berpikir kritis terhadap setiap masalah yang mereka hadapi sebagai bekal hidup di masa depan. Berikut ini kutipan yang menggambarkan hal tersebut.

(K.69) Setelah beberapa lama bermukim di Belanda, suamiku berkirim surat. Layaknya pecandu sepakbola yang ingin lawannya kalah habis-habisan, dia berteriak melalui baris-baris suratnya: “Juallah semuanya, jangan tinggalkan sepeser pun di negeri yang dikuasai fasis itu. Terbanglah kemari!

Tanahmu. Tanahku, walau segenggam, menunggu di sini .!” (Aleida, 2017: 85).

(K.70) Tak terlalu sulit untuk memenuhi keinginannya. Ada orang-orang gereja yang siap membantu mencarikan pembeli. Juga sanak-saudara, sekalipun mereka harus mendekatiku dengan hati-hati. Cecunguk di mana-mana. Tiba-tiba, datang lagi surat dari dia. Singkat. Memerintah: jangan berangkat dulu! Keadaan tidak aman. Maksudnya apa, aku tak tahu. Tunggu kabar selanjutnya, katanya. Padahal rumah sudah terjual.

Terpaksa aku mengontrak rumah selama setahun. Kabar susulan dari dia belum juga muncul selama setahun. (Aleida, 2017: 85).

(71) Aku berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami yang kucintai.

Orang yang sayangnya pada anakku membuat dia dikungkung ketegangan karena merasa bersalah tidak ikut membesarkannya.

(Aleida, 2017: 86).

(72) Dari kawan-kawan terdekatnya, terutama peranakan, kuperoleh keterangan bahwa kesengsaraan, berupa stres yang dia tanggungkan, bertambah buruk. Apa pun aku akan dan harus menemaninya.

Sebagaimana aku harus membesarkan anakku, maka aku juga harus mendampinginya walau ajal menanti.

(Aleida, 2017: 86).

Dari kutipan (69) menjelaskan hal yang diinginkan oleh sang suami dari tokoh utama dalam cerpen tersebut.

Suaminya itu menginginkan agar sang istri menjual harta benda yang dimiliki dan pergi menyusulnya keluar negeri, walaupun harus berjuang sekuat tenaga dan mengorbankan segalanya tapi keinginan itu akhirnya ia penuhi agar mereka dapat berkumpul dan hidup bersama lagi. Kutipan (70) menjelaskan tentang pengorbanan yang dilakukan tokoh

utama meskipun sempat menemui kendala dalam upayanya, sedangkan kutipan (71) dan (72) menjelaskan tentang alasan mengapa sang istri rela melakukan hal itu demi sang suami. Melalui cerpen ini, siswa diharapkan dapat memahami dan menemukan permasalahan berdasarkan fakta dan realitas yang ada. Dari gambaran tersebut, siswa juga diharapkan mampu menyikapi setiap permasalaan dalam kehidupan sehari-hari dengan tepat dan bijaksana.

c. Aspek Latar Belakang Budaya

Latar belakang budaya juga merupakan salah satu aspek terpenting dalam pengajaran sastra. Hal ini bertujuan untuk menambah minat dan keterkaitan peserta didik dalam menganalisis sebuah cerpen. Cerpen Tanah Air menggunakan latar budaya zaman dahulu, sehingga para siswa dapat memahami permasalahan-permasalahan yang terjadi di masa yang lampau. Berikut ini kutipan yang menggambarkan hal tersebut.

(72) Dari kawan-kawannya sesama pelarian, yang tak bisa pulang karena paspor mereka dirampas penguasa baru di tanah yang kutinggalkan, kudengar dia merasa sangat bersalah. Mengutuki dirinya sebagai seorang ayah yang keji, karena tidak membesarkan, apalagi menyekolahkan, anak tunggal kami.

(Aleida, 2017: 82).

(73) Lantas dia keluarkan sebuah buntalan kecil dari saku celananya. Dibalut kain

putih, di dalamnya segumpal tanah merah yang kering.

“Ciumlah … Ini tanah Indonesia.

Apa pun yang akan terjadi dia akan mempertautkan kita,” katanya lamat-lamat seraya memegangi tanganku, merebahkan kepala di bahuku. (Aleida, 2017: 85).

Latar belakang budaya dalam cerpen Tanah Air adalah status sosial para pelaku, baik yang berstatus sebagai pencari suaka karena menjadi pelarian politik diluar negeri atau yang hanya keluarga dari orang-orang yang menjadi daftar pencarian oleh pemerintah saat itu. Dalam cerpen tersebut juga digambarkan mengenai kebiasaan para perantau yang selalu membawa tanah dari daerah asalnya sebagai pengingat apabila mereka rindu pada kampung halamannya. Para siswa akan tertarik pada cerpen dengan latar belakang budaya yang erat dengan kehidupan mereka.

Diharapkan setelah mengetahui latar belakang cerpen ini, siswa dapat memperoleh pemahaman yang positif dan dapat menyikapi hal tersebut dengan arif dan bijaksana.

Dalam dokumen Tanah Air (Halaman 81-87)

Dokumen terkait